Anda di halaman 1dari 5

MEMBANGUN TOLERANSI BERBASIS AL QUR’AN

REVIEW BUKU ARGUMEN PLURALISME AGAMA


BAB 1V
Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan

PENDEKATAN KAJIAN ISLAM


Dosen : Prof. Dr. Mohammad Ali Haidar, M.A.

Oleh :
Nurul Rosita, S.Pd.I

PROGRAM PASCA SARJANA IAI AL KHOZINY


SIDOARJO
2021
PANDANGAN AL QUR’AN TENTANG UMAT AGAMA LAIN

Sebagai ajaran fundmental di tegaskan menurut Al Qur’an,perbedaan agama bukan penghalang


untuk merajut tali persudaraan antar sesama manusia yang berlainan agama. Nabi Muhammad Saw lahir
ke dunia bukan untuk membela satu golongan, etnis atau agama tertetu saja, melainkan sebagai
rahmatal lil ‘alaamiin.
Tidak ada alasan bagi seorang muslim membenci orang lain yang bukan penganut agama Islam, tetap
memeluk agama non Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Bahkan toleransi yang di
tunjukkan Islam demikian kuat, sehingga umat Islam di larang memaki tuhan –tuhan yang di sembahi
orang –orang musyrik, Ini di nyatakan dalam QS. Al An’am (6): 108

“ Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka,
kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.

Ibnu Katsir menegaskan, ayat ini melarang Nabi dan umat Islam mencaci maki tuhan – tuhan
orang musyrik. Sebab jika umat Islam melakukannya, maka orang musyrik akan melakukan hal yang
sama terhadp Tuhan umat Islam . Ayat tersebut sekali gus menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang
terhadap suatu agama harus di lindungi, Menurut Islam, Perbedaan ekspresi berkeyakinan atau
berketuhanan tidak membenarkan seseorang menganggu “yang lain” Dalam kata lain pemaksaan dalam
perkara agama di samping bertentangan dengan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk
merdeka, juga berlawanan dengan ajaran al – Qur’an, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2):256

“Tidak ada paksaan dalam agama (Islam), Sungguhnya telah nyata (berbeda) antara kebenaran dan
kesesatan. Karena itu, Barang siapa ingkar terhadap Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sungguh ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendenga
dan Maha Mengetahui.”

Abu Muslim dan al Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan di dasarkan
atas suatu pilihan sadar dan buikan paksaan atau suatu tekanan.4) Menuruit Muhammad Nawawi al
jawi, ayat ini menyatakan bahwa pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tak di benarkan.
Ayat tersebut merupakan teks fondasi atas dasarpenyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan
beragama.
Menurut Jaudat Sa’id, ayat itu di nyatakan persis setelah ayat kursi yang di anggap ayat yang paling
utama dan mengandung ajaran mensucikan Allah, maka ayat tersebut mengandung penghormatan
kepada manusia yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Tidak di bolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini bisa di maklumi karena Allah Swt
memposisikan manusia sebagai mahluk berakal. Dengan akalnya, manusiabisa memilih agama yang
ternbaik buat dirinya. Allah Swt berfirman, “Katakanlah Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka
barang siapa yang ingin kafir, biarlah kafir”.7) Ini berarti manusia tidak memiiki kewenangan menilai
dan mengintervensi keimanan seseorang. Tuhan yang berhak menilai benar tidaknya keyakinan. Itupun
di lakukan di akhirat kelak, dalam ayat lain Allah berfirman : QS. Al-Sajadah (32):25

”Sesungguhnya Tuhanmu yang akan memberikan vonis terhadap perselisihan yang terjadi di antara
mereka, nanti pada hari kiamat”

Berpangkal pada keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui hakikat
keberimanan seseorang hanyaAllah. Beriman adalah tindakan soliter, Iman mrupakan bagian dari
komitmen pribadi.
Sebagaimana dasar-dasar normative yang menginspirasi Nabi ketika menyusun Piagam Madinah
bersama umat agama lain, Menurut Fazlur Rahman, Piagam itu menjamin kebebasan beragama, orang
yahudi sebagai komunitas, dengan menekankan kerja sama seerat mungkin dengan kaum muslimin dan
menyeruhkan kepada orang Islam dan yahudi agar bekerja sama demi keamanan keduanya.8) Dalam
pasal 25, Piagam Madinah disebutkan, “Bahwa orang-oang yahudi bani Auf adalah satu umat dengan
kaum muslimin. Orang –orang yahudi bebas berpegang kepada agama mereka, termasuk penikut
mereka dan orang – orang Muslim bebas berpegang kepada agama mereka, termasuk pengikut mereka
sendriri, bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya atau durhaka, maka akibatnya akan di
tanggug oleh dirinya dan keluarganya” Pasal 37 menjelaskan, orang-orang Muslim dan Yahudi perlu
kerja sama dan saling tolong menolong dalam menghaapi musuh.9) Sebuah hadits menyebutkan barang
siapa membunuh orang non-Muslim yang sudah berkomitmen tentang kedamaian, maka ia tak akan
pernah mencium bau surga.” Muhammad Husin Haikal menjelaskan, bahwa semenjak awal sampai
periode Madinah, Nabi Muammad Saw memang punya cita-cita politik memberikan kebebasan kepada
setiap umat, baik Islam mau pun Yahudi untuk menjalankan ajaran agamanya. Ini karena di dasari,
kebebasan merupakan sarana yang paling efektif mencapai suatu integral, setiap kebebasan menentang
kebebasan menurut Husain Haikal sama halnya dengan memperkuat kebatilan.10), Berdasarkan
penjelasn tesebut dapat di Tarik kesimpulan, kebebasan beragama bukan hanya mendapatkan legitimasi
normatif teologis, melainkan juga dikukuhkan dari sudut poitik. Sebagai produk politik, Piagam
Madinah memberikan jaminan Konstitusional terhadap kebebasan beragama, Sekali pun al Qur’an tegas
menyatakan perlunya menjamin kebebasan beragama, Nabi Muhammad Saw tak memandang cukup
dengan anjuran kitab suci umat Islam tersebut. Nabi tampaknya menyadari bahwa ketentuan – ketentuan
al-Qur’aan bisa mengikat umat. Agama lain, karena itu, Nabi merasa perlu memperjuangkan
kebebasabn beragama melalui jalur politik dengan membuat konstitusi yang mengikat semua elmen
masyarakat Madinah.
Piagam Madinah di putuskan pada abad ke 7 M, dan setelah beberapa abad kemudian, Negara-
negara modern merumuskan pentingnya memasukkan ke dalam konstitusi mereka, pada tahun 1948 di
sepakati Deklarasi Universal Hak Assi Manusia (DUHAM),yang memasukkan kebebasan agama
sebagai bagian hak asasi manusia.
Dalam konteks konstitusi Indonesia, kebebasan beragama di jamin UUD 1945 pada pasal 28 ayat (2)
“bahwa setiap orang berhak atas menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”, dan pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menrut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Pengakuan dan Keselamatan Umat Non Muslim


Islaam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip dasar
ajarannya, Namun ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama, sebab setiap agama memiliki
kekhasan, keunikan dan karateristik yang membedakan satu dengan yang lain, karena setiap agama
lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri, Walau pun begitu, semua agama, terutama yang
berada dalam rumpun tradisi abrahamik, mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia
dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhtikan kesamaan tujuan ini, perbedaan ekssoterik agama-
agama mestinya tidak perlu di risaukan.
Ada beberpa ayat yang bisa ditunjuk sebagai bukti pengakuan al-Qur’an terhadap agama-agama lain,
pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitb sebelum Islam. Taurat dan Injil misalnya, di
sebut al-Qur’an sebagai petunjuk dan penerang, Allah berfirman dalam al-Qur’an, QS. Al-Maidah
(5):44

“Sesungguhya Kami telah menurunkan Kiab Taurat yang di dalamya ada petunjuk dan cahaya, yang
dengan Kitab itu di putuskan perkara orang – orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri
kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta di kalangan mereka, di sebabkan
mereka di perintahkan memelihara Kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena
itu, janganlah kalian takut kepada manusia, takutlah KepadaKu, dan janganlah kalian menukar ayat-
ayatKu dengan harga murah. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan
Allah, maka mereka adalah orang-organg kafir”
Wawasan al-Qur’an Tentang Ahli Kitab dan Kafir
1. Pengertian Ahli Kitab dan Pandangan al-Qur’an
a. Pengertian Ahli Kitab
Konsep ahli kitab merupakan konsep penting dalam membangun dialog antar agama, konsep ini bukan
hanya menghubungkan kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim, tetapi juga membuka wawasan
kosmopolitanisme,Islam dalam percaturan tata kehidupan global yang mensyaratkan prinsip-prinsip
keterbukaan. konsep ahli kitab ini di nilai berbagai pihak sebagai konsep yang luar biasa, Cyril Glasse,
sebagaimana di kutip Nur Kholis Majid, men yatakan sebuah wahyu (Islam) yang menyebut wahyu-wahyu
yang lain sebagai abash adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama.10). karena itu, Klaim
Muhammad bahwa dirinya merupakan nabi pamungkas dan agama yan g di bawanya merupakan puncak
pertumbuhan dan perkembangan agama-agama, bukan sebuah klaim eksklusif. Ia datang untuk
memberikan pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran agama-agama itu, agama-agama sebelum Islam
tak di posisikan “yang lain”. Jika para Nabi ytang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu di katakan
Muhammad sebagai bersaudara,maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu di sebut ahli kitab. Ahli
kitab memiliki pengertian sebagai orang-orang yang mempunyai atau berpegangan kepada suatu kitab
Konsep Ahli Kitab ini pada dasarnya merupakan konsep mengenai pengakuan Islam atas agama-
agama di luar Islam yang memiliki kitab yang di turunkan kepada nabi-nabi utusan Allah sebelum nabi
Muhammad. Secara umum, kaum yahudi dan nasrani merupakan dua komunitas agama yang dalam al-
Qur’an di sebut sebagai ahli kitab dan secara jelas mempunyai kesinambungan teologis dengan kaum
muslimin, Al Qur’an menyebut dirinya datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaran
Taurat dan Injil.9) Islam merupakan konstinuasi dari agama-agama sebelumnya.
b. Sikap dan Pandangan Al Qur’an terhadap Ahli Kitab
orang Yahudi, demikian juga orang Nasrani, telah di akui sebagai komunitas- komunitas agama yang
memiliki kitab-kitab yang di wahyukan. Nabi Muhammad yakin bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu
adalah dari Allah dan bahwa mereka menyampaikan kitab-kitab suci tersebut adal;ah nabi-nabi Allah.Itu
sebabny Nabi Muhmmad mengakui bahwa Ibrahim, Musa, Isa dan tokoh-tokoh relgius l;innya yang di
sebutkan dalam perjanjian Lama dan perjanjian Baru adalah nabi-nabi seperti dirinya.Tak dapat di ragukan
lagi bahwa sikap Muhammad Saw. Ini menjadi sewmakin kuat kartena diantarta penganut agama-agama
tersebut ada yang mengakuinya sebagai nabi dan Al-Qur’an sebagai kitab yang di wahyukan Allah.11),
meskipun para pemeluk kitab suci (Al-Qr’an, Taurat dn Injil) menyadari beberapa perbedaan diantara
mereka, al-Qur’an lebih banyak memandang adanya titik-titik persamaan di bandigkan titik-titik
perbedaannya. Karena itu pada prinsipnya, kitab-kitab suci tersebut harus di cari dan di hayati dasar-dasar
pertemuannya. Al-Qur’an melihat dirinya sebagai kelanjutan yang konsisten dari Injl dan Taurat, Bahkan
kitab-kitab atau lembaran-lembaran (shuhuf) para Nabi sebelumnya. Satukesamaan yang mendasar antara
semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana QS. Ali Imran (3):64
“Katakanlah Hai Ahli Kitab, marilah(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan
Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) srbagian kita menjadikan sebagian yang lain tuhan selain Allah.
Jika mereka berplingmaka katakanlah kepada mereka”Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah) ”
2.Pengertian Kafir dan Pandangan Al Qur’an
a.Pengertian Kafir
Konsep kafir merupakan salah satukonsep penting yang perlu di kaji krena selama ini ia kerap kali di
jadikan alasan permusuhan. Dengan bersandar pada konsep itu, sebagian umat Islam menganggap non-
muslim sebagai orang-orang kafir yang halal di bunuh. Bukan hanya kepada non-Muslim, kata kafir pun
kadang di sematkan oleh satu kelompok Islam kepada kelompok Islam yang lain yang di anggap
menyimpang sehingga darah merteka pun halal di tumpahkan. Padahal Rasulullah Saw bersabda agar
seorang Muslim tidak menyakiti seorang Muslim dengan menyebutnya kafir.Sebenarnya makna kafir sangt
beragam, akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa tidak berterima kasih atau tidak bersyukur merupakan
makna awal dari kata kafir. Inti dari struktur semantic “kufr” buknlah “
Tak percaya”, melainkan “tak bersyukur”atau “tak tahu terima kasih”.Meski konsep Al-Qur’an kerap
mengidentifikasi kufr dengan “tidak percaya” , makna awal kata itu tak boleh di tinggalkan, karena unsur
semantiknya akan hilang kalau sebuah kata selalu di lihat dalam kerangka doktrinalnya belaka.
b.Pandangan dan Sikap al Qur’an terhadap Orang Kafir
Ada sekelompok orang yang di sebut al – Qur’an sebagai kafir : pertama Orang yang mengingkari kenabian
. Dalam pandangan Islm, kekafiran mereka bukan hanya mengingkari kenabian Muhammab melainkan juga
kenabian tokoh-tokoh lainnya seperti Isa al Masih dan sebagainya. Al Qur’an menyatakan, orang-orang
Yahudi yang mengingkari kenabian Isa al-Masih di sebut juga kafir.sebagaimana Allah berfiran dalam QS.
An Nisa (4):156
“Karena kekafiran (terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan keustaan besar
(berzina)”.
Kedua Ahli kitab yang mengingkari aat-ayat Allah, Ketiga orang-orang Yahudi yang tak menjalankan
Taurat.

Anda mungkin juga menyukai