Anda di halaman 1dari 14

Gerakan “Girl Boss”: Memperkuat atau Mengganggu Fenomena

Perempuan Mandiri?

Fenomena gerakan girl boss pertama disebutkan oleh Sophia Amoruso, seorang
pebisnis Amerika, pada tahun 2014 sebagai judul bukunya #Girlboss, untuk
menggambarkan para perempuan yang aktif pada dunia bisnis dan kewirausahaan.
Meski frasa girl boss memiliki kata boss atau seorang pemimpin dengan konotasi
orang yang kerap memberi perintah, gerakan girl boss lebih dari sekadar
menggambarkan seorang pemimpin perempuan yang menyuruh-nyuruh bawahannya.
Seorang girl boss sadar akan makna dan harga dirinya, kritis dan memiliki kemauan
kuat untuk mencapai tujuan pribadi, menyadari kelemahan dan kesalahan pribadi
serta menonjolkan kelebihan diri (Amoruso, 2014). Seiring waktu berlalu, frasa girl
boss telah melewati berbagai perubahan dan penyesuaian konotasi sampai pada
akhirnya di masa kini seorang girl boss secara kultural dikonotasikan dengan seorang
wanita yang sukses, memiliki kehidupan yang sempurna, dan seperti definisi
Amoruso, mampu mencapai tujuan apa pun yang diinginkan (Austin, 2021; Aries,
2019; Amoruso, 2014).

Selain kehidupan yang sempurna, pada definisi aslinya, seorang girl boss lekat pula
dengan konotasi bisnis, berdasarkan Amoruso. Pada masa kini, perempuan di dunia
kerja sudah merupakan suatu hal yang lazim adanya. Badan Pusat Statistik melalui
Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) menunjukkan bahwa pada 2021, 36.2%
dari tenaga kerja formal merupakan perempuan, angka yang merupakan peningkatan
dari data tahun 2020 pada 34.65%. Akan tetapi, bukan hanya perempuan di
ketenagakerjaan, seorang girlboss merupakan seorang pemimpin (Martin, 2022).

Definisi pemimpin dipenuhi oleh sifat-sifat yang dianggap maskulin secara kultural;
seperti dominan, mandiri, blak-blakan, dan sebagainya (Prigent, 2011; Radovic et al.,
2013). Sifat-sifat yang memiliki konotasi feminin cenderung dianggap tidak cocok
sebagai pemimpin, seperti lembut, sensitif, dan mudah setuju. Selain itu, sifat-sifat
tersebut pun cenderung menghadapi standar ganda; sebagai contoh, seorang
perempuan yang bersifat tegas akan dianggap galak ketika laki-laki tegas dianggap
bertanggung jawab (Alqahtani, 2019; Manfredi et al., 2019). Gerakan girl boss
bertujuan untuk menunjukkan femininitas dari kepemimpinan dan sikap asertif (Im,
2020). Page (2021) mengemukakan bahwa sikap feminin yang dimiliki oleh seorang
pemimpin sukses antara lain merupakan sikap autentik, kemampuan untuk menjadi
seorang mentor dan menerima mentoring dari orang lain, kerendahan hati, empati,
rasa ingin tahu, dan kemampuan mengatasi keraguan akan diri sendiri. Paembonan &
Vida (2019) menemukan bahwa gaya pengarahan dan kepemimpinan yang feminin
secara konotatif malah memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan sudut
pandang maskulin terhadap kepemimpinan.

Di Indonesia, perempuan dalam posisi kepemimpinan secara keseluruhan masih


dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim walau makin meningkat dalam kuantitas
frekuensi dari tahun ke tahun (Badan Pusat Statistik, 2019). Mangunsong (2009)
mengemukakan bahwa kepemimpinan perempuan dan standar yang diberikan untuk
tindakan-tindakan seorang pemimpin perempuan berdasar kepada kacamata laki-laki,
seperti penemuan Prigent (2011) dan Radovic et al. (2013) yang menyatakan bahwa
sifat-sifat yang maskulin secara konotatif lebih diasosiasikan dengan kepemimpinan.
Fitriani (2015) menemukan bahwa terdapat anggapan bahwa perbedaan biologis di
antara laki-laki dan perempuan memengaruhi kemampuan kepemimpinan. Akan
tetapi, Sahban (2016) menyatakan bahwa karakter seorang pemimpin berdasar kepada
sifat-sifat yang netral secara gender, yakni kemampuan untuk mengarahkan orang lain
untuk mencapai suatu misi yang kuat.

Secara kuantitatif, jumlah perempuan dalam posisi kepemimpinan pun masih sedikit
(Mangunsong, 2009; Sahban, 2016). Pada 2021 di Indonesia, persentase jabatan
senior yang ditempati oleh perempuan berada pada angka 23%, yang jika
dibandingkan bahkan tidak mencapai setengah dari persentase di negara tetangga,
Thailand, pada 53% (Page, 2021). Walau perempuan dalam ketenagakerjaan makin
lazim dewasa ini, perempuan dalam kepemimpinan masih dapat dikatakan langka
karena masalah kultural seperti anggapan bahwa perempuan tidak cocok menjadi
pemimpin dan struktural seperti keengganan untuk menggaji perempuan secara besar
dengan kekhawatiran berkurangnya kualitas kinerja akibat terbaginya atensi ke
keluarga (Mangunsong, 2009; Fitriani, 2015; Sahban, 2016). Tidak ada salahnya
seorang perempuan memiliki posisi pemimpin, terbukti dari sudut pandang biologis
tidak terdapat perbedaan yang menghambat perempuan untuk memimpin. Akan
tetapi, faktor lingkungan dan kultur seakan menghalangi perempuan dengan berbagai
alasan, dari peran sosial yang diharapkan sampai standar ganda yang diberikan.
Apakah gerakan girl boss merupakan jawaban?

Gerakan girl boss bertujuan untuk menekankan perempuan mandiri dalam dunia
kepemimpinan dan bisnis, yang terdengar seperti suatu hal yang memberdayakan
perempuan. Akan tetapi, apakah kemandirian yang disorot oleh gerakan girl boss
benar-benar berdampak positif? Gerakan girl boss sendirinya sudah merupakan suatu
gerakan yang menuai berbagai kontroversi (Maguire, 2020), mulai dari perempuan
yang dianggap tidak cocok sebagai pemimpin, kemandirian yang bersifat merusak,
sampai berbagai dampak terhadap kesehatan mental yang muncul dari menjadi
seorang girl boss. Esai ini akan menyelisik berbagai dampak dari gerakan girl boss
dan berbagai atribut yang dibawanya.

Meski kontroversial, gerakan girl boss memiliki beberapa dampak positif. Pertama,
dalam aspek kultural, gerakan girl boss memotivasi dan menginspirasi perempuan
untuk mengambil jabatan pemimpin dan bersikap mandiri, serta aktif di bidang
akademik untuk lebih lanjut memperluas penelitian terkait perempuan yang selama
ini kurang direpresentasikan dalam artikel ilmiah (Klatch, 2019; Eagly, 2018).
Dengan semakin banyak perempuan memegang kepemimpinan dan menggeluti riset
di dunia ilmiah, perjuangan untuk kesetaraan dan hak-hak perempuan akan lebih
mudah. Misalnya, prevalensi perempuan di posisi pemimpin akan secara perlahan
mengubah persepsi pemimpin perempuan sebagai sesuatu yang lazim dan bukan
untuk dipandang sebelah mata.

Selain itu, persepsi sosial yang positif akan seorang girl boss seperti memiliki banyak
pencapaian, pemimpin yang cakap, mandiri; dapat meningkatkan self-efficacy atau
kepercayaan seorang individu akan kemampuan mereka untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan sehingga dapat memengaruhi proses dan hasil dari pekerjaan yang
dilakukan. Kepercayaan atau self-efficacy yang tinggi akan diri sendiri dapat
meningkatkan motivasi, meningkatkan prevalensi diambilnya tindakan-tindakan yang
dapat mendorong ke kesuksesan suatu pekerjaan, serta mengurangi kemungkinan
diambilnya tindakan yang dapat menghambat kinerja (Chong et al., 2018; Bandura,
2009; Abun et al., 2021).

Seorang girl boss dikatakan memiliki kemandirian yang tinggi. Akan tetapi, apakah
kemandirian itu? Kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan
berbagai hal untuk diri sendiri tanpa intervensi atau bergantung kepada orang lain
(Kemendikbud, 2016). Dalam konteks perempuan, kemandirian dapat secara spesifik
menggambarkan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri ketika suami atau sosok
laki-laki terdekat tidak memungkinkan, membuat keputusan sendiri terkait jalan
kehidupan tanpa mengikuti kemauan orang lain jika tidak sesuai, serta menjadi
seseorang yang paham dengan tujuan hidup pribadi dan teguh terhadap pendirian
(Chan, 2020; Srivastava, 2020; Chantler, 2006). Gerakan girl boss yang menekankan
bahwa seorang perempuan dapat menjadi apa pun yang diinginkan pada akhirnya
mendorong perempuan untuk memiliki sikap mandiri.

Sikap mandiri pada perempuan memiliki berbagai keuntungan. Keuntungan dalam


aspek struktural salah satu contohnya merupakan kemandirian finansial. Perempuan
yang memiliki ketergantungan finansial pada anggota keluarga seperti suami yang
melaksanakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) cenderung sulit untuk
menceraikan diri dan “bebas” dari kekerasan yang dihadapi, karena adanya
ketergantungan finansial; ditambah pemerintah dan organisasi sosial yang kurang
mendukung kasus-kasus tersebut (Kalmus & Strauss, 1982; Sukeri & Man, 2017),
seperti pada kasus Lady Diana dan Marilyn Monroe di mana kekerasan yang dihadapi
keduanya ditutupi dengan glamor dari masyarakat karena kurangnya dukungan
terhadap kedua tokoh perempuan tersebut.

Dalam aspek individual, kemandirian memiliki hubungan positif dengan resiliensi


(Bagheri et al., 2021). Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menghadapi
berbagai hambatan dan tekanan serta berkembang menjadi lebih baik dari hambatan
dan tekanan yang diberikan oleh lingkungan yang berhubungan dengan well-being
individu (Kotera et al., 2022). Well-being individu didefinisikan sebagai kepuasan dan
kebahagiaan individu terhadap hidupnya (Tov, 2018) sehingga dapat berdampak
positif terhadap kesehatan mental individu.

Meski memiliki berbagai dampak positif, gerakan girl boss jika tidak disikapi dengan
bijak dapat mengubah berbagai dampak positif tersebut menjadi negatif sampai
berkaitan dengan penurunan kesehatan mental perempuan yang dianggap sebagai
seorang girl boss yang mandiri dan resilien.

Kemandirian dan resiliensi yang diekspresikan dengan cara yang tidak sehat dapat
berdampak kepada burn out (Melville & Kuepper-Tetzel, 2021; Watson et al, 2019),
suatu fenomena yang mencakup aspek individual, kultural, dan struktural di saat
bersamaan. Burn out merupakan suatu fenomena kelelahan fisik dan emosional yang
berlebihan yang dapat berdampak kepada kinerja dalam pengerjaan tugas yang
diberikan (Swasti et al., 2018).

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi burn out pada perempuan. Faktor
kultural yang menyebabkan burn out pada perempuan memiliki kaitan erat dengan
ekspektasi peran sosial yang diambil perempuan, yakni sebagai ibu dan istri yang
berkeluarga dan hal tersebut dapat berdampak kepada burn out (Swasti, 2018;
Christin et al., 2022; Ratri, 2021). Faktor individu antara lain merupakan dorongan
untuk mengambil pekerjaan dan kemampuan untuk membagi waktu; di mana
perempuan cenderung harus bekerja lebih keras dan mengambil pekerjaan yang lebih
banyak untuk “membuktikan” diri mereka di dunia korporasi (Funk & Parker, 2018),
serta ditambah kesulitan untuk menyeimbangkan berbagai peran sosial yang dimiliki
(Swasti, 2018; Christin et al., 2022; Ratri, 2021). Faktor lingkungan mencakup
dukungan sosial yang didapatkan selama bekerja dan memegang berbagai peran
sosial (Swasti, 2018). Faktor struktural mencakup fleksibilitas waktu dan beban kerja
yang diberikan, keterlibatan terhadap pekerjaaan (Swasti, 2018).

Selain burn out, fenomena gerakan girl boss yang mempromosikan kemandirian juga
dapat berdampak kepada manifestasi negatif dari kemandirian, yakni keengganan
untuk meminta bantuan (Hawkley et al., 2019). Radez et al. (2021) menemukan
bahwa 96% dari kasus kemandirian yang negatif didasari faktor individual seperti
anggapan bahwa tidak ada dukungan yang memadai, keinginan untuk membuktikan
diri sendiri, ketakutan akan persepsi orang lain terhadap fakta akan kebutuhan
bantuan tambahan individu, sampai kurangnya akses ke bantuan secara fisik (Radez
et al., 2021; Dennehy et al., 2020). Selain itu, aspek kultural dari sikap kemandirian
negatif tersebut cenderung memiliki konotasi maskulin layaknya kepemimpinan,
keasertifan, dan keyakinan akan diri sendiri yang dijunjung oleh gerakan girl boss
(Liddon et al., 2018). Pada tingkat struktural, di masa pandemi, kurangnya akses
terhadap pelayanan kesehatan secara fisik dan isolasi cenderung membuat
orang-orang enggan untuk mencari bantuan. Mereka memilih untuk melewati
semuanya secara mandiri tanpa bergantung kepada pihak lain (Hamm et al., 2020;
Lee et al., 2020).

Dampak negatif lain dari fenomena gerakan girl boss pada aspek individual adalah
kemunculan dari impostor syndrome. Impostor syndrome merupakan suatu perasaan
berkelanjutan pada individu yang memiliki berbagai pencapaian akan “kepalsuan”
atau bahwa segala pencapaian mereka bukanlah hasil usaha mereka, melainkan hanya
keberuntungan belaka; yang memiliki ciri-ciri seperti kecemasan berlebih,
perfeksionisme, rasa takut yang berlebih akan kegagalan, dan lebih lanjut,
menyabotase diri sendiri dengan anggapan mereka “berhak” mendapatkan perlakuan
tersebut (Bravata et al., 2020; Rodrigues, 2020). Penelitian menunjukkan bahwa
impostor syndrome memiliki prevalensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan
laki-laki, tetapi hal tersebut bukan disebabkan oleh gender secara langsung,
melainkan kurangnya apresiasi dan umpan balik positif dari berbagai pihak terhadap
perempuan pada posisi kepemimpinan atau dengan berbagai pencapaian yang
disebabkan ekspektasi kultural (Rodrigues, 2020; Paterson & Vincent-Akpu, 2022).

Menariknya, gerakan girl boss justru memiliki andil pada prevalensi impostor
syndrome pada perempuan, khususnya pada aspek kultural. Frasa “seperti cewek”
sering dilontarkan sebagai ejekan terkait performa seseorang yang kurang memenuhi
standar, seakan standar performa perempuan adalah kurang dari laki-laki (Chase,
2018). Frasa girl boss sendiri pun seakan menekankan bahwa seorang girl boss hanya
akan pernah menjadi seorang “girl”, anak perempuan, dan tidak akan pernah
sepenuhnya menjadi seorang pemimpin atau boss karena seorang boss adalah
laki-laki (Austin, 2021). Anggapan-anggapan berikut merupakan contoh dari
kurangnya apresiasi dan umpan balik positif terhadap suatu perilaku (dalam kasus ini,
kemandirian dan mengambil posisi kepemimpinan) yang dapat berdampak kepada
impostor syndrome.

Akan tetapi, dampak negatif dari gerakan girl boss bukanlah tanpa solusi. Pertama,
burn out. Menghadapi aspek individual dari burn out dapat perlahan-lahan diatasi
dengan optimisasi lingkungan bekerja, contohnya seperti membuat lingkungan kerja
senyaman mungkin dan mengubah suasana bekerja. Burn out juga dapat diatasi
dengan upaya peningkatan well-being secara fisik, seperti olahraga, makan teratur,
istirahat yang cukup; atau secara emosional, seperti meditasi (Johnson et al., 2022).
Pada aspek struktural, organisasi juga perlu membuat program Inclusion & Diversity
dan memberikan peluang kepemimpinan yang sama besarnya antara perempuan dan
laki-laki. Kedua, untuk kemandirian yang telah mencapai ranah negatif seperti
keengganan untuk meminta bantuan, perubahan struktural diperlukan agar
memudahkan akses kepada bantuan, baik fisik maupun mental, seperti adanya
kemudahan finansial, transportasi, kontak, dan lain-lain (Dennehy et al., 2020).
Sementara, untuk impostor syndrome pada aspek individual, dukungan dari orang
terdekat dapat menjadi solusi terbaik, terlebih ketika mereka memvalidasi rasa
khawatir seseorang dengan impostor syndrome dan membantu membahas impostor
syndrome bersama-sama; untuk memahami perasaan “kepalsuan” yang dialami.
Selain itu, pemberian apresiasi secara objektif dan konkret dapat membantu seseorang
dengan impostor syndrome perlahan-lahan percaya akan diri mereka sendiri. Di aspek
kultural pada masyarakat luas, pembicaraan akan impostor syndrome dapat
ditingkatkan lagi untuk menghapus stigma dan meningkatkan pembahasan akan
solusi terkait masalah tersebut (Bravata, 2020; Chandra et al., 2019).

Untuk mendapatkan hasil terbaik dari gerakan girl boss, terdapat beberapa andil yang
dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat dan kesehatan. Pertama, lembaga
kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, tempat konseling, dan
sebagainya dapat memudahkan akses bagi berbagai individu yang menghadapi kasus
burn out dan impostor syndrome dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan
prosedur jaminan kesehatan sebagai upaya mempermudah aspek finansial. Selain itu,
kesadaran masyarakat juga dapat ditingkatkan dalam rangka mengurangi stigma
terkait masalah kesehatan mental agar keengganan masyarakat, khususnya seorang
yang dapat diidentifikasi sebagai seorang girl boss, untuk meminta bantuan
berkurang.

Fenomena gerakan girl boss walau berniat memberdayakan perempuan, juga


membutuhkan beberapa perombakan di kultur yang menyelimutinya agar dapat
menekan dampak negatif yang diberikan. Anggapan bahwa seorang perempuan tidak
akan bisa menjadi pemimpin atau hanya akan bisa menjadi seorang "girl" atau anak
perempuan, dapat berdampak kepada keinginan berlebih untuk membuktikan diri
sendiri dan isolasi diri. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya peningkatan keberagaman
pada dunia ketenagakerjaan dan kepemimpinan untuk semakin membuka jalan bagi
para pemimpin perempuan, dan lebih lanjut menghilangkan stigma perbedaan antara
pemimpin laki-laki dan perempuan. Agar lebih efektif dalam mencapai tujuannya,
gerakan girl boss sebagai salah satu wadah untuk menyosialisasikan pemberdayaan
perempuan perlu lebih menunjukkan kisah-kisah sukses perempuan di berbagai
bidang seperti di bidang pekerjaan, akademik dan atau keluarga sehingga masyarakat
makin memahami akan fenomena girl boss sebagai bagian dari pentingnya
pemberdayaan perempuan, karena dengan makin banyak perempuan yang sukses
memegang kepemimpinan dan atau dalam menggeluti riset dan dunia ilmiah,
perjuangan untuk kesetaraan dan hak-hak perempuan akan lebih mudah. Gerakan girl
boss juga dapat menjadi salah satu titik awal yang baik untuk memberikan
pemahaman di masyarakat, khususnya lingkungan keluarga agar membiasakan diri
memberikan apresiasi dan pujian terhadap pencapaian dan keberhasilan baik
perempuan maupun laki-laki, untuk menunjukkan dukungan atas pencapaian yang
diperoleh mereka sehingga ke depannya, keengganan untuk meminta bantuan sebagai
salah satu manifestasi negatif dari kemandirian dapat lebih teratasi.

Dari pembahasan yang telah dituliskan, dampak positif dari fenomena gerakan girl
boss seperti inspirasi yang kemudian dapat meningkatkan self-efficacy, motivasi, dan
kinerja dalam suatu pekerjaan; kemandirian finansial yang dapat menjadi pengaman
jika terjadi kendala dengan keluarga yang memberikan suplai keuangan; resiliensi
yang dapat membantu pengembangan diri dan well-being dapat menjadi suatu hal
negatif jika diekspresikan secara salah.

Dampak negatif dari gerakan girl boss, bahkan dapat berdampak kepada masalah
kesehatan mental yang berat seperti burn out yang dapat berdampak kepada berbagai
masalah kesehatan mental yang lebih berat seperti depresi, keengganan untuk
meminta bantuan dan isolasi diri, serta impostor syndrome atau anggapan bahwa
semua yang telah dicapai selama ini hanyalah keberuntungan belaka. Meski begitu,
terdapat berbagai cara untuk mengatasi dampak negatif dari gerakan girl boss, seperti
optimalisasi suasana kerja, meningkatkan hubungan dengan orang terdekat agar
mendapatkan dukungan, sampai solusi struktural seperti mempermudah akses ke
bantuan kesehatan mental. Orang terdekat juga perlu membiasakan diri memberikan
apresiasi dan pujian terhadap pencapaian dan keberhasilan dari girl boss, salah
satunya dengan memberikan “words of affirmation”, yakni kata-kata yang
menunjukkan dukungan bagi orang yang mereka sayangi (Chapman & Campbell,
2016)

Meski dalam beberapa aspek gerakan girl boss berupaya untuk menyuarakan women
empowerment atau pemberdayaan perempuan, masih terdapat berbagai tantangan
yang harus dihadapi untuk mendapatkan yang terbaik dari gerakan tersebut.
Implementasi dari gerakan girl boss sebaiknya dilakukan dengan tujuan dan prinsip
dasar untuk memberikan pemahaman pada pola pikir masyarakat akan keberadaan
perempuan dengan kemampuan dan sifat kemandirian dan kepemimpinan yang
dimilikinya, dengan berbagai tantangan dan kekurangannya, hal-hal yang layaknya
juga dimiliki seorang laki-laki.

Pada akhirnya, gerakan girl boss sangat baik bila dimanfaatkan untuk dijadikan suatu
wadah atau media untuk mengomunikasikan pentingnya women empowerment atau
pemberdayaan perempuan, dan untuk memberikan pemahaman pada pola pikir
masyarakat bahwa sebenarnya seorang girl boss bukanlah boss, apalagi seseorang
yang bossy. Ia merupakan seorang pemimpin; memahami kelemahan diri sendiri di
samping kelebihannya dan mau belajar serta meminta bantuan ketika ekspektasi dan
pekerjaan mulai berdampak kepada kesehatan mental, dan memerlukan dukungan
masyarakat untuk menjadikannya lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Abun, D., Nicolas, M., Apollo, E., Magallanes, T., Nicolas, M. T., & Apollo, E. P.
(2021). Employees’ self-efficacy and work performance of employees as
mediated by work environment under responsibility of Center for Strategic
Studies in Business and Finance Employees’ self-efficacy and work
performance of employees as mediated by work environment. Journal of
Research in Business and Social Science, 10, 2147–4478.
Alqahtani, T. (2019). Barriers to Women's leadership. Granite Journal: A
Postgraduate Interdisciplinary Journal, 3(2), 34-41.
Austin, A. G. (2021). Contemporary Feminism as Portrayed in Popular Media.
Aries, E. (2019). Bossed Up: A Grown Woman's Guide to Getting Your Sh* t
Together. Hachette UK.
Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Angkatan Kerja Nasional.
Bagheri Sheykhangafshe, F., Abolghasemi, A., & Kafi Masouleh, S. M. (2021).
Predicting Resilience Based on Dark Triad Personality and Psychological
Wellbeing in Athletes Students. Journal of Arak University of Medical
Sciences, 24(2), 230-245.
Bandura, A. (2009). Cultivate self-efficacy for personal and organizational
effectiveness.
Bravata, D. M., Watts, S. A., Keefer, A. L., Madhusudhan, D. K., Taylor, K. T., Clark,
D. M., ... & Hagg, H. K. (2020). Prevalence, predictors, and treatment of
impostor syndrome: a systematic review. Journal of General Internal
Medicine, 35(4), 1252-1275.
Chan, J. S. (2020). The status of women in a patriarchal state: The case of Singapore.
In Women in Asia (pp. 39-58). Routledge.
Chandra, S., Huebert, C. A., Crowley, E., & Das, A. M. (2019). Impostor syndrome:
could it be holding you or your mentees back?. Chest, 156(1), 26-32.
Chantler, K. (2006). Independence, dependency and interdependence: struggles and
resistances of minoritized women within and on leaving violent relationships.
Feminist Review, 82(1), 27-49.
Chapman, G., & Campbell, R. (2016). The 5 Love Languages/5 Love Languages for
Men/5 Love Languages of Teenagers/5 Love Languages of Children. Moody
Publishers.
Chase, A. R. (2018). Expanding what it means to play like a girl: gender,
performance, and redefinition. Argumentation and Advocacy, 54(1-2), 1-15.
Chong, W. H., Liem, G. A. D., Huan, V. S., Kit, P. L., & Ang, R. P. (2018). Student
perceptions of self-efficacy and teacher support for learning in fostering youth
competencies: Roles of affective and cognitive engagement. Journal of
adolescence, 68, 1-11.
Christin, L., Destiana, N. S., Sari, D. P., & Anggiani, S. (2022). Pengaruh
Keseimbangan Kehidupan Kerja terhadap Kinerja Wanita Karir yang
Dimediasi Kelelahan Kerja dan Dimoderasi Dukungan Organisasi dan
Dukungan Keluarga. Business Management Journal, 18(1), 75-84.
Dennehy, R., Meaney, S., Cronin, M., & Arensman, E. (2020). The psychosocial
impacts of cybervictimisation and barriers to seeking social support: Young
people’s perspectives. Children and youth services review, 111, 104872.
Eagly, A. H. (2018). The shaping of science by ideology: How feminism inspired,
led, and constrained scientific understanding of sex and gender. Journal of
Social Issues, 74(4), 871-888.
Fitriani, A. (2015). Gaya kepemimpinan perempuan. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong
Aspirasi Politik Islam, 11(2), 1-22.
Funk, C., & Parker, K. (2018). Women and men in STEM often at odds over
workplace equity.
Hamm, M. E., Brown, P. J., Karp, J. F., Lenard, E., Cameron, F., Dawdani, A., ... &
Lenze, E. J. (2020). Experiences of American older adults with pre-existing
depression during the beginnings of the COVID-19 pandemic: a multicity,
mixed-methods study. The American journal of geriatric psychiatry, 28(9),
924-932.
Hawkley, L. C., Wroblewski, K., Kaiser, T., Luhmann, M., & Schumm, L. P. (2019).
Are US older adults getting lonelier? Age, period, and cohort differences.
Psychology and Aging, 34(8), 1144.
Im, K. (2019). Sophia Amoruso: founder, Girlboss. ADWEEK, 60(29), 20-21.
Johnson, W. R., Davidson, M., Nagler, A., & Terhune, K. P. (2022). Take 10: a
resident well-being initiative and burnout mitigation strategy. Journal of
Surgical Education, 79(2), 322-329.
Kalmuss, D. S., & Straus, M. A. (1982). Wife's marital dependency and wife abuse.
Journal of Marriage and the Family, 277-286.
Klatch, R. E. (2019). Women of the New Right in the United States: Family,
Feminism, and Politics. In Identity Politics and Women (pp. 367-388).
Routledge.
Kotera, Y., Green, P., & Sheffield, D. (2022). Positive psychology for mental
wellbeing of UK therapeutic students: relationships with engagement,
motivation, resilience and self-compassion. International Journal of Mental
Health and Addiction, 20(3), 1611-1626.
Lee, C. M., Cadigan, J. M., & Rhew, I. C. (2020). Increases in loneliness among
young adults during the COVID-19 pandemic and association with increases
in mental health problems. Journal of Adolescent Health, 67(5), 714-717.
Liddon, L., Kingerlee, R., & Barry, J. A. (2018). Gender differences in preferences
for psychological treatment, coping strategies, and triggers to help‐seeking.
British Journal of Clinical Psychology, 57(1), 42-58.
Maguire, E. (2020). Young women won’t be told how to behave, but is# girlboss just
deportment by another name?. The Conversation, 26.
mandiri. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 13 Juli 2022, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religiositas
Manfredi, S., Clayton-Hathway, K., & Cousens, E. (2019). Increasing gender
diversity in higher education leadership: The role of executive search firms.
Social Sciences, 8(6), 168.
Mangunsong, F. (2009). Faktor intrapersonal, interpersonal, dan kultural pendukung
efektivitas kepemimpinan perempuan pengusaha dari empat kelompok etnis di
Indonesia. Makara, Sosial Humaniora, 13(1), 19-28.
Melville, H. S., & Kuepper-Tetzel, C. (2021). Predicting Burnout: A Global
Cross-sectional Study into How Perfectionism, Resilience and Culture
Combine to Predict Burnout in Working Adults.
Paembonan, L. S., & Vida, H. D. (2019). Tinjauan terhadap Gaya Kepemimpinan
Perempuan di Pemerintah Daerah Kabupaten Toraja Utara. Jurnal Inada:
Kajian Perempuan Indonesia di Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar,
2(1), 61-81.
Page, Michael. (2021). Talent Trends 2021 Indonesia.
Paterson, R., & Vincent-Akpu, I. F. (2022). Impostor Syndrome with Women in
Science. In Science by Women (pp. 83-98). Springer, Cham.
Prigent, A. (2011). The emergence of female leaders: becoming a female leader in
modern organisations.
Radez, J., Reardon, T., Creswell, C., Lawrence, P. J., Evdoka-Burton, G., & Waite, P.
(2021). Why do children and adolescents (not) seek and access professional
help for their mental health problems? A systematic review of quantitative and
qualitative studies. European child & adolescent psychiatry, 30(2), 183-211.
Radovic, M., Salamzadeh, A., & Razavi, M. (2013). Women in business and
leadership: critiques and discussions. In The Second International Scientific
Conference on Employment, Education and Entrepreneurship, Belgrade,
Serbia (pp. 19-31).
Ratri, G. K. (2021). Burnout Dengan Subjective Well-Being Pada Ibu Yang Bekerja.
Burnout Dengan Subjective Well-Being Pada Ibu Yang Bekerja, 1-8.
Rodrigues, Melissa. 2020. Impostor syndrome and its effects on women and
minorities in academia.
Sahban, H. (2016). Peran kepemimpinan perempuan dalam pengambilan keputusan di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Bongaya, 1(1), 56-71.
Srivastava, M. A. (2020). Role of financial independence in uplifting the status of
women. International Journal Of All Research Writings, 3(7), 10-15.
Sukeri, S., & Man, N. N. N. (2017). Escaping domestic violence: A qualitative study
of women who left their abusive husbands. Journal of Taibah University
medical sciences, 12(6), 477-482.
Swasti, K. G., Ekowati, W., & Rahmawati, E. (2018). Faktor-faktor yang
mempengaruhi burnout pada wanita bekerja di kabupaten Banyumas. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 12(3), 190-198.
Tov, W. (2018). Well-being concepts and components.
Watson, C., Nolte, L., & Brown, R. (2019). Building connection against the odds:
project workers relationships with people experiencing homelessness.
Housing, Care and Support.

Anda mungkin juga menyukai