Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nuni Rahmadana

Nim : 10300118073
Kelas : PMH B

CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Dalam penyelesaian ta’arudh al-adillah Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan
Syafiiyah dalam menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ta’arud bisa
terjadi antara nash-nash syara’ ataupun ta’arud antara dalil-dalil selain nash. Ta’arud yang terjadi pada
dalil-dalil selain nash, semisal ta’arud antara dua qiyas, maka waijb bagi seorang mujtahid untuk mentarjih
kedua qiyas tersebut dengan mengutamakan salah satunya.
Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya secara sistematis adalah sebagai
berikut
1. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al- adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh
melalui:

a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu
turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang
datang kemudian.

b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara
tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau
(rajih).

c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak
mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang
bertentangan.

d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak
menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain
yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa
menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa
menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.

2. Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:
a. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya.
Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-
Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang
masa iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.

b. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya yang
ditempuh adalah dengan tarjih.

c. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya
meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu
dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.

d. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya adalah
tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih rendah
kualitasnya.

Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana
telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada
urutannya.

1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut

2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut[5]

CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq


(menggabungkan dan mengkompromikan)

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:

‫ ﻳﺘﻮﻓﻮﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻭﻳﺬﺭﻭﻥ ﺃﺯﻭﺍﺟﺎ ﻳﺘﺮﺑﺼﻦ ﺑﺄﻧﻔﺴﻬﻦ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮﺍ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻠﻐﻦ ﺃﺟﻠﻬﻦ ﻓﻻ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻓﻌﻠﻦ‬f‫ٌ ﺮ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ‬
‫ﻓﻰ ﺃﻧﻔﺴﻬﻦ ﺑﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﷲ ﺑﻤﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮﻥ ﺧﺒﻴ‬
Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:

‫ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ ﻳﺴﺮﺍ‬, ‫ﻭﺃﻭﻟﺖ ﺁﺄﻟﺣﻤﺍﻝ ﺃﺟﻠﻬﻦ ﺃﻥ ﻳﻀﻌﻦ ﺣﻤﻠﻬﻦ ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ ﷲ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ‬

Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suami
baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua
tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai
hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat pertentangan
mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan itu seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut
dapat difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil
adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua
bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika
perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya meninggal,
maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari
perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.

2. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh Surah

Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

‫ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﺇﻥ ﺗﺮﻙ ﺧﻴﺮﺍ ﺍﻟﻮﺻﻴﺔ ﻟﻠﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﺄﻟﻗﺮﺑﻴﻦ ﺑﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ‬

tanda) maut, -“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda bapak dan
karib -jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
orang yang bertakwa.”-kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang Ayat

tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:


‫ ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺧﻄﺒﺘﻪ ﻋﺎﻡ ﺣﺠﺔ ﺍﻟﻮﺩﺍﻉ ﺇﻥ ﷲ ﻗﺪ ﺃﻋﻄﻰ ﻟﻜﻞ ﺫﻱ ﺣﻖ‬: ‫ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﻗﺍﻝ‬
‫ﺣﻘﻪ ﻓﺎﻠ ﻭﺻﻴﺔ ﻟﻮﺍﺭﺙ‬

Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika -“Dari Abu Umamah al khutbah
haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka
tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi)

3. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

‫ ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﺃﺻﺒﺢ ﺟﻨﺒﺎ ﻓﺎﻠ ﺻﻮﻡ ﻟﻪ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﺘﺎﺏ ﻗﺍﻝ‬

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub
sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

‫ﻋﻦ ﻋﺎﯨ ﺸﺔ ﻭﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ ﺯﻭﺟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻬﻤﺎ ﻗﺍﻟﺘﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺼﺒﺢ ﺟﻨﺒﺎ ﻣﻦ ﺟﻤﺎﻉ ﻏﻴﺮ‬
‫ﺍﺣﺘﺎﻠﻡ ﻓﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺛﻢ ﻳﺼﻮﻡ‬.

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw.
masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau
berpuasa.” (HR. Malik)

4. Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain Firman

Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

‫ﻓﺂﻗﺮﺀﻭﺍ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ‬

Qur’an-“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Sedangkan

dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:

‫ ﻭﺃﻧﺼﺘﻮﺍﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺮﺣﻤﻮﻥ‬,‫ﻭﺇﺫﺍ ﻗﺮﻯﺀﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻓﺂﺳﺘﻤﻌﻮﺍﻟﻪ‬

baik, dan perhatikanlah -Qur’an, maka dengarkanlah baik-“Dan apabila dibacakan Al


dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca
ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks
shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan
kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran
sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan.
Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum yang saling bertentangan.
Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai
ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya
pada hadits yang menjelaskan:

‫ﻣﻦ ﺻﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﺈﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻟﻪ ﻗﺮﺍﺀﺓ‬

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi
baginya”. (HR. Jama’ah)

Anda mungkin juga menyukai