OLEH :
Dosen Pengampu:
dr. Adila Kasni Astiena, MARS
KELOMPOK 14
(Semester III-V AKK)
RS = 20 TT P = 2 jt
I = 100jt 1 th = 365 hr
O = 10 jt Pasien = 20 org/ 5 hr rawat
2. Analisis Biaya
Menurut Mulyadi (1990), Analisis biaya merupakan suatu upaya mencapai
penggunaan sumberdaya ekonomi yang optimal sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan, khususnya yang menyangkut berbagai macam alternatif untuk masa
mendatang. Sedangkan menurut Berman (1996), Analisis biaya adalah proses menata
kembali data atau informasi yang ada dalam laporan keuangan untuk memperoleh usulan
biaya pelayanan rumah sakit. Dengan kata lain, analisis biaya merupakan pendistribusian
biaya dari unit pemeliharaan, unit operasional, dan unit pelayanan umum lainnya ke
bagian perawatan, gawat darurat, atau pendapatan rumah sakit dari layanan yang
diberikan kepada pasien.
Menurut Meg Sewell dan Mary Marczak (2011), “cost analysis is currently a
somewhat controversial set of methods in economic evaluation, cost allocation, and
efficiency assessment. One reason for the controversy is that these terms cover a wide
range of methods”. Analisis biaya adalah sebuah metode yang kontroversial (mencakup
beberapa metode) dalam evaluasi ekonomi, pengalokasian biaya, dan penilaian efisiensi.
Analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan, mengelompokkan, dan
mengidentifikasi data keuangan untuk menghitung biaya output suatu produk/jasa dalam
rangka peningkatan efisiensi dan profitabilitas perusahaan.
3. Metode-metode yang digunakan untuk menghitung unit cost
Unit cost adalah hasil pembagian antara total cost yang dibutuhkan dibagi dengan jumlah
unit produk yang dihasilkan (Hansen & Mowen (2005). Beberapa Metode Unit Cost
yang dikenal adalah :
a. Simple distribution
Merupakan cara langsung membagi habis biaya diunit-unit pusat biaya ke pusat
pendapatan berdasarkan bobot tertentu.
b. Step down method
Merupakan cara membagi biaya dari pusat biaya ke pusat pendapatan melalui
beberapa tahap, yaitu pertama alokasi antara pusat biaya (disusun dengan unit mulai
dengan biaya tertinggi sebagai unit yang memberi biaya kepusat biaya lain).
Kemudian biaya yang diterima pusat biaya dibawahnya digabung dengan biaya asli
pusat.Biaya tersebut dialokasikan ke pusat pendapatan dengan dasar pembobotan.
c. Double distrtibution
Merupakan cara membagi biaya dari pusat biaya ke pusat pendapatan, melalui
duatahap, yaitu mula-mula dilakukan alokasi antara pusat biaya ke pusat biaya lain
danke pusat pendapatan, selanjutnya dilakukan alokasi dari pusat biaya ke pusat
pendapatan
d. Activity-based costing
Merupakan cara analisis biaya berdasarkan aktivitas.
5. Studi Kasus
“Analisis Biaya Satuan (Unit Cost) Dengan Metode Activity Based Costing (ABC)
Studi Kasus di Poli Mata RSD Balung Kabupaten Jember”
Tabel 1. Hasil Identifikasi Nama Facility Activity dan Cost Driver RSD Balung Kabupaten
Jember Tahun 2012
Tabel 2. Rekapitulasi Perhitungan Biaya Tidak Langsung di Aktivitas Penunjang Tahun 2012
Facility Activity Jumlah Total Biaya (Rp)
Pelayanan Admin Terpadu 55.831.792
Rekam medik 85.061.292
Pelayanan IPS 61.389.265
Pelayanan Laundry 20.885.125
Pelayanan Keamanan 41.895.000
Facility Activity Jumlah Total Biaya (Rp)
Pelayanan CS 399.480.000
Pelayanan Admin dan Manaj 600.455.179
Pelayanan Farmasi 75. 004.283
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa total biaya tidak langsung di aktivitas
penunjang (facility activity) terbesar adalah pelayanan administrasi dan manajemen
sebesar Rp. 600.455.179; sedangkan paling kecil adalah pelayanan laundry sebesar Rp.
20.885.125;.
Berikut ini adalah hasil pembebanan biaya tidak langsung ke unit produksi poli mata:
Tabel 3. Pembebanan Biaya ke Poli Mata Tahun 2012
4) Menentukan produk atau jenis pelayanan yang akan di hitung unit cost-nya
Berdasarkan pada hasil penelitian, terdapat 16 produk pelayanan yang dijual di poli
mata RSD Balung Kabupaten Jember. Jenis produk pelayanan di poli mata tersebut
diantaranya adalah :
1) ekstraksi corpus alienum mata,
2) epilasi bulu mata,
3) incisi hordeolum/chalazion,
4) tonometri,
5) funduscopy,
6) fluorosence,
7) slyt lamp,
8) visus,
9) irigasi mata,
10) ekstraksi granuloma,
11) ekstraksi ptyrigium,
12) angkat jahitan,
13) anel test,
14) resep kacamata,
15) tes buta warna dan KIR kesehatan.
6) Mengidentifikasi dan menghitung total biaya langsung dan tidak langsung per
jenis tindakan, pembebanan biaya aktivitas sekunder ke aktivitas primer
Komponen biaya langsung terdiri dari :
a. Biaya bahan,
b. Biaya pegawai,
c. Biaya alat medis per jenis tindakan.
Berdasarkan pada hasil perhitungan diperoleh total biaya langsung di poli mata
terbesar adalah pada jenis tindakan ekstraksi granuloma dan ekstraksi ptyrigium
sebesar Rp. 42.138; sedangkan total biaya langsung terkecil adalah pada jenis
tindakan visus sebesar Rp.3.950;
Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa perolehan unit cost dibawah tarif
adalah pada jenis tindakan ekstraksi corpus alienum mata, epilasi bulu mata, incise
hordeolum/ chalazion, tonometri, slyt lamp, visus, irigasi mata, ekstraksi granuloma,
ekstraksi ptyrigium, tes buta warna dan KIR kesehatan sedangkan jenis tindakan
dengan unit cost diatas tarif adalah funduscopy, fluorosence, angkat jahitan, anel test,
dan resep kacamata. Dengan adanya hasil diatas, maka diperlukan tinjauan ulang
mengenai penetapan tarif di poli mata RSD Balung Kabupaten Jember. Hal tersebut
disebabkan karena kebutuhan akan komponen biaya di setiap produk pelayanan
semakin tahun akan semakin meningkat sehingga pelaksanaan perhitungan unit cost
dengan metode activity based costing (ABC) dalam mengevaluasi penetapan tariff
sangat diperlukan.
1) Identifikasi Unsur Manfaat (benefit) dan Biaya (cost) Pada Kedua Usulan
Program di RSD Balung Jember
Tabel 1. Perbandingan Benefit dan Cost Pada Kedua Usulan Program RSD
Balung Jember
ALAT LASER DIODA
ALAT CT-SCAN
No PHOTOCOAGULATOR
Unsur Biaya (Cost) Unsur Manfaat Unsur Biaya (Cost) Unsur Manfaat
(Benefit) (Benefit)
1. Biaya Investasi Pendapatan RSD 1. Biaya Investasi Pendapatan RSD
Balung dari tarif Balung dari tarif
a. Biaya Gedung dan layanan CT-Scan a. Biaya Gedung dan layanan Laser
Fasilitas Fasilitas dioda
b. Biaya Tanah b. Biaya Tanah photocoagulator
c. Harga Beli CT-Scan c. Harga alat laser
3 Biaya Operasional
Variabel
a. Biaya Pembelian Film
Berdasarkan hasil identifikasi unsur biaya (cost) dan unsur manfaat (benefit)
pada usulan pembelian alat CT-Scan dan alat Laser dioda photocoagulator,
dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam penentuan biaya-biaya pada
unsur biaya (cost) dan unsur manfaat (benefit) antara penelitian ini dengan
penelitian terdahulu maupun dengan teori yang ada.
2) Penentuan Nilai Setiap Unsur Manfaat (benefit) dan Biaya (cost) dari
Kedua Usulan Program di RSD Balung Jember Dengan Besarnya Nilai
Nominal
Tabel 2. Besaran Nominal Unsur Biaya (cost) dan Unsur Manfaat (benefit)
Pada Usulan Pembelian Alat CT-Scan Pada Tahun ke-0
Tabel 3. Besaran Nominal Unsur Biaya (cost) dan Unsur Manfaat (benefit)
Pada Usulan Pembelian Alat Laser dioda photocoagulator Pada Tahun ke-0
Hasil penentuan besaran nominal unsur biaya (cost) dan unsur manfaat
(benefit) pada usulan pembelian alat CT-Scan yaitu didapat bahwa selisih
antara total cost dengan total benefit dimana total cost lebih besar dari total
benefit. Pada usulan pembelian alat Laser dioda photocoagulator didapatkan
bahwa total benefit lebih besar daripada total cost.
3) Perhitungan Nilai Sekarang (Present value) dari Manfaat (benefit) dan
Biaya (cost) dari Kedua Usulan Program di RSD Balung Jember
b) Kelemahan
Dalam CEA terdapat beberapa keterbatasan atau kelemahan yang dapat dibedakan
kedalam keterbatasan; konsep, pengukuran, perhitungan, data dan interprestasi.
Keterbatasan konsep ini menyangkut:
1) alternative alternative tidak dapat dibandingkan dengan tepat. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa sulitnya ditemui CEA yang ideal, dimana tiap-tiap alternative
identik pada semua criteria, sehingga analisis dalam mendesain suatu CEA, harus
sedapat mungkin membandingkan alternative alternative tersebut.
2) pada umumnya CEA berdasarkan dari analisis suatu biaya dan suatu pengaruh
misalnya rupiah/anak yang diimunisasi. Padahal banyak program-program yang
mempunyai efek berganda. Apabila CEA hanya berdasarkan pada satu ukuran ke
efektifan (satu biaya dan satu pengaruh) mungkin menghasilkan satu kesimpulan
yang tidak lengkap dan menyesatkan.
3) biaya dan pengaruh mana yang harus diukur? Pertanyaan ini timbul mengingat
belum adanya kesempatan diantara para analisis atau ahli. Disatu pihak
menghendaki semua biaya dan pengaruh diukur, sedangkan yang lainnya sepakat
hanya mengukur biaya dan pengaruh-pengaruh tertentu saja.
Keterbatasan lain dalam melakukan CEA adalah keterbatasan akan data yang
lengkap, mudah diperoleh dan benar, serta keterbatasan akan interpretasi. CEA bukan
merupakan satu-satunya pilihan dalam menentukan suatu alternative program, tapi
diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan lain sebelum program-program tersebut
diputuskan untuk dipilih.
4. Studi Kasus
“ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA (COST EFFECTIVENESS ANALYSIS)
PENGGUNAAN AMITRYPTILINE DIBANDINGKAN CARBAMAZEPINE
PADA PASIEN NYERI NEUROPATIK DI KLINIK SYARAF RUMKITAL.”
a. Penelitian ini melibatkan 65 pasien nyeri neuropatik yang terdiri dari kelompok
yang mendapat terapi amitryptiline sebesar 34 pasien dan kelompok terapi
carbamazepine sebesar 31 pasien. Dari 34 pasien pada kelompok amitryptiline,
dua pasien drop out karena pasien tidak menyelesaikan hingga tahap akhir
penelitian dan satu orang mengalami riwayat penyakit jantung
b. Karakteristik demografi pasien dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia dan
penyebab terjadinya nyeri neuropatik. Pada kelompok amitryptiline, terdapat
pasien perempuan 12 orang (38,71%) dan laki-laki 19 orang (61,29%), sedangkan
pada kelompok carbamazepine terdapat pasien perempuan 15 orang (48,39%) dan
laki-laki 16 orang (51,61%). Pasien lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki
(Gambar. 1).
c. Rentang usia pasien nyeri neuropatik pada kelompok amitryptiline adalah 39-74
tahun dengan rata-rata usia 61,64 tahun sedangkan pada pada kelompok
carbamazepine rentang usia 32-79 tahun dengan rata-rata usia 63,84 tahun
(Gambar.2)
e. Analisis biaya terapi yang dihitung meliputi biaya medik langsung berdasarkan
harga obat DPHO ASKES 2013 di kalikan dengan jumlah obat yang di gunakan
pasien selama 4 minggu terapi ditambah dengan biaya pelayanan termasuk biaya
administrasi terapi dan biaya pemeriksaan dokter. Didapatkan biaya terapi
amitryptiline lebih murah (Rp.41.695) dibandingkan dengan carbamazepine (Rp.
47.380
f. Perhitungan ACER (average cost-effectiveness ratio) masing-masing pasien pada
kelompok Amitryptiline dan Carbamazepine berdasarkan hasil analisis statistik
non parametrik dengan metode Mann-Whitney Test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara Amitryptiline (Rp.15206) dengan
Carbamazepine (Rp.16882) selama 4 minggu pada pasien nyeri neuropatik.
Sedangkan biaya Amitryptiline (Rp.41695) lebih murah dibandingkan biaya
carbamazepine (Rp.47380 ) sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kelompok
amitryptiline lebih menghemat biaya daripada kelompok carbamazepine dengan
efektivitas yang setara.