Doktrin Tritunggal and Bidat Bidat
Doktrin Tritunggal and Bidat Bidat
“Inilah hidup kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar,
dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh. 17:3).
A. Pendahuluan
Saya mengawali Studium Generale ini dengan mengutip James M. Renihan, Professor of
Historical Theology di Institute of Reformed Baptist Studies:
Teologi tidak muncul di dalam sebuah ruang hampa (vacuum). Ia berkembang keluar dari
situasi-situasi kehidupan yang nyata. Orang mempelajari Firman Allah, merenungkan
pengajarannya, dan mengekspresikan kesimpulan-kesimpulan mereka. Sering kali kondisi-
kondisi kehidupanlah yang memaksa mereka untuk memikirkan dengan lebih teliti (closely)
dan lebih jelas (clearly) tentang pandangan-pandangan doktrinal mereka dan yang
menajamkan ekspresi-ekspresi kebenaran.2
Kesimpulan ovservasi Profesor Renihan di atas memang tidak bisa disangkal, bahkan ketika kita
bicara tentang doktrin sepenting doktrin Tritunggal yang merupakan “salah satu doktrin paling
penting dalam iman Kristen,”3 atau doktrin yang dalam kata-kata Herman Bavinck, merupakan
“the heartbeat of the Christian religion” (“denyut jantung agama Kristen”).4
Dari sejarah, kita mengetahui bahwa belum pernah ada formulasi doktrinal yang resmi mengenai
Allah Tritunggal hingga Konsili Nicea (325 M).5 Persisnya, kita mendapati peran besar Athanasius,
Bishop dari Aleksandria (+296-373 M) dalam Kontroversi Arian yang memicu diadakannya Konsili
1
Materi ini merupakan versi revisi dengan sejumlah penambahan pada: Deky Hidnas Yan Nggadas,
“Monotheisme Yahudi Kuno dan Doktrin Trinitas,” Jurnal Luxnos, Vol. 4, No. 1 (Januari- Juli 2018): 53-94.
2
James M. Renihan, Associational Churchmanship: Second London Confession of Faith 26.12-15, Volume 2 of
Recovering Our Confessional Heritage (Palmdale, CA.: Reformed Baptist Academic Press, 2016), 90.
3
Wayne Grudem, Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine (Epub Version; Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 1994), loc., 187/1083.
4
Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Volume Two: God and Creation, trans. John Vriend (Epub Version;
Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2004), loc., 197/516.
5
Bahkan istilah “Tritunggal” atau “Trinitas” (Trinity) sendiri tidak muncul di dalam Alkitab. Pada abad kedua,
seorang Bapa Gereja bernama Teofilus dari Antiokhia pada akhir abad kedua menggunakan istilah Yunani triaj
untuk merujuk kepada: qeoj (Allah), logoj (firman), dan sofia (hikmat). Lalu Tertulianus (+ 165-220 M) yang
menulis dalam bahasa Latin, menggunakan istilah Trinitas yang sampai hari ini digunakan sebagai istilah teknis
(terminus technicus) untuk berbicara mengenai Allah Tritunggal.
Jadi, seperti yang dikemukakan Renihan di atas, “situasi-situasi kehidupan yang nyata,” dalam hal
ini munculnya ajaran-ajaran yang ditemukenali Bapa-bapa Gereja sebagai ajaran menyimpang
yang mendorong mereka untuk memikirkan dan merefleksikan ajaran Alkitab mengenai Allah
lalu memformulasikannya dalam bentuk doktrin yang hari ini kita kenal dengan sebutan doktrin
Tritunggal atau Trinitas.
Di sisi lain, pembahasan mengenai Tritunggal merupakan sebuah bidang kajian yang sangat besar
termasuk perspektif pembahasannya pun beragam (Eksegetis, Teologi Biblika, Teologi
Sistematika, Teologi Historika, dan Teologi Pastoral). Karena itu, dalam stadium geneale ini saya
hanya akan fokus pada pembahasan mengenai Tritunggal dari persektif Teologi Biblika dan posisi
6
Berbicara secara historis, Konsili Nicea diadakan karena munculnya Arius bersama para pengikutnya yang
mengajarkan bahwa Yesus memiliki esensi (hakikat) yang tidak setara dengan hakikat Bapa. Dalam pengertian
tertentu, menurut Arius, Yesus dapat dianggap sebagai allah (a god), namun hanya Bapa yang memiliki hakikat
keallahan yang sejati, sebab ada masa dimana Yesus bukan Allah (“ there once was when He was not”). Ajaran inilah
yang menimbulkan kontroversi dimana salah satu partisipan utama yang menolak pandangan Arius adalah
Athanasius. Kontroversi ini diselesaikan melalui konsili yang diadakan pada bulan Juni tahun 325 M atas inisiatif
Kaisar Konstantinus. Singkatnya, Konsili Nicea tidak pernah diadakan dengan tujuan untuk mengangkat Yesus
menjadi Tuhan. Konsili itu diadakan karena adanya ajaran sesat, yaitu Arianisme. Untuk ulasan sejarah yang lebih
detail mengenai konteks yang melahirkan Konsili Nicea, lih. Franz Dunzl, A Brief History of the Doctrine of the Trinity
in the Early Church, trans. Jown Bowden (New York: T&T Clark, 2007), khususnya Chapter 5: The Concern of Arius of
Alexandria and the Reaction of His Opponents dan Chapter 6: The Intervention of Emperor Constantine and the
Council of Nicaea.
7
Dunzl, A Brief History of the Doctrine of the Trinity in the Early Church, 61.
8
Gregory Nazianzen, Orations, XXI, 35.
9
Itulah sebabnya, Gregorius Nazianzus dijuluki “Teolog Trinitarian” karena dialah yang memberikan artikulasi
paling jelas mengenai Allah Tritunggal. Lih. Brian E. Daley, Gregory of Nazianzus (London and New York: Routledge,
2006), 41-50, khususnya hlm. 41-42. Juga mengenai Gregorius Nazianzus, W.C. Weinrich, “Gregory of Nazianzus,” in
Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids, Michigan: Baker, 1995), 486-487, menulis
bahwa Gregorius Nazianzus adalah alat Tuhan yang menghancurkan Arianisme dan menegakan pengakuan iman
Nicea bahkan ia merupakan tokoh sentral pasca Konsili Nicea yang memberikan ekspresi doktrinal paling jelas
mengenai Tritunggal bagi Ortodoksi Kristen hingga sekarang.
Pertama, pandangan bahwa doktrin Tritunggal baru muncul bersamaan dengan pengesahan
ketuhanan Yesus oleh Kaisar Kontantinus dalam Konsili Nicea tahun 325 M. Dan Brown, penulis
Novel terlaris: The Da Vinci Code yang mempopularkan pandangan ini. Menurut Dan Brown,
awalnya para pengikut Yesus hanya memandang-Nya sebagai “seorang nabi…sosok manusia
hebat dan berkuasa, meski begitu manusia.”10 Lalu, kapan Yesus mulai disahkan sebagai Tuhan
bagi orang-orang Kristen? Konsili Nicea, oleh Kaisar Konstantinus, demikian menurut Dan Brown.
Brown menyatakan,
Dengan mengesahkan secara resmi Yesus sebagai Anak Allah, Konstantinus mengubah
Yesus menjadi sosok ilahi yang keberadaannya melampaui cakupan dunia manusia, suatu
entitas yang kekuatannya tidak terlawankan.11
Pandangan Dan Brown di atas adalah sebuah fiksi yang persis bertentangan dengan data sejarah
Kekristenan mula-mula.12
Kedua, pandangan bahwa doktrin Tritunggal tidak memiliki dasar yang jelas di dalam Alkitab.
Pandangan ini bisa diklasifikasikan ke dalam tiga variasi.
a. Pandangan bahwa rumusan doktrin Tritunggal mendapatkan dasar yang jelas hanya di dalam
PB, namun tidak jelas di dalam Perjanjian Lama. Pandangan semacam ini popular di kalangan
para teolog Konservatif. Pandangan ini tidak menyangkal bahwa doktrin Tritunggal memiliki
dasar Alkitab. Hanya saja, pandangan ini berangkat dari doktrin Wahyu Progresif bahwa di
10
Dan Brown, The Da Vinci Code (London: Bantam Press, 2003), 233. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia: Dan Brown, The Da Vinci Code, terj. Ingrid Dwijani Nimpoeno (Yogyakarta: Penerbit Bentang,
2010).
11
Brown, The Da Vinci Code, 233. Brown juga mengemukakan sejumlah klaim lain yang absurd secara
historis, selain klaim mengenai pengesahan ketuhanan Yesus di atas, antara lain: Yesus menikah dengan Maria
Magdalena dan bahwa Kanon Perjanjian Baru pun baru disahkan dalam Konsili Nicea. Menariknya adalah semua
klaim absurd yang tidak lain merupakan teori konspirasi tanpa bukti bahkan salah sama sekali “dibeli” dan
disebarluaskan kembali oleh para apologet Muslims. Semua klaim absurd Dan Brown tersebut telah dibantah
dengan sangat meyakinkan oleh sejumlah ahli sejarah PB, antara lain: Darrell L. Bock, Breaking The Da Vinci Code
(Nashville, Tennessee: Thomas Nelson, 2004). Termasuk kritikan tajam dari seorang pakar sejarah PB dan
Kekristenan mula-mula yang agnostik: Bart D. Ehrman, Truth and Fiction in The Da Vinci Code: A Historian Reveals
What We Really Know about Jesus, Maria Magdalene, and Constantine (Oxford: Oxford University Press, 2006).
12
Berbicara secara historis, Bapak-bapak Gereja pra-Nicea sudah banyak menulis mengenai Doktrin
Tritunggal. Lih. Deky Hidnas Yan Nggadas, “Bapak-bapak Gereja Pra-Nicea,”
https://dekynggadas.files.wordpress.com/2019/02/bapa2-gereja-dan-trinitas.pdf
Ketiga, pandangan bahwa doktrin Tritunggal tidak logis. Variasi pertama dari pandangan ini
percaya bahwa doktrin Tritunggal merupakan sebuah kontradiksi logis. Bagaimana bisa tiga
13
Masalah utama dari pandangan ini adalah bahwa pandangan ini memberikan kesan bahwa PB mengajarkan
Allah yang baru yang tidak pernah dikenal di dalam PL. Seakan-akan PL hanya mengajarkan ada satu Allah tanpa
kualifikasi lalu mendadak kualifikasi Trinitarian itu muncul di dalam PB.
14
Thomas R.W. Longstaff, “Trinity, the,” in Paul J. Achtemeier (ed.), HarperCollins Bible Dictionary (Rev. ed.;
New York: HarperCollins, 1996), 1179.
15
Longstaff, “Trinity, the,” 1179. Pandangan ini selain bermasalah seperti yang sudah saya kemukakan untuk
variasi pandangan pertamanya, namun juga pandangan ini adalah sebuah pandangan yang tidak bermakna. Karena
substansi dari diksusi mengenai Tritunggal adalah apakah doktrin tersebut memiliki dasar yang solid di dalam Alkitab
atau tidak, bukan apakah rumusan doktrinal yang muncul dalam sejarah Kekristenan secara eksplisit ada di dalam
Alkitab. Rumusan-rumusan abad keempat dan abad kelima mewakili situasi-situasi spesifik yang mereka hadapi,
namun adalah tidak bermakna untuk mengharuskan eksplisitas rumusan tersebut terdapat di dalam Alkitab.
Mayoritas yang kita ajarkan dan katakan hari ini mengenai Kekristenan dan ajaran-ajarannya pun tidak terdapat
secara eksplisit persis sama di dalam Alkitab namun kita tidak mempersoalkan hal itu. Sebab yang paling penting
adalah dasar dari gagasan itu ada di dalam Alkitab atau tidak, bukan apakah ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang
eksplisit persis sama di dalam Alkitab atau tidak. Kriteria ini juga mengasumsikan ketepatan persis dengan bahasa
Alkitab yang tentu saja hanya akan berakhir dengan absurditas karena jika kriteria itu benar, maka kita bahkan harus
berbicara dalam Bahasa Ibrani, Aramaik, dan Yunani untuk benar-benar mengajarkan ajaran-ajaran Alkitab. Kriteria
eksplisitas semacam ini merupakan ekspresi dari siap anti-abstraksi yang telah dibantah dengan baik oleh John M.
Frame, Doktrin Pengetahuan tentang Allah – Jilid II: Metode Pengetahuan, terj. Fenny Veronica dan Rahmiati
Tanudjaja (Malang: SAAT, 2000), 16-52. Frame menyatakan bahwa sikap ‘…semacam ini mendorong timbulnya
teologi yang berpusat pada istilah, dan bukan pada isi proporsional.” (hlm. 61).
16
Bavinck, Reformed Dogmatics, Volume Two: God and Creation, loc., 197/516. Pernyataan Bavinck
membingungkan. Apa maksudnya doktrin Tritunggal dalam PL adalah “benih-benih” lalu menjadi “kuntum bunga
pewahyuan Trinitarian dalam PB”? Apa maksudnya Kitab Suci hanya menyediakan “bahan mentah” bagi doktrin ini?
Saya percaya Bavinck keliru di sini. Sudah saya perlihatkan dalam bagian Pendahuluan bahwa rumusan-rumusan itu
lebih mewakili keharusan situasional dan kontekstual, namun bukan bahwa rumusan-rumusan itu adalah gagasan
yang baru sama sekali tanpa dasar yang jelas dalam Alkitab. Rumusan-rumusan itu lebih mewakili parafrase
kontekstual dari sebuah ajaran yang terdapat dasarnya yang berlimpah di dalam Alkitab.
Tepat karena pengakuan akan keesaan Allah, Qur’an menyanggah secara energetik
(energetically) melawan doktrin Trinitas Kristen…. Dari perspektif Islam, doktrin Trinitas
merupakan sebuah kesesatan yang berbahaya (a dangerous error) yang menjauhkan
seseorang dari monotheisme….19
Patut dicatat bahwa dalam teologi Islam, dosa yang tidak terampuni adalah dosa syirik, yaitu
dosa mengasosiasikan sesuatu atau seseorang dengan Allah. Kekristenan dianggap mengidap
dosa mematikan ini karena menyembah Yesus, dan karena itu mengasosiasikan manusia –
mereka percaya bahwa Yesus hanyalah seorang nabi, tidak lebih – dengan Allah yang Esa.
Bahkan dalam sejumlah bagian, Allah Qur’an tampaknya mengajarkan bahwa Kekristenan
17
Millard J. Erickson, Making Sense of the Trinity: 3 Crucial Questions (Epub version; Grand Rapids, Michigan:
Baker Academic, 2000), loc., 22/64. Pandangan tersebut tidak benar. Doktrin Tritunggal tidak melanggar hukum
non-kontradiksi, termasuk pemahaman akan doktrin Tritunggal yang benar tidak akan membuat orang percaya
bahwa 1+1+1=1 merupakan rumusan matematis yang secara akurat mewakili isi doktrin tersebut. Lih. Deky Hidnas
Yan Nggadas, “Doktrin Tritunggal: Sebuah Kontradiksi Logis?,”
https://dekynggadas.wordpress.com/2018/09/09/doktrin-tritunggal-sebuah-kontradiksi-logis/; dan Deky Hidnas Yan
Nggadas, “Doktrin Tritunggal: Gagal Matematika Dasar?,” https://dekynggadas.wordpress.com/2018/09/10/doktrin-
tritunggal-gagal-matematika-dasar-111/
18
Ludwig W. Adamec, Historical Dictionary of Islam (2nd ed.; Lanham: Scarecrow Press, Inc., 2009), 29.
19
Dunzl, A Brief History of the Doctrine of the Trinity in the Early Church, 2. Komentar saya terhadap Dunzl
adalah bahwa mungkin kata yang tepat bukan “secara energetik,” melainkan “secara militan” (militantly) atau
“agresif” (aggressive) atau “kombatif” (combative). Sejarah intimidasi, penganiayaan, bahkan pembunuhan
terhadap orang-orang Kristen di Negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim, salah satunya disebabkan
karena keyakinan orang-orang Kristen akan Trinitas. Publikasi hasil riset terbaru mengenai isu ini, dilakukan oleh:
Raymond Ibrahim, Crucified Again: Exposing Islam’s New War on Christians (Washington, DC.: Regnery Publishing,
Inc., 2013).
Meskipun terdapat detail-detail doktrinal yang berbeda antara Yudaisme dan Islam, namun
kedua agama besar ini berbagian dalam asumsi yang sama mengenai doktrin Trinitas Kristen.
James D.G. Dunn, Profesor PB (emeritus) di University of Durham, menyatakan:
Status yang disepakati atau yang disematkan bagi Yesus adalah kunci distinktif dan yang
mendefinisikan fitur Kekristenan. Hal ini juga merupakan batu sandungan terbesar bagi
dialog antar-iman antara orang-orang Kristen dan Yahudi, dan antara orang-orang Kristen
dan Muslim. Orang-orang Yahudi dan Muslim tidak dapat menerima status keilahian Yesus
sebagai Anak Allah, yang dianggap oleh orang-orang Kristen sebagai sesuatu yang
fundamental bagi iman mereka. Pemahaman Kristen mengenai Allah sebagai Trinitas
membingungkan mereka. Menganggap Yesus sebagai pribadi ilahi, yang layak menerima
penyembahan sebagai Allah, tampak bagi mereka sebagai sesuatu yang jelas merupakan
penolakan terhadap keesaan, dan lebih merupakan suatu bentuk politheisme ketimbang
suatu bentuk monotheisme.21
Dan kelima, pandangan bahwa Doktrin Trinitas merupakan penyimpangan dari Monotheisme
Yahudi yang Unitarian. Unitarianisme secara umum berarti kepercayaan bahwa Allah itu tunggal
baik di dalam esensi maupun pribadi-Nya. Dengan kata lain, doktrin Trinitas merupakan sebuah
inovasi baru dari kalangan Kekristenan mula-mula yang tidak memiliki akar sejarah di dalam
Yudaisme kuno.22
Dari kelima pandangan popular di atas, kita dapat merangkumnya menjadi empat pertanyaan.
Pertama, apakah doktrin Tritunggal itu alkitabiah? Kedua, apakah doktrin Tritunggal merupakan
sebuah ajaran yang tidak logis? Ketiga, apakah Doktrin Tritunggal itu Politheistik?; Dan keempat,
20
Ekspresi-ekspresi janggal dari Allah Qur’an mengenai Trinitas dalam bagian-bagian di atas menimbulkan
kecurigaan serius mengenai integritas Allah Qur’an dalam merepresentasikan posisi ortodoksi Kristen mengenai
Trinitas. Kekristenan tidak pernah percaya Tiga Allah; tidak pernah menggunakan formulasi “Allah adalah Yesus”
sebaliknya “Yesus adalah Allah”; tidak pernah percaya bahwa sebutan “Anak Allah” bagi Yesus berarti bahwa
kelahiran Yesus merupakan buah dari sebuah hubungan biologis; tidak pernah percaya bahwa Maria adalah salah
satu pribadi ilahi. Robert Spencer, The Truth about Muhammad: The Founder of the World’s Most Intolerant Religion
(Washington, DC: Regnery Publishing, Inc., 2006), 114, menilai bahwa ekspresi-ekspresi janggal ini
“Mendemonstrasikan pemahaman yang kabur akan doktrin Kristen mengenai Trinitas”. Bahkan ekspresi-ekspresi
janggal tersebut tidak lebih dari sebuah misrepresentasi atau miskarakterisasi yang dalam istilah logika disebut
straw men fallacy. Lih. James R. White, What Every Christian Needs to Know about the Qur’an (Minneapolis,
Minnesota: Bethany Publishing House, 2013), khususnya Chapter 4: “Say Not Three”: The Qur’an and the Trinity.
Senada dengan Spencer, White juga percaya bahwa misrepresentasi Qur’an terhadap doktrin Trinitas Kristen
memperlihatkan bahwa penulisnya tidak lain adalah Muhammad yang salah memahami isi doktrin ini.
Di Indonesia, baru-baru ini, celotehan dari Egy Sudjana yang mengkontraskan keyakinan akan keesaan Allah
dengan Trimurti (Hinduisme) dan Trinitas (Kristen) mengekspresikan misrepresentasi Qur’an di atas terhadap
doktrin Trinitas dalam Kekristenan.
21
James D.G. Dunn, Did the First Christians Worship Jesus?The New Testament Evidence (Louisville, Kentucky:
Westminster John Knox Press, 2010), 1. Untuk evaluasi saya terhadap pandangan Qur’an mengenai Tritunggal, lih.
Deky Hidnas Yan Nggadas, “Doktrin Tritunggal dan Qur’an: Akuratkah Penggambaran Qur’an mengenai Doktrin
Tritunggal?,” https://dekynggadas.files.wordpress.com/2018/09/doktrin-tritunggal-dan-quran.pdf
22
Yudaisme yang dimaksud dalam pandangan di atas adalah Yudaisme Intertestamental atau sebutan lainnya
adalah Yudaisme Bait Suci Kedua (Second Temple Judaism). Ada pula yang menyebutnya Yudaisme kuno (Ancient
Judaism).
Pada tahun 2006, Paula Fredriksen, Professor of the Historical Jesus Study di Hebrew University
Jerusalem, menyerukan agar jangan lagi sama sekali menggunakan istilah “monotheisme” untuk
menggambarkan mengenai karakter teologis Yudaisme Kuno dan Kekristenan mula-mula.24
Istilah ini harus “undur diri” dari kosakata studi sejarah mengenai Yudaisme Bait Suci Kedua dan
Kekristenan mula-mula. Ia mengklaim bahwa pengertian modern mengenai “monotheisme”
sama sekali tidak terdapat dalam benak orang-orang Yahudi kuno dan orang-orang Kristen mula-
mula. Mereka memang menegaskan keesaan Allah, namun penekanan mereka bukan pada
penolakan akan eksistensi allah-allah lain, melainkan bahwa hanya Allah (Yahweh) yang layak
menerima penyembahan dan devosi tertinggi.25
Sebelum Frediksen, Larry W. Hurtado (1998), Emiritus Professor of New Testament Language,
Literature, and Theology di University of Edinburgh, menerima klaim dan argumen para
pendahulunya di atas, namun ia tidak sependapat dengan Fredriksen yang menyerukan
“pengunduran diri” istilah “monotheisme” dalam studi sejarah mengenai Yahudi kuno dan
Kekristenan mula-mula. Hurtado percaya bahwa istilah tersebut masih bermanfaat untuk
digunakan asalkan diberikan qualifier (istilah penjelas). Itulah sebabnya, ia memilih menggunakan
23
Allison Peter Hayman, “Monotheisme – A Misused Word in Jewish Studies,” Journal of Jewish Studies 42
(1991): 1-13.
24
Paula Fredriksen, “Mandatory Retirement: Ideas in the Study of Christian Origins Whose Time Has Come to
Go,” SR 35 (2006): 231-246.
25
Lih. Fredriksen, “Mandatory Retirement: Ideas in the Study of Christian Origins Whose Time Has Come to
Go,” 35.
Saya diyakinkan dengan bukti-bukti yang dipresentasikan bersama dengan kesimpulan dari
publikasi-publikasi di atas. Berbicara secara historis, kita harus berhati-hati untuk tidak meng-
impose gagasan modern mengenai “Monotheisme” ke dalam karakter Monotheisme Yahudi
Kuno. Karakteristik-karakteristik uniknya sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, harus
selalu diingat agar kita tidak menganggap bahwa kandungan pengertian istilah “Monotheisme”
yang kita asumsikan sekarang sama persis dengan yang dipahami dalam konteks Yudaisme kuno
dan Kekristenan mula-mula.
Publikasi akademik yang paling berpengaruh dalam bidang ini berasal dari seorang pakar Yahudi
bernama Alan F. Segal, Professor of Religion and Judaic Studies di Bernard College. Pada tahun
1977, Segal mempublikasikan buku berjudul: Two Powers in Heaven dimana ia memperlihatkan
bahwa sampai pada akhir abad pertama, Yudaisme pada masa itu tidak memiliki masalah soal
pluralitas pribadi Allah. Malahan mereka percaya bahwa terdapat dua figur yang sama-sama ilahi
di sorga. Ia menyebutnya “Two Powers Theology,” yang nanti baru dikecam sebagai bidat (ajaran
sesat) dalam literatur-literatur Rabbinik (mis. Mek. R. Ishamael, Bahodesh 5; b. Hag. 15a; 3
Enoch 16). Kecaman dari para Rabi tersebut tampaknya lebih bersifat apologetik terhadap
pengaruh luas dari ajaran Trinitarian Kristen (mis. B. Sanh. 38a; Deut. Rab. 2.33, Eccl. Rab. 4:8).30
Seorang pakar Yahudi yang lain, Benjamin Somer, Professor of Bible and Ancient Semitic
Languages di Jewish Theological Seminary. Somer berargumentasi bahwa sosok Malaikat TUHAN
26
Larry W. Hurtado, One God, One Lord: Early Christian Devotion and Ancient Jewish Monotheism (Edinburgh:
T&T Clark, 1998).
27
Hurtado, One God, One Lord, 129 n.1.
28
Lih. Steven T. Katz (ed.), The Cambridge History of Judaism – Volume Four: The Late Roman – Rabbinic
Period (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
29
Binitarianisme adalah kepercayaan akan Satu Allah dalam Dua Pribadi Ilahi.
30
Alan F. Segal, Two Powers in Heaven: Early Rabbinic Reports about Christianity and Gnosticism (2nd ed.;
Leiden: Brill, 2002).
Selanjutnya, patut disebut juga mengenai Daniel Boyarin, Professor of Talmudic Culture pada
Departement of Near Eastern Studies and Rhetoric di University of California, Berkeley. Boyarin
secara khusus berupaya memperlihatkan bahwa gelar Anak Manusia yang Ilahi yang digunakan
bagi Yesus persis sejalan dengan teologi Anak Manusia dalam tradisi Yahudi yang dikembangkan
berdasarkan Daniel 7:13-14. Gagasan mengenai figur kedua yang sama ilahinya dengan Yahweh
bukan merupakan sesuatu yang aneh dalam Yudaisme Bait Suci Kedua. Mereka memiliki kategori
pemahaman seperti itu.32 Boyarin menulis,
…gagasan mengenai dua figur ilahi (a dual godhead) yang terdiri atas Bapa dan Anak,
gagasan mengenai Penebus yang adalah Allah sekaligus manusia, dan gagasan bahwa
Penebus ini menderita dan mati sebagai bagian dari proses penyelamatan. Setidaknya,
beberapa dari gagasan ini, Allah Bapa/Anak dan Penyelamat yang menderita, memiliki akar
yang mendalam dalam Kitab Suci Ibrani dan banyak gagasan-gagasan kuno mengenai Allah
dan dunia yang pernah dianut oleh orang-orang Israel.33
Dalam sebuah publikasinya yang lain mengenai Logos (Aramaik: Memra), Boyarin bahkan
menyatakan bahwa posisi di atas merupakan posisi mayoritas di kalangan Yudaisme kuno:
Meskipun teologi Rabbinik yang resmi menekan semua pembicaraan mengenai Memra
atau Logos dengan menamainya bidat ‘Two Powers in Heaven,’ sebelum para Rabbi dan
orang-orang sejamannya, terdapat sejumlah besar (multitude) orang Yahudi baik di
Palestina maupun di Diaspora, yang menganut versi teologi Monotheistik tersebut.34
Kita bisa mempercayai kesimpulan dari para pakar Yahudi di atas sebagai sesuatu yang mewakili
kenyataan pada abad pertama dengan mencermati dinamika retorika dalam PB sendiri. James F.
McGrath, Professor of New Testament Language and Literature melakukan riset ini berdasarkan
riset Segal di atas. McGrath memperlihatkan bahwa pengakuan-pengakuan eksplisit dalam Injil
Yohanes (mendekati akhir abad pertama) mengenai ketuhanan Yesus selain penegasan yang
setara akan Bapa tidak menuai protes apa pun. Orang-orang Yahudi tertentu memang menolak
Yesus sebagai Allah, namun mereka tidak memperlihatkan penolakan terhadap gagasan bahwa
terdapat sosok ilahi yang lain selain Bapa. Fenomena ini sebenarnya sudah muncul juga dalam
tulisan-tulisan Philo dari Aleksandria (+ 20 sM – 45 M) yang menyebut Logos sebagai “Allah
kedua” (second God) bahkan “Allah” (God) tanpa menuai kecaman dari orang-orang Yahudi
sejamannya sebagai ajaran sesat (bidat).35
31
Benjamin Somer, The Bodies of God and the World of Ancient Israel (Cambridge: Cambridge University
Press, 2009), 38-39.
32
Daniel Boyarin, The Jewish Gospel: The Story of the Jewish Christ (New York: The New Press, 2012).
33
Boyarin, The Jewish Gospel, 158.
34
Daniel Boyarin, “The Gospel of the Memra: Jewish Binitarianism and the Prologue to John,” The Harvard
Theological Review, Vol. 94, No. 3 (July 2001): 254.
35
Lih. James F. McGrath, “Two Power’s and Early Jewish and Christian Monotheism,” Journal of Biblical
Studies, 4/1 (January 2004): 43-71.
36
Naskah-naskah Laut Mati (DSS) ditemukan pada tahun 1947 dalam 11 gua di sekitaran Laut Mati dengan
jumlah yang mencapai lebih dari 900 naskah (200an naskah di antaranya merupakan salinan-salinan Perjanjian
Lama). Naskah-naskah ini mendahului kelahiran Kekristenan dan diberi penanggalan abad ketiga sebelum Masehi
hingga tahun 70 Masehi. Lih. Geza Vermes, The Complete Dead Sea Scrolls in English (Revised edition; London:
Penguin Books, 2004); Lawrence H. Schiffman and James C. VanderKam (eds.), Encyclopedia of the Dead Sea Scrolls,
2 vols. (Oxford: Oxford University Press, 2000).
37
Tidak heran, ketika Yesus meredakan angin ribut itu, para murid-Nya berheran-heran sambil ketakutan dan
berkata: “Siapakah gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” (Mrk. 4:41; Mat. 8:27; Luk.
8:25). Yesus sendiri pun menggunakan Mazmur 146:7-9 sebagai penyingkapan identitas Mesianik-Nya ketika
ditanyai oleh Yohanes Pembaptis (Mat. 11:4-5; bnd. Yes. 35:5-6; 61:1).
38
Untuk diskusi lengkap mengenai pengharapan Mesianik dalam Naskah-naskah Laut Mati, lih. John J. Collins,
The Scepter and the Star: Messianism in Light of the Dead Sea Scrolls (2nd ed.; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
2010).
39
Saya selalu mengatakan kepada para mahasiswa saya bahwa tafsiran terbaik untuk Perjanjian Baru adalah
Perjanjian Lama. Selain itu, saya juga telah menulis sebuah artikel serupa yang merupakan materi Studium Generale
saya di STT Huperetes (Mei 2018) dengan penekanan pada data Perjanjian Baru. Lih. Nggadas, “Monotheisme
Yahudi Kuno dan Doktrin Trinitas,” 53-94.
Dalam Keluaran 20:3, “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir,
dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” Profesor Millard J.
Erickson menjelaskan bahwa dalam Keluaran 20:3, “Allah telah menunjukkan realitas-Nya yang
unik melalui apa yang telah dilakukan-Nya, sehingga Ia berhak menuntut penyembahan,
pengabdian, dan ketaatan mutlak dari bangsa Israel.”40
Kita juga membaca dalam Ulangan 6:4 yang dikenal juga dengan sebutan “Shema”: “Dengarlah,
hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Para penganut Unitarianisme sering kali
merujuk kepada ayat ini untuk menolak doktrin Tritunggal. Namun kata bahasa Ibrani yang
digunakan di sini adalah kata dx'(a, (ehad) yang tidak berarti satu numerik (soliter). Kata ini
digunakan dalam Kejadian 2:24 ketika berbicara mengenai suami dan istri sebagai “satu daging”
(dx'(a, rf"ïbl' .). Kata ini juga digunakan dalam Kejadian 34:16, 22 mengenai perkawinan campur
sebagai “satu bangsa” (dx'(a, ~[;îl.). Jadi, penggunaan kata ehad (esa) di sini dapat memiliki arti
compound unity (satu kesatuan).41
Perjanjian Baru juga menegaskan kembali akan keesaan Allah dalam sejumlah bagian (Mrk.
12:29; 1Kor. 8:4, 6; 1Tim. 2:5-6; Yak. 2:19). Yesus mengutip Ulangan 6:4 dalam percakapan
dengan seorang ahli Taurat mengenai hukum yang paling utama: “Hukum yang terutama ialah:
Dengarlah, hai Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.” (Mrk. 12:29). Pernyataan ini kemudian
diikuti dengan perintah agar mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal
budi, dan dengan segenap kekuatan (Mrk. 12:30). 42
a. Dua Yahweh
Dalam sejumlah bagian di dalam PL, kita mendapati pembedaan yang jelas akan dua Pribadi yang
sama-sama disebut Yahweh. Salah satunya, Kejadian 19:24 akan saya bahas di bawah ini:
40
Millard J. Erickson, Teologi Kristen, Volume Satu (Malang: Gandum Mas, 1999), 419.
41
Bahkan kata WnyheÞl{a/ dalam Ulangan 6:4 menggunakan akhiran kata ganti milik jamak (bnd. Bil. 20:15; 1Sam.
12:19; Yes. 53:5) yang membuka peluang untuk menerjemahkan kata tersebut sebagai “Gods” (jamak; bnd. Ul.
10:17; Yos. 24:19; Mzm. 29:1).
42
Dalam konteks “keramaian lalu-lintas” para dewa di abad pertama, perintah mengasihi Tuhan dengan
segenap hati, dst., merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, atas dua alasan. Pertama, perintah itu hanya masuk
akal jika seseorang mengasumsikan Monotheisme. Namun jika ia mengasumsikan Politheisme, maka perintah itu
absurd. Bagaimana mungkin orang dapat mengasihi secara demikian jika ia memiliki jumlah dewa/dewi yang tidak
terhitung banyaknya? Dan kedua, gagasan mengenai mengasihi Tuhan merupakan gagasan khas Judeo-Kristen.
Gagasan ini tidak muncul dalam agama-agama Greco-Roman. Ini adalah salah satu keunikan Kekristenan di abad
pertama sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh: Larry W. Hurtado, Destroyer of the gods: Early Christian
Distinctiveness in the Roman World (Waco, Texas: Baylor University Press, 2016).
Pada ayat di atas, nama Yahweh disebutkan sebanyak dua kali, dan berdasarkan struktur
kalimatnya, kedua penyebutan nama Yahweh tersebut mesti dibaca merujuk kepada Pribadi-
pribadi yang berbeda: “TUHAN (Yahweh) menurunkan hujan belerang dan api…dari TUHAN
(Yahweh).” Konteksnya pun mengharuskan kesimpulan ini yakni Kejadian 18 dimana tiga pria
menampakan diri kepada Abraham. Dan dalam ayat 13-15, salah satu dari ketiga pria itu
diidentifikasi sebagai Yahweh (TUHAN). Sedangkan dua pria lainnya diidentifikasi sebagai dua
malaikat (Kej. 19:1dst.). Selanjutnya, dalam Kejadian 18:33, TUHAN (Yahweh) dalam Kejadian
18:13-15 meninggalkan Abraham ke Sodom. Maka, ketika Kejadian 19:24 menyatakan bahwa
Yahweh menurunkan malapetakan itu dari Yahweh, pembedaannya adalah ada satu sosok
Yahweh di bumi yang menurunkan malapetaka atas Sodom dan Gomora dari sosok Yahweh yang
lain di sorga. Yahweh di bumi menurunkan malapetaka dari Yahweh di sorga.
Gagasan mengenai dua Pribadi yang disebut Yahweh pada Kejadian 19:24 juga ditegaskan dalam
Targum Onkelos: “Dan TUHAN menurunkan atas Sodom dan Gomorah hujan belerang dan api
dari hadapan TUHAN dari sorga….” Poin yang sama juga terdapat dalam Fragmentary Targum
namun Pribadi Yahweh yang dibumi disebut sebagai “Firman TUHAN” (Aramaik: Memra) untuk
dibedakan dari Yahweh yang di sorga. 43
b. Malaikat TUHAN
Pertama-tama kita harus memahami bahwa istilah “malaikat” (Ibr. %a'l.m;; Yun. a;ggeloj) semata-
mata berarti “utusan” (messenger) yang tidak inheren mengasumsikan status ontologisnya.
Karena itu, kata tersebut dapat digunakan untuk para makhluk sorgawi termasuk juga untuk
manusia sebagai utusan.44
Di dalam PL, terdapat banyak lontaran mengenai Malaikat TUHAN yang diidentifikasi sebagai
Pribadi ilahi. Namun karena aspek pembahasan ini telah sangat banyak dilakukan dalam berbagai
literatur, saya hanya akan menyebutkan teks-teksnya di sini: Kejadian 31:10-13; 48:14-16;
Keluaran 3:1-4; 23:20-22; Hak. 6:11-23. Dalam teks-teks ini, Malaikat TUHAN tersebut dikatakan
menyandang Nama Yahweh yang tidak lain merupakan kehadiran Yahweh dalam bentuk manusia
(bnd. Ul. 12:4-12; 2Sam. 6:1-2; Mzm. 20:1, 7).45
c. Firman TUHAN
Prolog Injil Yohanes (1:1-18) menggunakan gelar logos (Firman) bagi Yesus. Dalam perikop ini,
logos bukan sekadar “kata-kata” melainkan Pribadi yang historis, yaitu Yesus dari Nazaret.
Berbagai spekulasi mengenai latar belakang dari penggunaan sebutan logos dalam Prolog Injil
Yohanes diusulkan oleh para pakar (Philo, filsafat Yunani, Targum, dll.).46 Namun, gagasan
mengenai logos sebagai Pribadi Ilahi berakar di dalam Perjanjian Lama.
43
Targum adalah terjemahan atau lebih tepat, parafrase teks Ibrani PL ke dalam bahasa Aramaik. Jadi,
Targum mewakili penafsiran Yudaisme kuno akan PL.
44
Lih. “%a'l.m;,” BDB Lexicon (BibleWorks6); “a;ggeloj,” BDAG Lexicon (BibleWorks6).
45
Lih. Günther Juncker, “Christ As Angel: The Reclamation Of A Primitive Title,” Trinity Journal, 15:2 (Fall
1994): 221–250.
46
Lih. diskusi lengkapnya, dalam: Craig A. Evans, Word and Glory: On the Exegetical and Theological
Background of John’s Prologue (JSNTSupp. 89; Sheffield: JSOT Press, 1993).
1 Samuel 3:1-21, kita juga membaca fenomena serupa seperti dalam Kejadian 15:1:
Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu
firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering. 2Pada suatu hari Eli, yang
matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat
tidurnya. 3Lampu rumah Allah belum lagi padam. Samuel telah tidur di dalam bait suci
TUHAN, tempat tabut Allah. 4Lalu TUHAN memanggil: "Samuel! Samuel!", dan ia
menjawab: "Ya, bapa." 5Lalu berlarilah ia kepada Eli, serta katanya: "Ya, bapa, bukankah
bapa memanggil aku?" Tetapi Eli berkata: "Aku tidak memanggil; tidurlah kembali." Lalu
pergilah ia tidur. 6Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi. Samuelpun bangunlah, lalu
pergi mendapatkan Eli serta berkata: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Tetapi Eli
berkata: "Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali." 7Samuel belum mengenal
TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. (ay. 1-7).
Lalu, masih dalam konteks yang sama, dalam 1 Samuel 3:10: “Lalu datanglah TUHAN, berdiri di
sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: ‘Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab:
"Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.’” Yang menarik adalah dalam ayat 21: “Dan
TUHAN selanjutnya menampakkan diri di Silo, sebab Ia menyatakan diri di Silo kepada Samuel
dengan perantaraan firman-Nya.” Dengan perantaraan firman-Nya? Bukankah dalam ayat 10
dikatakan bahwa “datanglah TUHAN” dan “berdiri di sana dan memanggil”?
Hal serupa juga terjadi pada saat Tuhan memanggil Yeremia. Dalam Yeremia 1, kita membaca
beberapa kali “firman TUHAN datang” (ay. 2, 3, 4). Kemudian, dalam ayat 6, Yeremia menyebut
firman yang datang kepadanya sebagai “TUHAN Allah”. Hal yang sama juga terdapat dalam ayat
9 dimana firman Tuhan yang datang kepada Yeremia tersebut, diidentifikasi sebagai TUHAN
(Yahweh) yang mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulut Yeremia.
Jadi gagasan mengenai “firman” (logos) dalam Prolog Injil Yohanes bagi Pribadi Yesus Kristus,
bukanlah gagasan yang diciptakan oleh Yohanes sendiri. Gagasan itu berasal dari Perjanjian Lama
yang menggunakan ekspresi “firman TUHAN” sebagai titular (sebutan sebagai gelar) untuk
berbicara mengenai Pribadi Yahweh sendiri.48
47
Bnd. NIV: “…the word of the LORD came to Abram in a vision…”.
48
Ekspresi serupa juga terdapat dalam Kejadian 3:8. Dalam terjemahan LAI-ITB: “Ketika mereka mendengar
bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia
dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.” Saya sendiri menerjemahkan ayat
ini: “Ketika mereka mendengar suara TUHAN Allah berjalan di taman itu….” Ini adalah teofani pertama dalam Alkitab
dimana subjek dari kalimat ini adalah “suara TUHAN ALLAH” (~yhi²l{a/ hw"ôhy> lAq). Kemudian dalam Kejadian 1:26,
“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….” Dan dalam ayat 27: “Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka.” Targum Yerusalem memparafrasekan ayat 27: “Firman TUHAN menciptakan
manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar dari kehadiran TUHAN (the presence of the LORD) Dia
Cukup lama teks di atas dianggap membingungkan oleh para penafsir. Sebab ketika Yesus
ditanyai: “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?,” jawaban Yesus: “Akulah Dia,” dalam
konteks Yudaisme abad pertama tidak pernah dianggap sebagai bentuk penghujatan terhadap
Allah. Kita bahkan mengetahui ada seseorang mengenai Bar Kokhba yang mengaku diri sebagai
Mesias tanpa dianggap sebagai penghujat.49 Sebutan “Anak dari Yang Terpuji,” pun merupakan
sebutan lain bagi Mesias dalam konteks Yudaisme abad pertama.
Lalu bagian mana dari jawaban Yesus yang dianggap sebagai penghujatan oleh Imam Besar
tersebut? Anda mungkin tidak pernah menduganya, namun bagian itu adalah: “dan kamu akan
melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah awan-
awan di langit.”
Di dalam konteks Timur Dekat Kuno (Ancient Near East) motif “pengendara awan” secara
eksklusif digunakan untuk Baal. Dalam konteks itu, Baal merupakan sesembahan yang sangat
luas disembah. Namun para penulis PL tidak setuju. Menurut mereka, Baal tidak layak
mendapatkan sebutan itu. Hanya Yahweh yang layak disebut sebagai “Sang Pengendara awan.”
Motif ini dapat kita lihat dalam banyak bagian di dalam PL:
Tidak ada yang seperti Allah, hai Yesyurun. Ia berkendaraan melintasi langit sebagai
penolongmu dan dalam kejayaan-Nya melintasi awan-awan. (Ul. 33:26).
Bernyanyilah bagi Allah, mazmurkanlah nama-Nya, buatlah jalan bagi Dia yang
berkendaraan melintasi awan-awan! Nama-Nya ialah TUHAN; beria-rialah di hadapan-
Nya! (Mzm. 68:4).
32Hai
kerajaan-kerajaan bumi, menyanyilah bagi Allah, bermazmurlah bagi Tuhan; Sela
33bagiDia yang berkendaraan melintasi langit purbakala. Perhatikanlah, Ia
memperdengarkan suara-Nya, suara-Nya yang dahsyat! (Mzm. 68:32-33).
Pujilah TUHAN, hai jiwaku! TUHAN, Allahku, Engkau sangat besar! Engkau yang
berpakaian keagungan dan semarak, 2yang berselimutkan terang seperti kain, yang
membentangkan langit seperti tenda, 3yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air,
menciptakannya.” Dengan kata lain, menurut Targum, Firman Tuhan adalah sebutan (gelar) untuk menyebut Pribadi
Yahweh sendiri. Dan hal ini memberikan dukungan yang kuat untuk membaca Kejadian 1:26-27, khususnya
penggunaan kata “Kita” secara Trinitarian (bnd. parafrase Targum Neofiti terhadap Kejadian 28:20-21 dimana kata
“TUHAN” dalam naskah Ibraninya diparafrasekan sebagai “Firman TUHAN”.
49
Mengenai Bar Kokhba, lih. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, terj. Soeparto Poerbo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
TUHAN itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari
hukuman orang yang bersalah. Ia berjalan dalam puting beliung dan badai, dan awan
adalah debu kaki-Nya. (Nah. 1:3).
Yang menarik adalah ada sebuah teks di dalam PL yang menyebutkan sosok lain sebagai
pengendara awan, sebuah sosok yang juga ilahi, yaitu Daniel 7:13-14:
13Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan
dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu,
dan ia dibawa ke hadapan-Nya. 14Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan
kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa
mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap,
dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.
Sampai di sini, kita melihat bahwa Anak Manusia dalam visi apokaliptik Daniel menempatkan
Anak Manusia dengan peran dan julukan yang di dalam seluruh PL digunakan secara eksklusif
bagi Yahweh sendiri. Di sini Daniel menggambarkan Anak Manusia itu datang “dengan awan-
awan dari langit” bahkan kekuasaan dan kemuliaannya kekal dan tidak akan musnah.
Di dalam jawaban-Nya, Yesus mengkombinasikan motif “pengendara awan” dalam Daniel 7:13-
14 dengan Mazmur 110:1-2 bagi diri-Nya (Mrk. 14:62). Melalui jawaban itu, Yesus sebenarnya
menyatakan bahwa Dia sendiri adalah Yahweh yang akan datang sebagai Hakim Terakhir (the
ultimate Judge) untuk menghakimi semua orang yang di dalam PL digelari “Sang Pengendara
awan”. Dalam konteks ini, Yesus menegaskan kepada Imam Besar itu, “Anda berpikir Anda
adalah hakim bagi-Ku sekarang, akan tiba waktunya di masa depan, Akulah yang akan
menghakimi engkau!” Sang Imam Besar yang sangat mengenal baik isi PL langsung mengetahui
bahwa Yesus sedang mengklaim diri-Nya sebagai Yahweh yang telah diperkenalkan di dalam PL.
Itulah sebabnya ia mengoyak jubahnya sebagai tindakan simbolik bahwa Yesus sedang
menghujat Yahweh.
e. Yesaya 48:16
“Mendekatlah kepada-Ku, dengarlah ini: Dari dahulu tidak pernah Aku berkata dengan
sembunyi dan pada waktu hal itu terjadi Aku ada di situ." Dan sekarang, Tuhan ALLAH
mengutus aku dengan Roh-Nya.” (juga Yes. 63:7-11 – Mzm. 78:40-41;50 dalam PB, mis.
Mat. 3:13-17; Mrk. 1:9-11; Luk. 3:21-22; Yoh. 1:32-34; Mat. 28:19; Yoh. 17; 2Kor. 13:13).
50
Terjemahan LAI-ITB tidak secara tepat menerjemahkan ayat 9, dimana frasa ~['êyviAh) ‘wyn"P' %a:Ül.m;W seharusnya
diterjemahkan “dan malaikat kehadiran-Nya menyelamatkan mereka” (“And the Angel of His Presence saved
them”). Jadi dalam Yesaya 63:7-11, kita mendapati sebutan mengenai tiga Pribadi ilahi sebagaimana dalam Yesaya
48:16.
Dalam pembahasan di atas, saya sudah memperlihatkan bukti demi bukti mengenai Dua Pribadi
Ilahi. Bagaimana dengan Roh Kudus? Di dalam PL, kita mendapati sejumlah bagian yang
berbicara mengenai Roh Kudus sebagai Pribadi Ilahi. Dalam Ayub 26:13: “Oleh nafas-Nya langit
menjadi cerah, tangan-Nya menembus ular yang tangkas.” Kata “nafas” di sini diterjemahkan
dari kata bahasa Ibrani AxW. Gagasan yang sama juga terdapat dalam Mazmur 104:30: “Apabila
Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi.” Juga dalam
Mazmur 33:6: “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala
tentaranya.” Sekali lagi, kata “nafas” di sini diterjemahkan dari kata bahasa Ibrani AxW. Dengan
memperhatikan ayat-ayat ini dimana Roh Tuhan dipresentasikan sebagai Pencipta, maka
Kejadian 1:2 pun harus dimaknai sebagai karya Roh Allah dalam penciptaan, bukan sekadar
sebagai sebuah kekuatan atau angin besar sebagaimana yang sering diusulkan oleh para
penafsir.51
f. Poin-poin Ringkasan
1. Alkitab menegaskan bahwa Allah yang disingkapkan dalam seluruh Alkitab adalah Allah
yang Esa. Baik PL maupun PB menegaskan keesaan Allah.
2. Keesaan Allah yang diajarkan dalam Alkitab bukanlah keesaan dalam kategori Unitarian.
Data yang berlimpah dalam PL maupun PB bahwa Keesaan Allah adalah Keesaan yang
Trinitarian. Menggunakan istilah PB: Bapa, Anak (Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Secara
konsisten sejak PL hingga PB, ketiga Pribadi ini diperkenalkan dengan berbagai cara.
3. Perjanjian Baru menyingkapkan dengan cara yang baru yang lebih konkret ketimbang
sekadar teofani-teofani di dalam PL mengenai Tritunggal yaitu melalui inkarnasi Yesus
Kristus (Yoh. 1:1-18; Flp. 2:6-11; Ibr. 1:1-3) dan pencurahan Roh Kudus (Kis. 2).
4. Gagasan mengenai pluralitas Pribadi Allah sudah dikenal dalam Yudaisme Bait Suci Kedua
yang tentu saja mereka dapatkan dari PL. Jadi tidak benar bahwa Monotheisme Yahudi
kuno adalah Monotheisme yang Unitarian.
Dalam kaitan dengan doktrin Tritunggal, sepanjang sejarah kita mengenal beberapa bidat (ajaran
sesat) yang utama yang menurut saya lebih banyak “tersandung” oleh data berlimpah mengenai
pluralitas Pribadi Allah lalu menafsirkannya sedemikian rupa sehingga meniadakan atau
setidaknya mengaburkan fakta pewahyuan tersebut. Dua di antarannya:
51
Lih. Victor P. Hamilton, The Book of Genesis Chapter 1-17 (Epub; NICOT; Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1990), loc., 113/688.
52
M.R.W. Farrer, “Heresy,” in Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids,
Michigan: Baker, 1984), 508.
Ajaran-ajaran sesat tersebut tidak dapat diterima karena tidak mewakili seluruh data Alkitab
mengenai Allah bahkan sebenarnya merupakan distorsi akan ajaran Alkitab. Di sisi lain,
Kekristenan perdana hingga sekarang terus menerima Doktrin Tritunggal – Satu esensi, Tiga
Pribadi yang berbeda – karena doktrin ini merupakan rangkuman terbaik yang mencakup seluruh
pewahyuan Allah dalam Alkitab mengenai diri-Nya. Sampai di sini kita bisa melihat kontras yang
sangat jelas antara sejumlah ajaran sesat di atas dengan doktrin Tritunggal. 57
53
Ian A. McFarland, “Modalism,” in Ian A. McFarland, et al (eds.), The Cambridge Dictionary of Christian
Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 318.
54
Morwenna Ludlow, “Patripassianism,” in The Cambridge Dictionary of Christian Theology, 375-376.
55
Lih. V. Synan, “Pentecostalism,” in Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids,
Michigan: Baker, 1995), 837-838.
56
V.L. Walter, “Arianism,” in Evangelical Dictionary of Theology, 74-75.
57
Os Guiness menyatakan, “Kontras adalah induk dari kejelasan. Saya selalu mendapati diri saya terpesona
akan Injil tatkala saya melihatnya dalam kontras dengan alternatif-alternatif lain.”