Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
SKENARIO KASUS
Seorang anak laki-laki usia 8 tahun, dibawa oleh orang tuanya ke IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Palembang dengan keluhan sudah 2 hari tidak mampu menggerakkan seluruh
tubuhnya. Anak juga menjadi sulit menelan dan bernafas. Ibu mengatakan 10 hari yang
lalu anak mengalami batuk dan pilek. Lalu tiba-tiba anak mulai mengeluhkan ujung kaki
dan tangan seperti kesemutan, lalu bertahap terasa lemah hingga menjadi sulit digerakkan.
Anak juga mulai sulit berbicara dan merasa nyeri pada sendinya terutama malam hari
dengan skala nyeri 5. Ibu mengatakan Riwayat vaksin anak lengkap. Berdasarkan hasil
pemeriksaan lebih lanjut didapatkan bahwa terdapat Ophthalmoplegia, disfagia, dan
disartria. Selain itu terdapat hipestesia. Pada bagian punggung terdapat lesi yang
disebabkan anak dalam posisi tidur telentang terus menerus. Hasil pemeriksaan tanda-
tanda vital : Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi : 110 kali/menit, frekuensi nafas
: 32 kali/ menit, suhu : 37,2°C. ibu mengatakan sangat khawatir jika anaknya mengalami
kelumpuhan seumur hidupnya dan tidak tau apa yang akan terjadi pada anaknya. Setelah
dilakukan Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan elektromiografi dan lumbal pungsi
untuk memastikan keadaan cairan serebrospinal. Anak direncanakan akan mendapatkan
terapi immunoglobulin atau plasmaferesis.
1. KLARIFIKASI ISTILAH
- Ophthalmoplegia :
- Disfagia :
- Disartria :
- Lumbal pungsi :
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.
(RATNASARI, S. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
STROKE NON HEMORAGIK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
GANGGUAN MOBILITAS FISIK (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Ponorogo).
- Pemeriksaan elektromiografi :
- Immunoglobulin :
Kelompok protein dengan susunan dasar khas yang berfungsi sebagai antibodi
(KBBI Online)
- Plasmaferesis :
- Cairan serebrospinal :
cairan yang terdapat pada ventrikel otak, sisterna di sekitar otak, dan ruang
subaraknoid di sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Volume sekitar 150
mL dan memiliki specific gravity 1.002 hingga 1.009. Fungsi utama cairan
serebrospinal adalah untuk melindungi otak di rongga tengkorak (Jurnal
Udayana, 2021)
- Hipestesia :
Berkurangnya perasaan raba (Tidak peka) (Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system Persyarafan. Salemba
Medika: Jakarta)
- Vaksin :
Suspensi atau produk unsur-unsur infeksius, terutama dipakai untuk
menghasilkan imunitas aktif. (kamus keperawatan edisi 17)
- Lesi :
2. Perubahan fisik pada bagian tubuh karena suatu penyakit atau luka
(KKBI Online)
2. IDENTIFIKASI MASALAH
- Prioritas 1
Seorang anak laki-laki usia 8 tahun, dibawa oleh orang tuanya ke IGD Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Palembang dengan keluhan sudah 2 hari tidak mampu
menggerakkan seluruh tubuhnya. Anak juga menjadi sulit menelan dan bernafas. Ibu
mengatakan 10 hari yang lalu anak mengalami batuk dan pilek. Lalu tiba-tiba anak
mulai mengeluhkan ujung kaki dan tangan seperti kesemutan, lalu bertahap terasa
lemah hingga menjadi sulit digerakkan. Anak juga mulai sulit berbicara dan merasa
nyeri pada sendinya terutama malam hari dengan skala nyeri 5. Ibu mengatakan
Riwayat vaksin anak lengkap.
Jawaban :
Menelan ialah suatu mekanisme transportasi cairan atau zat padat dari rongga
mulut ke lambung melalui faring dan esofagus. Proses menelan merupakan
suatu proses sensori motorik yang melibatkan suatu koordinasi antara otot-otot
di sekitar mulut, lidah, faring, laring, dan esofagus. Proses menelan terbagi
menjadi 3 fase yaitu fase persiapan dan transportasi oral, fase faring, dan fase
esofagus. Adanya gangguan fungsional dan koordinasi pada elemen tersebut
dapat menyebabkan disfagia.
Sulit menelan bisa disebabkan oleh beragam kondisi seperti gangguan sistem di
saraf, gangguan di otot menelan, atau sumbatan di kerongkongan.
Vaksin Hepatitis B monovalen paling baik diberikan kepada bayi segera setelah
lahir sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan vitamin K1 minimal 30
menit sebelumnya. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan vaksin HB
dan immunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstrimitas yang berbeda,
maksimal dalam 7 hari setelah lahir. Imunisasi HB selanjutnya diberikan
bersama DTwP atau DTaP (IDAI, 2020).
b. Vaksin polio
Vaksin Polio 0 sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila lahir di fasilitas
kesehatan diberikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada kunjungan pertama.
Selanjutnya berikan bOPV atau IPV bersama DTwP atau DTaP. Vaksin IPV
minimal diberikan 2 kali sebelum berusia 1 tahun bersama DTwP atau
DTaP(IDAI, 2020).
c. Vaksin BCG
Vaksin BCG sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera mungkin
sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila berumur 2 bulan atau lebih, BCG diberikan
bila uji tuberkulin negatif. (IDAI, 2020).
d. Vaksin DPT
Vaksin DPT dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin DTwP atau
DTaP. Vaksin DTaP diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan atau 2, 4, 6 bulan. (IDAI,
2020).
e. Vaksin Hib
Vaksin Hib diberikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Kemudian booster Hib
diberikan pada usia 18 bulan di dalam vaksin pentavalent (IDAI, 2020).
PCV diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan dengan booster pada umur 12-15
bulan. Jika belum diberikan pada umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan
jarak 1 bulan dan booster setelah 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis
sebelumnya. (IDAI, 2020).
g. Vaksin rotavirus
h. Vaksin influenza
Vaksin influenza diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun. (IDAI,
2020).
i. Vaksin MR/MMR
Vaksin MR / MMR pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bila sampai umur
12 bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR. Umur 18 bulan
berikan MR atau MMR. Umur 5-7 tahun berikan MR (dalam program BIAS
kelas 1) atau MMR (IDAI, 2020)
Vaksin JE diberikan mulai umur 9 bulan di daerah endemis atau yang akan
bepergian ke daerah endemis. Untuk perlindungan jangka panjang dapat berikan
booster 1-2 tahun kemudian (IDAI, 2020).
k. Vaksin varisela
Vaksin varisela diberikan mulai umur 12-18 bulan. (IDAI, 2020).
l. Vaksin hepatitis A
Vaksin hepatitis A diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2 diberikan
6 bulan sampai 12 bulan kemudian (IDAI, 2020).
m. Vaksin tifoid
Vaksin tifoid polisakarida diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang setiap 3
tahun (IDAI, 2020).
Vaksin HPV diberikan pada anak perempuan umur 9-14 tahun 2 kali dengan
jarak 6-15 bulan (atau pada program BIAS kelas 5 dan 6). (IDAI, 2020).
o. Vaksin dengue
Vaksin dengue diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan seropositif dengue
yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat dengan diagnosis dengue
(pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji serologis IgM/IgG antidengue positif)
atau dibuktikan dengan pemeriksaan serologi IgG anti positif (IDAI, 2020)
5. Mengapa anak bisa mengalami nyeri sendi terutama pada malam hari ?
Jawaban :
Bisa terjadi karena kesalahan dari kekebalan tubuh yang menyerang sel dan jaringan
tubuh yang sehat. Anak yang mengidap nyeri sendi akan mengalami kerusakan pada
lapisan sinovial yang berperan untuk melumasi sendi karena peradangan. Penyebabnya
adalah imunitas tubuh yang menyerang sinovial sehingga memicu nyeri hingga
peradangan.
6. Apakah batuk dan pilek dapat mempengaruhi tubuh seorang anak menjadi tidak
nyaman?
Jawaban :
Ya, akan membuat tidak nyaman
Batuk pilek adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita
oleh masyarakat. Yang membuat anak menjadi tidak nyaman yaitu karena timbulnya
gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea),
hidung tersumbat, tenggorokan sakit dan sakit kepala. Gejala flu seringkali disertai
demam ringan pada awal gejala, nyeri otot dan badan lemah (fatigue). Flu, salesma atau
batuk pilek sebagian besar (90%) disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya
rhinovirus, dan penderita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada
daya tahan tubuhnya. Puncak gejala biasanya sekitar hari ke-3 atau ke-4, dengan
rhinorrhoea yang awalnya berupa cairan bening, kemudian dapat berubah menjadi lebih
kental
7. Bagaimana cara mengatasi nyeri sendi yang anak alami?
Jawaban :
Cara mengatasi nyeri sendi pada anak yaitu dengan memberikan kompres hangat.
Kompres hangat berfungsi melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah,
dan mengurangi kekakuan. Kompres hangat juga berfungsi menghilangkan sensasi rasa
sakit (Kozier & Erb, 2009).
8. Apa saja faktor penyebab anak sulit bernapas?
Jawaban :
Berbagai penyebab sesak nafas pada anak :
Pilek
Pilek pada anak merupakan salah satu penyakit pernapasan yang paling umum.
Meski begitu, pilek tidak boleh dianggap remeh karena dapat menjadi penyebab
sesaknya napas anak.
Pilek menyebabkan saluran pernapasan menghasilkan lendir (ingus) yang lebih
banyak dari biasanya.
Tersedak makanan
Anak dapat tiba-tiba sesak napas akibat tersedak makanan atau minumannya.
Tersedak membuat makanan yang seharusnya berjalan menuju tenggorokan
malah masuk ke pita suara atau dalam saluran napas. Kondisi ini juga bisa
terjadi saat balita iseng memasukkan benda asing berukuran kecil ke dalam
mulutnya. Bila benda asing yang masuk ke dalam saluran napas tidak bisa
dikeluarkan, anak dapat kekurangan oksigen.
Alergi
Ketika anak terpapar alergen (zat penyebab alergi), maka sistem imun tubuhnya
akan otomatis menghasilkan antibodi bernama histamin. Sayangnya, pada anak
dengan alergi, histamin dalam tubuhnya justru bekerja secara berlebihan saat
melawan zat-zat yang sebenarnya tidak dianggap berbahaya. Akibatnya,
sejumlah reaksi alergi akan muncul pada tubuh anak, seperti batuk, demam, flu,
hingga infeksi saluran pernapasan. Anda juga harus mewaspadai risiko reaksi
alergi parah yang disebut anafilaksis.
Cemas Berlebihan
Rasa cemas anak yang berlebih, entah karena sedang ketakutan atau gugup,
dapat menjadi pemicu sesak napas. Rasa cemas membuat tubuh berada pada
kondisi fight-or-flight alias respons stres yang pada akhirnya memicu serangan
panik.
Obesitas
Obesitas kenyataannya masuk sebagai salah satu daftar penyebab sesak napas
pada anak. Anak yang obesitas bahkan cenderung kesulitan bernapas lega saat
beraktivitas ringan, misal berjalan 100 meter ke depan rumah atau naik tangga
yang tidak curam.
Kesulitan napas ini disebabkan oleh penumpukan lemak di sekitar perut dan
dada yang menghambat kerja otot-otot saluran napas. Hal ini kemudian justru
membuat paru-paru anak dipaksa bekerja ekstra supaya bisa mengembang
maksimal.
Asma
Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pertama kali pada masa
kanak-kanak dan akan terus berlanjut hingga dewasa. Bila anak sering
mengeluh sesak napas, bisa jadi kondisi ini penyebabnya.
Asma terjadi ketika saluran udara (bronkus) meradang. Peradangan
menyebabkan bronkus membengkak, menyempit, dan menghasilkan lendiryang
lebih banyak dari biasanya. Ketika paru-paru tidak mendapatkan pasokanudara
yang cukup, anak akan sulit bernapas lebih lega. Napas anak pun cenderung jadi
lebih cepat, dangkal, dan disertai dengan bunyi ngik-ngik atau mengi.
Pneumonia
Salah satu penyakit paru yang gejalanya bisa jadi penyebab sesak napas pada
anak adalah pneumonia (infeksi di paru). Kondisi ini membuat pasokan oksigen
yang masuk ke dalam darah berkurang drastis, sehingga sejumlah sel-sel tubuh
tidak berfungsi normal karena kekurangan oksigen.
Masalah Jantung
Penyempitan atau penyumbatan yang terjadi di pembuluh besar jantung dapat
menghambat pasokan oksigen ke dalam tubuh. Penyakit jantung pada anak,
termasuk kelainan jantung bawaan, yang ditandai dengan detak jantung tidak
normal juga bisa jadi penyebab sesak napas pada anak.
9. Apa saja tanda dan gejala kesemutan pada ujung kaki atau tangan dan dapat
mengindikasikan gejala penyakit apa saja?
Jawaban :
Kesemutan atau parestesia bisa terjadi di bagian tubuh mana pun, tetapi sering kali
dirasakan di tangan, kaki, atau kepala. Saat terjadi kesemutan, area yang terdampak
umumnya akan merasakan gejala mati rasa, lemah, sensasi seperti tertusuk jarum, rasa
terbakar atau malah dingin. Kesemutan ini punya 2 sifat yaitu sementara dan
berkepanjangan (parestesia kronis), dimana tergantung pada faktor penyebabnya.
Kesemutan sementara umumnya dipicu karena tekanan pada saraf atau terhambatnya
sirkulasi darah karena terlalu lama duduk bersila maupun tidur dengan posisi tangan
tertindih. Namun, seperti pada kasus, pasien mengalami kesemutan cukup lama dan hal
ini dapat mengindikasikan beberapa hal seperti penyakit autoimun (lupus, celiac,
rheumatoid arthritis, neuropati diabetik, serta Guillain-Barre), tubuh kekurangan
vitamin B12, maupun efek obat-obatan seperti obat antikejang, obat HIV/AIDS,
maupun obat kemoterapi.
- Prioritas 2
Jawaban :
Tekanan Darah
Frekuensi pernapasan
Frekuensi Nadi
Disfagia
Fase oral (mengisap, minum, mengunyah, menggigit)
Tidak ada refleks oral, primitif /refleks neurologis oral, mengisap lemah,
mengisap tidak terkoordinasi, menggigit dan mengunyah immatur,
apraksia oral.
Bibir sumbing atau celah langit-langit mulut, tongue-tie, mikro dan
makroglossia, mikro dan retrognathia, kerusakan saraf granial (V, VII,
XII), perkembangan atau kerusakan otak.
Fase faringeal (menelan)
Koordinasi mengisap–menelan–bernapas yang buruk, delayed triger
menelan,pengosongan faring yang buruk.
Penyakit pernapasan, prematur, amandel membesar, laryngeal cleft,
cederapencernaan, kerusakan saraf kranial (IX, X, XI), kerusakan
berulang saraf laringeal,perkembangan atau cedera otak didapat.
Fase esofageal
Gangguan pembukaan upper esophageal sphincter (UES) atau lower
esophageal sphincter(LES), LES relaksasi menyebabkan refluks,
motilitas buru.
Atresia esofagus, fistula trakeo–esofagal, esofagitis, striktur esofagus,
akalasia,gangguan perkembangan atau cedera otak didapat.
Disartria
Menurut Prins (1998) penyebab disatria disebabkan oleh:
Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO)
Salah satu penyebab utama terjadinya disartria adalah GPDO ataustroke,
karena trombosis (pembekuan darah dalam lumen pembuluh darah,
pembuluh darah tersumbat), emboli atau pendarahan, saluran darah ke
bagian otak terhambat.
Gangguan Biokimia
Pembuatan neurotransmitor terlalu cepat dihanyutkan sehingga
penyampaian rangsangan terganggu. Penyakit myasthenia gravis
misalnya akibat kekurangan asetilkolon sehingga otot-otot cepat capai.
Penyakit parkinson disebabkan kekurangan produksi dopamin.3)
TraumaKarena jatuh, pukulan atau luka sebagian sistem saraf rusak.4)
NeoplasmaNeoplasma adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
normal pada tubuh (tumor). Tumor ini membuat tekanan pada sebagian
sistem saraf.
Keracunan
Keracunan dapat diakibatkan racun, alkohol (penyakit karsakow) atau
obat.
Radang
Radang di otak (ensefalitis), di saraf (neuritis), atau di otot (miositis)
Infeksi Virus atau Inveksi Prion
Sistem saraf yang diserang virus (misalnya Poliomielitis) atau prion
(penyakit Creutzfedt-Jacob).
Degenerasi Progresif
Semakin banyak bagian sistem saraf (yang berkaitan dengan bicara)
terkena. Penyebab keturunan, seperti misalnya ‘distrofia otot
keturunan’, penyakit Huntinghonatau penyakit Wilson.
Kelainan Kongenital (Kelahiran)
Sejak kelahiran sudah terdapat kerusakan di sistem saraf sentral, yang
menyebabkan bicara tidak berkembang dengan baik.
Dari kesembilan faktor penyebab disartria di atas, ada perbedaan
penyebab terjadinya disartria pada seorang anak. Penyebab kasus
disatria pada anak adalah akibat virus yang bernama cerrebral palsy. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Samuel Lazuardi dalam PELLBA 4.
Lazuardi (1994)
Hipestesia
Adanya gangguan pada saraf, atau ketidakseimbangan kimiawi tubuh
yang berhubungan dengan fungsi saraf
Ulfah, Maria. 2020. Disartria gangguan berbicara. Bengkulu : Elmarkazi
5. Bagaimana penatalaksanaan lesi pada anak?
Jawaban :
Mengedukasi anak dan orang tua tentang lesi yang dialami anak
Menghindari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lesi dan
memodifikasi lingkungan seperti mengubah posisi anak ketika tidur
(miring kanan atau kiri)
Menjaga kelembaban kulit dengan pemberian salep atau lotion
Mengendalikan dan menjaga agar anak tidak menggaruk bagian yang
terdapat lesi serta memberikan edukasi tentang tindakan apa yang bisa
dilakukan agar gatal yang dirasakan berkurang.
6. Bagaimana cara penanganan pada anak yang mengalami disartia?
Jawaban :
Penanganan disartia
Disartria adalah gangguan bicara akibat kelemahan pada fungsi otot yang
digunakan untuk berbicara. Disartria umumnya dipicu oleh gangguan pada
sistem saraf yang memengaruhi gerak bibir, lidah, pita suara, dan diafragma
sehingga organ-organ tersebut tidak berfungsi normal. Pengobatan disartria
bertujuan untuk mengatasi penyebabnya terlebih dahulu. Pada disartria yang
disebabkan oleh tumor, dokter akan melakukan operasi pengangkatan tumor,
diikuti dengan terapi bicara untuk memperbaiki kemampuan pasien dalam
berbicara dan berkomunikasi.
Terapi yang dijalani oleh pasien akan disesuaikan dengan jenis dan tingkat
keparahan disartria, antara lain:
Resiko kejadian opthalmoplegia sedikit lebih tinggi pada orang yang menderita
diabetes serta mereka yang memiliki kondisi yang mempengaruhi kontrol otot
mereka, seperti multiple sclerosis atau penyakit Graves.
1) Orang lanjut usia akibat beberapa kondisi seperti stroke atau Parkinson.
2) Orang dengan gangguan sistem saraf tertentu.
3) Cedera otak, cedera saraf tulang belakang, serta penyakit stroke.
4) Gangguan sistem saraf, seperti post-polio syndrome, multiple sclerosis,
muscular dystrophy, atau penyakit Parkinson.
5) Gangguan sistem imun seperti dermatomyositis yang menyebabkan
pembengkakan dan peradangan.
- Prioritas 3
Gangguan Otot
Tekanan intrakranial yang tinggi karena dicurigai lesi massa otak atau
medulla spinalis, yang dapat menimbulkan herniasi transtentorium atau
herniasi tonsil serebellum pasca tindakan.
Gejala dan tanda herniasi otakyang mengancam pada anak dengan
kemungkinan meningitis.
Pada kesempatan yang jarang, pungsi lumbal semetara ditangguhkan,
pada penderita yang sakit kritis, penderita moribund, karena tindakan ini
dapat mengakibatkan henti kardio respiratori.
Jawaban:
Cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) adalah cairan bening yang
berada di dalam dan sekitar otak serta sumsum tulang belakang. Fungsi
utamanya adalah melindungi otak dan sumsum tulang belakang dari benturan
atau cedera.
Kelumpuhan atau paralisis adalah kondisi ketika satu atau beberapa bagian
tubuh tidak dapat digerakkan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan pada
otot saraf akibat cedera arau penyakit tertentu.
Kontraindikasi
4. HIPOTESIS
Berdasarkan kasus, maka anak tersebut mengarah pada penyakit autoimun. Penyakit
autoimun yaitu gangguan sistem kekebalan tubuh akibat gagalnya pertahanan
kestabilan kondisi tubuh, sehingga sistem imun menyerang tubuh yang sehat dianggap
sebagai benda asing yang harus dimusnahkan. Dengan tanda dan gejala : ujung kaki
dan tangan seperti kesemutan, lalu terasa lemah hingga sulit digerakkan, anak sulit
berbicara dan merasa nyeri pada sendinya terutama malam hari dengan skala nyeri 5,
terdapat ophthalmoplegia, disfagia, disartria, dan hipestesia, dan pada bagian punggung
terdapat lesi.
Maka masalah keperawatan yang muncul pada anak dengan autoimun sesuai kasus
adalah nyeri akut, gangguan mobilitas fisik, pola napas tidak efektif, risiko defisit
nutrisi, dan gangguan integritas kulit.
5. TOPIK PEMBELAJARAN DAN KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN
(LEARNING ISSUES)
A. PEMERIKSAAN ELEKTROMIOGRAFI
1. Pengertian
Pemeriksaan elektromiografi adalah prosedur non invasif yang dapat
mengamati aktivitas otot baik volunter maupun involunter.
2. Fungsi
Elektromiografi adalah prosedur non invasif yang dapat mengamati aktivitas
otot baik volunter maupun involunter. Elektromiografi dapat menginvestigasi
potensial aksi otot fungsional. Pemeriksaan elektromiografi ini bertujuan untuk
mengetahui prognosis pasien dengan cara memeriksa perubahan dari amplitudo
otot yang bergantung dari jumlah akson yang aktif dan juga degenerasi serabut
saraf yang terjadi. Bila dijumpai perbedaan amplitudo dan latensi distal lebih
dari 90% dibandingkan sisi yang sehat, maka prognosisnya buruk. Hilangnya
potensial aksi otot selama pemeriksaan elektromiografi memberikan prognosis
yang buruk
Fungsi pemeriksaan elektromiografi (EMG) adalah untuk membantu diagnosis
berbagai gangguan otot dan sistem saraf. Tes ini dapat memberitahu apakah otot
Anda merespons dengan cara yang benar terhadap sinyal saraf.
Biasanya, elektromiogram dilakukan bersamaan dengan studi atau tes konduksi
saraf (nerve conduction study/NCV). Tes NCV mengukur seberapa cepat dan
seberapa baik sinyal listrik tubuh mengalir melalui saraf sebelum mencapai otot
Anda. Dengan kedua tes tersebut, dokter dapat mengetahui apakah gejala yang
Anda alami disebabkan oleh kelainan otot atau masalah saraf.
Adapun beberapa kondisi atau penyakit yang dapat didiagnosis melalui tes
EMG ini adalah:
Kelainan otot, seperti distrofi otot (muscular dystrophy) atau
polymyositis.
Penyakit yang memengaruhi hubungan antara saraf dan otot, seperti
myasthenia gravis.
Gangguan saraf di luar sumsum tulang belakang (saraf tepi), seperti
carpal tunnel syndrome atau neuropati perifer.
Gangguan yang memengaruhi neuron motorik di otak atau sumsum
tulang belakang, seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau polio.
Gangguan yang memengaruhi akar saraf, seperti herniasi diskus di
tulang belakang.
3. Tujuan
Elektromiografi (EMG) adalah teknik yang digunakan dengan tujuan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas listrik yang
dihasilkan oleh otot skeletal. Ini merupakan tes penting yang digunakan untuk
mendiagnosis kelainan otot dan saraf. Ini sering digunakan untuk mengevaluasi
kelainan sistem saraf periferal.
Elektromiografi dilakukan dengan menggunakan alat pendeteksi aktivitas listrik
otot, yaitu elektroda, yang terhubung dengan mesin EMG. Dengan alat tersebut,
aktivitas listrik otot akan ditampilkan dalam bentuk grafik di layar monitor.
Dokter akan menganalisis grafik tersebut untuk menentukan hasil pemeriksaan.
Umumnya, elektromiografi dilakukan bersamaan dengan nerve conduction
velocity (NCV), yaitu pemeriksaan untuk mengukur kecepatan aktivitas listrik
saraf yang mengontrol otot. Dengan kedua pemeriksaan tersebut, dokter dapat
menentukan penyebab dari gejala yang dialami pasien, apakah karena kelainan
otot atau kelainan saraf.
4. Prosedur pemeriksaan
Elektromiografi biasanya memakan waktu 30–60 menit. Baik surface
electromyography maupun intramuscular electromiography pada dasarnya
memiliki tahapan prosedur yang sama. Perbedaannya hanya cara pemasangan
elektroda.
Berikut ini adalah gambaran prosedur elektromiografi:
Pasien akan diminta untuk melepaskan benda-benda logam, seperti
perhiasan atau jam tangan, yang dapat memengaruhi hasil pemeriksaan.
Pasien akan diminta untuk duduk atau berbaring di tempat yang sudah
disediakan.
Dokter akan membersihkan permukaan kulit di atas otot yang
mengalami gejala, serta memotong rambut-rambut halus yang mungkin
akan mengganggu kelancaran prosedur.
Dokter akan menempelkan atau menusukkan elektroda pada area otot
yang akan diperiksa.
Dokter akan meminta pasien untuk melakukan hal-hal yang dapat
mengencangkan otot, misalnya menekuk lengan, agar elektroda dapat
mendeteksi aktivitas otot saat sedang beristirahat dan saat berkontraksi.
Mesin EMG akan merekam aktivitas listrik otot pasien dan
menampilkannya dalam bentuk grafik pada layar monitor. Selanjutnya,
dokter akan menganalisis grafik tersebut.
Setelah dokter menganalisis aktivitas otot melalui layar monitor, dokter
akan melepaskan elektroda secara perlahan.
5. Kontra Indikasi
Elektromiografi (EMG) adalah prosedur pemeriksaan untuk mengukur atau
merekam aktivitas listrik otot dan saraf yang mengontrolnya.
Kontra indikasinya adalah untuk membantu menegakkan diagnosis pada
gangguan otot atau saraf yang memiliki gejala tanpa penyebab yang jelas seperti
kesemutan, mati rasa, kelemahan pada otot, nyeri atau kram pada otot, kedutan
pada otot. Kondisi yang dapat didiagnosis dengan elektromiografi :
Gangguan otot seperti distrofi otot atau polimiositis.
Gangguan saraf yang mempengaruhi otot seperti myasthenia gravis.
Gangguan pada sistem saraf tepi seperti neuropati perifer.
Penyakit saraf motorik seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau
polio
Gangguan saraf di tulang belakang seperti hernia nucleus pulposus.
6. Efek Samping
Efek samping yang mungkin timbul setelah EMG, antara lain:muncul rasa nyeri
atau pegal pada daerah yang diperiksa. Nyeri dapat berkurang dengan
mengonsumsi obat pereda nyeri (seperti ibuprofen). Pada kasus yang jarang,
bisa juga terjadi kesemutan, lebam, atau bengkak pada daerah jarum elektroda.
B. AUTOIMUN
1. Definisi Autoimun
Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendir yang
terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance atau dapat diartikan sebagai kegagalan pada
toleransi imunitas sendiri. Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun
atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang
jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau
gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang
organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh (Robbins, 2007).
4. Penyebab
Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, tetapi faktor di
bawah ini diketahui dapat meningkatkan risiko seseorang untuk menderita
penyakit autoimun :
Berjenis kelamin perempuan
Memiliki riwayat penyakit autoimun dalam keluarga
Memiliki berat badan berlebih atau obesitas
Menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
seperti obat simvastatin atau antibiotik
Terkena paparan bahan kimia atau cahaya matahari
Menderita infeksi bakteri atau virus misalnya infeksi virus Epstein Barr
(lebih rentan)
Merokok
C. VAKSIN
1. Pengertian
Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan
tubuh terhadap suatu penyakit. Ada banyak jenis vaksin dan kandungannya pun
berbeda-beda. Masing-masing vaksin tersebut dapat memberikan Anda
perlindungan dari penyakit tertentu yang berbahaya.
Vaksin mengandung bakteri, racun, atau virus penyebab penyakit yang telah
dilemahkan atau sudah dimatikan. Saat dimasukkan ke dalam tubuh seseorang,
vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi.
Proses pembentukan antibodi inilah yang disebut imunisasi.
2. Tujuan
Tujuan diberikannya imunisasi vaksin adalah membentuk kekebalan pada bayi.
Diharapkan agar penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tujuan
imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang,
dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi),
atau bahkan menghilangkannya dari dunia. Tujuan lainnya adalah agar zat
kekebalan tubuh balita terbentuk sehingga resiko untuk mengalami suatu
penyakit yang bersangkutan menjadi berkurang. Menurut Permenkes RI Nomor
12 tahun 2017 disebutkan bahwa tujuan umum Imunisasi turunnya angka
kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). Penyakit dimaksud antara lain, Difteri, Tetanus, Pertusis
(batuk rejan), Measles (campak), Polio dan Tuberculosis. Tujuan Khusus,antara
lain:
Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 93% secara merata pada bayi di 100%
Terselenggaranya pemberian Imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practise and waste disposalmanagement).
Tercapainya perlindungan optimal kepada masyarakat yang akan
berpergian ke daerah endemis penyakit tertentu
Tercapainya target Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua
tahun (baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta Wanita Usia Subur
(WUS).
Tercapainya reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat
dicegah dengan Imunisasi.
3. Jenis Vaksin
Vaksin Hepatitis B (HB) monovalen : sebaiknya diberikan kepada bayi
segera setelah lahir sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan
vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Bayi dengan berat lahir
kurang dari 2000g, imunisasi hepatitis B sebaiknya ditunda sampai
berumur 1 bulan atau lebih, kecuali ibu HBsAg positif dan bayi bugar
berikan imunisasi HB segera setelah lahir tetapi tidak dihitung sebagai
dosis promer. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan vaksin
HB dan immunoglobulin hepatitis B(HBlg) pada ekstremitas yang
berbeda, maksimal dalam 7 hari terakhir setelah lahir. Imunisasi HB
selanjutnya diberikan bersama DTwP atau DTaP.
Vaksin polio 0 (nol) : sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila
lahir di fasilitas kesehatan berikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada
kunjungan pertama. Selanjutnya berikan bOPV atau IPV bersama
DTwP atau DTaP. Vaksin IPV minimal diberikan 2 kali sebelum
berumur 1 tahun bersama DTwP atau DTaP.
Vaksin BCG : sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera
mungkin sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila berumur 3 bulan atau
lebih,BCG diberikan bila uji tuberculin negative. Bila uji tuberculin
tidak tersedia, BCG dapat diberikan. Bila timbul reaksi local cepat pada
minggu pertama dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis
tuberculosis.
Vaksin DPT : dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin
DTwP atau DTaP. Vaksin DTaP diberikan pada umur 2,3,4 bulan atau
2,4,6 bulan. Booster pertama diberikan pada umur 18 bulan. Booster
berikutnya diberikan pada umur 5-7 tahun atau pada program BIAS
kelas 1. Umur 7 tahun atau lebih menggunakan vaksin Td atau Tdap.
Booster selanjutnya pada umur 10-18 tahun atau pada program BIAS
kelas5. Booster Td diberikan setiap 10 tahun.
Vaksin pneumokokus (PCV) : diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan
dengan booster pada umur 12 – 15 bulan. Jika belum diberikan pada
umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan jarak 1 bulan dan booster
setelah umur 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis sebelumnya. Jika
belum diberikan pada umur 1-2 tahun, berikan PCV 2 kali dengan jarak
minimal 2 bulan. Jika belum diberikan pada umur 2-5 tahun, PCV10
diberikan 2 kali dengan jarak 2 bulan, PCV13 diberikan 1 kali.
Vaksin rotavirus monovalen : diberikan 2 kali, dosis pertama mulai
umur 6 minggu, dosis kedua dengan interval minimal 4 minggu harus
selesai pada umur 24 minggu.
Vaksin rotavirus pentavalen : diberikan 3 kali, dosis pertama 6-12
minggu, dosis kedua dan ketiga dengan interval 4 sampai 10 minggu,
harus selesai pada umur 32 minggu.
Vaksin influenza : diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun.
Pada umur 6 bulan sampai 8 tahun imunisasi pertama 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu. Umur > 9 tahun, imunisasi pertama 1 dosis.
Vaksin MR/MMR : pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bisa sampai
umur 12 bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR.
Umur 18 bulan berikan MR atau MMR. Umur 5-7 tahun berikan MR
(dalam program BIAS kelas 1) atau MMR.
Vaksin Japanese encephalitis (JE) : diberikan mulai umur 9 bulan di
daerah endemis atau yang akan bepergian ke daerah endemis. Untuk
perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
kemudian.
Vaksin varisela : diberikan mulai umur 12-18 bulan. Pada umur 1-12
tahun diberikan 2 dosis dengan interval 6 minggu sampai 3 bulan. Umur
13 tahun atau lebih dengan interval 4 sampai 6 minggu.
Vaksin hepatitis A : diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2
diberikan 6 bulan sampai 12 bulan kemudian.
Vaksin tifoid polisakarida : diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang
setiap 3 tahun.
Vaksin human papilloma virus (HPV) : diberikan pada anak perempuan
umur 9-14 tahun 2 kali dengan jarak 6-15 bulan (atau pada program
BIAS kelas 5 dan 6). Umur 15 tahun atau lebih diberikan 3 kali dengan
jadwal 0,16 bulan (vaksin bivalen) atau 0,2,6 bulan (vaksin
quadrivalent).
Vaksin dengue : diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan
seropositive dengue yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat
dengan diagnosis dengue (pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji
serologis IgM/IgG antidengue positif) atau dibuktikan dengan
pemeriksaan serologi IgG anti dengue positif.
KONTRAINDIKASI ELEKTROMIOGRAFI
7. Manfaat
Mencegah penyebaran penyakit
Banyak kasus kematian yang terjadi akibat belum ditemukannya vaksin
untuk penyakit tersebut.
Melindungi dari risiko kematian dan cacat
Contohnya : pemberian vaksin cacar pada anak-anak dapat membantu
mencegah mereka terjangkit cacar di kemudian hari.
Menghemat waktu dan biaya
Pemberian vaksin dapat membantu seseorang terhindar dari berbagai
macam penyakit yang dapat menyebabkan sakit berkepanjangan, yang
tak hanya merugikan dari segi finansial namun juga waktu.
Menstimulasi sistem kekebalan tubuh agar menghasilkan antibodi yang
dapat melawan kuman penyebab infeksi.
3. Tujuan
Lumbal pungsi bertujuan untuk mengambil sampel cairan serebrospinal (CSF)
di tulang belakang. Serebrospinal adalah cairan yang terdapat dalam selaput
meninges yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang. CSF ini
berfungsi untuk menjaga keseimbangan sistem saraf. Lumbal pungsi dapat
menilai gambaran cairan serebrospinal yang kemudian digunakan untuk menilai
kadar glukosa, kadar protein, sel radang dan tanda–tanda infeksi intra kranial
lainnya.
4. Manfaat
Lumbal pungsi telah menjadi pemeriksaan neuro-diagnostik yang sering
dilakukan di bidang neurologi. Hal ini disebabkan karena kebutuhan untuk
pengambilan CSS serta pengukuran tekanan pembukaan untuk diagnosis
banding dan tidak lanjut terhadap pemantauan penyakit infeksi pada sistem
saraf. Selain indikasi diagnostik, lumbal pungsi juga mempunyai indikasi
terapeutik misalnya kemoterapi intratekal untuk penyakit keganasan,
mengurangi CSS pada hipetensi intrakranial jinak, setelah pembedahan saraf,
serta pada anestesi spinal. Lumbal pungsi dilakukan setelah dilakukan
pemeriksaan neurologi secara keseluruhan untuk meminimalisasi risiko
tindakan.
5. Efek Samping
Efek samping yang paling umum dari pungsi lumbal adalah sakit kepala.Mereka
mempengaruhi hingga 50% pasien. Dalam kebanyakan kasus, rasa sakitterjadi 2-
3 hari setelah prosedur, sangat bervariasi dalam tingkat keparahan, memburuk
saat orang tersebut duduk atau berdiri, tetapi berkurang saat
berbaring. Selain itu, sakit kepala dapat disertai dengan mual, telinga
berdenging, penglihatan kabur, dan pusing.
6. Prosedur Pemeriksaan
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.
Lumbal pungsi dilakukan pada anak yang dicurigai meningitis bakterialis.
Indikasi lumbal pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Indikasi lumbal pungsi pada pasien
dengan demam kejang meliputi :
Bayi < 12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis
sering tidak jelas.
Bayi antara 12 bulan – 1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal
pungsi kecuali pasti bukan meningitis.
E. ERAPI IMUNOGLOBULIN
1. Pengertian
Immunoglobulin merupakan senyawa protein didalam darah yang digunakan
untuk melawan virus penyakit. Setiap immonuglobulin akan mengenali satu
antigen secara spesifik. Antibodi atau immunoglobulin yang disingkat menjadi
Ig diproduksi oleh sel darah putih yang disebut sel B atau lebih spesifiklagi sel
plasma.Immunoglobulin sendiri dibagi menjadi Immunoglobulin A,
Immunoglobulin E, Immunoglobulin M, Immunoglobulin D, dan
Immunoglobulin G (Gabriela, 2014)
2. Fungsi
Imunoglobulin intravena berfungsi menekan produksi antibodi dengan cara IgG
mengikat fragmen Fc pada reseptor permukaan sel limfosit B, sehingga
menurunkan produksi autoantibodi patogen.
3. Tujuan
Tujuan nya adalah untuk menambah antibodi dan mencegah infeksi pada orang
yang kekurangan antibodi (imunodefisiensi). IVIG juga digunakan untuk
mengatasi penyakit autoimun, seperti sindrom Guillain-Barré atau idiopathic
thrombocytopenic purpura.
6. Prosedur Pemeriksaan
Dokter melakukan terapi IVIg sebagai infus intravena (IV) dengan cara
menyuntikkan jarum ke pembuluh darah vena dan memasukan cairan secara
perlahan. Prosedur ini dlakukan di rumah sakit dan butuh waktu beberapa jam
untuk menyelesaikannya. Frekuensi pemberian intravenous immunoglobulin
bervariasi tergantung kebutuhan, misalnya dapat diberikan hanya sekali ataupun
satu hingga lima hari setiap bulannya.
Dosis IVIg pun bervariasi tergantung pada usia pasien, berat badan, serta
kondisi atau jenis penyakit yang diobati. Pada imunodefisiensi primer,
dibutuhkan dosis awal 400–800 mg/kgBB dan diikuti dosis lanjutan 200–400
mg/kgBB setiap bulan. IVIg sebagai obat autoimun untuk penyakit Kawasaki
butuh dosis 1600–2000 mg/kgBB yang terbagi selama dua hingga lima hari atau
2000 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.
Prosedur pengujian antibodi dari tes ini sesuai dengan instruksi pabrikannya
(IDL Biotech) yaitu sebagai berikut:
7. Efek Samping
Pada beberapa kasus, umumnya IVIG bisa menyebabkan sakit kepala. Ada
pula beberapa efek samping lain pasca terapi imunoglobulin yang bisa
terjadi, diantaranya:
Sakit punggung
Nyeri sendi
Demam
Menggigil
Berkeringat
Kesemutan
Peningkatan tekanan darah
Detak jantung cepat
Pusing
Kelelahan
Kekurangan energi
Hidung tersumbat
F. GBS
1. Definisi
Merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang
dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya
refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola
mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai
gangguan koordinasi anggota gerak.
Penyakit GBS, sudah ada sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua
Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barr yang menemukan dua orang prajurit
perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah
menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi hanya 1
atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya.
2. Tanda Dan Gejala Sindrom Guillain-Barre
Gejala pertama yang muncul adalah kesemutan pada kaki atau tangan,
terkadang disertai rasa nyeri yang berawal di bagian tungkai atau punggung.
Gejala lainnya yaitu kelemahan tubuh yang ditandai dengan kesulitan berjalan.
Pada kebanyakan kasus, kelemahan dimulai dari tungkai lalu menjalar ke atas
(bersifat asenden), tetapi dapat juga dimulai dari mata. Pada fase lanjut,
kelemahan dapat menyerang otot-otot pernapasan yang dapat berakibat fatal.
Pada kebanyakan orang, gejala mencapai tingkat keparahan paling berat dua
minggu setelah gejala pertama muncul.
Selain kelemahan otot, individu dengan GBS dapat mengalami gangguan
penglihatan akibat lemahnya otot-otot sekitar mata, kesulitan menelan, bicara
dan mengunyah, sensasi seperti tertusuk jarum pada tangan dan hati, dan rasa
nyeri yang cenderung memburuk pada malam hari. Individu juga dapat
mengalami gangguan koordinasi, dengan ciri postur yang tidak stabil, gangguan
detak jantung dan tekanan darah, serta gangguan pencernaan dan kontrol buli-
buli.
Gejala dapat berbeda pada tiap individu, mulai dari hitungan jam, hari atau
berminggu-minggu. Pada fase akhir, individu dengan GBS mengalami paralisis
total, termasuk paralisis otot pernapasan, sehingga perlu disokong oleh alat
bantu napas.
3. Patofisiologi
Patofisiologi Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre pada
dasarnya muncul setelah proses infeksi, dan dimediasi oleh sistem imun yang
menyebabkan kerusakan saraf perifer. Sistem imun humoral dan selular
memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit ini. Terdapat empat
faktor yang mempengaruhi, yaitu antibodi anti ganglioside, molecular mimicry,
aktivasi komplemen, dan faktor host.
Garis besar perjalanan klinis GBS terdiri dari dua pola khas yang dibagi menjadi
fase penyusun dan komponennya. Pertama, terjadi infeksi atau stimulasi sistem
kekebalan yang menyebabkan terjadi penyimpangan respon autoimun pada
saraf perifer dan cabang-cabang saraf tulang belakang. Dan juga terjadi mimikri
molekuler antara mikroba dan antigen saraf yang dapat mencetuskan terjadinya
gangguan, biasanya dijumpai pada kasus infeksi C. jejuni. Fase berikutnya
adalah terdapat peran faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi
kerentanan individu. Kelemahan anggota gerak sering akibat keterlibatan saraf
sensorik dan kranial, yaitu 1-2 minggu setelah terjadinya stimulasi kekebalan
tubuh, dan biasanya puncak defisit klinis terjadi pada minggu ke-2 sampai ke-4
(Willson, 2016).
Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana sistem imun
tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya
organisme (misalnya virus atau bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada
GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak
penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun
seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin. Limfosit T akan tersensitisasi
bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi antibodi melawan
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang. Sementara pada waktu yang
bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Malfungsi sistem imunitas yang terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan
sementara pada saraf perifer dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresisf ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer (Shahar E, 2006).
4. Penyebab
GBS ini awalnya dianggap sebagai neuroalergi yang menghasilkan berbagai
bahan berbahaya. Terdapat perkiraan bahwa kumpulan gejala ini terjadi karena
menurunnya daya kekebalan tubuh sendiri (auto imun), yang biasanya didahului
oleh infeksi virus atau kuman-kuman yang menyebabkan infeksi saluran
pernafasan atas dan diare yang melemahkan daya tahan tubuh (kekebalan)
sehingga mengalami keluhan seperti kasus-kasus di atas. Sel sistem kekebalan
menyerang sarung saraf (mielin) yang mengelilingi serabut saraf di seluruh
saraf tepi.
Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan bakteri
yang mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit sistemiklainnya.
Penyakit ini dianggap sebagai penyakit paska infeksi yang diperantaraisistem
imun yang menyerang saraf perifer. Sindroma Guillain Barre sering terjadi
paska infeksi pernafasan atau penyakit saluran cerna tetapi telah dilaporkan
suatu infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, enterovirus,
Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska imunisasi Agen pencetus yang
paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-39% kasus), cytomegalovirus
(5-22%), Epstein-barr virus Mycoplasma pneumonia (5%
kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens karbohidrat (antigen) yang
menyerupai jaringan saraf tepi.
Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral,
seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan
mediator inflamasi non- spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan
terapi pertama pada GBS yang menunjukkan efektivitasnya, berupa
adanya perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat
bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam studi
tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien
GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu
napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan
menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan
kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian
dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5%
albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.Terapi
ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam
7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat
bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS)
Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek
samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan.Penggunaan IVIg
dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody
dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan
yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok
ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag.
Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali
dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam.
Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg danplasmaparesis
dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapijuga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi
IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et
al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus GBS ringan
tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat
perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. Efek
samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan
jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang
terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah
yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif
50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping
ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada
dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami
perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat
dicegah dengan pre- medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila
perlu methylprednisone intravena.
2. Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga
terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS.
Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang
pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan
fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital
capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah
60 cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan
ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia.
Elektromiografi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik sangat ringan atau tidak ada pada tahap awal
SGB dan tertinggal dari perkembangan klinis. Pada kasus dengan
demielinasi, memanjangnya distal, perlambatan kecepatan hantaran, adanya
blok konduksi dan dispersi temporal dari potensial aksi gabungan adalah
gambaran yang biasa ditemukan.
7. KERANGKA KONSEP
10 hr lalu
An LK 8th IGD
batuk+pilek
Terapi Plasmaferesis
Immunoglobulin
8. KESIMPULAN
PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi
1. Jakarta : DPP PPNI.
Siwi Pertiwi, I Gusti Ayu (2021) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Imunisasi
Dasar Lengkap Pada Bayi Selama Masa Pandemi Covid-19 Di Klinik Utama Vidyan
Medika. Diploma thesis, Jurusan Kebidanan 2021.
Aisyah, S. (2017). Efektifitas Manajemen Nyeri Non Farmakologi Kompres Hangat Dan Massage
Punggung Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Panti Wreda Pangesti
Lawang. Nursing News, 2(3), 653–662.
Publishing, H. (2019). Shortness of Breath in Infants, Children, and Teens – Harvard Health.
Harvard Health. Retrieved 3 October 2019
Sumarni, S. (2018). Kemampuan Memproduksi Bunyi Ujaran Bagi Penderita Disartria Di Rumah
Sakit Tentara (Kesrem) Binjai (Doctoral dissertation).
Santia, Nila Dewi. Dkk. 2022. Satu Kasus Diagnostik Disfagia pada Bayi dengan Pemeriksaan
FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing). Journal of clinical madicine. 9(2)
: 242-250.
Susanto, P.M. dan Lady Brenda Makagiansar. (2022). Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Anak.
Jurnal Medika Hutama. 3(2). 2248-2260.
Noffs, G., et al. (2018). What Speech Can Tell Us: A Systematic Review of Dysarthria
Characteristics in Multiple Sclerosis. Autoimmunity Reviews, 17(12), pp. 1202–09.
Erwin, I., & Fithrie, A. (2017). Spasmofilia. Cermin Dunia Kedokteran, 44(12), 875-879.
Muttaqin A. (2008) Buku Ajar Asuhan Kperawatan Klien dengan Gangguan Sisitem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Dewi, P. R., Kusumastuti, D., & Putra, A. W. (2018). Laporan Kasus: Perubahan Hasil
Pemeriksaan Elektromiografi Pada Paralisis Nervus Fasialis Perifer. Callosum Neurology,
1(2), 58–60.
Waluyo S dan Marhaedra B. 2014. Penyakit – Penyakit Autoimun. Penerbit PT Elex Media
Kamputindo : Jakarta
Santoso, B.B. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2017). Sekilas Vaksin Pneumokokus.
Asri, A. M. I. P. (2022). STATUS IMUNISASI DASAR PADA BAYI (0-11),(15-35), DAN (36>)
BULAN DI PUSKESMAS TABARINGAN MAKASSAR PERIODE NOVEMBER-
DESEMBER 2018STATUS IMUNISASI DASAR PADA BAYI (0-11),(15-35), DAN (36>)
BULAN DI PUSKESMAS TABARINGAN MAKASSAR PERIODE NOVEMBER-
DESEMBER 2018 (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Widyasih, H., & Tyastuti, S. GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG
IMUNISASI PADA IBU YANG MEMILIKI BALITA USIA 2-5 TAHUN DI POSYANDU
EMPU KUNIR 12 KELURAHAN REJOWINANGUN TAHUN 2019 (Doctoral dissertation,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).
Gitawati, R. (2014). Bahan Aktif Dalam Kombinasi Obat Flu Dan Batuk-Pilek, Dan Pemilihan
Obat Flu Yang Rasional. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 24(1), 10–18.
https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.3482.10-18
Gitawati, R. (2014). Bahan Aktif Dalam Kombinasi Obat Flu Dan Batuk-Pilek, Dan Pemilihan
Obat Flu Yang Rasional. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 24(1), 10–18.
https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.3482.10-18
Sari, Nufita. (2020). Gambaran Hasil Immunoglobulin Pada Penderita Demam Berdarah Dengue
Di Rsud R.M Djoelham Binjai Tahun 2020. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan.
RATNASARI, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Dengan
Muhammadiyah Ponorogo).
Zakarsyi, Teguh Gama. (2019). Letak Dilakukannya Lumbal Pungsi. Tugas Keperawatan Anak
II. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mataram.
Pasomba, S. dkk. (2013). Gambaran Penolakan Masyarakat Terhadap Pungsi Lumbal di Bagian
Neurologi BLU RSUP. Prof. dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-CliniC. 1(1). 13-19.
Fingernal. (2015). Pungsi lumbal: teknik dan tujuan untuk mengumpulkan cairan serebrospinal.
Tusukan lumbal (tulang belakang) - tujuan, indikasi, dan komplikasi.
Nina, M., Fitriani, & M, T. A. (2012). Terapi Ajuvan Pada Pemfigoid Bulosa. Media Dermato-
Venereologica Indonesiana, 39(2), 62–70.
Dalakas, M. (2021). Update on Intravenous Immunoglobulin in Neurology: Modulating Neuro-
autoimmunity, Evolving Factors on Efficacy and Dosing and Challenges on Stopping
Chronic IVIg Therapy. Neurotherapeutics, 18 (4), pp. 2397–2418.
Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th