Disusun oleh :
2
pernah tepat dalam pengambilan keputusan, di mana umumnya sikap perempuan yang
terlalu banyak pertimbangan dalam keputusannya. Hal ini akan menyulitkan konsistensi
dalam pengambilan keputusan. Mereka juga mempunyai toleransi dan arah
kepemimpinan yang mengarah ke kekeluargaan.
Kedua, perempuan juga menghadapi ambang kompetensi yang tinggi untuk peran
kepemimpinan. Konsepsi terhadap gender perempuan ini memaparkan bahwa
perempuan harus menghadapi standar yang lebih tinggi dalam kepemimpinan yang
ideal. Mereka harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan suatu kepemimpinan yang
baik dan keputusan yang tepat bagi organisasi.
3
Keraguan perempuan akan menurunkan keyakinan mereka yang berpikir tidak mampu
memenuhi model stereotip maskulin, yaitu konsepsi bahwa gender laki-laki adalah
pemimpin ideal dengan karakternya yang tegas dan yakin dalam mengambil peran.
4
memberikan dampak kurang baik dalam organisasi, misalnya kurangnya kedisiplinan
karyawan dan pelaksanaan keputusan organisasi yang kurang optimal.
Tantangan selanjutnya dalam kepemimpinan wanita adalah pengembangan karir
seorang wanita dalam posisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan perempuan yang harus
baik dalam suatu organisasi dan mendekati pemimpin yang ideal adalah sasaran
pengembangan karir yang seharusnya dipenuhi. Kemampuan seorang perempuan untuk
menghadapi perubahan dalam organisasi juga harus dilatih, baik itu perubahan yang
diprediksi, maupun yang tidak bisa diprediksi. Hal ini menuntut kemampuan pengambilan
peran pengambilan keputusan yang baik dan seharusnya dilakukan dengan cermat, bijaksana,
dan dalam waktu yang tepat.
Kemampuan perempuan dalam hal tersebut berkaitan dengan keyakinan atau rasa
percaya diri dalam kepemimpinan mereka. Umumnya, seorang perempuan memang
mempunyai perencanaan yang lebih detail dan terkonsep dibandingkan dengan laki-laki.
Akan tetapi, dalam realisasinya, perempuan mempunyai hambatan yang lebih banyak untuk
merealisasikan konsep atau perencanaan yang telah dibuat.
Berbagai hambatan tersebut merupakan faktor yang menurunkan kepercayaan diri
perempuan, di mana mereka terlalu banyak berpikir sebelum menghadapinya. Justru
ketakutannya atau kekhawatirannya yang mengarahkan pada penurunan rasa percaya diri
mereka. Ketidakyakinan dalam pengambilan keputusan juga terkait dengan rasa percaya diri
yang sering mengalami perubahan atau tidak stabil.
Mereka harus menghadapi kondisi lapangan yang selalu berubah setiap waktu dan
harus mampu bersikap tegas dan berpikir logis, bukan dengan perasaan. Hal ini harus bisa
dilakukan oleh seorang perempuan agar menjadi pemimpin yang ideal. Berpikir secara
rasional dalam pengambilan keputusan diharapkan mampu menjadikan kepemimpinan wanita
yang cenderung ke arah kekeluargaan bisa lebih tegas dan punya standar yang jelas.
Dalam berbagai kasus yang menyatakan persepsi manajer yang baik adalah manajer
laki-laki merupakan hal yang menjadi tantangan dalam menciptakan konsep kepemimpinan
perempuan yang ideal. Pemimpin perempuan harus menghadapi beragam tantangan di atas
agar mampu mengubah stereotip. Pandangan mengenai pemimpin yang ideal adalah
kepemimpinan dari gender laki-laki adalah suatu persepsi yang tidak bisa menjadi dasar
keefektifan suatu kepemimpinan ideal.
Keefektifan dalam kepemimpinan perlu dibentuk dan terlepas dari gender perempuan
ataupun laki-laki. Setiap gender berhak menjalankan periode kepemimpinan. Hanya saja,
seorang perempuan yang cenderung berperasaan, menjadi lebih mudah mentolerir beberapa
5
hal, terlalu banyak pertimbangan, serta kurang tahan terhadap perubahan yang terjadi secara
tiba-tiba dan di luar prediksi. Tuntutan untuk berpikir secara rasional, netral, serta mampu
berpikir cepat secara bijak dalam pengambilan keputusan, terkadang sulit dilakukan oleh
seorang pemimpin wanita.
Beberapa hal ini yang sebenarnya menjadi poin penting dalam mengembangkan
kemampuan kepemimpinan seorang wanita. Kemampuan memimpin ini justru penting karena
sangat menentukan budaya organisasi, peraturan dan kebijakan yang ditetapkan, serta segala
hal terkait dengan kegiatan operasional organisasi. Peraturan yang ditetapkan beserta
sanksinya juga sejalan dengan gaya kepemimpinan yang ada.
Menyikapi fenomena kepemimpinan perempuan yang menjadi suatu pilihan di samping
pemimpin laki-laki yang sudah dianggap pemimpin ideal merupakan hal yang kompleks.
Selain membahas mengenai faktor pembedanya, diperlukan solusi untuk benar-benar
menemukan sosok pemimpin yang ideal.
Sehubungan dengan tujuan organisasi yang harus diselesaikan dengan baik sesuai target
yang sudah ditetapkan, maka organisasi memerlukan seorang pemimpin yang ideal. Dalam
hal kepemimpinan feminim dan maskulin terdapat perbedaan terkait dengan karakter
perempuan dan laki-laki yang berbeda. Untuk itu, diperlukan kondisi yang netral dalam
memilih seorang pemimpin.
Dengan demikian, solusi yang tepat untuk memberikan meminimalisir bias dan
stereotip, mengubah harapan yang sudah membudaya mengenai pemimpin ideal (laki-laki),
mengarahkan organisasi dan pemimpin untuk mendukung dan mengembangkan pemimpin
perempuan, serta mengubah pemikiran mengenai pemimpin dan kepemimpinan perempuan.
Beberapa solusi ini dapat dioptimalkan untuk membentuk persepsi yang baik mengenai
kepemimpinan perempuan yang bisa menjadi pemimpin yang baik apabila memenuhi
kapasitas seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.
Menghilangkan bias dan stereotip dalam kepemimpinan perempuan bisa dilakukan
dengan melakukan pengembangan pemimpin perempuan serta karyawan lain untuk
membangun kesadaran keterampilan pemimpin perempuan. Pelatihan dan manajemen kinerja
yang baik bisa dilakukan untuk mengembangkan potensi pemimpin perempuan. Organisasi
harus mengevaluasi juga kinerja pemimpin perempuan dan memberikan pelatihan lagi,
sehingga penerapan manajemen kinerja benar-benar dijalankan.
Harapan yang sudah membudaya bahwa pemimpin laki-laki bisa diharapkan bisa
menjalankan suatu organisasi dengan baik bisa diubah menjadi keyakinan atau harapan yang
sama antara kepemimpinan laki-laki dan kepemimpinan perempuan. Suatu organisasi harus
6
memulai untuk mempercayai seorang perempuan apabila ada yang berpotensi menjadi
seorang pimpinan. Dengan demikian, terdapat kesempatan yang sama antara laki-laki dan
perempuan untuk menjadi seorang pemimpin dalam suatu organisasi.
Pemikiran mengenai pemimpin dan kepemimpinan harus diubah, yaitu persepsi awal
yang menyatakan bahwa pemimpin ideal adalah seorang laki-laki. pada dasarnya, sikap
pemimpin laki-laki juga lebih tegas dan berani mengambil keputusan yang bijak dengan
segera dan penanggungan risiko yang lebih baik. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
bahwa pemimpin perempuan bisa melakukannya. Selain itu, indikator pengukur ideal atau
tidaknya pemimpin tidak hanya sikap individu yang dilatarbelakangi oleh gender. Ada faktor
lain yang diperlukan untuk menentukan siapa pemimpin yang tepat.
Setelah diperoleh solusi atas kepemimpinan perempuan di dalam lingkup persepsi
pemimpin ideal (laki-laki), selanjutnya diperlukan pemilihan pemimpin yang benar-benar
ideal, terlepas dari gender. Memang ada kecenderungan perbedaan antara gaya
kepemimpinan perempuan dan laki-laki yang dipengaruhi oleh sikapnya. Akan tetapi, hal ini
tidak cukup dijadikan sebagai pengukur atau pembentuk persepsi terkait seorang pemimpin
yang ideal.
Banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan pemilihan pemimpin yang
ideal untuk sebuah organisasi. Jadi, kepemimpinan yang baik itu tidak selalu melihat pada
sikap alamiah yang dimiliki oleh suatu gender. Perempuan ataupun laki-laki bisa memimpin
dengan catatan mempunyai kompetensi, kemauan, serta konsistensi untuk melakukan
beragam tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada penilaian pemimpin yang ideal ada berbagai
macam dan terhubung dalam indikator penilaian efektivitas organisasi. Faktor tersebut
meliputi pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan kepemimpinan, pemberian
imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan, dan teknologi. (Steers : 1985)
Faktor-faktor ini berkaitan dengan produktivitas kinerja, di mana apabila produktivitas
kerjanya tinggi, maka efektivitasnya juga baik dan menimbulkan kinerja yang baik dalam
kepemimpinannya. Pemimpin ini juga bisa menjadi teladan karena kinerjanya yang efektif.
Kualitas kerja yang baik adalah modal awal bagi pengembangan karir. Jadi, baik
kepemimpinan perempuan, maupun kepemimpinan laki-laki, keduanya bisa ideal apabila
memenuhi berbagai faktor lainnya termasuk kualitas kinerja. Hal ini akan mendukung
kemajuan perempuan dalam hal menjadi pemimpin ideal, yang awalnya dianggap bahwa
pemimpin ideal adalah seorang laki-laki.
7
Daftar Pustaka
Jones, Gareth R. 1995. Organizational Theory : Tex dan Cases. California : Addison-Wesley
Publishing Company.