2
25
Hikmah & Kisah
Mencerahkan
tentang
SEDEKAH
3
25 Hikmah & Kisah Mencerahkan
tentang SEDEKAH
Penulis
Emsoe
Editor Pengembang
Eman
Diterbitkan oleh
Tasdiqiya Publisher
Jl. H. Mukti No: 19 Cibaligo Cihanjuang
Parongpong - Bandung Barat
WA: 0822.1634.6604
email:tasdiqiyapublisher@gmail.com
4
ISI BUKU
KATA PENGANTAR
5
• Meminta-minta
• Sedekah dengan Harta Haram
6
PENGANTAR
Bismillâhi Ar-Rahmân Ar-Rahîm.
Andaikan ada investasi atau perniagaan paling
menguntungkan di dunia, sedekahlah jawabannya.
Bagaimana tidak menguntungkan, dengan
bersedekah keuntungan yang didapatkan akan
berlipat-lipat tanpa pernah ada rugi.
Bayangkan saja, sedekah adalah penolak bala,
penyubur pahala, mengekalkan harta, penyembuh
penyakit, dan pelipat ganda rezeki. Dia bagaikan
sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada
tiap-tiap butir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah
yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus
kali lipat. Maka, sangat rugi apabila kita terluput dari
bersedekah. Sebab saat itulah kita kehilangan aneka
keutamaan yang telah Allah persiapkan.
Para pembaca yang budiman, dalam buku kecil
ini, kami tergerak untuk meringkas sejumlah hal
tentang sedekah dengan bahasa yang ringan lagi
mudah dipahami sekaligus memotivasi. Buku ini
kami bagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) memaknai
7
keutamaan sedekah, (2) nasihat dan hikmah tentang
sedekah, dan (3) kisah-kisah inspiratif seputar
sedekah.
Melalui buku kecil nan sederhana ini, kami
berharap para pembaca semakin yakin dengan janji
Allah Ta’ala yang Dia hadirkan lewat sedekah. Selamat
membaca semoga terinspirasi. ***
8
BAGIAN 1
Memaknai Keutamaan
Sedekah
9
Namun demikian, istilah sedekah sangat lekat
dengan infaq f î sabilillâh, yaitu mengeluarkan harta di
jalan Allah, yang dikhususkan hanya untuk kebaikan,
ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya.
Hukum Sedekah
Para fuqaha bersepakat bahwa hukum sedekah
adalah sunnah, berpahala jika dilakukan dan tidak
berdosa jika ditinggalkan. Namun demikian, hukum
sedekah bisa menjadi apabila orang yang bersedekah
mengetahui bahwa orang yang menerima sedekah
akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan.
Ada kalanya pula, hukum sedekah menjadi wajib,
yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang
yang sedang kelaparan atau dalam keadaan kritis,
sementara pada saat itu dia sanggup memberikan
pertolongan. Hukum sedekah pun menjadi wajib
jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada
seseorang atau lembaga.
10
diberikan kepada orang yang betul-betul sedang
mendambakan uluran tangan.
Adapun kriteria barang yang lebih utama
disedekahkan, para fuqaha berpendapat. Akan tetapi,
semua sepakat bahwa yang terbaik adalah sedekah
dengan barang terbaik lagi disukai pemiliknya. Hal
ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Engkau sekali-
kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai.” (QS Ali ‘Imrân, 3:92).
11
2. Limpahan Berkah dari Sedekah
Ada seorang kenalan, dia orangnya biasa-biasa saja,
ibadah ritualnya juga biasa-biasa saja. Tidak banyak
ibadah sunnat yang dia jalankan, walau ibadah
wajibnya istiqamah dia jalankan. Ilmunya juga sangat
biasa. Bahkan, dia boleh dibilang awam dalam agama.
Dia sekadar lulusan SD atau SMP gitu, tidak pernah
mesantren pula. Orang-orang pun menganggap
dia biasa-biasa saja. Bahkan, boleh jadi dia tidak
dianggap, apalagi kalau dilihat dari status sosialnya
.... jauuuuuuh sekalee!
Tapi, kalau saya perhatikan, dia punya
keistimewaan yang jarang dimiliki orang. Apa itu?
Mimpinya selalu benar! Ya mimpinya selalu benar.
Setiap kali ada kejadian yang menimpa keluarganya,
orang-orang di sekitarnya, atau kampungnya, Allah
Ta’ala akan memberi ilham kepadanya berupa mimpi
yang benar terkait peristiwa yang akan terjadi.
Padahal, saya pernah dengar dari seorang ustaz,
bahwa mimpi yang benar itu berasal dari Allah dan
bagian dari kenabian yang masih tersisa.
Selidik punya selidik, ternyata dia ini sangat jujur
orangnya. Dia sangat takut kalau ada uang atau barang
12
(harta) haram yang masuk ke perutnya, walau hanya
sedikit. Dia sangat tidak berani mengambil hak orang
lain. Lebih baik dia rugi daripada harus merugikan
orang lain. Walau ekonominya pas-pasan, dia sangat
getol berbagi dan menolong orang yang kesusahan.
Tiada hari tanpa sedekah, begitu dia punya prinsip.
Dan, ada satu keistimewaan lainnya. Dia sangat
sabar dan peka terhadap kesusahan orang lain.
Hmmmm ... dia suka tidak kuat kalau orang lain
menderita. Bahkan, dia tidak segan membantu orang
yang kerap menzaliminya.
Dia pernah bilang begitu, “Saya mah siapa atuh.
Tunaharta. Tunailmu. Amal ibadah juga pas-pasan.
Makanya suka malu kalau ketemu dengan orang-
orang saleh!” demikian katanya.
Hohohooo ... Boleh jadi, inilah sejumlah faktor
yang menjadikan Allah Ta’ala “memperhatikannya”
dan memberi satu keistimewaan yang dia sendiri
tidak menyadarinya.
***
Itulah satu di antara fadhilah dari sedekah. Allah
Ta’ala akan memberikan kebaikan, keistimewaan, dan
aneka kemudahan bagi orang-orang yang istiqamah
13
melakukannya. Maka, sedekah menjadi amal yang
amat ditekankan Rasulullah saw. kepara sahabat dan
orang-orang yang mengharap keridhaan-Nya.
Mengapa demikian? Selain sebagai amal yang
amat dicintai Allah, sedekah termasuk ibadah
yang penuh keberkahan. Artinya, pratiknya
amat “sederhana” bahkan seringkali tidak harus
mengeluarkan banyak tenaga, akan tetapi kebaikan
yang dihasilkannya tahan lama, tidak mengenal
binasa, dan berlipat ganda.
Apa saja kebaikan yang akan didapatkan?
Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini.
Pertama, saat bersedekah, semisal sedekah
harta, niscaya Allah Ta’ala akan memberikan pahala
(minimal) sepuluh kali lipat bagi pelakuknya.
Terungkap dalam Al-Quran:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS Al-
An’âm, 6:160)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya
di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
14
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak.” (QS Al-Baqarah, 2:245)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus
biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-
Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah, 2:261)
Sesungguhnya, sedekah adalah sebentuk
transaksi dengan Allah yang pasti keuntungannya.
Bayangkan saja, satu sedekah yang kita keluarkan
di jalan Allah, padahal barang yang disedekahkan
pun berasal dari Allah, akan dibalas dengan pahala
berlipatganda, plus aneka kebaikan di dalamnya.
Itulah mengapa, ketulusan kita kepada Allah Azza
wa Jalla sebagai sebentuk komitmen kepada perintah-
Nya, sejatinya baru terlihat ketika kita melakukan
“transaksi” dengan Allah setiap hari. Dengan cara
apa? Yaitu melalui sedekah, bacaan Al-Quran, dan
shalat dua rakaat pada waktu malam.
Ibnu Atha’ilah, dalam Tâjul ‘Arûs menuliskan,
“Ketika matahari menyingsing, pastikan engkau telah
15
berniaga dengan Allah. Maka, (1) bersedekahlah
setiap hari walau seperempat dirham agar engkau
tercatat sebagai bagian dari ahli sedekah. (2) Bacalah
Al-Quran setiap hari walau hanya satu ayat agar
engkau tercatat ke dalam golongan pembaca Al-
Quran. Dan, (3) shalatlah walau hanya dua rakaat
(pada waktu malam) agar engkau tercatat sebagai ahli
shalat malam.
Janganlah engkau katakan, ‘Kalau hanya memili
ki makanan untuk satu dua hari, bagaimana bisa
bersedekah?’ Ingatlah akan firman Allah Ta’ala,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath-Thalâq,
65:7). Sesungguhnya, perumpamaan orang miskin
yang engkau beri sedekah bagaikan tunggangan yang
kelak membawakan bekalmu menuju akhirat.”
Kedua, sedekah akan menjauhkan pelakunya dari
musibah atau bala bencana. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa Nabi Yahya pernah mengumpulkan
16
umatnya di Baitul Maqdis. Kemudian, dia berpesan
kepada mereka tentang lima hal.
Salah satu pesannya adalah, “Allah memerintah
kan kalian untuk bersedekah. Sesungguhnya,
perumpamaan orang yang bersedekah bagaikan
seseorang yang ditawan musuh, diborgol kedua
tangannya, dan (tangannya itu) diletakkan di pundak.
Kemudian, dia dihadirkan di depan umum untuk
dipenggal lehernya. Lalu orang ini berkata, ‘Aku akan
menebus nyawaku dengan mengorbankan semua
milikku, banyak atau sedikit’. Akhirnya, dia pun
dapat menebus dirinya dari mereka (dengan miliknya
tersebut).” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)
Inilah kedahsyatan sedekah. Dia dapat mengham
bat datangnya musibah dan menyelamatkan pelaku
nya dari bala bencana. Maka, Sayyid Abdullah Al-
Haddad, dalam Risalatul Mu’awanah, menasihatkan,
“Janganlah engkau meninggalkan sedekah setiap hari
walaupun sedikit, dan bersegeralah melaksanakannya
karena segala bala bencana tidak akan dapat
melangkahi sedekah.”
“Sesungguhnya, ada sejumlah manfaat sedekah
di dunia, antara lain: menambah rezeki dan umur,
menghindarkan diri dari kematian yang buruk,
17
menyehatkan badan, memberkahkan harta. Adapun
manfaat sedekah di akhirat, antara lain: memadamkan
kesalahan bagaikan air memadamkan api, pelindung
pada Hari Kiamat, dan sebagai penghalang dari siksa
neraka,” ujarnya pula.
Ketiga, selain menjadi perisai dari bala bencana,
sedekah pun termasuk sebaik-baik tabungan bagi
seorang Mukmin. Allah Ta’ala akan “mencairkannya”
pada saat yang tepat dengan jumlah berlipat. “Ketika
bersedekah, engkau tidak sedang menghabiskan
uang (atau hartamu), akan tetapi engkau sedang
mentransfernya untuk dirimu sendiri pada waktu
yang akan datang,” demikian ungkap Dr. Abdullah Al-
Wuhaibi dalam sebuah tulisannya.
Sedekah akan membuat hidup seorang hamba
tenang, tenteram, nyaman, dan jauh dari takut,
cemas, resah ataupun gelisah. Bagaimana mungkin
dia terhanyut dalam kegelisahan, apalagi sekadar
takut tak punya uang, takut tidak bisa hidup layak,
takut kalau sakit tidak punya dana untuk berobat,
sedangkan dia punya tabungan yang berlipat lagi
terjaga di sisi Rabbnya. Kala sedang butuh, Allah
siapkan untuknya. Kala sedang sempit, Allah
lapangkan hatinya. Tidak hanya itu, hartanya pun
18
akan membawa dia pada ketaatan dan kebaikan, bagi
dunia dan akhiratnya.
Maka, apabila kita masih malas bersedekah,
padahal kita mampu melakukannya, itu sama artinya
dengan kita malas mendapatkan limpahan berkah
dari Allah. Kita tidak ingin menghalangi musibah
dan aneka keburukan. Kita pun tidak peduli dengan
kebaikan yang bisa kita cairan di masa depan. ***
19
wanita tersebut dan menanyakan mengapa dia
mengambil bangkai burung dari tempat sampah.
Utusan ini kemudian bertemu dengan si wanita
miskin. Lalu, keduanya terlibat perbincangan. “Tuan,
demi Allah kami sudah tidak makan selama tiga hari,
kecuali bangkai ini!” ujarnya dengan sedih.
Setelah mengetahui duduk persoalannya, utusan
ini kembali dan menceritakan apa yang ditemuinya
kepada Ibnu Al-Mubarrak. Mendengar hal tersebut,
Ibnu Al-Mubarrak pun berkata, “Subhânallâh, kita
semua bisa makan yang enak sedangkan penduduk
kampung ini memakan bangkai! Wahai kalian semua,
kembalilah ke Khurasan. Sedekahkan perbekalan
kalian untuk mereka. Kita pasrahkan saja ibadah haji
kita tahun ini kepada Allah.”
Para jamaah pun menyedekahkan perbekalan
yang mereka bawa, lalu mereka kembali ke Khurasan
tanpa membawa apa-apa, kecuali bekal secukupnya.
Mereka rela meninggalkan ibadah haji demi
menolong saudaranya yang kelaparan.
Pada malam harinya, Ibnu Al-Mubarrak
bermimpi. Dia mendengar suara yang mengatakan,
“Sungguh, ibadah haji kalian mabrur, usaha yang
20
disyukuri, dan dosa yang diampuni.” (Dikutip dari
Kehebatan Sedekah, Fuad Abdurrahman)
***
Kisah ini memberi kita gambaran bahwa sedekah
akan mampu memancing rezeki yang lebih besar lagi
berkah. Tiada yang kita perlukan di sini selain kuatnya
keyakinan kita kepada janji Allah Ta’ala. Semakin kuat
keyakinan seorang hamba akan janji Allah, semakin
besar pula kepercayaan yang akan Allah Ta’ala berikan
kepada hamba tersebut.
Maka, Nabi saw. pernah berseru, “Istanzilu
rizqa shadaqati; Hendaklah kalian mencari rezeki
dengan bersedekah”. Sekilas, redaksi hadits ini sangat
membingungkan. Bagaimana mungkin sedekah akan
menambah rezeki. Bukankah dengan bersedekah
uang kita menjadi hilang.
Bagaimana ini? Memang, kalau kita mengunakan
logika matematika jumlahnya pasti berkurang.
Akan tetapi, sedekah tidak bisa didekati seluruhnya
dengan logika matematika atau logika kaum sekular.
Ada logika iman di sana bahwa Allah Ta’ala akan
melipatgandakan nilai sedekah seorang hamba. Boleh
jadi, ketika kita memberi, uang yang ada di dompet
21
kita berkurang sejumlah nominal yang diberikan.
Akan tetapi, pada saat memberi itu kita langsung
mendapat balasan dari Allah berupa ketenangan
jiwa, kebahagiaan, kelapangan, dan keberkahan.
Tidak lama kemudian, harta yang kita sedekahkan
tersebut akan mengundang teman-temannya untuk
“mendatangi” kita, bisa dalam bentuk harta yang
sama, yaitu uang, bisa dalam bentuk kesembuhan dari
penyakit, bisa dalam bentuk diselamatkannya kita
dari kecelakaan dan bencana, dan lainnya. Adapun
puncaknya adalah terselamatkannya kita dari siksa
neraka.
Sungguh, sangat mudah bagi Allah untuk
melakukan apa-apa yang tidak terpikirkan oleh manusia.
Semua ini terjadi karena Allah Ta’ala telah mengatur
urusan rezeki dari semua makhluk-Nya sekecil apa pun.
Allah Ta’ala tidak akan salah dalam membagikan dan
mendistribusikan rezeki sampai makhluk yang terkecil.
Allah Ta’ala berfirman, “Wa mâ min dzabbatin fil ard
alâ rizquhâ. Dan tidak ada satu suatu binatang melata
pun di bumi melaikan Allah-lah yang memberi rezeki
kepadanya.” (QS Hûd, 11: 6)
***
22
Ketika Allah Ta’ala memberikan kita rezeki, amat
layak apabila kita mensyukuri nikmat tersebut. Salah
satu bentuknya adalah berbagi dengan saudara-
saudara kita yang sedang kesusahan dan sedang
membutuhkan pertolongan. Nah, ketika kita mau
bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala
berikan dengan cara berbagi, Dia pun akan berkenan
menitipkan rezeki yang lebih banyak dan lebih berkah
kepada kita.
Bukankah Allah Ta’ala telah berjanji untuk
mengganti setiap harta yang dinafkahkan di jalan-
Nya dengan sesuatu yang lebih baik (QS Saba, 34:39)?
Artinya, dengan bersedekah, kita tambah dipercaya
oleh Allah Ta’ala. Semakin banyak bersedekah,
akan semakin bertambah pula kepercayaan yang
Allah Ta’ala berikan kepada kita. Kepercayaan mana
lagi yang lebih besar selain dipercaya oleh Zat Yang
Mahabesar, Yang Mahakaya, dan Yang Mahakuasa?
Sesungguhnya, rezeki itu ada pintunya, dan pintu
itu tidak akan terbuka kecuali dengan bersedekah.
Semakin sering bersedekah, semakin sering pula
pintu itu terbuka. Semakin besar bersedekah,
semakin lebar pula pintu itu akan terbuka. Inilah
cara Allah Ta’ala dalam membalas kebaikan hamba-
hamba-Nya. ***
23
BAGIAN 2
Nasihat dan Hikmah
Sedekah
24
Sesungguhnya, Allah Ta’ala telah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan (al-birr), akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah:
(1) beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
(2) memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya,
(3) mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
(4) orang-orang yang menepati janjinya apabila dia
berjanji, dan
(5) orang-orang yang bersabar dalam (menghadapi)
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar
(kebajikannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah, 2:177)
25
2. Memberi Pinjaman kepada Allah
Terungkap dalam Al-Quran, “Siapa yang mau
memberi pinjaman kepada Allah dengan
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), niscaya Allah akan lipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
0yang banyak.” (QS Al-Baqarah, 2:245)
Nabi saw. pun bersabda, “Seorang Mukmin yang
memberi makan Mukmin lain yang kelaparan, niscaya
pada Hari Kiamat dia akan diberi makanan dari
buah-buahan surga. Seorang Mukmin yang memberi
minum Mukmin lain yang kehausan, niscaya pada
Hari Kiamat dia akan diberi minuman surga yang
teramat lezat (ar-rahîq al-makhtûm). (Dan), seorang
Mukmin yang memberi pakaian mukmin lain yang
telanjang (tidak punya pakaian yang layak), niscaya
pada Hari Kiamat dia akan diberi pakaian surga yang
berwarna hijau (sutra-sutra surga, khudr al-jannah).”
(HR At-Tirmidzi dan HR Abu Dawud dari Abu Sa’îd
Al-Khudrî)
Maka, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bertutur
dengan indahnya, “Tentu saja, pengemis (fakir miskin,
anak yatim, atau orang-orang yang kelaparan lagi
26
membutuhkan bantuan), adalah anugerah dari Allah
Azza wa Jalla. Sebab, dia mengambil sedikit bagian
dari duniamu agar engkau mendapatkan bagian yang
lebih besar di akhirat!
Dia menyimpankan untukmu sesuatu yang
kelak akan kau temukan di akhirat, pada hari ketika
engkau teramat membutuhkannya. Memang, apa
yang engkau berikan akan musnah dan hilang, akan
tetapi sedekahmu kepadanya akan dilipatgandakan
beberapa tingkatan di sisi Allah Ta’ala.”
Al-Jailani, Jilâ’ Al-Khâthir dalam Surat-Surat Cinta
Kekasih Allah.
3. Tangan di Atas
Siapakah yang paling mulia: yang memberi ataukah
yang meminta? Semua sepakat bahwa yang paling
mulia, paling beruntung, lagi paling dicinta adalah
orang yang memberi. Bagaimana tidak beruntung,
dengan memberi itulah dia akan mendapatkan lebih
banyak daripada yang diberikannya.
Apa saja yang dia dapatkan? Di dunia dia akan
mendapatkan salah satu atau semuanya dari 5A: harta
27
(balasan berupa materi), tahta (kedudukan, pangkat,
jabatan, kemuliaan), kata (pujian dan sebutan yang
baik dari sesama), cinta (simpati, kasih sayang dan
penghargaan dari orang lain), dan vita (kehidupan,
kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan jiwa).
Andaikan dia melakukan karena mengharap
ridha Allah semata, di akhirat dia akan mendapatkan
pahala yang berbuah aneka kemudahan di akhirat.
Adapun puncaknya adalah surga dengan segala
kenikmatannya.
Maka, pantaslah apabila Rasulullah saw. sampai
berpesan kepada para sahabatnya, “Tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah. Dan, mulailah
terlebih dahulu dari keluargamu. Sebaik-baik sedekah
adalah harta yang diberikan di luar kebutuhannya.
Siapa menahan diri dari meminta-minta, niscaya
Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Dan, siapa
merasa cukup, niscaya Allah akan membuatnya
cukup.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
Tangan di atas adalah tangan orang yang memberi,
sedangkan tangan di bawah adalah tangan orang yang
meminta. Terkait hal ini, Al-Hafizh berkata, “Tangan
yang paling tinggi (keutamaannya) adalah (1) tangan
orang yang memberi infak. Kemudian (2) orang yang
28
menjaga diri dari mengambil pemberian, kemudian
(3) orang yang mengambil tanpa meminta, (4)
sedangkan tangan yang paling rendah adalah tangan
orang yang meminta-minta dan orang yang menolak.”
5. Berinfaklah!
Membelanjakan harta di jalan Allah termasuk seutama-
utama ibadah. Tidak ada yang tahu bagaimana
besarnya balasan dari infak yang dikeluarkan kecuali
Allah Azza wa Jalla. Itulah mengapa, Rasulullah saw.
senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk
berinfak, termasuk kepada sahabat yang fakir.
Dalam sebuah riwayat, beliau pernah berkata
kepada Bilal bin Rabah yang kala itu berada dalam
keadaan miskin lagi lemah. “Wahai Bilal, berinfaklah!
Jangan takut kekurangan dari Zat yang memiliki
30
langit.” (Shâhih Al-Jami’, No. 1612). Redaksi lain
menyebutkan, “Berinfaklah, jangan takut karena Zat
Yang Maha Pengasih tidak akan menjadikanmu orang
yang kekurangan karena infakmu.”
Kalau kepada orang miskin lagi lemah saja
beliau menganjurkan demikian, lalu apa yang beliau
sabdakan kepada orang-orang kaya?
Suatu hari, Rasulullah saw. berjumpa dengan
Asma’ binti Abu Bakar, lalu beliau bersabda
kepadanya, “Berinfaklah dan janganlah engkau
menghitung-hitung hartamu karena Allah juga
akan menghitung-hitung rezeki-Nya untukmu; dan
janganlah engkau bakhil dengan hartamu, karena
Allah juga akan bakhil kepadamu.” (HR Al-Bukhari)
32
7. Bersedekah untuk Setiap
Persendian
Rasulullah saw. bersabda, “Pada diri manusia
terdapat 360 persendian. Maka, dia harus
bersedekah dari setiap persendian satu sedekah.”
Para sahabat bertanya, “Siapakah orang yang
mampu berbuat demikian, wahai Nabiyullâh?”
Beliau bersabda, “Engkau timbun (bersihkan)
dahak (yang kau jumpai) di masjid. Engkau
singkirkan duri dari jalan. Dan, apabila engkau tidak
mendapatinya, lakukanlah shalat Dhuha dua rakaat
sebagai gantinya.” (HR Abu Dawud)
Mengapa dari setiap persendian kita
diperintahkan untuk bersedekah? Muhammad Ali
Quthb, dalam buku 50 Nasihat Rasulullah saw. untuk
Generasi Muda menjelaskan bahwa:
Persendian, dalam penciptaan jasad manusia,
adalah penyebab adanya gerakan. Dan, gerakan
adalah pertanda adanya kehidupan. Gerakan adalah
usaha, berjalan, berdiri, duduk, dan lainnya.
Andai manusia diciptakan dalam satu bentuk
tanpa adanya persendian, niscaya dia akan kaku dan
33
tak bisa bergerak. Maka, bersedekah untuk setiap sendi
hakikatnya adalah bersyukur atas nikmat kehidupan
yang tak ternilai harganya. Dan, shalat Dhuha dua
rakaat sudah cukup untuk menggantikannya.
Adapun Ibnu Daqiqul Id mengatakan bahwa,
“Dua rakaat shalat Dhuha sudah mencukupi semua
sedekah untuk bagian-bagian tubuh ini. Mengapa?
Karena shalat adalah amalan seluruh anggota tubuh.”
(Syaikh Faishal Alu Mubarak, Riyadush Shalihin dan
Penjelasannya, hlm. 830).
34
neraka walau dengan separuh buah kurma.” (HR
Muttafaqun ‘Alaih)
Bayangkan saja, separuh butir kurma yang nyaris
tidak ada harganya, ketika dibelanjakan di jalan Allah,
dia bisa menjadi jalan terhalangnya seorang hamba
dari dahsyatnya api neraka. Bagaimana pula apabila
kita bersedekah dengan yang lebih banyak lagi lebih
berharga lainnya?
Dan ternyata, kemampuan sedekah untuk
menghalangi datangnya bencana ternyata tidak hanya
berlaku kepada orang-orang beriman. Orang fasik,
munafik, bahkan kafir sekalipun, apabila bersedekah,
walau tujuannya bukan mengharap ridha Allah, dia
akan mendapatkan kebaikan darinya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Wabilush-
Shayyib mengatakan, “Sesungguhnya sedekah bisa
memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk
menolak berbagai bencana sekalipun pelakunya
orang yang fajir (pendosa), zalim atau bahkan
orang kafir, karena Allah Ta’ala akan menghilangkan
beragam bala bencana dengan perantaraan sedekah
tersebut. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi
umat manusia, baik yang berpendidikan maupun
orang awam.”
35
9. Bersedekahlah Setiap Hari
Ketulusan dan komitmen kita kepada Allah Azza wa
Jalla dan perintah-Nya, sejatinya baru terlihat ketika
kita melakukan “transaksi” dengan Allah setiap hari
melalui sedekah, bacaan Al-Quran, dan shalat dua
rakaat pada waktu malam. Bagaimana bisa?
Kita lihat bagaimana penjelasan dari Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari terkait hal ini. Dalam Tâjul
‘Arûs beliau menuliskan:
“Ketika matahari menyingsing, pastikan engkau
telah berniaga dengan Allah. Maka, (1) bersedekahlah
setiap hari walau seperempat dirham agar engkau
tercatat sebagai bagian dari ahli sedekah. (2) Bacalah
Al-Quran setiap hari walau hanya satu ayat agar
engkau tercatat ke dalam golongan pembaca Al-
Quran. Dan, (3) shalatlah walau hanya dua rakaat
(pada waktu malam) agar engkau tercatat sebagai ahli
shalat malam.
Janganlah engkau katakan, ‘Kalau hanya
memiliki makanan untuk satu dua hari, bagaimana
bisa bersedekah?’
Ingatlah akan firman Allah Ta’ala, ‘Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut
36
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.’ (QS
Ath-Thalâq, 65:7)
Sesungguhnya, perumpamaan orang miskin yang
engkau beri sedekah bagaikan tunggangan yang kelak
membawakan bekalmu menuju akhirat.”
38
11. Mengurus Anak Yatim
Ada sejumlah amal yang dapat mendatangkan aneka
kebaikan bagi seorang hamba, di dunia dan terlebih
lagi di akhirat. Tiga di antaranya adalah menyambung
tali silaturahim, mengurus anak yatim, dan memberi
makan fakir miskin.
Dalam sebuah keterangan, Anas bin Malik ra.
mengatakan bahwa, “Ada tiga macam orang yang
akan berada di bawah naungan ‘Arasy Allah Ta’ala
pada hari Kiamat.
Pertama, orang yang menyambung tali
silaturahim. Orang ini akan dipanjangkan umurnya
dan diluaskan rezekinya.
Kedua, seorang istri yang ditinggal mati suaminya
dan dibebani anak yatim. Kemudian, dia mengurus
anak-anaknya itu dengan baik sampai dia sendiri (si
istri) meninggal dunia. Sehingga, Allah Ta’ala akan
mencukupi (kebutuhan) mereka semua (anak-anak
yang ditinggalkannya).
Ketiga, orang yang menyiapkan (mencukupi)
makanan untuk anak-anak yatim dan orang-orang
miskin.”
39
Demikian penjelasan Syaikh Abdul Hamid Al-
Anqurî dalam Munyah Al-Wâ’izhîn wa Ghunyah
Al-Mutta’izhzhîn (Terjemah: Nasihat Langit untuk
Maslahat di Bumi).
40
Satu di antaranya diungkapkan oleh Al-Imam
Hasan Al-Bashri. Beliau berkata, “Semua nafkah
yang dibelanjakan oleh seseorang pasti akan ada
hisabnya, melainkan nafkah yang diberikan kepada
kawan-kawannya berupa makanan. Sesungguhnya,
Allah Ta’ala lebih bermurah hati untuk meminta
pertanggung jawaban dari yang demikian.”
Artinya, siapa yang gemar membahagiakan
saudaranya dengan jamuan makan, atau sekadar
memberikan makanan yang bisa membuatnya
bahagia, Allah akan membebaskan dirinya dari hisab
terkait harta yang diberikannya tersebut.
Itulah mengapa, para sahabat apabila berkumpul
dalam majelis ilmu atau untuk membaca Al-
Quran, tidaklah mereka berpisah melainkan setelah
semuanya merasakan hidangan walaupun sangat
sederhana.
(Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Mau’izhatul
Mu’minîn. Ringkasan dari Al-Ihya’ ‘Ulumuddin)
41
13. Al-Manni wal Adza
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Hai orang-orang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan perbuatan al-manni dan al-adza
…” (QS Al-Baqarah, 2:264)
Menurut Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, al-
manni adalah menyebut-nyebut apa yang telah
disedekahkan atau mempercakapkannya di hadapan
orang lain, atau bersikap sombong, yaitu merasa
dermawan lagi mulia karena telah memberikan
sesuatu kepada orang lain.
Adapun al-adza adalah menampakkan sedekah
itu secara terang-terangan di hadapan orang lain,
mencela dan merendahkan orang yang diberi dengan
mengatakan bahwa dia fakir, termasuk membentak,
mencemooh atau mempermalukannya.
Sikap ini timbul karena merasa bahwa dirinya
mampu berbuat kebaikan kepada orang fakir. Padahal
seharusnya, orang yang memberi itu merasa bahwa
kaum fakirlah yang telah berbuat baik kepadanya.
Bagaimana tidak, dengan kesediaan orang fakir
menerima pemberian, dia bisa menunaikan apa
yang diperintahkan Allah kepadanya, mensucikan
42
hartanya, dan (kelak) akan menyelamatkannya dari
api neraka.
(Asy-Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi,
Mau’izatul Mu’minîn. Ringkasan dari Al-Ihya’
‘Ulumuddîn).
14. Meminta-minta
Apabila seseorang meminta rezekinya kepada Allah,
itu artinya dia telah menjadi hamba Allah dan fakir
kepada-Nya. Namun, apabila dia meminta rezekinya
kepada makhluk, itu artinya dia telah menjadi hamba
dari makhluk dan dalam keadaan fakir kepadanya.
Maka, asal seseorang meminta dan menyandarkan
kebutuhannya kepada makhluk hukumnya adalah
haram, dia dibolehkan meminta dalam keadaan
darurat. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta
itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) Seseorang yang menanggung hutang orang lain,
dia boleh meminta-minta sampai dia melunasi
nya, kemudian berhenti,
43
(2) Seseorang yang ditimpa musibah yang mengha
biskan hartanya, dia boleh meminta-minta
sampai dia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) Seseorang yang ditimpa kesusahan hidup sehingga
ada tiga orang berakal dari kaumnya mengatakan,
‘Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ maka
dia boleh meminta-minta sampai mendapatkan
sandaran hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu,
wahai Qabishah, adalah haram. Dan, orang yang
memakannya dia dianggap memakan yang haram.”
(HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, An-Nasa’i, dan
selainnya).
Rasulullah saw. pun memberi peringatan,
“Barang siapa membukakan bagi dirinya pintu
meminta-minta tanpa kebutuhan yang mendesak,
atau bukan karena kemiskinan yang (disebabkan)
ketidakmampuannya untuk bekerja, niscaya Allah
akan membukakan baginya pintu kemiskinan dari
jalan yang tidak disangka-sangka.” (HR Al-Baihaqi
dalam Shahih Targhib wat Tarhib, 1:195)
Maka, seorang yang benar keimanannya akan
berusaha menjaga diri dari meminta-minta tanpa
44
alasan yang dibenarkan agama. Terkait hal ini, ada
teladan kebaikan dari Imam Ahmad, sebagaimana
disampaikan oleh putranya, yaitu Abdullah bin
Ahmad rahimahullâh:
“Aku sering mendengar ayahku (Imam Ahmad)
berdoa (ketika shalat) sebelum salam, ‘Ya Allah
sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari
bersujud kepada selain-Mu, jagalah pula wajahku
dari meminta kepada selain-Mu’.” (Shifatush Shafwah,
2:610)
45
dia mati dan dia tinggalkan harta itu, niscaya (harta
itu) akan jadi bekal dirinya ke neraka.” (HR Ath-
Thabrani dan Al-Baihaqi)
Sesungguhnya, harta haram termasuk perkara
yang sangat merusak lagi mencemari kehidupan
orang-orang beriman. Kenikmatan yang didapat
darinya tidak sebanding dengan keburukan yang
dihasilkannya: doa tertolak, shalat tidak diterima,
mengundang bala bencana, dan akan menghalangi
seseorang dari surga.
Maka, bagi orang-orang beriman, cukuplah
firman Allah Ta’ala sebagai peringatan. “Katakanlah,
‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit
pun’.” (QS An-Nisâ’, 4:7)
46
BAGIAN 3
Kisah Para Kekasih Allah
47
Dan, siapa yang menghentikan amarahnya,
niscaya Allah akan menutupi kekurangannya. Dan,
siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup
untuk melakukannya, niscaya Allah akan memenuhi
hatinya dengan harapan pada hari Kiamat. Dan,
siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk
(menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan
(keperluan) itu, niscaya Allah akan meneguhkan
kakinya pada hari ketika tidak bergemingnya kaki-
kaki (hari Perhitungan).” (HR Ath-Thabrani dari
Abdullah bin Umar)
48
sungguh aku merajut sendiri selimut ini agar engkau
berkenan mengenakannya.”
Rasulullah saw. menerimanya karena beliau
sangat membutuhkan. Beliau kemudian keluar
menemui kami dengan menggunakan selimut itu.
Sungguh, selimut tersebut menjadi kain beliau.
Tiba-tiba datanglah Fulan bin Fulan, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, alangkah bagusnya selimut ini!
Sudikah engkau mengenakannya untukku?”
“Ya,” jawab beliau. Begitu masuk rumah,
beliau segera melepas lalu melipat selimut itu dan
memberikannya kepada si Fulan.
Kaum orang ini kemudian menegurnya,
“Tindakanmu kurang baik. Nabi mengenakan
selimut itu karena sangat membutuhkannya, lalu
kamu memintanya? Dan, kamu tahu beliau tidak bisa
menolak orang yang meminta.”
Orang ini pun berkata, “Demi Allah, aku
memintanya bukan untuk dipakai. Aku memintanya
sebagai kain kafanku.” Ash-Shalah ra. menuturkan,
“Kain selimut itu akhirnya menjadi kain kafan si
Fulan.” (HR Al-Bukhari)
49
18. Sedekah Diam-diam
Dahulu kala, penduduk Madinah hidup dan tidak
tahu dari mana mereka mendapatkan jatah makanan.
Ketika Ali bin Husain ra. meninggal dunia, mereka
kehilangan apa yang biasanya mereka terima pada
malam hari.
Mengapa demikian? Amru bin Tsabit berkata,
“Ketika Ali bin Husain meninggal dunia, orang-orang
memandikannya dan melihat ada bekas kehitam-
hitaman di punggungnya. Mereka bertanya-tanya,
bekas apakah ini? Maka, ada sebagian yang menjawab,
‘Itu bekas dia memikul kantong gandum yang dia
bawa pada malam hari untuk diberikan kepada orang-
orang fakir Madinah’.”
Abu Hamzah Ats-Tsimali pun mengungkapkan,
“Salah satu kebiasaan Ali bin Husain adalah
memikul sekantong roti pada malam hari, lalu dia
menyedekahkannya. Kala itu, dia berkata, ‘Inna
shadaqatas-sirri tuthfi’u ghadhabar-Rabbi ‘Azza wa
Jalla. Sesungguhnya sedekah secara diam-diam dapat
memadamkan murka Allah Azza wa Jalla’.”
Maka, kita pun mendapati dalam salah satu bait
doanya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan
50
sampai Engkau perbagus penampilan lahiriahku di
hadapan semua orang, sementara Engkau perburuk
batinku.
Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat buruk
kepada-Mu, akan tetapi Engkau senantiasa berbuat
baik kepadaku. Maka, ketika aku kembali berbuat
buruk kepada-Mu, perlakukanlah diriku dengan
baik.” (Ibnu Al-Jauzi, Shifatus Shafwah)
51
pada Zuhur hari ini?”
“Itu kataku,” jawab Jibril. “Tetapi, ketika melewati
kalian, dia menyedekahkan tiga buah roti sehingga
Allah Ta’ala menjauhkan bala bencana darinya!”
Ternyata, di dalam bungkusan pakaian yang dia
bawa, ada seekor ular hitam berbisa. Takdirnya ular
tersebut akan mematuk dan membunuh si lelaki.
Namun, ketika dia menyedekahkan tiga buah roti,
Allah Ta’ala menolak bala darinya. Saat dia membuka
bungkusan pakaian, Allah Ta’ala mengunci mulut
sang ular sehingga dia tidak bisa mematuk. Akhirnya,
selamatlah orang ini dari kematian.
(Musthafa Syaikh Ibrahim Haqqi, Radd Al-Bala’ bi
Ash-Shadaqah)
52
Utsman bin ‘Affan ra. keluar dari masjid menuju
rumahnya. Saat itu, dia melewati seorang pemuda.
Pemuda ini kemudian berjalan mengikutinya.
Abdullah pun berkata, “Wahai anak muda, apakah
engkau ada urusan denganku?”
Jawab pemuda itu, “Tidak Tuan, saya berdoa
semoga Tuan memperoleh kehidupan yang baik dan
kejayaan yang abadi. Saya melihat Tuan berjalan
pada malam hari seorang diri. Saya pikir, sebaiknya
saya menemani Tuan sampai ke tempat tujuan. Saya
khawatir sesuatu yang kurang baik menimpa Tuan.
Saya hanya ingin menemani demi keamanan Tuan.”
Abdullah sangat senang mendengar kata-kata
anak muda itu. Dia memegang tangan si pemuda dan
membawanya ke rumah. Setibanya di rumah, Abdullah
memberinya seribu dinar emas dan berkata, “Ini
untuk keperluanmu, orangtuamu telah mengajarkan
akhlak yang sangat mulia kepadamu.” (Muhammad
Zakaria Al-Kandhalawi, Fadhilah Sedekah)
53
lagi amat dermawan. Abu Hanifah biasa berjualan
al-khazz (tenunan dari sutra dan wol) dan beragam
pakaian yang berasal dari bahan tersebut. Keuntungan
dari bisnisnya dia gunakan untuk memberi makan
fakir miskin, menolong orang yang kesusahan, dan
memenuhi kebutuhan para pencari ilmu.
Suatu hari, seorang kawan dekat datang ke
tokonya. Dia berkata, “Wahai Abu Hanifah, aku
membutuhkan pakaian dari al-khazz.” Dia lalu
menjelaskan spesifikasi barang yang diinginkannya.
Namun, saat itu barangnya tidak tersedia sehingga
Abu Hanifah meminta waktu untuk mencarinya.
Setelah seminggu, pakaian yang dipesan pun
berhasil didapatkan. Maka, saat kawannya lewat di
depan toko, Abu Hanifah langsung memanggil. “Aku
punya pakaian yang kamu pesan.”
Orang ini sangat gembira dan dia langsung
menanyakan harganya. “Berapa aku harus
membayarnya?”
“Satu dirham!” jawab Abu Hanifah.
Mendengar itu, kawannya bertanya dengan nada
keheranan, “Hanya satu dirham?” Abu Hanifah pun
mengiyakan.
54
“Aku tidak menyangka kalau engkau pandai
bergurau, wahai Abu Hanifah,” ujarnya kemudian.
“Aku tidak bergurau kawan. Sesungguhnya,
aku telah membeli pakaian ini dan lainnya seharga
20 dinar emas dan 1 dirham perak. Lalu, aku telah
menjual salah satunya seharga 20 dinar emas sehingga
(modal awalku) hanya kurang 1 dirham lagi. Dan, aku
tidak akan mengambil untung dari kawan dekatku
sendiri.”
(Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, Suwar Min Hayat
At-Tabi’in)
55
“Angkatlah sajadah ini dan ambillah apa yang ada di
bawahnya.”
Maka, orang ini pun menuruti apa yang dikatakan
Abu Hanifah. Dia angkat sajadahnya dan dia dapati
uang sebanyak 1000 dirham.
“Ambillah (uang itu) dan perbaiki penampilanmu,”
ujar Abu Hanifah.
Namun, sahabatnya ini menolak. Dia berkata,
“Aku termasuk orang yang berkecukupan. Sungguh,
Allah telah mengaruniakan nikmat-Nya kepadaku
sehingga aku tidak membutuhkan uang ini.”
Apa jawaban sang Imam? “Jika Allah telah
memberimu nikmat, lalu di manakah bekas dan
tanda kenikmatan itu? Tidakkah sampai kepadamu
bahwa Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah
senang melihat tanda kenikmatan (dari)-Nya kepada
hamba-Nya’ (HR At-Tirmidzi)
Selayaknya engkau memperbaiki penampilanmu
agar sahabatmu tidak bersedih melihatnya.”
(Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, Suwar Min Hayat
At-Tabi’in)
56
23. Rasa Lapar dan Kedermawanan
Ada seorang pemuda saleh, ahli shaum lagi dermawan
bernama Hatim Ath-Tha’i. Dia memiliki ayah yang
sangat kaya, akan tetapi pelit. Dia sangat tidak suka
melihat Hatim yang terlalu dermawan. Namun,
semakin dilarang, Hatim semakin bertambah pula
kedermawanannya.
Lalu, ada yang memberi saran kepada ayahnya
Hatim agar dia mengurung anaknya itu untuk sekian
waktu. Tujuannya agar dia jera dan “lupa” untuk
memberi lagi. Ayah Hatim pun melaksanakan nasihat
itu. Dia mengurung anaknya itu di rumah, setelah satu
bulan Hatim baru dilepaskan. Dia yakin kalau setelah
dikurung, Hatim tidak akan lagi banyak memberi.
Oleh karena itu, Hatim pun diberinya 200 ekor unta.
Namun, apa yang terjadi? Setelah unta-unta
itu ada di tangannya, Hatim langsung memanggil
semua penduduk kampung seraya berkata, ‘Siapa
mengambil unta di antara unta-unta ini dengan tali,
unta itu menjadi miliknya.” Maka, orang-orang pun
berbondong-bondong mengambil unta itu sehingga
habislah unta milik Hatim.
57
Hatim pun pulang ke rumah dengan perasaan
puas lagi bahagia. Dia lalu menceritakan apa yang
dilakukannya kepada sang ayah. Dengan nada putus
asa dan kecewa, ayahnya bertanya tentang mengapa
dia berani berbuat seperti itu? “Rasa lapar telah
mendorongku untuk tidak kikir dengan apa yang aku
miliki,” jawab Hatim. (Syaikh Abu Thalib Al Makki,
‘Ilm Al-Qulûb)
58
Sementara di sisi lain, Abdullah bin Ja’far terus
memperhatikan budak itu. Karena penasaran, dia
mendekat dan bertanya, “Hai anak muda, berapa
makananmu setiap hari?”
“Saya tidak tahu,” demikian jawabnya.
“Lalu, mengapa engkau memberikan makanan
tersebut kepada anjing itu?”
“Anjing ini bukan termasuk anjing-anjing yang
menjaga kebun kami. Anjing ini milik tetanggaku
yang rumahnya jauh di sana. Anjing ini datang
kepadaku dalam keadaan lapar dan memelas. Maka,
saya pun tidak tega untuk mengusirnya. Akhirnya,
saya berikan makanan untuknya,” ujar sang budak.
“Terus, hari ini kamu makan apa?” tanya Abdullah
bin Ja’far.
“Saya akan menahan lapar seharian ini karena
Allah!”
Ja’far pun terenyuh. Dalam hatinya dia berkata,
“Budak ini lebih dermawan daripada aku!”
Akhirnya, Abdullah bin Ja’far menemui si
empunya kebun dan membelinya beserta budak
itu dan semua pepohonan yang ada di dalamnya.
59
Dia kemudian memerdekakan budak tersebut dan
menghadiahkan perkebunan itu untuknya.
(Syaikh Abdul Hamid Al-Anquri, Munyah Al-Wâ’izhîn
wa Ghunyah Al-Mutta’izhzhîn [Nasihat Langit untuk
Maslahat di Bumi]).
60
Beliau berkata, “Bawalah kemari.”
Pada saat putranya pergi ke dapur, terdengar
seseorang mengetuk pintu.
Ar-Rabi’ pun berkata, “Suruhlah dia masuk!”
Ternyata, orang yang mengetuk pintu adalah
seorang tua yang kotor. Dia berpakaian compang-
camping. Air liurnya belepotan ke sana kemari.
Tampak jelas dari wajah dan penampilannya kalau
orang tua ini “kurang sehat”.
Al-Hilal (muridnya Ar-Rabi’) berkata, “Saya terus
memperhatikan apa yang terjadi. Kemudian masuklah
putra Syaikh Ar-Rabi’ membawa halwah di tangannya.
Ayahnya langsung mengisyaratkan agar makanan lezat
itu diberikan kepada pengemis yang kurang waras.
Roti itu diletakkan di tangan orang tua tersebut.
Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan
lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang
dimakan. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.”
Saat melihat sepiring penuh halwa itu habis, putra
Syaikh Ar-Rabi’ ini pun berkata dengan nada kecewa,
“Semoga Allah merahmati Ayah. Sungguh, Ibu telah
bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah.
Kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya.
61
Namun, tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang
linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.”
Putra Ar-Rabi’ berpandangan bahwa untuk
seorang yang kurang waras, cukuplah bagi ayahnya
untuk memberikan makanan sederhana yang ada
di dapur. Atau, andaikan harus memberikan halwa
(makanan terenak waktu itu, yang bahannya mahal
dan susah dibuatnya), cukuplah untuk memberikan
sepotong saja dan tidak semuanya.
Namun, apa jawaban ulama besar ini? “Wahai
putraku, jika dia tahu, maka sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla Mahatahu.”
Kemudian, beliau membaca firman Allah dalam Al-
Quran, “Engkau sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian
(yang sempurna), sebelum engkau menafkahkan sebagian
harta yang kau cintai.” (QS Ali ‘Imrân, 3:92)
(Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Suwar Min Hayat At-
Tabi’in).
62
63
64
65