Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

EKONOMI KESEHATAN LANJUT

“Penerapan Cost Analysis, , Konsep Cost Benefit Analysis dan Konsep


Cost Effectiveness Analysis pada Sektor Kesehatan”

OLEH :

Dosen Pengampu:
dr. Adila Kasni Astiena, MARS

KELOMPOK 14
(Semester III-V AKK)

Ge Ningratie Patalangi (1611216008)


Avelini Suci Anugrah (1611216014)
Sari Mulyani (1611216017)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
2017
A. ANALISIS BIAYA (UNIT COST)
1. Biaya dan Klasifikasinya
Biaya(cost) adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan (dipakai) untuk
menghasilkan suatu produk atau output, atau untuk mengkonsumsi suatu produk atau
output, dinilai dalam satuan moneter (uang). Biaya bisa berbentuk uang, barang, waktu
atau kesempatan (yang dikorbankan).
Klasifikasi Biaya antara lain :
1. Klasifikasi Biaya Menurut Fungsi :
a. Investasi : mesin, gedung, tanah, alat medis/non medis
b. Operasional : obat & bahan, ATK, listrik, telepon
c. Pemeliharaan :pemeliharaan gedung, alat medis/non medis

2. Klasifikasi Biaya Menurut Hubungannya Dengan Jumlah Produksi :


a. Biaya Tetap (Fixed Cost/FC) : relatif tidak terpengaruh dengan jumlah produksi
b. Biaya Tidak Tetap (Variable Cost/VC) : dipengaruhi oleh jumlah produksi
c. Biaya Semi Variabel (Semivariable Cost/SVC) : cenderung bersifat tetap
d. Biaya Total (Total Cost/TC) : total biaya TC = FC + VC

3. Klasifikasi Biaya Menurut Peranannya Dalam Proses Produksi


a. Biaya Langsung (Direct Cost) : dikeluarkan pada unit produksi. Contoh : gaji
perawat, alat medis
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost) : dikeluarkan pada unit penunjang. Contoh:
administrasi, telepon, ATK

4. Biaya Persatuan Produk (Output) :


a. Unit Cost Actual (Average Cost) : Biaya untuk 1 unit barang yang dihasilkan
AC = TC/Q
b. Unit Cost Normatif :
UC = FC/Cp + TVC/Q
Cp = Kapasitas
TVC = Total Variabel Cost
c. Marginal Cost : Biaya yang dikeluarkan untuk penambahan produksi setiap satu
unit
MC = TC (n+1) – TCn
5. Opportunity Cost :
Biaya kesempatan yang hilang (Opportunity Cost) adalah : biaya (pengorbanan)
berupa hilangnya kesempatan lain yang bisa dimanfaatkan, karena suatu sumberdaya
dipergunakan untuk hal lain.

RS = 20 TT P = 2 jt
I = 100jt 1 th = 365 hr
O = 10 jt Pasien = 20 org/ 5 hr rawat

6. Atas dasar masa atau frekuensi pengeluarannya :


a. Biaya modal (capital cost)
b. Biaya berulang (recurrent cost)/Biaya rutin

2. Analisis Biaya
Menurut Mulyadi (1990), Analisis biaya merupakan suatu upaya mencapai
penggunaan sumberdaya ekonomi yang optimal sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan, khususnya yang menyangkut berbagai macam alternatif untuk masa
mendatang. Sedangkan menurut Berman (1996), Analisis biaya adalah proses menata
kembali data atau informasi yang ada dalam laporan keuangan untuk memperoleh usulan
biaya pelayanan rumah sakit. Dengan kata lain, analisis biaya merupakan pendistribusian
biaya dari unit pemeliharaan, unit operasional, dan unit pelayanan umum lainnya ke
bagian perawatan, gawat darurat, atau pendapatan rumah sakit dari layanan yang
diberikan kepada pasien.
Menurut Meg Sewell dan Mary Marczak (2011), “cost analysis is currently a
somewhat controversial set of methods in economic evaluation, cost allocation, and
efficiency assessment. One reason for the controversy is that these terms cover a wide
range of methods”. Analisis biaya adalah sebuah metode yang kontroversial (mencakup
beberapa metode) dalam evaluasi ekonomi, pengalokasian biaya, dan penilaian efisiensi.
Analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan, mengelompokkan, dan
mengidentifikasi data keuangan untuk menghitung biaya output suatu produk/jasa dalam
rangka peningkatan efisiensi dan profitabilitas perusahaan.
3. Metode-metode yang digunakan untuk menghitung unit cost
Unit cost adalah hasil pembagian antara total cost yang dibutuhkan dibagi dengan jumlah
unit produk yang dihasilkan (Hansen &  Mowen (2005). Beberapa Metode Unit Cost
yang dikenal adalah :
a. Simple distribution
Merupakan cara langsung membagi habis biaya diunit-unit pusat biaya ke pusat
pendapatan berdasarkan bobot tertentu.
b. Step down method
Merupakan cara membagi biaya dari pusat biaya ke pusat pendapatan melalui
beberapa tahap, yaitu pertama alokasi antara pusat biaya (disusun dengan unit mulai
dengan biaya tertinggi sebagai unit yang memberi biaya kepusat biaya lain).
Kemudian biaya yang diterima pusat biaya dibawahnya digabung dengan biaya asli
pusat.Biaya tersebut dialokasikan ke pusat pendapatan dengan dasar pembobotan.
c. Double distrtibution
Merupakan cara membagi biaya dari pusat biaya ke pusat pendapatan, melalui
duatahap, yaitu mula-mula dilakukan alokasi antara pusat biaya ke pusat biaya lain
danke pusat pendapatan, selanjutnya dilakukan alokasi dari pusat biaya ke pusat
pendapatan
d. Activity-based costing
Merupakan cara analisis biaya berdasarkan aktivitas.

4. Metode ABC (Activity Based Costing) untuk analisis biaya


Activity Based Costing menurut Rudianto (2013):
“Activity Based Costing adalah pendekatan penentuan biaya produk yang
membebankan biaya ke produk atau jasa berdasarkan konsumsi sumber daya oleh
aktivitas. Dasar pemikiran pendekatan penentuan biaya ini adalah bahwa produk atau
jasa perusahaan dilakukan oleh aktivitas, dan aktivitas yang dibutuhkan tersebut
menggunakan sumber daya yang menyebabkan timbulnya biaya”
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Activity Based Costing adalah
metode perhitungan yang menerapkan konsep aktivitas akuntansi dengan tujuan
menghasilkan perhitungan harga produk yang akurat. Tidak hanya informasi harga
produk yang dihasilkan dalam sistem Activity Based Costing, tapi dalam sisi manajerial
sistem Activity Based Costing juga memberikan informasi tentang biaya dan kinerja dari
aktivitas dan sumber daya serta dapat menelusuri biaya-biaya secara akurat ke objek
biaya selain produk.
Langkah atau tahapan perhitungan unit cost dengan metode activity based costing
(ABC) adalah:
1. Identifikasi aktivitas penunjang (facility activity),
2. Menghitung biaya tidak langsung (overhead cost) pada facility activity,
3. Melakukan pembebanan biaya tidak langsung (overhead cost) pada facility
activity,
4. Menentukan produk atau jenis pelayanan yang akan di hitung unit cost-nya,
5. Mengidentifikasi aktivitas, kategori aktivitas dan klasifikasi aktivitas per jenis
tindakan,
6. Mengidentifikasi dan menghitung total biaya langsung dan tidak langsung per
jenis tindakan, pembebanan biaya aktivitas sekunder ke aktivitas primer,
7. Menghitung biaya tidak langsung pada aktivitas primer per pelayanan, serta
8. Menghitung biaya satuan (unit cost) per jenis tindakan.

5. Studi Kasus

“Analisis Biaya Satuan (Unit Cost) Dengan Metode Activity Based Costing (ABC)
Studi Kasus di Poli Mata RSD Balung Kabupaten Jember”

1) Identifikasi aktivitas penunjang (facility activity)

Hasil identifikasi aktivitas penunjang (facility activity)unit produksi poli mata


diantaranya adalah:
a. pelayananadministrasi terpadu,
b. pelayanan rekam medik,
c. pelayanan IPS,
d. pelayanan laundry,
e. pelayanan keamanan,
f. pelayanan cleaning service,
g. pelayananadministrasi dan manajemen ,dan
h. pelayanan farmasi.
Berikut ini adalah tabel identifikasi facility activity dan jenis cost driver:

Tabel 1. Hasil Identifikasi Nama Facility Activity dan Cost Driver RSD Balung Kabupaten
Jember Tahun 2012

Nama Facility Activity Jenis Cost Driver


Pelayanan administrasi terpadu Jumlah pasien (kunjungan)
Pelayanan Rekam Medik Jumlah pasien (kunjungan)
Pelayanan IPS Frekuensi pemeliharaan
Pelayanan Laundry Jumlah kg laundry
Pelayanan Keamanan Luas lahan
Pelayanan Cleaning Service Luas lantai
Pelayanan Administrasi dan Manajemen Jumlah pasien (kunjungan dan tindakan)
Pelayanan Farmasi Jumlah pasien (kunjungan dan tindakan)

Namun, terdapat 3 aktivitas penunjang yang tidak dibebankan pada unit


produksi poli mata yaitu instalasi gizi, instalasi CSSD, dan instalasi genset. Setiap
aktivitas penunjang (facility activity) pembebanannya didasarkan pada jenis cost
driver yang berbeda sesuai dengan aktivitasnya.

2) Menghitung biaya tidak langsung (overhead cost) pada facility activity


Perhitungan biaya tidak langsung (overhead cost) diaktivitas penunjang
(facility activity) unit produksi poli mata terdiri dari biaya penyusutan gedung, alat
non medis, kendaraan, gaji sumber daya manusia (SDM) non medis, biaya bahan
habis pakai non medis, biaya umum (listrik dan air, telepon, internet), biaya lain-lain
(outsourcing) serta biaya pemeliharaan. Rekapitulasi perhitungan biaya tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Rekapitulasi Perhitungan Biaya Tidak Langsung di Aktivitas Penunjang Tahun 2012
Facility Activity Jumlah Total Biaya (Rp)
Pelayanan Admin Terpadu 55.831.792
Rekam medik 85.061.292
Pelayanan IPS 61.389.265
Pelayanan Laundry 20.885.125
Pelayanan Keamanan 41.895.000
Facility Activity Jumlah Total Biaya (Rp)
Pelayanan CS 399.480.000
Pelayanan Admin dan Manaj 600.455.179
Pelayanan Farmasi 75. 004.283

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa total biaya tidak langsung di aktivitas
penunjang (facility activity) terbesar adalah pelayanan administrasi dan manajemen
sebesar Rp. 600.455.179; sedangkan paling kecil adalah pelayanan laundry sebesar Rp.
20.885.125;.

3) Melakukan pembebanan biaya tidak langsung (overhead cost) pada facility


activity
Pembebanan biaya tidak langsung (overhead cost) pada facility activity di poli
mata merupakan pembebanan biaya pada aktivitas penunjang (facility activity) ke
setiap unit produksi berdasarkan rate per cost driver yaitu rate (tarif) setiap biaya
penggerak.

Berikut ini adalah hasil pembebanan biaya tidak langsung ke unit produksi poli mata:
Tabel 3. Pembebanan Biaya ke Poli Mata Tahun 2012

Nama Facility Activity Poli Mata (Rp)


Pelayanan Admin Terpadu 1.806.958
Pelayanan Rekam Medik 2.752.951
Pelayanan IPS 134.552
Pelayanan Laundry 27.465
Pelayanan Keamanan 656..414
Pelayanan Cleaning Service 5.117.438
Pelayanan Adimn dan Manaj 16.267.332
Pelayanan Farmasi 2.031.991

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh jumlah biaya terbesar dari 8 aktivitas


penunjang (facility activity) adalah pelayanan administrasi dan manajemensebesar Rp.
16.267.332; sedangkan jumlah biaya terkecil adalah pelayanan laundry sebesar Rp
27.465;.Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembebanan biayadari aktivitas penunjang
(facility activity) pada unitproduksi poli mata membutuhkan biaya tidak langsungpada
unit pelayanan administrasi dan manajemensebesar Rp. 16.267.332; dan pada unit
pelayanan laundry sebesar Rp 27.465;.

4) Menentukan produk atau jenis pelayanan yang akan di hitung unit cost-nya
Berdasarkan pada hasil penelitian, terdapat 16 produk pelayanan yang dijual di poli
mata RSD Balung Kabupaten Jember. Jenis produk pelayanan di poli mata tersebut
diantaranya adalah :
1) ekstraksi corpus alienum mata,
2) epilasi bulu mata,
3) incisi hordeolum/chalazion,
4) tonometri,
5) funduscopy,
6) fluorosence,
7) slyt lamp,
8) visus,
9) irigasi mata,
10) ekstraksi granuloma,
11) ekstraksi ptyrigium,
12) angkat jahitan,
13) anel test,
14) resep kacamata,
15) tes buta warna dan KIR kesehatan.

5) Mengidentifikasi aktivitas, kategori aktivitas dan klasifikasi aktivitas per jenis


tindakan
Jumlah produk pelayanan yang memiliki kunjungan terbanyak adalah
pemeriksaan slyt lamp dengan jumlah kunjungan pasien sebanyak 2.592 pasien.
Jenis produk pelayanan yang memiliki total waktu primer terbanyak adalah pada jenis
tindakan ekstraksi corpus alienum, epilasi bulu mata, incisi hordeolum/ khalazion,
irigasi mata, ekstraksi granuloma, ekstraksi ptyrigium, angkat jahitan serta anel test
yaitu sebanyak 17 menit, sedangkan jenis tindakan yang memiliki total waktu primer
terkecil adalah pada jenis tindakan slyt lamp dan visus yaitu sebanyak 7 menit

6) Mengidentifikasi dan menghitung total biaya langsung dan tidak langsung per
jenis tindakan, pembebanan biaya aktivitas sekunder ke aktivitas primer
Komponen biaya langsung terdiri dari :
a. Biaya bahan,
b. Biaya pegawai,
c. Biaya alat medis per jenis tindakan.

Berdasarkan pada hasil perhitungan diperoleh total biaya langsung di poli mata
terbesar adalah pada jenis tindakan ekstraksi granuloma dan ekstraksi ptyrigium
sebesar Rp. 42.138; sedangkan total biaya langsung terkecil adalah pada jenis
tindakan visus sebesar Rp.3.950;

7) Menghitung biaya tidak langsung pada aktivitas primer per pelayanan


Perhitungan biaya tidak langsung terdiri dari adalah :
a. biaya depresiasi gedung,
b. biaya depresiasi alat non medis,
c. biaya gaji sumber daya manusia (SDM) non medis,
d. biaya bahan habis pakai non medis,
e. biaya umum (telepon, listrik dan air, internet),
f. Biaya perjalanan dinas pegawai dan
g. biaya lain-lain (pemeliharaan sarana listrik, makanan dan minuman).

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh, sebesar Rp.24.981.328;

8) Menghitung biaya satuan (unit cost) per jenis tindakan.


Hasil perhitungan unit cost diperoleh dari hasil penjumlahan antara seluruh biaya
tidak langsung aktivitas primer dan biaya langsung pada setiap produk pelayanan.
Berdasarkan pada hasil perhitungan diperoleh hasil jenis tindakan :

Jenis tindakan Unit cost (Rp)


tonometri ekstraksi corpus alienum mata 42.695
epilasi bulu mata 36.579
incisi hordeolum/chalazion 41.956
tonometri 19.883
funduscopy 39.642
fluorosence 41.200
slyt lamp 14.119
visus 13.674
irigasi mata 60.544
ekstraksi granuloma dan ekstraksi ptyrigium 63.685
angkat jahitan 36.507
anel test 60.288
resep kacamata 30.249
tes buta warna dan KIR kesehatan 17.332

Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa perolehan unit cost dibawah tarif
adalah pada jenis tindakan ekstraksi corpus alienum mata, epilasi bulu mata, incise
hordeolum/ chalazion, tonometri, slyt lamp, visus, irigasi mata, ekstraksi granuloma,
ekstraksi ptyrigium, tes buta warna dan KIR kesehatan sedangkan jenis tindakan
dengan unit cost diatas tarif adalah funduscopy, fluorosence, angkat jahitan, anel test,
dan resep kacamata. Dengan adanya hasil diatas, maka diperlukan tinjauan ulang
mengenai penetapan tarif di poli mata RSD Balung Kabupaten Jember. Hal tersebut
disebabkan karena kebutuhan akan komponen biaya di setiap produk pelayanan
semakin tahun akan semakin meningkat sehingga pelaksanaan perhitungan unit cost
dengan metode activity based costing (ABC) dalam mengevaluasi penetapan tariff
sangat diperlukan.

B. COST BENEFIT ANALYSIS (CBA)


1. Cost Benefit Analysis dan kedudukannya
Analisis biaya manfaat adalah suatu alat analisis dengan prosedur yang
sistematis untuk membandingkan serangkaian biaya dan manfaat yang relevan dengan
sebuah aktivitas atau proyek. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah secara akurat
membandingkan kedua nilai, manakah yang lebih besar. Selanjutnya dari hasil
pembandingan ini, pengambil keputusan dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan
suatu rencana atau tidak dari sebuah aktivitas, produk atau proyek, atau dalam konteks
evaluasi atas sesuatu yang telah berjalan, adalah menentukan keberlanjutannya.
Dalam konteks evaluasi pembangunan, CBA merupakan salah satu jenis
evaluasi ex ante karena analisis ini dilakukan sebelum proyek berjalan dan masih
dalam tahap perencanaan. Sehingga hasil dari analisa ini digunakan sebagai pedoman
apakah suatu proyek layak dilaksanakan atau tidak.

2. Tahapan dalam CBA


Tahapan dasar dalam melakukan analisis biaya manfaat secara umum meliputi:
(a) Tentukan alternatif manfaat
(b) Hitung biaya masing-masing alternatif
(c) Hitung manfaat dari masing-masing alternatif
(d) Membandingkan nilai manfaat (benefit) dengan nilai biaya untuk masing-
masing alternatif
Keputusan : pilih B/C ratio yg tinggi

3. Kekuatan dan Keterbatasan CBA


Beberapa kekuatan analisis biaya manfaat adalah:
(a) Biaya dan manfaat diukur dengan nilai uang, sehingga memungkinkan analis
untuk mengurangi biaya dari manfaat.
(b) Analisis biaya manfaat memungkinkan analis melihat lebih luas dari kebijakan
atau program tertentu, dan mengaitkan manfaat terhadap pendapatan masyarakat
secara keseluruhan.
(c) Analisis biaya manfaat memungkinkan analis membandingkan program secara
luas dalam lapangan yang berbeda.

Beberapa keterbatasan analisis biaya manfaat adalah:


(a) Tekanan yang terlalu eksklusif pada efisiensi ekonomi, sehingga kriteria keadilan
tidak dapat diterapkan
(b) Nilai uang tidak cukup untuk mengukur daya tanggap (responsiveness) karena
adanya variasi pendapatan antar masyarakat.
(c) Ketika harga pasar tidak tersedia, analis harus membuat harya bayangan (shadow
price) yang subyektif sifatnya.
4. Studi Kasus

“COST BENEFIT ANALYSIS ANTARA PEMBELIAN ALAT CT-SCAN


DENGAN ALAT LASER DIODA PHOTOCOAGULATOR DI RSD BALUNG
JEMBER”

1) Identifikasi Unsur Manfaat (benefit) dan Biaya (cost) Pada Kedua Usulan
Program di RSD Balung Jember

Tabel 1. Perbandingan Benefit dan Cost Pada Kedua Usulan Program RSD
Balung Jember
ALAT LASER DIODA
ALAT CT-SCAN
No PHOTOCOAGULATOR
Unsur Biaya (Cost) Unsur Manfaat Unsur Biaya (Cost) Unsur Manfaat
(Benefit) (Benefit)
1. Biaya Investasi Pendapatan RSD 1. Biaya Investasi Pendapatan RSD
Balung dari tarif Balung dari tarif
a. Biaya Gedung dan layanan CT-Scan a. Biaya Gedung dan layanan Laser
Fasilitas Fasilitas dioda
b. Biaya Tanah b. Biaya Tanah photocoagulator
c. Harga Beli CT-Scan c. Harga alat laser

2 Biaya Operasional 2. Biaya Operasional Tetap


Tetap a. Biaya Pegawai
b. Biaya ATK (Alat Tulis Kantor
a. Biaya Pegawai
b. Biaya ATK (Alat Tulis
Kantor)
c. Biaya BHP (Bahan Habis
Pakai
d. Biaya Umum (listrik, air,
telepon)
e. Biaya Pemeliharaan
Gedung dan
Fasilitas
f. Biaya Pemeliharaan Alat

3 Biaya Operasional
Variabel
a. Biaya Pembelian Film

Berdasarkan hasil identifikasi unsur biaya (cost) dan unsur manfaat (benefit)
pada usulan pembelian alat CT-Scan dan alat Laser dioda photocoagulator,
dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam penentuan biaya-biaya pada
unsur biaya (cost) dan unsur manfaat (benefit) antara penelitian ini dengan
penelitian terdahulu maupun dengan teori yang ada.

2) Penentuan Nilai Setiap Unsur Manfaat (benefit) dan Biaya (cost) dari
Kedua Usulan Program di RSD Balung Jember Dengan Besarnya Nilai
Nominal

Tabel 2. Besaran Nominal Unsur Biaya (cost) dan Unsur Manfaat (benefit)
Pada Usulan Pembelian Alat CT-Scan Pada Tahun ke-0

Tabel 3. Besaran Nominal Unsur Biaya (cost) dan Unsur Manfaat (benefit)
Pada Usulan Pembelian Alat Laser dioda photocoagulator Pada Tahun ke-0

Hasil penentuan besaran nominal unsur biaya (cost) dan unsur manfaat
(benefit) pada usulan pembelian alat CT-Scan yaitu didapat bahwa selisih
antara total cost dengan total benefit dimana total cost lebih besar dari total
benefit. Pada usulan pembelian alat Laser dioda photocoagulator didapatkan
bahwa total benefit lebih besar daripada total cost.
3) Perhitungan Nilai Sekarang (Present value) dari Manfaat (benefit) dan
Biaya (cost) dari Kedua Usulan Program di RSD Balung Jember

Tabel 4. Hasil Perhitungan Nilai Sekarang (Present value) dari Manfaat


(benefit) dan Biaya (cost) Pada Usulan Pembelian Alat CT-Scan RSD Balung
Jember (menggunakan inflasi 8,79%)

Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Sekarang (Present value) dari Manfaat


(benefit) dan Biaya (cost) Pada Usulan Pembelian Alat Laser dioda
photocoagulator RSD Balung Jember (menggunakan inflasi 8,79%).

4) Perbandingan Hasil dari Perhitungan Rasio Benefit-Cost dari Masing-


Masing Usulan Program di RSD Balung Jember
Berdasarkan hasil perhitungan rasio benefit-cost, didapat rasio yang paling
besar adalah pada usulan pembelian alat Laser dioda photocoagulator yaitu
0,858 dibandingkan alat CT-Scan 0,078 sehingga rekomendasi yang dapat
diberikan adalah dengan memprioritaskan pembelian alat Laser dioda
photocoagulator terlebih dahulu daripada pembelian alat CT-Scan.
C. Cost Effectiveness Analysis
1. Analsis Biaya Efektif
Analisis cost –effectiveness merupakan cara memilih untuk menilai program
yang terbaik bila beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia
untuk dipilih (Thompson, 1980). Dalam menganalisa biaya suatu penyakit, analisa cost
effectiveness mendasarkan pada perbandingan dari biaya suatu program pemberantasan
tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan
kasus yang bias dicegah (Quade,1979). Pada CEA, criteria penilaian program mana
yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing
alternative program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendah
yang akan dipilih oleh para analisis/pengambilan keputusan.
Dalam menganalisa biaya suatu penyakit, analisis cost effectiveness
mendasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu
dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang
bsa dicegah (Quade, 1979). Misalnya, Program A dengan biaya US $ 25.000 dapat
menyelamatkan 100 orang penderita. Sehingga unit costnya atau CE rationya US $
250/life. Sedangkan dengan biaya yang sama, program B hanya dapat menyelamatkan
15 orang penderita, berarti unit cost/CE rationya mencapai $ 1.677/life. Dalam hal ini
jelas program A yang akan dipilih karma lebih effektif dari pada program B.
Tujuan dari CEA adalah menentukan jika nilai suatu intervensi sangat
ditentukan oleh biayanya. CEA tidak hanya meliputi penentuan biaya, tapi juga
penentuan nilai dari outcome. Manfaat Cost Efectiveness Analysis yaitu membantu
penentuan prioritas dari sumber daya yang terbatas. Bidang kesehatan membutuhkan
CEA terutama dalam menganalisis program kesehatan yang bersifat pencegahan yang
ditujukan untuk memecahkan berbagai masalah pada populasi target (Rienke, 1994).
Jadi, Cos Effectiveness Analysis adalah metode manajemen guna menilai
efektifitas dari suatu program atau intervensi dengan membandingkan nilai biaya (cost)
dengan outcome yang dihasilkan.
2. Perbedaan CEA dan CBA

Tabel Perbedaan CEA dan CBA

Cost Benefit Analysis Cost Effectiveness


Analysis
Kegunaan Mencari alternatif yang Mencari alternatif yang
paling menguntungkan murah

Tujuan Memilih diantara


a. Memilih diantara beberapa alternatif yang
beberapa alternatif yang tujuannya sama.
tujuannya berbeda.
b. Memutuskan apakah
suatu rencana
dilaksanakan atau tidak

Perhitungan effectiveness Tidak ada


a. Dalam satuan output.
b. Membandingkan biaya
satuan.

Perhitungan benefit Tidak ada


a. Dalam nilai uang.
b. Membandingkan B/C
ratio.

Perhitungan cost Dalam nilai uang Dalam nilai uang

3. Kelemahan dan kelebihan


a) Kelebihan
1) Membantu penetuan prioritas dari sumber daya yang terbatas.
2) Hemat waktu dan sumber daya intensif
3) Lebih mudah untuk memahami
4) Lebih cocok untuk pengambilan keputusan. 
Karena CEA menggunakan ukuran hasil tertentu yang harus umum di antara
program-program yang dipertimbangkan, nilainya terbatas ketika program
memiliki hasil yang berbeda. 

b) Kelemahan
Dalam CEA terdapat beberapa keterbatasan atau kelemahan yang dapat dibedakan
kedalam keterbatasan; konsep, pengukuran, perhitungan, data dan interprestasi.
Keterbatasan konsep ini menyangkut:
1) alternative alternative tidak dapat dibandingkan dengan tepat. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa sulitnya ditemui CEA yang ideal, dimana tiap-tiap alternative
identik pada semua criteria, sehingga analisis dalam mendesain suatu CEA, harus
sedapat mungkin membandingkan alternative alternative tersebut.

2) pada umumnya CEA berdasarkan dari analisis suatu biaya dan suatu pengaruh
misalnya rupiah/anak yang diimunisasi. Padahal banyak program-program yang
mempunyai efek berganda. Apabila CEA hanya berdasarkan pada satu ukuran ke
efektifan (satu biaya dan satu pengaruh) mungkin menghasilkan satu kesimpulan
yang tidak lengkap dan menyesatkan.

3) biaya dan pengaruh mana yang harus diukur? Pertanyaan ini timbul mengingat
belum adanya kesempatan diantara para analisis atau ahli. Disatu pihak
menghendaki semua biaya dan pengaruh diukur, sedangkan yang lainnya sepakat
hanya mengukur biaya dan pengaruh-pengaruh tertentu saja.

Keterbatasan lain dalam melakukan CEA adalah keterbatasan akan data yang
lengkap, mudah diperoleh dan benar, serta keterbatasan akan interpretasi. CEA bukan
merupakan satu-satunya pilihan dalam menentukan suatu alternative program, tapi
diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan lain sebelum program-program tersebut
diputuskan untuk dipilih.

4. Studi Kasus
“ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA (COST EFFECTIVENESS ANALYSIS)
PENGGUNAAN AMITRYPTILINE DIBANDINGKAN CARBAMAZEPINE
PADA PASIEN NYERI NEUROPATIK DI KLINIK SYARAF RUMKITAL.”

a. Penelitian ini melibatkan 65 pasien nyeri neuropatik yang terdiri dari kelompok
yang mendapat terapi amitryptiline sebesar 34 pasien dan kelompok terapi
carbamazepine sebesar 31 pasien. Dari 34 pasien pada kelompok amitryptiline,
dua pasien drop out karena pasien tidak menyelesaikan hingga tahap akhir
penelitian dan satu orang mengalami riwayat penyakit jantung
b. Karakteristik demografi pasien dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia dan
penyebab terjadinya nyeri neuropatik. Pada kelompok amitryptiline, terdapat
pasien perempuan 12 orang (38,71%) dan laki-laki 19 orang (61,29%), sedangkan
pada kelompok carbamazepine terdapat pasien perempuan 15 orang (48,39%) dan
laki-laki 16 orang (51,61%). Pasien lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki
(Gambar. 1).

Gambar 1. Karakteristik demografi pasien berdasarkan jenis kelamin

c. Rentang usia pasien nyeri neuropatik pada kelompok amitryptiline adalah 39-74
tahun dengan rata-rata usia 61,64 tahun sedangkan pada pada kelompok
carbamazepine rentang usia 32-79 tahun dengan rata-rata usia 63,84 tahun
(Gambar.2)

Gambar 2. Karakteristik demografi pasien berdasarkan jenis kelamin

d. Penyebab nyeri neuropatik bervariasi dari kelompok nyeri neuropatik sentral


(nyeri post stroke) maupun nyeri neuropatik perifer (nyeri neuropatik diabetik,
nyeri pasca herpes, trigeminal neuralgia). Pada kelompok Amitryptiline
didapatkan pasien nyeri post stroke 18 orang (58,06 %), pasien diabetik
neuropathy pain 11 orang (35,48 %), pasien Carpal Tunnel Syndrome (CTS) 1
orang (3,23 %), pasien nyeri post herpes 1 orang (3,23%). Sedangkan pada
kelompok carbamazepine didapatkan pasien nyeri post stroke 9 orang (29,04%),
pasien diabetik neuropathy pain 8 orang ( 25,81%), pasien Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) 4 orang ( 12,90%), pasien trigeminal neuralgia (TGN) 5 orang
(16,12%) , pasien nyeri post herpes 4 orang (12,90%) dan pasien nyeri neuropatik
post operasi 1 orang (3,23%). (Gambar.3).

Gambar 3. Karakteristik demografi pasien berdasarkan penyebab terjadinya


nyeri neuropatik

e. Analisis biaya terapi yang dihitung meliputi biaya medik langsung berdasarkan
harga obat DPHO ASKES 2013 di kalikan dengan jumlah obat yang di gunakan
pasien selama 4 minggu terapi ditambah dengan biaya pelayanan termasuk biaya
administrasi terapi dan biaya pemeriksaan dokter. Didapatkan biaya terapi
amitryptiline lebih murah (Rp.41.695) dibandingkan dengan carbamazepine (Rp.
47.380
f. Perhitungan ACER (average cost-effectiveness ratio) masing-masing pasien pada
kelompok Amitryptiline dan Carbamazepine berdasarkan hasil analisis statistik
non parametrik dengan metode Mann-Whitney Test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara Amitryptiline (Rp.15206) dengan
Carbamazepine (Rp.16882) selama 4 minggu pada pasien nyeri neuropatik.
Sedangkan biaya Amitryptiline (Rp.41695) lebih murah dibandingkan biaya
carbamazepine (Rp.47380 ) sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kelompok
amitryptiline lebih menghemat biaya daripada kelompok carbamazepine dengan
efektivitas yang setara.

Anda mungkin juga menyukai