Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Keutamaan & Tatacara Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah diperintahkan oleh Nabi SAW dengan penekanan khusus. Para alim-
ulama Islam semenjak awal sejarahnya telah mencoba menyelami alasan di balik itu. Ini
bukan karena sekadar mencari pembenar untuk meyakin-yakinkan diri sendiri. Melainkan
karena gairah untuk lebih memahami rahasia di balik perintah Rasul yang maksum itu. Kita
di zaman modern ini ternyata masih saja bisa menemukan makna itu lewat aneka bentuk
pengkajian — termasuk melalui media seperti ini.
Selama hidupnya Nabi SAW selalu menyerukan ditegakkannya shalat. Padahal,
perintah shalat dalam ayat-ayat Al Quran juga seolah diucapkan dalam satu tarikan nafas
dengan perintah bersedekah. Tidak kurang ada 25 tempat dalam Al Quran yang menyerukan
shalat setarikan nafas dengan bersedekah, berzakat atau memberi kepada sesama. Dengan
demikian secara implisit Al Quran menggariskan adanya “fungsi sosial” dari shalat seperti
itu.
Karena melihat fakta demikian, dapat dimaklumi bahwa shalat yang benar haruslah
dilakukan secara berjamaah. Sebab, untuk menunaikan perintah lanjutan yang sangat erat
kaitannya dengan perintah shalat —yakni bersedekah atau memberi kepada sesama itu—
maka shalat harus dilakukan secara berjamaah. Sudah tentu dengan cara ”berjamaah yang
berkualitas”. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendirian sebanyak 27
kali lipat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Keutamaan dan Pahala Lainnya Mengenai Shalat Berjamaah “Sesungguhnya shalat
seseorang secara berjamaah dilipatgandakan 25 kali lipat daripada dia shalat di rumahnya
atau di pasarnya. Jika dia berwudhu, kemudian dia baguskan wudhunya, dan dia tidak ke
masjid kecuali dia hendak shalat, maka dia tidak melangkahkan satu langkah kakinya kecuali
diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya. Dan jika dia shalat maka para malaikat
senantiasa mendoakannya selama dia masih tetap di tempat shalatnya dan tidak berhadas.
Para malaikat berkata, “Ya Allah angkatlah derajatnya, rahmatilah dia,” dan dia senantiasa
dalam kondisi shalat selama dia menunggu shalat berikutnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim
dan hadits ini lafadz Al-Bukhari)

Nabi Geram Kepada yang Tidak Berjamaah


Dalil tentang keutamaan shalat berjamaah kita peroleh dari hadits Ibnu Umar, yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

… ً‫ش ِريْنَ د ََر َجة‬ َ ‫صالَ ِة ا ْلفَ ِّذ ِب‬


ْ ‫س ْب ٍع َو ِع‬ َ ‫صالَةُ ا ْل َج َما َع ِة َأ ْف‬
َ ْ‫ض ُل ِمن‬ َ
”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.”
(Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 nomor 645; Muslim I: 450 nomor 650; Tirmidzi I: 138
nomor 215; Nasa’i II nomor 103 dan Ibnu Majah I: 259 nomor 789).
Tentu saja masih banyak hadits yang mendukung itu, baik tentang besaran pahala,
maupun keutamaan yang lain. Tentang besaran pahala, ada hadits sahih yang menyebut angka
25 derajat. Apapun halnya, angka-angka itu menunjukkan kelebihan shalat berjamaah yang
jauh di atas shalat yang dilaksanakan secara soliter. Tidak salah pula kiranya kalau angka itu
tidak dipahami secara eksak-matematis, melainkan dalam pengertian kiasan, yang pada
intinya menunjukkan keutamaan luarbiasa dari shalat berjamaah.
Ada hadits Nabi yang memperlihatkan betapa junjungan kita itu merasa sangat geram
manakala umatnya shalat sendiri-sendiri. Rasulullah saw. bersabda, “Mau aku rasanya
menyuruh orang untuk shalat… kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang
membawa kayu bakar untuk mendatangi mereka yang tidak ikut shalat dan membakar
rumah-rumah mereka …. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dengan lafal dari
Muslim).
Tentu saja hadits tersebut sifatnya pengandaian; untuk menggambarkan betapa
sungguh-sungguh seruan Nabi untuk berjamaah. Faktanya, sepanjang sejarah tidak sampai
ada rumah yang dibakar Nabi karena alasan itu — bahkan untuk alasan lain manapun. Kaum
muslimin sudah cukup diyakinkan dengan seruan Nabi yang dimuliakan mereka, atau cukup
dengan pelbagai bentuk pahala yang dijanjikan, tidak sampai perlu dipaksa-paksa. Tentu saja
ada pengecualiannya, yakni: kaum munafik.
Dalam variasi riwayat yang lain Nabi SAW melengkapi pengandaian itu dengan
kalimat berikut: “… Shalat Isya’ dan shalat Fajar adalah shalat yang paling dirasakan berat
bagi orang-orang munafik. Padahal kalau saja mereka tahu, niscaya mereka akan
mendatangi masjid bahkan kalau perlu dengan merangkak sekalipun.”
Memang nyaris tidak ada perkecualian bagi setiap lelaki untuk berjamaah di masjid.
Dalam kondisi apapun, setiap laki-laki hendaknya shalat berjamaah dengan dasar hukum
sunnah muakadah (yang dikuatkan hingga mendekati wajib). Bahkan jika dia buta pun, tetap
diharuskan untuk berjamaah di masjid. (Lihat boks: Ikuti Arah Kumandang Adzan.) . Untuk
kaum perempuan, Nabi memberi kemudahan tidak harus berjamaah di masjid. Namun karena
berjamaah itu nilainya 27 derajat lebih tinggi, maka sudah tentu perempuan pun harus
menunaikannya —kendati itu dilaksanakan di rumah.

Jamaahnya di Mana?
Para laki-laki sudah tentu berjamaahnya di masjid. Hal itu lebih utama. Sementara
bagi perempuan, hendaknya suaminya jangan sampai melarang jika mereka bermaksud
berjamaah di masjid. Tuntunan Nabi tentang itu termaktub dalam hadits berikut: “Janganlah
kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak
memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)
Dari situ kita tahu bahwa perempuan pergi ke masjid itu diseyogyakan manakala
manfaatnya lebih besar atau kalau mudaratnya (dampak dari ‘memakai wangi-wangian’) bisa
dihindarkan. Frasa “memakai wangi-wangian” dalam teks hadits itu hendaknya tidak
dipahami harafiah; bukannya terlarang memakai parfum, melainkan harus dipahami sebagai
“hal itu akan memberi dampak tertentu kepada orang lain (laki-laki)”. Kita tahu, parfum
adalah peranti yang sangat efektif untuk menarik perhatian orang lain. Selain itu, jika tidak
ditekankan demikian, ada kemungkinan terjadi jamaah saling berlomba mengenakan parfum.
Bahkan di zaman sekarang pun, sudah tentu segi negatif dari hal ini akan segera tampak.
Dengan demikian, jika disesuaikan dengan konteks zaman kita sekarang, di mana
keadaan sudah sangat kondusif, aman dan damai, maka perempuan shalat berjamaah di
masjid merupakan keniscayaan. Namun perlu segera diingat bahwa ada hadits sahih yang
menyitir sabda Nabi yang dinilai shahih oleh Abu Daud sebagai berikut: “Janganlah kamu
sekalian mencegah istri-istrimu pergi ke masjid, namun (ingat) rumah-rumah mereka lebih
baik bagi mereka.”

Tatacara Shalat Berjamaah


Bagaimana shalat jamaah dilaksanakan? Ada beberapa topik terkait dengan
pelaksanaan shalat berjamaah, yakni: penetapan imam, posisi imam dan makmum, cara
makmum menyusul karena terlambat (masbuq), ahlaq sebagai imam, ahlaq sebagai makmum
terhadap imam, keutamaan setelah shalat.
a. Penetapan imam. 
Untuk menetapkan imam yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki
hafalan Al Quran dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah itu
dinilai setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-
sunnah Nabi SAW. Kriteria lainnya adalah didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah.
Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya. “Rasulullah SAW berkata
kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal
al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang
berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam
hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi
imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki
permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim]
Hadits di atas sekaligus menyebut adab shalat yang harus kita indahkan. Yakni, jangan
menjadi imam terhadap keluarga seseorang kecuali orang itu mengijinkan atau meminta.
Bahkan sekadar “menduduki permadani di rumah” seseorang pun hendaknya harus seijin si
pemilik. Untuk yang terakhir ini, bisa saja itu dalam konteks shalat; namun bisa jadi tidak
berkaitan dengan shalat. Karena itu, khususnya dalam komunitas jamaah shalat baru
(misalnya di suatu masjid yang jamaahnya semula tidak saling kenal) seseorang tidak boleh
maju dan mengangkat diri sendiri, melainkan diangkat dan dipilih jamaahnya. Mengapa?
Karena dengan maju mengangkat diri sendiri itu berarti dia menganggap dialah yang paling
memenuhi kriteria imam seperti hadits di atas. Nah, bukankah itu jumawa? Akhlaq yang
dituntunkan Nabi SAW mencegah kita berlaku demikian.

Jika Datang Telat Berjamaah


Adab yang dituntunkan Nabi SAW, kita datang ke masjid untuk berjamaah dengan
suasana hati tenang dan tidak tergesa-gesa. Shalat pun diharuskan untuk tuma’ninah,
tenang, las-lasan (bhs Jawa). Manakala shalat jamaah sudah didirikan, orang yang datang
belakangan hendaknya juga tidak buru-buru, tidak perlu tergesa-gesa demikian rupa sehingga
galau). Orang yang datang terlambat itu (disebut masbuq), berusaha bergabung dengan shalat
jamaah yang sedang berlangsung dan tidak mendirikan shalat sendiri. Terlebih lagi kalau dia
hanya sendirian. Untuk keadaan seperti ini sunnah Nabi menuntunkan sebagai berikut:
Dia takbiratul ihram lebih dulu, lalu takbir untuk mengikuti gerakan yang paling mungkin dia
ikuti. Kalau dia menemukan imam sudah sujud, maka dia langsung mengikuti imam —
pendeknya dia mengikuti imam dalam keadaan imam sedang melakukan gerakan shalat
apapun.
Kalau saja saat dia bergabung imam sudah dalam keadaan tahiyat akhir —sehingga
tinggal menunaikan salam— maka dia langsung duduk bersimpuh tahiyat akhir. Namun
ketika imam mengucap salam, dia tidak mengikuti salam, melainkan bangkit berdiri dan
menggenapkan kekurangan jumlah rakaatnya. Jika dia bergabung tadi masih sempat
mengikuti ruku’, maka dia dihitung sudah mengikuti 1 (satu) rakaat. Tapi kalau dia
bergabung tepat saat imam mengucap “samiallahu liman hamidah”, maka itu belum dihitung
satu rakaat. Jadi dia menggenapkan kekurangannya.

POSISI IMAM DAN MAKMUM DALAM SHALAT JAMAAH


Berdasar dalil Sunah Nabi SAW yang sahih dan makbulah, posisi imam dan makmum
adalah sebagai berikut:
1. Jika imam dan makmum sama-sama laki-laki, dan makmum pun hanya seorang, maka dia
berdiri di sebelah kanannya sejajar dengan posisi imam.

2. Jika imam laki-laki diikuti satu atau lebih jamaah perempuan, maka posisi makmum
berada di belakang imam.

3. Jika imam dua orang atau lebih dan semuanya sama jenis kelaminnya: Makmum berdiri
membentuk shaf di belakang imam. Shaf dibentuk dimulai tepat dari belakang imam, terus
dipenuhi ke sebelah kanan, baru diteruskan dengan memenuhi sebelah kiri imam dan kirinya
lagi sampai penuh.
4. Jika makmumnya laki-laki dan perempuan, maka makmum laki-laki di depan, lalu
makmum perempuan di belakang makmum laki-laki. Ini berlaku untuk jumlah berapapun
makmumnya. Cara menyusun shafnya dimulai dari tengah (tepat di belakang imam), lalu
untuk lebih afdal dengan memenuhi dulu sisi kanan dari belakang imam diteruskan dari
belakang imam ke kiri.

5. Imam perempuan jika diikuti oleh makmum perempuan mengikuti tatacara sebagai
berikut:
 Untuk makmum seorang, berdiri di sebelah kanan imam:

 Untuk makmum perempuan lebih dari seorang dan bahkan dengan shaf yang lebih
dari satu, posisi imam berada di tengah-tengah shaf pertama, lalu shaf berikutnya
berjajar di belakangnya:

BAB II

Keutamaan Shalat Dhuha

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus
dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid
(Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah,
menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah.
Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan
oleh Muslim

Keutamaan Khataman
Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an
Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan amalan yang paling dicintai Allah
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal
wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai
ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)
Keutamaan Berwakaf
Di antara keistimewaan wakaf dibandingkan dengan sedekah dan hibah adalah dua hal
berikut ini:
1. Terus-menerusnya pahala yang akan mengalir. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari sisi
wakif (yang mewakafkan).
2. Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan
sebab berpindahnya kepemilikan. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari kemanfaatannya
bagi kaum muslimin.
Sahabat ‘Amr ibn al-Harits mengatakan:
“Setelah Rasulullah wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau
perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’,
senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan riwayat ini, “Beliau menyedekahkan
manfaat dari tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”
Kaum muslimin yang bersemangat mencontoh Rasulullah dan menginginkan keutamaan
yang besar, tidak akan menyia-nyiakan pintu kebaikan yang berupa wakaf ini, baik wakaf
yang ditujukan sebagai tempat ibadah maupun yang lainnya, berupa kegiatan pendidikan,
dakwah, dan sosial.

Keutamaan Bersedekah
“Apapun infak yang kalian berikan atau nadzar apapun yang kalian canangkan, sesungguhnya
Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

“Apapun harta yang kalian infakkan maka Allah pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah
sebaik-baik pemberi rizki.” (QS. Saba’: 39)

Keutamaan Membaca Al-Qur’an/ Tilawah


Keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya:
1. Akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.
Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an,
karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.”
(HR. Muslim)
2. Mendapatkan predikat insan terbaik.
Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang
mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi)
3. Mendapatkan pahala akan bersama malaikat di akhirat, bagi yang mahir
membacanya.
Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca Al-
Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang
mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Mendapatkan pahala dua kali lipat, bagi yang belum lancar.
“Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam
membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim)
5. Akan diangkat derajatnya oleh Allah
Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah saw. bersabda,: “Sesungguhnya Allahswt. akan
mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula
Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)
6. Mendapatkan sakinah, rahmat, dikelilingi malaikat, dan dipuji Allah di hadapan
makhluk-Nya.

Keutamaan Pembinaan Tahsin


“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzammil: 4)
Dengan bacaan yang benar dan fasih serta tartil kita sudah terlepas dari tuntutan dan tentu
saja akan memperoleh pahala dan ridha dari Allah SWT.
Dalam sebuah hadits berderajat shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
seperti yang tersebut dalam hadits Arbain Nawawiyyah, Rasulullah SAW bersabda:
“Bacalah, naiklah (ke atas surga) dan bacalah dengan tartil sebagaimana kami dulu pernah
membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukanmu di surga terdapat pada akhir ayat
yang kamu baca.”

Keutamaan Pembinaan Tahfidz


“Sesungguhnya kami telah memberikan kemudahan Al-Qur’an ini untuk diingat, apakah
kamu akan senantiasa mengingatnya.” (QS. Al-Qamar: 17)

“Penghafal Quran akan datang pada hari kiamat dan Al-Qur’an berkata: “Wahai Tuhanku,
bebaskanlah dia. Kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan). Al-Qur’an
kembali meminta: Wahai Tuhanku, ridhailaih dia, maka Allah meridhainya. Dan
diperintahkan kepada orang itu, bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga). Dan Allah
menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan.” (HR
Tirmidzi)

Dari Abi Umamah ra. ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Bacalah
olehmu Al Qur’an, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi
para pembacanya (penghafalnya).(HR.Muslim)

Anda mungkin juga menyukai