Anda di halaman 1dari 9

Faktor Manusia sebagai Penyebab Kecelakaan?

Oleh: Syamsul Arifin

Membaca berita laporan kecelakaan pesawat Sukhoi


Superjet 100 yang menabrak Gunung Salak 9 Mei 2012
lalu, ada kesimpulan menarik yang disampaikan Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bahwa faktor
manusia menjadi penyebab kecelakaan pesawat naas
yang menewaskan 45 orang itu.

Temuan KNKT menyebutkan bahwa awak pesawat tidak


menyadari kondisi jalur penerbangan di kawasan Gunung
Salak dan mengabaikan peringatan dari sistem peringatan
Terrain Awareness Warning System (TAWS). Simulasi
menunjukkan bahwa benturan dapat dihindari jika pilot
melakukan tindakan menghindar hingga 24 detik setelah
peringatan TAWS yang pertama.

Banyak yang mempertanyakan, bagaimana kecelakaan


dapat terjadi pada Alexander Yablontsev, pilot veteran
Rusia yang memegang kendali ketika itu.
Data rekaman percakapan menunjukkan bukti bahwa
perhatian pilot teralihkan karena ada calon pembeli
potensial yang berada di kokpit selama 38 menit -hampir
sepanjang penerbangan, membicarakan konsumsi bahan
bakar, ketika pesawat terbang keluar jalur.

Kesimpulan laporan kecelakan ini membersihkan reputasi


perusahaan JSC Sukhoi dengan meniadakan kegagalan
teknis, sehingga bisa lanjut mengantarkan 42 pesawat
pesanan seharga 30 juta USD per-unitnya ke perusahaan
lokal Kartika Airlines dan Sky Aviation.

Tidak sedikit laporan kecelakaan dengan menunjuk akar


penyebab yang sama: faktor manusia, kelalaian operator,
atau human error!

Sebelum loncat ke kesimpulan tersebut, ada baiknya kita


diskusikan beberapa poin berikut sebelum beranjak ke
faktor manusia.

Pertama, hindari oversimplification (penyederhanaan


berlebihan) suatu masalah. Perlu dipahami keruwetan
pekerja di lapangan dalam menjalankan detail tugas yang
diembannya. Ada target pekerjaan, konflik kepentingan
(antara produksi dengan keselamatan), tuntutan yang
selalu berubah -dengan cepat, hal baru, keterbatasan
sumber daya di lapangan, keterlibatan banyak pihak, dan
keterbatasan waktu dalam mengambil keputusan.

Lingkungan kerja pun tidak sederhana. Dengan semakin


berkembangnya teknologi, cara kita menyelesaikan
pekerjaan –meski semakin efisien, bisa jadi semakin rumit
bagi manusianya sendiri.

Sehingga tidak jarang ada trade-off (tukar guling) antara


ketelitian dengan efektifitas dalam kecepatan
pengambilan keputusan ketika informasi masih terbatas.
Erik Hollnagel menjelaskan hal tersebut secara detail
dalam bukunya, The ETTO Principle (Efficiency-
Thoroughness Trade-Off), Why Things That Go Right
Sometimes Go Wrong.

Kedua, pertimbangkan local rationality (rasionalitas


pengambilan keputusan dalam kondisi tersebut). Pahami,
kenapa keputusan yang diambil tampak masuk akal
(merupakan pilihan yang terbaik) bagi pekerja di lini
depan, saat itu, dalam kondisi itu, dengan konteks
pekerjaan ketika itu.

Tidak ada orang yang berangkat kerja dengan niat hendak


berbuat salah. Keputusan atau tindakan yang diambil
pekerja lini lapangan tampak masuk akal bagi mereka
dengan mempertimbangkan pelatihan dan pengetahuan
yang mereka miliki, serta potongan informasi yang
tersedia ketika itu.

Pekerjaan dalam pikiran (work as imagined) berbeda


dengan pekerjaan ketika dilakukan (work as done).
Sumber daya (resource) yang tersedia di lapangan bisa
jadi terbatas, baik yang berupa hardware (alat kerja),
software (prosedur yang memadai), maupun liveware
(pekerja pendukung lain semisal inspektor, quality control,
pengawas lapangan, tenaga ahli, advisor, dst), dan ada
batasan-batasan (constrain) yang dihadapi saat berusaha
mencapai tujuan pekerjaan.

Ketiga, menyalahkan manusia itu mudah, memenuhi


aspek emosional, tapi tidak menyelesaikan masalah.
Guna memenuhi keingintahuan banyak orang tentang
akar penyebab masalah, biasanya faktor pekerja langsung
disalahkan. Padahal hal tersebut bisa jadi hanya menjadi
efek di permukaan saja. Ada yang mendorong atau
mengkondisikan pekerja berbuat salah. Error precursor
(prasyarat) pekerja berbuat salah, di antaranya faktor
pekerjaan, pekerja, lingkungan kerja.

Kalau kita percaya 100% bahwa pekerja adalah biang


masalah, penyebab celaka, kemudian pendekatan yang
dipakai adalah dengan memecat pekerja tersebut, tapi
tidak menyelesaikan faktor pekerjaan dan faktor
lingkungan yang ada, maka tunggu saja hingga pekerja
lain akan melakukan kesalahan yang sama.

Seperti perumpamaan “membuang apel busuk dari


keranjang buah”, jika yang dilakukan hanya membuang
apelnya saja, tapi tidak mencari tahu lebih dalam mengapa
apel tersebut rusak, maka tidak lama, akan ada ada apel
lain yang akan rusak. Misalnya kerusakan terjadi karena
guncangan ketika pengantaran sehingga apel di dalam
keranjang membentur sisi keranjang yang tajam.
Keempat, menyalahkan korban (victim blaming) karena
tindakannya, hanya menambah luka (psikologis) korban.
Umumnya, pekerja yang berbuat salah, adalah juga
pekerja yang terluka. Menggaungkan kesalahan manusia,
hanya akan menambah lukanya, beban mental. Padahal
hal itu (karena kesalahannya maka ia cedera atau bahkan
meninggal) belum tentu benar.

Perlu kita pahami bahwa setiap orang bisa berbuat salah,


bahkan pekerja yang terbaik juga bisa berbuat salah
(people are fallible, and even the best people make
mistakes).

Salah satu dari 12 prinsip error management oleh


Professor James Reason menyebutkan bahwa: the best
people can make the worst mistakes (orang yang terbaik
bisa jadi malah membuat kesalahan yang terburuk).

Jika pekerja yang berbuat salah itu meninggal, kemudian


masih juga disalahkan atas tindakannya, maka dimanakan
empati anda terhadap keluarga korban yang ditinggalkan?
Kelima, hindsight bias. Bias karena telah memahami
kejadian secara menyeluruh setelah terjadi.

Tidak sedikit investigator kecelakaan yang terjebak bias ini


karena sudah menggali semua detail kecil informasi pada
kejadian, karena pengambilan data mulai dari jauh waktu
sebelum insiden dengan waktu yang leluasa untuk
menganalisa aspek detail kecil informasi dari banyak
pihak. Tidak mau mengerti bahwa ketika kejadian,
waktunya begitu cepat, informasinya hanya sepotong,
tuntutannya begitu tinggi, dan ada banyak keterbatasan
untuk mencapai tujuan pekerjaan.

Terowongan untuk memahami kesalahan manusia. Lihat


dari “dalam” (perspektif pekerja) bukan dari “luar” atau
highsight. –diadaptasi dari buku The Field Guide to
Understanding Human Error, Sidney Dekker.
Untuk itulah, sebelum berkata kesalahan manusia adalah
penyebab kejadian kecelakaan, coba perhatikan kelima
poin di atas.

Bisa jadi, ternyata selama ini, kita senang ‘loncat pada


kesimpulan’ (jump into conclusion), terjatuh pada
menyalahkan manusia dan melewatkan banyak hal
penting yang lebih bermanfaat dalam memperbaiki sistem
kerja (ketika investigasi kecelakaan).

---000---

Penyusun:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
Praktisi K3LH.
www.syamsularifin.org
Referensi:
South China Morning Post. Human error caused fatal Sukhoi
Superjet crash, report says. Diakses 15 Juli 2019 di:
https://www.scmp.com/news/asia/article/1107714/hum
an-error-caused-fatal-sukhoi-superjet-crash-report-says
Tirto. Tragedi Sukhoi di Gunung Salak: Maut dalam 38 Detik
yang Terabaikan. Diakses 15 Juli 2019 di:
https://tirto.id/tragedi-sukhoi-di-gunung-salak-maut-
dalam-38-detik-yang-terabaikan-cJ7m
BBC News Indonesia. Kecelakaan Sukhoi disebabkan 'faktor
manusia'. Diakses 15 Juli 2019 di:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/
12/121218_sukhoi_knkt
Holden, Richard J. People or systems? To blame is human. The
fix is to engineer. 2009. Majalah Professional Safety
European Organisation for the Safety of Air Navigation
(EUROCONTROL). Systems Thinking for Safety: Ten
Principles. 2014
Woods, David D dan Richard I. Cook. Perspectives on Human
Error: Hindsight Biases and Local Rationality. 1999.
Handbook of Applied Cognition
Shorrock, Steven. The Varieties of Human Work. 2017. Website
Humanistic Systems
U.S. Department of Energy. Human Performance Improvement
Handbook, Volume 1: Concepts and Principles. 2009
Aerossurance. James Reason’s 12 Principles of Error
Management. Di akses 21 Juli 2019 pada:
http://aerossurance.com/helicopters/james-reasons-12-
principles-error-management
Feldman, David B. Why Do People Blame the Victim? 2018.
Psychology Today
Dekker, Sidney. The Field Guide to Understanding Human
Error. 2014. Ashgate Publishing.

Anda mungkin juga menyukai