Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

“Nebulized Magnesium Sulphate in Bronchiolitis: A Randomized Controlled Trial”

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Stase Ilmu Kesehatan Anak

Oleh:
Kezhiki Diaz Martha Rizmattu / 21712053

Pembimbing:
dr. Siswanto Basuki, M.Sc, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA 2022
ABSTRAK
TUJUAN
Untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan nebulisasi magnesium sulfat sebagai
bronkodilator pada anak-anak usia 1-24 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat dibandingkan
dengan terapi standar.
METODE
Penelitian ini merupakan open-label randomized controlled trial yang dilakukan terhadap
60 anak dengan bronkiolitis sedang-berat dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
intervensi mendapatkan nebulisasi dengan 3 ml magnesium sulfat (MgSO4) 3,2 % tiap 4 jam
selama 24 jam dan mendapatkan perlakuan standar, sedangkan kelompok kontrol hanya
mendapatkan perlakuan standar. Outcome primer dari penelitian ini adalah untuk
membandingkan perbaikan bronchiolitis severrity score (BSS) dan lamanya waktu rawat inap.
Outcome sekunder dari penelitian ini adalah untuk mengukur kebutuhan ventilasi non-invasif,
kebutuhan admisi pasien ke ICU pada kunjungan awal, dan untuk mengevaluasi kemanan
mangesium sulfat serta perlunya kembali ke klinik, masuk kembali ke RS atau ICU dalam dua
minggu setelah kedua kelompok pulang.
HASIL
Rata-rata usia anak pada kelompok kontrol adalah 7.4 ± 5.1 mo dan pada kelompok
intervensi adalah 7.7 ± 4.5 mo. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan
BBS atau berkurangnya waktu rawat inap pada kedua grup (p > 0,05). BSS yang dipantau
setelah1, 2, 4, 8, 12, 16, dan 24 pasca masuk RS tidak menunjukkan perbedaan statistik yang
signifikan. Rata-rata lama inap yaitu 2.89 ± 2.25 d pada kelompok intervensi dan 2.96 ± 1.86 d
pada kelompok kontrol (p = 0,902). Tidak terdapat efek samping yang muncul pada kedua grup.
KESIMPULAN
Nebulisasi dengan menggunakan magnesium sulfat tidak menunjukkan hasil yang lebih
baik dari terapi standar pada anak-anak dengan bronkiolitis sedang-berat.
1. Pendahuluan
Bronkiolitis merupakan penyakit saluran pernapasan bawah yang terdiri dari kumpulan
tanda dan gejala klinis berupa viral upper respiratory prodome diikuti dengan peningkatan usaha
respirasi dan wheezing pada anak-anak usia <2 tahun. 60% kasus infeksi saluran pernapasan
bawah dan 32% kasus rawat pada kanak-anak usia 0-1 tahun merupakan kasus bronkiolitis.
Respiratory Syncytical Virus (RSV) merupakan penyebab utama bronkiolitis akut dengan
manifestasi klinis berupa coryza, batuk ringan, demam subfebris, takipnea, wheezing, dan tanda
distress pernapasan. Pengobatan yang dianjurkan bersifat suportif seperti pemberian oksigen,
terapi cairan, dan antipiretik. Peran magnesium dalam berbagai proses fisiologis seperti
memodulasi eksitabilitas otot dan influks kalsium antar membran menumbuhkan kertetarikan
para peneliti mengenai efek dari magnesium terhadap berbagai kondisi penyakit.
Magnesium sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi pada asam bronkial. Beberapa
penelitian membuktikan efek magnesium sulfat terhadap penderita asma yang bahkan tidak
responsif terhadap beta agonis. Kemiripan klinis dan patologis antara asma dan bronkiolitis
menyebabkan analogi terapeutik. Terdapat kemungkinan efikasi magnesium sulfat pada
pengobatan bronkiolitis. Akan tetapi belum terdapat penilitian yang dilakukan di India sehingga
peneliti melakukan penelitian ini.
2. Bahan dan Metode

Penelitian ini merupakan open label randomized controlled trial yang dilaksanakan di All
India Institute of Medical Sciences (AIIMS), Jodhpur, Rajasthan antara bulan November 2018
sampai Desember 2019. Eligibilitas untuk kriterika inklusi penelitian adalah semua pasien anak
berusia 1-24 bulan dengan bronkiolitis akut dan Bronchiolitis Severity Score (BSS) >=4
(bronkiolitis sedang-berat). Bronkiolitis didefinisikan sebagai episode pertama wheezing dan
gejala sugestif dari infeksi pernapasan atas seperti rhinorrhea, batuk, dan low-grade fever. Skala
The Wang BSS dari 0-12 dan memiliki 4 variabel dengan masing-masing memiliki skor 0-3.
Kenaikan skor menandakan kondisi yang lebih buruk. Pasien dengan riwayat wheezing, penyakit
jantung, anomali kromosom, imunodefisiensi, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan
encephalopati epileptik dieksklusikan.
Penelitian ini mendapatkan izin etik dari AIIMS Jodhpur. Inform consent tertulis
didapatkan dari orang tua tiap anak sebelum dilakukan terapi. Partisipan secara acak dibagi
menjadi 2 grup dengan alokasi perbandingan 1:1. Randomisasi sederhana dilakukan dengan
menggunakan software. Seluruh pasien mendapatkan perlakuan perlakukan standar berupa
hidrasi serta pemberian humedified oxygen. Kelompok intervensi mendapatkan nebulisasi
dengan magnesium sulfat (MgSO4) 3,2% sebanyak 3 ml tiap 4 jam selama 24 jam. Kelompok
kontrol hanya mendapatkan perlakukan standar. Saturasi oksigen dicatat sebelum pemberian
terapi dan diberikan oksigen jika saturasi <94%. Seluruh anak diobservasi secara berkelanjutan
selama masa penelitian. Pada kondisi anak yang mengalami hipoksia persisten yang tidak
responsif terhadap terapi oksigen dipertimbangkan pemberian ventilasi mekanik.
BSS, respiratory rate (RR), saturasi oksigen (SpO2), dan denyut nadi (HR) dicatat
sebelum terapi diberikan dan diobservasi pada jam ke-1, 2, 4, 8, 12, 16, dan 24. Tanda vital
dicatat dan BSS di-assign oleh peneliti. Pada penelitian ini terdapat 60 kasus yang terdiri dari 28
anak pada kelompok intervensi dan 32 anak pada kelompok kontrol. Outcome primer dari
penelitian ini adalah perbandingan perbaikan BSS antara dua kelompok intervensi sejak awal
pemberian terapi hingga 24 jam setelahnya.
Outcome sekunder dari penelitian ini adalah untuk mengukur kebutuhan ventilasi
noninvasif, kebutuhan memasukkan pasien ke ICU, dan mengevaluasi keamanan dari
penggunaan magnesium sulfat serta kebutuhan untuk kontrol, masuk RS kembali, masuk ICU
kembali dalam 2 minggu setelah pulang pada kedua grup. Pasien diperbolehkan pulang apabila
sudah tidak memrlukan oksigen (SpO2 >94%), dapat makan dengan cukup, dan terdapat
wheezing minimal atau tidak ada wheezing serta crackles, BSS <4.
Penghitungan besar sample berdasarkan hasil studi Modaresi et al. Besar sampel tiap grup
dihitung berdasarkan significance level α = 0.05 dan power (1-β) 80% untuk mendeteksi
perbedaan klinis rata2 pada Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) dengan skor 2
dan standar deviasi 2,2 serta 2,6 pada skor RDAI antara kedua grup dan didapatkan besar sampel
tiap grup yaitu 23. Dengan mempertimbangkan dropout rate 20%, besar sampel yang dibutuhkan
tiap grup adalah 28.

2.1. Analisis Statistik


Analisis utama dilakukan dengan menggunakan analisis per Intention to Treat (ITT).
Teknik yang sama digunakan untuk menganalisis pengukuran outcome sekunder. Perbedaan rata-
rata antara kedua grup dianalisis menggunakan student’s t –test dan data kategorikal dianalisis
menggunakan Fischer exact test. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23 (IBM SPSS
Statistics for Windows, Version 23.0. Armonk, NY:IBM Corp.). Significant values dilaporkan
dengan confidence interval 95% dan dikatakan signifikan jika nilai p <0,05.

3. Hasil
3.1. Peserta Penelitian
Selama masa penelitian terdapat 77 pasien dengan diagnosis klinis bronkiolitis. 17 di
antaranya dieksklusi karena tidak sesuai dengan kriteria awal protokol penelitian sehingga
didapatkan 60 pasien dengan bronkitis sedang-berat dengan rata-rata usia 7.4 ± 5.1 bulan pada
kelompok kontrol dan 7.7 ± 4.5 bulan pada kelompok intervensi. Kelompok intervensi terdiri dari
28 anak mendapatkan intervensi berupa magnesium sulfat. Pada grup ini, terdapat pengurangan
pada 4 pasien karena tempat tidur yang tersedia tidak mencukupi. Kelompok kontrol terdiri dari
32 orang dengan 2 kasus lost to follow up.
Baseline karakteristik kedua grup dibandingkan dan dipaparkan dalam Tabel 1

3.2. Outcome Primer


Tidak terdapat perbedaan nilai BSS yang signifikan antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi ( p > 0,05).
3.3. Outcome Sekunder
Rata-rata waktu rawat inap adalah 2,96 hari pada kelompok kontrol dan 2,89 hari pada
kelompok intervensi (nilai p = 0,902). Selain itu, tidak terdapat pula perbedaan yang signifikan
mengenai durasi pemberian oksigen pada kedua kelompok (Tabel 3)

Outcome skunder lainnya adalah di antara 60 anak yang masuk ke ICU terdapat dua
kasus pada kelompok kontrol dan lima kasus pada kelompok intervensi dengan perbedaan yang
juga tidak signifikan pada kedua grup ( nilai p > 0,05). Terdapat tiga kasus pada kelompok
kontrol dan enam kasus pada kelompok intervensi yang membutuhkan NIV (Non-Invasive
Ventilation) berupa CPAP akan tetapi secara statistik perbedaannya tidak signifikan dengan nilai
p > 0,05 (0.281). Tidak ditemukan adanya efek samping berupa instabilitas kardiorespiratori
pada kedua kelompok. Pada kelompok intervensi terdapat satu pasien yang kembali lagi ke
rumah sakit sebanyak satu kali, sedang pada kelompok kontrol tidak ada.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pada 22 kasus. Dari 22 kasus tersebut, terdapat
satu pasien dengan neutrofilia. Hal ini berhubungan dengan tingginya kadar protein C-reaktif
(CRP) dan pasien memiliki skor BSS 7 dengan masa rawat inap 1 hari dan tanpa pemberian
antibiotik. Di antara 60 anak, pemeriksaan CRP dilakukan pada 10 kasus di kelompok kontrol
dan 12 kasus di kelompok yang diberi MgSO4. Hal ini dilakukan pada anak dengan temuan
klinis yang mengarah pada pneumonia. Dari pemeriksaan CRP didapatkan 9 kasus positif pada
masing-masing kelompok. Pemeriksaan rontgen thorax dilakukan pada 12 kasus kelompok
kontrol dan ditemukan terdapat infiltrat bilateral dengan atau tanpa hiperinflasi pada 9 kasus.
Sedangkan di antara 7 kasus kelompok yang mendapatkan terapi nebulisasi MgSO\4, ditemukan
6 kasus di anataranya yang menunjukkan gambaran infiltrat bilateral dengan atau tanpa
hiperinflasi.
4. Diskusi
Bronkiolitis akut berkontribusi terhadap beban ekonomi yang signifikan pada negara-
negara berkembang. Terlepas dari prevalensinya yang cukup tinggi, sampai saat ini belum ada
terapi yang potensial efektif sebagai terapi bronkiolitis akut. Data meta analisis pada terapi yang
sering digunakan sebagai terapi bronkiolitis akut (nebulisasi bronkodilator, epinferin,
glukokortikoid, dan fisioterapi thorax) telah gagal membuktikan efek terapi tersebut terhadap
gejala klinis yang relevan yang dibandingkan dengan placebo.
Pada penelitian sebelumnya, MgSO4 menjadi terapi potensial sebagai tatalaksana asma
bronkial pada pasien yang resisten terhadap beta-2 agonis. Akan tetapi, perannya pada
bronkiolitis masih belum diteliti lebih lanjut. Sejauh ini hanya terdapat tiga penelitian yang
megevaluasi efikasi nebulisasi MgSO4 sebagai terapi bronkiolitis. Alansari et al dalam penelitian
cohort mengevaluasi peran MgSO4 IV pada 60 dan 120 anak di tahun 2012 dan 2015. Pada
penelitian tersebut ditemukan perbaikan pada respiratory distress assessment index (RDAI) yang
cukup signifikan pada kelompok yang mendapatkan MgSO4. Studi lainnya membandingan
antara pasien yang diberi nebulisasi MgSO4 dan nebulisasi epinefrin. Akan tetapi, hasil
penelitian menunjukan tidak adanya dampak yang signifikan terhadap lamanya rawat inap atau
perbaikan klinis yang berhubungan dengan penurunan angka kebutuhan bantuan oksigen atau
ventilator.
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Kose et al. membandingkan nebulisasi MgSO4
dengan salbutamol pada 56 anak dengan bronkiolitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor
terapi lebih baik pada kelompok yang mendapatkan kombinasi MgSO4 dan salbutamol daripada
yang mendapatkan MgSO4 atau salbutamol saja. Akan tetapi dalam penelitian yang dilakukan
saat ini, outcome primer BSS pada kedua kelompok secara statistik tidak signifikan (p = 0,883).
Tingkat efikasi MgSO4 yang rendah pada penelitian ini mungkin terjadi karena usia anak
yang relatif muda. Anak-anak usia muda dengan bronkiolitis kemungkinan tidak memberikan
respon pada terapi MgSO4, begitu pula pada anak-anak usia muda dengan asma.
Pada penelitian ini, peneliti mencatat mayoritas anak dengan bronkiolitis berusia 6 bulan
– 1 tahun sebanyak 48% dengan rasio laki-laki: perempuan adalah 3:1. Temuan ini serupa
dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Modaresi et al., Boezen et al., dan
Kose et al. Penelitian yang dilakukan oleh Nagayama et al. Dan Boezen et al. menyatakan bahwa
alasan peningkatan suseptibilitas mungkin karena efek imunosupresif dari hormon laki-laki.
Batuk merupakan gejala yang banyak dijumpai pada kedua kelompok. Hal ini konsisten
atau sesuai dengan hasil penelitian Wright et al. Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa
hasil rontgen thorax pada bronkiolitis yaitu infiltrat bilateral dengan atau tanpa hiperinflasi pada
kedua kelompok. Abnormalitas yang ditemukan pada rontgen thorax berhubungan dengan gejala
demam pada 88,9% kasus dan angka saturasi oksigen <94% pada 22,2% kasus di kelompok
kontrol. Sedangkan pada kelompok intervensi secara berturut-turut adalah 100% kasus dan
28.6% kasus. Pada studi yang dilakukan oleh Garcia et al., mayoritas bayi dengan bronkiolitis
memiliki hasil rontgen thorax yang normal. Namun, pada kasus dengan suhu ≥ 38 C dan saturasi
oksigen < 94% secara signifikan berhubungan dengan infiltrat / atelektasis sehingga tidak
adanya demam dan hipoksia menjadi prediktor hasil rontgen thorax yang nornal. Tidak adanya
demam dan hipoksia juga menjadi prediktor gejala klinis yang lebih ringan.
Studi yang dilakukan oleh Kaur et al., Costa et al., dan Fares et al. menyimpulkan bahwa
CRP meningkat pada kasus co-infeksi bakteri. CRP berguna untuk menentukan pemberian
antibiotik dan memprediksi keparahan penyakit. Hal ini sejalan dengan penelitian ini di mana
satu anak pada kelompok kontrol dan 2 anak pada kelompok intervensi mendapatkan antibiotik
intravena karena nilai CRP yang tinggi dan berhubungan dengan infiltrat bilateral pada hasil
rontgen thorax, demam tinggi, dan distress napas berat. Limitasi dari penelitian ini adalah tidak
dilakukan blinding dan observasi studi dari skor BSS hanya dilakukan selama 24 jam.
5. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa magnesium sulfat dalam formulasi aerosol tidak
lebih baik dariapada terapi standar untuk anak-anak dengan bronkiolitis sedang-berat yang
bergejala, baik ditinjau dari skor keparahan maupun durasi rawat inap. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk membuktikan manfaat klinis dari magnesium sulfat pada penderita bronkiolitis.
PICO DAN CRITICAL APPRAISAL
Judul : Nebulized Magnesium Sulphate in Bronchiolitis: A Randomized Controlled Trial
Tahun : 2021

Analisis PICO
P Patient and Clinical Problem Pasien usia 1 - 24 bulan dengan
bronkiolitis sedang-berat
I Intervention Terapi nebulisasi magnesium Sulfat (MgSO4)
C Comparison Terapi standar
O Outcome Skor BSS, durasi rawat inap, durasi pemberian
O2
Pertanyaan: Bagaimana keefektifan nebulisasi MgSO4 pada anak dengan bronkiolitis sedang-berat?

CRITICAL APPRAISAL
Can’t
NO QUESTION Yes No COMMENT
Tell
Penelitian pada jurnal dapat menjawab pertanyaan
analisis PICO, dimana tercantum pada abstrak.

Apakah
penelitian
tersebut
1. √
membahas
persoalan yang
jelas? Population: Pasien usia 1-24 bulan dengan
bronkiolitis sedang-berat
Intervention: Terapi nebulisasi magnesium Sulfat
(MgSO4)
Comparison: Terapi standar
Outcomes: Skor BSS, durasi rawat inap, durasi
pemberian O2
Apakah Penelitian ini menggunakan desain open-label
2. √ randomized trial. (Material and Methods)
perlakuan pasien
terhadap terapi
dirandomisasi?

Apakah semua
Da

Dari 77 pasien dilakukan skrining. Sebanyak 17


pasien yang pasien dieksklusi karena tidak sesuai dengan
ikut dalam kriteria awal protokol penelitian sehingga
dilakukan randomisasi pada 60 pasien dengan
penelitian bronkitis sedang-berat. Kelompok intervensi
dihitung dalam terdiri dari 28 anak sedangkan kelompok kontrol
3. √ terdiri dari 32 orang.
kesimpulan?
Apakah Pada penelitian ini tidak dilakukan “blinding”.
pasien, tenaga
4. √
medis, dan
peneliti buta
terhadap
perlakuan?

Apakah jumlah Pada akhir penelitian terdapat dua kelompok yaitu


5. √
pasien yang diberikan intervensi berupa
kelompok sama
nebulisasi MgSO4 kelompok kontrol.
pada awal
penelitian?
Kedua kelompok mendapatkan perlakuan yang sama
berupa terapi standar yang terdiri dari hidrasi dan
humidified oxygen.
Selain intervensi
dari penelitian,
6. apakah pasien √
diberi perlakuan
yang sama?

Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang


signifikan antara kkelompok kontrol dan kelompok
Seberapa besar intervensi. Dapat disimpulkan bahwa terapi dengan
7. √ menggunakan nebulisasi MgSO4 tidak memberikan
efek terapi? efek signifikan pada anak dengan bronkiolitis sedang-
berat.
Peneliti mencantumkan Confidence Interval (CI) pada
penelitian ini. confidence Interval pada penelitian ini
sebesar 95%
Seberapa tepat
8. √
efek terapi?

Dapatkah hasil Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk


mmebuktikan manfaat dari MgSO4 terhadap
penelitian bronkiolitis pada anak sehingga penerapannya dapat
9. √
diaplikasikan dipertimbangkan kembali.
dalam populasi?
Semua hasil klinis yang penting perlu
dipertimbangkan dan perlu dilakukan penelitian
Apakah semua lebih lanjut dengan skala yang lebih besar untuk
membuktikan manfaat MgSO4 terhadap bronkiolitis
outcome yang
10. √ secara klinis.
penting
dipertimbangkan?

Apakah Dengan mempertimbangkan limitasi dalam penelitian


ini (tidak dilakukanya binding dan evaluasi BSS yang
intervensi yang
hanya dilakukan selama 24 jam), perlu dilakukan
diberikan akan penelitian lebih lanjut.
11. √
bermanfaat dan
mengurangi
kerugian pasien?

Anda mungkin juga menyukai