Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

OTONOMI DAERAH

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Pendidikan
Kewarganegaraan Dosen Pengampu:
Yusrizal,S.Sos, M.Kes.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

1. 2015301030 SIWI JOGSE ARISTIATI


2. 2015301031 SRI FANNI
3. 2015301032 TASYA SAHRO
4. 2015301033 TIARA PUSPA PRAMESWARI
5. 2015301034 TRIA KARTIKA DEVI
6. 2015301035 VELSI RAFIKA FINDAYA
7. 2015301036 VERANI TRI YOLANDA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARAN JURUSAN KEBIDANAN
PRODI D4 KEBIDANAN TANJUNG KARANG
T.A 2020/2021
i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“OTONOMI DAERAH” . Adapun penulisan Makalah ini bertujuan untuk Mengetahui apa
saja latar belakang otonomi daerah, tujuan, prinsip dan perkembangannya diindonesia Oleh
karena itu, terselesaikannya Makalah ini tentu saja bukan karena kerja keras kami semata-
mata namun karena adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak terkait. Sehubungan
dengan hal tersebut kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu-persatu, yang telah membantu menyelesaikan Makalah ini.
Dalam menyusun Makalah ini, kami sangat menyadari banyaknya kekurangan yang
terdapat di dalam Makalah ini. Oleh karena itu, Kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari berbagai pihak agar Makalah ini lebih baik lagi dan bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................2
C.TUJUAN PENULISAN.......................................................................................................2
D. MANFAAT........................................................................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN........................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH..........................................................4
B. TUJUAN DAN PRINSIP OTONOMI DAERAH.......................................................4
1. TUJUAN OTONOMI DAERAH..........................................................................4
2. PRINSIP OTONOMI DAERAH...........................................................................5
C. PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA..................................7
1. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA............................................7
2. OTONOMI DAERAH SEBELUM REFORMASI..............................................10
3. OTONOMI DAERAH PASCA REFORMASI....................................................17
BAB III . PENUTUP..............................................................................................................19
A. KESIMPULAN...............................................................................................................19
B. SARAN..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

i
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar belakang

Otonomi daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan Pemerintahan Negara


Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi yang nyata maksudnya pemberian otonomi kepada
daerah berdasarkan faktor-faktor perhitungan tindakan dan kebijaksanaan yang benar-benar
menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Sedangkan, bertanggung jawab maksudnya pemberian otonomi itu benar-benar sejalan
dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar dipelosok negara dan
daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Pelaksanaan otonomi
daerah yang menitikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan
adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka desentralisasi ini
memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan
menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk
membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya.

PAD (Pendapatan Asli Daerah) merupakan sumber pembiayaan yang paling penting
dimana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah
dan retribusi daerah. Pajak daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun2009 adalah kontribusi
wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi
daerah atau retribusi berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 adalah pemungutan daerah sebagai
pembayaran atau jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa sumber-sumber
pendapatan daerah adalah:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)


2. Dana Perimbangan
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah:

1. Pajak Daerah;
2. Retribusi Daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan Lain-lain PAD yang sah.

1
Dalam upaya menciptakan kemandirian daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD)
menjadi faktor yang sangat penting dimana PAD akan menjadi sumber dana dari daerah
sendiri. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa PAD hanya mampu membiayai
belanja pemerintah daerah yang paling tinggi sebesar 20% Kuncoro (2007:2).
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat masih cukup tinggi. Apabila
pemerintah terlalu menekankan pada perolehan PAD, maka masyarakat akan semakin
terbebani dengan berbagai pajak dan retribusi dengan maksud “pencapaian target”
Widjaja(2005). Menurut UU No.28 Tahun 2009, Pajak Daerah secara garis besar dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu pajak daerah yang dipungut pemerintah daerah tingkat propinsi (Pajak
Propinsi), berupa pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak
bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, dan pajak daerah yang
dipungut oleh pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota, berupa pajak hotel, pajak restoran,
pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan,
pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan
dan perkotaan, dan BPHTB. Sedangkan, retribusi daerah menurut UU No. 28 Tahun 2009
yaitu jasa umum dan jasa usaha.

Dalam pengelolaan keuangan daerah, faktor kemampuan daerah merupakan hal yang
penting, khususnya dalam era otonomi daerah. Kemampuan keuangan dan anggaran daerah
pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintahan daerah dalam meningkatkan
penerimaan pendapatan asli daerahnya. Disini akan lebih mengarah pada aspek kemandirian
dalam bidang keuangan, biasanya diukur dengan desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal
daerah, yang dapat diketahui melalui perhitungan kontribusi Pendapatan Asli Daerah
terhadap total APBD serta kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD
( Susetyo, 2008: 39-53).

B. Rumusan masalah

1. Berapa besar laju pertumbuhan dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah?
2. Berapa persen kontribusi pajak dan retribusi pajak terhadap PAD pada setiap
Kota/Kabupaten ?
3. Berapa besar efektivitas penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah?
4. Apakah terdapat perbedaan laju pertumbuhan, kontribusi, dan efektifitas penerimaan
pajak dan retribusi daerah?

C. Tujuan

1. Untuk menganalisis besar laju pertumbuhan dari penerimaan pajak daerah dan
retribusi daerah
2. Untuk menganalisis kontribusi pajak dan retribusi pajak terhadap PAD pada setiap
Kota/Kabupaten
3. Untuk menganalisis besar efektifitas penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
4. Untuk menganalisis perbedaan laju pertumbuhan, kontribusi, dan efektifitas
penerimaan pajak dan retribusi daerah

2
D. Manfaat

penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang pajak
daerah dan retribusi daerah agar dapat lebih memahami seberapa besar kontribusi pajak
daerah terhadap PAD

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH

- Pengertian otonomi daerah

Otonomi secara sempit diartikan sebagai “Mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah
“Berdaya”. Jadi otonomi daerah adalah pemberian kewenangan pemerintah kepada
pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.

- Latar belakang otonomi


Sebagai respons dari krisis pada tahun 1997, pada masa reformasi dicanangkan suatu
kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan
otonomidaerah dan pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah, paradigma
lama dalam manajemen pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti
menjadi kebijakan otonomi daerah yang tidak dapat dilepaskan dari upaya politik pemerintah
pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau Negara federal dari beberapa wilayah
yang memiliki sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara
proporsional pada masa pemerintahan orde baru.

Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerintah pembangunan sosial


ekonomi, penyelenggaraan pemerintah dan membangun kehidupan berpolitik yang efektif,
sebab dapat menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.

B. TUJUAN DAN PRINSIP OTONOMI DAERAH


1. TUJUAN OTONOMI DAERAH
A. Tujuan otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut:
B. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekayaan di pusat dan membangun masyarakat yang demokratis,
untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintah, dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.
C. Dilihat dari segi pemerintah, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
mencapai pemerintah yang efisien.
D. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar
perhatian lebih fokus kepada daerah.
E. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpatisipasi dlaam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing

4
2. PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH
Dibagi berbagai bentuk diantaranya:

A. Prinsip Otonomi Nyata


Indonesia dengan keluasan wiayah dan ribuan pulau mempunyai banyak keragaman pada
masyarakatnya. Mulai dari keragaman suku, agama, budaya, dan nilai-nilai tradisional. Oleh
karena itu, otonomi daerah mempunyai prinsip nyata, yaitu sesuai dengan situasi dan kondisi
obyektif wilayah masing-masing. Di mana situasi dan kondisi wilayah tersebut akan berbeda
satu sama lain. Daerah diberikan kebebasan, kewenangan, dan kewajiban yang yang
dilaksanakan secara nyata sesuai kekhasan daerah yang dikuasainya. Pemerintah pusat hanya
memberikan kebijakan secara garis besar dan pemerintah daerah yang mendefinisikan sendiri
sesuai kemampuan daerah.
B. Prinsip Tanggung Jawab
Pemberian wewenang dan tugas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Dengan demikian, prinsip tanggung
jawab harus ditegakkan oleh pemerintah daerah yang mengemban tugas dan kewajiban.
Pemerintah pusat harus benar-benar memastikan bahwa pemerintah telah benar-benar
melaksanakan wewenang, tugas, dan kewajibannya. Di mana kewajiban tersebut adalah
memberdayakan daerah demi kepentingan seluruh warga daerah dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat di daerah, sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional. Pemerintah
daerah berperan mengatur proses pemerintahan dan pembangunan di daerah dan
bertanggungjawab atas seluruh dinamika yang terjadi.

C. Prinsip Otonomi Daerah Seluas-Luasnya


Prinsip otonomi daerah yang ketiga adalah prinsip dengan kewenangan seluas-
luasnya. Artinya di luar urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah diberi kewenangan
seluas-luasnya. Daerah mempunyai kewenangan membuat kebijakan daerah sendiri sesuai
aturan yang berlaku. Yang terpenting kewenangan yang luas dilaksanakan harus sesuai aturan
yang berlaku dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat. Kewenangan
pemerintah daerah tersebut mencakup semua urusan pemerintahan kecuali politik luar negeri,
agama, keamanan, keuangan, peradilan, serta fiskal nasional.

D. Prinsip Dinamis
Prinsip otonomi daerah pada pokoknya tiga hal yang telah disebutkan di atas. Adapun
prinsip-prinsip lain merupakan prinsip tambahan. Di antaranya adalah prinsip dinamis.
Dalam prinsip dinamis, diharapkan proses penyelenggaraan pemerintah pada daerah terus
bergerak maju mengikuti perkembangan dunia saat ini. Apalagi saat ini dampak
globalisasi hampir tidak dapat dibendung. Penyelenggaraan pemerintah daerah berprinsip
dinamis dengan memperhatikan hal tersebut. Mengambil segala dampak positifnya dan
melindungi masyarakat dari segala dampak negatif. Misalnya, penyelenggaraan pemerintah
dengan mengoptimalkan peranan teknologi informasi sebagai prinsip dinamis menyesuaikan
dengan globalisasi. Namun di sisi lain, pemerintah ikut aktif memerangi

5
penyalahgunaan bahaya narkoba bagi generasi muda yang kian marak karena semakin mudah
masuk ke wilayah mana saja berkat teknologi.

E. Prinsip Kesatuan
Pada penyelenggaraan pemerintah daerah juga harus mempunyai prinsip kesatuan. Prinsip ini
diperlukan sehingga pemerintah daerah benar-benar berusaha meningkatkan kesejahteraan
warga / masyarakat di daerahnya di segala bidang. Dengan meningkatnya kesejahteraan, cara
mengatasi kesenjangan sosial dengan wilayah lain dapat diminimalisir. Akibatnya, persatuan
dan kesatuan semakin terjaga. Selain itu, pemerintah daerah harus memperhatikan segala
dinamika yang terjadi di wilayahnya sehingga lebih cepat menyelesaikan masalahnya jika
terjadi hal yang tidak diinginkan, Begitu pula dengan gerakan-gerakan yang dapat
meniadakan kesatuan. Pemerintah Daerah sendiri harus tetap berada dan merupakan bagian
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan wilayah yang berdaulat.

F. Prinsip Penyebaran
Otonomi daerah di Indonesia dibuat dan dilaksanakan dengan prinsip penyebaran. Yaitu,
penyebaran pembangunan dan kesempatan agar pembangunan dapat dirasakan secara merata
oleh seluruh penduduk Indonesia. Prinsip penyebaran ada karena wilayah Indonesia yang
sangat luas dan membentang dari Sabang sampai Merauke dengan ribuan pulau di dalamnya.
Apabila pemerintah pusat melakukan segala sesuatunya tanpa bantuan asas desentralisasi
daerah, maka ada tempat-tempat yang jauh dan terpencil yang mungkin tidak mengenal
pembangunan. Oleh karena itu, penyelenggara pemerintah daerah harus benar-benar optimal
dan jeli menangkap aspirasi masyarakat dan apa kebutuhan daerahnya untuk kemudian
membuta kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan sumberdaya yang ada.

G. Prinsip Keserasian
Otonomi daerah diselenggarakan bukan ingin mengeksploitasi semua sumberdaya daerah
tanpa mmeperhatikan akibatnya. Prinsip keserasian tetap dipertahankan. Penggunaan
sumberdaya yang ada dengan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dengan
memperhatikan keseimbangan. Tidak menghabiskan begitu saja. Ini terutama berlaku pada
penggunaan sumberdaya alam. Penggunaan sumberdaya alam di daerah harus memperhatikan
keseimbangan dan keserasian dengan lingkungan. Artinya tidak merusak dan membahayakan
lingkungan yang akibatnya akan berbalik kepada masyarakat sendiri.

H. Prinsip Demokrasi
Prinsip dan ciri utama pemerinbtahan demokrasi tetap dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Demokrasi yang menyatakan bahwa kedaulatan id
tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini semua kegiatan pembangunan
6
dapat melibatkan semua masyarakat untuk kesejahteraan mereka. Kebijakan yang dibuat juga
harus kebijakan yang pro rakyat.

I. Prinsip Pemberdayaan
Tujuan dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah meningkatkan daya guna / manfaaat dan
hasil dari tiap daerah. Artinya memberdayakan semua sumberdaya yang ada seoptimal
mungkin dengan tetap memperhatikan keserasian dan keseimbangan. Prinsip pemberdayaan
ini bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat setempat dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Contoh pemberdayaan tidak hanya dilakukan pada sumberdaya alam, tetapi juga untuk
sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia ini dapat diberdayakan apabila pendidikan dan
ketrampilannya ditingkatkan. Berarti kebijakan peningkatan pendidikan yang terkait dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu fungsi dan prinsip-prinsip otonomi daerah

C. PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

1. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

A. Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada
tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam
ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat
pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende
landschappen).

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

B. Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea
Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah
Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil
melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di
Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur

7
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak
memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa
tersebut bersifat misleading.

C. Masa Kemerdekaan

1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,


mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah
yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-
masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni Provinsi, Kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam
batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU


Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni Propinsi,
Kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.

3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga
sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:

1. Daerah swatantra tingkat I

2. Daerah swatantra tingkat II

3. Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan
elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala
daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

8
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni Provinsi
(tingkat I), Kabupaten (tingkat II) dan Kecamatan (tingkat III). Sebagai alat pemerintah pusat,
kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah
pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan
keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi Provinsi/ibu
kota Negara, Kabupaten/kotamadya dan Kecamatan. Titik berat otonomi daerah terletak pada
daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga
lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih


mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999
adalah sebagai berikut:

1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan


berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.

2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah


daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.

3. Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.

4. Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.

8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini
memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
9
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan
kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

2. OTONOMI DAERAH SEBELUM REFORMASI

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah mengambil


langkah-langkah penting dalam rangka perujudan cita desentralisasi. Langkah-langkah
penting yang diambil pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan
sistemnya sendiri. Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang
mengatur mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :

a. Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan


Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain
Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 1).

b. Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang


bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan
mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2)

c. Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang, sebanyakbanyaknya 5 orang


sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan pimpinan oleh
Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah itu (Pasal
3).

Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi
Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas
mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh bertentangan
dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi
kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi
Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
karenanya tidak mempunyai hak suara.

Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945 menimbulkan berbagai persoalan, karena UU


ini tidak diberi Penjelasan. Sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan ketentuan-
ketentuan yang termuat dalam UU tersebut. Akhirnya kementerian dalam negeri memberikan
penjelasan tertulis terhadap UU No. 1/1945.Penjelasan tertulis Kementerian Dalam Negeri itu
memuat keterangan-keterangan mengenai tujuan diadakannya UU No. 1/1945. Tujuan yang
pertama bagi diadakannya UU ini adalah untuk menarik kekuasaan pemerintahan dari tangan
Komite Nasional Daerah (KND) dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1
a. Semua KND dibentuk sebagai pembantu pemerintah daerah dimasa kekuasaan sipil,
pangrehpraja dan polisi dan alat-alat pemerintahan lainnya masih ditangan Jepang.

b. Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, KND dalam prakteknya
mengganti Pangrehpraja dan polisi di samping Pangrehpraja dan polisi sebenarnya
yang menjadi pegawai Republik Indonesia.

c. Dualisme yang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan


Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat pemerintahan yang resmi. (The Liang Gie)

Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan legislatif Badan Perwakilan Rakyat Daerah,
wewenangnya adalah :

a. Kemerdekaan untuk mengadakan peraturanperaturan untuk kepentingan daerahnya


(otonomi)

b. Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturanperaturan yang


ditetapkan oleh Pemerintah itu (medebewind dan selfgovernment = sertantra dan
pemerintahan sendiri)

c. Membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undangundang


umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disyahkan lebih dahulu oleh
pemerintah atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment).

Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang diberikan kepada Daerah adalah
otonomi Indonesia yang lebih luas dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan
terhadap otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan peraturan Pusat dan Daerah
yang lebih tinggi. Sedangkan alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga
(meskipun tidak dinyatakan secara tegas), yakni :

1. KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin Kepala Daerah
menjalankan fungsi legislatif.

2. Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang dipilih dari dan oleh anggota
KNID sebagai "Badan Eksekutif" bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah
menjalankan pemerintahan seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).

3. Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan


pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh
kantorkantor Departemen di daerah.

Memperhatikan UU No. 22/1948 secara keseluruhan, maka UU ini bermaksud hendak


memberi isi pada Pasal 18 UUD 1945 dan meletakkan dasar:

a. Untuk menyusun pemerintahan Daerah dengan hak otonomi yang rasional sebagai
jalan untuk mempercepat kemajuan rakyat di daerah

1
b. Untuk mengadakan tiga tingkatan Daerah dengan tugas dan kewenangan yang pada
pokoknya diatur dalam suatu undangundang

c. Untuk memodernisir dan mendinamisir pemerintahan desa dengan menetapkan desa


sebagai Daerah Tingkat III

d. Untuk menghilangkan pemerintahan di daerah yang dualistis, dengan menetapkan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai instansi
pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai
Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

e. Untuk memungkinkan Daerah-daerah yang mempunyai hakhak asalusul di zaman


sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri, dibentuk sebagai
Daerah Istimewa.

Selanjutnya UU No. 22/1948 bermaksud menghapus Pamong Praja dan memberikan otonomi
sebanyak-banyaknya (UU ini belum mempergunakan istilah otonomi "seluas-luasnya")
kepada Daerah (lihat Penjelasan angka III, UU No. 22/1948). Istilah sebanyak-banyaknya
mengandung arti beraneka ragam urusan pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan
kepada daerah. Otonomi Daerah akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas.
Sehingga, pengertian otonomi "sebanyak-banyaknya" pada dasarnya sama dengan "otonomi
seluas-luasnya". Dalam hubungan ini UU No. 22/1948 meletakkan titik berat otonomi pada
Desa dan daerah lain setingkat Desa, dengan dasar pemikiran Pasal 33 UUD 1945.

Segi lain yang membedakan pengaturan pemerintahan daerah antara UU No. 1/ 1945 dengan
UU No. 22/1948 adalah dalam hal bentuk Pemerintahan di Daerah. UU No. 1/1945
membedakan dua macam bentuk pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan
Daerah Otonom dan satuan Pemerintahan Administratif. Sedangkan UU No. 22/ 1948 hanya
mengenal satu macam bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan
Daerah Otonom. Dengan kata lain sistem pemerintahan yang diatur UU No. 22/1948 hanya
sistem pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dan medebewind. Penjelasan Umum UU
No. 22/1948 menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri :

a. Pemerintahan Deerah yang disandarkan pada hak otonom, dan

b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind.

Akan tetapi ide yang terkandung dalam UU No. 22/1948 tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan atau tidak terwujud sepenuhnya dalam prakteknya karena pada saat
berlakunya UU ini, tentara Belanda kembali melanjutkan aksi militernya ke-II.

Pada akhirnya dengan tercapainya persetujuan Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1948,
Republik Indonesia hanya berstatus Negara Bagian yang wilayahnya hanya meliputi Jawa,
Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan, yang karena itu pula UU No.

1
22/1948 tidak dapat diberlakukan sepenuhnya di seluruh nusantara. Meskipun demikian,
dalam UU No. 22/1948 setidaknya terdapat beberapa hal-hal pokok sebagai berikut:

a. Cita "ketunggalan" yaitu untuk semua jenis dan tingkatan daerah diperlakukan satu
UU pemerintahan daerah yang sama. Ini akan memupuk rasa kesatuan antara daerah-
daerah otonom di seluruh Indonesia. Bagi Pemerintah Pusat sendiri juga memudahkan
dalam menjalankan tindakan-tindakan yang seragam Pada masa Hindia Belanda dan
pendudukkan Jepang terdapat pluralisme dalam perundang-undangan desentralisasi.

b. Cita "persamaan" antara cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan luar pulau


tersebut. Ini akan menghilangkan rasa iri hati karena seolah-olah dianak tirikan yang
terdapat pada wilayah di luar Jawa/Madura.

c. Penghapusan dualisme dalam Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22/1948 dicita-


citakan agar Daerah tidak akan berlangsung terus pemerintahan yang dijalankan oleh
pamong praja.

d. Cita desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia akan
terdiri atas Daerah-daerah otonom diluar itu tidak ada wilayah yang mempunyai
kedudukkan lain.

e. Pemberian otonomi dan medebewind yang luas, sehingga rakyat akan dibangunkan
inisiatifnya untuk memajukan Daerahnya.

f. Pemerintahan Daerah yang demokratis, yaitu susunan aparatur Daerah yang dipilih
oleh dan dari rakyat. Ini akan mendidik rakyat kearah kemampuan memerintah diri
sendiri serta penghargaan terhadap kebebasan dan tanggung jawab.

g. Pemerintahan kolegial. Soalsoal pemerintahan tidak akan lagi diputuskan oleh


seorang tunggal, melainkan oleh sekelompok orang atas dasar permusyawaratan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

h. Cita mendekatkan rakyat dan Daerah tingkat terbawah dengan pemerintah Pusat.
Kalau pada masa lampau tata jenjang kepamongprajaan dari lapisan terbawah sampai
teratas melalaui tidak kurang dari lima tingkat (desa, kecamatan, kewedanaan, dan
seterusnya), maka susunan Pemerintahan Daerah yang baru hanya mengenal 3
tingkatan Daerah. Ini memudahkan pembinaan dan pembimbingan Daerah tingkat
terbawah oleh Pemerintah Pusat.

i. Cita pendinamisan kehidupan desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis dengan
ini. Untuk memajukan negara dan memakmurkan rakyat Indonesia, desa harus
dijadikan sendi yang kokoh dan senantiasa bergerak maju. Pada masa lampau desa
dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis ditaruh di luar lingkungan pemerintahan
modern dan dibiarkan hidup dalam alamnya sendiri yang statis.

1
j. Cita pendemokrasian pemerintahan zelfbesturende landschappen. Kerajaan-kerajaan
warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan bagian dari
wilayah RI yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai
dengan asasasas yang dianut oleh negara.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana Republik Indonesia
Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 131 UUDS 1950, maka
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
didesentralisasikan. Dengan adanya perubahan ketatanegaraan itu, maka UU No. 22/1948
tidak berlaku lagi, dan digantikan UU No. 1/1957.UU No. 1/1957 hanya mengatur tentang
penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah yang didasarkan pada asas desentralsiasi.
Pengaturan demikian sesuai dengan Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950 yang hanya
mengenal satu jenis pemerintahan di daerah, yakni Daerah Otonom. Di samping itu sistem
otonomi yang dianut adalah otonomi riil. Sistem otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor,
bakat, kesanggupan dan kemampuan yang riil dari Daerah-daerah maupun Pusat, serta
bertalian dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi (Pasal 131 ayat (3) UUDS
1950). Untuk melaksanakan sistem ini, dalam undang-undang pembentukan Daerah
ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak
pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat pengertian ajaran rumah tangga
yang formal dengan metode pekerjaan Daerah yang hirarkhis.

Dalam Pasal 5 UU No. 1/1957 dengan tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah. Susunan ini serupa
dengan UU No. 22/1948, karena bertujuan sama yaitu mewujudkan Pemerintahan Daerah
yang kolegial dan demokratis. Berbeda dengan keadaan sebelumnya (UU No. 1/1945) bahwa
Pemerintah Daerah itu terdiri dari DPRD (dalam hal ini Komite Nasional Daerah), Dewan
Pemerintahan Daerah dan Kepala Daerah. Susunan Pemerintahan Daerah model UU No.
1/1945 menimbulkan Pemerintahan Daerah yang dualistik.(Laporan penelitian; FH Unpad;51)
Hal ini yang ingin dihilangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957. Meskipun Kepala
Daerah berdasarkan UU No. 1/1957 hanya semata-mata sebagai Kepala Daerah, tetapi tidak
berarti dualisme pemerintahan tidak ada. Jika dalam UU No. 1/1945 dan UU No. 22/1948
dualisme itu ada pada satu jabatan (dalam diri satu orang) yaitu Kepala Daerah, maka dalam
UU No. 1/1957 dualisme pemerintahan itu ada pada dua orang yang berbeda. Bidang
pemerintahan umum ada ditangan Pamong Praja, sedangkan bidang otonomi dan tugas
pembantuan (medebewind) ditangan Pemerintah Daerah (lihat Penjelasan Umum Penpres No.
6/1959).

Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945, termasuk ke
dalamnya penyesuaian peraturan perundang-undangan mengenai Pemerintahan Daerah.
Dalam hubungan inilah ditetapkan Penpres No. 6/1959 sebagai penyempurnaan atas UU No.

1
1/1957. Berbagai gagasan dasar dalam UU No. 1/1957 tetap dipertahankan seperti prinsip
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah, termasuk mengenai susunan Daerah
Otonom. Perubahan yang mendasar adalah:

1. Trend memperkokoh unsur desentralisasi yang digariskan sejak tahun 1948 berganti
kearah yang lebih menekankan pada unsur sentralisasi. Misalnya, pengangkatan
Kepala Daerah lebih ditentukan oleh kehendak pusat dari pada Daerah. Presiden
diberi wewenang mengangkat Kepala Daerah diluar calon yang diajukan oleh Daerah.

2. Kepala Daerah tidak lagi semata-mata sebagai alat Pusat yang mengawasi
Pemerintahan Daerah. Bahkan secara beransur-ansur Kepala Daerah lebih tampak
sebagai Wakil Daerah dari pada sebagai pimpinan Daerah.

3. Dihapuskannya dualisme Pememerintahan di Daerah yang memang terasa


mengganggu kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah.(Bagir Manan;
perjalanan historis;32)

Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan penyelenggaraan pemerintahan di


Daerah agar sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945, tetapi penggerogokan terhadap prinsip-
prinsip otonomi, yakni dengan dikeluarkannya Penpres No. 5/1960. Dimana DPRD hasil
pemilihan umum dibubarkan, dan dibentuk DPRD-GR yang seluruh anggotanya diangkat.
Kepala Daerah menurut Penpres ini adalah Ketua DPRD.Walaupun Penpres No. 6/1959
dimaksudkan untuk menyempurnakan UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan
Daerah dengan Penpres itu sendiri sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945. Pasal
18 UUD 1945 menghendaki pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah ditetapkan dengan
UndangUndang, dan bukan dengan Penpres. Dalam hubungan inilah kemudian ditetapkan
UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia.Satu hal penting dari kelahiran UU No. 18/1965 ialah bahwa secara
keseluruhan UU ini meneruskan "politik otonomi" yang telah diatur dalam Penpres No.
6/1959 dan Penpres No. 5/1960, kecuali mengenai hubungan Kepala Daerah dengan DPRD.

Perubahan yang fundamental dari UU No. 18/1965, jika dibandingkan dengan UU terdahulu
mengenai organ Pemerintah Daerah, yaitu :

a. tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR Daerah oleh Kepala Daerah.

b. dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai potik bagi Kepala Daerah
dan anggota BPH.

c. tidak lagi Kepala Daerah didudukan secara konstitutif sebagai sesepuh daerah.

Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah


berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan sebagaimana
1
halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan istilah teknis, yang
dipergunakan untuk menyebut jenis daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi dan sebagainya itu bukan nama Daerah
Administratif.

Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah di Indonesia berdasarkan
UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian
otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP
MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No.
18/1965. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan,
tetapi dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan
keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan
GBHN.

Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974 setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh hal yang
diutarakan di atas, terutama berkaitan dengan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya
kepada Daerah. Sehingga UU No. 5/1974 menganut prinsip pemberian otonomi kepada
Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang seluas-luasnya", melain "otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab".Satu sisi yang amat penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini
tidak semata-mata mengatur pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi (otonomi
dan tugas pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.Ditinjau dari sudut pola hubungan antara
Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang sama dengan pola yang dirintis
dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur
desentralisasi. Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada Daerah, UU No.
5/1974 meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Kabupaten/Kotamadya.Dari
pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam berbagai undang-undang sebagaimana
telah diutarakan maka dapat dikemukakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
memperlihatkan perbedaan-perbedaan baik sistem otonominya maupun corak
pemerintahannya. Meskipun undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar
penyusunanan yang sama yakni Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957).

UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh disebut sebagai
undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya dibanding undang-undang
yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun 1974 itu yang begitu lama berlaku
tentu saja sangat berpengaruh bagi keberadaan daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam
perjalanannya kemudian digugat sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa
sentralisasi lebih kuat atau sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan
undang-undang No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai
undang-undang yang erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan
otoriter. Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No 5 Tahun 1974
telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat terhadap karakteristik pemerintahan daerah
dan penyelengaraannya, termasuk terhadap para penyelenggaranya. Salah satu dampak yang

1
sampai saat ini masih bisa dilihat adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah.

3. OTONOMI DAERAH PASCA REFORMASI

Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi salah satu
tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu lahirlah UU No.22 Tahun
1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5 Tahun 1974 yang
sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari petimbangan UU
No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari
UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan
atau tergambar secara panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.Apabila dicermati UU
No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan
yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975. Hal ini antara lain:

1. dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam
UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup dalam lingkup pengertian “Pemerintah
Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya
Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah.
Dalam konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan
DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah dan DPRD berada dalam
lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD ditempatkan sebagai
bagian dari eksekutif daerah.

2. ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative atau yang sebelumnnya disebut
dengan pemerintahan wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada
UU No.5/174.

3. dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus
Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang
didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan
dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

4. Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai
hubungan hierarki.

5. berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah


Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Artinya penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.

1
6. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan
Kepala Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban Kepala Daerah.

7. adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi dengan Kabupaten Kota.

8. Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan
sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.

Ada banyak hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dari UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya otonomi
khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya dikenal Daerah
khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan otonomi khusus.Singkat
kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 harus
diakui telah memberikan gairah dan darah baru bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Eforia
otonomi daerah dengan segala dinamikanya terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun
kemudian, gairah otonomi daerah yang meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah
yang tidak diduga sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta
gagasan untuk merevisi UU No.22/1999.

Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni dengan
diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru beberapa tahun
itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada “selera” politik dan
kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk
melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi
secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar belakang politis melihat
apa yang berkembang pada penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999.

Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004
tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5
Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus politik
dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya gerakkan menjauh dari makna
pemberian otonomi kepada daerah yang utamanya untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh lebih cenderung dibangun dibawah kepentingan
politik dan kekuasaan.

Pada tahun-tahun mendatang, soal otonomi daerah belum akan berakhir dan masih akan
dihadapkan pada situasi seperti yang terjadi selama ini. Bahkan beberapa waktu
belakangan kembali bergulir ide dan gagasan untuk mengganti atau merevisi (merubah) UU
No 32 Tahun 2004. Dampaknya jelas, pemerinatahan yang kuat dan stabil seperti masih
merupakan sesuatu yang jauh dari harapan. Dalam konteks ini, adalah suatu yang mustahil
mengharapakan adanya pemerintahan daerah yang kuat dan mempu dengan optimal
mewujudkan masyarakat daerah yang sejahtera bila sistem dan model pemerintahan selalu
berganti-ganti tiap sebentar.

1
BAB III

PENUTU

A. Kesimpulan

Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk kreatif
dan inovatif dalam rangka memperkuat NKRI dengan berlandaskan norma kepatutan dan
kewajaran dalam tata kehidupan bernegara. Mesk ipun dalam perkembang annya belum
sepenuhnya berjalan dengan baik. Kebaikan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa
dengan otonomidaerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat, kebijakan-kebijakan pemerintah akan
lebih tepat sasaran. Kelemahan dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-
oknum di pemeritah daerah untuk melakukan tindakan yang diapat merugikan Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

B. Saran

Perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga
jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap
kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus akif dalam melakukan
pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan
baik oleh pemerintah Indonesia baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

1
DAFTAR PUSTAKA

https://www.belumlama.com/pengertian-latar-belakang-tujuan-prinsip-otonomi-daerah/

https://ugm.ac.id/id/berita/1708-memandang-otonomi-pasca-reformasi

https://www.slideshare.net/kamalfauzee/-pkn-otonomi-daerah-60714434

https://www.google.com/search?q=makalah+otonomi+daaerah&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-
b-ab

https://www.google.com/search?safe=strict&client=firefox-b-
ab&lei=VZ5iX4DTHqWcmgfh_qjIAQ&q=kesimpulan%20otonomi%20daerah%20brainly&ved=2ahUKE
wjA0fDj6O7rAhUljuYKHWE_ChkQsKwBKAF6BAgWEAI&biw=1366&bih=654

https://brainly.co.id/tugasPENGERTIAN OTONOMI DAERAH/8125492

Anda mungkin juga menyukai