Anda di halaman 1dari 4

Jalan Menuju Slamet Dawah Wingking

Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan daya perangkat yang
sempurna. Elemen yang ada di dalamnya berupa elemen jasmani dan rohani. Selain itu, ada pula
elemen nafsu dan akal. Sebagai khalifatullah fil ‘ardh, manusia memiliki beragam sifat dari
Tuhan—yang dalam lingkup tertentu tidak dapat disamakan dengan Tuhan, tetapi paling
menyerupai dalam segi sifatnya.

Amanat manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardh di dalam kitab suci umat Islam
ditandaskan bahwa, sebenarnya amanat ini ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung. Namun,
mereka semua enggan menerimanya, karena begitu beratnya amanah ini. Akan tetapi, hanya
manusialah yang sanggup untuk menanggungnya. Dalam menjalankan amanat tersebut, tentu
oleh Tuhan manusia dibekali dengan sekian fasilitas, beragam peran dan jalan.

Sebagai khalifah di bumi manusia harus memiliki pegangan kuat dalam menempuh
perjalanan hidup agar selamat, hingga pada akhir hayatnya, manusia dapat menerima
penghargaan berupa label slamet dawah wingking. Slamet dawah wingking merupakan hasil
proses akulturasi ajaran Islam dengan ajaran Jawa. Dalam Islam, tentu kita mengenal perihal
husnul khatimah. Slamet dawah wingking ini memiliki makna yang tidak jauh beda dengan
husnul khatimah.

Akulturasi ajaran ini merupakan buah kecerdikan para ulama/sesepuh Jawa pada zaman
dahulu. Sebab, ketika mendakwahkan Islam dengan bahasa Arab itu sangat sulit untuk diterima,
apalagi dilafalkan oleh mulut seorang Jawa, karena harus belajar bahasa satu per satu. Maka,
tercetuslah ucapan Slamet Dawah Wingking—yang tentu bagi masyarakat Jawa awam sekalipun
sangat mudah dipahami maksudnya. Supaya meraih slamet dawah wingking, manusia harus
dapat memegang teguh ajaran yang dalam konteks ini disebut Sapta Wasitatama.

Dua Prinsip Sapta Wasitatama

Sapta Wasitatama berarti ‘tujuh ajaran luhur’. Namun, secara prinsipil yang harus
dipegang erat oleh setiap insan Muslim dalam menuju kebahagiaan akhir ada dua: Tauhid dan
olah nafsu. Tauhid dicitrakan dengan kalimat “Tuhan menitahkan alam semesta seisinya dengan
sabdanya, sebelum disabda segala sesuatunya berada pada Yang Menyabda”. Maksud dari butir
ini berkaitan dengan ajaran ketauhidan atau kemanunggalan. Tauhid itu sendiri memberi dampak
akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam meyakini Tuhan, kita sebagai umat Muslim khususnya manusia Jawa diharuskan
untuk mengenalinya. Karena mengenali Tuhan harus dengan ilmu pengetahuan dan pencerapan
rasa yang hakiki. Sebab dikhawatirkan jika meyakini Tuhan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan
akan gugur dan luruh keyakinan tersebut. Sedang dalam mengenalinya, dapat diklasifikasikan
dengan empat hal, yakni asma, sifat, af’al dan dzat. Sebagai manusia, kita hanya mampu
mengenali Tuhan sampai pada titik af’al atau perbuatan Tuhan.

Karena berkaitan dengan zat Tuhan dalam ajaran ketauhidan Islam, sudah dikenal bahwa
salah satu sifat Tuhan itu Mukhlafatu lil hawaditsi, serta Nabi pun pernah melarang kita untuk
memikirkan zat Tuhan dan kita hanya boleh memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
makhluk-Nya. Adapun nama, sifat dan perbuatan Tuhan sangat berkaitan dengan makhluk-Nya,
namun zat Tuhan sendiri tidak berkaitan dengan makhluk. Oleh sebab itu, berdasar sabda Nabi di
atas, kita dilarang untuk berpikir dalam mengenali zat Tuhan.

Asma atau nama Tuhan telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad berjumlah 99, hal ini
sebagaimana yang tertera dalam kitab hadis Bukhari dan Muslim. Sedangkan sifat Tuhan itu
sendiri terbagi menjadi tiga, yakni sifat wajib, muhal dan jaiz. Semua sifat tersebut berjumlah 50
atau dikenal istilah aqaid 50. Untuk perbuatan Tuhan dapat kita lihat dari semua ciptaannya,
hingga berujung pada keyakinan bahwa di dalam Tuhan menciptakan apa pun, tidak akan pernah
ditemui adanya sesuatu hal yang mengecewakan bagi Tuhan.

Muslim Jawa dalam memahami Tuhan memiliki ciri khas tersendiri, sebagaimana yang
tertera dalam buku yang bertajuk Islam Kejawen gubahan M. Hariwijaya (2006) yakni,
“Pangeran iku siji lan nyawiji, ana ing endi-endi papan nanging aja sira wani-wani ngaku
Pangeran, maha langgeng, maha berkehendak tanpo ana ingkang bisa murungake, tan kena
kinaya ngapa.” Maksud dari hal di atas adalah Tuhan itu hanya ada satu, Dia tidak dibatasi oleh
waktu dan tempat (ruang spasial), karena waktu dan tempat merupakan hasil ciptaan-Nya.

Mana mungkin ciptaan dapat berpengaruh pada penciptanya. Meskipun begitu, jangan
sampai kita mengaku sebagai Tuhan karena pernyataan Tuhan itu di mana-mana. Seperti yang
sudah dibahas sebelumnya, bahwa Tuhan sudah barang tentu berbeda dengan kita. Kehendak
Tuhan tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Tuhan itu laysa kamitslihi syaiun berbeda dengan
makhluk-Nya. Setelah kita mengenali Tuhan hingga menimbulkan keyakinan yang kukuh, atau
dalam bahasa ilmu kalam dikenal dengan istilah marifat binnadzar.

Di samping ketauhidan yang harus dimiliki oleh muslim Jawa, maka yang harus
diperhatikan dalam hal ini adalah soal nafsu, guna mencapai tangga terakhir yakni husnul
khatimah. ”Barangsiapa selalu melatih rasa, kalau Tuhan berkehendak, nisacaya ia akan dapat
merasakan rasa sejati tanpa menggunakan jasad”. Rasa di sini diartikan sebagai nafsu dalam
diri manusia.

Mengolah Empat Sifat Nafsu

Nafsu itu sendiri oleh para pengkaji ilmu batin dibagi menjadi 4, yaitu: Nafsu
Lawwamah, Amarah, Sufiyah dan Muthmainah. Atau dalam istilah jawa dikenal dengan nepsu
ireng, abang, kuning, lan putih. Nafsu Lawwamah atau nepsu ireng memiliki watak tamak,
serakah, dan kikir. Fungsinya sebagai penyedia bahan pangan guna mencukupi kebutuhan setiap
hari bagi semua sel di tubuh. Amarah atau nepsu abang berwatak keras, panas, tidak mau kalah
dan suka mendendam. Berfungsi untuk melindungi diri dan menundukkan lawan dan mangsa.

Sufiyah atau nepsu kuning berwatak jujur dan apa adanya sesuai fakta kebenaran.
Berfungsi dalam pencarian terhadap kebenaran. Terakhir Muthmainah atau nepsu putih memiliki
perwatakan halus, waspada dan waskita. Fungsi dari nafsu Muthmainah itu sendiri untuk
mengetahui keadaan kebutuhan hidup dan mengetahui adanya bahaya yang mengancam. Dalam
mengolah rasa, keempatnya harus diolah-diatur sedemikian rupa. Supaya tidak ada yang berlebih
atau malah kurang. Karena ketika lebih tidak baik atau pun sebaliknya.

Namun, dalam pengolahan tersebut pun dibutuhkan pengenalan secara seksama terhadap
keempatnya. Dengan seringnya kita mengolah keempat nafsu tersebut, tatkala Tuhan berkenan,
kita pun dapat merasakan “rasa sejati” dan menemukan “hakikat yang tersembunyi”. Begitulah
kiranya, pembahasan kali ini yang pada intinya di dalam mendapatkan tujuan akhir, yakni husnul
khatimah, kita dituntut agar mengenali Tuhan dan sering mengolah rasa kita, serta barang tentu
dengan mengamalkan apa yang sudah diperintah Tuhan dan utusan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai