Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN TUTORIAL

KEPERAWATAN & KESEHATAN ANAK II

Disusun Oleh :

Kelompok 4 Reguler A 2020

Anasthasia Angelica 04021282025039


Ilham Ramadhani 04021282025040
Fajar Rerin 04021282025042
Deva Suhada 04021282025043
Dea Sari 04021282025044
Annisa Larasati 04021282025045
Shelly Putri Anderiani 04021282025047
Nidia Kencana Anis Tasya 04021282025048
Angely Devyolanika 04021282025049
Suci Salsabilla 04021282025050
Eka Wigianingsih 04021282025051

Dosen Pembimbing :

Firnaliza Rizona, S.Kep., Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2022
SKENARIO KASUS

Seorang anak laki-laki usia 8 tahun, dibawa oleh orang tuanya ke IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Palembang dengan keluhan sudah 2 hari tidak mampu menggerakkan seluruh
tubuhnya. Anak juga menjadi sulit menelan dan bernafas. Ibu mengatakan 10 hari yang
lalu anak mengalami batuk dan pilek. Lalu tiba-tiba anak mulai mengeluhkan ujung kaki
dan tangan seperti kesemutan, lalu bertahap terasa lemah hingga menjadi sulit digerakkan.
Anak juga mulai sulit berbicara dan merasa nyeri pada sendinya terutama malam hari
dengan skala nyeri 5. Ibu mengatakan Riwayat vaksin anak lengkap. Berdasarkan hasil
pemeriksaan lebih lanjut didapatkan bahwa terdapat Ophthalmoplegia, disfagia, dan
disartria. Selain itu terdapat hipestesia. Pada bagian punggung terdapat lesi yang
disebabkan anak dalam posisi tidur telentang terus menerus. Hasil pemeriksaan tanda-
tanda vital : Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi : 110 kali/menit, frekuensi nafas
: 32 kali/ menit, suhu : 37,2°C. ibu mengatakan sangat khawatir jika anaknya mengalami
kelumpuhan seumur hidupnya dan tidak tau apa yang akan terjadi pada anaknya. Setelah
dilakukan Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan elektromiografi dan lumbal pungsi
untuk memastikan keadaan cairan serebrospinal. Anak direncanakan akan mendapatkan
terapi immunoglobulin atau plasmaferesis.

1. KLARIFIKASI ISTILAH

- Ophthalmoplegia :

merupakan gangguan pada gerakan-gerakan mata pada arah horizontal yang


disebabkan oleh kerusakan pada hubungan dengan pusat saraf di batang otak.
(R, Michael. Internuclear Ophthalmoplegia. Merck Manual Home Health
Handbook. 2012).

- Disfagia :

1. Kesulitan dalam menelan (depkes.RI).

2. Gejala kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut


sampai ke lambung atau proses penelanan. (Natoan, CR. 2017.
GAMBARAN PENDERITA DISFAGIA YANG MENJALANI
PEMERIKSAAN FIBEROPTIC ENDOSCOPIC EVALUATION OF
SWALLOWING DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG PERIODE 2015 -
2016. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 3 No. 2, Juli 2017 : 1-75.

- Disartria :

Cacat wicara karena kelainan pusat saraf (KBBI Online)

- Lumbal pungsi :

Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.
(RATNASARI, S. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
STROKE NON HEMORAGIK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
GANGGUAN MOBILITAS FISIK (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Ponorogo).

- Pemeriksaan elektromiografi :

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) adalah teknik untuk mengevaluasi dan


rekaman aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot rangka. EMG dilakukan
menggunakan alat yang disebut Electromyograph, untuk menghasilkanrekaman
yang disebut Elektromiogram. (ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga)

- Immunoglobulin :

Kelompok protein dengan susunan dasar khas yang berfungsi sebagai antibodi
(KBBI Online)

- Plasmaferesis :

Plasmapheresis merupakan suatu tindakan mengeluarkan darah dari tubuh,


memisahkan bagian sel dengan cara sentrifugasi, dan direinfuskan kembali
dengan pengganti plasma. Plasmaferesis digunakan untuk menghilangkan
penyebab patogen dalam plasma, seperti antibodi, imunoglobulin abnormal,
circulating immune complexes (CICs), cryoprecipitable protein seperti
cryoglobulin, low-density lipoprotein (LDL), faktor koagulasi abnormal dan
circulating protein-bound toxic agents. (Imron, A, dkk. 2013. Peran
Plasmaferesis pada Terapi Pasien Sepsis dengan Myasthenia Gravis. Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Volume V No 3)

- Cairan serebrospinal :

cairan yang terdapat pada ventrikel otak, sisterna di sekitar otak, dan ruang
subaraknoid di sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Volume sekitar 150
mL dan memiliki specific gravity 1.002 hingga 1.009. Fungsi utama cairan
serebrospinal adalah untuk melindungi otak di rongga tengkorak (Jurnal
Udayana, 2021)

- Hipestesia :

Berkurangnya perasaan raba (Tidak peka) (Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system Persyarafan. Salemba
Medika: Jakarta)

- Vaksin :
Suspensi atau produk unsur-unsur infeksius, terutama dipakai untuk
menghasilkan imunitas aktif. (kamus keperawatan edisi 17)

- Lesi :

1. Kondisi Kehilangan jaringan tubuh disebabkan karena trauma


(DEPKES RI)

2. Perubahan fisik pada bagian tubuh karena suatu penyakit atau luka
(KKBI Online)

2. IDENTIFIKASI MASALAH

No Observed Kesesuaian Prioritas

1. Seorang anak laki-laki usia 8 tahun,


dibawa oleh orang tuanya ke IGD
Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Palembang dengan keluhan sudah 2
hari tidak mampu menggerakkan
seluruh tubuhnya. Anak juga menjadi
sulit menelan dan bernafas. Ibu
mengatakan 10 hari yang lalu anak
mengalami batuk dan pilek. Lalu tiba- Tidak Sesuai 1
tiba anak mulai mengeluhkan ujung
kaki dan tangan seperti kesemutan, lalu
bertahap terasa lemah hingga menjadi
sulit digerakkan. Anak juga mulai sulit
berbicara dan merasa nyeri pada
sendinya terutama malam hari dengan
skala nyeri 5. Ibu mengatakan Riwayat
vaksin anak lengkap.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih
lanjut didapatkan bahwa terdapat
Ophthalmoplegia, disfagia, dan
disartria. Selain itu terdapat hipestesia.
Pada bagian punggung terdapat lesi
yang disebabkan anak dalam posisi
Tidak Sesuai 2
tidur telentang terus menerus. Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital :
Tekanan darah 130/80 mmHg,
frekuensi nadi : 110 kali/menit,
frekuensi nafas : 32 kali/ menit, suhu :
37,2°C.

3. Ibu mengatakan sangat khawatir jika


anaknya mengalami kelumpuhan
seumur hidupnya dan tidak tau apa
yang akan terjadi pada anaknya.
Setelah dilakukan Pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan
elektromiografi dan lumbal pungsi Tidak sesuai 3

untuk memastikan keadaan cairan


serebrospinal. Anak direncanakan akan
mendapatkan terapi immunoglobulin
atau plasmaferesis.
3. ANALISIS MASALAH

- Prioritas 1

Seorang anak laki-laki usia 8 tahun, dibawa oleh orang tuanya ke IGD Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Palembang dengan keluhan sudah 2 hari tidak mampu
menggerakkan seluruh tubuhnya. Anak juga menjadi sulit menelan dan bernafas. Ibu
mengatakan 10 hari yang lalu anak mengalami batuk dan pilek. Lalu tiba-tiba anak
mulai mengeluhkan ujung kaki dan tangan seperti kesemutan, lalu bertahap terasa
lemah hingga menjadi sulit digerakkan. Anak juga mulai sulit berbicara dan merasa
nyeri pada sendinya terutama malam hari dengan skala nyeri 5. Ibu mengatakan
Riwayat vaksin anak lengkap.

1. Apa saja faktor penyebab anak sulit menelan?

Jawaban :

Menelan ialah suatu mekanisme transportasi cairan atau zat padat dari rongga
mulut ke lambung melalui faring dan esofagus. Proses menelan merupakan
suatu proses sensori motorik yang melibatkan suatu koordinasi antara otot-otot
di sekitar mulut, lidah, faring, laring, dan esofagus. Proses menelan terbagi
menjadi 3 fase yaitu fase persiapan dan transportasi oral, fase faring, dan fase
esofagus. Adanya gangguan fungsional dan koordinasi pada elemen tersebut
dapat menyebabkan disfagia.

Sulit menelan bisa disebabkan oleh beragam kondisi seperti gangguan sistem di
saraf, gangguan di otot menelan, atau sumbatan di kerongkongan.

Berikut faktor penyebabnya :

 Sumbatan atau penyempitan kerongkongan akibat penyakit seperti


kanker mulut, kanker tenggorokkan, kemasukan benda asing,
terbentuknya jaringan parut akibat GERD, efek radioterapi, peradangan
di kerongkongan (esofagitis), dan gondok.
 Gangguan otot menelan yang bisa disebabkan oleh penyakit
skleroderma atau akalasia.
 Gangguan sistem saraf seperti storke, demensia, penyakit parkinson,
multiple sclerosis, tumor otak, atau myasthenia gravis.
 Kelainan kongenital seperti cerebral palsy atau bibir sumbing.

2. Apa saja jenis-jenis vaksin lengkap yang diberikan pada anak-anak?


Jawaban :
 Untuk imunisasi dasar lengkap, bayi berusia kurang dari 24 jam diberikan imunisasi
Hepatitis B (HB-0), usia 1 bulan diberikan (BCG dan Polio 1), usia 2 bulan
diberikan (DPT-HB-Hib 1 dan Polio 2), usia 3 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 2 dan
Polio 3), usia 4 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 3, Polio 4 dan IPV atau Polio suntik),
dan usia 9 bulan diberikan (Campak atau MR).
 Untuk imunisasi lanjutan, bayi bawah dua tahun (Baduta) usia 18 bulan diberikan
imunisasi (DPT-HB-Hib dan Campak/MR), kelas 1 SD/madrasah/sederajat
diberikan (DT dan Campak/MR), kelas 2 dan 5 SD/madrasah/sederajat diberikan
(Td).
 Vaksin Hepatitis B (HB) diberikan untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang
dapat menyebabkan pengerasan hati yang berujung pada kegagalan fungsi hati dan
kanker hati. Imunisasi BCG diberikan guna mencegah penyakit tuberkulosis.
 Imunisasi Polio tetes diberikan 4 kali pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan
untuk mencegah lumpuh layu. Imunisasi polio suntik pun diberikan 1 kali pada usia
4 bulan agar kekebalan yang terbentuk semakin sempurna.
 Imunisasi Campak diberikan untuk mencegah penyakit campak yang dapat
mengakibatkan radang paru berat (pneumonia), diare atau menyerang otak.
Imunisasi MR diberikan untuk mencegah penyakit campak sekaligus rubella.
 Rubella pada anak merupakan penyakit ringan, namun apabila menular ke ibu
hamil, terutama pada periode awal kehamilannya, dapat berakibat pada keguguran
atau bayi yang dilahirkan menderita cacat bawaan, seperti tuli, katarak, dan
gangguan jantung bawaan.
 Vaksin DPT-HB-HIB diberikan guna mencegah 6 penyakit, yakni Difteri, Pertusis,
Tetanus, Hepatitis B, serta Pneumonia (radang paru) dan Meningitis (radang selaput
otak) yang disebabkan infeksi kuman Hib.
3. Apa masalah keperawatan yang mungkin terjadi pada prioritas 1 ?
Jawaban :
Masalah keperawatan yang mungkin terjadi pada prioritas 1 yaitu nyeri akut, gangguan
mobilitas fisik, pola napas tidak efektif, dan risiko defisit nutrisi.

4. Apa saja jenis vaksin untuk imunisasi wajib anak ?


Jawaban :
Imunisasi yang merupakan rekomendasi IDAI Tahun 2020 antara lain :
a. Vaksin Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B monovalen paling baik diberikan kepada bayi segera setelah
lahir sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan vitamin K1 minimal 30
menit sebelumnya. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan vaksin HB
dan immunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstrimitas yang berbeda,
maksimal dalam 7 hari setelah lahir. Imunisasi HB selanjutnya diberikan
bersama DTwP atau DTaP (IDAI, 2020).

b. Vaksin polio

Vaksin Polio 0 sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila lahir di fasilitas
kesehatan diberikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada kunjungan pertama.
Selanjutnya berikan bOPV atau IPV bersama DTwP atau DTaP. Vaksin IPV
minimal diberikan 2 kali sebelum berusia 1 tahun bersama DTwP atau
DTaP(IDAI, 2020).

c. Vaksin BCG

Vaksin BCG sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera mungkin
sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila berumur 2 bulan atau lebih, BCG diberikan
bila uji tuberkulin negatif. (IDAI, 2020).

d. Vaksin DPT

Vaksin DPT dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin DTwP atau
DTaP. Vaksin DTaP diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan atau 2, 4, 6 bulan. (IDAI,
2020).
e. Vaksin Hib

Vaksin Hib diberikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Kemudian booster Hib
diberikan pada usia 18 bulan di dalam vaksin pentavalent (IDAI, 2020).

f. Vaksin pneumokokus (PCV)

PCV diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan dengan booster pada umur 12-15
bulan. Jika belum diberikan pada umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan
jarak 1 bulan dan booster setelah 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis
sebelumnya. (IDAI, 2020).

g. Vaksin rotavirus

Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama mulai umur 6


minggu, dosis kedua dengan internal minimal 4 minggu, harus selesai pada
umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama
6-12 minggu, dosis kedua dan ketiga dengan interval 4 sampai 10 minggu, harus
selesai pada umur 32 minggu (IDAI, 2020).

h. Vaksin influenza

Vaksin influenza diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun. (IDAI,
2020).

i. Vaksin MR/MMR

Vaksin MR / MMR pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bila sampai umur
12 bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR. Umur 18 bulan
berikan MR atau MMR. Umur 5-7 tahun berikan MR (dalam program BIAS
kelas 1) atau MMR (IDAI, 2020)

j. Vaksin jepanese encephalitis (JE)

Vaksin JE diberikan mulai umur 9 bulan di daerah endemis atau yang akan
bepergian ke daerah endemis. Untuk perlindungan jangka panjang dapat berikan
booster 1-2 tahun kemudian (IDAI, 2020).

k. Vaksin varisela
Vaksin varisela diberikan mulai umur 12-18 bulan. (IDAI, 2020).

l. Vaksin hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2 diberikan
6 bulan sampai 12 bulan kemudian (IDAI, 2020).

m. Vaksin tifoid

Vaksin tifoid polisakarida diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang setiap 3
tahun (IDAI, 2020).

n. Vaksin human papilloma virus (HPV)

Vaksin HPV diberikan pada anak perempuan umur 9-14 tahun 2 kali dengan
jarak 6-15 bulan (atau pada program BIAS kelas 5 dan 6). (IDAI, 2020).

o. Vaksin dengue

Vaksin dengue diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan seropositif dengue
yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat dengan diagnosis dengue
(pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji serologis IgM/IgG antidengue positif)
atau dibuktikan dengan pemeriksaan serologi IgG anti positif (IDAI, 2020)

5. Mengapa anak bisa mengalami nyeri sendi terutama pada malam hari ?
Jawaban :
Bisa terjadi karena kesalahan dari kekebalan tubuh yang menyerang sel dan jaringan
tubuh yang sehat. Anak yang mengidap nyeri sendi akan mengalami kerusakan pada
lapisan sinovial yang berperan untuk melumasi sendi karena peradangan. Penyebabnya
adalah imunitas tubuh yang menyerang sinovial sehingga memicu nyeri hingga
peradangan.

6. Apakah batuk dan pilek dapat mempengaruhi tubuh seorang anak menjadi tidak
nyaman?
Jawaban :
Ya, akan membuat tidak nyaman
Batuk pilek adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita
oleh masyarakat. Yang membuat anak menjadi tidak nyaman yaitu karena timbulnya
gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea),
hidung tersumbat, tenggorokan sakit dan sakit kepala. Gejala flu seringkali disertai
demam ringan pada awal gejala, nyeri otot dan badan lemah (fatigue). Flu, salesma atau
batuk pilek sebagian besar (90%) disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya
rhinovirus, dan penderita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada
daya tahan tubuhnya. Puncak gejala biasanya sekitar hari ke-3 atau ke-4, dengan
rhinorrhoea yang awalnya berupa cairan bening, kemudian dapat berubah menjadi lebih
kental
7. Bagaimana cara mengatasi nyeri sendi yang anak alami?
Jawaban :
Cara mengatasi nyeri sendi pada anak yaitu dengan memberikan kompres hangat.
Kompres hangat berfungsi melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah,
dan mengurangi kekakuan. Kompres hangat juga berfungsi menghilangkan sensasi rasa
sakit (Kozier & Erb, 2009).
8. Apa saja faktor penyebab anak sulit bernapas?
Jawaban :
Berbagai penyebab sesak nafas pada anak :
 Pilek
Pilek pada anak merupakan salah satu penyakit pernapasan yang paling umum.
Meski begitu, pilek tidak boleh dianggap remeh karena dapat menjadi penyebab
sesaknya napas anak.
Pilek menyebabkan saluran pernapasan menghasilkan lendir (ingus) yang lebih
banyak dari biasanya.
 Tersedak makanan
Anak dapat tiba-tiba sesak napas akibat tersedak makanan atau minumannya.
Tersedak membuat makanan yang seharusnya berjalan menuju tenggorokan
malah masuk ke pita suara atau dalam saluran napas. Kondisi ini juga bisa
terjadi saat balita iseng memasukkan benda asing berukuran kecil ke dalam
mulutnya. Bila benda asing yang masuk ke dalam saluran napas tidak bisa
dikeluarkan, anak dapat kekurangan oksigen.
 Alergi
Ketika anak terpapar alergen (zat penyebab alergi), maka sistem imun tubuhnya
akan otomatis menghasilkan antibodi bernama histamin. Sayangnya, pada anak
dengan alergi, histamin dalam tubuhnya justru bekerja secara berlebihan saat
melawan zat-zat yang sebenarnya tidak dianggap berbahaya. Akibatnya,
sejumlah reaksi alergi akan muncul pada tubuh anak, seperti batuk, demam, flu,
hingga infeksi saluran pernapasan. Anda juga harus mewaspadai risiko reaksi
alergi parah yang disebut anafilaksis.
 Cemas Berlebihan
Rasa cemas anak yang berlebih, entah karena sedang ketakutan atau gugup,
dapat menjadi pemicu sesak napas. Rasa cemas membuat tubuh berada pada
kondisi fight-or-flight alias respons stres yang pada akhirnya memicu serangan
panik.
 Obesitas
Obesitas kenyataannya masuk sebagai salah satu daftar penyebab sesak napas
pada anak. Anak yang obesitas bahkan cenderung kesulitan bernapas lega saat
beraktivitas ringan, misal berjalan 100 meter ke depan rumah atau naik tangga
yang tidak curam.

Kesulitan napas ini disebabkan oleh penumpukan lemak di sekitar perut dan
dada yang menghambat kerja otot-otot saluran napas. Hal ini kemudian justru
membuat paru-paru anak dipaksa bekerja ekstra supaya bisa mengembang
maksimal.
 Asma
Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pertama kali pada masa
kanak-kanak dan akan terus berlanjut hingga dewasa. Bila anak sering
mengeluh sesak napas, bisa jadi kondisi ini penyebabnya.
Asma terjadi ketika saluran udara (bronkus) meradang. Peradangan
menyebabkan bronkus membengkak, menyempit, dan menghasilkan lendiryang
lebih banyak dari biasanya. Ketika paru-paru tidak mendapatkan pasokanudara
yang cukup, anak akan sulit bernapas lebih lega. Napas anak pun cenderung jadi
lebih cepat, dangkal, dan disertai dengan bunyi ngik-ngik atau mengi.
 Pneumonia
Salah satu penyakit paru yang gejalanya bisa jadi penyebab sesak napas pada
anak adalah pneumonia (infeksi di paru). Kondisi ini membuat pasokan oksigen
yang masuk ke dalam darah berkurang drastis, sehingga sejumlah sel-sel tubuh
tidak berfungsi normal karena kekurangan oksigen.
 Masalah Jantung
Penyempitan atau penyumbatan yang terjadi di pembuluh besar jantung dapat
menghambat pasokan oksigen ke dalam tubuh. Penyakit jantung pada anak,
termasuk kelainan jantung bawaan, yang ditandai dengan detak jantung tidak
normal juga bisa jadi penyebab sesak napas pada anak.
9. Apa saja tanda dan gejala kesemutan pada ujung kaki atau tangan dan dapat
mengindikasikan gejala penyakit apa saja?
Jawaban :
Kesemutan atau parestesia bisa terjadi di bagian tubuh mana pun, tetapi sering kali
dirasakan di tangan, kaki, atau kepala. Saat terjadi kesemutan, area yang terdampak
umumnya akan merasakan gejala mati rasa, lemah, sensasi seperti tertusuk jarum, rasa
terbakar atau malah dingin. Kesemutan ini punya 2 sifat yaitu sementara dan
berkepanjangan (parestesia kronis), dimana tergantung pada faktor penyebabnya.
Kesemutan sementara umumnya dipicu karena tekanan pada saraf atau terhambatnya
sirkulasi darah karena terlalu lama duduk bersila maupun tidur dengan posisi tangan
tertindih. Namun, seperti pada kasus, pasien mengalami kesemutan cukup lama dan hal
ini dapat mengindikasikan beberapa hal seperti penyakit autoimun (lupus, celiac,
rheumatoid arthritis, neuropati diabetik, serta Guillain-Barre), tubuh kekurangan
vitamin B12, maupun efek obat-obatan seperti obat antikejang, obat HIV/AIDS,
maupun obat kemoterapi.

10. Apa yang menyebabkan anak mengalami kesemutan ?


Jawaban :
Penyebab Kesemutan
Penyebab kesemutan tidak selalu bisa dipastikan. Kesemutan yang terjadi sementara
disebabkan oleh tekanan pada saraf atau terhambatnya sirkulasi darah.Kondisi tersebut
bisa terjadi ketika menekuk kaki terlalu lama, misalnya saat duduk bersila, atau ketika
tidur dengan tangan tertindih. Kesemutan juga bisa terjadi akibat gerakan berulang,
misalnya bermain biola atau tenis.
Sedangkan kesemutan yang terjadi secara berkepanjangan dapat menjadi tanda adanya
suatu penyakit, seperti:
 Kekurangan vitamin B12
 Penyakit infeksi, seperti HIV/AIDS, herpes zoster, hepatitis B, hepatitis C, dan
penyakit Lyme
 Penyakit sistem kekebalan tubuh, seperti lupus, sindrom Sjögren, Guillen Bare,
penyakit celiac, dan rheumatoid arthritis
 Efek samping obat kemoterapi, obat antikejang, dan obat untuk HIV/AID

- Prioritas 2

Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut didapatkan bahwa terdapat


Ophthalmoplegia, disfagia, dan disartria. Selain itu terdapat hipestesia. Pada bagian
punggung terdapat lesi yang disebabkan anak dalam posisi tidur telentang terus
menerus. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital : Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi
nadi : 110 kali/menit, frekuensi nafas : 32 kali/ menit, suhu : 37,2°C.

1. Apa saja tanda dan gejala ophthalmoplegia, disfagia dan disartria?

Jawaban :

Orang yang terkena ophthalmoplegia mungkin memiliki penglihatan ganda atau


kabur. Mereka juga mungkin mengalami ketidakmampuan untuk memposisikan
mata secara sinkron. Beberapa mungkin juga mengalami kesulitan
menggerakkan kedua mata ke segala arah, dan banyak dari mereka akan terkulai
kelopak matanya, pusing dan melihat dua gambar, satu di atas yang lain
(diplopia vertikal)

Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia orofaring


(atau transfer dysphagia) dan disfagia esofagus. untuk gejala disfagia orofaring
yaitu kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan,
kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk
mengontrol makanan dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai
menelan, batuk dan tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak
jelas penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang,
perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal. sedangkan untuk gejala
disfagia esofagus yaitu rasa nyeri saat menelan, makanan terasa tersangkut
dalam tenggorokan atau dada, tersedak ketika makan dan minum, bahkan
penderita dapat mengeluarkan air liur secara terus menerus.

Tanda atau gejala disartria apabila seseorang menunjukkan karakteristik ucapan


seperti ucapan yang samar, berombak, bergumam, tingkat bicara lambat,
gerakan lidah, bibir, dan rahang terbatas. Hal tersebut dapat mengakibatkan
ketidakjelasan dalam berkomunikasi dan keterbatasan penguasaan bunyi ujaran
atau memproduksi bunyi ujaran. Penderita disartria tidak mengalami kesulitan
dalam memahami suatu ujaran, membaca, dan menulis. Mereka hanya
mengalami kesulitan dalam mengujarkan suatu ujaran.Disartria adalah
gangguan yang dialami oleh karena hilangnya perintah motorik untuk bertutur
dengan jelas. Keadaan tersebut menyebabkan suatu pertuturan menjadi tidak
fasih

2. Bagaimana analisa data dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pasien?

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital :

 Tekanan darah 130/80 mmHg, dari hasil pemeriksaan tekanan darah


tinggi didapat peningkatan tekanan darah pada anak , tekanan darah
normal pada Anak usia 10-13 Tahun adalah: 110/65 mmHg
 Frekuensi nadi : 110 kali/menit, dari hasil pemeriksaan frekuensi nadi
didapat peningkatan frekuensi nadi ,frekuensi normal pada anak usia 8
tahun atau Usia sekolah yaitu : 75-100 kali/menit
 Frekuensi nafas : 32 kali/ menit, dari hasil pemeriksaan didapatkan
frekuensi nafas mengalami peningkatan yang tidak signifikan, frekuensi
nafas normal pada Anak-anak yaitu : 20-30 kali/menit
 Suhu : 37,2°C. dari hasil pemeriksaan suhu tubuh anak masih dalam
rentang normal.

3. Berapa hasil tanda-tanda vital normal pada anak?


Jawaban :
Tanda-tanda Vital (TTV) Normal Pada Anak :

Tekanan Darah

Bayi usia di bawah 1 bulan : 85/15 mmHg

Bayi usia 1 Bulan : 85/54 mmHg

Anak 1 Tahun : 95/65 mmHg

Anak 6 Tahun : 105/65 mmHg

Anak 10-13 Tahun : 110/65 mmHg

Anak 14-17 Tahun : 120/75 mmHg

Frekuensi pernapasan

Bayi Baru Lahir : 35- 40 kali/menit

Bayi (6 Bulan) : 30-50 kali/menit

Todler (2 Tahun) : 25-32 kali/menit

Anak-anak : 20-30 kali/menit

Remaja : 16-19 kali/menit

Frekuensi Nadi

Bayi : 120-160 kali/menit

Todler : 90-140 kali/menit

Prasekolah : 80-110 kali/menit

Usia sekolah : 75-100 kali/menit

Remaja : 60-90 kali/menit

Suhu tubuh normal : 36 °C -37,5°C


4. Apa faktor penyebab seorang anak mengalami ophthalmoplegia, disfagia,
disartria, dan hipestesia?
 Ophthalmoplegia

Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot


yang mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada
jalur saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini
biasanya berkaitan dengan saraf kranial ketiga (oculomotorius),keempat
(trochlear), dan keenam (abducens).

 Disfagia
Fase oral (mengisap, minum, mengunyah, menggigit)
Tidak ada refleks oral, primitif /refleks neurologis oral, mengisap lemah,
mengisap tidak terkoordinasi, menggigit dan mengunyah immatur,
apraksia oral.
Bibir sumbing atau celah langit-langit mulut, tongue-tie, mikro dan
makroglossia, mikro dan retrognathia, kerusakan saraf granial (V, VII,
XII), perkembangan atau kerusakan otak.
 Fase faringeal (menelan)
Koordinasi mengisap–menelan–bernapas yang buruk, delayed triger
menelan,pengosongan faring yang buruk.
Penyakit pernapasan, prematur, amandel membesar, laryngeal cleft,
cederapencernaan, kerusakan saraf kranial (IX, X, XI), kerusakan
berulang saraf laringeal,perkembangan atau cedera otak didapat.
 Fase esofageal
Gangguan pembukaan upper esophageal sphincter (UES) atau lower
esophageal sphincter(LES), LES relaksasi menyebabkan refluks,
motilitas buru.
Atresia esofagus, fistula trakeo–esofagal, esofagitis, striktur esofagus,
akalasia,gangguan perkembangan atau cedera otak didapat.
 Disartria
Menurut Prins (1998) penyebab disatria disebabkan oleh:
Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO)
Salah satu penyebab utama terjadinya disartria adalah GPDO ataustroke,
karena trombosis (pembekuan darah dalam lumen pembuluh darah,
pembuluh darah tersumbat), emboli atau pendarahan, saluran darah ke
bagian otak terhambat.
Gangguan Biokimia
Pembuatan neurotransmitor terlalu cepat dihanyutkan sehingga
penyampaian rangsangan terganggu. Penyakit myasthenia gravis
misalnya akibat kekurangan asetilkolon sehingga otot-otot cepat capai.
Penyakit parkinson disebabkan kekurangan produksi dopamin.3)
TraumaKarena jatuh, pukulan atau luka sebagian sistem saraf rusak.4)
NeoplasmaNeoplasma adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
normal pada tubuh (tumor). Tumor ini membuat tekanan pada sebagian
sistem saraf.
Keracunan
Keracunan dapat diakibatkan racun, alkohol (penyakit karsakow) atau
obat.
Radang
Radang di otak (ensefalitis), di saraf (neuritis), atau di otot (miositis)
Infeksi Virus atau Inveksi Prion
Sistem saraf yang diserang virus (misalnya Poliomielitis) atau prion
(penyakit Creutzfedt-Jacob).
 Degenerasi Progresif
Semakin banyak bagian sistem saraf (yang berkaitan dengan bicara)
terkena. Penyebab keturunan, seperti misalnya ‘distrofia otot
keturunan’, penyakit Huntinghonatau penyakit Wilson.
 Kelainan Kongenital (Kelahiran)
Sejak kelahiran sudah terdapat kerusakan di sistem saraf sentral, yang
menyebabkan bicara tidak berkembang dengan baik.
Dari kesembilan faktor penyebab disartria di atas, ada perbedaan
penyebab terjadinya disartria pada seorang anak. Penyebab kasus
disatria pada anak adalah akibat virus yang bernama cerrebral palsy. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Samuel Lazuardi dalam PELLBA 4.
Lazuardi (1994)
 Hipestesia
Adanya gangguan pada saraf, atau ketidakseimbangan kimiawi tubuh
yang berhubungan dengan fungsi saraf
Ulfah, Maria. 2020. Disartria gangguan berbicara. Bengkulu : Elmarkazi
5. Bagaimana penatalaksanaan lesi pada anak?
Jawaban :
 Mengedukasi anak dan orang tua tentang lesi yang dialami anak
 Menghindari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lesi dan
memodifikasi lingkungan seperti mengubah posisi anak ketika tidur
(miring kanan atau kiri)
 Menjaga kelembaban kulit dengan pemberian salep atau lotion
 Mengendalikan dan menjaga agar anak tidak menggaruk bagian yang
terdapat lesi serta memberikan edukasi tentang tindakan apa yang bisa
dilakukan agar gatal yang dirasakan berkurang.
6. Bagaimana cara penanganan pada anak yang mengalami disartia?
Jawaban :
Penanganan disartia
Disartria adalah gangguan bicara akibat kelemahan pada fungsi otot yang
digunakan untuk berbicara. Disartria umumnya dipicu oleh gangguan pada
sistem saraf yang memengaruhi gerak bibir, lidah, pita suara, dan diafragma
sehingga organ-organ tersebut tidak berfungsi normal. Pengobatan disartria
bertujuan untuk mengatasi penyebabnya terlebih dahulu. Pada disartria yang
disebabkan oleh tumor, dokter akan melakukan operasi pengangkatan tumor,
diikuti dengan terapi bicara untuk memperbaiki kemampuan pasien dalam
berbicara dan berkomunikasi.
Terapi yang dijalani oleh pasien akan disesuaikan dengan jenis dan tingkat
keparahan disartria, antara lain:

· Latihan untuk memperkuat otot-otot mulut


· Terapi untuk berbicara dengan lebih perlahan
· Terapi untuk berbicara dengan lebih keras dan jelas
· Terapi untuk mengunyah dan menelan
7. Faktor resiko terjadinya ophthalmoplegia, disfagia dan disartia?

Faktor Resiko Opthalmoplegia:

Opthalmoplegia adalah kondisi mata yang umumnya bersifat bawaan (muncul


sejak lahir) atau bisa juga berkembang di kemudian hari. Secara khusus,
ophtalmoplegia ada dua jenis, yaitu opthalmoplegia yang disebabkan oleh
multiple sclerosis, trauma, atau infark (kurangnya suplai darah ke otak) dan
opthalmoplegia eksternal biasanya disebabkan oleh kelainan otot atau penyakit
mitokondria. Namun, secara umum opthalmoplegia dapat dipicu oleh migrain,
penyakit tiroid, trauma, kerusakan otak, tumor otak, infeksi.

Resiko kejadian opthalmoplegia sedikit lebih tinggi pada orang yang menderita
diabetes serta mereka yang memiliki kondisi yang mempengaruhi kontrol otot
mereka, seperti multiple sclerosis atau penyakit Graves.

Faktor Resiko Disfagia:

Kondisi dimana pengidapnya kesulitan menelan sering disebut disfagia. Dalam


kebanyakan kasus, disfagia juga bisa membuat nafsu makan seseorang
menurun, bahkan malas untuk mengonsumsi makanan dan berujung pada defisit
nutrisi. Ada beberapa faktor resiko pada disfagia, diantaranya:

1) Orang lanjut usia akibat beberapa kondisi seperti stroke atau Parkinson.
2) Orang dengan gangguan sistem saraf tertentu.
3) Cedera otak, cedera saraf tulang belakang, serta penyakit stroke.
4) Gangguan sistem saraf, seperti post-polio syndrome, multiple sclerosis,
muscular dystrophy, atau penyakit Parkinson.
5) Gangguan sistem imun seperti dermatomyositis yang menyebabkan
pembengkakan dan peradangan.

Faktor Resiko Disartia:

Disartia dapat menyerang anak-anak hingga dewasa. Namun, beberapa kondisi


dapat meningkatkan resiko seseorang mengalami kelainan disartia, diantaranya:
1. Pasien resiko tinggi terkena stroke
2. menderita penyakit degeneratif yang dapat memengaruhi sistem kerja
otak, susmum tulang belakang, pembuluh darh, hingga jantung.
3. mengidap penyakit neuromuskular (saraf dan otak)
4. Penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan
5. memiliki kondisi kesehatan yang buruk.

- Prioritas 3

Ibu mengatakan sangat khawatir jika anaknya mengalami kelumpuhan seumur


hidupnya dan tidak tau apa yang akan terjadi pada anaknya. Setelah dilakukan
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan elektromiografi dan lumbal pungsi untuk
memastikan keadaan cairan serebrospinal. Anak direncanakan akan mendapatkan
terapi immunoglobulin atau plasmaferesis.

1. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan elektromiografi dan


lumbal pungsi?
Jawaban :
 Pemeriksaan elektromiografi
Indikasi pemeriksaan EMG atau electromyography adalah untuk
membantu menegakkan diagnosis pada gangguan saraf seperti
polineuropati, gangguan gait, low back pain, dan motor neuron disease.
Pada era modern, EMG menjadi alat multifungsi yang dapat
memberikan banyak manfaat dalam berbagai bidang, seperti melihat
secara langsung aktivitas otot, mengukur performa otot, membantu
dokter dalam membuat keputusan medis baik sebelum maupun sesudah
tindakan bedah, menganalisis kemampuan peningkatan aktivitas otot
saat berolahraga, mendeteksi respon otot pada studi ergonomi, serta
mendokumentasikan hasil pengobatan dan latihan yang telah diberikan
kepada pasien
Gangguan Saraf
Indikasi pemeriksaan EMG pada kondisi gangguan saraf di antaranya
adalah:
 Peripheral neuropathies, yaitu gangguan penyampaian pesan
oleh saraf yang berasal dari otak ke bagian tubuh ataupun
sebaliknya, misalnya trigeminal neuralgia dan post herpetic
neuralgia
 Entrapment neuropathies, yaitu nyeri yang disebabkan olehsaraf
perifer yang kehilangan kemampuan mobilitas danfleksibilitas
akibat penekanan jaringan sekitar saraf, contoh carpal tunnel
syndrome, tarsal tunnel syndrome
 Radiculopathies, yaitu gangguan fungsi saraf yang umumnya
berupa rasa nyeri radikuler, hipoastesia, hingga kesulitan
mengontrol otot, seperti nyeri sciatica
 Polyneuropathy pada penyakit lepra, yaitu gangguan saraf tepi
akibat infeksi bakteri Mycobacterium lepromatosis
 Diabetes neuropathy, gangguan saraf yang terjadi akibat
komplikasi kronis diabetes mellitus

Gangguan Otot

EMG diindikasikan pada kondisi gangguan otot atau myopathy,


misalnya terjadi kelemahan otot yang bersifat simetris dan proksimal
pada kasus poliomielitis. EMG dapat mendeteksi kelainan ini dengan
sebutan myotonic discharge. Selain itu, EMG juga diindikasikan pada
gangguan neuromuscular junction seperti pada kondisi myasthenia
gravis.\

 Pemeriksaan Lumbal Pungsi


Indikasi Dan Kontraindikasi Lumbal Pungsi (Lumbal Puncture)
Indikasi Lumbal puncture atau Pungsi lumbal, diantaranya:
 Meningitis bacterial/ TBC
 Febris(kaku kuduk) dengan kesadaran menurun (dengan sebab tak jelas)
 Sindroma Guillain Barre (bila perlu diulang- ulang + satu minggu)
 Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSS akibat trauma atau
dicurigai adanya perdarahan subarakhnoid
 Perdarahan subarakhnoid
 Encepahilitis atau tumor malignan
 Tumor mielum: sebelum dan sesudah mielografi/caudiografi
 Paresisatau paralisis termasuk paresis Nervus VI (N. abducen)
 Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya
 Ubun – ubun besar menonjol
 Kejang

Kontraindikasi Lumbal puncture atau Pungsi lumbal, diantaranya :

 Tekanan intrakranial yang tinggi karena dicurigai lesi massa otak atau
medulla spinalis, yang dapat menimbulkan herniasi transtentorium atau
herniasi tonsil serebellum pasca tindakan.
 Gejala dan tanda herniasi otakyang mengancam pada anak dengan
kemungkinan meningitis.
 Pada kesempatan yang jarang, pungsi lumbal semetara ditangguhkan,
pada penderita yang sakit kritis, penderita moribund, karena tindakan ini
dapat mengakibatkan henti kardio respiratori.

2. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan elektromiografi dan lumbal


fungsi?

Jawaban:

Elektromiografi (EMG) merupakan prosedur menempatkan elektroda jarum


pada berbagai otot untuk merekam aktivitas otot dalam berbagai derajat,
termasuk saat istirahat, kontraksi minimal sampai dengan kontraksi maksimal.
Pemeriksaan EMG merupakan pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa
saraf perifer dan otot. EMG elementer memiliki tujuan diantaranya memeriksa
potensial otot, berbagai motor unit dari setiap otot, amplitudo, dan durasi-
polifasi setiap potensial. Tidak ada persiapan khusus. Klien diinformasikan
bahwa mereka akan mendapat suntikan intramuskular dengan memasukkan
jarum ke otot. Pemeriksaan ini biasanya berlangsung 30-60 menit. Setelah itu,
otot dikaji apakah terdapat rasa sakit singkat setelah dilakukan prosedur.

Lumbal pungsi dilakukan dengan memasukkan jarum ke dalam ruang


subarakhnoid untuk mengeluarkan CSS yang bertujuan untuk diagnostik atau
pengobatan. pemeriksaan pada lumbal pungsi dilakukan dengan jarum biasanya
dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid di antara tulang belakang daerah L4,
dan L5, atau antara L2, dan L3. Karena medula spinalis membagi dalam sebuah
berkas saraf pada tulang belakang bagian lumbal yang pertama maka jarum
ditusukkan di bawah tingkat ketiga tulang belakang daerah lumbal, untuk
mencegah medula spingis tertusuk. Lumbal pungsi yang berhasil membutuhkan
klien dalam keadaan rileks; kecemasan klien membuat tegang dan peningkatan
kecemasan dapat menyebabkan peningkan tekanan pada saat hasil dibaca. Jarak
normal tekanan cairan spinal dengan posisi rekumben adalah 70-200 mmH,0.
Tekanan sampai 200 mmH20 dikatakan abnormal.

3. Apa hubungan cairan serebrospinal dengan kelumpuhan ?

Cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) adalah cairan bening yang
berada di dalam dan sekitar otak serta sumsum tulang belakang. Fungsi
utamanya adalah melindungi otak dan sumsum tulang belakang dari benturan
atau cedera.

Kelumpuhan atau paralisis adalah kondisi ketika satu atau beberapa bagian
tubuh tidak dapat digerakkan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan pada
otot saraf akibat cedera arau penyakit tertentu.

kelumpuhan di kasus : karena autoimun

kelumpuhan GBS dapat diakibatkan karena serebrospinal (protein)

4. Apa saja fungsi cairan serebrospinal dalam tubuh?


Jawaban :
CSS mempunyai fungsi:
1. CSS menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur
pokok pada CSS berada dalam keseimbangan dengan cairan otak
ekstraseluler, jadi mempertahankan lingkungan luar yang konstan
terhadap sel-sel dalam sistem saraf.
2. CSS mengakibatkan otak dikelilingi cairan, mengurangi berat otak
dalam tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak
dari keadaan/trauma yang mengenai tulang tengkorak
3. CSS mengalirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari otak, seperti
CO2,laktat, dan ion Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya
mempunyai sedikit sistem limfatik. Dan untuk memindahkan produk
seperti darah, bakteri, materi purulen dan nekrotik lainnya yang akan
diirigasi dan dikeluarkan melalui villi arakhnoid.
4. Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon-
hormon dari lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari
fineal dapat dikeluarkan ke CSS dan transportasi ke sisi lain melalui
intraserebral.
5. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara pengurangan CSS
dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan
mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga
mencapai sinus venosus, atau masuk ke dalam rongga subarakhnoid
lumbal yang mempunyai kemampuan mengembang sekitar 30%.

5. Apa indikasi dan kontraindikasi dilakukannya terapi immunoglobulin?


Jawaban :
Indikasi dari terapi immunoglobulin yaitu sebagai terapi pengganti untuk pasien
dengan imunodefisiensi primer atau sekunder yang ditandai dengan defisiensi
atau absennya produksi antibody dengan infeksi berat atau berulang. Dan
kontraindikasi dari terapi immunoglobulin yaitu defisiensi Ig A, riwayat rekasi
alergi sistemik terhadap terapi immunoglobulin dan fungsi ginjal yang buruk.

6. Apa indikasi dan kontraindikasi dilakukannya terapi plasmaferesis?


Jawaban :
Indikasi
a. Pasien yang menderita autoimun
b. GBS (Guillain Barre Syndrome)
c. Miastenia Gravis
d. ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)
e. Kawasaki discase
f. Polymyositis

Kontraindikasi

a. Orang yang tidak mempunyai IgA reaksi alergi


b. Orang dengan kelainan jantung, paru-paru dan ginjal harus sangat
diawasi pemakaiannya
7. Apa tujuan dilakukannya terapi immunoglobulin dan plasmaferesis ?
Jawaban :

Tujuan dilakukannya terapi immunoglobulin dan plasmaferesis adalah


membantu untuk melindungi tubuh terhadap sejumlah infeksi dan untuk
mengurangi gejala autoimun. Terapi immunoglobulin dan plasmaferesis juga
digunakan untuk mengatasi penyakit autoimun, seperti sindrom Guillain-Barré,
idiopathic thrombocytopenic purpura.

4. HIPOTESIS

Berdasarkan kasus, maka anak tersebut mengarah pada penyakit autoimun. Penyakit
autoimun yaitu gangguan sistem kekebalan tubuh akibat gagalnya pertahanan
kestabilan kondisi tubuh, sehingga sistem imun menyerang tubuh yang sehat dianggap
sebagai benda asing yang harus dimusnahkan. Dengan tanda dan gejala : ujung kaki
dan tangan seperti kesemutan, lalu terasa lemah hingga sulit digerakkan, anak sulit
berbicara dan merasa nyeri pada sendinya terutama malam hari dengan skala nyeri 5,
terdapat ophthalmoplegia, disfagia, disartria, dan hipestesia, dan pada bagian punggung
terdapat lesi.

Maka masalah keperawatan yang muncul pada anak dengan autoimun sesuai kasus
adalah nyeri akut, gangguan mobilitas fisik, pola napas tidak efektif, risiko defisit
nutrisi, dan gangguan integritas kulit.
5. TOPIK PEMBELAJARAN DAN KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN
(LEARNING ISSUES)

Topik What i know What i don’t What i have to How i will


know prove learn

Pemeriksaan ● fungsi ● Prosedur ● Indikasi


elektromiografi pemeriksaan
● pengertian ● kontra indikasi
● Efek samping
● Tujuan

Autoimun ● Definisi ● Penyebab ● Tanda dan


Buku
gejala
● Contoh
E-book
penyakit autoimun
E-Journal

Vaksin ● Pengertian ● Jenis Vaksin

● Tujuan ● Cara ● Efektivitas


pemberian vaksin
● Manfaat
● Efek Samping
Pemeriksaan ● fungsi ● Prosedur
Lumbal Pungsi pemeriksaan
● pengertian ● Faktor Resiko
● Efek samping
● tujuan ● Letak lumbal
pungsi
● Manfaat

Terapi ● pengertian ● prosedur ● Indikasi dan


Immuno- pemeriksaan kontra indikasi
● fungsi
globulin
● Efek samping
● tujuan
● Faktor Resiko
● Manfaat

GBS ● Definisi ● patofisiologi ● Terapi yang


● Tanda ● Penyebab dilakukan
Dan ● pemeriksaan
Gejala yang
dilakukan
6. SINTESIS

A. PEMERIKSAAN ELEKTROMIOGRAFI
1. Pengertian
Pemeriksaan elektromiografi adalah prosedur non invasif yang dapat
mengamati aktivitas otot baik volunter maupun involunter.
2. Fungsi
Elektromiografi adalah prosedur non invasif yang dapat mengamati aktivitas
otot baik volunter maupun involunter. Elektromiografi dapat menginvestigasi
potensial aksi otot fungsional. Pemeriksaan elektromiografi ini bertujuan untuk
mengetahui prognosis pasien dengan cara memeriksa perubahan dari amplitudo
otot yang bergantung dari jumlah akson yang aktif dan juga degenerasi serabut
saraf yang terjadi. Bila dijumpai perbedaan amplitudo dan latensi distal lebih
dari 90% dibandingkan sisi yang sehat, maka prognosisnya buruk. Hilangnya
potensial aksi otot selama pemeriksaan elektromiografi memberikan prognosis
yang buruk
Fungsi pemeriksaan elektromiografi (EMG) adalah untuk membantu diagnosis
berbagai gangguan otot dan sistem saraf. Tes ini dapat memberitahu apakah otot
Anda merespons dengan cara yang benar terhadap sinyal saraf.
Biasanya, elektromiogram dilakukan bersamaan dengan studi atau tes konduksi
saraf (nerve conduction study/NCV). Tes NCV mengukur seberapa cepat dan
seberapa baik sinyal listrik tubuh mengalir melalui saraf sebelum mencapai otot
Anda. Dengan kedua tes tersebut, dokter dapat mengetahui apakah gejala yang
Anda alami disebabkan oleh kelainan otot atau masalah saraf.
Adapun beberapa kondisi atau penyakit yang dapat didiagnosis melalui tes
EMG ini adalah:
 Kelainan otot, seperti distrofi otot (muscular dystrophy) atau
polymyositis.
 Penyakit yang memengaruhi hubungan antara saraf dan otot, seperti
myasthenia gravis.
 Gangguan saraf di luar sumsum tulang belakang (saraf tepi), seperti
carpal tunnel syndrome atau neuropati perifer.
 Gangguan yang memengaruhi neuron motorik di otak atau sumsum
tulang belakang, seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau polio.
 Gangguan yang memengaruhi akar saraf, seperti herniasi diskus di
tulang belakang.
3. Tujuan
Elektromiografi (EMG) adalah teknik yang digunakan dengan tujuan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas listrik yang
dihasilkan oleh otot skeletal. Ini merupakan tes penting yang digunakan untuk
mendiagnosis kelainan otot dan saraf. Ini sering digunakan untuk mengevaluasi
kelainan sistem saraf periferal.
Elektromiografi dilakukan dengan menggunakan alat pendeteksi aktivitas listrik
otot, yaitu elektroda, yang terhubung dengan mesin EMG. Dengan alat tersebut,
aktivitas listrik otot akan ditampilkan dalam bentuk grafik di layar monitor.
Dokter akan menganalisis grafik tersebut untuk menentukan hasil pemeriksaan.
Umumnya, elektromiografi dilakukan bersamaan dengan nerve conduction
velocity (NCV), yaitu pemeriksaan untuk mengukur kecepatan aktivitas listrik
saraf yang mengontrol otot. Dengan kedua pemeriksaan tersebut, dokter dapat
menentukan penyebab dari gejala yang dialami pasien, apakah karena kelainan
otot atau kelainan saraf.

4. Prosedur pemeriksaan
Elektromiografi biasanya memakan waktu 30–60 menit. Baik surface
electromyography maupun intramuscular electromiography pada dasarnya
memiliki tahapan prosedur yang sama. Perbedaannya hanya cara pemasangan
elektroda.
Berikut ini adalah gambaran prosedur elektromiografi:
 Pasien akan diminta untuk melepaskan benda-benda logam, seperti
perhiasan atau jam tangan, yang dapat memengaruhi hasil pemeriksaan.
 Pasien akan diminta untuk duduk atau berbaring di tempat yang sudah
disediakan.
 Dokter akan membersihkan permukaan kulit di atas otot yang
mengalami gejala, serta memotong rambut-rambut halus yang mungkin
akan mengganggu kelancaran prosedur.
 Dokter akan menempelkan atau menusukkan elektroda pada area otot
yang akan diperiksa.
 Dokter akan meminta pasien untuk melakukan hal-hal yang dapat
mengencangkan otot, misalnya menekuk lengan, agar elektroda dapat
mendeteksi aktivitas otot saat sedang beristirahat dan saat berkontraksi.
 Mesin EMG akan merekam aktivitas listrik otot pasien dan
menampilkannya dalam bentuk grafik pada layar monitor. Selanjutnya,
dokter akan menganalisis grafik tersebut.
 Setelah dokter menganalisis aktivitas otot melalui layar monitor, dokter
akan melepaskan elektroda secara perlahan.
5. Kontra Indikasi
Elektromiografi (EMG) adalah prosedur pemeriksaan untuk mengukur atau
merekam aktivitas listrik otot dan saraf yang mengontrolnya.
Kontra indikasinya adalah untuk membantu menegakkan diagnosis pada
gangguan otot atau saraf yang memiliki gejala tanpa penyebab yang jelas seperti
kesemutan, mati rasa, kelemahan pada otot, nyeri atau kram pada otot, kedutan
pada otot. Kondisi yang dapat didiagnosis dengan elektromiografi :
 Gangguan otot seperti distrofi otot atau polimiositis.
 Gangguan saraf yang mempengaruhi otot seperti myasthenia gravis.
 Gangguan pada sistem saraf tepi seperti neuropati perifer.
 Penyakit saraf motorik seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau
polio
 Gangguan saraf di tulang belakang seperti hernia nucleus pulposus.

6. Efek Samping
Efek samping yang mungkin timbul setelah EMG, antara lain:muncul rasa nyeri
atau pegal pada daerah yang diperiksa. Nyeri dapat berkurang dengan
mengonsumsi obat pereda nyeri (seperti ibuprofen). Pada kasus yang jarang,
bisa juga terjadi kesemutan, lebam, atau bengkak pada daerah jarum elektroda.
B. AUTOIMUN
1. Definisi Autoimun
Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendir yang
terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance atau dapat diartikan sebagai kegagalan pada
toleransi imunitas sendiri. Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun
atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang
jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau
gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang
organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh (Robbins, 2007).

2. Contoh penyakit autoimun


Pada hakikatnya autoimun menyerang siapapun, pria dan wanita, tua, muda,
remaja maupun anak-anak. Baagian tubuh yang diserangnya pun bermacam-
macam, bisa sendi, otot, saraf, kulit, pencernaan, darah dan sebagainya.
Akibatnya gejalanya bisa fisik (rasa sakit, mual, pusing dan lain-lain) maupun
emosional (frustasi, stress, mudah tersinggung, lelah yang berkepanjangan,
lemas, dan sebaginnya). Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui, namun
oencetusnya diperkirakan bisa humoral, obat-obatan, infeksi bakteri maupun
virus, diwariskan, dan sebagainya. Ada sekitar 80-an jenis penyakit autoimun
yang setiap tahun menurut para ahli bisa bertambah jenisnya. Penyakit autoimun
sebenarnya termasuk dalam self remittance disease, artinya penderita bisa
sembuh dengan sendirinya dalam tempo sekitar enam bulan, asalkan tidak
terjadi infeksi pada tubuh si penderita. Begitu banyaknya jenis penyakit
autoimun, sehingga bermacam-macam pula penggolongannya seperti :
 Penyakit autoimun yang mencederai darah
a. Lupus
b. Antiphospholipid antibody syndrome
c. Vasculitis
d. Autoimun hemolytic anemia
 Penyakit autoimun pada kulit
a. Scleroderma
b. Psoriasis
c. Dermatomyositis
d. Epidermalysis bullose
e. Bollous pemphigoid
 Penyakit autoimun pada golongan gastrointestinal
a. Celiac disease
b. Crohn’s disease
c. Inflammatory bowel disease (IBDs)
 Penyakit autoimun pada sendi, otot, dan saraf
a. Polymyalgia
b. Multiple sclerosis
c. Rheumatoid arthritis
d. Fibromyalga
e. Myasthenia gravis
f. Gulillan barre syndrome
 Penyakit autoimun yang hanya menyerang satu organ
a. Autoimun hepatitis
b. Hashimoto’s thyroiditis
c. Graves disease
d. Diabetes tipe 1
e. Addition’s disesase
f. Sjogren’s syndrome

3. Tanda dan gejala


 Nyeri di sekujur tubuh. Nyeri yang membuat badan seperti ditusuk-
tusuk.
 Nyeri sendi. Bagian sendi yang paling sering diserang adalah sendi lutut,
sendi di pergelangan tangan, punggung tangan hingga buku-buku jari.
Nyeri ini terjadi di kedua sisi kiri dan kanan. Nyeri ini juga sering
diiringi pembengkakan dan/atau kekakuan, sehingga membuat kamu
sangat kesakitan dan sulit bergerak.
 Kelelahan. Yaitu rasa lelah berlebihan dan berkepanjangan, seperti habis
berlari jauh, membuat energi tubuh seperti terkuras habis. Bahkan untuk
mengangkat badan dari tempat tidur saja terasa berat.
 Timbul demam ringan. Bila dipegang oleh orang lain, badan akan terasa
agak hangat, namun ketika diperiksa dengan termometer, suhunya masih
normal (pada batas atas), sekitar 37,4–37,5 derajat Celcius.
 Rambut mengalami kerontokan parah.
 Sering terkena sariawan.
 Brain fog. Disebut demikian karena otak sewaktu-waktu seperti tertutup
kabut, sehingga untuk sesaat seseorang kehilangan memori, fokus, dan
konsentrasi, entah sedang menulis maupun saat berbicara.
 Ruam kulit.

4. Penyebab
Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, tetapi faktor di
bawah ini diketahui dapat meningkatkan risiko seseorang untuk menderita
penyakit autoimun :
 Berjenis kelamin perempuan
 Memiliki riwayat penyakit autoimun dalam keluarga
 Memiliki berat badan berlebih atau obesitas
 Menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
seperti obat simvastatin atau antibiotik
 Terkena paparan bahan kimia atau cahaya matahari
 Menderita infeksi bakteri atau virus misalnya infeksi virus Epstein Barr
(lebih rentan)
 Merokok
C. VAKSIN
1. Pengertian
Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan
tubuh terhadap suatu penyakit. Ada banyak jenis vaksin dan kandungannya pun
berbeda-beda. Masing-masing vaksin tersebut dapat memberikan Anda
perlindungan dari penyakit tertentu yang berbahaya.
Vaksin mengandung bakteri, racun, atau virus penyebab penyakit yang telah
dilemahkan atau sudah dimatikan. Saat dimasukkan ke dalam tubuh seseorang,
vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi.
Proses pembentukan antibodi inilah yang disebut imunisasi.

2. Tujuan
Tujuan diberikannya imunisasi vaksin adalah membentuk kekebalan pada bayi.
Diharapkan agar penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tujuan
imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang,
dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi),
atau bahkan menghilangkannya dari dunia. Tujuan lainnya adalah agar zat
kekebalan tubuh balita terbentuk sehingga resiko untuk mengalami suatu
penyakit yang bersangkutan menjadi berkurang. Menurut Permenkes RI Nomor
12 tahun 2017 disebutkan bahwa tujuan umum Imunisasi turunnya angka
kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). Penyakit dimaksud antara lain, Difteri, Tetanus, Pertusis
(batuk rejan), Measles (campak), Polio dan Tuberculosis. Tujuan Khusus,antara
lain:
 Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 93% secara merata pada bayi di 100%
 Terselenggaranya pemberian Imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practise and waste disposalmanagement).
 Tercapainya perlindungan optimal kepada masyarakat yang akan
berpergian ke daerah endemis penyakit tertentu
 Tercapainya target Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua
tahun (baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta Wanita Usia Subur
(WUS).
 Tercapainya reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat
dicegah dengan Imunisasi.
3. Jenis Vaksin
 Vaksin Hepatitis B (HB) monovalen : sebaiknya diberikan kepada bayi
segera setelah lahir sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan
vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Bayi dengan berat lahir
kurang dari 2000g, imunisasi hepatitis B sebaiknya ditunda sampai
berumur 1 bulan atau lebih, kecuali ibu HBsAg positif dan bayi bugar
berikan imunisasi HB segera setelah lahir tetapi tidak dihitung sebagai
dosis promer. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan vaksin
HB dan immunoglobulin hepatitis B(HBlg) pada ekstremitas yang
berbeda, maksimal dalam 7 hari terakhir setelah lahir. Imunisasi HB
selanjutnya diberikan bersama DTwP atau DTaP.
 Vaksin polio 0 (nol) : sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila
lahir di fasilitas kesehatan berikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada
kunjungan pertama. Selanjutnya berikan bOPV atau IPV bersama
DTwP atau DTaP. Vaksin IPV minimal diberikan 2 kali sebelum
berumur 1 tahun bersama DTwP atau DTaP.
 Vaksin BCG : sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera
mungkin sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila berumur 3 bulan atau
lebih,BCG diberikan bila uji tuberculin negative. Bila uji tuberculin
tidak tersedia, BCG dapat diberikan. Bila timbul reaksi local cepat pada
minggu pertama dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis
tuberculosis.
 Vaksin DPT : dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin
DTwP atau DTaP. Vaksin DTaP diberikan pada umur 2,3,4 bulan atau
2,4,6 bulan. Booster pertama diberikan pada umur 18 bulan. Booster
berikutnya diberikan pada umur 5-7 tahun atau pada program BIAS
kelas 1. Umur 7 tahun atau lebih menggunakan vaksin Td atau Tdap.
Booster selanjutnya pada umur 10-18 tahun atau pada program BIAS
kelas5. Booster Td diberikan setiap 10 tahun.
 Vaksin pneumokokus (PCV) : diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan
dengan booster pada umur 12 – 15 bulan. Jika belum diberikan pada
umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan jarak 1 bulan dan booster
setelah umur 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis sebelumnya. Jika
belum diberikan pada umur 1-2 tahun, berikan PCV 2 kali dengan jarak
minimal 2 bulan. Jika belum diberikan pada umur 2-5 tahun, PCV10
diberikan 2 kali dengan jarak 2 bulan, PCV13 diberikan 1 kali.
 Vaksin rotavirus monovalen : diberikan 2 kali, dosis pertama mulai
umur 6 minggu, dosis kedua dengan interval minimal 4 minggu harus
selesai pada umur 24 minggu.
 Vaksin rotavirus pentavalen : diberikan 3 kali, dosis pertama 6-12
minggu, dosis kedua dan ketiga dengan interval 4 sampai 10 minggu,
harus selesai pada umur 32 minggu.
 Vaksin influenza : diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun.
Pada umur 6 bulan sampai 8 tahun imunisasi pertama 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu. Umur > 9 tahun, imunisasi pertama 1 dosis.
 Vaksin MR/MMR : pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bisa sampai
umur 12 bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR.
Umur 18 bulan berikan MR atau MMR. Umur 5-7 tahun berikan MR
(dalam program BIAS kelas 1) atau MMR.
 Vaksin Japanese encephalitis (JE) : diberikan mulai umur 9 bulan di
daerah endemis atau yang akan bepergian ke daerah endemis. Untuk
perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
kemudian.
 Vaksin varisela : diberikan mulai umur 12-18 bulan. Pada umur 1-12
tahun diberikan 2 dosis dengan interval 6 minggu sampai 3 bulan. Umur
13 tahun atau lebih dengan interval 4 sampai 6 minggu.
 Vaksin hepatitis A : diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2
diberikan 6 bulan sampai 12 bulan kemudian.
 Vaksin tifoid polisakarida : diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang
setiap 3 tahun.
 Vaksin human papilloma virus (HPV) : diberikan pada anak perempuan
umur 9-14 tahun 2 kali dengan jarak 6-15 bulan (atau pada program
BIAS kelas 5 dan 6). Umur 15 tahun atau lebih diberikan 3 kali dengan
jadwal 0,16 bulan (vaksin bivalen) atau 0,2,6 bulan (vaksin
quadrivalent).
 Vaksin dengue : diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan
seropositive dengue yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat
dengan diagnosis dengue (pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji
serologis IgM/IgG antidengue positif) atau dibuktikan dengan
pemeriksaan serologi IgG anti dengue positif.

4. Cara Pemberian Vaksin


Prosedur vaksinasi mulai dari penyiapkan dan membawa vaksin,
mempersiapkan anak dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman, pencatatan,
pembuangan limbah, sampai pada tehnik penyimpanan dan penggunaan sisa
vaksin dengan benar. Penjelasan kepada orangtua serta pengasuhnya sebelum
dan sesudah vaksinasi perlu dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin
yang masih boleh diberikan pada bayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran
jarum, lokasi suntikan cara mengatasi ketakutan pada anak dan rasa nyeri pada
anak perlu diketahui. Vaksinasi perlu dicatat dengan lengkap termasuk keluhan
kejadian ikutan pasca vaksinasi.

5. Efek Samping Vaksin


Secara umum, efek samping yang timbul dapat beragam, pada umumnya ringan
dan bersifat sementara, dan tidak selalu ada, serta bergantung pada kondisi
tubuh. Efek samping ringan seperti demam dan nyeri otot atau ruam-ruam pada
bekas suntikan adalah hal yang wajar namun tetap perlu dimonitor. Melalui
tahapan pengembangan dan pengujian vaksin yang lengkap, efek samping yang
berat dapat terlebih dahulu terdeteksi sehingga dapat dievaluasi lebih lanjut.
6. Indikasi
Pemeriksaan EMG memegang peranan penting untuk diagnosis kelainan
neuromuskular atau kelainan susunan saraf tepi,
INDIKASI
Indikasi pemeriksaan elektromiografi antara lain:
Kelainan motor neuron :
 Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), Spinal Muscular Atrophy
(SMA), Poliomielitis,
 Kelainan ganglion dorsalis (neuron saraf sensoris) : paraneoplastik,
autoimun, toksis, infeksi.
 Radiks saraf spinal : herniasi diskus vertebralis.
 Pleksus : pleksopati oleh karena radiasi, neoplasma, penjepitan,
polineuropati dan mononeuropati multipleks.
 Neuromuscular junction : miastenia gravis, sindrom eaton lambert.
 Kelainan otot : distrofi, kelainan otot akibat gangguan metabolik,
endokrin dan proses inflamasi

KONTRAINDIKASI ELEKTROMIOGRAFI

Kontraindikasi ketat untuk pengujian elektrodiagnostik sangat sedikit. Tentunya


siapa saja yang mengalami gangguan pendarahan hebat atau terapi
antikoagulan yang diluar kendali jangan sampai mengalami
EMG. Studi Konduksi Saraf dikontraindikasikan pada mereka
dengan defibrilator jantung implan otomatis. Seorang pasien dengan alat
pacu jantung tidak boleh menerima stimulasi listrik langsung pada alat
pacu jantung. Seseorang dengan kulit aktif atau infeksi jaringan lunak
(misalnya selulitis) seharusnya tidak memiliki jarum EMG di dekat infeksi.

Dengan pengukuran elektromiografi, seperti setiap perlakuan elektroterapi


lainnya, ada beberapa kontraindikasi mengapa tidak sesuai untuk semua orang.
Itu misalnya klien dengan alat pacu jantung atau perangkat elektronis lainnya,
masalah jantung, tumor berat atau beberapa penyakit. Selaput lendir kering,
kehilangan sensasi, menstruasi, infeksi akut, kehamilan atau kurang dari
delapan minggu sejak melahirkan merupakan salah satu alasan untuk tidak
melakukan EMG. Juga jika pasien tidak menunjukkan
motivasi untuk pengobatan atau tidak dapat memahami alasannya, pengukuran
harus dipertimbangkan lagi.

Kontraindikasi terhadap studi konduksi EMG dan saraf mencakup koagulopati


atau disrasia darah yang signifikan atau defibrilator jantung implan. Perhatian
ekstra harus dilakukan jika pasien memakai antikoagulan

7. Manfaat
 Mencegah penyebaran penyakit
 Banyak kasus kematian yang terjadi akibat belum ditemukannya vaksin
untuk penyakit tersebut.
 Melindungi dari risiko kematian dan cacat
Contohnya : pemberian vaksin cacar pada anak-anak dapat membantu
mencegah mereka terjangkit cacar di kemudian hari.
 Menghemat waktu dan biaya
 Pemberian vaksin dapat membantu seseorang terhindar dari berbagai
macam penyakit yang dapat menyebabkan sakit berkepanjangan, yang
tak hanya merugikan dari segi finansial namun juga waktu.
 Menstimulasi sistem kekebalan tubuh agar menghasilkan antibodi yang
dapat melawan kuman penyebab infeksi.

D. PEMERIKSAAN LUMBAL PUNGSI


1. Fungsi
Lumbar pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal
denganmemasukan jarum kedalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukanuntuk
pemeriksaan cairan serebrospinali,mengukur dan mengurangi tekanan
cairanserebrospinal,menentukan ada tidaknya darah pada cairan
serebrospinal,untuk mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal,dan untuk
memberikanantibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus
infeksi.
2. Pengertian
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.

3. Tujuan
Lumbal pungsi bertujuan untuk mengambil sampel cairan serebrospinal (CSF)
di tulang belakang. Serebrospinal adalah cairan yang terdapat dalam selaput
meninges yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang. CSF ini
berfungsi untuk menjaga keseimbangan sistem saraf. Lumbal pungsi dapat
menilai gambaran cairan serebrospinal yang kemudian digunakan untuk menilai
kadar glukosa, kadar protein, sel radang dan tanda–tanda infeksi intra kranial
lainnya.

4. Manfaat
Lumbal pungsi telah menjadi pemeriksaan neuro-diagnostik yang sering
dilakukan di bidang neurologi. Hal ini disebabkan karena kebutuhan untuk
pengambilan CSS serta pengukuran tekanan pembukaan untuk diagnosis
banding dan tidak lanjut terhadap pemantauan penyakit infeksi pada sistem
saraf. Selain indikasi diagnostik, lumbal pungsi juga mempunyai indikasi
terapeutik misalnya kemoterapi intratekal untuk penyakit keganasan,
mengurangi CSS pada hipetensi intrakranial jinak, setelah pembedahan saraf,
serta pada anestesi spinal. Lumbal pungsi dilakukan setelah dilakukan
pemeriksaan neurologi secara keseluruhan untuk meminimalisasi risiko
tindakan.

5. Efek Samping
Efek samping yang paling umum dari pungsi lumbal adalah sakit kepala.Mereka
mempengaruhi hingga 50% pasien. Dalam kebanyakan kasus, rasa sakitterjadi 2-
3 hari setelah prosedur, sangat bervariasi dalam tingkat keparahan, memburuk
saat orang tersebut duduk atau berdiri, tetapi berkurang saat
berbaring. Selain itu, sakit kepala dapat disertai dengan mual, telinga
berdenging, penglihatan kabur, dan pusing.

6. Prosedur Pemeriksaan
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.
Lumbal pungsi dilakukan pada anak yang dicurigai meningitis bakterialis.
Indikasi lumbal pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Indikasi lumbal pungsi pada pasien
dengan demam kejang meliputi :
 Bayi < 12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis
sering tidak jelas.
 Bayi antara 12 bulan – 1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal
pungsi kecuali pasti bukan meningitis.

Prosedur Pemeriksaan Lumbal Pungsi


Untuk posisi telentang:
1. Atur klien dengan posisi miring, dengan bantal dibawah kepala
dan diantara kaki. Klien ditempatkan pada bidang yang datar.
2. Instruksikan klien miring dengan punggung membungkuk dan
kaki ditekuk ke abdomen dengan dibantu perawat.
3. Bantu klien mempertahankan postur sambil melakukan
pemeriksaan.

Untuk posisi duduk:


1. Klien diminta untuk mengangkangkan kakinya menghadap
sandaran kursi dan meletakkan kepala diatas tangan yang
diletakkan di bagian atas sandaran kursi.
2. Bersihkan permmukaan kulit dengan cairan anti septik, lakukan
lokal dengan obatanestesi pada permukaan kulit dan subkutan.
3. Jarum pungsi spinal dimasukkan antara lumbal 3 (L3) dan
lumbal 4 (L4). Jarum dimasukkan hingga mengenai ligamentum
flavum dan jarum masuk ke permukaan arachnoid. Manometer
dihubungkan dengan jarum pungsi spinal.
4. Sesudah jarum masuk ke permukaan subarakhnoid, bantu pasien
meluruskan tangan secara perlahan.
5. Instruksikan klien untuk bernapas secara perlahan (tidak
menahan napas) dan tidak berbicara.
6. Cairan spinal diambil sebanyak 2-3 ml dimasukkan kedalam
ketiga tabung, amati, bandingkan, dan analisis di laboratorium.

Rekomendasi Penyuntikan Yang Aman adalah sebagai berikut:

1. Menerapkan aseptic technique untuk mecegah kontaminasi


alat-alat injeksi (kategori IA).
2. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan
lebih dari satu pasien walaupun jarum suntiknya diganti
(kategori IA).
3. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai
untuk satu pasien dan satu prosedur (kategori IA).
4. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl,
WFI, dll) (kategori IA).
5. Gunakan single dose untuk obat-obat injeksi (kategori IB).
6. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu
pasien atau mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk
pemberian berikutnya (kategori IA).
7. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang
akan dipergunakan harus steril (kategori IA)
8. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari
pabrik yang membuat (kategori IA)
9. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari satu pasien
(kategori IB)
10. Praktik lumbal pungsi Saat melakukan prosedur lumbal pungsi
sebaiknya menggunakan masker untuk mencegah transmisi
droplet flora orofaring (Kemenkes RI, 2011).
7. Letak Lumbal Pungsi
Vertebra lumbal terdiri dari 5 buah tulang yang bergerak dan diberi penamaan
L1 hingga L5. Vertebralumbal memiliki ukuran vertikal yang lebih tinggi
dibandingkan ukuran horizontalnya. Ukuranvertebra lumbal makin meningkat
sejak L1 hingga L5 yang menunjukkan peningkatan beban yangditopang dari
masing-masing vertebra. Vertebra L5 memiliki korpus paling berat, prosesus
spinosusterkecil dan prosesus transversus yang paling tebal. Dalam melakukan
pungsi lumbal, lokasi intervertebra L3-L4 ditentukan dengan palpasi pada
cristailiaca superior kanan dan kiri dan menggerakkan jari ke arah medial
menuju ke tulang vertebra seperti gambar dibawah

E. ERAPI IMUNOGLOBULIN
1. Pengertian
Immunoglobulin merupakan senyawa protein didalam darah yang digunakan
untuk melawan virus penyakit. Setiap immonuglobulin akan mengenali satu
antigen secara spesifik. Antibodi atau immunoglobulin yang disingkat menjadi
Ig diproduksi oleh sel darah putih yang disebut sel B atau lebih spesifiklagi sel
plasma.Immunoglobulin sendiri dibagi menjadi Immunoglobulin A,
Immunoglobulin E, Immunoglobulin M, Immunoglobulin D, dan
Immunoglobulin G (Gabriela, 2014)

2. Fungsi
Imunoglobulin intravena berfungsi menekan produksi antibodi dengan cara IgG
mengikat fragmen Fc pada reseptor permukaan sel limfosit B, sehingga
menurunkan produksi autoantibodi patogen.

3. Tujuan
Tujuan nya adalah untuk menambah antibodi dan mencegah infeksi pada orang
yang kekurangan antibodi (imunodefisiensi). IVIG juga digunakan untuk
mengatasi penyakit autoimun, seperti sindrom Guillain-Barré atau idiopathic
thrombocytopenic purpura.

4. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi
Imunodefisiensi humoral primer; purpura trombositopenik idiopatik (ITP).
Kontraindikasi
Riwayat anafilaksis atau respon sistemik berat terhadap imunoglobulin
manusia; riwayat antibodi IgA karena kemungkinan timbul reaksi berat
terhadap IgA.
5. Faktor Resiko
Komplikasi dan efek samping dari penggunaan terapi ini biasanya ringan. Nyeri
kepala,menggigil, nyeri otot dan mual sering dijumpai dan dapat diatasi dengan
pemberian anti inflamasi non steroid atau memperlambat kecepatan infusnya.
Efek samping lainnya yaitu demam, hipertensi, hoyong. Nyeri kepala hebat
dapat dicegah atau dikurangi intensitasnya dengan pemberian steroid,
metilprednisolon 60-100 mg dan difenhidramin 25-20 mg IV 30 menit sebelum
pemberian. Masalah yang paling sering dijumpai pada penggunaan terapi
immunoglobulin adalah reaksi alergi terhadap kandungan protein dalam
produk.Ini biasanya ringan berupa rasa gatal atau kemerahan, namun dapat
dijumpai reaksi alergi yang mengancam jiwa. terapi juga meningkatkan
viskositas darah, yang menyebabkan lebih mudah terjadi bekuan darah.Ini dapat
menyebabkan trombosis vena dan emboli paru.walaupun tidak dijumpai bekuan
darah yang nyata, peningkatan viskositas darah dapat menyebabkan gagalginjal.
Untungnya, komplikasi serius ini jarang dijumpai namun tetap harus
dipertimbangkan,terutama pada pasien dengan diabetes, usia tua dan yang
memiliki faktor risiko stroke atau serangan jantung seperti tekanan arah tinggi,
merokok dan kolesterol tinggi.

6. Prosedur Pemeriksaan
Dokter melakukan terapi IVIg sebagai infus intravena (IV) dengan cara
menyuntikkan jarum ke pembuluh darah vena dan memasukan cairan secara
perlahan. Prosedur ini dlakukan di rumah sakit dan butuh waktu beberapa jam
untuk menyelesaikannya. Frekuensi pemberian intravenous immunoglobulin
bervariasi tergantung kebutuhan, misalnya dapat diberikan hanya sekali ataupun
satu hingga lima hari setiap bulannya.
Dosis IVIg pun bervariasi tergantung pada usia pasien, berat badan, serta
kondisi atau jenis penyakit yang diobati. Pada imunodefisiensi primer,
dibutuhkan dosis awal 400–800 mg/kgBB dan diikuti dosis lanjutan 200–400
mg/kgBB setiap bulan. IVIg sebagai obat autoimun untuk penyakit Kawasaki
butuh dosis 1600–2000 mg/kgBB yang terbagi selama dua hingga lima hari atau
2000 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.
Prosedur pengujian antibodi dari tes ini sesuai dengan instruksi pabrikannya
(IDL Biotech) yaitu sebagai berikut:

 Penetesan Brown reagent sebanyak 25 µl pada tabung reaksi yang


berbentuk V dengan jumlah dalam satu set terdapat enam tabung V
identik.
 Penetesan sampel serum yang di uji ke dalam tabung tersebut sebanyak
25 µl atau sekitar satu tetes.
 Pencampuran selama 2 menit.
 Penetesan Blue reagent sebanyak 50 µl atau dua tetes.
 Pencampuran selama 2 menit.
- Meletakkan campuran reaksi tersebut pada penyangga magnet
yang sudah tersedia untuk memisahkan partikel indikator warna
yang berikatan dengan partikel magnetik dari partikelpartikel
indikator yang tidak berikatan.
- Pembacaan hasil

7. Efek Samping
Pada beberapa kasus, umumnya IVIG bisa menyebabkan sakit kepala. Ada
pula beberapa efek samping lain pasca terapi imunoglobulin yang bisa
terjadi, diantaranya:
 Sakit punggung
 Nyeri sendi
 Demam
 Menggigil
 Berkeringat
 Kesemutan
 Peningkatan tekanan darah
 Detak jantung cepat
 Pusing
 Kelelahan
 Kekurangan energi
 Hidung tersumbat
F. GBS
1. Definisi
Merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang
dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya
refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola
mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai
gangguan koordinasi anggota gerak.
Penyakit GBS, sudah ada sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua
Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barr yang menemukan dua orang prajurit
perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah
menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi hanya 1
atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya.
2. Tanda Dan Gejala Sindrom Guillain-Barre
Gejala pertama yang muncul adalah kesemutan pada kaki atau tangan,
terkadang disertai rasa nyeri yang berawal di bagian tungkai atau punggung.
Gejala lainnya yaitu kelemahan tubuh yang ditandai dengan kesulitan berjalan.
Pada kebanyakan kasus, kelemahan dimulai dari tungkai lalu menjalar ke atas
(bersifat asenden), tetapi dapat juga dimulai dari mata. Pada fase lanjut,
kelemahan dapat menyerang otot-otot pernapasan yang dapat berakibat fatal.
Pada kebanyakan orang, gejala mencapai tingkat keparahan paling berat dua
minggu setelah gejala pertama muncul.
Selain kelemahan otot, individu dengan GBS dapat mengalami gangguan
penglihatan akibat lemahnya otot-otot sekitar mata, kesulitan menelan, bicara
dan mengunyah, sensasi seperti tertusuk jarum pada tangan dan hati, dan rasa
nyeri yang cenderung memburuk pada malam hari. Individu juga dapat
mengalami gangguan koordinasi, dengan ciri postur yang tidak stabil, gangguan
detak jantung dan tekanan darah, serta gangguan pencernaan dan kontrol buli-
buli.
Gejala dapat berbeda pada tiap individu, mulai dari hitungan jam, hari atau
berminggu-minggu. Pada fase akhir, individu dengan GBS mengalami paralisis
total, termasuk paralisis otot pernapasan, sehingga perlu disokong oleh alat
bantu napas.

 Sulit menelan, berbicara, atau mengunyah


 Tidak mampu melihat dengan jelas
 Sensasi tertusuk di tangan dan kaki
 Nyeri hebat, terutama pada malam hari
 Gangguan koordinasi dan keseimbangan
 Denyut jantung atau tekanan darah tidak normal
 Gangguan pencernaan atau sulit mengontrol saat buang air kecil

3. Patofisiologi
Patofisiologi Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre pada
dasarnya muncul setelah proses infeksi, dan dimediasi oleh sistem imun yang
menyebabkan kerusakan saraf perifer. Sistem imun humoral dan selular
memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit ini. Terdapat empat
faktor yang mempengaruhi, yaitu antibodi anti ganglioside, molecular mimicry,
aktivasi komplemen, dan faktor host.
Garis besar perjalanan klinis GBS terdiri dari dua pola khas yang dibagi menjadi
fase penyusun dan komponennya. Pertama, terjadi infeksi atau stimulasi sistem
kekebalan yang menyebabkan terjadi penyimpangan respon autoimun pada
saraf perifer dan cabang-cabang saraf tulang belakang. Dan juga terjadi mimikri
molekuler antara mikroba dan antigen saraf yang dapat mencetuskan terjadinya
gangguan, biasanya dijumpai pada kasus infeksi C. jejuni. Fase berikutnya
adalah terdapat peran faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi
kerentanan individu. Kelemahan anggota gerak sering akibat keterlibatan saraf
sensorik dan kranial, yaitu 1-2 minggu setelah terjadinya stimulasi kekebalan
tubuh, dan biasanya puncak defisit klinis terjadi pada minggu ke-2 sampai ke-4
(Willson, 2016).
Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana sistem imun
tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya
organisme (misalnya virus atau bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada
GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak
penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun
seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin. Limfosit T akan tersensitisasi
bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi antibodi melawan
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang. Sementara pada waktu yang
bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Malfungsi sistem imunitas yang terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan
sementara pada saraf perifer dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresisf ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer (Shahar E, 2006).

4. Penyebab
GBS ini awalnya dianggap sebagai neuroalergi yang menghasilkan berbagai
bahan berbahaya. Terdapat perkiraan bahwa kumpulan gejala ini terjadi karena
menurunnya daya kekebalan tubuh sendiri (auto imun), yang biasanya didahului
oleh infeksi virus atau kuman-kuman yang menyebabkan infeksi saluran
pernafasan atas dan diare yang melemahkan daya tahan tubuh (kekebalan)
sehingga mengalami keluhan seperti kasus-kasus di atas. Sel sistem kekebalan
menyerang sarung saraf (mielin) yang mengelilingi serabut saraf di seluruh
saraf tepi.
Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan bakteri
yang mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit sistemiklainnya.
Penyakit ini dianggap sebagai penyakit paska infeksi yang diperantaraisistem
imun yang menyerang saraf perifer. Sindroma Guillain Barre sering terjadi
paska infeksi pernafasan atau penyakit saluran cerna tetapi telah dilaporkan
suatu infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, enterovirus,
Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska imunisasi Agen pencetus yang
paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-39% kasus), cytomegalovirus
(5-22%), Epstein-barr virus Mycoplasma pneumonia (5%
kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens karbohidrat (antigen) yang
menyerupai jaringan saraf tepi.

5. Terapi yang dilakukan


Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan
untuk mempercepat proses penyembuhan penderita.
1. Terapi Farmakologi
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan
bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi.
Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat
penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian
metylprednisolone secara intravena yan berkombinasi dengan
imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam
waktu jangka panjang. sebuah studi awal mengemukakan pasien yang
diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk
daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di
Inggris dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg
setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam
studi ini tidak didapatkan pernedaan antara kedua kelompok dalam
derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.

Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral,
seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan
mediator inflamasi non- spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan
terapi pertama pada GBS yang menunjukkan efektivitasnya, berupa
adanya perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat
bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam studi
tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien
GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu
napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan
menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan
kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian
dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5%
albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.Terapi
ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam
7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat
bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS)

Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek
samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan.Penggunaan IVIg
dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody
dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan
yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok
ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag.
Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali
dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam.
Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg danplasmaparesis
dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapijuga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi
IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et
al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus GBS ringan
tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat
perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. Efek
samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan
jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang
terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah
yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif
50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping
ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada
dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami
perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat
dicegah dengan pre- medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila
perlu methylprednisone intravena.

2. Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga
terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS.
Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang
pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan
fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital
capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah
60 cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan
ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia.

6. Pemeriksaan yang dilakukan


Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien penderita Guillain-Barre
Syndrom (GBS) yaitu pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan
penunjang laboratorium. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis, refleks
patologis dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF
(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan
protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48
jam pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua
sampai mencapai puncak dalam 4-6 minggu. Pemeriksaan elektrofisiologis
dilakukan menggunakan Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction
Velocity (NCV). NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan
merekam aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan
respon saraf.

Lumbal Pungsi (LP)


Penemuan Cairan serebrospinal (CSS) bersifat khas, terdiri dari peningkatan
kadar protein CSS [1 sampai 10 g/L (100 sampai 1000 mg/dL) tanpa disertai
pleositosis. Gambaran CSS dapat normal jika gejala terjadi kurang dari 48
jam; pada akhir minggu pertama kadar protein biasanya meningkat.
Peningkatan sementara pada sel CSS (10 sampai 100/μL) bisa dijumpai
pada beberapa kasus; namun pleositosis CSS yang menetap menunjukkan
kemungkinan diagnosis yang lain seperti mielitis viral.

Elektromiografi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik sangat ringan atau tidak ada pada tahap awal
SGB dan tertinggal dari perkembangan klinis. Pada kasus dengan
demielinasi, memanjangnya distal, perlambatan kecepatan hantaran, adanya
blok konduksi dan dispersi temporal dari potensial aksi gabungan adalah
gambaran yang biasa ditemukan.
7. KERANGKA KONSEP

10 hr lalu
An LK 8th IGD
batuk+pilek

Pem. lebih Pem.


Pemeriksaan penunjang
lanjut

Ophthalmoplegia, Pem. Elektromiografi &


disfagia, disartria, GBS lumbal pungsi
hipestesia.

DO : Skala 5 Pola Napas


DO : RR 32x/s
DS :
DS : anak sulit bernapas Tidak Efektif
Nyeri anak mulai mengeluh ujung
Akut kaki & tgn kesemutan
Ibu mengatakan anak
merasa nyeri sendi Risiko Defisit
Suli menelan, Disfagia
Nutrisi
DO : Nyeri skala 5
Gg. Mobilitas DS :
DO : -
Fisik Ujung kaki & tgn merasa Gg. Integritas
DS : Lesi pada kulit,
kesemutan bertahap terasa
nyeri Kulit
lemah dan sulit digerakkan

Terapi Plasmaferesis
Immunoglobulin
8. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil tutorial 1 dan 2 dapat simpulkan bahwa anak tersebut


mengalami (Guilliain Barre Syndrom) GBS yang ditandai dengan tidak mampu
menggerakkan seluruh tubuhnya, Anak menjadi sulit menelan dan bernafas, Anak juga
mulai sulit berbicara dan merasa nyeri pada sendinya terutama malam hari dengan skala
nyeri 5. Lalu Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut didapatkan bahwa terdapat
Ophthalmoplegia, disfagia, dan disartria. Selain itu terdapat hipestesia dan menimbulkan
beberapa diagnosa keperawatan :
1. Nyeri akut akut b.d agen pencedera fosiologis d.d mengeluh nyeri, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, dan nafsu makan
berubah
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri d.d nyeri saat bergerak, rentang gerak (ROM)
menurun, dan gerakan terbatas
3. Resiko defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
4. Gangguan integritas kulit b.d penurunan mobilitas d.d kerusakan jaringan
dan/lapisan kulit
Sehingga untuk mengurangi keluhan perlu diberikan intervensi keperawatan dan
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar dapat dilakukan pengobatan / terapi.
DAFTAR PUSTAKA

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga


Natoan, CR. 2017. Gambaran Penderita Disfagia Yang Menjalani Pemeriksaan Fiberoptic
Endoscopic Evaluation Of Swallowing Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Periode 2015 -
2016. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 3 No. 2, Juli 2017 : 1-75.
RATNASARI, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Dengan
Masalah Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Ponorogo)
Imron, A, dkk. 2013. Peran Plasmaferesis pada Terapi Pasien Sepsis dengan Myasthenia Gravis.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume V No 3
Jurnal Udayana, 2021
Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system
Persyarafan. Salemba Medika: Jakarta

PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi
1. Jakarta : DPP PPNI.

Siwi Pertiwi, I Gusti Ayu (2021) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Imunisasi
Dasar Lengkap Pada Bayi Selama Masa Pandemi Covid-19 Di Klinik Utama Vidyan
Medika. Diploma thesis, Jurusan Kebidanan 2021.

Aisyah, S. (2017). Efektifitas Manajemen Nyeri Non Farmakologi Kompres Hangat Dan Massage
Punggung Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Panti Wreda Pangesti
Lawang. Nursing News, 2(3), 653–662.

Publishing, H. (2019). Shortness of Breath in Infants, Children, and Teens – Harvard Health.
Harvard Health. Retrieved 3 October 2019

Marcelina, Risky Nur. (2021). Apa Penyebab Kesemutan?


http://ners.unair.ac.id/site/index.php/news-fkp-unair/30-lihat/1225-apa-penyebab-
kesemutan (Diakses pada 27 September 2022).

Ansorge, R. WebMD (2020). Tingling in Hands and Feet.


Schulman, J. Healthline (2022). 25 Causes of Tingling in Hands and Feet.

Vandergriendt, C. Healthline (2018). Tingling in Head: Causes, Treatment, and Related


Conditions.

Sumarni, S. (2018). Kemampuan Memproduksi Bunyi Ujaran Bagi Penderita Disartria Di Rumah
Sakit Tentara (Kesrem) Binjai (Doctoral dissertation).

Sulistyowati, A. (2018). Pemeriksaan Tanda-tanda Vital. Jawa Timur : Akademi Keperawatan


Kerta Cendekia Sidoarjo

Santia, Nila Dewi. Dkk. 2022. Satu Kasus Diagnostik Disfagia pada Bayi dengan Pemeriksaan
FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing). Journal of clinical madicine. 9(2)
: 242-250.

Ulfah, Maria. 2020. Disartria gangguan berbicara. Bengkulu : Elmarkazi

Susanto, P.M. dan Lady Brenda Makagiansar. (2022). Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Anak.
Jurnal Medika Hutama. 3(2). 2248-2260.

Noffs, G., et al. (2018). What Speech Can Tell Us: A Systematic Review of Dysarthria
Characteristics in Multiple Sclerosis. Autoimmunity Reviews, 17(12), pp. 1202–09.

Tama, Whisnu Nalendra. 2020. KASUS RECURRENT PAINFUL OPTHTHALMOPLEGIC


NEUROPATHY : KONDISI YANG JARANG DITEMUKAN. Journal Sinaps. Vol. 3 No.
1 (2020): Volume 3 Nomor 1, Februari 2020

Mashita, Dewi. (2021). KEJADIAN DISFAGIA, KESESUAIAN DIET, DAN KEJADIAN


MALNUTRISI PADA PASIEN STROKE USIA MUDA DI RSUP DR KARIADI
SEMARANG. JNH (Journal of Nutrition and Health) Vol.9 No.1 2021

Easy EMG– a guide to performing nerve conduction studies and electromyography.


Second edition. Jay M Weiss MD, Lyn D Weiss MD, Julie K Silver MD. Elsevier. 2016
Electromyography and Nerve Conduction Studies Stephen Kishner, MD, MHA Professor of
Clinical Medicine, Physical Medicine and Rehabilitation Residency Program Director
, Louisiana State University School of Medicine in New Orleans

Arifianto.(2018).Lumbal Pungsi. Kepaniteraan Anak RSUD Pasar Rebo Periode 2 Juli – 8


September 2018 Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

Erwin, I., & Fithrie, A. (2017). Spasmofilia. Cermin Dunia Kedokteran, 44(12), 875-879.

Muttaqin A. (2008) Buku Ajar Asuhan Kperawatan Klien dengan Gangguan Sisitem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika

Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.2002


digitized by USU digital library

Fitri, F, I. (2011). Imunoterapi Pada Guillain-Barre Syndrome. Medan : Departemen Neurologi


FK USU

Eka, Indah Sekarini. Dkk. 2016. Plasmaferesis. Stikes 'Aisyiyah Bandung.

Imunodefisiensi Primer-Tata Laksana Imunodefisiensi Primer: Panduan untuk Pasien dan


Keluarga. (2012). IPOPI.

Dewi, P. R., Kusumastuti, D., & Putra, A. W. (2018). Laporan Kasus: Perubahan Hasil
Pemeriksaan Elektromiografi Pada Paralisis Nervus Fasialis Perifer. Callosum Neurology,
1(2), 58–60.

UCSF Health. 2020. Electromyography. https://www.ucsfhealth.org/medical-tests/003929.


Accessed November 4, 2020.

Blanco, et al. (2019). Electromyography Assessment of the Assistance Provided by an Upper-


Limb Exoskeleton in Maintenance Tasks. Sensors, 19(15), pp. 3391.

Mayo Clinic (2019). Tests & Procedures. Electromyography (EMG).


Healthline (2018). Electromyography (EMG).

Waluyo S dan Marhaedra B. 2014. Penyakit – Penyakit Autoimun. Penerbit PT Elex Media
Kamputindo : Jakarta

kamus keperawatan edisi 17

Cleveland Clinic. Diakses pada 2022. Autoimmune Diseases

Santoso, B.B. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2017). Sekilas Vaksin Pneumokokus.

Asri, A. M. I. P. (2022). STATUS IMUNISASI DASAR PADA BAYI (0-11),(15-35), DAN (36>)
BULAN DI PUSKESMAS TABARINGAN MAKASSAR PERIODE NOVEMBER-
DESEMBER 2018STATUS IMUNISASI DASAR PADA BAYI (0-11),(15-35), DAN (36>)
BULAN DI PUSKESMAS TABARINGAN MAKASSAR PERIODE NOVEMBER-
DESEMBER 2018 (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Widyasih, H., & Tyastuti, S. GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG
IMUNISASI PADA IBU YANG MEMILIKI BALITA USIA 2-5 TAHUN DI POSYANDU
EMPU KUNIR 12 KELURAHAN REJOWINANGUN TAHUN 2019 (Doctoral dissertation,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).

Gitawati, R. (2014). Bahan Aktif Dalam Kombinasi Obat Flu Dan Batuk-Pilek, Dan Pemilihan
Obat Flu Yang Rasional. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 24(1), 10–18.
https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.3482.10-18

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2021). Jadwal Imunisasi IDAI 2020.

Martira, M. 2018. Buku Panduan Prosedur Vaksinasi. Fakultas Kedokteran Unuversitas


Hasanuddin.

Kemenkes. (2020). Buku Saku Info Vaksin.

Christy K.(2020)Elektromiografi.https://linksehat.com/artikel/elektromiografi diakses pada 26


september 2022.
Noffs, G., et al. (2018). What Speech Can Tell Us: A Systematic Review of Dysarthria
Characteristics in Multiple Sclerosis. Autoimmunity Reviews, 17(12), pp. 1202–09.

Brunner and Suddarth’s, 1999, p 1630

Gitawati, R. (2014). Bahan Aktif Dalam Kombinasi Obat Flu Dan Batuk-Pilek, Dan Pemilihan
Obat Flu Yang Rasional. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 24(1), 10–18.
https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.3482.10-18

RATNASARI, S. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN STROKE NON


HEMORAGIK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK.
Doctoral dissertation : Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Sari, Nufita. (2020). Gambaran Hasil Immunoglobulin Pada Penderita Demam Berdarah Dengue
Di Rsud R.M Djoelham Binjai Tahun 2020. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan.

RATNASARI, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Dengan

Masalah Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik. (Doctoral dissertation, Universitas

Muhammadiyah Ponorogo).

Zakarsyi, Teguh Gama. (2019). Letak Dilakukannya Lumbal Pungsi. Tugas Keperawatan Anak
II. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mataram.

Suharsono. 2014. GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBROSPINAL PADA


ANAK KEJANG DISERTAI DEMAM MENURUT USIA. Skripsi. Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro.

Pasomba, S. dkk. (2013). Gambaran Penolakan Masyarakat Terhadap Pungsi Lumbal di Bagian
Neurologi BLU RSUP. Prof. dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-CliniC. 1(1). 13-19.

Fingernal. (2015). Pungsi lumbal: teknik dan tujuan untuk mengumpulkan cairan serebrospinal.
Tusukan lumbal (tulang belakang) - tujuan, indikasi, dan komplikasi.

Nina, M., Fitriani, & M, T. A. (2012). Terapi Ajuvan Pada Pemfigoid Bulosa. Media Dermato-
Venereologica Indonesiana, 39(2), 62–70.
Dalakas, M. (2021). Update on Intravenous Immunoglobulin in Neurology: Modulating Neuro-
autoimmunity, Evolving Factors on Efficacy and Dosing and Challenges on Stopping
Chronic IVIg Therapy. Neurotherapeutics, 18 (4), pp. 2397–2418.

BPOM RI. (2015). Produk Imunologis dan Vaksin.

FITRI F .I .2011.IMUNOTERAPI PADA GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME. DEPARTEMEN


NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Kemenkes. (2018). https://www.kemkes.go.id/article/print/1628/guillain-barre-sindrom.html

World Health Organization. Diakses pada 2022. Guillain-Barré Syndrome.

NHS Choices UK. Diakses pada 2022. Guillain-Barré Syndrome.

Mayo Clinic. Diakses pada 2022. Guillain-Barré Syndrome.

Wijayanti, S. (2016). Aspek Klinis Dan Penatalaksanaan Guillain–Barré Syndrome. Kepaniteraan


Klinik Madya Bagian/Smf Neurologi Fk Unud / Rsup Sanglah

Wahyu, F. F. (2018). Guillain-Barré Syndrome : Penyakit Langka Beronset Akut yang


Mengancam Nyawa. Medula, 8(1), 112–116.

Modified from AK Asbury, DR Cornblath: Ann Neurol 27:S21, 1990.

Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th

Anda mungkin juga menyukai