Anda di halaman 1dari 12

ISSN : 1411-0199

Wacana Vol. 17, No. 3 (2014)


E-ISSN : 2338-1884

Hubungan Negara-Masyarakat dalam Proses Pembentukan Daerah


Otonom di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur
Lukman Damopolii1, Bambang Supriyono1.2, Luqman Hakim1.2
1Program Magister Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi,Universitas Brawijaya
2 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Abstrak
Tuntutan pembentukan daerah otonom di Indonesia dewasa ini semakin intensif dan masif. Seringkali diartikulasikan
sebagai tuntutan politik tanpa melihat urgensi administratif sehingga cenderung mengesampingkan hakekat otonomi
daerah dan tujuan desentralisasi. Otonomi daerah masih dipahami sebatas hak daerah memperoleh otonomi, tanpa
memperhitungkan kapasitas daerah dalam berotonomi. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis latar
belakang tuntutan pembentukan, proses pembentukan, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan daerah
otonom di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisa
model Mills dan Huberman melalui langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan; pertama, latar belakang tuntutan pembentukan sebagai upaya
lokalisasi kekuasaan untuk menciptakan pusat kekuasaan baru di daerah dan faktor gerakan sosial yang dipicu konflik
sosial berbasis etnik, gerakan reaksioner, pembandingan dengan pencapaian daerah lain, serta adanya peluang politik.
Kedua, proses pembentukan terbagi dalam tiga tahap yakni sosialisasi dan konsolidasi elit, pemekaran desa dan
kecamatan, serta pendekatan dan komunikasi politik di semua tingkatan. Pada aspek keterpenuhan syarat sebagaimana
diatur UU 32/2004 dan PP 78/2007, daerah ini telah memenuhi syarat administratif dan fisik namun belum memenuhi
syarat teknis. Ketiga, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk musyawarah, pengumpulan dana dan hibah tanah
atau bangunan, serta pemasangan atribut pemekaran, sehingga secara keseluruhan telah ada pertanda partisipasi
walaupun belum sampai pada derajat kendali warga.

Kata kunci: Gerakan sosial, Lokalisasi kekuasaan, Partisipasi masyarakat, Pembentukan daerah otonom

Abstract
The demand for autonomous region establishment in Indonesia has been intensively and massively sounded. It is
articulated as political demand but disregards administrative urgency. The consequence is that the essence of local
autonomy and the decentralization goal are often understated. Local autonomy is only understood as the right of the
local to obtain autonomy without calculating local capacity for autonomy. The objective of research is to describe and to
analyze the background of the demand for autonomous region establishment, establishment process, and community
participation in the process of establishment of autonomous region of East Bolaang Mongondow District. Research
u šZ} ]• ‹µ o]š š]À Á]šZ D]o • v ,µ Œu v[• u} o v oÇ•]• š Zv]‹µ ÁZ] Z ]vvolves data collection, data reduction,
data presentation and conclusion drawing/verification. Result of research has shown that first, the background of the
demand for the establishment of autonomous region is the localization of power to create new power center in the local.
The emergence of social movement is triggered by ethnic-based social conflict, reactionary movement, reactionary
movement, the comparison with the achievement of other region, and the political opportunity. Second, the
establishment of autonomous region involves three stages, such as the socialization and consolidation of elites, the
extension of village and subdistrict, and the political approach and communication to all levels. In pursuance of Act
32/2004 and Government Regulation 78/2007, physical and administrative requirements are already verified, but
technical preconditions are still waited for validation. Third, community participation is realized through the assembly of
people, the activity of raising fund, land or building grants, and the installation of extension attribute. In general, there is
a sign of participation although it is not yet controlled by the citizen.

Keywords: autonomous region establishment, community participation, localization of power, social movement

PENDAHULUAN ekonomi, administratif, dan faktor geografis,


Maraknya tuntutan pembentukan daerah mengerucut pada keinginan masing-masing
otonom telah menjadi isu strategis dalam sistem komunitas masyarakat untuk menjadi daerah
pemerintahan daerah di Indonesia. Dinamika otonom sendiri.
masyarakat lokal yang dipicu faktor sosial, politik,

Alamat Korespondensi Penulis: Alamat : Magister Administrasi Publik, Universitas


Lukman Damopolii Brawijaya Fakultas Ilmu Administrasi
Email : lukmandamopolii@gmail.com

183
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

Pasca reformasi, jumlah daerah otonom baru dan pemerataan kehidupan sosial, ekonomi,
(DOB) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang maupun politik bagi masyarakat lokal, namun
sangat masif. Merujuk pada lampiran semata-mata menjadi instrumen politik untuk
Permendagri Nomor 21 tahun 2010, data daerah bagi-bagi kekuasaan ke daerah. Sehingga itu
otonom di Indonesia sebelum diberlakukannya dalam pembentukan daerah otonom, negara
UU Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 daerah perlu memperhitungkan dengan cermat kondisi-
otonom yang terdiri dari; 26 Provinsi, 234 kondisi ideal di daerah yang dapat mendukung
Kabupaten dan 59 Kota. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang mencakup
diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 dimensi sosial, politik, ekonomi, geografi, dan
tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk administrasi.
banyak DOB di Indonesia. Data Ditjen Otonomi Negara merupakan institusi yang menjamin
Daerah Depdagri menunjukkan jumlah daerah seluruh komunitas masyarakat yang ada di
otonom di Indonesia sampai tahun 2009 telah dalamnya untuk mencapai kesejahteraan
menjadi 530 daerah otonom, dengan rincian; 33 bersama. Esensi negara menurut Plato dan
provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota. Aristoteles hampir serupa. Plato mendefiniskan
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur negara sebagai entitas yang terdiri dari bagian-
merupakan daerah otonom baru di Indonesia bagian yang berbeda yang saling melengkapi dan
yang terbentuk pada tahun 2008. Termasuk dalam saling tergantung dan bertindak bersama-sama
cakupan wilayah Provinsi Sulawesi Utara dan dalam mengejar tujuan bersama (Ebyhara, 2010).
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sementara menurut Aristoteles, negara adalah
Bolaang Mongondow. Daerah ini terbentuk komunitas keluarga dan kumpulan keluarga yang
melalui proses dan dinamika sosial politik yang sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan
panjang. Selain untuk memenuhi harapan berkecukupan (Ebyhara, 2010). Selain itu
masyarakat atas meningkatnya kualitas layanan Hetherington menganggap bahwa negara sebagai
publik, tuntutan pembentukan daerah ini nampak institusi atau seperangkat institusi yang
sebagai bentuk perjuangan sosial dan politik dari menyatukan penduduknya dalam suatu wilayah
masyarakat dan elit lokal. Pada satu sisi, teritorial yang ditandai secara jelas di bawah
kontestasi sosial ini dipicu konflik sosial berbasis otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya
etnik yang membentuk aspirasi masyarakat etnis tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama
mongondow untuk menjadi daerah otonom (Strong, 2008).
provinsi. Sementara di sisi lain, didorong oleh Fungsi negara sebagai sebuah institusi untuk
agenda terselubung elit lokal untuk melokalisasi mencapai kesejahteraan bersama menjadi
kekuasaan atau menciptakan pusat kekuasaan berkurang, manakala kesejahteraan rakyatnya
baru di daerah. rendah atau tidak merata. Kondisi seperti ini
Dengan tetap memperhatikan dimensi sosial disebabkan banyak aspek yang dapat
politik yang membentuk tuntutan masyarakat menghambat negara dalam menyelenggarakan
untuk berotonomi (political demand), negara urusan pemerintahan.
dituntut untuk berani memberi penilaian yang Salah satu hambatan negara adalah sistem
bersifat administratif (administrative needs). pemerintahan yang sentralistik. Sistem
Benarkah melalui kerangka division power ke sentralistik menyebabkan pemerintah pusat
daerah, urusan pemerintahan dalam konteks kurang mampu merespon kebutuhan masyarakat
pelayanan publik akan terlaksana secara efisien di tingkat lokal yang pada hakekatnya berbeda-
dan efektif serta terjadi peningkatan partisipasi beda mengikuti kondisi demografis dan geografis
masyarakat. Keduanya perlu menjadi landasan setempat. Sementara pada aspek administratif,
dan jaminan bagi negara dalam melaksanakan rentang kendali pemerintahan yang panjang
desentralisasi. dengan kewenangan terpusat dan hierarkis
Pada saat yang sama, ketika melihat menyebabkan penyelenggaraan urusan
keterbatasan negara dalam hal sumberdaya fiskal, pemerintahan menjadi lamban dan seringkali
dengan banyaknya daerah otonom yang akan tidak tepat sasaran. Pada akhirnya perubahan
dibentuk tentunya akan meningkatkan alokasi sistem pemerintahan daerah menuju arah
anggaran negara, sementara hasilnya desentralisasi, menjadi sebuah kebutuhan.
kesejahteraan dan partisipasi masyarakat tetap Suharyo yang dikutip Holztappel dan Ramstedt
mengalami stagnasi. Pada kondisi seperti ini, (2009) menyatakan bahwa desentralisasi
desentralisasi tidak lagi solutif sebagai katalisator membawa pemerintahan lebih dekat kepada
pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat, sehingga kebutuhan layanan publik

184
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, dari memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, politik,
sudut pandang politik, desentralisasi memberikan administratif, serta geografis di daerah sehingga
kesempatan munculnya partisipasi masyarakat memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
dan kemandirian daerah serta menjamin yang berkualitas. Dengan mempertimbangkan
kecermatan pejabat publik dalam memberikan faktor-faktor tersebut, diharapkan tujuan
pelayanan kepada masyarakat (Mills, 1991 dalam desentralisasi secara politik guna mewujudkan
Domai, 2011:61) demokrasi lokal yang partisipatif dan tujuan
Cheema dan Rondinelli (2007) mendefiniskan administratif untuk efisiensi dan efektivitas
desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan, pelayanan publik, dapat tercapai. Smith
tanggung jawab, dan sumberdaya melalui menjelaskan bahwa penetapan batas daerah
dekonsentrasi, delegasi atau devolusi - dari sebagai penentuan pola spasial kehidupan sosial
pemerintah pusat kepada pemerintahan di dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi
bawahnya. Dengan adanya desentalisasi maka sub pelayanan publik. Norton menambahkan bahwa
bagian teritorial negara akan mempunyai ukuran penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi
otonomi yang akan mengatur diri sendiri melalui ekonomi dan efektivitas demokrasi. Sementara
institusi politik yang mempunyai akarnya sendiri Hoessein mendasarkan pada catchment area,
dalam wilayah dimana mereka mempunyai yakni luas wilayah yang optimal bagi pelayanan
yurisdiksi, dan institusi-institusi tersebut akan publik, pembangunan, penarikan sumber daya,
direkrut secara demokratis (Smith, 1985). partisipasi dan kontrol baik masyarakat maupun
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan birokrasi (Muluk, 2009).
yang didesentralisasikan, dibutuhkan kemampuan Aspek selanjutnya yang juga sangat penting
atau bahkan kemandirian daerah dalam adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi
melaksanakan urusan tersebut. Kemampuan masyarakat dalam perumusan agenda kebijakan
daerah dalam melaksanakan kekuasaan politik pembentukan daerah otonom seharusnya berada
untuk mengatur (regeling) dan mengurus pada titik paling sentral dan fundamental. Hal ini
(bestuur) urusan pemerintahan, bahkan pada karena esensi daerah otonom sebagai kesatuan
aspek yang paling vital yaitu kemandirian daerah masyarakat itu sendiri, sehingga kendali warga
dalam hal fiskal. Sidik dalam Yustika et al. (2008, dalam perumusan agenda kebijakan pemekaran
h. 61) menggambarkan ciri utama yang menjadi aspek yang sangat penting dalam upaya
menunjukkan suatu daerah otonom mampu membangun demokrasi lokal yang partisipatif.
berotonomi terletak pada kemampuan keuangan Arnstein yang dikutip Muluk (2007) menunjukkan
daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kadar partisipasi sebagai ladder of participation
kewenangan dan kemampuan untuk menggali (tangga partisipasi). Teori ini mengkategorikan
sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan partisipasi sebagai kekuasaan warga dalam
menggunakan keuangan sendiri yang cukup mempengaruhi perubahan dalam pembuatan
memadai untuk membiayai penyelenggaraan kebijakan. Menurut teori ini terdapat tiga derajat
pemerintahan daerahnya. Yustika et al. (2008:28) partisipasi yang kemudian diperinci lagi dalam
menjelaskan kemandirian daerah dalam delapan anak tangga partisipasi:
menyelenggarakan pemerintahan diukur dari 1. Derajat yang terendah adalah nonpartisipasi;
kemampuan menggali dan mengelola manipulasi dan terapi
keuangannya. 2. Derajat kedua merupakan derajat yang
Beberapa pandangan tentang local self- menunjukkan pertanda adanya partisipasi
government di atas, membawa kita pada satu (tokenism); pemberian informasi, konsultasi,
pemahaman bahwa kualitas otonomi daerah penetraman, dan kemitraan
salah satunya akan ditentukan oleh kemandirian 3. Derajat tertinggi adalah kendali warga yang
daerah dalam hal fiskal. Semakin banyak memberikan peluang keterlibatan lebih kuat
kebutuhan daerah yang dapat dibiayai oleh dalam pembuatan kebijakan; kuasa yang
Pendapatan Asli Daerah (PAD), kian tinggi pula didelegasi dan kendali warga.
tingkat kualitas otonomi daerah dan juga semakin Berdasarkan fenomena maraknya tuntutan
mandiri dalam bidang keuangan (Syamsi dalam pembentukan daerah otonom saat ini, maka
Yustika et al., 2008). penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan
Langkah awal untuk mewujudkan kemandirian menganalisis latar belakang tuntutan
daerah, bisa dimulai melalui proses pembentukan pembentukan daerah otonom, proses
daerah otonom. Perlu dilakukan penilaian yang pembentukan daerah otonom, dan partisipasi
komprehensif dan terukur dengan masyarakat dalam proses pembentukan daerah

185
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

otonom di Kabupaten Bolaang Mongondow kepegawaian (kekuasaan dalam menentukan


Timur. prasyarat, penetapan, penunjukkan, pemindahan,
pengawasan, dan penegakkan disiplin). Artinya
METODE PENELITIAN terdapat tiga bentuk kekuasaan yang diserahkan
Metode penelitian yang digunakan adalah ke daerah, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan
metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif fiskal, dan kekuasaan birokrasi.
disesuaikan dengan tujuan penelitian, yang Adanya kekuasaan yang diserahkan kepada
bermaksud mendapatkan gambaran tentang daerah otonom tersebut secara empirik memicu
perilaku-perilaku manusia baik secara individu upaya lokalisasi kekuasaan untuk menciptakan
maupun kelompok dalam lingkup interaksi sosial. pusat kekuasaan baru di daerah. Lokalisasi
Sugiyono (2009) menegaskan kapan metode kekuasaan (localisation of power) dapat dilihat
kualitatif digunakan, yaitu termasuk didalamnya dari dinamika politik dalam pemilihan dan partai
ketika penelitian bermaksud memahami interaksi politik (Hadiz, 2011;63). Hadiz melanjutkan bahwa
sosial dan memahami perasaan orang, maka dinamika dalam pemilihan dan partai politik dapat
penelitian seyogyanya menggunakan metode memberi petunjuk penting mengenai alam
kualitatif. lokalisasi kekuasaan. Keduanya memberi
Metode Pengumpulan Data pengetahuan mengenai cara lembaga-lembaga
Metode pengumpulan data dilakukan dengan desentralisasi dan demokrasi di tingkat lokal
teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. sebenarnya berjalan dan jenis-jenis kepentingan
Moleong (2011:234) menyebutkan bahwa data yang mereka kedepankan dan kesampingkan
dapat dikumpulkan melalui wawancara, (Hadiz, 2011:63).
pengamatan, dari dokumen atau secara gabungan Pembentukan Kabupaten Bolaang
daripadanya. Penggunaan masing-masing teknik Mongondow Timur salah satunya dilatarbelakangi
pengumpulan data tersebut dipilih mengikuti jenis oleh upaya untuk menciptakan pusat kekuasaan
data yang ingin diperoleh peneliti. baru di daerah. Tujuannya adalah:
Metode Analisis Data 1. Meningkatkan dana perimbangan dari
Teknik analisis data yang digunakan adalah pemerintah pusat (dana alokasi umum
model Mills dan Huberman, dengan maupun dana alokasi khusus)
langkah/tahapan; pengumpulan data (data 2. Meningkatkan jumlah jabatan politik di daerah
collecting), reduksi data (data reduction), (Keanggotaan/Kursi DPRD dan Jabatan Bupati)
penyajian data (data display), dan penarikan 3. Meningkatkan komposisi dan jumlah jabatan
kesimpulan / verifikasi (conclusion drawing / Birokrasi di daerah
verification). Temuan di atas semakin diperkuat oleh fakta
empirik dimana elit lokal yang berperan dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN proses pembentukan Kabupaten Bolaang
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Mongondow Timur, selanjutnya menjadi aktor-
merupakan daerah otonom baru yang termasuk aktor politik lokal, pelaksana (kontraktor) proyek
dalam cakupan wilayah Provinsi Sulawesi Utara. pembangunan daerah, dan pejabat teras di
Daerah ini merupakan hasil pemekaran dari birokrasi, pasca daerah ini terbentuk.
Kabupaten Bolaang Mongondow, yang dibentuk Elit-elit politik lokal seperti mantan wakil
pada tahun 2008 melalui UU 29/2008. bupati dan ketua DPRD Kabupaten Bolaang
1. Latar Belakang Tuntutan Pembentukan Mongondow (daerah induk), keduanya menjadi
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur calon Bupati daerah ini. Adapun Ketua panitia
1.1 Lokalisasi Kekuasaan pemekaran mencalonkan diri sebagai Wakil
Muluk (2009) menyebutkan bahwa ada tiga Walikota Kotamobagu (salah satu daerah hasil
kategori kekuasaan yang didesentralisasikan pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow).
kepada daerah otonom, yakni kekuasaan dalam Sementara elit politik yang lain menjadi calon
pembuatan kebijakan yang mencakup baik anggota DPRD dan atau menjadi ketua partai
kekuasaan mengatur (policy making atau politik pada Pemilu 2009, dimana sebagian besar
regeling) dan mengurus (policy executing atau dari mereka terpilih menjadi anggota DPRD.
bestuur), kekuasaan keuangan yang menunjukkan Para elit ekonomi yang memiliki andil dalam
adanya desentralisasi fiskal yang berarti ada pemekaran, menjadi pelaksana (kontraktor)
distribusi kekuasaan untuk memutuskan sendiri proyek-proyek pembangunan di daerah,
penerimaan (revenue) dan pengeluaran sementara sebagian lainnya ikut terjun dalam
(expenditure), serta kekuasaan bidang dunia politik. Selanjutnya semua elit birokrasi

186
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

(perangkat daerah) menduduki jabatan-jabatan masyarakat etnis mongondow sehingga menuntut


strategis di lingkungan pemerintahan daerah. pembentukan daerahnya menjadi sebuah
Beberapa camat dan PNS yang ikut berperan Provinsi. Para ahli psikologis seperti Horton dan
dalam pemekaran, saat ini menjadi kepala Hunt serta ahli sosiologis (Gidden, Kornblum,
dinas/badan di beberapa SKPD. Light, Keller dan Calhoun) menjelaskan bahwa
Lokalisasi kekuasaan seperti ini dapat orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena
dikategorikan sebagai patologi desentalisasi. menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan dan
Kekuasaan semata-mata diciptakan namun tidak penderitaan), misalnya di bidang ekonomi (seperti
dapat dinikmati secara insklusif oleh segenap hilangnya peluang untuk dapat memenuhi
masyarakat. Hal seperti ini cenderung kebutuhan-kebutuhan pokoknya; pangan,
mengesampingkan hakekat otonomi. Padahal sandang dan papan) (Sahid, 2011).
desentralisasi memiliki tujuan administratif dan Kedua, adanya gerakan reaksioner. Upaya
tujuan politik yang seharusnya menjadi dasar masyarakat Bolaang Mongondow untuk
pembentukan daerah otonom. Pada hakekatnya memekarkan diri menjadi provinsi juga
desentralisasi untuk mendekatkan pemerintahan dilatarbelakangi aspek historis masyarakat
kepada masyarakat sehingga dapat mendorong Bolaang Mongondow, dimana dahulu daerah
efisiensi dan efektivitas pemerintahan dalam Bolaang Mongondow merupakan satu kerajaan.
pelayanan publik serta menciptakan demokrasi Kornblum dalam Sahid (2011)
lokal yang partisipatif. mengkategorisasikan ini sebagai gerakan
Suharyo yang dikutip Holztappel dan Ramstedt reaksioner; manakala tujuannya adalah untuk
(2009) menyatakan bahwa desentralisasi kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan
membawa pemerintahan lebih dekat kepada meninggalkan institusi dan nilai masa kini.
masyarakat, sehingga kebutuhan layanan publik Gerakan reaksioner ini perlu mendapat perhatian
menjadi lebih efektif dan efisien. Dari sudut dari negara, karena bilamana aspek ini telah
pandang politik, desentralisasi memberikan mendominasi aspirasi atau usulan pembentukan
kesempatan munculnya partisipasi masyarakat daerah otonom berikutnya, maka bisa diprediksi
dan kemandirian daerah serta menjamin daerah otonom di Indonesia pada masa
kecermatan pejabat publik dalam memberikan mendatang akan terbagi menurut batas-batas
pelayanan kepada masyarakat (Mills, 1991 dalam sosial masyarakat di masa lampau. Indikator yang
Domai, 2011:61). paling nampak adalah batas-batas kerajaan yang
pernah ada. Secara matematis jumlah daerah
otonom provinsi akan linier dengan jumlah
1.2 Gerakan Sosial kerajaan yang pernah ada di Indonesia.
Relasi antara negara dan masyarakat sipil Ketiga, adanya pembandingan dengan
seringkali bertransformasi melalui aksi-aksi pencapaian daerah atau komunitas masyarakat
gerakan sosial (Faulks, 1999:139). Dalam konteks lainnya. Terlihat upaya masyarakat Bolaang
pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Mongondow untuk menjadi Provinsi sangat
Timur, selain bertujuan membentuk daerah dipengaruhi oleh pembentukan provinsi
otonom kabupaten itu sendiri, juga merupakan gorontalo yang masyarakatnya mayoritas etnis
bagian dari skenario besar masyarakat etnis gorontalo. Selanjutnya oleh pembentukan
Mongondow untuk membentuk Provinsi Bolaang Kabupaten Minahasa Tenggara yang belum
Mongondow. Gerakan sosial menjadi metode memenuhi syarat, sebagai buah inkonsistensi
masyarakat untuk mempengaruhi agenda pemerintah. Kedua aspek tersebut kemudian
kebijakan negara (pemerintah) karena dipicu membentuk aspirasi masyarakat etnis
beberapa variabel. Mongondow (umumnya) dan masyarakat Bolaang
Pertama, adanya konflik sosial berbasis etnik. Mongondow Timur (khususnya) untuk
Konflik ini dipicu oleh dominasi etnis minahasa membentuk daerah otonom Kabupaten sebagai
dalam dimensi struktural pemerintahan Provinsi agenda awal dalam rangka memenuhi syarat fisik
Sulawesi Utara yang sudah berlangsung lama. Hal guna pembentukan Provinsi Bolaang
tersebut menyebabkan ketidakadilan sosial dan Mongondow. Pruitt dan Rubin (1986)
ketimpangan ekonomi sebagai dampak kurangnya menyebutnya invidious comparison
aksesibilitas masyarakat etnis mongondow (pembandingan yang menyakitkan hati). Invidious
terhadap agenda politik kebijakan daerah. Dengan comparison dapat menstimulasi peningkatan
kata lain menciptakan deprivasi secara politik, aspirasi untuk alasan yang dianggap realistis
ekonomi, maupun sosial yang dirasakan (karena rasanya masuk akal bila orang yang

187
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

menjadi pembandingnya dapat melakukan berotonomi, tapi juga kewajiban daerah yang
sesuatu maka ia pun dapat melakukan hal yang mensyaratkan kapasitas daerah dalam hal
sama) maupun idealistis (karena orang berfikir kapasitas politik, birokrasi, dan terutama
bahwa hasil kerjanya harus sebaik orang yang kapasitas fiskal, sehingga dapat menjalankan
menjadi pembandingnya) (Pruitt dan Rubin, urusan pemerintahan.
1986). Seperti temuan penelitian ini bahwa kapasitas
Keempat, adanya peluang politik bagi fiskal Kabupaten Bolaang Mongondow Timur,
munculnya aksi-aksi gerakan sosial. Gerakan sosial masih sangat rendah. Persentase Pendapatan Asli
dari masyarakat justru mendapat sokongan dari Daerah (PAD) kabupaten ini terhadap total APBD
elit politik Kabupaten Induk (Kabupaten Bolaang hanya 1,49 persen. Hal itu menggambarkan
Mongondow), serta adanya peluang bagi tingginya ketergantungan fiskal daerah ini kepada
masyarakat untuk mengusulkan pembentukan pemerintah pusat.
daerah otonom yang diatur UU 32/2004 sebagai Menurut Sidik dalam Yustika et al. (2008, h.
undang-undang pemerintahan daerah di 61), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah
Indonesia. otonom mampu berotonomi terletak pada
Dimensi peluang politik yang membentuk kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah
kemampuan gerakan sosial untuk mempengaruhi otonom harus memiliki kewenangan dan
agenda kebijakan politik diidentifikasi McAdam et kemampuan untuk menggali sumber-sumber
al. (1996:27) sebagai berikut: keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
(1) Relatif terbuka atau tertutupnya sistem keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
kelembagaan politik membiayai penyelenggaraan pemerintahan
(2) Stabilitas atau instabilitas jajaran elit yang daerahnya.
secara khusus mendasari pemerintahan Ketergantungan kepada bantuan pusat harus
(3) Ada atau tidak adanya persekutuan para elit seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya
(4) Kapasitas dan kecenderungan negara untuk pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian
menekan sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh
Fakta adanya lokalisasi kekuasaan dan gerakan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
sosial yang melatarbelakangi tuntutan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pembentukan daerah otonom dewasa ini, pemerintahan negara (Yustika et al., 2008).
menjadi bukti yang cukup bahwa desentralisasi Ketiadaan batasan atau rasio yang menjadi
belum dipahami secara utuh sebagai solusi tolok ukur dalam menentukan suatu daerah sudah
masyarakat lokal untuk keluar dari himpitan dikatakan mandiri, juga menjadi persoalan
kesejahteraan yang disebabkan rendahnya tersendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu
kemampuan administratif dalam melaksanakan menetapkan rasio kemampuan keuangan daerah
layanan publik dan rendahnya tingkat partisipasi dengan menggunakan ukuran persentase PAD
masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan terhadap total penerimaan daerah. Minimal PAD
agenda kebijakan pembangunan di daerah. mampu membiayai sebagian atau bahkan seluruh
Dimana muara keduanya adalah inefisiensi dan biaya operasional birokrasinya. Idealnya, rasio
inefektivitas pemerintahan dalam menyediakan tersebut perlu dijadikan syarat bagi calon daerah
layanan publik serta bentuk/jenis layanan yang otonom yang akan dibentuk. Atau dimungkinkan
tidak konsolidatif dengan kebutuhan masyarakat digunakan sebagai ukuran penilaian setelah suatu
di daerah. daerah dibentuk. Bilamana tidak mencapai
Lokalisasi kekuasaan hanya akan menciptakan batasan angka rasio, maka suatu daerah otonom
utilitas secara ekslusif kepada segelintir orang yang sudah dibentuk akan dihapus atau digabung
yang memegang kekuasaan. Selanjutnya gerakan kembali dengan daerah induknya.
sosial yang hanya berdiri pada aspirasi idealistis Yustika et al. (2008, h. 28) menjelaskan bahwa
akan cenderung mengesampingkan rasionalitas kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
administratif atau kapasitas daerah dalam pemerintahan diukur dari kemampuan menggali
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam dan mengelola keuangannya. Ditambahkan
pelayanan publik. Dalam kondisi seperti ini, Syamsi bahwa semakin banyak kebutuhan daerah
kemandirian daerah dianggap sebagai aspek yang yang dapat dibiayai oleh Pendapatan Asli Daerah
tidak begitu penting. (PAD), kian tinggi pula tingkat kualitas otonomi
Kemandirian daerah (local-self government) daerah dan juga semakin mandiri dalam bidang
seharusnya menjadi pertimbangan utama, karena keuangan (Yustika et al. 2008).
otonomi daerah tidak sebatas hak daerah untuk

188
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

Upaya meningkatkan kemampuan manfaat pemekaran sekaligus meminta


penerimaan daerah, khususnya penerimaan dari tanggapan dan persetujuan dari seluruh peserta
pendapatan asli daerah, harus diarahkan pada yang hadir tentang rencana pembentukan
usaha-usaha yang terus menerus dan berlanjut Kabupaten Bolaang Mongondow Timur itu sendiri.
agar pendapatan asli tersebut terus meningkat, Rapat menghasilkan keputusan bahwa seluruh
sehingga pada akhirnya diharapkan dapat BPD, Pemerintah Desa serta tokoh-tokoh
memperkecil ketergantungan terhadap sumber masyarakat mendukung sepenuhnya
penerimaan dari pemerintah di atasnya pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow
(pemerintah pusat) (Yustika et al. 2008:63). Dalam Timur, kemudian mensosialisasikan kepada
upaya meningkatkan pendapatan asli daerah masyarakat tentang hasil keputusan rapat
tersebut pada dasarnya dapat ditempuh melalui tersebut.
upaya intensifikasi dan ekstensifikasi (Yustika et b. Pemekaran Desa dan Kecamatan
al. 2008:63-68). Pada tahun 2005 jumlah kecamatan dan desa
Dipandang dari sudut komunikasi antar yang berada di wilayah cakupan Kabupaten
budaya, otonomi yang nantinya akan dinikmati Bolaang Mongondow Timur terdiri dari 3
oleh daerah-daerah dengan sistem budaya yang kecamatan dan 33 desa. Melalui upaya-upaya
beraneka ragam mengandung di dalamnya pemekaran desa yang telah mulai dilakukan
berbagai masalah, khususnya bila otonomi daerah ini dari tahun 2005 sampai awal tahun
tersebut ditafsirkan semata sebagai alat untuk 2008, telah terbentuk 18 desa dan 2 kecamatan
menjaga kepentingan diri sendiri (daerah, suku, baru, sehingga total cakupan wilayahnya menjadi
agama), maka ia akan menjadi sebuah faktor 51 desa dan 5 kecamatan. Upaya pemekaran desa
penghambat komunikasi antarbudaya (Piliang, dan kecamatan dilakukan semata-mata untuk
2005). Oleh karena itu maka di era otonomi memenuhi syarat fisik kewilayahan.
daerah ini yang dibangun tidak hanya kebebasan c. Pendekatan dan Komunikasi Politik di semua
daerah dalam menentukan dirinya sendiri Tingkatan
(monologisme), akan tetapi bagaimana dapat Panitia Pemekaran Bolaang Mongondow
dikembangkan sikap yang menganggap penting selaku organisasi yang dibentuk untuk
interaksi dan komunikasi dengan daerah-daerah menyiapkan segala kebutuhan pemekaran,
lainnya (otonomi dialogis) (Piliang, 2005). menjadi aktor penentu yang melakukan
Negara harus kembali diperkuat sehingga pendekatan dan komunikasi politik dengan semua
menjadi institusi yang tegas dalam melakukan level pemerintahan mulai dari DPRD dan Bupati
pengaturan distribusi kekuasaan sehingga Bolaang Mongondow, DPRD dan Gubernur
kesejahteraan rakyat dapat tercapai dan Sulawesi Utara, sampai Kementerian Dalam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Negeri, bahkan sampai melakukan pendekatan
tetap terjaga. Sebagaimana dinyatakan Wilson dan komunikasi politik dengan beberapa anggota
bahwa negara adalah orang-orang yang diatur DPR RI melalui Partai Politik. Huntington dan
menurut hukum dalam suatu batas wilayah Nielson dalam Sahid (2011) menjelaskan bahwa
teritorial tertentu (Strong, 2008). mencari koneksi (contacting) adalah tindakan
2. Proses Pembentukan Kabupaten Bolaang perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-
Mongondow Timur pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud
Dalam penelitian ini, proses pembentukan memperoleh manfaat baik hanya seorang atau
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dianalisis beberapa orang.
melalui dua bagian yakni tahapan pembentukan 2.2 Keterpenuhan Syarat
dan keterpenuhan syarat. Pembentukan daerah otonom di Indonesia
2.1 Tahapan Pembentukan memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana
a. Sosialisasi dan konsolidasi elit tertuang dalam UU 32/2004 tentang
Untuk mendapatkan persetujuan Badan pemerintahan daerah. Dalam pasal 5 UU tersebut
Perwakilan Desa (BPD) di semua desa yang ada dikatakan bahwa pembentukan daerah harus
dalam calon cakupan wilayah Kabupaten Bolaang memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik
Mongondow Timur, Panitia Pemekaran bersama kewilayahan. Syarat administratif meliputi tiga
DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow menggelar aspek, yakni; persetujuan DPRD kabupaten/kota
rapat konsolidasi yang dihadiri oleh seluruh BPD, dan Bupati/Walikota yang bersangkutan,
Pemerintah Desa serta tokoh-tokoh masyarakat. persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur, dan
Panitia Pemekaran dan DPRD Kabupaten Bolaang rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis
Mongondow mensosialisasikan tentang manfaat- mencakup sebelas faktor, yaitu kemampuan

189
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial tersendiri. Rasa identitas politik ini bertujuan
politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, agar tersedia keterwakilan dalam masyarakat
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan politik tersebut sehingga aspirasi bisa menjadi
terselenggaranya otonomi daerah. Sementara lebih didengan atau karakternya bisa lebih
syarat fisik menyangkut empat hal, yakni paling terwakili dalam proses pembuatan kebijakan.
sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan 3. Efisiensi pelayanan publik
kabupaten, lokasi calon ibukota, sarana, dan Tuntutan efisiensi ini merupakan isu yang
prasarana pemerintahan. universal karena pada dasarnya pemerintah
Pada aspek keterpenuhan syarat, Kabupaten memiliki sumber daya yang terbatas untuk
Bolaang Mongondow Timur telah memenuhi memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
syarat administratif dan fisik, namun belum Efisiensi pelayanan publik akan terjadi sejalan
memenuhi syarat teknis pada saat dibentuk. Fakta dengan prinsip subsidiaritas, yakni
tersebut menunjukkan bahwa pembentukan pengambilan keputusan kebijakan diberikan
daerah ini cenderung dipaksakan dan pada institusi terendah yang berkenaan
mengesampingkan rasionalitas administratif. dengan ruang lingkup pengambilan sumber
Kedua menunjukkan adanya inkonsistensi antara daya dan dampak yang ditimbulkan dari
implementasi pemerintah terhadap muatan UU kebijakan tersebut yang sejalan dengan batas-
32/2014, dalam hal pelaksanaan pembentukan batas institusi itu sendiri. Dengan batas
daerah otonom. daerah yang tepat akan memungkinkan biaya
Berangkat dari realitas tersebut, penataan birokrasi pelayanan publik akan menjadi lebih
daerah otonom di Indonesia perlu diarahkan rendah serta biaya koordinasi, monitoring dan
kembali pada suatu penilaian terukur yang kontrol akan lebih murah dan efektif sehingga
mengakomodasi dimensi sosial, politik, ekonomi, efektivitas pelayanan publik akan lebih besar.
administratif, serta geografis daerah. Hal ini Pertimbangan atas terciptanya iklim
penting dilakukan untuk memastikan demokrasi yang baik di tingkat lokal menjadi
terselenggaranya otonomi daerah yang sangat penting, karena salah satu tujuan politik
berkualitas serta menjamin efisiensi dan dari desentralsasi itu sendiri adalah menciptakan
efektivitas pemerintahan serta demokrasi lokal demokrasi lokal yang partisipatif. Dalam hal ini,
yang partisipatif. maka efektivitas demokrasi perlu menjadi
Berdasarkan pendapat Smith, Muluk (2009:98) pertimbangan dalam pembentukan daerah
menjelaskan bahwa penetapan batas daerah otonom, sehingga dapat membuka dan
sebagai penentuan pola spasial kehidupan sosial memperluas aksesibilitas politik bagi masyarakat
dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi terhadap formulasi dan implementasi agenda
pelayanan publik. politik kebijakan di daerah.
1. Pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi Norton (1994) yang dikutip Muluk (2009)
Jika suatu masyarakat memiliki interaksi sosial menambahkan bahwa penataan batas ini
yang erat satu sama lain serta memiliki berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan
interaksi ekonomi yang erat dalam kehidupan efektivitas demokrasi.
kesehariannya maka pada dasarnya telah a) Efisiensi ekonomi
terbentuk pola spasial sosial dan ekonomi. Pertimbangan efisiensi yang menjadi dasar
Pembedaan daerah berdasarkan karakteristik bagi penentuan batas daerah meliputi
kawasan pedesaan (rural) dan kawasan beberapa hal:
perkotaan (urban) pada dasarnya merupakan 1) Perhitungan tentang biaya perjalanan dan
salah satu contoh penentuan batas daerah komunikasi rendah sehingga
berdasarkan pola spasial kehidupan sosial dan menyebabkan efisiensi dan baiknya
ekonomi. pelayanan publik dan koordinasi
2. Rasa identitas politik pemerintahan,
Umumnya identitas politik tidak ditentukan 2) Sejauh mana pemerintah daerah mampu
oleh penguasaan partai politik tertentu dalam memenuhi kebutuhan finansial, tanah, dan
sebuah komunitas namun dipicu oleh sumber daya lainnya dari dalam daerahnya
kesamaan dalam faktor lainnya yang sendiri sehingga meminimalkan
berkembang menjadi isu politik yang sensitif ketergantungan ekonomi dari susunan
sehingga menjadi tekanan politik yang kuat pemerintahan di atasnya atau bergantung
dengan identitas politik tertentu sehingga pada daerah lainnya,
menuntut penentuan sebagai daerah otonom

190
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

3) Minimalisasi biaya eksternal yang berasal terlaksananya otonomi daerah. Melalui


dari daerah lainnya sehingga dapat pertimbangan yang kohesif dan integratif atas
menyebabkan biaya tambahan bagi suatu dimensi sosial, politik, administratif, ekonomi, dan
daerah, geografis. Bahkan pada aspek yang paling penting,
4) Kemampuan melakukan fasilitasi perlu mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal
kolaborasi dan koordinasi diantara (local wisdom) yang ada pada masing-masing
berbagai janis pelayanan yang diberikan daerah.
dan lembaga pelayanan yang ada,
3. Partisipasi Masyarakat
5) Kemampuan untuk menyesuaikan wilayah
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam
dengan lembaga-lembaga swasta,
proses pembentukan Kabupaten Bolaang
masyarakat, dan pemerintah beserta
Mongondow Timur adalah:
berbagai kepentingan terkait untuk
3.1 Musyawarah
memfasilitasi kerja sama dan koordinasi
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat
guna kepentingan bersama dan
dalam proses pembentukan Kabupaten Bolaang
interdependensi antar lembaga tersebut.
Mongondow Timur adalah melalui mekanisme
b) Efektivitas demokrasi
musyawarah. Namun musyawarah yang
Penetapan batas daerah diharapkan
seharusnya menjadi forum konsultatif guna
mampu menjamin beberapa hal:
membahas perlu tidaknya agenda pembentukan
1) Batas daerah yang tepat akan mampu
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur itu sendiri,
mengeksplorasi dengan tepat tentang apa
hanya bersifat satu arah. Musyawarah sekedar
saja yang diinginkan oleh para pemilih,
menjadi forum sosialisasi oleh BPD dan
2) Batas daerah yang tepat akan menjamin
Pemerintah Desa tentang rencana pembentukan
keterwakilan yang adil bagi kaum
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, yang
minoritas,
merupakan tindak lanjut dari hasil rapat antara
3) Mudahnya aksesibilitas penduduk dalam
seluruh BPD dan Pemerintah Desa se-Kabupaten
memilih anggota dewan dan pejabat
Bolaang Mongondow Timur bersama Panitia
pemerintah daerah,
Pemekaran Bolaang Mongondow.
4) Pemahaman publik terhadap sistem dan
Sisk et al. (2001, h. 15) terkait pentingnya
tujuan Pemerintahan Daerah,
musyawarah, bahwa demokrasi bukanlah semata
5) Rentang kendali kekuasaan dan tanggung
berarti pemilu. Didalamnya terkandung unsur-
jawab yang mendukung pemerintah
unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi
daerah untuk merespons kebutuhan
yang bermakna, yang muaranya adalah mencari
penduduk setempat baik pada masa kini
solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam
dan mendatang, serta memberikan pilihan-
masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga
pilihan dalam penyedian barang-barang
bukan sekadar mendengar dan menampung
publik.
keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah
Senada dengan Smith dan Norton, Hoessein
pasti melibatkan dialog yang bersifat saling
(2000) dalam Muluk (2009) menambahkan bahwa
memberi dan menerima antar kelompok-
penentuan batas daerah dapat pula didasarkan
kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang
pada catchment area, yakni luas wilayah yang
keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-
optimal bagi pelayanan publik, pembangunan,
tindakan yang mereka hadapi dan tanggung
penarikan sumber daya, partisipasi dan kontrol
bersama-sama.
baik masyarakat maupun birokrasi. Kondisi ideal
Musyawarah yang bersifat konsultatif
catchment area adalah bahwa seluruh masyarakat
(komunikasi dua arah) hanya terwujud dalam
terjangkau oleh pelayanan publik. Kegagalan
pembahasan bentuk dukungan / bantuan
dalam mencapai catchment area ini akan diikuti
masyarakat untuk upaya pemekaran, baik berupa
adanya kondisi discatchment area, yakni sebuah
dukungan dana, hibah, maupun peminjaman
kondisi yang menunjukkan rendahnya daya
fasilitas pribadi atau umum baik lapangan
jangkau lembaga dan aparat pemerintahan
olahraga sampai rumah masyarakat.
terhadap masyarakatnya.
3.2 Pengumpulan dana dan hibah
Dengan menggunakan indikator-indikator
Masyarakat mengumpulkan dana dan
pada ketiga perspektif di atas, diharapkan
membayar iuran untuk membantu panitia
pembentukan daerah otonom di masa yang akan
pemekaran dalam memperjuangkan
datang akan benar-benar memperhitungkan
pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow
kondisi ideal di daerah yang dapat menunjang

191
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

Timur. Selain itu masyarakat juga menghibahkan dalam pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran,
lapangan olahraga serta meminjamkan rumah partisipasi masyarakat berada pada anak tangga
mereka untuk keperluan bangunan pemerintahan kelima, yaitu Konsultasi. Dalam ruang kedua inilah
atau digunakan untuk pembangunan terbangun partisipasi yang bersifat komunikasi
perkantoran, agar proses pembentukan dua arah. Masyarakat diundang dalam
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur segera musyawarah untuk membahas bagaimana bentuk
tercapai. kontribusi masyarakat dalam membantu proses
3.3 Pemasangan Atribut Pemekaran pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran.
Bentuk partisipasi lain yang juga dilakukan Partisipasi masyarakat dalam proses
oleh masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow pembentukan Kabupaten Bolaang Timur dapat
Timur adalah memasang umbul-umbul di bagian dikatakan relatif baik karena telah menunjukkan
depan halaman rumah yang bertuliskan ^ }oš]u adanya pertanda partisipasi (tokenism). Namun,
z •_. Istilah ^Boltim_ merupakan singkatan dari derajat partisipasi tersebut seharusnya dapat
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. didorong hingga mencapai derajat tertinggi, yakni
Arnstein yang dikutip Muluk (2007) kendali warga.
menunjukkan kadar partisipasi sebagai ladder of Pentingnya kendali warga dalam konteks
participation (tangga partisipasi). Teori ini lahirnya kebijakan/keputusan pembentukan
mengkategorikan partisipasi sebagai kekuasaan daerah otonom, juga telah diatur dengan jelas
warga dalam mempengaruhi perubahan dalam dalam muatan PP 78/2007. Pasal 16 ayat (1) PP
pembuatan kebijakan. Menurut teori ini terdapat tersebut meletakkan usulan pembentukan daerah
tiga derajat partisipasi yang kemudian diperinci otonom pada ^aspirasi sebagian besar masyarakat
lagi dalam delapan anak tangga partisipasi: setempat dalam bentuk keputusan BPD untuk
1. Derajat yang terendah adalah nonpartisipasi, Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama
yang terdiri dari dua tangga; manipulasi dan lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi
terapi. calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan
2. Derajat kedua merupakan derajat yang dimekarkan_. Dengan demikian bahwa aspirasi
menunjukkan pertanda adanya partisipasi masyarakat seharusnya menjadi landasan utama
(tokenism), terdiri dari empat tangga; dalam melaksanakan semua tahapan
pemberian informasi, konsultasi, penetraman, pembentukan daerah otonom.
dan kemitraan. Aspirasi masyarakat yang diwujudkan melalui
3. Derajat tertinggi adalah kendali warga yang partisipasi mereka dalam pembentukan daerah
memberikan peluang keterlibatan lebih kuat otonom, terutama pada tahap perumusan agenda
dalam pembuatan kebijakan, terdiri dari dua kebijakan pemekaran sampai pelaksanaannya,
tangga; kuasa yang didelegasi dan kendali harus menjadi pemegang kendali sehingga usulan
warga. pembentukan daerah otonom murni lahir sebagai
Ketiga bentuk partisipasi masyarakat di atas, kebutuhan dan keinginan seluruh masyarakat,
dapat dipisahkan kedalam dua ruang partisipasi, bukan bersifat mobilitatif.
yakni; partisipasi dalam perumusan agenda
kebijakan pemekaran, dan partisipasi dalam KESIMPULAN DAN SARAN
pelaksanaan agenda kebijakan pemekaran. Kesimpulan
Dengan menggunakan kadar partisipasi (ladder of Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
participation) dalam perspektif Arnstein yang berikut:
dikutip Muluk (2007) jelas terlihat perbedaan 1. Kecenderungan untuk memekarkan lima
derajat partisipasi pada masing-masing ruang. kecamatan di Kabupaten Bolaang
Ruang pertama adalah partisipasi dalam Mongondow Timur menjadi daerah otonom
perumusan agenda kebijakan pemekaran. Pada dalam bentuk kabupaten baru
ruang ini, partisipasi masyarakat hanya berada menggambarkan kecenderungan untuk
pada anak tangga ke empat, yaitu Pemberian melokalisasi kekuasaan (localizing power).
Informasi. Masyarakat hanya menerima sosialisasi Tujuaannya adalah menciptakan pusat-pusat
dari BPD dan Pemerintah Desa tentang rencana kekuasaan baru di daerah.
dan manfaat pemekaran Kabupaten Bolaang 2. Gerakan Sosial dalam Pembentukan
Mongondow Timur, yang merupakan hasil rapat Kabupaten Bolaang Mangondow Timur
antara BPD, Pemerintah Desa, DPRD Bolaang merupakan Gerakan Reaksioner.
Mongondow, dan Panitia Pemekaran Bolaang Pembentukan daerah ini merupakan bagian
Mongondow. Sementara pada ruang kedua, dari skenario yang lebih besar untuk

192
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

membentuk provinsi baru (Provinsi Bolaang (kelembagaan) dan operasional untuk


Mongondow), yang didasarkan pada batas memfasilitasi dan membangun dialog budaya
sosial masyarakat Bolaang Mongondow pada antar berbagai kelompok etnis di Indonesia
masa lampau sebagai satu wilayah kerajaan. terutama yang posisi geografisnya saling
3. Modus operandi utama untuk mewujudkan berdekatan. Oleh karena itu, perlu dibentuk
pusat kekuasaan baru atau Kabupaten Bolaang sebuah lembaga yang khusus menangani
Mongondow Timur dilakukan dengan masalah lintas budaya atau melakukan
memprovokasi gerakan sosial (social revitalisasi dan integrasi fungsi pada lembaga-
movements). Hal ini dapat ditengarai dari lembaga yang saat ini memiliki fungsi sosial.
upaya untuk membangkitkan potensi konflik 3. Pemerintah terutama Kementerian Dalam
sosial keagamaan antara komunitas etnis Negeri perlu melakukan pengendalian dan
Mongondow yang mayoritas beragama Islam pengujian kelayakan usulan pembentukan
dan etnis Minahasa yang mayoritas beragama daerah otonom berdasarkan Peraturan
Kristen. Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata
4. Kuatnya dinamika lokalisasi kekuasaan Cara Pembentukan, Penghapusan, dan
(localisation of power) dan gerakan sosial Penggabungan Daerah. Hal ini penting untuk
(social movements) dalam tuntutan menghindari inkonsistensi yuridis yang selama
pembentukan Kabupaten Bolaang ini terjadi dalam pembentukan daerah
Mongondow Timur dan daerah-daerah otonom. Pengabaian akan aturan ini dapat
otonom lain di Indonesia, cenderung menimbulkan efek domino pada
mengesampingkan arti penting kapasitas kecenderungan lokalisasi kekuasaan yang
daerah dalam menyelenggarakan urusan tidak bertanggung jawab.
pemerintahan, terutama dalam hal fiskal, 4. Musyawarah harus dikembalikan sebagai
serta terwujudnya dialogisme budaya dalam sarana vital dalam berdemokrasi. Oleh karena
kehidupan berbangsa dan bernegara. itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan
5. Pembentukan Kabupaten Bolaang atas muatan PP No. 78 tahun 2007, dengan
Mongondow Timur mengesampingkan mengatur mekanisme atau prosedur
rasionalitas administratif, karena kondisi musyawarah yang wajib dilaksanakan oleh
sebenarnya daerah ini belum memenuhi BPD dan Forum Kelurahan sebelum
syarat teknis sebagaimana diatur Peraturan menyetujui usulan pembentukan daerah
Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata otonom dan menuangkannya dalam bentuk
Cara Pembentukan, Penghapusan, dan dokumen pemekaran.
Penggabungan Daerah. Dalam kaitan usulan
pembentukan daerah otonom ini, partai DAFTAR PUSTAKA
politik dan anggota parlemen (DPR RI) [1]. Cheema, G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli.
berfungsi sebagai perantara (broker) atau 2007. Decentralization and Development.
penghubung antara masyarakat dan negara. SAGE Publications. USA.
6. Demokrasi dalam proses-proses pemekaran [2]. Domai, Tjahjanulin, 2011. Sound
daerah ini belum tampak dalam kelahiran Governance. Universitas Brawijaya Press (UB
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Hal ini Press). Malang.
dapat ditengarai dari proses pengambilan [3]. Ebyhara, Abu Bakar. 2010. Pengantar Ilmu
keputusan yang relatif terpusat hanya di Politik. Ar-Ruzz Media Yogyakarta.
antara BPD dan unsur Pemerintahan Daerah [4]. Faulks, Keith. 1999. Political Sociology : A
(Bupati dan DPRD), serta Panitia Pemekaran. Critical Introduction. Terjemah oleh Helmi
Saran Mahadi dan Shohifullah, 2010. Edisi
Pertama. Nusa Media, Bandung.
1. Pemerintah perlu menetapkan rasio kapasitas
[5]. Hadiz, Vedi R. 2011. Localising Power in Post-
keuangan daerah sebagai tolok ukur dalam
Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
menentukan kemandirian daerah dalam aspek
Perspective. ISEAS Publishing, Singapore.
fiskal. PAD harus mampu membiayai
[6]. Holztappel, Coen J. G. & Martin Ramstedt.
kebutuhan operasional (belanja birokrasi)
2009. Decentralization and Regional
pemerintah daerah.
Autonomy in Indonesia: Implementing and
2. Sebagai antisipasi terjadinya konflik sosial baru
Challenges. ISEAS Publishing. Singapore.
akibat kecenderungan lokalisasi kekuasaan
lain, perlu diperkuat kerangka institusional

193
Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Damopolii et al.)

[7]. Sahid, Komarudin. 2011. Memahami


Sosiologi Politik. Ghalia Indonesia. Bogor.
[8]. McAdam, Doug, John D. McCarthy & Mayer
N. Zald. 1996. Comparative Perspective on
Social Movements: Political Oportunities,
Mobilizing Structure, and Cultural Framings.
Cambridge University Press.
[9]. Muluk, Khairul M. R. 2007. Menggugat
Partisipasi Publik dalam Pemerintahan
Daerah. Bayumedia Publishing. Malang.
[10]. _____________________2009. Peta Konsep
Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. ITS
Press, Surabaya.
[11]. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
[12]. Piliang, Yasraf Amir. 2005. Transpolitika:
Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas.
Jalasutra. Yogyakarta.
[13]. Pruitt, Dean G. & Jeffrey Z. Rubin. 1986. Teori
Konflik Sosial. Terjemah oleh Helly P. Sucipto
& Sri Mulyani Sucipto. 2009. Pustaka Pelajar.
[14]. Sisk, Timothy D. et al. 2001. Demokrasi di
Tingkat Lokal. Buku Panduan International
IDEA Seri 4. Terjemah oleh Arif Subiyanto.
2002. International Institute for Democracy
and Electoral Assistance (IDEA). Swedia.
[15]. Smith, B. C. 1985. Decentralization: The
Territorial Dimension of the State. George
Allen & Unwin, London.
[16]. Strong, C. F. 1966. Modern Political
Konstitution: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and
Existing Form. Terjemah oleh Derta Sri
Widowatie. 2008. Edisi kedua. Nusa Media.
Bandung.
[17]. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Bandung.
[18]. Triwibowo, Darmawan. 2006. Gerakan
Sosial: Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta.

194

Anda mungkin juga menyukai