Shalat berjamaah diperintahkan oleh Nabi SAW dengan penekanan khusus. Para alim-
ulama Islam semenjak awal sejarahnya telah mencoba menyelami alasan di balik itu. Ini
bukan karena sekadar mencari pembenar untuk meyakin-yakinkan diri sendiri. Melainkan
karena gairah untuk lebih memahami rahasia di balik perintah Rasul yang maksum itu. Kita
di zaman modern ini ternyata masih saja bisa menemukan makna itu lewat aneka bentuk
pengkajian — termasuk melalui media seperti ini.
Selama hidupnya Nabi SAW selalu menyerukan ditegakkannya shalat. Padahal,
perintah shalat dalam ayat-ayat Al Quran juga seolah diucapkan dalam satu tarikan nafas
dengan perintah bersedekah. Tidak kurang ada 25 tempat dalam Al Quran yang menyerukan
shalat setarikan nafas dengan bersedekah, berzakat atau memberi kepada sesama. Dengan
demikian secara implisit Al Quran menggariskan adanya “fungsi sosial” dari shalat seperti
itu.
Karena melihat fakta demikian, dapat dimaklumi bahwa shalat yang benar haruslah
dilakukan secara berjamaah. Sebab, untuk menunaikan perintah lanjutan yang sangat erat
kaitannya dengan perintah shalat —yakni bersedekah atau memberi kepada sesama itu—
maka shalat harus dilakukan secara berjamaah. Sudah tentu dengan cara ”berjamaah yang
berkualitas”. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendirian sebanyak 27
kali lipat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Keutamaan dan Pahala Lainnya Mengenai Shalat Berjamaah “Sesungguhnya shalat
seseorang secara berjamaah dilipatgandakan 25 kali lipat daripada dia shalat di rumahnya
atau di pasarnya. Jika dia berwudhu, kemudian dia baguskan wudhunya, dan dia tidak ke
masjid kecuali dia hendak shalat, maka dia tidak melangkahkan satu langkah kakinya kecuali
diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya. Dan jika dia shalat maka para malaikat
senantiasa mendoakannya selama dia masih tetap di tempat shalatnya dan tidak berhadas.
Para malaikat berkata, “Ya Allah angkatlah derajatnya, rahmatilah dia,” dan dia senantiasa
dalam kondisi shalat selama dia menunggu shalat berikutnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim
dan hadits ini lafadz Al-Bukhari)
Jamaahnya di Mana?
Para laki-laki sudah tentu berjamaahnya di masjid. Hal itu lebih utama. Sementara
bagi perempuan, hendaknya suaminya jangan sampai melarang jika mereka bermaksud
berjamaah di masjid. Tuntunan Nabi tentang itu termaktub dalam hadits berikut: “Janganlah
kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak
memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)
Dari situ kita tahu bahwa perempuan pergi ke masjid itu diseyogyakan manakala
manfaatnya lebih besar atau kalau mudaratnya (dampak dari ‘memakai wangi-wangian’) bisa
dihindarkan. Frasa “memakai wangi-wangian” dalam teks hadits itu hendaknya tidak
dipahami harafiah; bukannya terlarang memakai parfum, melainkan harus dipahami sebagai
“hal itu akan memberi dampak tertentu kepada orang lain (laki-laki)”. Kita tahu, parfum
adalah peranti yang sangat efektif untuk menarik perhatian orang lain. Selain itu, jika tidak
ditekankan demikian, ada kemungkinan terjadi jamaah saling berlomba mengenakan parfum.
Bahkan di zaman sekarang pun, sudah tentu segi negatif dari hal ini akan segera tampak.
Dengan demikian, jika disesuaikan dengan konteks zaman kita sekarang, di mana
keadaan sudah sangat kondusif, aman dan damai, maka perempuan shalat berjamaah di
masjid merupakan keniscayaan. Namun perlu segera diingat bahwa ada hadits sahih yang
menyitir sabda Nabi yang dinilai shahih oleh Abu Daud sebagai berikut: “Janganlah kamu
sekalian mencegah istri-istrimu pergi ke masjid, namun (ingat) rumah-rumah mereka lebih
baik bagi mereka.”
2. Jika imam laki-laki diikuti satu atau lebih jamaah perempuan, maka posisi makmum
berada di belakang imam.
3. Jika imam dua orang atau lebih dan semuanya sama jenis kelaminnya: Makmum berdiri
membentuk shaf di belakang imam. Shaf dibentuk dimulai tepat dari belakang imam, terus
dipenuhi ke sebelah kanan, baru diteruskan dengan memenuhi sebelah kiri imam dan kirinya
lagi sampai penuh.
4. Jika makmumnya laki-laki dan perempuan, maka makmum laki-laki di depan, lalu
makmum perempuan di belakang makmum laki-laki. Ini berlaku untuk jumlah berapapun
makmumnya. Cara menyusun shafnya dimulai dari tengah (tepat di belakang imam), lalu
untuk lebih afdal dengan memenuhi dulu sisi kanan dari belakang imam diteruskan dari
belakang imam ke kiri.
5. Imam perempuan jika diikuti oleh makmum perempuan mengikuti tatacara sebagai
berikut:
Untuk makmum seorang, berdiri di sebelah kanan imam:
Untuk makmum perempuan lebih dari seorang dan bahkan dengan shaf yang lebih
dari satu, posisi imam berada di tengah-tengah shaf pertama, lalu shaf berikutnya
berjajar di belakangnya:
BAB II
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus
dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid
(Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah,
menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah.
Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan
oleh Muslim
Keutamaan Khataman
Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an
Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan amalan yang paling dicintai Allah
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal
wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai
ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)
Keutamaan Berwakaf
Di antara keistimewaan wakaf dibandingkan dengan sedekah dan hibah adalah dua hal
berikut ini:
1. Terus-menerusnya pahala yang akan mengalir. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari sisi
wakif (yang mewakafkan).
2. Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan
sebab berpindahnya kepemilikan. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari kemanfaatannya
bagi kaum muslimin.
Sahabat ‘Amr ibn al-Harits mengatakan:
“Setelah Rasulullah wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau
perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’,
senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan riwayat ini, “Beliau menyedekahkan
manfaat dari tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”
Kaum muslimin yang bersemangat mencontoh Rasulullah dan menginginkan keutamaan
yang besar, tidak akan menyia-nyiakan pintu kebaikan yang berupa wakaf ini, baik wakaf
yang ditujukan sebagai tempat ibadah maupun yang lainnya, berupa kegiatan pendidikan,
dakwah, dan sosial.
Keutamaan Bersedekah
“Apapun infak yang kalian berikan atau nadzar apapun yang kalian canangkan, sesungguhnya
Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)
“Apapun harta yang kalian infakkan maka Allah pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah
sebaik-baik pemberi rizki.” (QS. Saba’: 39)
“Penghafal Quran akan datang pada hari kiamat dan Al-Qur’an berkata: “Wahai Tuhanku,
bebaskanlah dia. Kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan). Al-Qur’an
kembali meminta: Wahai Tuhanku, ridhailaih dia, maka Allah meridhainya. Dan
diperintahkan kepada orang itu, bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga). Dan Allah
menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan.” (HR
Tirmidzi)
Dari Abi Umamah ra. ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Bacalah
olehmu Al Qur’an, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi
para pembacanya (penghafalnya).(HR.Muslim)