Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU ADMINISTRASI

ADMINISTRASI ANGGARAN KEBIJAKAN NEGARA:


Otonomi Daerah, Desentralisasi, Dekonsentrasi,
Tugas Pembantuan (Medewind), dan Keuangan Daerah

OLEH:
Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si.
1. Proses Kebijakan Publik dan Administrasi
Publik
• FORMULASI KEBIJAKAN: proses politik
yang dilakukan elit politik dan/ atau
kelompok-kelompok penekan/masyarakat
dalam pemenuhan kebutuhan negara dan
masyarakat;
• IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: pelaksanaan
kebijakan melalui program, aktifitas, aksi,
atau tindakan dalam suatu mekanisme
yang terikat pada suatu sistem tertentu.
• EVALUASI KEBIJAKAN: penilaian terhadap
implementasi kebijakan yang meliputi
dimenasi konsistensi, transparansi,
akuntabilitas, keadilan, efektivitas, dan
efisiensi.
SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK & ADMNINISTRASI PUBLIK

OUTCOME

Formulasi Implementasi Evaluasi


Kebijakan Kebijakan Kebijakan

REFORMULASI
KEBIJAKAN
(FEEDBACK)

Gunawan Undang, 2021


2. Pemerintahan Daerah
❑ Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Otonomi Daerah
❑ Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
❑ Asas Otonomi adalah prinsip dasar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
berdasarkan Otonomi Daerah.
❑ Desentralisasi adalah penyerahan Urusan
Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
❑ Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.
❑ Tugas Pembantuan (medebewind) adalah
penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah
provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi.
4. Keuangan Daerah
Dalam suatu APBD, sumber pendapatan daerah terdiri atas:
1. PAD)
a) pajak daerah,
b) retribusi daerah,
c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
d) lain-lain PAD yang sah.
2. Pendapatan transfer
a) Pendapatan transfer (dari pemerintah pusat/APBN)
(1) dana perimbangan (DBH, DAU, dan DAK),
(2) dana otonomi khusus,
(3) dana keistimewaan, dan
(4) dana desa,
b) sedangkan pendapatan transfer antardaerah
(1) pendapatan bagi hasil (DBH) dan
(2) bantuan keuangan, dan
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah
(UU Nomor 23 Tahun 2014, Pasal 285)
5. Dana Perimbangan
❑ Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi.
❑ Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
❑ Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada
Daerah penghasil berdasarkan angka persentase
tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
6. Studi Kasus
Reformulasi Kebijakan Desentralisasi:
Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara
(script draft journal, Januari, 2021)

Gunawan Undang1*
1Program Studi Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana, Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Kota Medan 20214,
Indonesia
*Corresponding Author: gunawanundang@gmail.com
Abstract
Masalah utama artikel ini adalah bahwa penyelenggaraan desentralisasi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia pascareformasi politik (1998) masih bernuansa sentralisasi, sebagaimana sistem pemerintahan Orde Baru.
Hakikat desentralisasi adalah kemandirian daerah, namun dalam praktiknya anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) masih tergantung pada pemerintah pusat (anggaran pendapatan dan belanja negara – APBN). Fenomena
tersebut hampir merata di Indonesia, termasuk di 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, pendapatan
asli daerah (PAD) antar-kabupaten/kota mengalami ketimpangan. Dalam upaya mengevaluasi kebijakan desentralisasi,
studi ini bertujuan untuk menganalisis reformulasi kebijakan tersebut. Metode kajian menggunakan pendekatan mixed
method research dengan bahan analisis data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara (2019).
Hasil analisis terhadap 33 kabupaten/kota menunjukkan bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya 9,42%. Artinya,
ketergantungan APBD terhadap APBN melalui pendapatan transfer otomatis yang diterima daerah sangat tinggi, yakni
90,58% sehingga menimbulkan flypaper effect yang berlangsung hampir seperempat abad (1998—2022). Selain itu,
ketimpangan pendapatan antar-daerah sangat ekstrim. Kota Medan memperoleh PAD tertinggi Rp2,34 triliun (di atas rata-
rata provinsi 189,46 milyar) dengan jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tertinggi Rp6,12 triliun (di
atas rata-rata provinsi Rp1,37 triliun). Hal tersebut mengalami gap yang cukup tinggi dengan Kabupaten Nias Utara yang
memperoleh PAD terendah, yakni Rp12,54 milyar (di bawah rata-rata provinsi Rp189,46 milyar) dengan APBD hanya
Rp839,63 milyar (di bawah rata-rata provinsi Rp1,37 triliun). Secara regulatif, kebijakan tersebut adalah legal karena
dijamin Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021
tentang APBN Tahun Anggaran 2022. Namun, tindakan pemerintah pusat tersebut mempengaruhi kemandirian daerah
karena melegalkan flypaper effect. Dengan demikian, tujuan memandirikan daerah dengan sistem desentralisasi dan
otonomi daerah tidak cukup memadai, karena dalam praktiknya masih kongruen dengan sistem sentralisasi seperti era
Orde Baru. Temuan tersebut berkontribusi pada proses evaluasi kebijakan desentralisasi yang menghendaki dilakukannya
reformulasi kebijakan, tidak hanya di Provinsi Sumatera Utara, tetapi juga di Indonesia.
Kata kunci: reformulasi, kebijakan, desentralisasi.
7. QUIS
❑ Analisislah studi kasus pada point 6 di atas
dari perpektif kebijakan publik;
❑ Indikator-indikator analisisnya minimal 5,
misalnya dari aspek kemandirian daerah,
hakikat otonomi daerah, hakikat
desentralisasi, hakikat dekonsentrasi, dan
sejenisnya dipandang dari segi
proses/siklus kebijakan publik dan
administrasi publik.

Anda mungkin juga menyukai