Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Bengkulu

Judul : Batu Amparan Gading


Nama : RENDI PUTRA
Kelas : X2

Pada suatu masa, hiduplah seorang raja bernama Raja Muda. Permaisurinya
bernama Putri Gani. Mereka dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa dua orang anak,
laki-laki dan perempuan. Kehidupan rumah tangga mereka sangat
bahagia.Halaman istana mereka sangat luas dihiasi taman bunga yang tertata
rapi. Dihalaman depan terdapat sebuah batu besar yang datar permukaannya,
berwarna kuning gading, bernama Batu Amparan Gading. Di kala sore hari,
sangat sering Raja muda beserta Putri Gani dan anak-anaknya duduk bersantai.
Mereka bercengkerama di atas Batu Amparan Gading itu. Nasib malang yang
menimpa keluarga Raja Muda beserta Putri Gani tidak dapat di tolak. Istrinya
yang tercinta Putri Gani sakit, kemudian meninggal dunia. Rasa sedih dan pilu
hati Raja Muda semakin mendalam melihat kedua anaknya yang masih kecil,
tiada lagi belaian kasih sayang ibu tercinta.Hari demi hari berlalu. Raja Muda
beristri lagi. Ia menikah dengan seorang putri Raja Hulu Sungai. Kedua
anaknya telah memiliki ibu kembali, walau ibu tiri.Pada awal pernikahan, istri
Raja Muda yang baru sangat baik kepada kedua anak tirinya. Kehadirannya di
tengah-tengah keluarga Raja Muda menjadi penghibur bagi kedua anak
tirinya.Akan tetapi, suasana ceria yang dirasakan kedua anak kecil itu tidak
berlangsung lama. Segala gerik dan tingkah laku mereka mulai tidak disenangi
oleh ibu tirinya. Ibu tiri mereka mulai nyinyir dan sering marah kepada mereka.
Apa saja yang mereka inginkan dan lakukan selalu salah. Lebih menyedihkan
lagi jika Raja Muda tidak di istana, mereka sering tidak diberi makan oleh ibu
tiri mereka. Kalaupun diberi, hanya sedikit. Sehingga mereka tetap merasa
lapar. Kasih sayang seorang ibu yang mereka harapkan tidak dapat mereka
rasakan lagi. Bersenda gurau di atas Batu Amparan Gading bersama orang tua
pun tidak pernah mereka lakukan lagi.Pada suatu hari, ibu tiri mereka pergi ke
luar istana. Ayah mereka pun sudah sejak pagi tidak berada di istana. Kakak
beradik ini belum diberi sarapan oleh ibu tirinya. Lalu, mereka pergi ke halaman
dan bermain-main di atas Batu Amparan Gading. Sejenak bermain, perut
mereka terasa amat lapar, mereka ingin makan, tetapi tidak mungkin sebab
semua makanan disimpan ibu tiri di dalam lemari makan. Untuk sekadar
melupakan rasa lapar, sang kakak berkata, "Dik, kau tunggu sebentar di tempat
ini, ya. Kakak akan mencoba keluar untuk mencari mainan dan makanan."Sang
adik menjawab, "Baiklah, Kak, Pergilah."
Sambil membawa seruas bumbung, kakaknya pun pergi sendiri. Setelah
berjalan sendiri, ia sampai ke tempat orang sedang menumbuk padi. Katanya,
"Ibu, bolehkan saya meminta melukut(serpihan beras) sedikit untuk makanan
ayam saya?""Boleh, Nak, Ambillah!" kata ibu itu.Anak itu mengambil melukut
dan memasukkannya ke dalam bumbung yang dibawanya tadi, lalu pergi.Di
dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seekor bengkarung. Bengkarung itu
ditangkapnya untuk mainan. Setelah itu, terlihat pula bunga dadap berguguran
ke tanah. Ia pungut mainan itu untuk mainan adiknya.Tidak berapa lama, ia pun
sampai kembali di tempat adiknya yang sedang bermain. Mereka berdua
kembali bermain dengan asyik.Sementara asyik bermain, ibu tiri mereka pulang.
Terlihat olehnya bekas permainan mereka berserakan di atas Batu Amparan
Gading. Timbul kesangsian ibu tiri mereka. Ia melihat remah-remah bekas
makanan di antara mainan yang ada di situ. Tampak pula biji puar (sejenis
tumbuhan hutan) nasi, disangkanya remah nasi; bunga dadap merah
disangkanya kulit udang; serta sisik bengkarung disangkanya sisik ikan. Tidak
ragu lagi di dalam pikirannya, bahwa kedua anak tirinya itu mencuri
makanan.Serta merta kemarahan ibu tiri mereka pun timbul. Ia mencerca kedua
anak tirinya itu habis-habisan. Bahkan kedua anak itu dipukul sekuat-kuatnya.
Walaupun kedua anak tirinya sudah menjerit kesakitan minta dikasihani, ia
tidak menghiraukan. Ia tetap saja memukul mereka sampai puas. Sesudah itu, ia
pulang ke istana.Adapun kedua anak tirinya tetap berada di atas Batu Amparan
Gading. Badan mereka terasa sakit dan letih. Akhirnya mereka berdua tertidur
nyenyak di situ.Beberapa saat kemudian, kakaknya terbangun dari tidur. Ingat
akan kekejaman perangai ibu tirinya, air matanya kembali meleleh ke pipi
sambil memandang adiknya yang masih tertidur nyenyak. Sedih hatinya
mengenang nasibnya yang sangat malang itu. Ingin rasanya ia pergi menjauh
dari tempat itu, tetapi tidak berdaya. Ia hanya berharap agar penderitaannya
dapat segera berakhir. Dengan air mata berlinang-linang ia meratap sedih
sambil mengucapkan kata-kata;
Entak-entak bumbung seruas
Meninggilah batu Amparan Gading 
Mak dan Bapak buruk makan
Kami hendak pulang ke pintu langit 
Puar nasi disangka nasi 
Bunga dadap disangka udang 
Sisik bengkarung disangka ikan 
Kami dituduh maling makan
Dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Batu Amparan Gading yang didudukinya
itu meninggi. Dengan penuh keheranan dicobanya lagi mengucapkan kata-kata
tadi. Batu Amparan Gading pun bertambah tinggi.Lalu, ia pun mengucapkan
kata-kata itu berulang-ulang. Setiap diucapkannya, Batu Amparan Gading pun
semakin tinggi.Sementara itu, Raja muda kembali dari perjalanan. Dengan
sangat terkejut bercampur heran, dilihatnya Batu Amparan Gading di
halamannya sudah menjadi tinggi. Pada saat itu, batu tersebut sudah jauh lebih
tinggi dari puncak bubungan istananya. Bertambah pula keheranannya setelah
melihat kedua anak yang sangat disayanginya berada di atas batu itu. Ia sangat
cemas dan merasa takut jika anaknya terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia pun
segera menabuh kentongan, memanggil semua orang yang ada di sekitarnya
untuk meminta pertolongan. Orang banyak segera berdatangan dan berusaha
memberikan pertolongan. Ada yang mencoba menghancurkan bagian pangkal
batu itu dengan berbagai penokok (pemukul). Ada yang mencoba mendorong
batu itu untuk merobohkannya. Ada pula yang berusaha memanjatnya. Akan
tetapi, semua usaha mereka itu gagal dan sia-sia belaka. Batu Amparan Gading
tetap berdiri dan semakin tinggi saja. Akhirnya, mereka putus asa dan pasrah
sambil menyaksikan Batu Amparan Gading yang semakin tinggi itu. Raja Muda
termenung berdiam diri tenggelam dalam kesedihan yang menimpanya
berulang-ulang. Terlintas dalam benaknya, kesalahan apakah gerangan yang
telah dilakukannya sehingga ia harus menerima cobaan ini. Adapun kedua
anaknya tadi semakin tinggi saja keberadaannya, sejalan dengan ungkapan
kesedihan yang diucapkan berulang-ulang. Akhirnya mereka sampai ke pintu
langit. Ketika mereka tiba disana, pintu langit sedang tertutup. Dengan susah
payah mereka mencoba membukanya, tetapi tidak bisa. Secara kebetulan, pada
saat itu seekor burung garuda lewat di tempat itu. Mereka meminta
pertolongannya dan memberi upah sebumbung melukut. Burung garuda
menyanggupi permintaan mereka itu.Dengan mematukkan paruhnya yang besar
dan tajam, pintu langit pun terbuka. Kakak beradik itu langsung melangkah
masuk ke langit menuju tempat kediaman yang penuh kedamaian dan
ketentraman yang abadi. Setelah mereka naik ke langit, dengan kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa pula, Batu Amparan Gading kembali merendah seperti
semula. Tinggallah ayahanda tercinta, Raja Muda, bersama istrinya yang
durjana, dan Batu Amparan Gading sebagai saksi bisu yang tetap setia menghias
halaman istana. 

Nama : Tokoh Watak Tokoh


- Raja Muda - Baik
- Putri Gani - Baik
- Ibu Tiri - Jahat dan Kecam
- Adik - Baik
- Kakak - Baik

Anda mungkin juga menyukai