Anda di halaman 1dari 2

Pendahuluan

Sinar matahari adalah sebuah hal baru pada lingkup konversi energi.meskipun,
menurut sejarah, awal dari teknologi ini adalah saat seorang ahli fisika Perancis, Alexandre
Edmund Becquerel menemukan sebuah fenomena konversi energi cahaya menjadi energi
listrik denegan melakukan percobaan penyinaran berbagai spektrum cahaya terhadap dua
elektroda yang saat ini disebut sebagai efek fotovoltaik.
Setelah Becquerel menemukan efek tersebut, barulah beberapa peneliti melakukan
eksperimen yang lebih mendalam terhadap efek fotovoltaik tersebut. Mulai dari William
Grylls Adam bersama muridnya, Richards Evans Day, hingga seorang peneliti ternama,
Albert Einstein yang juga melakukan penelitian lanjutan dan menemukan sebuah fenomena
yang dikenal dengan nama efek fotolistrik. Lalu, akhirnya Russel Ohl, seorang peneliti yang
memiliki hak paten terhadap teknologi panel surya, menjadi orang pertama yang berhasil
mengembangkan teknologinya dan penggunaan teknologinya masih dirasakan hingga
sekarang. Sebuah fakta yang menggemparkan memang, bagaimana sebuah sinar yang
sebelumnya kita ketahui sebagai suatu bentuk yang tidak memiliki massa dan dirasa sebagai
sebuah bentuk yang kurang berharga malah menjadi sebuah sumber energi yang melimpah
dan tidak membahayakan lingkungan. Pasalnya, energi yang kita gunakan saat ini, sebagian
besar, bahkan, mungkin hampir seluruhnya diproduksi dari material-material alam yang
dalam proses konversinya dapat merusak lingkungan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, berapa energi yang didapat dan berapa persentase
energi sinar matahari tersebut yang kita ambil dan konversikan sebagai energi listrik ?
Sebagai sumber energi baru, tentu saja sistem konversi, sarana dan prasarana masih belum
maksimal, tetapi karena fakta bahwa hal-hal tersebut belum maksimal, maka dunia masih
memiliki banyak sumber energi yang bisa dimanfaatkan. Dunia masih bisa berkembang lebih
modern, mendapatkan pasokan energi yang cukup, dan bergerak ke arah yang lebih sehat dan
tidak merusak. Maka dari itu, pemanfaatan panel surya dan sel surya sebagai konverter energi
pada sinar menjadi energi listrik harus diupayakan lebih lagi. Mengingat juga banyaknya
negara polutif yang bergantung pada generator panas dari uap hasil pembakaran batu bara
ataupun dari gas alam. Negara-negara tersebut menyumbang banyak sekali polutan yang pada
akhirnya menyebabkan kenaikan pada temperatur bumi yang jika dilihat dalam kacamata
yang lebih luas akan menyebabkan banyaknya kerugian bagi komunitas dunia dan alam itu
sendiri. Namun, belum terlambat untuk memulai, negara-negara tersebut bisa melakukan
transisi dan harus secepatnya melakukan transisi dalam hal produksi energi. Apalagi, negara
pada lingkar khatulistiwa adalah potensi limpahan energi besar dari pusat tata surya kita.
Pada negara dalam lingkar khatulistiwa, sinar matahari stabil menerangi kawasan tersebut
sepanjang tahun. Dalam hal ini, Indonesia adalah yang berada di lingkar khatulistiwa, tetapi
masih tidak memanfaatkan energi surya secara maksimal.
Artikel ini ingin menjawab pertanyaan “Berapa yang bisa diberikan matahari untuk
Indonesia, apakah cukup atau masih kurang ?” Artikel ini membahas rincian potensial energi
dari sel surya dari banyak daerah potensial di Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bisa
bertransisi dari yang awalnya dominansi produsen energi diraih oleh perusahaan batu bara
dan gas alam menjadi dominansi perusahaan pembangkit tenaga surya. Bayangkan saja,
berapa polusi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik batu bara dan gas alam setiap harinya
karena pembakaran batu bara untuk dikonversikan uap panasnya menjadi energi listrik. Batu
bara dan gas alam tentu saja menjadi sumber yang tidak ramah lingkungan. Penumpukan CO2
yang mengakibatkan efek rumah kaca sehingga terjadi peningkatan temperatur bumi dan
kenaikan air laut akibat lelehan es di kutub adalah beberapa fakta yang telah menunjukkan
bahwa produksi energi dunia harus mengalami perubahan. Maka dari itu, sel surya menjadi
potensi kuat Indonesia untuk menggantikan material alam. urgensi dari kenapa kita perlu
segara berubah haluan juga dikarenakan perhitungan-perhitungan tentang “masih adakah
sumber daya mineral untuk energi dan sampai kapan kita bisa bertahan dengan pasokan yang
masih ada ?” berkaca dari China, meskipun menjadi pemasok energi alternatif terbesar di
Asia, baru-baru ini, China tetap saja menemui krisis energi. Hal itu bisa menjadi pelajaran
untuk Indonesia, dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, apakah Indonesia mampu nantinya
menyediakan energi untuk setiap penduduk ? Hal itu akan menjadi argumen kuat untuk
menyegerakan transisi energi. Apalagi adanya tren energi listrik yang mulai masuk ke ranah
transportasi seperti mobil listrik, hal itu akan menyebabkan mobil konvensional semakin
terlihat usang dan sel baterai menjadi bentuk kebutuhan primer baru untuk masyarakat yang
lebih modern.

Anda mungkin juga menyukai