Anda di halaman 1dari 50



Dispersi Koloidal
I Gede Made Suradnyana
Pendahuluan
 Sistem disperse adalah system dua fase
heterogen dimana fase terdispersi terdistribusi
sebagai partikel atau tetesan (droplet) di dalam
fase lainnya
 Berdasarkan ukuran fase terdispersinya system
dipersi dikelompokkan menjadi dispersi
molekular, dispersi koloidal & dispersi kasar
 Banyak struktur biologi merupakan suatu koloidal
alami (darah dan tulang)
 Koloid digunakan untuk diagnosis, meningkatkan
efek imun, sediaan anti germisida (perak koloid),
emulgator, suspending agent, dll
Continue ...
Klasifikasi Koloid
Berdasarkan interaksi antara partikel fase
terdispersi dengan molekul medium
pendispersi, system koloid dikelompokkan:
 Koloid liofilik
 Koloid liofobik
 Koloid asosiasi (Misel)
Koloid Liofilik
 Koloid liofilik adalah koloid suka-pelarut,
dimana fase terdispersi larut dalam fase
kontinyu
 Protein dan gom membentuk system koloid
liofilik karena afinitas antara partikel
terdispersi dengan fase kontinyu
 Stabil secara termodinamik dan terbentuk
secara spontan jika solute dan solvent
dicampur
Continue ...
 Bentuk koloid makromolekul bervariasi tergantung
dari afinitas terhadap solven
 Makromolekul akan membentuk konfigurasi
memanjang di dalam solven karena memiliki
afinitas tinggi dan akan cenderung mengurangi luas
total kontak dengan solven jika afinitas terhadap
solven rendah dan membentuk kumparan kompak.
 Dengan menambahkan koloid liofilik ke dalam
medium, viskositas medium akan meningkat,
berubah dari sol menjadi gel pada konsentrasi
cukup tinggi
 Contoh: gelatin, carbopol & chitosan di dalam air
Koloid Liofobik
 Koloid liofobik adalah koloid tidak suka-
pelarut (solvent-hating), dimana fase
terdispersi tidak larut dalam fase kontinyu
 Fase terdispersi terbagi menjadi partikel
sangat kecil yang terdistribusi kurang
seragam di dalam solven
 Fase terdispersi dan medium disperse dapat
terdiri dari padatan, cairan atau gas dan
system dua-fase atau multiphase dengan
daerah antarmuka berbeda.
Continue ...
 Akibat interaksi fase terdispersi dan
medium disperse jelek, koloid liofobik tidak
stabil secara termodinamika dan cenderung
membentuk agregat.
 Jika air digunakan sebagai medium disperse
 disebut koloid hidrofobik
 Contoh: disperse emas dan perak di dalam
air
Koloid Asosiasi (Misel)
 Koloid asosiasi adalah system dimana molekul
surfaktan amfipatik larut secara spontan merangkai
diri (self-assemble) atau bergabung di dalam
medium disperse membentuk agregat dengan
ukuran koloid.
 Molekul surfaktan amfipatik cenderung teradsorbsi
pada antarmuka untuk mengurangi energy
antarmuka antara bagian liofobik molekul dan
medium.
 Pada konsentrasi di atas CMC, bagian liofobik dari
molekul surfaktan bergabung membentuk daerah
dimana solven akan tereksklusi, sedangkan bagian
liofilik molekul tetap berada dipermukaan
Continue ...
 Misel terbentuk spontan, tergantung pada HLB dari
surfaktan, konsentrasi surfaktan dan temperature.
 Oksigen yang berisi gugus hidrofilik atau muatan
gugus hidrofilik diperlukan untuk membentuk misel
dalam medium berair.
 Gugus hidrofilik ini membentuk ikatan hydrogen dan
interaksi dipol yang signifikan dengan air untuk
menstabilkan misel.
 Solubilisasi miselar  inkorporasi obat tidak larut
air di dalam medium air
 Terjebaknya obat di dalam system miselar
meningkatkan stabilitasnya dan meningkatkan
bioavailabilitas obat.
Title
• Text
Pembuatan Dispersi Koloidal
 Koloid liofilik: karena afinitas yang tinggi koloid
liofilik terhadap medium disperse menyebabkan
terbentuknya disperse koloid secara spontan
 Contoh: akasia, tragakan dan turunan selulosa,
dengan mudah terdispersi di dalam air membentuk
disperse koloid
 Koloid liofobik: dapat dibuat dengan agregasi
partikel yang lebih kecil (metode kondensasi) atau
dengan memecah partikel besar menjadi ukuran
koloid (metode disperse)
Metode Kondensasi
 Dispersi koloidal dengan cepat terbentuk
dari larutan lewat jenuh dari bahan koloidal
di bawah kondisi dimana bahan koloidal
terdeposit di dalam medium disperse
sebagai partikel koloidal dan bukan sebagai
endapan.
 Larutan lewat jenuh sering kali diperoleh
dengan reaksi kimia atau dengan mengubah
solven.
Continue ...
 Contoh:
 Reaksi larutan encer perak nitrat dengan kalium
iodide membentuk perak iodide koloidal
 Reaksi natrium tiosulfat dengan larutan asam
klorida membentuk sulfur koloidal
 Feri klorida dididihkan dengan air berlebih
menghasilkan feri oksida terhidrasi koloidal
 Larutan jenuh sulfur dalam aseton dituangkan
perlahan ke dalam air panas menghasilkan sulfur
koloidal
Metode Dispersi
 Dengan cara memecah partikel kasar menjadi
ukuran koloid dengan ultrasonicator atau koloid
mill
 Ultrasonicator  menggunakan gelombang
ultrasonic untuk memperkecil ukuran partikel
 Coloid mill  serbuk kasar dilewatkan di
antara celah sempit stator dan rotor yang
berputar cepat
 Kedua cara ini akan menghasilkan partikel
yang cenderung teragregasi kecuali
ditambahkan bahan penstabil seperti surfaktan
Sifat Dispersi Koloidal
 Sifat kinetic:
 Gerak Brown
 Difusi
 Sedimentasi
 Tekanan osmotic
 Viskositas
 Sifat optic:
 light scattering
 Sifat listrik
Gerak Brown
 Gerak Brown merupakan gerakan acak zigzag
dari partikel koloidal
 Partikel koloidal mengalami tumbukan acak
dengan molekul medium disperse, sehingga
masing-masing partikel menunjukkan gerakan
tidak beraturan dan zigzag yang rumit.
 Gerakan molekul dapat diamati di bawah
mikroskop electron
 Kecepatan partikel menurun dengan
meningkatnya ukuran partikel dan viskositas
medium
Difusi
 Akibat gerak Brown, partikel koloidal secara
spontan berdifusi dari daerah dengan
konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi
rendah sampai konsentrasi seluruh system
seragam
 Tiga aturan utama difusi:
 Penurunan ukuran partikel  kecepatan molekul
meningkat
 Peningkatan temperature  kecepatan molekul
meningkat
 Peningkatan viskositas medium  kecepatan
molekul menurun
Sedimentasi
 Kecepatan sedimentasi (v) dari partikel speris
dengan diameter d dan kerapatan ρs, jatuh di
dalam cairan dengan kerapatan ρl dan
viskositas η, menurut hukum Stokes adalah

dengan g = percepatan gravitasi


 Jika partikel hanya dipengaruhi oleh gaya
gravitasi, karena gerak Brown, batas bawah
partikel yang mengikuti hukum Stokes ±
0,5µm
Continue ...
 Oleh karena itu, untuk sedimentasi partikel
koloidal dengan ukuran < 0,5 µm diperlukan
gaya yang lebih kuat dibandingkan gravitasi
 Ultrasentrifugasi digunakan untuk
mendapatkan gaya sekitar 106 g.
Tekanan Osmotik
 Jika larutan dan solven dipisahkan dengan
membrane semipermeable, kecenderungan
keduanya menyamakan potensi kimia
(konsentrasi)  difusi solven melewati
membrane.
 Tekanan yang diperlukan untuk mengimbangi
aliran osmotic ini disebut tekanan osmotic
Continue ...
 Tekanan osmotic () dari larutan koloidal
encer dinyatakan dengan persamaan van’t Hoff

c = konsentrasi larutan
M = bobot molekul solute
B = konstanta yang tergantung dari interaksi
antara molekul solute dan solven
Viskositas
 Viskositas adalah resistensi system terhadap
aliran akibat diberikan tekanan
 Persamaan Einstein:

η0 = viskositas medium disperse


η = viskositas disperse jika fraksi volume
partikel koloid adalah ø
Hamburan cahaya (sifat optik)
 Saat sinar dilewatkan melalui larutan koloidal,
sebagian cahaya akan diabsorbsi, sebagian
dihamburkan dan sisanya diteruskan
 Larutan koloidal terlihat keruh karena
hamburan cahaya oleh partikel koloidal 
efek Faraday-Thyndall
 Pengukuran hamburan cahaya bermanfaat
untuk memperkirakan ukuran partikel, bentuk
dan interaksi bahan koloid.
Sifat listrik
 Partikel koloidal membawa muatan listrik baik
positif atau negatif.
 Muatan positif  disperse koloidal feri oksida
 Muatan negative  disperse koloidal sulfur
dan kaolin
 Dispersi koloid protein dapat bermuatan
positif, negative atau netral tergantung pada
pH medium.
Stabilitas sistem koloidal
 Partikel koloidal mengalami tumbukan akibat
gerak Brown
 Tumbukan ini dapat menyebabkan koagulasi,
flokulasi atau tolakan antar partikel
tergantung dari gaya interaksi antar partikel
 Gaya interaksi : gaya tarik-menarik dan gaya
tolak-menolak
Gaya tarik-menarik (VA):
 gaya Tarik-menarik van der Waals antar
partikel koloid terjadi akibat interaksi dipol-
dipol
 Gaya ini bervariasi sebagai inversi jarak
antar partikel
Gaya tolak-menolak (VB):
 Gaya tolakan listrik antar partikel koloid
terjadi karena tumpang tindih bagian difusi
electrical double layer dan juga karena
tekanan osmotic yang terjadi karena
akumulasi ion di antara partikel.
 Tolakan antar partikel menurun secara
eksponensial dengan meningkatnya jarak
antar partikel.
Stabilitas koloid lifobik – Teori
DLVO
 Teori DLVO adalah berdasarkan kombinasi
gaya Tarik-menarik dengan gaya tolak-
menolak dan menjelaskan ketidakstabilan
agregatif dari dua partikel yang dipisahkan
dengan jarak tertentu
 Total energi potensial interaksi (VT) = VA + VB
Total energi potensial interaksi
 Pada jarak antar partikel sangat dekat, gaya
tarik-menarik antar partikel sangat dominan
 minimum primer yang dalam.
 Jarak antar partikel yang dekat dan gaya
tarik-menarik yang kuat menyebabkan
koagulasi atau agregasi partikel yang
irreversible
Continue ...
 Pada jarak antar partikel sedang, tolakan double-layer antar
partikel dominan  maksimum primer.
 Jika maksimum primer lebih besar dari energy termal
partikel, partikel tetap dalam keadaan terdispersi  suspense
koloidal yang stabil
 Tinggi maksimum primer tergantung pada konsentrasi
elektrolit dan potensial zeta
 Penambahan elektrolit menurunkan potensial zeta,
menurunkan maksimum primer, memperdalam minimum
sekunder dan meningkatkan kecenderungan partikel
mengalami flokulasi
 Maksimum primer juga dapat diturunkan dengan penambahan
surfaktan ionik
Continue ...
 Pada jarak antar partikel yang jauh, minimum
sekunder terjadi karena gaya tolak-menolak
menurun lebih cepat terhadap jarak
dibandingkan dengan gaya tarik-menarik
 Jika minimum sekunder lebih kecil dari energy
termal partikel, partikel cenderung saling tolak
dan tidak terbentuk agregat.
 Sedangkan minimum sekunder yang lebih besar
menyebabkan pembentukan agregat partikel
longgar (flokul) yang dengan mudah
didispersikan kembali dengan pengocokan.
Stabilitas koloid liofilik
 Larutan koloidal liofilik atau larutan makromolekul
distabilkan oleh interakasi electrical double layer dan
solvasi
 Koloid liofilik tidak dipengaruhi dengan penambahan
sejumlah kecil elektrolit karena adanya lapisan
solvasi air di sekeliling partikel terdispersi
 Pada konsentrasi elektrolit tinggi, mereka akan
kehilangan solvasi airnya dan terkoagulasi, mis.
terjadi efek salting-out
 Penambahan solven seperti alcohol dan aseton dapat
mengubah liofilik koloid menjadi liofobik koloid
Schulz-Hardy rule
 Penambahan elektrolit dapat menyebabkan
presipitasi atau koagulasi disperse koloidal karena
penurunan potensial zeta
 Efektivitas suatu elektrolit menyebabkan presipitisasi
atau koagulasi tergantung tidak saja pada
konsentrasinya tetapi juga valensi dari ionnya.
 Semakin tinggi valensi suatu ion, semakin besar
kemampuannya menghasilkan presipitasi atau
koagulasi.
 Al3+ > Mg2+ dan Na+
Hofmeister atau Seri Liotropik
 Kekuatan presipitasi atau koagulasi dalam
koloid liofilik ditentukan oleh Hofmeister atau
seri liotropik
 Menurut seri ini kekuatan presipitasi atau
koagulasi didasarkan pada kemampuan
elektrolit untuk melepaskan selubung pelarut
dari partikel koloid.
 Contoh: kekuatan presipitasi iodide < bromide <
clorida < asetat < sulfat < tartrat < sitrat
Interaksi Koloid
 Koaservasi
 Bridging
 Protective colloid action
 Gold number
Koaservasi
 Merupakan pemisahan lapisan yang kaya koloid
(colloid-rich layer) dari larutan liofilik akibat
penambahan elektrolit atau suatu nonsolven
 Koaservasi juga terjadi ketika dua koloid yang
berlawanan muatan dicampurkan, seperti akasia dan
gelatin
 Akasia pada pH sekitar 3 bermuatan negative dan
gelatin pada pH di bawah titik isoelektriknya
bermuatan positif, kombinasi kedua larutan ini pada
pH sekitar 4 menyebabkan koaservasi
Bridging
 Merupakan konsekuensi dari adsorpsi molekul
polimer (koloid liofilik) pada permukaan lebih
dari satu partikel koloidal
 Bridging terjadi jika sejumlah kecil koloid
liofilik ditambahkan pada system koloid
liofobik
 Molekul polimer teradsorpsi cukup panjang
untuk menjembatani penghalang energi antara
partikel koloid sehingga menghasilkan
pembentukan flok terstruktur.
Protective colloid action
 Bahan polimer nonionik yang saling tolak, seperti
metilselulosa, gom dan surfaktan nonionik yang
teradsorpsi pada permukaan partikel koloid dapat
menstabilkan larutan koloid liofobik dari koagulasi
bahkan tanpa adanya potensi zeta yang signifikan.
 Pada konsentrasi tinggi, koloid liofilik memenuhi
permukaan partikel koloid liofob dan menyebabkan
tolakan partikel akibat efek tekanan osmotik.
 Polielektrolit dapat menstabilkan koloid liofobic
dengan stabilisasi elektrosterik.
Gold number
 Merupakan ukuran kemampuan protektif dari koloid hidrofilik
atau molekul polimer.
 Dihitung sebagai jumlah miligram koloid hidrofilik yang
diperlukan untuk mencegah perubahan warna larutan emas
(10 ml) dari merah menjadi ungu dengan penambahan larutan
natrium klorida 10% (1 ml).
 Perubahan warna larutan emas disebabkan oleh perubahan
ukuran partikel.
 Semakin rendah angka emas, semakin tinggi pula kemampuan
protektif dari koloid hidrofilik.
 Misalnya, agar-agar dengan gold number 0,01 lebih efektif dari
pada akasia (gold number 0,2) dan tragacanth (gold number
2,0).
Colloidal drug-delivery systems
 Digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat,
meningkatkan stabilitas obat, menjaga dan
mengendalikan laju pelepasan dan menargetkan obat
pada lokasi spesifik di dalam tubuh
 Ada dua jenis:
 Partikel pembawa: liposom, nanoemulsi dan
nanopartikel
 Pembawa terlarut: konjugasi makromolekul-obat:
 Sulfur koloidal yang dilabel dengan 99mTC  agen
diagnostic
 Emas koloidal  diagnostic (198Au) dan sebagai agen
terapetik
Title
• Text
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai