Anda di halaman 1dari 13

TUGAS LEGAL DRAFTING PERTEMUAN 14 DESEMBER 2022

SOAL
1. Jelaskan apa itu hukum!
2. Jelaskan apa itu subjek hukum, perbuatan hukum, dan peristiwa hukum!
3. Jelaskan bagaimana membuat/membentuk undang-undang dan peraturan daerah (perda)!

JAWABAN
1. Sebenarnya untuk memberikan definisi yang ideal terhadap hukum merupakan sesuatu
yang sukar karena para sarjana dan ahli sendiri belum dapat merumuskan definisi hukum
yang mampu memuaskan keseluruhan pihak. Para sarjana dan ahli umumnya
merumuskan definisi hukum sesuai dengan selera, objek penelitian, dan kepentingannya
masing-masing saja. Sehingga perumusan definisi yang mereka berikan tidak terlepas
dari kebudayaan dan situasi penelitian. Namun begitu, terkait dengan definisi hukum,
saya mengutip beberapa pendapat ahli dibawah ini:
1) Hukum menurut Utrecht didefinisikan sebagai himpunan petunjuk hidup baik
berbentuk perintah atau larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar
dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.
2) Hukum menurut Vant Kant didefinisikan sebagai serumpunan peraturan yang
bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan
orang dalam masyarakat.
3) Hukum menurut M.H. Tirtaadmidjaja didefinisikan sebagai norma atau semua
aturan yang harus dituruti dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan
hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan itu yang
akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda, dan lain sebagainya.
4) Hukum menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto didefinisikan
sebagai peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan ini berakibat diambilnya tindakan, yaitu
dengan hukuman.
5) Hukum menurut Bellefroid didefinisikan sebagai peraturan yang berlaku di suatu
masyarakat, yakni tata tertib masyarakat yang didasarkan atas kekuasaan yang ada
di masyarakat.
Berangkat dari keseluruhan pendapat ahli diatas, saya menemukan persamaan dari
definisi-definisi hukum diatas, yakni hukum diartikan sebagai peraturan dalam
masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat dan apabila dilanggar maka oleh
pemerintah atau penguasa dalam masyarakat tersebut akan diberikan suatu sanksi.
2. A. Subjek hukum:
Subjek hukum oleh Utrecht didefinisikan sebagai suatu pendukung hak yaitu manusia
atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung hak. Kemudian, menurut
Purbacaraka dan Soerjono Seokanto, subjek huku ialah pihak-pihak yang berhubungan
dengan sistem hukum. Dimana, sifat-sifat dari subjek hukum meliputi hal-hal dibawah
ini:
1) Mandiri karena memiliki kemampuan penuh untuk bersikap tindak.
2) Terlindung karena (dianggap) tidak mampu bersikap tindak
3) Perantara yang walaupun berkemampuan penuh sikap tindaknya dibatasi, sebatas
kepentingan pihak yang ditengahi (diantarai).
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto juga menambahkan bahwa hakikat subjek
hukum dibedakan antara:
1) Pribadi kodrati (natuurlijk person), yaitu manusia tanpa terkecuali.
2) Pribadi hukum (rechtpersoon), yaitu:
a. Suatu keutuhan harta kekayaan, misalnya wakaf dan yayasan.
b. Suatu bentuk susunan relasi, misalnya koperasi, perseroan terbatas di
bidang Hukum Perdata dan Negara serta bagiannya di bidang Hukum
Tantra/Negara.
3) Tokoh atau status, dimana dalam konteks ini status dapat digunakan dalam
berbagai bidang hukum, misalnya suami-istri dalam hukum keluarga atau
pewaris-ahli waris dalam hukum waris.
Adapun yang dikategorikan sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan
hukum. Sebagai subjek hukum, sejak lahir hingga meninggal, manusia berperan sebagai
pembawa hak dan kewajiban. Kemudian badan atau perkumpulan sebagai subjek hukum
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Sebagaimana yang
diterangkan oleh C.S.T Kansil, badan dan perkumpulan dapat memiliki kekayaan sendiri,
ikut serta dalam lalu-linta hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan
menggugat di muka hakim. Badan-badan atau perkumpulan ini dinamakan badan hukum
(rechtspersoon) dengan arti orang (persoon) yang diciptakan hukum.
Perbuatan hukum menurut R. Soeroso dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Ilmu Hukum (hal. 291) memiliki definisi sebagai setiap perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum
adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya
diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang
melakukan hukum. Perbuatan hukum atau tindakan hukum baru terjadi apabila ada
pernyataaan kehendak. Untuk adanya pernyataan kehendak diperlukan:
1) Adanya kehendak orang itu untuk bertindak, menerbitkan/menimbulkan akibat
yang diatur oleh hukum.
2) Pernyataan kehendak, pada asasnya tidak terikat pada bentuk-bentuk tertentu dan
tidak ada pengecualiannya, sebab dapat terjadi secara:
a. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan:
a) Tertulis, yang dapat terjadi antara lain:
 Ditulis sendiri
 Ditulis oleh pejabat tertentu dan ditanda-tangani oleh
pejabat itu, disebut juga akta otentik atau akta resmi seperti:
mendirikan PT dengan akta notaris, suatu pernikahan
dengan surat nikah dan seorang lulus ujian diberikan
ijazah/sertifikat.
b) Mengucapkan kata, pernyataan kehendak ini cukup dengan
mengucapkan kata setuju, misalnya dengan mengucapkan ok, ya,
acc dan semacamnya.
c) Isyarat (gerben), pernyataan kehendak secara tegas dengan
isyaratnya, misalnya: dengan manganggukkan kepala tanda setuju,
menggelengkan menyatakan menolak atau dengan sikap tangan
atau bahu, mencibirkan mulut, mengerlingkan mata dan
sebagainya.
3) Pernyataan kehendak secara diam-diam dapat diketahui dari sikap atau perbuatan,
misalnya:
a. Sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju.
b. Seorang gadis yang ditanya oleh orang tuanya untuk dinikahkan dengan
seorang pemuda. Gadis itu diam diri berarti setuju.
Perbuatan hukum sendiri terdiri dari:
1) Perbuatan hukum sepihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban oleh satu pihak pula. Misalnya:
a. Pembuatan surat wasiat (Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata).
b. Pemberian hibah sesuatu benda (Pasal 1666 KUH Perdata).
2) Perbuatan hukum dua pihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak
(timbal-balik). Misalnya persetujuan jual-beli (Pasal 1457 KUHPerdata),
perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain.
Terakhir, yang dimaksud dengan peristiwa hukum menurut R. Soeroso dalam
bukunya Pengantar Ilmu Hukum (hal. 251) adalah:
1) Suatu rechtsfeit/suatu kejadian hukum.
2) Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh
hukum.
3) Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum, karena
hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subjek hukum atau karena subjek
hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.
4) Peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua
peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa
hukum.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan peristiwa hukum itu
adalah sebuah peristiwa yang dapat menggerakkan hukum/menimbulkan akibat hukum.
Tidak semua peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum. Hanya peristiwa-
peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan
untuk itu ia disebut sebagai peristiwa hukum. Contohnya ketika Budiono mengambil
sepeda motor miliknya sendiri, maka timbullah suatu peristiwa. Peristiwa ini tidak
menggerakkan hukum untuk bekerja, lain halnya apabila yang diambil oleh Budiono
adalah sepeda motor orang lain, misalnya Susanti. Di sini hukum digerakkan untuk
bekerja, oleh karena hukum memberikan perlindungan terhadap Susanti yang sepeda
motor nya diambil oleh Budiono tersebut. 
3. A. Mekanisme pembuatan undang-undang di Indonesia
Proses pembentukan undang - undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan tepatnya dari Pasal 16
sampai dengan Pasal 23, kemudian Pasal 43 sampai dengan Pasal 51 dan pasal 65 sampai
dengan Pasal 74. Berdasarkan ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan
sebuah undang-undang:
1) Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa berasal dari Presiden, DPR atau
DPD.
2) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga terkait.
3) Rancangan Undang-Undang (RUU) kemudian dimasukkan ke dalam Program
Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5
tahun.
4) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan harus dilengkapi dengan
Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Rancangan Undang-Undang (RUU) Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang - undang (Perpu) menjadi undang-undang, serta Rancangan
Undang-Undang (RUU) pencabutan undang-undang atau pencabutan Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu).
5) Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah
Rapat Paripurna.
6) Di Rapat Paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui
dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut.
7) Jika disetujui untuk dibahas, Rancangan Undang-Undang (RUU) akan
ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
8) Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan
Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia
Khusus.
9) Pembicaraan tingkat II dilakukan di Rapat Paripurna yang berisi:
a. Penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I.
b. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota
secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna.
c. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang
mewakilinya.
10) Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan
diambil dengan suara terbanyak.
11) Bila Rancangan Undang-Undang (RUU) mendapat persetujuan bersama DPR dan
wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan
tanda tangan. Dalam Undang-Undang akan ditambahkan kalimat pengesahan
serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia.
12) Dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-
Undang (RUU) disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut
sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. 13. Setelah diundangkan
DPR melakukan penyebarluasan undang-undang tersebut melalui media cetak
maupun elektronik. Penyebarluasan dilakukan oleh DPR Pemerintah pada setiap
tahapan proses pembentukan undang-undang.
B. Mekanisme pembuatan peraturan daerah (perda) di Indonesia
Secara umum, mekanisme penyusunan peraturan daerah atau yang biasa disebut
dengan Perda terbagi menjadi 5 tahap, yaitu:
1) Perencanaan
Perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi dilakukan
dalam Program Legislasi Daerah (prolegda) provinsi. Prolegda provinsi
memuat program pembentukan peraturan daerah provinsi dengan judul
rancangan peraturan daerah provinsi, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Materi
yang diatur merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan
peraturan daerah provinsi yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan.
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur.
d. Jangkauan dan arah pengaturan.
Materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan
dalam naskah akademik. Dalam penyusunan prolegda provinsi,
penyusunan daftar rancangan perda provinsi didasarkan atas:
a. Perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi.
b. Rencana pembangunan daerah.
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
d. Aspirasi masyarakat daerah.
Hasil penyusunan prolegda provinsi antara DPRD provinsi dan
pemerintah daerah provinsi disepakati menjadi prolegda provinsi dan
ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD provinsi. Prolegda provinsi
ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. Selain melalui prolegda,
rancangan peraturan daerah juga dapat direncanakan penyusunannya
dengan:

a. Dimuat dalam daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas akibat


putusan Mahkamah Agung, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi dan perda provinsi yang dibatalkan, diklarifikasi,
atau atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
b. Perencanaan penyusunan di luar prolegda, dimana pemrakarsa
dapat mengajukan rancangan perda provinsi di luar prolegda
provinsi berdasarkan izin prakarsa dari gubernur dengan syarat
dalam keadaan tertentu seperti untuk mengatasi kejadian luar biasa
seperti konflik atau bencana alam, akibat kerja sama dengan pihak
lain dan keadaan tertentu lain yang urgen untuk membentuk perda
dengan persetujuan bersama Balegda dan biro hukum.
2) Penyusunan
Rancangan perda provinsi dapat berasal dari DPRD provinsi atau
gubernur. Selain itu, rancangan perda provinsi dapat diajukan oleh
anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi. Rancangan perda
provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah
akademik. Tahap penyusunan rancangan perda provinsi adalah sebagai
berikut:
a. Penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
yang memuat paling sedikit pokok pikiran dan materi muatan yang
akan diatur di dalam perda provinsi yang disiapkan oleh
pemrakarsa.
b. Biro hukum pemerintah daerah provinsi melakukan penyelarasan
naskah akademik yang diterima satuan kerja perangkat daerah
provinsi yang dilaksanakan dalam rapat penyelarasan dengan
melibatkan pemangku kepentingan.
c. Gubernur memerintahkan pemrakarsa untuk menyusun rancangan
perda provinsi berdasarkan prolegda provinsi dengan membentuk
tim penyusun yang terdiri dari gubernur, sekda, pemrakarsa, biro
hukum, satuan kerja perangkat daerah terkait dan perancang
peraturan perundang-undangan.
d. Dalam penyusunan rancangan perda provinsi, tim penyusun dapat
mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari perguruan tinggi
atau organisasi kemasyarakatan sesuai kebutuhan.
e. Rancangan perda provinsi yang telah disusun diberi paraf
koordinasi oleh tim penyusun dan pemrakarsa.
f. Pengharmonisasaian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang
dikoordinasikan oleh kepala biro hukum dan dapat melibatkan
instansi vertikal dari kementerian bidang hukum.
g. Rancangan perda dibubuhi paraf persetujuan dari pemrakarsa dan
pimpinan satuan kerja perangkat daerah provinsi dan disampaikan
sekda kepada gubernur. 
3) Pembahasan
Pembahasan rancangan peraturan daerah provinsi dilakukan oleh DPRD
provinsi bersama gubernur. Pembahasan bersama dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan
dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Secara lebih rinci,
berikut tahapan pembahasan rancangan peraturan daerah provinsi:
a. Rancangan perda provinsi yang berasal dari gubernur disampaikan
dengan surat pengantar kepada pimpinan DPRD Provinsi yang
memuat latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran dan materi
pokok yang diatur yang menggambarkan substansi rancangan
perda.
b. Rancangan perda provinsi dari DPRD provinsi disampaikan
dengan surat pengantar pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur
untuk dilakukan pembahasan yang memuat latar belakang, tujuan
penyusunan, sasaran dan materi pokok yang diatur serta
menggambarkan substansi rancangan perda.
c. Pembicaraan tingkat I yang meliputi:

Rancangan Perda Provinsi dari Gubernur Rancangan Perda Provinsi dari DPRD
Provinsi
Penjelasan gubernur dalam rapat Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan
paripurna mengenai rancangan perda gabungan komisi, pimpinan Balegda,
atau pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai rancangan
perda
Pemandangan umum fraksi terhadap Pendapat gubernur terhadap rancangan
rancangan perda perda
Tanggapan dan/atau jawaban gubernur Tanggapan dan/atau jawaban fraksi
terhadap pemandangan umum terhadap pendapat gubernur
d. Pembicaraan tingkat II terdiri dari keputusan rapat paripurna yang
didahului dengan laporan pimpinan komisi/gabungan
komisi/panitia khusus yang berisi pendapat fraksi serta hasil
pembahasan dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan
oleh pimpinan rapat paripurna dan diakhiri dengan pendapat akhir
gubernur. Jika dalam pembicaraan tingkat II rancangan perda
provinsi tidak dapat dicapai persetujuan melalui musyawarah,
maka keputusan didasarkan pada suara terbanyak. Adapun jika
rancangan perda provinsi tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPRD provinsi dan gubernur, maka rancangan perda
tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD
Provinsi pada masa sidang itu.
4) Penetapan/Pengesahan
Rancangan perda provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD
provinsi dan gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada
gubernur untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah
provinsi. Penyampaian rancangan perda provinsi dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Rancangan perda provinsi ditetapkan oleh gubernur dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak
rancangan perda provinsi disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan
gubernur. Dalam hal rancangan perda provinsi tidak ditandatangani oleh
gubernur dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan perda provinsi
tersebut disetujui bersama, rancangan perda provinsi tersebut sah menjadi
peraturan daerah provinsi dan wajib diundangkan.Naskah yang telah
ditandatangani gubernur dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda
provinsi.Adapun jika lebih dari 30 hari naskah tidak ditandatangani
gubernur maka ditulis kalimat pengesahan oleh sekda provinsi yang
berbunyi “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah” di halaman terakhir
naskah perda, yang kemudian dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda
provinsi.
5) Pengundangan
Peraturan daerah provinsi diundangkan dalam Lembaran Daerah
oleh sekda. Adapun penjelasan perda provinsi diundangkan dalam
Tambahan Lembaran Daerah. Peraturan perundang-undangan mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan,
kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Munawaroh, Nafiatul. 5 Tahap Proses Pembentukan Peraturan Daerah. 22 Juli 2022. Hukum
Online. Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.17 WIB melalui:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/proses-pembentukan-peraturan-daerah-
lt62da5d870df68.

Oktavira, Bernadetha Aurelia. Pengertian Hukum dan Unsur-Unsur Hukum. 24 Mei 2022.
Hukum Online. Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.02 WIB melalui:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-hukum-dan-unsur-unsur-hukum-
lt628c8643271d0

Pradana, Arasy. Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. 7 Juli 2022. Hukum Online.
Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.15 WIB melalui:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/proses-pembentukan-undang-undang-di-
indonesia-lt506c3ff06682e

Hasanah, Sovia. Arti Peristiwa Hukum Dan Hubungan Hukum. 7 Mei 2018. Hukum Online.
Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.05 WIB melalui:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-peristiwa-hukum-dan-hubungan-hukum-
lt5aebc758a2210

Hasanah, Sovia. Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum, dan Akibat Hukum. 28 Mei
2019. Hukum Online. Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.07 WIB melalui:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-
dan-akibat-hukum-lt5ceb4f8ac3137

Sabat, Olivia. Pengertian Hukum Menurut Para Ahli dan Penggolongannya. 5 November 2021.
Detik Edu. Diakses pada 14 Desember 2022 pukul 12.01 WIB melalui:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5798560/pengertian-hukum-menurut-para-ahli-
dan-penggolongannya

Anda mungkin juga menyukai