Abstrak
Tuntutan pembentukan daerah otonom di Indonesia dewasa ini semakin intensif dan masif. Seringkali diartikulasikan
sebagai tuntutan politik tanpa melihat urgensi administratif sehingga cenderung mengesampingkan hakekat otonomi
daerah dan tujuan desentralisasi. Otonomi daerah masih dipahami sebatas hak daerah memperoleh otonomi, tanpa
memperhitungkan kapasitas daerah dalam berotonomi. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis latar
belakang tuntutan pembentukan, proses pembentukan, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan daerah
otonom di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisa
model Mills dan Huberman melalui langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan; pertama, latar belakang tuntutan pembentukan sebagai upaya
lokalisasi kekuasaan untuk menciptakan pusat kekuasaan baru di daerah dan faktor gerakan sosial yang dipicu konflik
sosial berbasis etnik, gerakan reaksioner, pembandingan dengan pencapaian daerah lain, serta adanya peluang politik.
Kedua, proses pembentukan terbagi dalam tiga tahap yakni sosialisasi dan konsolidasi elit, pemekaran desa dan
kecamatan, serta pendekatan dan komunikasi politik di semua tingkatan. Pada aspek keterpenuhan syarat sebagaimana
diatur UU 32/2004 dan PP 78/2007, daerah ini telah memenuhi syarat administratif dan fisik namun belum memenuhi
syarat teknis. Ketiga, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk musyawarah, pengumpulan dana dan hibah tanah
atau bangunan, serta pemasangan atribut pemekaran, sehingga secara keseluruhan telah ada pertanda partisipasi
walaupun belum sampai pada derajat kendali warga.
Kata kunci: Gerakan sosial, Lokalisasi kekuasaan, Partisipasi masyarakat, Pembentukan daerah otonom
Abstract
The demand for autonomous region establishment in Indonesia has been intensively and massively sounded. It is
articulated as political demand but disregards administrative urgency. The consequence is that the essence of local
autonomy and the decentralization goal are often understated. Local autonomy is only understood as the right of the
local to obtain autonomy without calculating local capacity for autonomy. The objective of research is to describe and to
analyze the background of the demand for autonomous region establishment, establishment process, and community
participation in the process of establishment of autonomous region of East Bolaang Mongondow District. Research
u šZ} ]• ‹µ o]š š]À Á]šZ D]o • v ,µ Œu v[• u} o v oÇ•]• š Zv]‹µ ÁZ] Z ]vvolves data collection, data reduction,
data presentation and conclusion drawing/verification. Result of research has shown that first, the background of the
demand for the establishment of autonomous region is the localization of power to create new power center in the local.
The emergence of social movement is triggered by ethnic-based social conflict, reactionary movement, reactionary
movement, the comparison with the achievement of other region, and the political opportunity. Second, the
establishment of autonomous region involves three stages, such as the socialization and consolidation of elites, the
extension of village and subdistrict, and the political approach and communication to all levels. In pursuance of Act
32/2004 and Government Regulation 78/2007, physical and administrative requirements are already verified, but
technical preconditions are still waited for validation. Third, community participation is realized through the assembly of
people, the activity of raising fund, land or building grants, and the installation of extension attribute. In general, there is
a sign of participation although it is not yet controlled by the citizen.
Keywords: autonomous region establishment, community participation, localization of power, social movement
183
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
Pasca reformasi, jumlah daerah otonom baru dan pemerataan kehidupan sosial, ekonomi,
(DOB) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang maupun politik bagi masyarakat lokal, namun
sangat masif. Merujuk pada lampiran semata-mata menjadi instrumen politik untuk
Permendagri Nomor 21 tahun 2010, data daerah bagi-bagi kekuasaan ke daerah. Sehingga itu
otonom di Indonesia sebelum diberlakukannya dalam pembentukan daerah otonom, negara
UU Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 daerah perlu memperhitungkan dengan cermat kondisi-
otonom yang terdiri dari; 26 Provinsi, 234 kondisi ideal di daerah yang dapat mendukung
Kabupaten dan 59 Kota. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang mencakup
diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 dimensi sosial, politik, ekonomi, geografi, dan
tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk administrasi.
banyak DOB di Indonesia. Data Ditjen Otonomi Negara merupakan institusi yang menjamin
Daerah Depdagri menunjukkan jumlah daerah seluruh komunitas masyarakat yang ada di
otonom di Indonesia sampai tahun 2009 telah dalamnya untuk mencapai kesejahteraan
menjadi 530 daerah otonom, dengan rincian; 33 bersama. Esensi negara menurut Plato dan
provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota. Aristoteles hampir serupa. Plato mendefiniskan
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur negara sebagai entitas yang terdiri dari bagian-
merupakan daerah otonom baru di Indonesia bagian yang berbeda yang saling melengkapi dan
yang terbentuk pada tahun 2008. Termasuk dalam saling tergantung dan bertindak bersama-sama
cakupan wilayah Provinsi Sulawesi Utara dan dalam mengejar tujuan bersama (Ebyhara, 2010).
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sementara menurut Aristoteles, negara adalah
Bolaang Mongondow. Daerah ini terbentuk komunitas keluarga dan kumpulan keluarga yang
melalui proses dan dinamika sosial politik yang sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan
panjang. Selain untuk memenuhi harapan berkecukupan (Ebyhara, 2010). Selain itu
masyarakat atas meningkatnya kualitas layanan Hetherington menganggap bahwa negara sebagai
publik, tuntutan pembentukan daerah ini nampak institusi atau seperangkat institusi yang
sebagai bentuk perjuangan sosial dan politik dari menyatukan penduduknya dalam suatu wilayah
masyarakat dan elit lokal. Pada satu sisi, teritorial yang ditandai secara jelas di bawah
kontestasi sosial ini dipicu konflik sosial berbasis otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya
etnik yang membentuk aspirasi masyarakat etnis tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama
mongondow untuk menjadi daerah otonom (Strong, 2008).
provinsi. Sementara di sisi lain, didorong oleh Fungsi negara sebagai sebuah institusi untuk
agenda terselubung elit lokal untuk melokalisasi mencapai kesejahteraan bersama menjadi
kekuasaan atau menciptakan pusat kekuasaan berkurang, manakala kesejahteraan rakyatnya
baru di daerah. rendah atau tidak merata. Kondisi seperti ini
Dengan tetap memperhatikan dimensi sosial disebabkan banyak aspek yang dapat
politik yang membentuk tuntutan masyarakat menghambat negara dalam menyelenggarakan
untuk berotonomi (political demand), negara urusan pemerintahan.
dituntut untuk berani memberi penilaian yang Salah satu hambatan negara adalah sistem
bersifat administratif (administrative needs). pemerintahan yang sentralistik. Sistem
Benarkah melalui kerangka division power ke sentralistik menyebabkan pemerintah pusat
daerah, urusan pemerintahan dalam konteks kurang mampu merespon kebutuhan masyarakat
pelayanan publik akan terlaksana secara efisien di tingkat lokal yang pada hakekatnya berbeda-
dan efektif serta terjadi peningkatan partisipasi beda mengikuti kondisi demografis dan geografis
masyarakat. Keduanya perlu menjadi landasan setempat. Sementara pada aspek administratif,
dan jaminan bagi negara dalam melaksanakan rentang kendali pemerintahan yang panjang
desentralisasi. dengan kewenangan terpusat dan hierarkis
Pada saat yang sama, ketika melihat menyebabkan penyelenggaraan urusan
keterbatasan negara dalam hal sumberdaya fiskal, pemerintahan menjadi lamban dan seringkali
dengan banyaknya daerah otonom yang akan tidak tepat sasaran. Pada akhirnya perubahan
dibentuk tentunya akan meningkatkan alokasi sistem pemerintahan daerah menuju arah
anggaran negara, sementara hasilnya desentralisasi, menjadi sebuah kebutuhan.
kesejahteraan dan partisipasi masyarakat tetap Suharyo yang dikutip Holztappel dan Ramstedt
mengalami stagnasi. Pada kondisi seperti ini, (2009) menyatakan bahwa desentralisasi
desentralisasi tidak lagi solutif sebagai katalisator membawa pemerintahan lebih dekat kepada
pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat, sehingga kebutuhan layanan publik
184
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, dari memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, politik,
sudut pandang politik, desentralisasi memberikan administratif, serta geografis di daerah sehingga
kesempatan munculnya partisipasi masyarakat memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
dan kemandirian daerah serta menjamin yang berkualitas. Dengan mempertimbangkan
kecermatan pejabat publik dalam memberikan faktor-faktor tersebut, diharapkan tujuan
pelayanan kepada masyarakat (Mills, 1991 dalam desentralisasi secara politik guna mewujudkan
Domai, 2011:61) demokrasi lokal yang partisipatif dan tujuan
Cheema dan Rondinelli (2007) mendefiniskan administratif untuk efisiensi dan efektivitas
desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan, pelayanan publik, dapat tercapai. Smith
tanggung jawab, dan sumberdaya melalui menjelaskan bahwa penetapan batas daerah
dekonsentrasi, delegasi atau devolusi - dari sebagai penentuan pola spasial kehidupan sosial
pemerintah pusat kepada pemerintahan di dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi
bawahnya. Dengan adanya desentalisasi maka sub pelayanan publik. Norton menambahkan bahwa
bagian teritorial negara akan mempunyai ukuran penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi
otonomi yang akan mengatur diri sendiri melalui ekonomi dan efektivitas demokrasi. Sementara
institusi politik yang mempunyai akarnya sendiri Hoessein mendasarkan pada catchment area,
dalam wilayah dimana mereka mempunyai yakni luas wilayah yang optimal bagi pelayanan
yurisdiksi, dan institusi-institusi tersebut akan publik, pembangunan, penarikan sumber daya,
direkrut secara demokratis (Smith, 1985). partisipasi dan kontrol baik masyarakat maupun
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan birokrasi (Muluk, 2009).
yang didesentralisasikan, dibutuhkan kemampuan Aspek selanjutnya yang juga sangat penting
atau bahkan kemandirian daerah dalam adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi
melaksanakan urusan tersebut. Kemampuan masyarakat dalam perumusan agenda kebijakan
daerah dalam melaksanakan kekuasaan politik pembentukan daerah otonom seharusnya berada
untuk mengatur (regeling) dan mengurus pada titik paling sentral dan fundamental. Hal ini
(bestuur) urusan pemerintahan, bahkan pada karena esensi daerah otonom sebagai kesatuan
aspek yang paling vital yaitu kemandirian daerah masyarakat itu sendiri, sehingga kendali warga
dalam hal fiskal. Sidik dalam Yustika et al. (2008, dalam perumusan agenda kebijakan pemekaran
h. 61) menggambarkan ciri utama yang menjadi aspek yang sangat penting dalam upaya
menunjukkan suatu daerah otonom mampu membangun demokrasi lokal yang partisipatif.
berotonomi terletak pada kemampuan keuangan Arnstein yang dikutip Muluk (2007) menunjukkan
daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kadar partisipasi sebagai ladder of participation
kewenangan dan kemampuan untuk menggali (tangga partisipasi). Teori ini mengkategorikan
sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan partisipasi sebagai kekuasaan warga dalam
menggunakan keuangan sendiri yang cukup mempengaruhi perubahan dalam pembuatan
memadai untuk membiayai penyelenggaraan kebijakan. Menurut teori ini terdapat tiga derajat
pemerintahan daerahnya. Yustika et al. (2008:28) partisipasi yang kemudian diperinci lagi dalam
menjelaskan kemandirian daerah dalam delapan anak tangga partisipasi:
menyelenggarakan pemerintahan diukur dari 1. Derajat yang terendah adalah nonpartisipasi;
kemampuan menggali dan mengelola manipulasi dan terapi
keuangannya. 2. Derajat kedua merupakan derajat yang
Beberapa pandangan tentang local self- menunjukkan pertanda adanya partisipasi
government di atas, membawa kita pada satu (tokenism); pemberian informasi, konsultasi,
pemahaman bahwa kualitas otonomi daerah penetraman, dan kemitraan
salah satunya akan ditentukan oleh kemandirian 3. Derajat tertinggi adalah kendali warga yang
daerah dalam hal fiskal. Semakin banyak memberikan peluang keterlibatan lebih kuat
kebutuhan daerah yang dapat dibiayai oleh dalam pembuatan kebijakan; kuasa yang
Pendapatan Asli Daerah (PAD), kian tinggi pula didelegasi dan kendali warga.
tingkat kualitas otonomi daerah dan juga semakin Berdasarkan fenomena maraknya tuntutan
mandiri dalam bidang keuangan (Syamsi dalam pembentukan daerah otonom saat ini, maka
Yustika et al., 2008). penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan
Langkah awal untuk mewujudkan kemandirian menganalisis latar belakang tuntutan
daerah, bisa dimulai melalui proses pembentukan pembentukan daerah otonom, proses
daerah otonom. Perlu dilakukan penilaian yang pembentukan daerah otonom, dan partisipasi
komprehensif dan terukur dengan masyarakat dalam proses pembentukan daerah
185
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
186
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
187
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
menjadi pembandingnya dapat melakukan berotonomi, tapi juga kewajiban daerah yang
sesuatu maka ia pun dapat melakukan hal yang mensyaratkan kapasitas daerah dalam hal
sama) maupun idealistis (karena orang berfikir kapasitas politik, birokrasi, dan terutama
bahwa hasil kerjanya harus sebaik orang yang kapasitas fiskal, sehingga dapat menjalankan
menjadi pembandingnya) (Pruitt dan Rubin, urusan pemerintahan.
1986). Seperti temuan penelitian ini bahwa kapasitas
Keempat, adanya peluang politik bagi fiskal Kabupaten Bolaang Mongondow Timur,
munculnya aksi-aksi gerakan sosial. Gerakan sosial masih sangat rendah. Persentase Pendapatan Asli
dari masyarakat justru mendapat sokongan dari Daerah (PAD) kabupaten ini terhadap total APBD
elit politik Kabupaten Induk (Kabupaten Bolaang hanya 1,49 persen. Hal itu menggambarkan
Mongondow), serta adanya peluang bagi tingginya ketergantungan fiskal daerah ini kepada
masyarakat untuk mengusulkan pembentukan pemerintah pusat.
daerah otonom yang diatur UU 32/2004 sebagai Menurut Sidik dalam Yustika et al. (2008, h.
undang-undang pemerintahan daerah di 61), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah
Indonesia. otonom mampu berotonomi terletak pada
Dimensi peluang politik yang membentuk kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah
kemampuan gerakan sosial untuk mempengaruhi otonom harus memiliki kewenangan dan
agenda kebijakan politik diidentifikasi McAdam et kemampuan untuk menggali sumber-sumber
al. (1996:27) sebagai berikut: keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
(1) Relatif terbuka atau tertutupnya sistem keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
kelembagaan politik membiayai penyelenggaraan pemerintahan
(2) Stabilitas atau instabilitas jajaran elit yang daerahnya.
secara khusus mendasari pemerintahan Ketergantungan kepada bantuan pusat harus
(3) Ada atau tidak adanya persekutuan para elit seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya
(4) Kapasitas dan kecenderungan negara untuk pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian
menekan sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh
Fakta adanya lokalisasi kekuasaan dan gerakan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
sosial yang melatarbelakangi tuntutan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pembentukan daerah otonom dewasa ini, pemerintahan negara (Yustika et al., 2008).
menjadi bukti yang cukup bahwa desentralisasi Ketiadaan batasan atau rasio yang menjadi
belum dipahami secara utuh sebagai solusi tolok ukur dalam menentukan suatu daerah sudah
masyarakat lokal untuk keluar dari himpitan dikatakan mandiri, juga menjadi persoalan
kesejahteraan yang disebabkan rendahnya tersendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu
kemampuan administratif dalam melaksanakan menetapkan rasio kemampuan keuangan daerah
layanan publik dan rendahnya tingkat partisipasi dengan menggunakan ukuran persentase PAD
masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan terhadap total penerimaan daerah. Minimal PAD
agenda kebijakan pembangunan di daerah. mampu membiayai sebagian atau bahkan seluruh
Dimana muara keduanya adalah inefisiensi dan biaya operasional birokrasinya. Idealnya, rasio
inefektivitas pemerintahan dalam menyediakan tersebut perlu dijadikan syarat bagi calon daerah
layanan publik serta bentuk/jenis layanan yang otonom yang akan dibentuk. Atau dimungkinkan
tidak konsolidatif dengan kebutuhan masyarakat digunakan sebagai ukuran penilaian setelah suatu
di daerah. daerah dibentuk. Bilamana tidak mencapai
Lokalisasi kekuasaan hanya akan menciptakan batasan angka rasio, maka suatu daerah otonom
utilitas secara ekslusif kepada segelintir orang yang sudah dibentuk akan dihapus atau digabung
yang memegang kekuasaan. Selanjutnya gerakan kembali dengan daerah induknya.
sosial yang hanya berdiri pada aspirasi idealistis Yustika et al. (2008, h. 28) menjelaskan bahwa
akan cenderung mengesampingkan rasionalitas kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
administratif atau kapasitas daerah dalam pemerintahan diukur dari kemampuan menggali
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam dan mengelola keuangannya. Ditambahkan
pelayanan publik. Dalam kondisi seperti ini, Syamsi bahwa semakin banyak kebutuhan daerah
kemandirian daerah dianggap sebagai aspek yang yang dapat dibiayai oleh Pendapatan Asli Daerah
tidak begitu penting. (PAD), kian tinggi pula tingkat kualitas otonomi
Kemandirian daerah (local-self government) daerah dan juga semakin mandiri dalam bidang
seharusnya menjadi pertimbangan utama, karena keuangan (Yustika et al. 2008).
otonomi daerah tidak sebatas hak daerah untuk
188
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
189
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial tersendiri. Rasa identitas politik ini bertujuan
politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, agar tersedia keterwakilan dalam masyarakat
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan politik tersebut sehingga aspirasi bisa menjadi
terselenggaranya otonomi daerah. Sementara lebih didengan atau karakternya bisa lebih
syarat fisik menyangkut empat hal, yakni paling terwakili dalam proses pembuatan kebijakan.
sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan 3. Efisiensi pelayanan publik
kabupaten, lokasi calon ibukota, sarana, dan Tuntutan efisiensi ini merupakan isu yang
prasarana pemerintahan. universal karena pada dasarnya pemerintah
Pada aspek keterpenuhan syarat, Kabupaten memiliki sumber daya yang terbatas untuk
Bolaang Mongondow Timur telah memenuhi memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
syarat administratif dan fisik, namun belum Efisiensi pelayanan publik akan terjadi sejalan
memenuhi syarat teknis pada saat dibentuk. Fakta dengan prinsip subsidiaritas, yakni
tersebut menunjukkan bahwa pembentukan pengambilan keputusan kebijakan diberikan
daerah ini cenderung dipaksakan dan pada institusi terendah yang berkenaan
mengesampingkan rasionalitas administratif. dengan ruang lingkup pengambilan sumber
Kedua menunjukkan adanya inkonsistensi antara daya dan dampak yang ditimbulkan dari
implementasi pemerintah terhadap muatan UU kebijakan tersebut yang sejalan dengan batas-
32/2014, dalam hal pelaksanaan pembentukan batas institusi itu sendiri. Dengan batas
daerah otonom. daerah yang tepat akan memungkinkan biaya
Berangkat dari realitas tersebut, penataan birokrasi pelayanan publik akan menjadi lebih
daerah otonom di Indonesia perlu diarahkan rendah serta biaya koordinasi, monitoring dan
kembali pada suatu penilaian terukur yang kontrol akan lebih murah dan efektif sehingga
mengakomodasi dimensi sosial, politik, ekonomi, efektivitas pelayanan publik akan lebih besar.
administratif, serta geografis daerah. Hal ini Pertimbangan atas terciptanya iklim
penting dilakukan untuk memastikan demokrasi yang baik di tingkat lokal menjadi
terselenggaranya otonomi daerah yang sangat penting, karena salah satu tujuan politik
berkualitas serta menjamin efisiensi dan dari desentralsasi itu sendiri adalah menciptakan
efektivitas pemerintahan serta demokrasi lokal demokrasi lokal yang partisipatif. Dalam hal ini,
yang partisipatif. maka efektivitas demokrasi perlu menjadi
Berdasarkan pendapat Smith, Muluk (2009:98) pertimbangan dalam pembentukan daerah
menjelaskan bahwa penetapan batas daerah otonom, sehingga dapat membuka dan
sebagai penentuan pola spasial kehidupan sosial memperluas aksesibilitas politik bagi masyarakat
dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi terhadap formulasi dan implementasi agenda
pelayanan publik. politik kebijakan di daerah.
1. Pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi Norton (1994) yang dikutip Muluk (2009)
Jika suatu masyarakat memiliki interaksi sosial menambahkan bahwa penataan batas ini
yang erat satu sama lain serta memiliki berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan
interaksi ekonomi yang erat dalam kehidupan efektivitas demokrasi.
kesehariannya maka pada dasarnya telah a) Efisiensi ekonomi
terbentuk pola spasial sosial dan ekonomi. Pertimbangan efisiensi yang menjadi dasar
Pembedaan daerah berdasarkan karakteristik bagi penentuan batas daerah meliputi
kawasan pedesaan (rural) dan kawasan beberapa hal:
perkotaan (urban) pada dasarnya merupakan 1) Perhitungan tentang biaya perjalanan dan
salah satu contoh penentuan batas daerah komunikasi rendah sehingga
berdasarkan pola spasial kehidupan sosial dan menyebabkan efisiensi dan baiknya
ekonomi. pelayanan publik dan koordinasi
2. Rasa identitas politik pemerintahan,
Umumnya identitas politik tidak ditentukan 2) Sejauh mana pemerintah daerah mampu
oleh penguasaan partai politik tertentu dalam memenuhi kebutuhan finansial, tanah, dan
sebuah komunitas namun dipicu oleh sumber daya lainnya dari dalam daerahnya
kesamaan dalam faktor lainnya yang sendiri sehingga meminimalkan
berkembang menjadi isu politik yang sensitif ketergantungan ekonomi dari susunan
sehingga menjadi tekanan politik yang kuat pemerintahan di atasnya atau bergantung
dengan identitas politik tertentu sehingga pada daerah lainnya,
menuntut penentuan sebagai daerah otonom
190
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
191
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
Timur. Selain itu masyarakat juga menghibahkan dalam pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran,
lapangan olahraga serta meminjamkan rumah partisipasi masyarakat berada pada anak tangga
mereka untuk keperluan bangunan pemerintahan kelima, yaitu Konsultasi. Dalam ruang kedua inilah
atau digunakan untuk pembangunan terbangun partisipasi yang bersifat komunikasi
perkantoran, agar proses pembentukan dua arah. Masyarakat diundang dalam
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur segera musyawarah untuk membahas bagaimana bentuk
tercapai. kontribusi masyarakat dalam membantu proses
3.3 Pemasangan Atribut Pemekaran pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran.
Bentuk partisipasi lain yang juga dilakukan Partisipasi masyarakat dalam proses
oleh masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow pembentukan Kabupaten Bolaang Timur dapat
Timur adalah memasang umbul-umbul di bagian dikatakan relatif baik karena telah menunjukkan
depan halaman rumah yang bertuliskan ^ }oš]u adanya pertanda partisipasi (tokenism). Namun,
z •_. Istilah ^Boltim_ merupakan singkatan dari derajat partisipasi tersebut seharusnya dapat
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. didorong hingga mencapai derajat tertinggi, yakni
Arnstein yang dikutip Muluk (2007) kendali warga.
menunjukkan kadar partisipasi sebagai ladder of Pentingnya kendali warga dalam konteks
participation (tangga partisipasi). Teori ini lahirnya kebijakan/keputusan pembentukan
mengkategorikan partisipasi sebagai kekuasaan daerah otonom, juga telah diatur dengan jelas
warga dalam mempengaruhi perubahan dalam dalam muatan PP 78/2007. Pasal 16 ayat (1) PP
pembuatan kebijakan. Menurut teori ini terdapat tersebut meletakkan usulan pembentukan daerah
tiga derajat partisipasi yang kemudian diperinci otonom pada ^aspirasi sebagian besar masyarakat
lagi dalam delapan anak tangga partisipasi: setempat dalam bentuk keputusan BPD untuk
1. Derajat yang terendah adalah nonpartisipasi, Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama
yang terdiri dari dua tangga; manipulasi dan lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi
terapi. calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan
2. Derajat kedua merupakan derajat yang dimekarkan_. Dengan demikian bahwa aspirasi
menunjukkan pertanda adanya partisipasi masyarakat seharusnya menjadi landasan utama
(tokenism), terdiri dari empat tangga; dalam melaksanakan semua tahapan
pemberian informasi, konsultasi, penetraman, pembentukan daerah otonom.
dan kemitraan. Aspirasi masyarakat yang diwujudkan melalui
3. Derajat tertinggi adalah kendali warga yang partisipasi mereka dalam pembentukan daerah
memberikan peluang keterlibatan lebih kuat otonom, terutama pada tahap perumusan agenda
dalam pembuatan kebijakan, terdiri dari dua kebijakan pemekaran sampai pelaksanaannya,
tangga; kuasa yang didelegasi dan kendali harus menjadi pemegang kendali sehingga usulan
warga. pembentukan daerah otonom murni lahir sebagai
Ketiga bentuk partisipasi masyarakat di atas, kebutuhan dan keinginan seluruh masyarakat,
dapat dipisahkan kedalam dua ruang partisipasi, bukan bersifat mobilitatif.
yakni; partisipasi dalam perumusan agenda
kebijakan pemekaran, dan partisipasi dalam KESIMPULAN DAN SARAN
pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran. Kesimpulan
Dengan menggunakan kadar partisipasi (ladder of Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
participation) dalam perspektif Arnstein yang berikut:
dikutip Muluk (2007) jelas terlihat perbedaan 1. Kecenderungan untuk memekarkan lima
derajat partisipasi pada masing-masing ruang. kecamatan di Kabupaten Bolaang
Ruang pertama adalah partisipasi dalam Mongondow Timur menjadi daerah otonom
perumusan agenda kebijakan pemekaran. Pada dalam bentuk kabupaten baru
ruang ini, partisipasi masyarakat hanya berada menggambarkan kecenderungan untuk
pada anak tangga ke empat, yaitu Pemberian melokalisasi kekuasaan (localizing power).
Informasi. Masyarakat hanya menerima sosialisasi Tujuaannya adalah menciptakan pusat-pusat
dari BPD dan Pemerintah Desa tentang rencana kekuasaan baru di daerah.
dan manfaat pemekaran Kabupaten Bolaang 2. Gerakan Sosial dalam Pembentukan
Mongondow Timur, yang merupakan hasil rapat Kabupaten Bolaang Mangondow Timur
antara BPD, Pemerintah Desa, DPRD Bolaang merupakan Gerakan Reaksioner.
Mongondow, dan Panitia Pemekaran Bolaang Pembentukan daerah ini merupakan bagian
Mongondow. Sementara pada ruang kedua, dari skenario yang lebih besar untuk
192
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
193
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)
194