Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Kedokteran Syiah Kuala ISSN: 1412-1026

JKS Edisi Khusus Oktober 2022 E-ISSN: 25500112

Recurrent pelvic organ prolaps after surgery


1
Roziana, 2Novia Nurul Fathanah

Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
2
Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
E-mail: roziana@unsyiah.ac.id

Abstrak. Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ panggul kedalam liang vagina hingga keluar dari
introitus vagina. Organ panggul yang dapat mengalami prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria
dan rektum. Penatalaksanaan prolaps organ panggul terdiri pencegahan, konservatif dan operatif. Penaganan
operatif/bedah telah diteliti memiliki dampak jangka panjang yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas
hidup. Namun jumlah rekurensi dan reoperasi setelah manajemen operatif masih dapat terjadi. Istilah
“recurrent‟ merujuk pada “kegagalan‟ dari operasi sebelumnya yang dapat bersifat objektif dan atau subjektif.
Recurrent pelvic organ prolapse after surgery didefinisikan sebagai terjadinya kekambuhan secara anatomis.
Terjadinya rekurensi pasca operasi dikaitkan dengan pemilihan prosedur operasi, kepatuhan pasien pasca
operasi, pasien POP stadium lanjut, dan keahlian operator, komorbiditas seperti penyakit paru obstruktif kronik
(COPD), sembelit kronis, kembali dilakukannya aktivitas fisik berat seperti angkat berat, dapat meningkat risiko
kekambuhan.

Kata Kunci: Recurrent pelvic organ prolapse, Prolaps Organ Panggul (POP), Manajemen operatif

Abstract.Pelvic organ prolapse (POP) is the descent of the pelvic organs into the vaginal canal until they
emerge from the vaginal introitus. The pelvic organs that can prolapse are the uterus, vaginal vault, bladder and
rectum. Management of pelvic organ prolapse consists of prevention, conservative and operative. Surgical
management has been shown to have a better long-term impact on improving quality of life. However, the
number of recurrences and reoperations after operative management can still occur. The term “recurrent” refers
to the “failure” of the previous operation which can be objective and/or subjective. Recurrent pelvic organ
prolapse after surgery was defined as the occurrence of anatomical recurrence. The occurrence of postoperative
recurrence is associated with the choice of surgical procedure, postoperative patient compliance, advanced POP
patients, and operator expertise, comorbidities such as chronic obstructive pulmonary disease (COPD), chronic
constipation, return to strenuous physical activity such as heavy lifting, can increase the risk of recurrence

.Keywords: Recurrent pelvic organ prolapse, Pelvic Organ Prolapse (POP), Operative management.

Pendahuluan

Peningkatan secara gradual usia harapan hidup di negara-negara berkembang beberapa tahun terakhir, para
dokter khususnya ahli Obstetri dan Ginekologi diharapkan dapat mengenal lebih dalam terkait penyakit-
penyakit yang sering dialami oleh pasien lanjut usia. Pelvic Organ Prolapse/Prolaps Organ Panggul (POP)
merupakan salah satu penyakit yang sering dialami oleh banyak wanita dewasa saat ini. Prolaps organ panggul
merupakan salah satu bentuk disfungsi dasar panggul pada perempuan. Disfungsi dasar panggul itu sendiri
merupakan keadaan terganggunya fungsi dasar panggul, adalah salah satu kondisi kesehatan yang banyak
dikeluhkan oleh perempuan.1

Pelvic Organ Prolapse (POP) yang terjadi akibat kelemahan struktur penyokong dasar panggul dapat
menyebabkan penurunan dinding vagina, uterus, kandung kemih, uretra, rektum, maupun usus ke vagina.
Meskipun tidak menyebabkan kematian, keadaan ini berpotensi menurunkan kualitas hidup perempuan.2

Pilihan terapi yang ada meliputi observasi, manajemen non-operatif, dan manajemen operatif. Saat ini teknik
pembedahan untuk menangani POP telah banyak dikembangkan oleh para ahli baik pervaginam,
perabdominal maupun teknik laparoskopi. Penelitian-penelitian yang predominan berbentuk retrospektif
memperlihatkan rentang efektivitas yang luas dari terapi operasi untuk prolaps pada ujung vagina. Rentang
Roziana at al.- Recurrent Pelvic Organ Prolaps After Surgery

rata-rata kegagalan dari 0-20%untuk setiap tipe prosedur yang dikerjakan (sacrospinous ligament fixation,
uterosacral ligament suspension, endopelvic fascia suspension melaui pendekatan vaginal atau abdominal
sacral colpopexy dengan operasi terbuka atau laparotomi. Keuntungan yang dihasilkan dari abdominal sacral
colpopexy lebih baik daripada pendekatan vagina. Review beberapa penelitian kasus dari uterosacral
ligament suspension memperlihatkan kekambuhan prolaps pada pasien antara 4-18% sesudah follow-up
jangka pendek (sampai 4 tahun). Pada satu penelitian dengan sampel 168 wanita, 11 (6,5%) mengalami
kekambuhan saat dilakukan follow-up antara 6 bulan sampai 3 tahun. Pada 72 wanita tersebut dilakukan
monitor selama rata-rata 5,1 tahun (range, 3,5-7,5 tahun), 11 (15,3%) mengalami kekambuhan prolaps
simptomatik stadium II atau lebih.2,3

Di negara maju seperti Amerika Serikat terdapat sebanyak 200.000 operasi POPdilakukan per tahun dengan
jumlah kasus operasi ulang atas indikasi rekurensi mencapai 30%. Tidak ada definisi yang pasti untuk
recurrent pelvic organ prolapse. Istilah „recurrent‟merujuk pada „kegagalan‟ dari operasi sebelumnya yang
dapat bersifat objektif dan atau subjektif. Perbedaan ini dapat memberikan tingkat kegagalan yang berbeda
pada pasien yang sama. Penting bagi klinisi untuk melihat kecenderungan pasien yang memiliki
kemungkinan kekambuhan yang lebih tinggi setelah operasi untuk menentukan tatalaksana dan pencegahan
secara individual. Masih sedikit faktor-faktor yang terkait dengan kegagalan bedah. Kita dapat berasumsi
bahwa faktor-faktor yang berperan peran dalam pencetus rekurensi prolaps juga bisa berperan. Faktor lain
yang dapat berpengaruh seperti tingkat prolaps pra-operasi, jenis operasi, pengalaman ahli bedah dan
komplikasi pasca operasi. 4,5

Oleh karena itu, dokter seharusnya mempertimbangkan secara hati-hati resiko pada setiap pasien mengenai
kemungkinan komplikasi dan kekambuhan prolaps serta keinginan pasien, padasaat membuat rekomendasi
untuk mengerjakan tindakan operatif.2

Pembahasan

Prolapse (Latin: Prolapsus – “tergelincir keluar”) mengacu pada kata jatuh, tergelincir atau perpindahan kearah
bawah bagian dari organ. Organ panggul mengacu pada rahim dan/atau kompartemen vagina dan organ
sekitarnya seperti kandung kemih, rektum atau usus. Oleh karena itu Prolaps organ panggul (POP) juga
berkaitan dengan perubahan anatomi. Diagnosis POP idealnya menuntut bukti klinis yang jelas, dimana
tentunya seorang wanita yang memiliki gejala yang berhubungan dengan: "pergeseran ke bawah" dari organ
panggul.4

Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ panggul kedalam liang vagina hingga keluar dari introitus
vagina. Organ panggul yang dapat mengalami prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria dan
rektum. Proses ini berlangsung secara perlahan dalam kurun waktu yang lama. POP tidak mengancam nyawa
tetapi mengganggu kualitas hidup penderitanya.

POP merujuk pada disfungsi dinding pelvis global, yang melibatkan kompartemen anterior, apikal/sentral, dan
posterior. Penyakit ini dialami oleh hampir 50% dari seluruh perempuan, namun hanya 10-20% yang berobat
ke fasilitas kesehatan karena keluhan-keluhan terkait POP.1

POP merupakan penyakit yang tidak mengancam nyawa tetapi mengganggu kualitas hidup penderitanya dan
diperlukannya operasi yang berulangkali dan mahal untuk memperbaiki kualitas organ panggul penderita.
Sehingga pencegahan sangat penting untuk penyakit POP.6

Gejala yang dapat dirasakan oleh penderita POP yaitu adanya sensasi tertarik di daerah vagina atau punggung
belakang, terabanya tonjolan di vagina atau keluar dari vagina, mengeluhkan gejala pada sistem saluran kemih
dan saluran pencernaan, serta munculnya perasaan tidak nyaman saat berhubungan seksual

Epidemiologi
Insidensi dan prevalensi POP di suatu daerah atau komunitas ras tertentu dapat berbeda, hal tersebut
disebabkan perbedaan interaksi dinamis berbagai faktor risiko disertai pengaruh perbedaan ras.7

Prolaps organ panggul merupakan masalah kesehatan umum yang terjadi hampir 50% wanita yang pernah
melahirkan. Akan teteapi hanya 5-20% wanita yang mengalami gejala. Sekitar 30% wanita berusia antara 20-
59 tahun dan lebih dari setengah wanita berusia diatas 50 tahun mendatangi klinik . Resiko seumur hidup
seorang wanita untuk operasi POP diperkirakan 19% dan resiko operasi ulang dan terjadinya rekurensi adalah
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 22 (2): -, September 2022

30%. Perempuan umumnya jarang melaporkan karena menganggap keluhan tersebut terjadi karena faktor
usia.2

Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 300.000 kasus pembedahan untuk prolaps pertahunnya (22,7 per 10.000
wanita) dengan 25% diantaranya harus menjalani re-operasi. Dirumah sakit Dr Soetomo dilaporkan terdapat
200 kasus POP dari tahun 2013 hingga 2016 dengan 38,8% diantaranya berusia 60-69 tahun.8

Klasifikasi

Klasifikasi prolaps organ panggul dikembangkan beberapa sistem. International Continence Society (ICS)
mendefinisikan pertama kali Pelvic Organ Prolapse Quantification (POPQ) sebagai cara menentukan derajat
beratnya prolaps organ panggul. Pengukuran ini memuat serangkaian pengukuran spesifik struktur penyokong
dasar panggul dengan acuan selaput dara (hymen).Untuk keperluan praktik klinis dan penelitian, sistem Pelvic
Organ ProlapseQuantification (POP-Q) lebih dipilih dibandingkan dengan system Baden-Walker. Derajat
sistem POP-Q didasarkan pada penurunan maksimal dari prolaps relatif terhadap hymen pada 1 atau lebih
kompartemen.9

Pencatatan hasil pengukuran komponen POP-Q secara mudah dan sederhana tabel tiga kali tiga yang
selanjutnya diterjemahkan ke dalam stadium dari 0 sampai 4.

Gambar 1. Tabel tiga kali tiga untuk mencatat dekripsi kuantitatif dari penyokong organ panggul dalam sistem
POP-Q

1. Stadium 0: tidak ada prolaps. Titik Aa, Ap, Ba dan Bp terletak pada -3 cm dan titik C atau D berada ≤ -
(tvl – 2) cm.
2. Stadium I: kriteria pada stadium 0 tidak terpenuhi, tetapi bagian paling distal dariprolaps berada > 1 cm di
atas bidang himen (< -1 cm).
3. Stadium II: bagian paling distal dari prolaps berada ≤ 1 cm proksimal atau distal dari bidang himen (≥ -1
tetapi ≤ +1 cm).
4. Stadium III: bagian paling distal dari prolaps berada > 1 cm di bawah bidang himen tetapi protrusi tidak
lebih 2 cm kurangnya dari panjang total vagina dalam sentimeter (> +1 cm tetapi < +[tvl-2] cm).
5. Stadium IV: tampak jelas eversi total panjang total dari traktus genitalia bagian

Etiopatogenesis
Penyokong utama viseral panggul terdiri atas kompleks otot levator ani danjaringan ikat pelekat organ-organ
panggul (fasia endopelvic). Kerusakan atau disfungsi dari satu atau kedua komponen ini dapat menyebabkan
terjadinya POP. Kompleks otot levator ani berkontraksi dengan kuat saat istirahat dan menutupi hiatus
genitalis serta memberikan dasar yang stabil untuk viseral panggul. Penurunan tonus otot levator ani yang
disebabkan oleh denervasi atau kerusakan otot secara langsung menimbulkan pembukaan hiatus genitalis,
kelemahan levator plate dan pembentukan konfigurasi seperti mangkok. Defek yang nyata pada daerah
puboviceral dan iliococcygeal darikompleks otot levator ani sesudah melahirkan pervaginam terjadi pada 20%
wanita primipara dengan pemeriksaan MRI, sedangkan pada wanita nulipara tidak terjadi. Hal ini
membuktikan bahwa 6 melahirkan pervaginam berkontribusi untuk terjadinya POP melalui cedera pada otot
levator ani.11

Cedera neuropati dari otot levator ani juga dapat disebabkan oleh melahirkan pervaginam. Wanita yang pernah
Roziana at al.- Recurrent Pelvic Organ Prolaps After Surgery

melahirkan pervaginam memiliki resiko lebih tinggi mengalami defek neuropati dibandingkan dengan yang
melahirkan melalui seksio sesariatanpa cedera. Mengedan terlalu sering saat BAB juga dihubungkan dengan
denervasi otototot panggul. Mengedan berlebihan dapat menyebabkan cedera peregangan saraf pudendal
sehingga menimbulkan neuropati.11

Fasia endopelvic merupakan jaringan ikat yang membungkus semua organ- organ panggul dan
menghubungkannya dengan otot-otot penyokong dan tulang-tulang panggul. Jaringan ikat ini menahan vagina
dan uterus pada posisi normalnya sehingga memungkinkan pergerakan visceral untuk menyimpan urin dan
feses, berhubungan seksual, melahirkan, dan BAB. Kerusakan atau peregangan jaringan ikat ini terjadi
padasaat melahirkan pervaginam atau histerektomi, dengan mengedan terlalu sering atau dengan proses
penuaan normal. Bukti tentang abnormalitas jaringan ikat dan proses perbaikannya pasca cedera menjadi
faktor predisposisi beberapa wanita mengalami POP. Wanita yang mengalami POP dapat menunjukkan
adanya perubahan metabolisme kolagen, meliputi penurunan kolagen tipe I dan peningkatan kolagen tipe II.2,11

Faktor resiko

Beberapa faktor risiko klinis sudah diketahui, antara lain usia, pasca menopause, persalinan per
vaginam, trauma pada persalinan, dan keadaan klinis yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal
menahun. Beberapa faktor lain diduga berpengaruh, yaitu genetik, merokok, defisiensi estrogen, dan juga
penyakit kelainan kolagen.7

Usia, paritas, dan status menopause mempunyai kaitan dengan tahapan pada POP. Usia pascamenopause
mempunyai total kadar kolagen yang kurang, penurunan kelarutan kolagen, serta peningkatan pergantian
kolagen, keadaan tersebut berkontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan POP bila dibandingkan dengan
usia reproduktif. estradiol serum dan kadar reseptor estrogen (ER) di ligamen sakrouterina jauh lebih rendah
pada POP usia premenopause dibandingkan dengan kelompok kontrol. Olehkarena itu, kekurangan estrogen
dan reseptornya mungkin berperan di dalam POP premenopause.7

Tatalaksana POP
Tata laksana prolaps organ panggul ada 3 yaitu pencegahan, konservatif dan operatif. Indikasi untuk
melakukan operasi prolaps organ panggul tergantung dari beberapa faktor seperti umur penderita,
keinginannya untuk masih mendapatkan anak atau untuk mempertahankan uterus, tingkat prolapsus dan jenis
keluhan.11

1. Latihan Otot dasar panggul


Latihan otot dasar panggul dikerjakan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otototot panggul sehingga
memperbaiki penyokongan terhadap organ panggul. Bukti secara langsung bahwa latihan otot dasar panggul
dapat mencegah atau mengobati prolaps belum terbukti, Penguatan otot panggul sering mengurangi gejala
akibat penekanan panggul yang sering menyertai prolaps. Namun pada kasus POP derajat berat latihan otot
dasar panggul tidak direkomendasikan karena harus dilakukan tatalaksana operatif yang advance.12

2. Penggunaan Pessarium
Indikasi terapi menggunakan pesarium meliputi kehamilan dan kontraindikasi medis khusus untuk melakukan
operasi pada pasien tua dan lemah. Pesarium juga dapatdigunakan pada semua keadaan dimana pasien memilih
untuk tidak operasi. Pesarium dapat disesuaikan pada setiap pasien yang mengalami POP tanpa
memperhatikan stadium atau tempat predominan terjadinya prolaps. Pesarium digunakan oleh hampir 75%
Urogynecologist sebagai terapi lini pertama untuk prolaps.

Namun pada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo tahun 2018 didapatkan bahwa proporsi
kejadian kandidiasis vulvovaginalis (KVV) pada pasien POP yang terpasang pesarium lebih besar
dibandingkan dengan pasien POP yang tidak terpasang pesarium, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara pemasangan pesarium pada prolaps organ panggul dengan kejadian KVV.13

3. Manajemen operatif
Penaganan operatif/bedah telah diteliti memiliki dampak jangka panjang yang lebih baik dalam meningkatkan
kualitas hidup wanita. Prosedur penanganan operatif bervariasi sesuai kompartmen atau organ-organ yang
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 22 (2): -, September 2022

mengalami prolaps.14

Pada kasus prolaps uteri dapat dilakukan histrektomi total, pada kasus prolapse puncak vagina pasca
histrektomi dapat berupa colpopexy sacral abdominal dan suspensi transvaginal untuk fiksasi ligamen
sacrospinous, ligamen uterosacral dan otot atau fasia iliokoksigeus. Pada wanita yang memiliko risiko
komplikasi operasi atau anestesi yang dikontraindikasikan untuk operasi, maka penatalaksanaan nonbedah
menjadi pilihan utama dan kolpokleisis (kolpektomi) dapat ditawarkan. Pada wanita yang memilih
penatalaksanaan bedah namun menginginkan preservasi uterus dapat dilakukan prosedur fiksasi ligament
sakrospinosus atau uterosakral, atau dilakukan histeropexy per abdominal tanpa dilakukan histerektomi.2,14

Pada kasus prolapse anterior (sistokel) dapat ditatalaksana dengan kolporafi anterior tradisonal dengan atau
tanpa menambahan jaring sintetik (mesh) atau materi tandur (graft). Prolaps posterior (rektokel) ditatalaksana
dengan menggunakan kolporafi posterior, dengan plikasi garis tengah (mid-line) jaringan vagina
subepitel.14,15

Recurrent Pelvic Organ Prolapse After Surgery

Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 300.000 kasus pembedahan untuk prolaps pertahunnya (22,7 per 10.000
wanita) dengan 25% diantaranya harus menjalani re- operasi.Resiko seumur hidup seorang wanita untuk
operasi POP diperkirakan 19% dan resiko operasi ulang dan terjadinya rekurensi adalah 30%. 2,3

Menurut International Journal of Women‟s Health hanya 6,3%-19% kemungkinanseseorang yang berusia 80
tahun untuk melakukan sekali saja operasi dalam seumur hidupnya dan 43%-58% diperlukannya operasi
kembali setelah operasi rekontruksi utama panggul.16

Tidak ada definisi yang pasti untuk recurrent pelvic organ prolapse.Istilah “recurrent” merujuk pada
“kegagalan” dari operasi sebelumnya yang dapat bersifat objektif dan atau subjektif. Perbedaan ini dapat
memberikan tingkat kegagalan yang berbeda pada pasien yang sama. Penting bagi klinisi untuk melihat
kecenderungan pasien yang memiliki kemungkinan kekambuhan yang lebih tinggi setelah operasi untuk
menentukan tatalaksana dan pencegahan secara individual. Masih sedikit faktor-faktor yang terkait dengan
kegagalan bedah. Kita dapat berasumsi bahwa faktor-faktor yang berperan peran dalam pencetus rekurensi
prolaps juga bisa berperan. Faktor lain yang dapat berpengaruh seperti tingkat prolaps pra-operasi, jenis operasi,
pengalaman ahli bedah dan komplikasi pasca operasi.8, 17

Recurrent pelvic organ prolapse after surgery adalah suatu hal yang sulit dan rumit. Pertama, tidak
didefinisikan dengan baik apa itu keberhasilan atau kegagalan setelah dilakukan operasi prolaps. Dalam
banyak kasus, telah didefinisikan kegagalan prolaps adalah terjadinya kekambuhan secara anatomis. Telah
dijelaskan bahwa ada korelasi yang buruk antara kekambuhan prolaps anatomis dan gejala terkait prolaps
karena sebagian wanita tidak merasakann adanya rekurensi pasca operasi atau hal ini kadang bersifat
asimtomatik sehingga manajemen operasi berulang masih harus dipertimbangkan kembali. Klinisi harus dapat
meninjau rekurensi POP pasca operasi yang terjadi terlihat secara anatomis dan simtomatik.5,8

Faktor lain yang berkaitan dengan terjadinya rekurensi POP adalah Cedera levator avulsi, kelemahan otot
levator ani, pembesaran hiatus genital, POP stadium lanjut (≥POP- Q stadium 3) dan riwayat keluarga POP
pada saat operasi primer merupakan faktor risiko independen untuk POP berulang.8

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menjalani perbaikan pada usia yang lebih muda
(<60 tahun) atau usia yang lebih tua dianggap berisiko tinggi terhadap kekambuhan. usia muda mungkin
mencerminkan kecenderungan cedera otot, saraf dan fasia yang lebih besar. Faktor risiko lainnya termasuk
komorbiditas, seperti penyakit paru obstruktif kronik (COPD), sembelit kronis, kembali dilakukannya aktivitas
fisik berat seperti angkat berat, dapat meningkat risiko kekambuhan.4,8,17

Dalam melakukan manajemen POP rekuren, preferensi pasien, rencana kesuburan masa depan, keadaan rumah
tangga, dan keadaan daerah dalam melakukan operasi dipertimbangkan dalam memutuskan manajemen.
Misalnya menunda operasi sampai pasien menurunkan berat badan atau menawarkan operasi pada usia yang
lebih muda akan menyebabkan lebih sedikit kekambuhan.

Adanya bukti ilmiah dan evidence based yang sedikit dalam semua aspeknya, termasuk definisi, faktor risiko
dan pencegahan rekurensi. Dalam sebuah studi dinyatakan bahwa rekurensi prolaps organ panggul anterior
Roziana at al.- Recurrent Pelvic Organ Prolaps After Surgery

lebih sering terjadi.8

Kesimpulan
Pelvis Organ Prolapse panggul kedalam liang vagina hingga keluar dari introitus vagina. Organ panggul
yang dapat mengalami prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria dan rektum yang mana
proses ini berlangsung secara progresif dan lama. Istilah

“recurrent‟ merujuk pada “kegagalan” dari operasi sebelumnya yang dapat bersifat objektif dan atau
subjektif. Perbedaan ini dapat memberikan tingkat kegagalan yang berbeda pada pasien yang sama. Penting
bagi klinisi untuk melihat kecenderungan pasien yang memiliki kemungkinan kekambuhan yang lebih tinggi
setelah operasi untuk menentukan tatalaksana dan pencegahan secara individual. Prolaps organ panggul
(POP) adalah turunnya organ panggul kedalam liang vagina hingga keluar dari introitus vagina. Organ
panggul yang dapatmengalami prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria dan rektum yang mana
proses ini berlangsung secara progresif dan lama.

Rekurensi POP umumnya terjadi dimana hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dengan pemilihan
prosedur operasi, kepatuhan pasien pasca operasi, pasien POP stadium lanjut, dan keahlian operator,
komorbiditas seperti penyakit paru obstruktif kronik (COPD), sembelit kronis, kembali dilakukannya
aktivitas fisik berat seperti angkat berat, dapat meningkat risiko kekambuhan. Prevalensi Recurrent Pelvis
Organ Prolapse after surgery masih sering terjadi, oleh karena itu penting bagi klinisi untuk mengeetahui
hal-hal yang berhubungan dengan kekambuhan POP.

Daftar Pustaka

1. (POGI). HUI (HUGI) – PO dan G. Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul. In Jakarta:
HUGI-POGI.; 2013.
2. Mardiyan E, Dkk. Buku Praktis Uroginekologi Seri Prolaps Organ Panggul. In: Praton H, editor.
Surabaya: Airlangga University Press; 2021.
3. Nuring P, dkk. Gambaran Faktor Risiko Prolaps Organ Panggul Pasca Persalinan Vaginal di Daerah
Istimewa Yogyakarta Risk Factors for Pelvic Organ Prolapse in Women with History of Vaginal
Delivery in Yogyakarta. 2018;50(1):102–8.
4. Haylen BT, Maher CF, Barber MD, Camargo S, Dandolu V, Digesu A, et al. An International
Urogynecological Association (IUGA) / International Continence Society (ICS) Joint Report on the
Terminology for Female Pelvic Organ Prolapse (POP). Neurourol Urodyn. 2016; 35(2):137–68.
5. Diez-Itza I, Aizpitarte I, Becerro A. Risk factors for the recurrence of pelvic organ prolapse after
vaginal surgery: A review at 5 years after surgery. Int Urogynecol J.2007; 18(11):1317–24.
6. Triharsadi R, Anggraini MA, Punarbawa GM, Danianto A. Prolaps Organ Panggul Multipel pada Wanita
Multipara: Sebuah Laporan Kasus. J Kedokt. 202;10 (2):456–9.
7. Purwara BH. Faktor Risiko Penderita Prolapsus Organ Panggul terhadap Hiatus Genitalis,
Panjang Total Vagina, dan Perineal Body. Maj Kedokt Bandung. 2014; 46(1):57–60.
8. Ismail S, Duckett J, Rizk D, Sorinola O. Recurrent pelvic organ prolapse : International
Urogynecological Association Research and Development Committee opinion. Int Urogynecol J
[Internet]. 2016; 1619–32. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s00192-016-3076-7
9. Lisa L. PERBANDINGAN UKURAN KOMPONEN POP-Q WANITA MULTIPARA DAN
NULLIPARA. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013.
10. Persu C, Chapple CR, Cauni V, Gutue S, Geavlete P. Pelvic Organ Prolapse Quantification System
(POP-Q) - a new era in pelvic prolapse staging. J Med Life.2011; 4(1):75–81.
11. Ketut Y mira, Gede M putra. Prolaps organ panggul. 2015; 1–27.
12. Tanti AK, Rudy H. Perbandingan Hasil Aplikasi TENS dan Latihan Volunter terhadapKemampuan dan
Durasi Kontraksi Maksimal Otot Dasar Panggul pada Wanita Lansia.2016; 1(April):109–14.
13. Hidayati N, Kurniawati EM, Studi P, Bidan P, Kedokteran F, Surabaya UA, et al. Association
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 22 (2): -, September 2022

Between Pesarium Installation and Vulvovaginal Candidiasis Incident.2021;5(1):53–62.


14. Wibisono JJ. Prolaps Organ Panggul. Medicinus. 2017;7(1):27–32.
15. Ruess E, Roovers JP, Jeffery S. Management of recurrent pelvic organ prolapse aftersacrocolpopexy.
A video case series. Int Urogynecol J. 2020;31(7):1483–5.
16. Dällenbach P. To mesh or not to mesh: A review of pelvic organ reconstructive surgery. Int J
Womens Health. 2015;7:331–43.
17. Bagus I, Fajar G. Tingkat pengetahuan tentang prolaps organ panggul pada perempuan yang
berolahraga gym di tempat gym khusus perempuan wilayah Denpasar Selatan tahun 2017.
2018;9(3):85–91.

Anda mungkin juga menyukai