Disusun Oleh :
Ayatushi Shifa
NIM : 1032191009
Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat,
2011).
Penyebab
Menurut SDKI :
1. Keterlambatan perkembangan
2. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan
3. Ketidaksesuain minat dengan tahap perkembangan
4. Ketidaksesuain nilai- nilai dengan norma
5. Ketidaksesuain perilaku sosial dengan norma
6. Perubahan penampilan fisiks
7. Perubahna status mental
8. Ketidakadekuatan sumber daya persinal (mis.disfungsi terbuka,
pengendalian diri buruk)
Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
dimana ada riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Adanya risiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan NAPZA. Selain itu ditemukan adanya kondisi
patologis otak, yang dapat diketahui dari hasil pemeriksaan struktur otak
melalui pemeriksaan CT Scan dan hasil pemeriksaan MRI untuk melihat
gangguan struktur dan fungsi otak (Thomb, 2000).
2) Faktor Psikologis
Pasien dengan masalah isolasi sosial, seringkali mengalami kegagalan
yang berulang dalam mencapai keinginan/harapan, hal ini
mengakibatkan terganggunya konsep diri, yang pada akhirnya akan
berdampak dalam membina hubungan dengan orang lain. Koping
individual yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial dalam
mengatasi masalahnya, biasanya maladaptif. Koping yang biasa
digunakan meliputi: represi, supresi, sublimasi dan proyeksi. Perilaku
isolasi sosial timbul akibat adanya perasaan bersalah atau menyalahkan
lingkungan, sehingga pasien merasa tidak pantas berada diantara orang
lain dilingkungannya. Ciri-ciri pasien dengan kepribadian ini adalah
menutup diri dari orang sekitarnya. Selain itu pembelajaran moral yang
tidak adekuat dari keluarga merupakan faktor lain yang dapat
menyebabkan pasien tidak mampu menyesuaikan perilakunya di
masyarakat, akibatnya pasien merasa tersisih ataupun disisihkan dari
lingkungannya (Stuart & Laraia, 2005).
faktor usia merupakan salah satu penyebab isolasi sosial hal ini
dikarenakan rendahnya kemampuan pasien dalam memecahkan masalah
dan kurangnya kematangan pola berfikir. Tingkat pendidikan juga
merupakan salah satu tolok ukur kemampuan pasien berinteraksi secara
efektif. Karena faktor pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Stuart & Laraia (2005) dan
Townsend (2005).
Faktor Presipitasi
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga. Penerapan
aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan pasien dan konflik antar masyarakat. Selain itu Pada pasien yang
mengalami isolasi sosial, dapat ditemukan adanya pengalaman negatif pasien
yang tidak menyenangkan terhadap gambaran dirinya, ketidakjelasan atau
berlebihnya peran yang dimiliki serta mengalami krisis identitas (Kemenkes,
2016).
Akibat
Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta
tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang autistic dan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi
halusinasi (Ernawati Dalami dkk,,2009: 10).
C. 1. Pohon Masalah
Risiko Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
Menurut SDKI :
1. Isolasi Sosial
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau
lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
2. Halusinasi
Menurut Keliat (2019) :
a. Data mayor :
DS:
1. Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya
2. Melihat benda, orang, atau sinar tanpa ada objeknya
3. Menghirup bau-bauan yang tidak sedap seperti bau badan padahal tidak
4. Merasakan pengecapan yang tidak enak
5. Merasakan rabaan atau gerakan badan
DO:
1. Bicara sendiri
2. Tertawa sendiri
3. Melihat ke satu arah
4. Mengarahkan telinga kea rah tertentu
5. Tidak dapat memfokuskan pikiran
6. Diam sambil menikmati halusinasinya.
b. Data minor :
DS:
1. Sulit tidur
2. Khawatir
3. Takut
DO:
1. Konsentrasi buruk
2. disorientasi waktu, tempat, orang, atau situasi
3. Afek datar
4. Curiga
5. Menyendiri, melamun
6. Mondar-mandir
7. Kurang mampu merawat diri.
vv
3. Harga Diri Rendah
menurut Keliat (2019):
a. Data mayor :
DS:
1. Menilai diri negatif/mengkritik diri
2. Merasa tidak berarti/tidak berharga
3. Merasa malu/minder
4. Merasa tidak mampu melakukan apapun
5. Meremehkan kemampuan yang dimiliki
6. Merasa tidak memiliki kelebihan
DO :
1. Berjalan menunduk
2. Postur tubuh menunduk
3. Kontak mata kurang
4. Lesu dan tidak bergairah
5. Berbicara pelan dan lirih
6. Ekspresi muka datar
7. Pasif
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
E. Referensi (Minimal 3)
Keliat, B.A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN - Basic
Course). Jakarta: EGC
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta
Susanti, R. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN
MASALAH KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Ponorogo).
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Pengertian
Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tanggapan
dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi.
Penyebab
Menurut Kemenkes (2016) :
1) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
Faktor Predisposisi
1. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang
dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
3. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran
yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
4. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi
realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal,
perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbik.
5. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada
pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang
salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih
tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.
Faktor Presipitasi
2. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat
halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi.
3. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan
orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk menghindari
kenyataan yang tidak menyenangkan.
4. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas
berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan
sosial.
Jenis-jenis
1) Halusinasi dengar : Ucapan atau suara yang didengar oleh klien, tetapi tak
didengar dan tak ada hubungannya dengan obyek realita. Contoh : Klien
wanita mengalami kecemasan dan rasa bersalah untuk aborsinya yang
telah dilakukan, ia mendengar Tuhan menghinanya karena tingkah laku
seksual dan abortusnya.
2) Halusinasi lihat : Bayangan atau sensasi visual yang dialami oleh klien
tanpa adanya stimulus eksternal. Contoh : Klien laki-laki sering melihat
dirinya dan keluarganya ditembak mati oleh regu penembak untuk
kejahatan yang tidak diketahui.
3) Halusinasi bau atau hirup : Bau-bauan yang tercium berasal dari tempat
yang spesifik atau tidak bisa diketahui. Contoh : Klien wanita merasa ia
mempunyai personalitas yang busuk, ia mengeluh mencium daging busuk
dan rambut yang terbakar berasal dari dirinya atau orang lain
disekitarnya.
4) Halusinasi kecap : rasa yang dialami tanpa ada dasarnya. Contoh : Klien
laki-laki merasa isterinya telah membuatnya menderita. Setiap kali ia
makan yang telah disiapkan oleh isterinya ia merasakan pahit di mulutnya.
5) Halusinasi raba : Halusinasi ini bisa merupakan bagian dari delusi, dan
melibatkan salah persepsi terhadap bagian tubuh. Contoh : Klien wanita
yang tidak memiliki anak dan sudah menopouse merasakan organ
tubuhnya membatu dan ia merasakan suspensi yang sangat berat pada
tubuh bagian bawah.
Tahapan
a) Fase Pertama
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stres, perasaan yang terpisah,
kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stres. Pada kondisi ini
klien masih dapat mengontrol kesadarannya dan mengenal pikirannya
namun intensitas persepsi meningkat.
b) Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat listening pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol seperti gambaran suara dan sensasi. Halusinasi
dapat merupakan bisikan yang tidak jelas. Klien takut apabila orang lain
mendengar Klien merasa tidak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak
antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah
halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
c) Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, mengusai dan mengontrol. Klien menjadi terbiasa
dan tidak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan
rasa aman yang sementara.
d) Fase Keempat
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepasakan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi. Klien tidak dapat berhubungan
dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya. Klien mungkin
berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu yang singkat, beberapa
jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan
intervensi.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien.
Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut:
b. Data Subyektif:
Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu
atau monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b. Data Obyektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung.
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit
Akibat
Gangguan Persepsi
Sensori : Halusinasi
Isolasi Sosial
Sumber : Keliat (2006)
1. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
1. Halusinasi
Menurut Keliat (2019) :
a. Data mayor :
DS:
1. Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya
2. Melihat benda, orang, atau sinar tanpa ada objeknya
3. Menghirup bau-bauan yang tidak sedap seperti bau badan padahal tidak
4. Merasakan pengecapan yang tidak enak
5. Merasakan rabaan atau gerakan badan
DO:
7. Bicara sendiri
8. Tertawa sendiri
9. Melihat ke satu arah
10. Mengarahkan telinga kea rah tertentu
11. Tidak dapat memfokuskan pikiran
12. Diam sambil menikmati halusinasinya.
b. Data minor :
DS:
4. Sulit tidur
5. Khawatir
6. Takut
DO:
1. Konsentrasi buruk
2. disorientasi waktu, tempat, orang, atau situasi
3. Afek datar
4. Curiga
5. Menyendiri, melamun
6. Mondar-mandir
7. Kurang mampu merawat diri.
b. Data Minor
DS :
1. Mengatakan tidak senang
2. Menyalahkan orang lain
3. Mengatakan diri berkuasa
4. Merasa gagal mencapai tujuan
5. Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuhi
6. Suka mengejek dan mengkritik
DO :
1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri.
3. Isolasi Sosial
Menurut SDKI :
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
F. Referensi (Minimal 3)
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI
Penyebab
Menurut Keliat (2019) :
1. Stress berlebihan
2. Gangguan konsep diri
3. Kehilangan dukungan social
4. Kejadian negatif dalam hidup
5. Penyakit kritis
6. Perpisahan dan/atau perceraian
7. Kesulitan ekonomi
8. Korban kekerasan
9. Riwayat bunuh diri individu dan/atau keluarga.
Jenis-jenis
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005), faktor predisposisi bunuh diri antara
lain :
1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko penting untuk prilaku destruktif.
Faktor Presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat
Akibat
Risiko bunuh diri akan mengakibatkan bunuh diri atau perilaku
melukai diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitar. Percobaan
bunuh diri terlebih dahulu individu tersebut mengalami depresi yang berat
akibat suatu masalah yang menjatuhkan harga dirinya ( Stuart & Sundeen,
2006).
C. 1. Pohon Masalah
Bunuh Diri
Risiko Bunuh
Diri
Isolasi Sosial
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
b. Data Minor
DS :
1. Memgungkapkan isyarat untuk melakukan bunuh diri, tetapi tidak
disertai dengan ancaman melakukan bunuh diri ataupun percobaan
bunuh diri
2. Mengungkapkan perasaan bersalah, sedih, marah, putus asa, atau tidak
berdaya
3. Mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
DO ;
1. Kontak mata kurang
2. Tidur kurang
3. Mondar-mandir
4. Banyak melamun
5. Terlihat sedih
6. Menangis terus-menerus.
3. Isolasi Sosial
Menurut SDKI :
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
E. Referensi (Minimal 3)
Keliat, B.A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Fitriani, D. R. (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan Jiwa pada Klien Resiko
Bunuh Diri dengan Intervensi Inovasi Guided Imageryterhadap Gejala Resiko Bunuh
Diri di Ruang Punai RSJD Atma Husada Samarinda Tahun 2017.
Yusuf, A.H., dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
A. Kasus (Masalah Utama) : Risiko Perilaku Kekerasan
Penyebab
1. Waham
2. Halusinasi
3. Berencana bunuh diri
4. Kerusakan kognitif
5. Disorientasi atau konfusi
6. Kerusakan control impuls
7. Depresi
8. Penyalahgunaan NAPZA
9. Gangguan konsep diri
10. Isolasi social
11. Curiga pada orang lain.
Faktor Predisposisi
1. Psikologis
• Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbuxl agresif atau amuk.
• Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
• Perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku
• Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah
• Semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3. Social Budaya
• Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima
(permissive).
4. Bioneurologis
• Banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal
dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
Faktor Presipitasi
1. Klien
Kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan dan percaya diri yg
kurang.
2. Lingkungan
Ribut, padat , kritikan yg mengarah pada penghinaan dan kehilangan
Interaksi social
3. interaksi yg provokatif dan konflik.
Macam-macam
1. Ancaman verbal
2. Merusak lingkungan
3. Menciderai diri sendiri
4. Menciderai orang lain.
Akibat
Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga
diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respons marah
dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal dapat
berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara
eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat
diungkapkan melalui tiga cara yaitu
(1) mengungkapkan secara verbal
(2) menekan, dan
(3) menantang.
C. 1. Pohon Masalah
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
1. Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Keliat (2019) :
a. Data Mayor
DS :
1. Mengatakan benci atau kesal terhadap orang lain
2. Mengatakan ingin memukul orang lain
3. Mengatakan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan
4. Mengungkapkan keinginan menyakiti diri sendiri, orang lain, dan merusak
lingkungan
DO :
1. Melotot
2. Pandangan tajam
3. Tangan mengepal, rahang mengatup
4. Gelisah dan mondar-mandir
5. Tekanan darah menngkat
6. Nadi meningkat
7. Pernafasan meningkat
8. Mudah tersinggung
9. Nada suara tinggi dan bicara kasar
10. Mendominasi pembicaraan
11. Sarkasme
12. Merusak lingkungan
13. Memukul orang lain.
a. Data Minor
DS :
1. Mengatakan tidak senang
2. Menyalahkan orang lain
3. Mengatakan diri berkuasa
4. Merasa gagal mencapai tujuan
5. Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuhi
6. Suka mengejek dan mengkritik
DO :
1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri.
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
E. Referensi (Minimal 3)
Anggit Madhani, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan (Doctoral dissertation, Universitas Kusuma Husada Surakarta).
Keliat, B.A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yusuf, A.H., dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
Penyebab
Menurut World Health Organization (2016), secara medis penyebab waham
adalah gangguan neurodegenerative, gangguan sistem saraf pusat, penyakit
pembuluh darah, penyakit menular, penyakit metabolism, gangguan
endokrin, defisiensi vitamin, pengaruh obat-obatan, racun, dan zat psikoaktif.
Jenis-jenis
Menurut Stuart (2005 dalam Prakasa, 2020) jenis waham yaitu :
a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau,
“Saya punya tambang emas.”
f. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
g. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang
dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
Faktor Predisposisi
1. Biologis
Pola keterlibatan keluarga relative kuat yang muncul di kaitkan dengan
delusi atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga yang di
manifestasikan dengan gangguan ini berada pada resiko lebih tinggi
untuk mengalaminya di bandingkan dengan populasi umum.Studi pada
manusia kembar juga menunjukan bahwa ada keterlibatan factor.
2. Teori Psikososial
System Keluarga Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan
disfungsi keluarga.Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak.
Bayaknya masalah dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan
anak dimana anak tidak mampu memenuhi tugas perkembangan dimasa
dewasanya. Beberapa ahli teori menyakini bahwa individu paranoid
memiliki orang tua yang dingin, perfeksionis, sering menimbulkan
kemarahan,perasaan mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan
tidak percaya pada individu. Klien menjadi orang dewasa yang rentan
karena pengalaman awal ini.
3. Teori Interpersonal
Dikemukakan oleh Priasmoro (2018) di mana orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang tua-anak yang penuh
dengan ansietas tinggi. Hal ini jika di pertahankan maka konsep diri anak
akan mengalami ambivalen.
4. Psikodinamika
Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan atau
perhatian ibu, dengan ini seorang bayi mengalami penyimpangan rasa
aman dan gagal untuk membangun rasa percayanya sehingga
menyebabkan munculnya ego yang rapuh karena kerusakan harga diri
yang parah, perasaan kehilangan kendali, takut dan ansietas berat. Sikap
curiga kepada seseorang di manifestasikan dan dapat berlanjut di
sepanjang kehidupan. Proyeksi merupakan mekanisme koping paling
umum yang di gunakan sebagai pertahanan melawan perasaan.
Faktor Presipitasi
1. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
a) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi
b) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan.
2. Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3. Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering
menunjukkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat
pada respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan
kesehatan. Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011)
Akibat
Waham dapat menyebabkan kerusakan komunikasi verbal Dimulai dari
perasaan diancam oleh lingkungan, cemas dan merasa sesuatu yang tidak
menyenangkan terjadi. Individu mencoba mengingkari ancaman dari
persepsi diri atau obyek realitas dengan menyalah artikan kesan terhadap
kejadian. Individu memproyeksikan pikiran perasaan internal pada
lingkungan sehingga perasaan, pikiran dan keinginan negatif/tidak dapat
diterima menjadi bagian eksternal. Individu mencoba memberi
pembenaran/rasional alasan intepretasi personal tentang realita pada diri
sendiri atau orang lain.
C. 1. Pohon Masalah
Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan
Isolasi Sosial
Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Kronis
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
1. Waham
Menurut Keliat (2019) :
a. Data Mayor
DS :
1. Mengatakan bahwa dia adalah artis, nabi, presiden, wali, dan lainnya yang
tidak sesuai kenyataan
2. Curiga dan wasapada berlebihan pada orang tertentu
3. Merasa diintai dan akan membahayakan dirinya
4. Merasa yakin menderita penyakit fisik
DO :
1. Mudah tersinggung
2. Marah
3. Waspada
4. Menarik diri
5. Inkoheren
6. Perilaku seperti isi wahamnya.
b. Data Minor
DS :
1. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Merasa khawatir sampai panic
DO :
1. Bingung
2. Perubahan pola tidur
3. Kehilangan selera makan.
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
3. Isolasi Sosial
Menurut SDKI :
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
b. Data Minor
DS :
1. Mengatakan tidak senang
2. Menyalahkan orang lain
3. Mengatakan diri berkuasa
4. Merasa gagal mencapai tujuan
5. Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuhi
6. Suka mengejek dan mengkritik
DO :
1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri.
E. Referensi (Minimal 3)
Keliat, B.A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Pakpahan, E. R. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. a Dengan Gangguan
Proses Pikir: Waham Kebesaran Di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.
Yusuf, A.H., dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
Jenis-jenis
Menurut Damaiyanti (2012) perawatan diri terdiri dari beberapa jenis
diantaranya adalah :
1. Defisit perawatan diri mandi
Ketidakmampuan seseorang dalam hal menyelesaikan mandi atau
aktivitas perawatan diri secara mandiri.
2. Defisit perawatan diri berpakaian dan berhias
Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas berpakaian dan
berhias secara mandiri.
3. Defisit perawatan diri : makan
Ketidakmampuan seseorang untuk menyelesaikan aktivitas makan atau
minum sendiri dan memerlukan bantuan untuk menyiapkan makanan.
4. Defisit perawatan diri : eliminasi
Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas eliminasi seperti
BAK/BAB secara mandiri dan memerlukan bantuan orang lain.
Penyebab
Menurut Keliat (2019) penyebab deficit perawatan diri, yaitu :
1. Kelemahan
2. Penurunan motivasi
3. Kemunduran kemampuan
4. Gangguan psikologis
5. Kendala lingkungan.
Faktor Predisposisi
1) Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
2) Psikologis, factor perkembangan memegang peranan yang tidak kalah
penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Pasien
gangguan jiwa mengalamai defisit perawatan diri dikarenakan
kemampuan realitas yang kurang sehingga menyebabkan pasien tidak
peduli terhadap diri dan lingkungannya termasuk perawatan diri
3) Sosial. Kurangnya dukungan sosial dan situasi lingkungan
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam perawatan diri.
Faktor Presipitasi
Menurut (Stuart, 2016) stressor presipitasi di bedakan menjadi empat
bagian yaitu: trauma, ketegangan peran, transisi perkembangan dan transisi
sehat-sakit.
1) Trauma
Pasien yang menderita cedera traumatik berada pada peningkatan resiko
berbagai gangguan jiwa paling sering depresi dan ansietas. Trauma ini
seperti kekerasan fisik, sesksual, atau psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam kehidupan.
2) Ketegangan peran
Perasaan frustasi ketika seseorang berada dalam arah yang berlawanan
atau merasa tidak mampu atau tidak cocok untuk melakukan peran
tersebut.
3) Transisi perkembangan
Perubahan norma yang terkait dengan pertumbuhan. Berbagai tahap
perkembangan dapat memicu ancaman terhadap identitas diri. Setiap
perkembangan harus dilalui individu dengan menjelaskan tugas
perkembangan yang berbeda-beda.
4) Transisi sehat-sakit
Pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Stressor pada tubuh
dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat perubahan
konsep diri perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen
konsep diri. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh: kehilangan bagian
tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh,
perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal,
prosedur medis dan keperawatan.
Akibat
Dampak yang sering timbul pada perawatan diri menurut Tarwoto &
Wartonah (2010) antara lain :
1. Dampak fisik
Gangguan fisik sering timbul karena tidak terpeliharanya kebersihan
perorangan seperti gangguan integritas kulit, membrane mukosa kering,
infeksi mata dan telinga serta gangguan fisik lainnya.
2. Dampak fisiologis
Defisit perawatan diri menimbulkan masalah fisiologis seperti gangguan
kebutuhan rasa nyaman, merasa kurang dicintai dan mencintai, harga diri
rendah, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
C. 1. Pohon Masalah
Risiko Tinggi Isolasi Sosial
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
1. Defisit Perawatan Diri
Menurut Keliat (2019)
a. Data Mayor
DS :
1. Menolak melakukan perawatan diri : kebersihan diri, berpakaian, makan
dan minum, eliminasi
2. Menyampaikan ketidakinginan melakukan perawatan diri : kebersihan diri,
berpakaian, makan dan minum, eliminasi
DO :
1. Kulit, rambut, gigi, kuku kotor
2. Pakaian kotor, tidak rapi, dan tidak tepat
3. Makan dan minum tidak beraturan
4. Eliminasi (BAB, BAK tidak pada tempatnya)
5. Lingkungan tempat tinggal kotor, dan tidak rapi
B. Data Minor
DS :
-
DO :
1. Ketidakmampuan menyiapkan perlengkapan mandi
2. Ketidakmampuan melepas dan mengenakan pakaian
3. Ketidakmampuan mengambil makan/minum sendiri
4. Ketidakmampuan menggunakan toilet.
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
3. Isolasi Sosial
Menurut SDKI :
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
E. Referensi (Minimal 3)
Agnes Miranda, E. S. T. I. N. A. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Lansia Gangguan
Aktivitas Dengan Masalah Keperawatan Defisit Perawatan Diri Di Upt Pstw
Magetan Cabang Ponorogo (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Ponorogo).
Fatimah, I. (2020). Asuhan Keperawatan Gangguan Kebutuhan Psikososial: Defisit
Perawatan Diri Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Penitipan Pasien Gangguan
Jiwa Aulia Rahma Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (Doctoral Dissertation,
Poltekkes Tanjungkarang).
Keliat, B.A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH KRONIK
A. Kasus (Masalah Utama) : Harga Diri Rendah Kronik
Penyebab
Harga diri rendah disebabkan Menurut Damaiyanti (2012), yaitu :
Perasaan negatif terhadap diri yang berlangsung lama yaitu sebelum sakit atau
dirawat. Klien mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat
akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini dapat ditemukan
pada klien gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan jiwa.
karena adanya ketidakefektifan koping individu akibat kurangnya umpan balik
yang positif. Penyebab harga diri rendah juga dapat terjadi pada masa kecil sering
disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai
masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak
diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan atau
pergaulan.
Faktor predisposisi
Menurut Stuarat dan Laraia (2008) :
Faktor Predisposisi yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah meliputi:
1) Biologi
Faktor heriditer (keturunan) seperti adanya riwayat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa Selain itu adanya riwayat penyakit kronis atau trauma
kepala merupakan merupakan salah satu faktor penyebab gangguan jiwa,
2) Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah adalah
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari lingkungan dan
orang terdekat serta harapan yang tidak realistis. Kegagalan berulang, kurang
mempunyai tanggungjawab personal dan memiliki ketergantungan yang tinggi
pada orang lain merupakan faktor lain yang menyebabkan gangguan jiwa. Selain
itu pasiendengan harga diri rendah memiliki penilaian yang negatif terhadap
gambaran dirinya, mengalami krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri
yang tidak realistis.
3) Faktor Sosial Budaya
Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan harga diri rendah adalah
adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial ekonomi rendah,
pendidikan yang rendah serta adanya riwayat penolakan lingkungan pada tahap
tumbuh kembang anak.
Faktor presipitasi
Menurut Stuarat dan Laraia (2008), Faktor presipitasi yang menimbulkan harga
diri rendah antara lain:
1) Riwayat trauma seperti adanya penganiayaan seksual dan pengalaman psikologis
yang tidak menyenangkan, menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan,
menjadi pelaku, korban maupun saksi dari perilaku kekerasan.
2) Ketegangan peran: Ketegangan peran dapat disebabkan karena
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan seperti transisi dari masa kanak-kanak ke remaja.
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c) Transisi peran sehat-sakit: merupakan akibat pergeseran dari kondisi sehat
kesakit. Transisi ini dapat dicetuskan antara lain karena kehilangansebahagian
anggota tuhuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.Atau
perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal,
prosedur medis dan keperawatan.
Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjadi tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri.
Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
social.
C. 1. Pohon Masalah
Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Isolasi Sosial
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji (Data Mayor & Minor)
1. Harga Diri Rendah Kronik
Menurut Keliat (2019) :
a. Data mayor :
DS:
1. Menilai diri negatif/mengkritik diri
2. Merasa tidak berarti/tidak berharga
3. Merasa malu/minder
4. Merasa tidak mampu melakukan apapun
5. Meremehkan kemampuan yang dimiliki
6. Merasa tidak memiliki kelebihan
DO :
1. Berjalan menunduk
2. Postur tubuh menunduk
3. Kontak mata kurang
4. Lesu dan tidak bergairah
5. Berbicara pelan dan lirih
6. Ekspresi muka datar
7. Pasif
b. Data minor :
DS:
1. Merasa sulit konsentrasi
2. Mengatakan sulit tidur
3. Mengungkapkan keputusasaan
4. Enggan mencoba hal baru
5. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
6. Melebih-lebihkan penilaian negatif.
DO:
1. Bergantung pada pendapat orang lain
2. Sulit membuat keputusan
3. Seringkali mencari penegasan
4. Menghindari orang lain
5. Lebih senang menyendiri.
2. Isolasi Sosial
Menurut SDKI :
a. Data Mayor
DS :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
DO :
Menarik diri
1. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
b. Data Minor
DS :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
DO :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu.
3. Halusinasi
Menurut Keliat (2019) :
a. Data mayor :
DS:
1. Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya
2. Melihat benda, orang, atau sinar tanpa ada objeknya
3. Menghirup bau-bauan yang tidak sedap seperti bau badan padahal tidak
4. Merasakan pengecapan yang tidak enak
5. Merasakan rabaan atau gerakan badan
DO:
1. Bicara sendiri
2. Tertawa sendiri
3. Melihat ke satu arah
4. Mengarahkan telinga kea rah tertentu
5. Tidak dapat memfokuskan pikiran
6. Diam sambil menikmati halusinasinya.
b. Data minor :
DS:
1. Sulit tidur
2. Khawatir
3. Takut
DO:
1. Konsentrasi buruk
2. disorientasi waktu, tempat, orang, atau situasi
3. Afek datar
4. Curiga
5. Menyendiri, melamun
6. Mondar-mandir
7. Kurang mampu merawat diri.
b. Data Minor
DS :
1. Mengatakan tidak senang
2. Menyalahkan orang lain
3. Mengatakan diri berkuasa
4. Merasa gagal mencapai tujuan
5. Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuhi
6. Suka mengejek dan mengkritik
DO :
1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri.
5. Ketidakefektifan Koping
Menurut Keliat (2019) :
a. Data Mayor
DS :
1. Mengeluh tidak mampu mengatasi situasi kehidupan
2. Ketidakmampuan meminta bantuan
3. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
DO :
1. Keletihan
2. Sering sakit
3. Perubahan pola tidur
b. Data Minor
DS :
1. Perubahan konsentrasi
2. Perubahan komunikasi
DO :
1. Pasif
2. Tidak mampu mengikuti informasi/edukasi
3. Perilaku destruktif
E. Referensi (Minimal 3)
Dwi Saptina, C. H. A. N. D. R. A. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Skizofrenia
Dengan Masalah Harga Diri Rendah Kronik (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Ponorogo).
Keliat, B.A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta