Anda di halaman 1dari 6

Dasar- Dasar Hukum

a. Akuisisi

Menurut Pasal 1 angka 11 UUPT jo Pasal 109 UU No 11 tahun 2020 “ Pengambilalihan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil
alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut”.

Dalam proses melakukan akuisisi perusahaan, setidaknya ada dua metode atau cara dalam
akuisisi suatu perusahaan.

1. Akuisisi Saham

Membeli saham perusahaan tersebut, baik dibeli secara tunai, ataupun menggantinya
dengan sekuritas lain (saham atau obligasi).

Dalam UU No 40 Th 2007 Pada pasal 57 ayat 1 menyebutkan bahwa

“Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas
saham, yaitu:

a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi


tertentu atau pemegang saham lainnya;

b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau

c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Akuisisi Asset

Suatu Perusahaan dapat dapat mengakuisisi perusahaan lain dengan cara membeli
aktiva tersebut, Akuisisi aset dilakukan dengan cara pemindahan hak kepemilikan aktiva-
aktiva yang dibeli.

Aspek Pajak Akuisisi Perusahaan

a. PPN
1. Akuisisi Saham

Dalam hal perpajakan akuisisi perusahaan , dalam hal pembelian saham apabila
saham tersebut dibeli secara tunai dan melakukan persyaratan pembelian
sesuai dengan UU maka pembelian saham bukan merupakan Barang Kena Pajak
Sesuai dengan UU No 42 tahun 2009 Pasal 1A ayat 2 huruf d “ pengalihan
Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak “.

Sedangkan pembelian saham yang dilakukan di bursa menurut SE-15/PJ.5/1990


tentang PPN atas Jasa Pialang dan SE-04/PJ.5/1991 mengenai Perantara
Perdagangan Efek sebagai PKP dikenakan PPN tarif terbaru.

2. Akuisisi Asset

Akuisisi aset / aktiva yang dilakukan oleh perusahaan, perusahaan yang


diakuisisi akan melakukan revaluasi aset tersebut atau yang sering disebut
penilaian kembali. Pembelian aset untuk mengakuisisi perusahaan akan
menimbulkan pajak pertambahan nilai seperti yang disebutkan dalam pasal 16D
UU No 42 Th 2009 “ Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang
Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

b. Pajak Penghasilan
1. Akuisisi Saham

Terdapat aspek pajak PPh final atas transaksi penjualan saham melalui
bursa efek sebesar 0,1% berdasarkan KMK N0 282/KMK.04/1997 dari
jumlah bruto nilai transaksi penjualan. Sedangkan untuk pemilik saham
pendiri, akan dikenakan tambahan pajak penghasilan dan bersifat final
sebesar 0,5% dari nilai saham.

Sedangkan untuk penjualan saham yang belum listing pada bursa efek
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 1 akan dikenakan pajak PPh
pasal 17 sebesar 25% yang akan terutang di akhir masa pajak setelah
diakumulasikan dengan penghasilan lain perusahaan selama satu tahun
pajak.

“Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1.


Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseoran, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal…”.

2. Akuisisi Aset

Atas terjadinya revaluasi akuisisi aset maka berdasarkan UU PPh Pasal 19


ayat (2) “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri
Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” dikenakan pajak PPh final dengan tarif
10% sesuai dengan NOMOR 79/PMK.03/2008 pasal 5 “Atas selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal
semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%
(sepuluh persen).”

c. Pajak bagi WPLN

Pasal 26 ayat (2) UU PPh atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto."

KMK-434/KMK.04/1999 pasal 2 ayat (1) Atas penghasilan dari penjualan saham


Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.

Pasal 2 ayat (2) “Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah


mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia,
maka pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan
apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak
Indonesia.”

pasal 2 ayat (3) Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga
besarnya PPh Pasal 26 adalah 20 % x 25 % atau 5 % (lima persen) dari harga jual.

Berikutnya, pada Pasal 3 ayat (1) diatur bahwa:

Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima
WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat , dipotong pajak oleh pembeli
yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 26.

b. Merger

Merger adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan
yang me-merger mengambil alih semua aset dan kewajiban perusahaan yang dimerger.

Menurut UU PT Pasal 1 angka 9 jo Pasal 109 UU No. 11 tahun 2020 “Penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan
yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima
penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.”

berdasarkan UU No. 11 tahun 2020


Terdapat 2 metode pencatatan dalam merger perusahaan :

1. Pooling of Interest Method


2. Purchase Method

Aspek Pajak :

1. PPN

Perlakuan PPN atas penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi usaha tidak dikenakan
PPN. Namun, kondisi ini hanya berlaku jika yang mengalihkan dan yang menerima
pengalihan statusnya adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan demikian, apabila
salah satu bukan PKP, maka atas pengalihan ini tetap dikenakan PPN.

Dalam Pasal 9 ayat (14) UU nomor 42 Tahun 2009 diatur bahwa dalam hal terjadi
pengalihan BKP dalam rangka restrukturisasi usaha, Pajak Masukan atas BKP yang
dialihkan dan belum dikreditkan oleh PKP yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh PKP
yang menerima pengalihan, dengan catatan faktur pajaknya diterima setelah terjadinya
pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi.

2. PPh Final dan BPHTB

atas merger perusahaan jika menggunakan purchase method pembeli dikenakan pajak
BPHTB sebesar 5% berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1997 BPHTB Pasal 5 dan untuk
penjualan dikenakan PPh final sebesar 5%.

c. Divestasi

Divestasi merupakan pengurangan jenis aset baik aset finansial atau aset barang yang dimiliki
perusahaan. Alasan perusahaan melakukan divestasi yaitu mengurangi beban aset dan
menambah pendapatan. Beban aset yang dimaksud contohnya adalah kepemilikan properti
yang berarti ada pajak, biaya perawatan, dan lain-lain.

Metode Divestasi

a. Metode Penjualan
Penjualan menjadi tipe paling umum dari kegiatan pengurangan aset. Divestasi yang
paling sering dilakukan sebuah perusahaan adalah penjualan divisi, unit bisnis, atau
penjualan segmen atau sekelompok aset ke perusahaan lain.

Pembeli pada umumnya tidak selalu membayar tunai. Nah, untuk alasan melakukan
metode ini adalah:
- Penjualan aset menjadi pertahanan terhadap pengambilalihan yang tidak
bersahabat.
- Penjualan aset memberikan dana tunai untuk perusahaan yang dilikuidasi.
b. Metode Spin off
Dalam metode ini perusahaan induk mengubah sebuah divisi menjadi entitas (unit
usaha lain yang masih satu buku akuntansi dengan perusahaan induk) yang terpisah.
Lewat spin-off, saham entitas akan dibagikan kepada pemegang saham perusahaan
induk.
Perusahaan induk tidak mendaoatkan dana tunai dari spin-off seperti pada penjualan.
Pemegang saham awal dari divisi yang dipisahkan tetap sama dengan pemegang saham
perusahaan induk.

c. Metode Tracking Stock

Dalam metode terakhir ini diartikan sebagai cara menerbitkan tracking stock yang


bertujuan menelusuri kinerja divisi tertentu dalam perusahaan. Contohnya pembagian
dividen yang jumlahnya tergantung pada kinerja divisi tersebut.

d. Metode Carve Out

Metode ini berarti perusahaan induk mengubah sebuah divisi menjadi entitas yang
terpisah. Tidak seperti dalam spin-off di mana entitas masih satu buku akuntansi dengan
perusahaan induk, dalam metode ketiga ini saham entitas akan dijual ke masyarakat.

Artinya, pemegang saham bukan hanya pemilik saham pada perusahaan induk di awal,
tetapi menambah jumlah pemilik saham. Umumnya nih, pemegang saham perusahaan
induk mempertahankan kepemilikan mayoritasnya di entitas baru tersebut.

Dalam pasal 16D UU No 42 Th 2009 “ Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

d. Lelang

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara
tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi
yang didahului dengan pengumuman lelang menurut PMK No 213/PMK.06/2020 Pasal 1 angka
1.

Pasal 1A ayat huruf c UU PPN menyatakan “penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang;”. penyerahan barang melalui lelang termasuk ke dalam
penyerahan BKP.

Pasal 4 UU PPN menyatakan

1.Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;


c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JasaKena Pajak yang atas ekspornya dikenai
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

tetapi untuk pembelian barang melalui lelang sesuai dengan UU No 42 Th 2009 dalam pasal 1A
yang menyebutkan Barang kena Pajak Kepada Perantara atau juru lelang yang artinya
merupakan barang kena pajak berupa persediaan dan / atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan
pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena pajak.

Pernyataan tersebut diperjelas dengan pasal 16F “ Sesuai dengan prinsip beban pembayaran
pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah
seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab
renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang
tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa
tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau
pemberi jasa”.

Anda mungkin juga menyukai