Anda di halaman 1dari 102

ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI

Ahmad Darda, S.E., M.M.


Ahmad Rojikun, S.Sos., M.M.
Yusuf., S.E., M.Pd., M.Ak.

PENERBIT CV.EUREKA MEDIA AKSARA

i
ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI

Penulis : Ahmad Darda, S.E., M.M.


Ahmad Rojikun, S.Sos., M.M.
Yusuf., S.E., M.Pd., M.Ak.

Editor : Dwi Winarni, S.E., M.Sc.

Desain Sampul : Eri Setiawan

Tata Letak : Tukaryanto, S.Pd., Gr.

ISBN : 978-623-5896-51-9

Diterbitkan oleh : EUREKA MEDIA AKSARA, JANUARI 2022


ANGGOTA IKAPI JAWA TENGAH
NO. 225/JTE/2021

Redaksi:
Jalan Banjaran, Desa Banjaran RT 20 RW 10 Kecamatan
Bojongsari Kabupaten Purbalingga Telp.
0858-5343-1992

Surel : eurekamediaaksara@gmail.com
Cetakan Pertama : 2022
All right reserved

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun dan
dengan cara apapun, termasuk memfotokopi, merekam,
atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa seizin tertulis
dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis
dapat menyelesaikan buku ini. Penulisan buku merupakan
buah karya dari pemikiran penulis yang diberi judul
“Anteseden Kinerja Pegawai”. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan karya ini.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu
penyusunan buku ini. Sehingga buku ini bisa hadir di
hadapan pembaca.
Manajemen adalah pengelolaan berbagai sumber
daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, berbagai sumber daya yang ada harus
ditetapkan dengan baik, diorganisasikan, digerakkan, dan
diawasi sehingga penggunaanya tepat sebagaimana
rencana yang ditetapkan, manajemen sumber daya
manusia sebagai sumber daya atau asset yang utama,
melalui penerapan fungsi manajemen maupun fungsi
operasional sehingga tujuan organisasi yang telah
ditetapkan dapat tercapai dengan baik Buku ini akan
membahas mengenai manajemen kinerja pegawai.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat dibutuhkan guna penyempurnaan
buku ini. Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu. Semoga buku ini akan membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................ iii


DAFTAR ISI ............................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................1
A. Manajemen Sumber Daya Manusia ......................1
B. Stuktur Organisasi Kepemerintahan .....................4
C. Faktor Penentu Kinerja Pegawai............................9
BAB 2 KINERJA PEGAWAI ................................................ 21
A. Definisi Kinerja ...................................................... 21
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ...... 22
C. Karakteristik Kinerja pada Karyawan................. 26
D. Metode dalam Penilaian Kinerja.......................... 26
E. Tujuan Penilaian Kinerja ...................................... 34
F. Indikator Kinerja Karyawan ................................. 35
BAB 3 GAYA KEPEMIMPINAN ........................................ 39
A. Pengertian Kepemimpinan................................... 39
B. Pengertian Gaya Kepemimpinan......................... 42
C. Jenis - jenis Gaya Kepemimpinan ........................ 43
D. Gaya Pengambilan Keputusan oleh Pemimpin . 47
E. Dimensi Gaya Kepemimpinan ............................. 49
F. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap
Kinerja ..................................................................... 50
BAB 4 BUDAYA ORGANISASI ......................................... 53
A. Pengertian Budaya Organisasi ............................. 53
B. Karakteristik Budaya Organisasi ......................... 55
C. Fungsi Budaya Organisasi .................................... 57
D. Dimensi Budaya Organisasi ................................. 59
E. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Kinerja ..................................................................... 61
BAB 5 KEPUASAN KERJA .................................................. 65
A. Definisi Kepuasan Kerja ....................................... 65
B. Teori Kepuasan Kerja ............................................ 66

iv
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan
Kerja ........................................................................ 69
D. Dimensi Kepuasan Kerja ...................................... 71
E. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja ..... 74
BAB 6 PENUTUP ................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA.............................................................. 82
TENTANG PENULIS ............................................................ 94

v
ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI

Ahmad Darda, S.E., M.M.


Ahmad Rojikun, S.Sos., M.M.
Yusuf., S.E., M.Pd., M.Ak.

vi
BAB

1
PENDAHULUAN

A. Manajemen Sumber Daya Manusia


Lembaga pemerintah yang memiliki kinerja
tinggi sangat dibutuhkan sejalan dengan gagasan
untuk meningkatkan daya saing nasional di tingkat
global, salah satu jalannya adalah dengan adanya
reformasi birokrasi untuk menjawab tantangan global
yang mengharuskan intitusi pemerintah bereaksi
terhadap perubahan yang dinamis dan berkelanjutan.
Dalam rangka dan perlu membangun strategi untuk
mencapai visi dan misi yang berorientasi pada kualitas
kinerja yang diharapkan oleh masyarakat, dalam hal
ini, manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor
publik berusaha mengungkap manusia sebagai sumber
daya seutuhnya dalam konsepsi pembangunan bangsa
yang utuh dan menyeluruh, sehingga kinerja para
Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sangat penting
dalam proses pembangunan negara ini. Menurut
Sedarmayanti (2017:37) manajemen SDM adalah
kebijakan dan praktik menentukan aspek manusia atau
sumber daya manusia dalam posisi manajemen
termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi
penghargaan dan penilaian.

1
Manajemen sumber daya manusia dalam upaya
memenuhi kebutuhan pegawai instansi/lembaga
birokrasi, spesialisasi pegawai dengan jenis kegiatan
birokrasi, sangat dibutuhkan oleh pemerintah sehingga
jalannya pemerintahan semakin efektif dan efisien, dan
instansi birokasi mampu mencapai tujuannya serta
mampu memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat. Kinerja pegawai merupakan salah satu
dimensi yang digunakan untuk mengukur dan
mengevaluasi pegawai dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya terhadap organisasi tempat pegawai
bekerja. Pegawai dituntut untuk dapat melaksanakan
tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik agar
dapat mencapai hasil kerja dengan kualitas dan
kuantitas yang tinggi, Mangkunegara (2015:67)
menyatakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah
daerah memiliki kesempatan untuk berkreasi dan
berinovasi dalam rangka menciptakan tatanan
masyarakat yang dinamis dan sejahtera. Kecamatan
merupakan bentuk organisasi lembaga pemerintahan
yang menjadi bagian dari perangkat daerah Kabupaten
atau Kota yang dipimpin oleh Camat untuk
menanggani sebagian urusan otonomi daerah. Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 telah menerangkan
tentang Pemerintahan Daerah, Kecamatan merupakan
wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah
kabupaten dan daerah kota, dengan memandang
Kecamatan sebagai bentuk organisasi, maka kerja sama

2
yang solid untuk mencapai tujuan adalah upaya
rasional yang harus dilakukan untuk keberhasilannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang pelayanan publik, dalam membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang
dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan
dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk
tentang peningkatan pelayanan publik. Tuntutan
masyarakat terhadap kualitas aparatur pemerintah
perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama
dalam hal peningkatan kinerja pegawai, karena ini
akan menjadi tantangan dalam menghadapi era
globalisasi yang sangat memerlukan keahlian, baik
keahlian majerial maupun keahlian teknikal.
Manajemen adalah pengelolaan berbagai sumber
daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, berbagai sumber daya yang ada harus
ditetapkan dengan baik, diorganisasikan, digerakkan,
dan diawasi sehingga penggunaanya tepat
sebagaimana rencana yang ditetapkan, manajemen
sumber daya manusia sebagai sumber daya atau asset
yang utama, melalui penerapan fungsi manajemen
maupun fungsi operasional sehingga tujuan organisasi
yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik
(Sinambela, 2016:9).
Pada manajemen sumber daya manusia, kinerja
sangat penting. Kinerja adalah tentang apa yang
dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakanya
(Wibowo, 2016:7). Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo
(2016:10) menyatakan Manajemen kinerja merupakan
siklus berkelanjutan dalam memperbaiki kinerja

3
dengan penetapan tujuan, umpan balik, penghargaan
dan penguatan positif, sedangkan Cascio dalam
Wibowo (2016:10) mengatakan bahwa manajemen
kinerja adalah suatu proses yang luas yang
memerlukan seorang pemimpin yang mampu
mendefinisikan suatu pekerjaan, memfasilitasi, dan
mendorong kinerja dengan mengusahakan umpan
balik tepat waktu dan secara konstan memfokuskan
perhatian setiap orang pada sasaran tugas akhir.
B. Stuktur Organisasi Kepemerintahan
Struktur organisasi pemerintahan tertinggi di
Kecamatan dipegang oleh seorang Camat. Sesuai
dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.
146 Tahun 2009, dalam menjalankan tugasnya Camat
dibantu oleh Wakil Camat, Sekretaris Kecamatan,
Kelompok Jabatan Fungsional, Seksi Pemerintahan dan
Trantib, Seksi Perekonomian, Seksi Pembangunan dan
Lingkungan Hidup, Seksi Kesejahteraan Masyarakat,
Seksi Pelayanan umum, dan para Lurah. Para aparatur
kecamatan tersebut bekerja dalam satu kerangka visi
dan misi yang sama untuk kemajuan Kecamatan
Pencapaian visi dan misi Camat berkaitan dengan
kinerja pegawai, fenomena saat ini menunjukkan
bahwa kinerja pegawai, mulai dari Camat dana para
jajarannya sudah cukup baik, namun masih bisa
dioptimalkan. Beberapa fenomena kinerja pegawai di
Kecamatan berdasarkan observasi dilapangan oleh
penulis adalah sebagai berikut:
1. Sebagian pegawai masih lamban dalam
menyelesaikan tugas sehingga tidak tepat waktu
sesuai dengan yang telah ditetapkan.
2. Sebagian pegawai dalam melaksanakan tugasnya

4
belum sesuai dengan standar kualitas yang telah
ditetapkan.
3. Dalam menghadapi kendala atau kesulitan masih
ada pegawai yang belum mampu mengatasinya
dengan baik.
4. Masih ada sebagian pegawai yang kerjanya tidak
mengikuti prosedur dan aturan yang ada.
Berdasarkan hasil paparan Waluyo (2019:5) dari
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) setelah
melakukan riset terhadap ASN secara umum di
lingkungan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, hal
yang dikeluhkan dari kinerja pegawai adalah, 1).
Birokrat umumnya lamban bekerja dan rendah
kinerjanya, sebaliknya birokrat sudah merasa banting
tulang bekerja,2). Hasil penilaian kinerja individu tidak
signifikan berdampak pada aspek kepegawaian dan
keuangan yang membedakan antara mereka yang
berkinerja tinggi dan berkinerja rendah. Waluyo juga
mencatat kekurangan yang sering terjadi dalam
manajemen kinerja adalah sebagai berikut:
1. Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) diturunkan dari
Tupoksi Pejabat namun kurang sesuai dan selaras
dengan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Kepala Daerah.
Artinya jika semua SKP terpenuhi tidak sesuai
dengan janji janji Kepala Daerah saat kampanye.
2. Penilaian yang terlalu murah dan kurang obyektif,
berkembang pandangan bahwa angka penilaian
tahun ini harus lebih tinggi dari penilaian tahun
kemarin tanpa melihat obyektivitas pencapaiannya.
3. Penilaian kinerja individu dilakukan hanya di akhir
tahun, tidak ada penilaian tengah tahunan dan

5
kurang interaksi atasan bawahan untuk pembahasan
bersama.
4. Kurang efektif dalam monitoring dan evaluasi
kinerja organisasi dan kurang optimal dalam
pendokumentasian.
5. Kebijakan atas hasil penilaian kierja individu kurang
berdampak terhadap perbedaan manfaat atas aspek
kepegawaian dan finansiil.
Waluyo (2019:30) memberikan penjelasan bahwa
beberapa tantangan yang perlu dijawab oleh ASN
Pemrov DKI Jakarta diantaranya 1). Sebagai Ibu Kota
Negara Indonesia, Pemerintah DKI Jakarta dituntut
untuk menjadi role model bagi pemerintah daerah
lainnya. 2). Perkembangan era industri 4.0 yang harus
diselaraskan dengan mekanisme kerja di lingkungan
Pemrov DKI Jakarta. 3). Peran sosial media sebagai
kontrol eksternal masyarakat secara langsung terhadap
tuntutan perbaikan kinerja, pelayanan publik serta
pemerintahan yang baik dan bersih. Adapun catatan
kelemahan penyebab dari rendahnya kinerja pegawai
pada lingkungan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
secara umum adalah sebagai berikut:
1. Masih terdapatnya mismatch antara ASN dengan
penempatan kerja.
2. Sistem informasi kepegawaian yang belum
terintegrasi secara menyeluruh.
3. Tata kelola masih birokratis, kurang inovatif dan
kurang responsive terhadap perubahan lingkungan
yang sangat dinamis.
4. Belum terinternalisasinya budaya organisasi yang
menjadi katalis dalam mendorong profesionalisme
ASN.

6
Berdasarkan PP No.19 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 9
tentang kecamatan, bahwa camat atau sebutan lain
adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
kewenangan pemerintahan dari bupati/walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
Berdasarkan PP No.19 Tahun 2008 Pasal 15 tentang
kecamatan dan PP No. 41 Tahun 2007, seorang camat
memiliki tugas umum pemerintahan yang meliputi :
1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan
masyarakat.
2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan
ketenteraman dan ketertiban umum.
3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan
peraturan perundang-undangan.
4. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan
fasilitas pelayaanan umum.
5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan di tingkat kecamatan.
6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa
dan/atau kelurahan
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi
ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat
dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Selain tugas pokok dan fungsi, seorang camat
memiliki beberapa wewenang dalam melaksanakan
pemerintahannya di tingkat kecamatan seperti yang
tertuang dalam PP Pasal 15 ayat (2) yang meliputi
beberapa aspek diantaranya adalah, Perizinan,
Rekomendasi, Kooordinasi, Pembinaan, Pengawasan,

7
Fasilitas, Penetapan, Penyelenggaraan, dan
Kewenangan lain yang dilimpahkan. Pelaksanaaan
kewenangan ini mencakup segala urusan dalam
penyelenggaraan pemerintah di lingkup kecamatan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun pelimpahan wewenang dilakukan
berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi dalam
pelaksanaannya. Adapun Struktur Organisasi
Kecamatan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Struktur Organisasi Kecamatan

Dalam wilayah kecamatan, seorang camat akan


dibantu oleh seorang sekretaris (sekcam) dalam
mengemban segala tugas-tugasnya. Sekretaris camat
merupakan pimpinan sekretariat kecamatan yang
bertanggung jawab kepada camat. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007 menyatakan
bahwa jabatan sekcam merupakan jabatan struktur
eselon III.B. Sekretaris Camat membawahi setidaknya 3
sub bagian yaitu kasubag perencanaan, Kasubag
Keuangan, serta staff. Seorang sekretaris camat
memiliki tugas pokok antara lain adalah :

8
1. Melaksanakan urusan umum seperti administrasi,
tata usaha, membuat laporan kepada camat,
maupun melakukan tugas kedinasan lain yang
diperintahkan oleh camat.
2. Melaksanakan pengelolaan perlengkapan dan
rumah tangga kecamatan.
3. Melaksanakan penyusunan perencanaan serta
rancangan program kepada camat.
4. Mengelola administrasi keuangan dan
kepegawaian.
Sedangkan fungsi dari Sekretaris Camat itu
sendiri adalah :
1. Sebagai penyelenggara administrasi perkantoran,
kepegawaian, serta keuangan di tingkat kecamatan.
2. Sebagai penyelenggara urusan umum dan
perlengkapan, serta keprotokolan dan hubungan
masyarakat.
3. Sebagai penyelenggara ketatalaksanaan, kearsipan,
dan perpustakaan.
4. Sebagai pelaksana koordinasi, pembinaan,
pengendalian, evaluasi, serta pelaporan kegiatan
unit kerja.
5. Sebagai pelaksana tugas lain yang dilimpahkan oleh
camat

C. Faktor Penentu Kinerja Pegawai


Permasalahan kinerja pegawai berkaitan erat
dengan masalah sumber daya manusia sebagai
operator maupun pelaksana regulasi, sehingga faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai perlu
diidentifikasi dengan baik, salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja pegawai diantaranya adalah

9
faktor gaya kepemimpinan. Menurut Mulyanto dan
Widayati (2012:2) peran pemimpin dalam segala situasi
organisasi merupakan suatu faktor yang sangat
strategis. Pemimpin harus dapat mengelola pola pikir
pegawainya untuk menaati dan melaksanakan setiap
pekerjaan sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku. Pemimpin harus dapat menyampaikan visi
dan misi organisasi secara persuasif dengan bahasa
yang mudah dipahami dan dimengerti agar kinerjanya
meningkat. Di tingkat Kecamatan, kepemimpinan
pemerintahan terletak pada seorang Camat yang
memegang peranan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kepemimpinan kemampuan Camat
sangat dituntut untuk dapat menciptakan iklim
pelayanan yang baik, yang menuju kepada terciptanya
efektifitas kerja dari penyelenggara pemerintah itu
sendiri. Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan
secara keseluruhan tergantung atau ditentukan oleh
hal-hal sebagai berikut :
1. Sejauh mana memenuhi tugas dan kewajibannya
2. Sejauh mana program suatu instansi serasi dan
berkesinambungan akan mendukung program
instansi lainnya
3. Sejauh mana program suatu instansi tidak tumpang
tindih, simpang siur, dan bukan pekerjaan
pengulangan dari instansi lain
4. Sejauh mana keberhasilan suatu instansi tidak
menimbulkan kerugian bagi instansi lainnya
5. Sejauh mana instansi lainnya dapat melancarkan
programnya sendiri.
Mekanisme koordinasi dalam rangka
kepemimpinan pemerintahan dalam penyelenggaraan

10
pemerintahan di tingkat kecamatan sangat ditentukan
oleh Camat. Di satu sisi Camat sebagai kepala wilayah
dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk
mengkoordinasikan seluruh aktivitas instansi terkait di
wilayahnya, sementara di sisi lain sebagai penguasa
tunggal Camat memiliki otoritas untuk mengambil
kebijakan-kebijakan, baik yang berkaitan dengan
implementasi dari pusat atau menciptakan kondisi-
kondisi baru yang mendukung ke arah pencapaian
tujuan pembangunan di wilayahnya sebagai akibat dari
tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks. Mehrabi, dkk (2012:1) juga menyatakan
bahwa dalam masyarakat kegiatan memimpin
dianggap sebagai suatu proses seni. Kepemimpinan
berarti seni mempengaruhi bawahan agar mereka
melakukan kegiatan yang telah ditentukan dalam
rangka mencapai tujuan tertentu secara sukarela dan
penuh semangat.
Brury (2016:4) dengan menyadur pedapat Kinicki
and Kreitner menyatakan bahwa Kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu proses pengaruh sosial
dimana seorang pemimpin mengajak bawahannya
untuk berpartisipasi dalam upaya mencapai sasaran-
sasaran organisasi. Pada tingkat individu misalnya,
kepemimpinan disini meliputi momonitor,
membimbing, memberikan inspirasi dan melakukan
motivasi. Kepemimpinan merupakan suatu
kemampuan yang melekat pada diri seseorang yang
memimpin dan tergantung dari macam macam faktor
baik faktor faktor internal maupun faktor-faktor
eksternal. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor
yang membentuk dan membantu orang lain untuk

11
bekerja dan antusias dalam mencapai tujuan yang
direncanakan dalam kaitannya dengan keberhasilan
organisasi. Dengan pemahaman akan tugas-tugas yang
diemban, dan pemahaman karakteristik bawahannya,
maka seorang pemimpin akan dapat memberikan
bimbingan, dorongan serta motivasi kepada seluruh
anggotanya untuk mencapai tujuan.
Putra dan Subudi (2014:803) menyatakan bentuk
gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu
organisasi dapat mempengaruhi kinerja setiap
karyawan. Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
situasi dan kondisi akan mendorong karyawan untuk
bekerja lebih bersemangat dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya. Hasil kajian Putra dan Subudi
menghasilkan kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan,
bahkan variabel gaya kepemimpinan menjadi variabel
yang berpengaruh paling dominan terhadap kinerja
karyawan.
Faktor lain yang menentukan kinerja pegawai
adalah budaya organisasi, Menurut Brury (2016:4)
budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana
karyawan mempresepsikan karakteristik dari budaya
suatu organisasi. Fauzi, dkk (2016:4) dengan mengutip
pendapat Stoner et al menyatakan budaya (culture)
merupakan gabungan kompleks dari asumsi, tingkah
laku, cerita, mitos, metafora dan berbagai ide lain yang
menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi
anggota masyarakat tertentu. Sedangkan budaya
organisasi (organizationa culture) merupakan sejumlah
pemahaman penting, seperti norma, sikap, dan
keyakinan, yang dimiliki bersama oleh anggota

12
organisasi. Budaya Organisasi menurut Schein dalam
Herawan, dkk (2015:2) adalah pola asumsi dasar
diciptakan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu
saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-
masalah eksternal dan integrasi internal yang telah
bekerja cukup baik serta dianggap berharga, dan
karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara
yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasakan
hubungan dengan masalah tersebut.
Muhajir (2013:3) menyadur dari pendapat
Robbins menyatakan bahwa budaya organisasi
merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan
organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya
organisasi adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan
dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasaan dan
falsafah dasar pendirinya, yang terbentuk menjadi
aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam
berfikir dan bertindak dalam mencapai tujuan
organisasi. Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu
memacu organisasi kearah perkembangan yang lebih
baik.
Wahyuni (2015:97) menyatakan budaya
organisasi pada sektor publik lebih menekankan
kepada pelayanan publik. Pelayanan yang diberikan
kepada publik merupakan bentuk output yang selama
ini diproses oleh pegawai dan pekerja yang berada
dalam organisasi, pelayanan yang baik tidak lagi
menjadi kewajiban melainkan sudah menjadi kebiasaan
atau budaya. Berkaitan dengan pelayanan publik pada
tingkat kecamatan, Yusrialis (2012:81) menyatakan
organisasi birokrasi pemerintahan merupakan

13
organisasi garis terdepan (street level bureaucracy)
yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Budaya Birokrasi yang baik di pemerintahan menjadi
penting, guna memberikan pelayanan jasa yang prima
kepada publik (masyarakat). Secara spesifik peran
penting yang dimainkan oleh budaya organisasi
(birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa
memiliki terhadap organisasi, menciptakan jati diri
para anggota organisasi, menciptakan keterikatan
emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat
didalamnya, membantu menciptakan stabilitas
Organisasi sebagai sistem sosial, dan menemukan pola
pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma
kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Lebih lanjut, Yusrialis (2012:82) berpendapat
bahwa budaya organisasi (birokrasi) sangat
berpengaruh terhadap perilaku para anggota
organisasi, beberapa fenomena budaya organisasi pada
birokrasi yakni :
1. Dalam perekrutan pegawai tidak jarang ditemukan
dalam perekrutan suatu jabatan yang didasarkan
pada pertimbangan like and dislike pimpinan
2. Masih melekatnya budaya paternalisme.
3. Praktek birokrasi yang berbelit-belit, ditambah
dengan maraknya pungutan liar yang dilakukan
sejumlah oknum pemerintah, aparat masyarakat,
mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.
Aridhona, dkk (2015:113) yang melakukan kajian
di Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta
menyimpulkan, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran
budaya organisasi pada birokrasi di lembaga dari
budaya hierarchy, yaitu budaya cenderung birokratis ke

14
arah budaya market yang lebih berorientasi eksternal.
Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa budaya
organisasi yang sebelumnya lebih menekankan pada
terciptanya stabilitas dan kontrol telah bergeser
menjadi budaya yang lebih mengutamakan pencapaian
target, berorientasi hasil dan pemenuhan kebutuhan
stakeholder. Pergeseran ini menunjukkan bahwa
budaya organisasi telah bergerak ke arah yang sesuai
dengan konsep NPM. Beberapa kebijakan reformasi
birokrasi seperti kebijakan pemilihan kepemimpinan,
rightsizing, dan survey kepuasan pelanggan merupakan
beberapa faktor yang menjadi penyebab berubahnya
budaya organisasi ke arah budaya market. Namun,
perubahan budaya organisasi tampak belum
sepenuhnya optimal dan bahkan belum sepenuhnya
kongruen. Berdasarkan hasil kajian Aridhona, dkk
(2015:113), terdapat dua faktor yang menjadi penyebab
belum optimalnya perubahan budaya organisasi di
salah satu lingkungan lembaga di bawah Pemda DKI
Jakarta itu. yaitu:
1. Terjadinya perbedaan persepsi terkait dengan pola
karier yang lebih selektif dalam manajemen SDM.
Beberapa pegawai menganggap aturan tersebut terlalu
kaku dan menghambat pegawai. Faktor ini
menunjukkan bahwa masih terdapat resistensi dari
pegawai dalam organisasi. Peran kepemimpinan pada
dasarnya sudah berorientasi eksternal merupakan
faktor yang berperan untuk mengatasi kendala
tersebut.
2. Kemampuan manajerial khususnya pada pimpinan
yang menjalankan fungsi manajemen SDM hendaknya
perlu ditingkatkan. Pimpinan yang menjalankan fungsi

15
manajemen SDM diupayakan mampu menciptakan
strategi dan membangun komunikasi yang efektif
dalam rangka menginternalisasi budaya yang
diharapkan dalam organisasi.
3. Kendala lain kurang optimalnya perubahan budaya
organsiasi adalah kongruensi kebijakan perubahan
yang ditetapkan. yang terindikasi dari kebijakan
perubahan belum ditetapkan secara kongruen atau
searah pada seluruh aspek dalam organisasi. Penetapan
kebijakan tampaknya belum melihat kesiapan dan
kesesuaian dengan kebijakan lain yang ditetapkan
dalam organisasi. Ketidakseragaman dan
ketidaksesuaian tersebut menyebabkan perubahan
yang diharapkan menjadi kurang optimal.
Kausar (2013:27) menyebutkan beberapa studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan
secara signifikan dengan sikap dan perilaku pegawai.
Misalnya Budaya yang bersifat membangun
(konstruktif) pasti akan sangat menentukan sikp positif
atas pekerjaan yang dijalaninya, ini juga pasti akan
terkait dengan tercapainya kepuasan kerja, berusaha
melakukan inovasi dalam pekerjaan dan pastinya akan
terus mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya
menjadi lebih baik lagi.
Selanjutnya, salah satu faktor yang mendorong
kinerja pegawai baik adalah kepuasan kerja pegawai.
Menurut Mangkunegara (2015:117). kepuasan kerja
merupakan salah satu aspek psikologis yang
mencerminkan perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya, pegawai akan merasa puas dengan
adanya kesesuaian antara kemampuan, keterampilan
dan harapannya dengan pekerjaan yang dihadapi.

16
Kepuasan sebenarnya merupakan keadaan yang
sifatnya subyektif yang merupakan hasil kesimpulan
yang didasarkan pada suatu perbandingan mengenai
apa yang diterima pegawai dari pekerjaannya
dibandingkan dengan yang diharapkan, diinginkan,
dan dipikirkannya sebagai hal yang pantas atau berhak
atasnya. Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang
menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang
berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan
kondisi dirinya.
Menurut Indrasari (2017:37) kepuasan kerja
merupakan respon afektif atau emosional terhadap
berbagai segi atau aspek pekerjaan seseorang sehingga
kepuasan kerja bukan merupakan konsep tunggal.
Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek
pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek
lainnya. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal
yang bersifat individual karena setiap individu akan
memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap
individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang
sesuai dengan keinginan individu, maka semakin
tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.
Lebih lanjut, Menurut Indrasari (2017:40) orang
mau bekerja karena ada dorongan dalam dirinya untuk
menuju harapan yang lebih baik dan memuaskan,
artinya berbeda dalam bentuk aktivitas yang bertujuan
untuk memperoleh kepuasan. Kepuasan kerja
merupakan elemen penting dalam organisasi. Hal ini
disebabkan kepuasan kerja dapat mempengaruhi
perilaku kerja pegawai seperti perilaku malas, rajin,
atau produktif. Artinya perilaku manusia ditentukan

17
oleh motif atau kebutuhan dalam diri manusia
berdasarkan pada pengenalan yang diterima
sebelumnya serta berhubungan dengan situasi dan
perannya dalam organisasi.
Siagian dalam Indrasari (2017:40) mengemukakan
bahwa kepuasan mempunyai konotasi yang beraneka
ragam. Meskipun demikian tetap relevan untuk
kepuasan kerja dari kombinasi ini merasa puas jika
hasil kerja dan balas jasanya dirasa layak dan adil serta
tidak ada tolok ukur tingkat kepuasan kerja yang
mutlak karena setiap pegawai berbeda standar
kepuasannya, namun apabila pegawai memiliki
disiplin dan moral kerja yang baik dalam unit kerja,
serta tingkat turn-over pegawai rendah, maka secara
relatif kepuasan kerja pegawai adalah baik.
Putri (2013:4) melakukan kajian pada Dinas
Komunikasi, Informatika Dan Kehumasan Dki Jakarta
menyimpulkan bahwa kepuasan kerja PNS merupakan
salah satu faktor yang sangat penting untuk
mendapatkan kinerja yang optimal. Organisasi-
organisasi dengan karyawan yang lebih terpuaskan
cenderung lebih efektif dibandingkan organisasi-
organisasi dengan karyawan yang urang terpuaskan,
ketika seseorang merasakan kepuasan dalam bekerja,
maka pekerjaan akan dilakukan dengan semangat dan
bertanggungjawab. Dengan demikian hasil kerja PNS
akan meningkat secara optimal. Lebih detail, hasil
kajian Putri (2017:34) menghasilkan kesimpulan bahwa
pada model pengaruh langsung kepuasan kerja dan
peran kepemimpinan berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap kinerja pegawai, kepuasan kerja
pegawai tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa

18
kepuasan kerja pegawai dapat dicapai apabila semua
harapan dapat terpenuhi dalam melaksanakan
pekerjaan. Situasi pekerjaan yang seimbang akan
meningkatkan perasaan dalam kontrol terhadap
kehidupan kerja dan menghasilkan kepuasan kerja dan
para pimpinan mempunyai tanggung jawab untuk
meningkatkan kepuasan kerja para bawahannya agar
dapat memberikan kontribusi yang positif pada
organisasinya.
Kajian Hidayat (2012:34) pada lingkungan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta
diperoleh hasil bahwa karyawan yang memperoleh gaji
yang diharapkan, memperoleh promosi, dan interaksi
yang baik dengan rekan kerja dapat meningkatkan
kinerja karyawan secara kualitatif, kuantitatif dan tepat
waktu. Dengan demikian hasil kajian tersebut
membuktikan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi
terhadap kinerja karyawan dan dapat mendukung
teori-teori sebelumnya. Dampak positif dari kepuasan
dan ketidakpuasan adalah menyangkut produktivitas
kerja, absensi karyawan dan juga terhadap kesehatan.
Apabila produktivitas tinggi, absensi karyawan juga
tinggi, maka akan dapat meningkatkan kepuasan,
sehingga kinerja karyawan juga meningkat, dan
sebaliknya juga akan berlaku hal yang sama. Catatan
lain dari hasil kajian Hidayat adalah kepuasan kerja
yang diwakili oleh indikator rekan kerja, promosi,
imbalan dan pengawasan memberi peran langsung
terhadap kinerja. Artinya semakin tercapainya tingkat
kepuasan kerja seseorang karyawan, maka semakin
baik hasil kerja yang ditunjukkan dengan semakin kuat
dalam membentuk peningkatan kinerja. Melalui buku

19
ini penulis akan membahas secara mendalam mengenai
bagaimanakah Gaya Kepemimpinan, Budaya
Organisasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai.

20
BAB
KINERJA
2 PEGAWAI

A. Definisi Kinerja
Menurut Suwatno dan Priansa (2016:196) kinerja
merupakan performance atau unjuk kerja. Kinerja juga
dapat pula diartikan sebagai prestasi kerja atau
pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja. Kinerja
merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan
manusia. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan
kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja
adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang
dicapai dari pekerjaan tersebut.
Sinambela (2016:483) mengatakan bahwa, kinerja
adalah pelaksanaan suatu pekerjaan dan
penyempurnaan pekerjaan tersebut sesuai dengan
tanggung jawabnya sehingga dapat mencapai hasil
sesuai dengan yang diharapkan. Definisi ini
menunjukan bahwa kinerja lebih ditekankan pada
proses, dimana selama pelaksaan pekerjaan tersebut
dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan sehingga
pencapaian suatu pekerjaan atau kinerja dapat
dioptimalkan. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang

21
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan
kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja
adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang
dicapai dari pekerjaan tersebut. Sedangkan Menurut
Wibowo (2016:7) Kinerja adalah tentang apa yang
dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakanya.
Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kinerja adalah hasil kerja nyata yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan
kepadanya sesuai dengan kriteria dan tujuan yang
ditetapkan oleh organisasi.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Menurut Mangkunegara (2016:195) faktor yang
mempengaruhi kinerja antara lain :
1. Faktor kemampuan
Secara psikologis kemampuan (ability)
pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu,
pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang
sesuai dengan keahliannya dan kemampuannya.
2. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude)
seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan
diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja.
Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong seseorang untuk berusaha mencapai
potensi kerja secara maksimal.
Indrasari (2017:52) mengutip Maurice
menyatakan berbagai identifikasi telah dianalisis

22
sebagai faktor penyebab kinerja seseorang yang
merupakan sesuatu yang fundamental bagi proses
pengawasan yang baik serta pembuatan keputusan
yang lebih efektif dalam proses strategi perbaikan
kinerja staf. Dalam bagian ini akan diungkap tabel
analisis yang diungkap oleh Maurice berkenaan
dengan atribut penyebab kinerja menurun atau
meningkat. Berikut tabel analisis Maurice berkaitan
dengan kinerja.

Tabel 2.1. Tabel Analisis Maurice Tentang Kinerja


Individu

Sumber: Indrasari (2017:53)

Berdasarkan tabel tersebut dapat dipahami


bahwa persoalan kinerja adalah sesuatu yang
merupakan variabel yang dapat dipengaruhi oleh
faktor lain atau dengan kata lain sesuatu yang dapat
dirubah dengan jalan tertentu. Tentu saja melalui
proses yang tertuang dalam proses pengembangan
individu maupun lingkungan di mana mereka bekerja.
Indrasari (2017:52) mengutip Gibson, Ivancevich,
Donnely menyatakan setiap kinerja individu adalah

23
juga menjadi kinerja organisasi. Oleh karena itu, faktor
yang menjadi perhatian pokok dari organisasi di masa
yang akan datang adalah sejauhmana organisasi dapat
menempatkan peningkatan kinerja individu dalam
merangsang meningkatnya kinerja organisasi secara
kumulatif. Lebih lanjut, model teori kinerja dapat
dijelaskan melalui sejumlah variabel yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Variabel individu
dikelompokkan pada sub variabel kemampuan dan
keterampilan, latar belakang dan kondisi geografis
mereka. Sub variabel kemampuan dan keterampilan
merupakan faktor utama dan pokok yang
mempengaruhi secara langsung kondisi perilaku dan
kinerja individu. Sedangkan variabel demografis
mempunyai efek yang tidak langsung terhadap pola
perilaku dan kinerja individu dalam organisasi.
kemudian memperdalam dengan memasukkan
variabel psikologis yang dianggapnya sebagai suatu
variabel yang agak sulit diintervensi secara rill.
Variabel ini menurut Gibson adalah sesuatu yang
banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga, pengalaman
kerja dan demografis.
Indrasari (2017:54) mengutip Mar'at menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang adalah: faktor individu dan faktor situasi
kerja. Faktor individu misalnya perbedaan minat,
sikap, jenis kebutuhan dan yang lainnya. Perbedaan-
perbedaan tersebut dapat mempengaruhi kinerja
seorang karyawan. Perbedaan-perbedaan dalam faktor
individu ini dapat dikatakan adanya perbedaan
karaktersitik individu. Adapun faktor situasi kerja yang
mendukung kinerja diantaranya: identitas tugas,

24
otonomi, ini merupakan karakteristik pekerjaan
sedangkan lingkungan kerja terdekat dan lainnya
merupakan karakteristik organisasi. Kinerja seseorang
juga dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Seseorang
memiliki kondisi yang baik mempunyai daya tahan
tubuh yang tinggi yang pada akhirnya tercermin dalam
kegairahan bekerja dengan tingkat produktivitas tinggi
dan sebaliknya. Kinerja karyawan berbeda antara
karyawan yang satu dengan yang lainnya. Faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah
karena adanya perbedaan kondisi fisik, kemampuan,
motivasi dan faktor-faktor individual lainnya.
Faktor-faktor situasi juga berpengaruh terhadap
kinerja karyawan, di mana situasi yang mendukung
misalnya adanya kondisi kerja yang mendukung,
sarana yang menunjang, ruangan yang tenang, sehat,
adanya pengakuan atas prestasi yang ada, pemimpin
yang mengerti akan kebutuhan karyawan, serta sistem
kerja yang mendukung, tentunya akan mendorong
pencapaian kinerja yang tinggi, dan disinilah letak
peranan seorang pemimpin untuk dapat lebih teliti
dalam melihat kebutuhan karyawan yang akan
menunjang peningkatan kinerja karyawan. Kinerja
yang tinggi akan dapat terlaksana bilamana pimpinan
dapat mempergunakan metode-metode yang tepat
dalam manajemen, dalam arti pimpinan dapat
memberikan rangsangan (motivasi) yang sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh karyawan baik secara
material maupun secara non material (Indrasari,
2017:55).

25
C. Karakteristik Kinerja pada Karyawan
Mc Cleland dalam Mangkunegara (2016:198)
berpendapat bahwa ada hubungan yang positif antara
motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif
berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas
dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi
kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc
Cleland dalam Mangkunegara (2016:199),
mengemukakan enam karakteristik dari seseorang
yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
1. Memiliki tanggung jawab yang tinggi
2. Berani mengambil risiko
3. Memiliki tujuan yang realistis
4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan
berjuang untuk merealisasi tujuan.
5. Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam
seluruh kegiatan kerja yang dilakukan
6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana
yang telah diprogamkan.

D. Metode dalam Penilaian Kinerja


Indrasari (2017:56) menyatakan penilaian kinerja
merupakan suatu proses organisai untuk menilai
kinerja pegawainya. Tujuan dilakukannya penilaian
kinerja secara umum adalah untuk memberikan umpan
balik kepada karyawan dalam upaya memperbaiki
kinerjanya dan meningkatkan produktivitas organisasi,
khususnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan
terhadap karyawan seperti untuk tujuan promosi,
kenaikan gaji, pendidikan dan latihan.

26
Menurut Suwatno dan Priansa (2016:204). Ada
beberapa metode untuk penilaian prestasi kinerja
berdasarkan masa yang lalu, dan hampir semua teknik
tersebut merupakan suatu upaya untuk
meminimumkan berbagai masalah tertentu yang
dijumpai dalam pendekatan ini. Teknik penilaian ini
meliputi:
1. Metode penilaian berorientasi masa lalu (past based
methods)
a. Rating scale (skala peringkat). Teknik penilaian
ini memiliki kelebihan yaitu hanya memerlukan
biaya yang rendah, latihan yang dilakukan
penilai hanya sedikit, tidak memakan waktu,
dan dapat digunakan kepada karyawan dalam
jumlah yang besar. Teknik ini dilakukan dalam
skala waktu tertentu dengan rentang nilai dari
rendah hingga tinggi. Salah satu kekurangan
dari teknik ini adalah kesulitan dalam
menentukan kriteria yang relevan terhadap
pelaksanaa kerja.
b. Checklist. Metode penilaian ini dilakukan oleh
atasan langsung kepada karyawannya. Atasan
hanya perlu memilih prestasi kerja dan karakter
karyawan dari kalimat-kalimat yang disediakan
(pilihan) yang telah diberi bobot, sehingga pada
akhirnya bobot tersebut dapat diakumulasikan
dan hasilnya akan menunjukkan pencapaian
kinerja karyawan.
c. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident
Methode). Metode ini mengharuskan atasan
melakukan pencatatan atas segala sesuatu hal
yang baik dan buruk yang berhubungan dengan

27
pekerjaan yang dilakukan oleh karyawannya
selama masa evaluasi. Keseluruhan hasil
pencatatan tersebut akan dikelompokkan
menurut kriterianya, yang selanjutnya hal ini
juga dapat dijadikan masukkan bagi karyawan
tersebut. Kelemahan dari metode ini adalah
atasan sering malas untuk melakukan
pencatatan dari setiap hal yang dilakukan oleh
karyawannya.
d. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review
Methode). Teknik ini dilakukan langsung oleh
tenaga ahli dari personalia berdasarkan data
informasi yang diterima dari atasan langsung
tentang kinerja karyawannya. Kemudian tenaga
ahli akan melakukan evaluasi berdasarkan data
yang diterimanya dan hasilnya akan diberikan
kembali kepada atasan yang bersangkutan yang
kemudian akan didiskusikan bersama dengan
karyawan tersebut.
e. Tes dan Observasi Prestasi Kerja. Pada metode
ini prestasi kerja dinilai berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan karyawan, tes
dapat berupa tes tertulis atau peragaan
keterampilan.
f. Metode Evaluasi Kelompok. Metode ini
biasanya dilakukan oleh atasan langsung, yang
biasanya ditujukan untuk proses pengambilan
keputusan, contoh keputusan kenaikan upah,
promosi dan lain sebagainya kepada satu
karyawan dengan membandingkannya dengan
karyawan lain yang ada pada kelompoknya.

28
2. Metode penilaian berorientasi masa depan (future
based methods)
Metode berorientasi masa depan
menggunakan asumsi bahwa karyawan tidak lagi
sebagai objek penilaian yang tunduk dan
tergantung pada personalia, tetapi karyawan
dilibatkan dalam proses penilaian. Inilah yang
membedakan perusahaan modern dengan yang
lainnya dalam memandang karyawan. Teknik
penilaian ini meliputi:
a. Penilaian diri (Self-Appraisal). Metode penilaian
ini digunakan untuk pengembangan diri
karyawan, dengan menilai dirinya sendiri
sehingga upaya perbaikan cenderung lebih
mudah untuk dapat dilakukan.
b. Penilaian psikologis (Psychological Appraisal).
Penilaian ini dilakukan dengan cara
wawancara, tes psikologi, dan diskusi langsung
dengan atasan. Hal ini penting untuk
menentukan kemampuan seseorang di masa
yang akan datang, atau dalam proses
pengembangan karir.
c. Pendekatan Management by Objective (MBO).
Inti dari metode MBO adalah bahwa setiap
karyawan dan penilai secara bersama untuk
menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran
pelaksanaan kerja di waktu yang akan datang,
dan penilaian prestasi kerja dilakukan
bersamaan dengan proses tersebut.
Menurut Sinambela (2016:529) menyebutkan
beberapa metode untuk mengukur kinerja pegawai
sebagai berikut:

29
1. Metode Tradisional. Metode penelitian tradisional
adalah metode yang ditekankan untuk memberi
jawaban atas kinerja pegawai. Biasanya metode ini
digunakan dengan prosedur yang lebih formal dan
sistematis daripada hanya menanyakan pendapat
pengawas atau pimpinan.
2. Skala Penilaian Grafik. Skala penilaian kerja yang
paling sederhana dan paling banyak digunakan
adalah skala penilaian grafis atau dalam
kepustakaan lain disebut skala pengharkatan grafis.
Skala yang diperkenalkan pada dekade 1920-an ini
dipuji bermanfaat karena ukurann output langsung
tidak diperlukan dan penilai bebas melakukan
penilaian yang jujur sebagaimana diharapkan.
3. Metode Pemangkatan. Metode penilaian yang
relatif mudah digunakan ini memiliki keunggulan
cepat dan mudah diimplementasikan. Evaluasi
menarik yang diberikan kepada pegawai dapat
langsung dihubungkan dengan perubahan
kompensasi atau pertimbangan-pertimbangan
penyusunan pegawai.
4. Ranking Alternatif. Merupakan metode melakukan
pemeringkatan dengan memilih yang terbaik dan
yang terburuk. Tahap pertama dalam ranking
alternatif adalah mendapatkan staf paling baik di
bagian paling atas daftar dan paling buruk di
bagian paling bawah. Selanjutnya pemimpin
memilih yang terbaik dan yang terburuk dari
bawahanbawahan yang tersisa menempatkan
nomer dua yang terbaik pada daftar, yang terburuk
mendekati terakhir.

30
5. Pembobotan Checklist. Terdiri atas jumlah
pernyataan yang menjelaskan beraneka macam dan
tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu atau
bagi sekelompok pekerjaan tertentu. Setiap
pernyataan memiliki bobot atau nilai yang
diberikan kepadanya.
6. Kriteria yang Menjelaskan. Metode kriteria dari
evaluasi hasil karya mengaharuskan penilai
menguraikan pokok-pokok kekuatan dan
kelemahan yang dinilai. Satu persoalam dari
evaluasi dengan metode kriteria yang menjelaskan
adalah bahwa metode ini hanya memberi sedikit
kesempatan untuk memperbandingkan orang-
orang yang dinilai mengenai dimensi kinerja
khusus.
7. Metode Distribusi Paksa. Permasalahan dalam
ranking langsung dan ranking alternatif, serta
perbandingan adalah bahwa tiap orang diberi
ranking yang unik. Distribusi paksa dirancang
untuk mengatasi keluhan mengenai perbedaan
pada tiap individu yang tidak terlihat jelas.
8. Critical Incident. Kejadian-kejadian kritis adalah
deskripsi tertulis dari kinerja yang sangat efektif
atau sangat tidak efektif. Pada kejadian-kejadian
kritis yang baik maupun buruk, pimpinan mencatat
kejadiankejadian tersebut dalam catatan masing-
masing pegawai. Metode ini mensyaratkan
pimpinan agar mencatat kejadian-kejadian yang
merefleksikan perilaku-perilaku positif, negatif dan
spesifik.
9. Skala Penilaian yang Diberi Bobot Menurut
Perilaku. Pendekatan yang lebih sistematis

31
mengandalkan kejadiankejadian yang sangat
penting untuk menggantikan bobot-bobot skala
grafis yang bermakna ganda dengan menciptakan
skala penilaian yang diberi bobot perilaku
(Behaviorally Anchored Rating Scale) (BARS). Proses
pengembangan BARS umumnya berhubungan
dengan tahap-tahap pertama dalam metode analisis
jabatan dengan kejadian-kejadian penting, yaitu
mengumpulkan kejadian-kejadian yang
menggambarkan perilaku yang baik, rata-rata,
tidak baik untuk masing-masing kategori jabatan
10.Behavioral Observation Scale (BOS). Sebagaimana
halnya BARS, behavioral observation scale (BOS) juga
menggunakan teknik kejadian-kejadian kritis untuk
mengidentifikasi serangkaian perilaku mencakup
bidang pekerjaan. Perbedaan BARS dan BOS adalah
bahwa alih-alih mengidentifikasi perilaku-perilaku
yang diperlihatkan oleh pegawai selama periode
waktu tertentu, dalam BOS ini evaluator
mengindikasikan sebuah skala seberapa sering
pegawai benar-benar diamati terlibat dalam
perilaku-perilaku spesifik yang diidentifikasikan
dalam BOS.
11.Format Berdasarkan Output. Format berdasarkan
output terpusat pada hasil pekerjaan sebagai kriteria
utama. Seperti pendekatan yang mengacu pada
norma dan standar absolut, pendekatan ini
menganggap bahwa analisis jabatan digunakan
untuk mengidentifikasi tanggung jawab dan tugas
jabatan penting.
12.Skala Standar Campuran. Skala standar campuran
(mixed standart scale, MSS) ini dikembangkan untuk

32
menghindarkan masalah-masalah yang ada pada
BARS. Tidak seperti pada BARS dimana nilai skala
diketahui MSS tidak mempunyai nilai yang
dibutuhkan pada perilaku. Kelamahan skala
standar campuran adalah karena nilai skala tidak
diketahui maka semua informasi pengembangan
hilang. Sementara itu kelebihan MSS adalah bahwa
pemberi rating tidak berhubungan dengan angka-
angka.
13.Esay atau Format Naratif. Instrumen ini
memerlukan penilai agar menilai seorang pegawai
dalam bidang yang agak umum. Seperti : penilaian
keseluruhan atas kinerja pegawai; promotabilitas
pegawai; pekerjaan-pekerjaan yang sekarang
dapat dilakukan oleh pegawai; kekuatan-keuatan
dan kelemahan-kelemahan pegawai; dan
kebutuhan-kebutuhan pelatihan tambahan.
14.Metode Alokasi Poin. Metode alikasi poin
mensyaratkan evalutor untuk mengalokasikan
jumlah tetap poin di antara pegawai-pegawai
dalam kelompok. Keunggulan metode ini adalah
bahwa penilai dapat mengenali perbedaan-
perbedaan relatif diantara kalangan pegawai,
meskipun dampak halo dan bias recency mungkin
masih ada
15.Paired Comparison. Dalam metode ini penulis
diharuskan membandingkan setiap pegawai
dengan semua pegawai lainnya dalam kelompok
yang sama yang telah dinilai.

33
E. Tujuan Penilaian Kinerja
Suwatno dan Priansa (2016:197) menyatakan
bahwa penilaian tersebut memiliki beberapa tujuan
dan manfaat bagi perusahaan dan karyawan itu
sendiri. Tujuan evaluasi kerja karyawan yang
dimaksud antara lain;
1. Performance Improvement. Memungkinkan
karyawan dan manager untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan peningkatan
kinerja.
2. Compensation Adjustment. Membantu para
pengambil keputusan untuk menentukan siapa
saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau
sebaliknya.
3. Placement Decision. Menentukan promosi, transfer,
dan demotion.
4. Training and Development Needs. Mengevaluasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi
karyawan agar kinerja mereka lebih optimal.
5. Carrer Planning and Development. Memandu
untuk menentukan jenis karir dan potensi karir
yang dapat dicapai.
6. Staffing Proccess Deficiencies. Mempengaruhi
prosedur perekrutan karyawan.
7. Informational Inaccuracies and Job-Design Errors.
Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang
telah terjadi dalam manajemen sumber daya
manusia terutama di bidang informasi job-analysis,
job-design, dan sistem informasi manajemen
sumber daya manusia.
8. Equal Employement Opportunity. Menunjukkan
bahwa placement decision tidak diskriminatif, dan

34
semua karyawan mempunyai hak yang sama
dalam hal promosi, bahkan demosi jabatan.
9. External Challenges. Faktor-faktor eksternal yang
biasanya tidak terlihat tetapi ikut mempengaruhi
akan terlihat dalam penilaian kinerja.
10.Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan
kekaryawanan maupun bagi karyawan itu sendiri.

F. Indikator Kinerja Karyawan


Mangkunegara (2016:75) menyatakan bahwa
dimensi-dimensi kinerja adalah :
1. Faktor Kepemimpinan
Secara psikologis, kemampuan (ability)
Karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Knowledge dan Skill). Artinya,
Karyawan yang memilki IQ rata-rata (IQ 110-120)
dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan tampil dalam mengerjakan
pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah
mencapai prestasi kerja yang di harapkan. Oleh
karena itu, Karyawan perlu ditempatkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Proses ini dilaksanakan sewaktu
Departemen SDM sedang melakukan seleksi dan
rekrutmen para kandidat yang ingin di rekrut sesuai
dengan kreteria-kreteria yang telah di tetapkan
dalam SOP (Standard Operating Procedure).
2. Faktor Motivasi.
Motivasi terbentuk dari sikap seorang
Karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi
merupakan kondisi yang menggerakkan diri
Karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan

35
organisasi atau result yang sudah ditetapkan dari
semula.
Indrasari (2017:56) dengan mengutip Bono dan
Judge menyatakan mengukur kinerja dari banyak
aspek. Terdapat tujuh kriteria yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja karyawan secara individu
yakni: (1) kualitas, yaitu hasil pekerjaan yang
dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi tujuan
yang diharapkan dari pekerjaan tersebut, (2)
produktifitas, yaitu jumlah yang dihasilkan atau
jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan, (3) ketepatan
waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang
telah ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang
tersedia untuk aktivitas yang lain, (4) efektivitas,
adalah pemanfaatan secara maksimal sumber daya
yang ada pada organisasi untuk meningkatkan
keuntungan dan mengurangi kerugian, kemandirian,
yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan gursa
menghindari hasil yang merugikan, (6) komitmen
kerja, yaitu komitmen kerja antara karyawan dengan
organisasinya dan (7) tanggung jawab karyawan
terhadap organisasinya
Menurut Hasibuan (2016:21) salah satu indikator
yang dapat dijadikan gambaran kinerja seorang
karyawan dari ukuran yang dinilai secara tangible
(kualitas, kuantitas, waktu) dan intangible (sasaran yang
tidak ditetapkan alat ukur atau standar) adalah sebagai
berikut :
1. Kesetiaan, mencerminkan kesediaan Karyawan
menjaga dan membela Perusahaan di dalam
maupun di luar pekerjaan.

36
2. Kualitas dan Kuantitas Kerja, merupakan hasil kerja
atau output baik kualitas maupun kuantitas yang
dapat dihasilkan Karyawan tersebut dari uraian
pekerjaannya.
3. Kejujuran, kejujuran dalam melaksanakan tugas-
tugas, memenuhi perjanjian baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain.
4. Kedisiplinan, mencerminkan kepatuhan Karyawan
dalam memenuhi peraturan-peraturan yang ada dan
melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan instruksi
yang diberikan kepadanya.
5. Kreativitas, kemampuan Karyawan dalam
mengembangkan kreativitasnya untuk
menyelesaikan pekerjaannya, sehingga lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
6. Kerjasama, kesediaan Karyawan berperestasi dan
bekerjasama dengan Karyawan yang lainnya secara
vertikal dan horizontal didalam maupun diluar
pekerjaannya.
7. Kepemimpinan, merupakan kemampuan untuk
memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi yang
kuat, dihormati, berwibawa, dan dapat memotivasi
orang lain atau bawahannya untuk bekerja secara
efektif.
8. Kepribadian, sikap perilaku, kesopanan, periang
memberikan kesan yang menyenangkan,
memperlihatkan sikap yang baik, serta
berpenampilan simpatik dan wajar.
9. Prakarsa, kemampuan berpikir yang original dan
berdasarkan inisiatif sendiri untuk menganalisis
menilai, menciptakan, memberikan alasan, dan

37
mendapatkan kesimpulan penyelesaian masalah
yang dihadapinya.
10.Kecakapan, merupakan kecakapan Karyawan dalam
menyatukan dan menyelaraskan bermacam-macam
elemen yang semuanya terlibat didalam
penyusunan kebijaksanaan dan didalam situasi
manajemen.
11.Tanggung jawab, kesediaan Karyawan dalam
mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya, dan
hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang
digunakan, serta perilaku kerjanya.

38
BAB
GAYA

3 KEPEMIMPINAN

A. Pengertian Kepemimpinan
Menurut Sedarmayanti (2017:29) kepemimpinan
merupakan salah satu dimensi kompetensi sangat
menentukan terhadap kinerja/keberhasilan organisasi.
Esensi kepemimpinan adalah cara memengaruhi orang
lain dalam mencapai tujuan organisasi. Cara untuk
mempengaruhi orang lain agar efektif, setiap orang
bisa berbeda dalam melakukan. Kepemimpinan
merupakan seni, karena pendekatan setiap orang
dalam memimpin orang dapat berbeda, tergantung
karakteristik pemimpin, karakteristik tugas,
karakteristik orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan
adalah proses memberi inspirasi kepada semua
karyawan agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai
hasil yang diharapkan. Kepemimpinan adalah cara
mengajak karyawan agar bertindak benar, mencapai
komitmen, dan memotivasi mereka untuk mencapai
tujuan bersama.
Suwatno dan Priansa (2016:139) menyatakan
kepemimpinan adalah kemampuan untuk memberikan
pengaruh yang konstruktif kepada orang lain untuk
melakukan satu usaha kooperatif mencapai tujuan

39
yang sudah direncanakan, jadi kepemimpinan meliputi
penggunaan pengaruh dan bahwa semua hubungan
dapat melibatkan pimpinan, kepemimpinan juga
memfokuskan pada tujuan yang dicapai dan pemimpin
yang efektif harus berhubungan dengan tujuan-tujuan
individu, kelompok dan organisasi.
Menurut Suwatno dan Priansa (2016:139)
pimpinan dan kepemimpinan yang diembannya
memiliki fungsi strategis yang menentukan kinerja
organsasi. Pemimpin yang melaksanakan
kepemimpinannya secara efektif, dapat menggerakkan
orang/personil ke arah tujuan yang dicita-citakan, akan
menjadi panutan dan teladan. Sebaliknya oemimpin
yang keberadaannya hanya sebagai figur dan tidak
memiliki pengaruh serta kemampuan kepemimpian,
akan mengakibatkan kinerja organisasi menjadi lambat,
karena ia tidak memiliki kapabilitas dan kecakapan
untuk menghasilkan kinerja terbaik.
Suwatno dan Priansa (2016:149) menyatakan
bahwa seorang pemimpin yang efektif adalah seorang
yang mampu menampilkan dua fungsi penting, yaitu
fungsi tugas dan fungsi pemeliharaan. Fungsi tugas
berhubungan dengan segala sesuatu yang harus
dilaksanakan untuk memilih dan mencapai tujuan-
tujuan secara rasional, tugas-tugas tersebut antara lain
menciptakan kegiatan, mencari informasi, memberi
informasi, memberikan pendapat, menjelaskan,
mengkoordinasikan, meringkaskan, menguji
kelayakan, mengevaluasi, dan mendiagnosis. Fungsi
pemeliharaan berhubungan dengan kepuasan emosi
yang diperlukan untuk mengembangkan dan
memelihara kelompok, masyarakat atau untuk

40
keberadaan organisasi. Beberapa fungsi tersebut antara
lain mendorong semangat, menetapkan standar,
mengikuti, mengekspresikan perasaan, menciptakan
keharmonisan, dan mengurangi ketegangan. Jika
disederhanakan fungsi kepemimpinan adalah
memastikan karyawannya mendapatkan segala
kebutuhan dalam kegiatan kerja, yang selanjutnya akan
melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi.
Suwanto dan Priansa (2016:148) memberikan
beberapa contoh tentang fungsi kepemimpinan yaitu:
1. Perencanaan, mencari semua informasi yang
tersedia, mendefinisikan tugas, maksud atau tujuan
kelompok, membuat rencana yang dapat
terlaksana.
2. Pemrakarsaan, memberikan pengarahan pada
kelompok mengenai sasaran dan rencana,
menjelaskan mengapa menetapkan sasaran atau
rencana merupakan hal penting, membagi tugas
pada anggota kelompok, menetapkan standar
kelompok.
3. Pengendalian, memelihara antara kelompok,
mempengaruhi tempo, memastikan semua
tindakan diambil dalam upaya meraih tujuan,
menjaga relevansi diskusi, mendorong kelompok
mengambil tindakan/keputusan.
4. Pendukung, mengungkap pengakuan terhadap
orang dan kontribusi mereka, member semangat
pada kelompok/individu, menciptakan semangat
tim, meredakan ketegangan.
5. Penginformasian, memperjelas tugas dan rencana,
memberikan informasi kepada kelompok, membuat
ringkasan atas usul dan gagasan yang masuk akal.

41
6. Pengevaluasian, mengevaluasi kelayakan gagasan,
mengevaluasi prestasi kelompok.

B. Pengertian Gaya Kepemimpinan


Sedarmayanti (2017:44) menyatakan gaya
kepemimpinan adalah pola perilaku yang ditunjukkan
oleh pemimpin dalam mempengaruhi orang lain. Pola
perilaku tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti : nilai-nilai, asumsi, persepsi, harapan, sikap
yang ada dalam diri pemimpin, Gaya kepemimpinan
bisa diamati dari sudut pola perilaku pemimpin dalam
menghadapi tingkat kematangan dari bawahan.
Pengertian kematangan di sini bukan seperti halnya
pengertian umum tentang kedewasaan seseorang,
melainkan menyangkut kemampuan dan kemauan dari
bawahan untuk bertanggung jawab dalam
mengarahkan perilakunya sendiri. Tingkat
kemampuan menyangkut pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan,
latihan dan pengalaman. Tingkat kemauan berkaitan
dengan keyakinan diri dan semangat dan dorongan
yang dimiliki.
Putra dan Subudi (2014:803) menyatakan bentuk
gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu
organisasi dapat mempengaruhi kinerja setiap
karyawan. Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
situasi dan kondisi akan mendorong karyawan untuk
bekerja lebih bersemangat dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya. Yukl dalam Nurdin, et al (2014:2)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang tinggi
cenderung lebih sering mencapai kinerja petugas yang

42
tinggi, demikian juga sebaliknya jika gaya
kepemimpinan rendah kinerja petugas rendah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan
suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi
bawahannya yang dinyatakan dalam bentuk pola
tingkah laku atau kepribadian. Seorang pemimpin
merupakan seseorang yang memiliki suatu program
dan yang berperilaku secara bersama-sama dengan
anggota-anggota kelompok dengan mempergunakan
cara atau gaya tertentu, sehingga kepemimpinan
mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang
mendorong, memotivasi dan mengkordinasikan
perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.

C. Jenis - jenis Gaya Kepemimpinan


Hakim (2011:1) Gaya kepemimpinan banyak
mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya
adalah cara yang digunakan pemimpin dalam
mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan di
suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan
membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat
kinerja yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan
gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia
lihat, yang bertujuan menyelaraskan persepsi di antara
orang akan mempengaruhi menjadi amat penting
kedudukannya

43
Sedarmayanti (2017:45) dengan menyadur
Tannenbaum dan Schmidt, tentang gaya
kepemimpinan pada teori kontimum yang merupakan
teori klasik, mengacu pada dua bidang pengaruh yang
ekstrim. Pertama, pengaruh penggunaan kewenangan
oleh pemimpin. Kedua, pengaruh kebebasan dari
bawahan. Pada kedua bidang pengaruh tersebut
nampak kecenderungan yang berhubungan dengan
aktivitas pemimpin dalam proses pengambilan
keputusan. Teori klasik tentang perilaku pemimpin
yang dipengaruhi oleh asumsinya terhadap bawahan,
diperkenalkan oleh Douglas Mc Gregor dalam
Sedarmayanti (2017:45) dengan gambaran berikut:
1. Pandangan Teori “X” menganggap bawahan
sebagai: Disliking work, lacking in ambition,
irresponsible, resistant to change, preffering to be lad than
to lead.
2. Pandangan Teori “Y” menganggap bawahan
sebagai: Willing to work, willing to acceptresponsibility,
capable of self direction, capable of self-control, capable of
imagination and creativity.
Berdasarkan pandangan tersebut maka
pemimpin yang cenderung pada Teori “X” akan lebih
menunjukkan gaya kepemimpinan yang keras dalam
arti mengawasi bawahan secara ketat. Sedangkan pada
kecenderungan Teori “Y” akan merupakan manifestasi
kepemimpinan yang lebih manusiawi. Kecenderungan
pemimpin untuk memilih gaya kepemimpinan yang
otokritas/ demokratis sangat dipengaruhi 3 faktor:
pemimpin, pengikut, situasi kerja.
Lebih lanjut, Sedarmayanti (2017:45) menyatakan
pada gaya Kepemimpinan Otokritas. Dari faktor

44
pemimpin pilihan pada pola perilaku ini didukung
oleh pemilikan power yang sangat kuat, kehendak
untuk mempertahankan posisi, dan mempunyai
pandangan bahwa situasi yang dihadapi dalam
suasana yang kritis. Dari faktor pengikut,
kecenderungan memilih gaya kepemimpinan
disebabkan pengikutnya sangat bergantung pada
pemimpin, mengakui situasi kritis dan mereka tidak
menuntut adanya kebebasan. Dari segi situasi kerja,
menuntut adanya kedisiplinan, pengawasan ketat, dan
hanya memerlukan keterampilan rendah. sedangkan
apda Gaya Kepemimpinan Demokratis. Dari faktor
pemimpin pilihan pada gaya ini, didukung oleh suatu
kesadaran bahwa pemilikan powernya terbatas, adanya
kelompok penentang, waktunya terbatas, tidak mudah
memberikan sanksi. Dari segi pengikut: menghendaki
pemberian otoritas mereka terdiri para
profesional/kelas menengah, serta mempunyai
kebutuhan sosial. Dari segi situasi kerja diperlukan
adanya rasa tanggung jawab bersama, koordinasi, dan
kerja tim.
Jenis-jenis gaya kepemimpinan yang
dikemukakan oleh Hasibuan (2016:170), sebagai
berikut:
1. Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan Otoriter adalah jika kekuasaan
atau wewenang, sebagian besar mutlak tetap berada
pada pimpinan atau pimpinan itu menganut sistem
sentralisasi wewenang. Pengambilan keputusan dan
kebijaksanaan hanya ditetapkan sendiri oleh
pemimpin, bawahan tidak diikutsertakan untuk
memberikan saran, ide, dan pertimbangan dalam

45
proses pengambilan keputusan. Karakteristik dari
Kepemimpinan Otoriter, yaitu :
a. Bawahan hanya bertugas sebagai pelaksana
keputusan yang telah ditetapkan pemimpin.
b. Pemimpin menganggap dirinya orang yang
paling berkuasa, paling pintar, dan paling cakap.
c. Pengarahan bawahan dilakukan dengan
memberikan instruksi/perintah, hukuman, serta
pengawasan dilakukan secara ketat.
2. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan Partisipatif adalah apabila
dalam kepemimpinannya dilakukan dengan cara
persuasif, menciptakan kerja sama yang serasi,
menumbuhkan loyalitas, dan partisipatif para
bawahan. Pemimpin memotivasi bawahan agar
merasa ikut memiliki perusahaan. Karakterisitik dari
Kepemimpinan Partisipatif, yaitu :
a. Bawahan harus berpartisipasi memberikan saran,
ide, dan pertimbanganpertimbangan dalam
proses pengambilan keputusan.
b. Keputusan tetap dilakukan pimpinan dengan
mempertimbangkan saran atau ide yang
diberikan bawahannya.
c. Pemimpin menganut sistem manajemen terbuka
(open management) dan desentralisasi wewenang.
3. Kepemimpinan Delegatif
Kepemimpinan Delegatif apabila seorang
pemimpin mendelegasikan wewenang kepada
bawahan dengan lengkap, dengan demikian,
bawahan dapat mengambil keputusan dan
kebijaksanaan dengan bebas atau leluasa dalam
melaksanakan pekerjaan. Pemimpin tidak peduli

46
cara bawahan mengambil keputusan dan
mengerjakan pekerjaannya, sepenuhnya diserahkan
kepada bawahan. Karakteristik dari Gaya
Kepemimpinan Delegatif, yaitu :
a. Pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas
pelaksanaan pekerjaan kepada bawahan.
b. Pimpinan tidak akan membuat peraturan-
peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan-
pekerjaan itu dan hanya sedikit melakukan
kontak mata dengan bawahannya.
Sebenarnya tidak ada gaya kepemimpinan yang
cocok untuk segala situasi, maka penampilan
pemimpin yang efektif harus menyesuaikan tipe
kepemimpinan dengan situasi yang dihadapi.
Pengertian situasi mencakup kemampuan bawahan,
tuntutan pekerjaan, tujuan organisasi. Gaya
kepemimpinan yang demikian yang sangat baik untuk
diterapkan agar motivasi kerja karyawan tinggi dan
yang terpenting tujuan tercapai dengan baik. Hal ini
disebabkan karena kepemimpinan dipengaruhi oleh
faktor-faktor : tujuan, pengikut (bawahan), organisasi,
karakter pemimpin, dan situasi yang ada.

D. Gaya Pengambilan Keputusan oleh Pemimpin


Gaya pengambilan keputusan oleh pemimpin
yang dikemukakan oleh Hasibuan (2016:175) adalah
sebagai berikut:
1. Gaya Otoratif
Gaya Otoratif diterapkan pada situasi ketika
manajer memiliki pengalaman dan informasi untuk
menghasilkan konklusi, sementara pengikut tidak
memiliki kemampuan, kesediaan, dan keyakinan

47
untuk memecahkan masalah. Jadi, manajer harus
membuat keputusan tanpa bantuan pengikut.
2. Gaya Konsultatif
Gaya Konsultatif adalah strategi yang tepat
apabila manajer mengetahui bahwa pengikut juga
mempunyai beberapa pengalaman atau
pengetahuan tentang masalah dan bersedia
memecahkan masalah meskipun belum mampu.
Dalam situasi ini strategi yang terbaik adalah
memperoleh masukan mereka, sebelum membuat
keputusan final.
3. Gaya Fasilitatif
Merupakan upaya kooperatif yaitu manajer
dan pengikut bekerja sama mencapai keputusan
bersama. Dalam hal ini, pemimpin secara efektif
memiliki komitmen terhadap diri sendiri untuk
berbagai dalam proses pengambilan keputusan.
Gaya merupakan cara yang sempurna manakala
berhadapan dengan pengikut yang mampu, tetapi
belum yakin akan dirinya.
4. Gaya Delegatif
Digunakan terhadap pengikut yang memiliki
pengalaman dan informasi yang diperlukan untuk
keputusan atau rekomendasi yang layak.
5. Gaya Kharismatik
Marginingsih (2016:35) dengan mengutip
Robbins menyatakan bahwa kepemimpinan
karismatik merupakan keberlanjutan dari teori
atribusi. Teori ini menyatakan bahwa para pengikut
memiliki hubungan yang luar biasa yang
disebabkan oleh pengamatan terhadap perilaku-
perilaku tertentu dari seorang pemimpin. Pendapat

48
lain mengemukakan pada saat ini kebanyakan
teoritikus berpendapat bahwa karisma merupakan
hasil persepsi anggota dan atribut-atribut yang
dimiliki pemimpin yang dipengaruhi oleh
kemampuan¬kemampuan aktual, perilaku
pemimpin pada kepemimpinannya yang
mempedulikan kebutuhan-kebutuhan individual
maupun kolektif para anggotanya.

E. Dimensi Gaya Kepemimpinan


Prasetyanto (2014:30) mengemukakan beberapa
dimensi gaya kepemimpinan yang terdiri dari :
1. Gaya Partisipatif (Participative Style) yaitu gaya
kepemimpinan dimana pemimpin mengharapkan
saran-saran dan ide-ide dari bawahan sebelum
mengambil suatu keputusan
2. Gaya Pengasuh (Nurturant Style), yaitu gaya
kepemimpinan dimana pemimpin memperhatikan
bawahan dalam peningkatan karier, memberikan
bimbingan, arahan, bantuan dan bersikap baik serta
menghargai bawahan yang bekerja dengan tepat
waktu.
3. Gaya Otoriter (Authoritarian Style) yaitu gaya
kepemimpinan yang tidak membutuhkan pokok-
pokok pikiran dari bawahan dan mengutamakan
kekuasaan serta prestise sehingga seorang pemimpin
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam
pengambilan keputusan
4. Gaya Berorientasi Tugas (Task Oriented Style) yaitu
gaya kepemimpinan dimana seorang pemimpin
menuntut bawahan untuk disiplin dalam hal
pekerjaan atau tugas

49
F. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja
Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang
ditunjukkan oleh pemimpin dalam mempengaruhi
orang lain. Pola perilaku tersebut bisa dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti : nilai-nilai, asumsi, persepsi,
harapan, sikap yang ada dalam diri pemimpin, Gaya
kepemimpinan bisa diamati dari sudut pola perilaku
pemimpin dalam menghadapi tingkat kematangan dari
bawahan. Pengertian kematangan di sini bukan seperti
halnya pengertian umum tentang kedewasaan
seseorang, melainkan menyangkut kemampuan dan
kemauan dari bawahan untuk bertanggung jawab
dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Tingkat
kemampuan menyangkut pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan,
latihan dan pengalaman. Tingkat kemauan berkaitan
dengan keyakinan diri dan semangat dan dorongan
yang dimiliki (Sedarmayanti, 2017:44). Sedangkan
kinerja merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan manusia. Kinerja merupakan hasil pekerjaan
yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan
strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan
memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan
demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan
dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut
(Suwatno dan Priansa, 2016:196)
Kaitan antara gaya kepemimpinan dengan
kinerja menurut Hakim (2011:1) yakni gaya
kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan
seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku
bawahannya. Istilah gaya adalah cara yang digunakan
pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya.

50
Kepemimpinan di suatu organisasi perlu
mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi
yang menghasilkan tingkat kinerja yang tinggi, maka
pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya.
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti
yang ia lihat, yang bertujuan menyelaraskan persepsi
di antara orang akan mempengaruhi menjadi amat
penting kedudukannya.
Penelitian Ilham (2018) yang salah satu tujuannya
untuk mengetahui dampak gaya kepemimpinan
terhadap kinerja karyawan. dengan sampel kajian ini
adalah dosen STIE Perbanas Surabaya yang bergerak di
bidang pendidikan. Metode statistik yang digunakan
dalam kajian ini adalah Structural Equations Modeling
- Partial Least Square (SEM-PLS) menghasilkan
kesimpulan gaya kepemimpinan berpengaruh positif
terhadap kinerja karyawan, gaya kepemimpinan
merupakan elemen penting yang sangat
mempengaruhi kinerja karyawan dan kepuasan kerja.
Kajian Pratama (2016) juga menunjukkan gaya
kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh
positif terhadap kinerja karyawan, Pengaruh dengan
nilai tertinggi dalam pencapaian pengningkatan kinerja
karyawan adalah faktor gaya kepemimpinan
transformasional. Kajian Gita dan Yuniawan (2016)
menyimpulkan gaya kepemimpinan transformasional
memiliki dampak positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan. Perilaku kepemimpinan yang baik
dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan
mempertimbangkan karyawan komitmen dan

51
kepuasan kerja, Jadi, untuk meningkatkan kinerja
karyawan, perilaku kepemimpinan yang
transformasional dan komitmen tinggi dari karyawan
perlu mendapat perhatian serius (Hidayat, 2012).

52
BAB
BUDAYA

4 ORGANISASI

A. Pengertian Budaya Organisasi


Mangkunegara (2015:113) menjelaskan bahwa
budaya organisasi adalah seperangkat atau asumsi atau
sistem keyakinan, nilainilai dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan
tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen
keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya
organisasi mendukung strategi dan bila budaya
organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan
lingkungan dengan cepat dan tepat. Kuatnya budaya
organisasi akan terlihat jelas dari bagaimana karyawan
memandang budaya sehingga berpengaruh terhadap
perilaku anggota dalam organisasi yang digambarkan
memiliki motivasi, komitmen dan kepuasan yang
tinggi. Kepuasan yang dirasakan karyawan akhirnya
mendorong prestasi kerjanya. Kepuasan yang di dapat
oleh karyawan dalam perusahaan bukan hanya semata-
mata dari besarnya gaji yang diberikan, namun dari
nilai yang ditanamkan dalam perusahaan dapat

53
membangkitkan motivasi karyawan secara non
financial.
Sedarmayanti (2017:41) menyatakan bahwa
budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan sikap-
sikap yang telah diyakini pegawai sehingga telah
menjadi perilaku pegawai dalam keseharian. Sikap dan
nilai yang telah mengkristal dalam organisasi akan
menuntun pegawai untuk berperilaku sesuai sikap dan
nilai yang diyakini. Budaya organisasi terbentuk dari
persepsi subjektif anggota organisasi terhadap nilai-
nilai inovasi, toleransi risiko, tekanan pada tim, dan
dukungan orang. Persepsi keseluruhan itu akan
membentuk budaya/kepribadian organisasi.
Selanjutnya, budaya organisasi akan memengaruhi
kinerja dan kepuasan karyawan, mendukung/tidak
mendukung.
Schein dalam Lathifah dan Rustono (2015:1166)
menyatakan budaya organisasi adalah pola asumsi
dasar diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh
kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri
dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi
internal yang telah bekerja cukup baik serta dianggap
berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru
sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir,
dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut.
Sedarmayanti (2017:30) menyatakan organisasi
akan sukses apabila organisasi mengembangkan
budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan
seperangkat nilai yang dijadikan norma, aturan, dan
pandangan hidup organisasi, sehingga individu
memahami, menjiwai/menerapkan nilai budaya
organisasi.

54
B. Karakteristik Budaya Organisasi
Hakim dan Kusdiyanto (2012:5) menyatakan
budaya organisasi atau perusahaan bersifat sangat
persuasif dan mempengaruhi hampir keseluruhan
aspek kehidupan organisasi. Demikian juga budaya
organisasi mampu menumpulkan atau membelokkan
dampak perubahan organisasi yang sudah
direncanakan secara matang. Pada dasarnya, budaya
organisasi atau perusahaan menjelma dalam berbagai
wujudnya dan karena bisa mendukung atau
menghambat perubahan. Budaya organisasi
dimanifestasikan dalam dua bentuk yaitu konkrit dan
abstrak. 1) Konkrit, hal ini bisa dilihat dari cara anggota
melayani konsumen, cara berpakaian anggotanya dan
cara berkomunikasi baik antara atasan dan bawahan
maupun rekan sekerja. 2) Abstrak, hal ini bisa dilihat
secara kasat mata. Bentuk ini merupakan bagian yang
paling sukar diubah karena terdapat pada sisi kognitif
sistem nilai sebuah budaya perusahaan. Disini budaya
perusahaan berbentuk ide atau gagasan anggota
organisasi tentang lingkungannya yang relatif stabil
dari waktu ke waktu walau anggota berubah.
Sedarmayanti (2017:41) menyatakan budaya
terwujud dari permukaan sampai mendalam pada
simbol, semangat, ritual, dan nilai-nilai. Budaya bangsa
pada level nilai, budaya organisasi pada level simbol,
semangat, ritual bersama, dan praktik. Dalam budaya
bangsa ada 5 dimensi nilai: power distance, individualisme
versus collectivism, masculinity versus femininity,
uncertainty avoidance, long term versus short term
orientation. Budaya organisasi cenderung dapat diubah
dalam jangka panjang dan merupakan karakteristik

55
stabil, iklim organisasi merupakan karakteristik yang
cenderung mudah diubah dalam jangka pendek.
Prinsipnya, budaya organisasi merupakan: nilai,
anggapan, asumsi, sikap, dan norma perilaku yang
telah melembaga, kemudian mewujud dalam
penampilan, sikap, dan tindakan, sehingga menjadi
identitas dan organisasi tertentu. Budaya organisasi
meliputi dua hal:
1. Tampak/kelihatan (visible artifacts). Unsur budaya
yang tampak mencakup segala hal yang dapat
dilihat secara kasat mata, seperti: cara orang
berperilaku, berpakaian, berbicara, simbol, ritual,
logo organisasi, figur hero, cerita yang sering
dibicarakan anggota organisasi.
2. Tidak tampak (invisible). Unsur budaya yang tidak
tampak: nilai, asumsi, filosofi, kepercayaan, proses
berpikir yang hakikatnya akan memengaruhi unsur
visibel tadi.
Faktor pembentuk budaya organisasi sangat
kompleks, yaitu: tujuan, sistem insentif/sistem
penghargaan, sistem pertanggungjawaban, struktur
kekuasaan, sistem administrasi, struktur
organisasional, proses kerja, tugas organisasional,
lingkungan eksternal, riwayat dan tradisi, praktik dan
manajemen, predisposisi pimpinan, predisposisi
pegawai. Agar nilai-nilai yang merupakan unsur
budaya organisasi dapat menjadi pandangan bersama
anggota organisasi, maka diperlukan proses
internalisasi/penanaman kepada anggota melalui
sosialisasi. (Osborne & Plastrik dalam Sedarmayanti,
2017:42)

56
C. Fungsi Budaya Organisasi
Sedarmayanti (2017:36) menyatakan budaya
organisasi memiliki kontribusi yang menentukan
dalam membentuk perilaku pegawai. Budaya
organisasi merupakan nilai, sikap yang telah diyakini
pegawai, sehingga telah menjadi perilaku pegawai
dalam keseharian. Sikap dan nilai yang telah
mengkristal dalam organisasi akan menuntun pegawai
berperilaku sesuai dengan sikap dan nilai yang
diyakini. Budaya organisasi terbentuk dari persepsi
subjektif dari anggota organisasi terhadap nilai inovasi,
toleransi resiko, tekanan terhadap tim, dan dukungan
orang. Persepsi keseluruhan itu akan membentuk
budaya/kepribadian organisasi. Budaya organisasi
akan memengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan,
yang mendukung dan tidak mendukung. Budaya
dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
untuk perbaikan kinerja dan berfungsi sebagai
manajemen perubahan. Budaya organisasi memiliki
pengaruh sangat kuat terhadap kinerja dan efektivitas
organisasi jangka panjang. Lebih lanjut, Sedarmayanti
(2017:42) menyatakan budaya organisasi merupakan
komponen kunci dalam pecapaian misi dan strategi
organisasi secara efektif dan manajemen perubahan.
Budaya dapat menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif untuk perbaikan kinerja dan manajemen
perubahan.
Menurut Robins dalam Hakim dan Kusdiyanto
(2012:8) budaya organisasi memiliki beberapa fungsi
didalam suatu organisasi, diantaranya :

57
1. Budaya memiliki suatu peran dalam batas-batas
penentu, yaitu menciptakan perbedaan antara satu
organisasi dengan organisasi yang lain.
2. Budaya berfungsi untuk menyampaikan rasa
identitas kepada anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah penerusan komitmen
hingga mencapai batasan yang lebih luas, melebihi
batasan ketertarikan individu.
4. Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya
merupakan suatu ikatan sosial yang membantu
mengikat kebersamaan organisasi dengan
menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai
apa yang harus dikatakan dan dilakukan karyawan.
5. Budaya bertugas sebagai pembentuk perilaku serta
sikap karyawan
Sedarmayanti (2017:42) menyatakan budaya
menjalankan fungsi kompleks di dalam organisasi,
budaya mempunyai peran menentukan tapal batas,
yang artinya:
1. Budaya menciptakan pembeda jelas antara satu
organisasi dengan yang lain.
2. Budaya membawa rasa identitas bagi anggota
organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
pribadi seseorang.
4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi dengan memberikan
standar-standar tepat untuk apa harus dikatakan
dan dilakukan oleh karyawan.

58
5. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat
makna dan kendali yang mempermudah dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
6. Budaya akan menghasilkan komitmen dan misi
organisasi.

D. Dimensi Budaya Organisasi


Harrison dan Stokes dalam Winanti (2013:5)
membedakan budaya organisasi menjadi 4 (empat)
dimensi yang merupakan orientasi budaya yang
dipersepsikan oleh para anggotanya yaitu:
1. The Power Orientation (Orientasi pada Kekuasaan)
Perusahaan yang berorentasi pada kekuasaan
didasarkan atas perbedaan akses kepada sumber.
Orang-orang yang berkuasa menggunakan sumber-
sumber untuk mengendalikan perilaku orang lain.
Para anggota organisasi ditumbuhkan motivasinya
oleh imbalan dan hukuman, dan oleh keinginan
untuk bekerja dengan pimpinan yang kuat. Di
dalam perusahaan yang berorientasi pada
kekuasaan, kepemimpinan berdasarkan atas
kekuatan, keadilan dan kebijakan. Pemimpinnya
meras bertanggungjawab kepada bawahannya.
Orientasi kekuasaan sangat sesuai dengan situasi
saat pemimpin mempunyai visi, intelegensi, dan
berkeinginan untuk mengelola usaha dan
mengawasi langsung aktivitas bawahannya.
2. The Role Orientation (Orientasi pada Peran)
Orientasi pada peran menempatkan sebuah
sistem dari struktur dan prosedur untuk
menggantikan kekuasaan pemimpin. Struktur dan
sistem memberikan proteksi terhadap bawahan dan

59
stabilitas organisasi. Perjuangan akan kekuasaan
dimodernisasi oleh peraturan hukum. Kewajiban
dan imbalan bagi anggota atau bawahan
didefenisikan dengan teliti, biasanya secara tertulis
dan mengadakan kontrak yang eksplisit atau
implisit antara organisasi dan individu. Orang
menjalankan fungsi khusus untuk menerima
imbalan yang ditetapkan.
3. The Achievement Orientation (Orientasi pada Prestasi)
Organisasi yang berorentasi pada prestasi
disebut juga organisasi sejajar, karena tipe ini
menggunakan misi untuk menarik dan
mengeluarkan energi perorangan dari para
anggotanya untuk mengejar tujuan bersama. Para
anggota memberikan kontribusi mereka dengan
bebas sebagai respon terhadap komitmen mereka
kepada tujuan yang dibagi, mereka dengan sukarela
memberi lebih banyak kepada organisasi.
4. The Support Orientation (Orientasi pada Dukungan)
Iklim dalam organisasi yang didasarkan pada
saling percaya diantara para anggota sebagai
individu dengan organisasi itu sendiri. Dalam
kondisi ini pegawai yakin bahwa mereka dinilai
sebagai manusia, bukan hanya sebagai mesin. Ada
kehangatan yang mendorong semangat dalam
organisasi. Orang berangkat pada pagi hari
ketempat kerja bukan hanya arena mereka
menyukai pekerjaannya saja, tetapi juga karena
mereka peduli kepada lingkungan sekelilingnya.
Menurut Robins dalam Livia (2017:5) budaya
organisasi memiliki 7 karakteristik primer, yang
merupakan hakikat dari budaya organisasi, yaitu:

60
1. Inovasi dan pengambilan risiko: sejauh mana
karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil
risiko.
2. Perhatian ke rincian: sejauh mana karyawan
diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan),
analisis, dan perhatian pada rincian.
3. Orientasi hasil: sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil, bukannya pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai
hasil itu.
4. Orientasi orang: sejauh mana keputusan manajemen
menghasilkan efek pada orang-orang dalam
organisasi.
5. Orientasi tim: sejauh mana kegiatan kerja
diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-
individu.
6. Keagresifan: sejauh mana orang-orang itu agresif
dan kompetitif, bukannya santai-santai.
7. Kemantapan: sejauh mana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo dari pada
pertumbuhan.

E. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja


Budaya organisasi adalah seperangkat atau
asumsi atau sistem keyakinan, nilainilai dan norma
yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan
tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal (Mangkunegara, 2015:113). Sedarmayanti
(2017:36) menyatakan budaya organisasi memiliki
kontribusi yang menentukan dalam membentuk
perilaku pegawai. Budaya organisasi merupakan nilai,

61
sikap yang telah diyakini pegawai, sehingga telah
menjadi perilaku pegawai dalam keseharian. Sikap dan
nilai yang telah mengkristal dalam organisasi akan
menuntun pegawai berperilaku sesuai dengan sikap
dan nilai yang diyakini.
Budaya organisasi terbentuk dari persepsi
subjektif dari anggota organisasi terhadap nilai inovasi,
toleransi resiko, tekanan terhadap tim, dan dukungan
orang. Persepsi keseluruhan itu akan membentuk
budaya/kepribadian organisasi. Budaya organisasi
akan memengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan,
yang mendukung dan tidak mendukung. Budaya
dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
untuk perbaikan kinerja dan berfungsi sebagai
manajemen perubahan. Budaya organisasi memiliki
pengaruh sangat kuat terhadap kinerja dan efektivitas
organisasi jangka panjang, sehingga budaya organisasi
merupakan komponen kunci dalam pecapaian misi dan
strategi organisasi secara efektif dan manajemen
perubahan. Budaya dapat menciptakan lingkungan
kerja yang kondusif untuk perbaikan kinerja dan
manajemen perubahan (Sedarmayanti, 2017:42).
Kajian Hardiyono, et al. (2017) salah satunya
bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya
organisasi terhadap kinerja karyawan pada Perusahaan
Listrik Negara wilayah Makassar Selatan. Data
dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis dengan
metode jalur pada smart PLS 2.0. Sampel terdiri dari 51
orang di Perusahaan Listrik Negara daerah Makassar
Selatan. Hasil kajian menunjukkan bahwa budaya
organisasi berpengaruh positif dan signifikan. Kajian
Ilham (2018) dan Jefrry etl al (2018) juga menyimpulkan

62
budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan.
Sedarmayanti (2017:44) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan adalah pola perilaku yang ditunjukkan
oleh pemimpin dalam mempengaruhi orang lain. Pola
perilaku tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti : nilai-nilai, asumsi, persepsi, harapan, sikap
yang ada dalam diri pemimpin,
Hasil kajian ini sesuai dengan kajian Ilham (2018),
Pratama (2016) serta Gita dan Yuniawan (2016) yang
menyatakan Gaya Kepemimpinan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai. Gaya
kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan
seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku
bawahannya. Istilah gaya adalah cara yang digunakan
pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya.
Kepemimpinan di suatu organisasi perlu
mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi
yang menghasilkan tingkat kinerja yang tinggi, maka
pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya.
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti
yang ia lihat, yang bertujuan menyelaraskan persepsi
di antara orang akan mempengaruhi menjadi amat
penting kedudukannya.
Budaya organisasi terbentuk dari persepsi
subjektif dari anggota organisasi terhadap nilai inovasi,
toleransi resiko, tekanan terhadap tim, dan dukungan
orang. Persepsi keseluruhan itu akan membentuk
budaya/kepribadian organisasi. Budaya organisasi
merupakan nilai, sikap yang telah diyakini pegawai,

63
sehingga telah menjadi perilaku pegawai dalam
keseharian. Sikap dan nilai yang telah mengkristal
dalam organisasi akan menuntun pegawai berperilaku
sesuai dengan sikap dan nilai yang diyakini
(Sedarmayanti, 2017:42).
Hasil kajian ini sesuai dengan hasil kajian
Hardiyono, et al. (2017), Ilham (2018) dan Jefrry etl al
(2018) yang menghasilkan kesimpulan bahwa Budaya
organisasi berpengaruh positif dan signifikan berhadap
Kinerja Pegawai. Kajian ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan para ahli yang menyatakan bahwa
budaya organisasi akan memengaruhi kinerja pegawai,
budaya dapat menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif untuk perbaikan kinerja dan berfungsi
sebagai manajemen perubahan. Budaya organisasi
memiliki pengaruh sangat kuat terhadap kinerja dan
efektivitas organisasi jangka panjang, sehingga budaya
organisasi merupakan komponen kunci dalam
pecapaian misi dan strategi organisasi secara efektif
dan manajemen perubahan. Budaya dapat
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif untuk
perbaikan kinerja dan manajemen perubahan, budaya
organisasi memiliki kontribusi yang menentukan
dalam membentuk perilaku pegawai.

64
BAB
KEPUASAN

5 KERJA

A. Definisi Kepuasan Kerja


Menurut Robbins dalam Wibowo (2016:415),
kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap
pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima pekerjaan
dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka
terima. Menurut Greenberg dan Baron dalam Wibowo
(2016:415), mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai
sikap positif atau negatif yang dilakukan individual
terhadap pekerjaan mereka.
Indrasari (2017:38) menyatakan pada dasarnya
kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap individu akan memiliki
tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan
nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu,
semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai
dengan keinginan individu, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan yang dirasakan. Selain itu, kepuasan
kerja merupakan respon afektif atau emosional
terhadap berbagai segi atau aspek pekerjaan seseorang
sehingga kepuasan kerja bukan merupakan konsep
tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah

65
satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau
lebih aspek lainnya.
Perusahaan harus mampu menciptakan
kepuasan kerja bagi karyawan demi meningkatkan
kualitas layanan yang maksimal. Kepuasan kerja dapat
ditinjau dari dua sisi, dari sisi karyawan, kepuasan
kerja akan memunculkan perasaan menyenangkan
dalam bekerja, sedangkan dari sisi perusahaan,
kepuasan kerja akan meningkatkan produktivitas,
perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan dalam
memberikan pelayanan prima (Suwatno dan Priansa,
2016:68).

B. Teori Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap
seseorang mengenai pekerjaannya. Karena
menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja
mencakup berbagai hal seperti kondisi dan
kecenderungan perilaku seseorang.Kepuasan-kepuasan
itu tidak tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan
dalam suatu hasil pekerjaan. Adapun teori kepuasan
kerja menurut Suwatno dan Priansa (2016:85). adalah
sebagai berikut:
1. Hirarki Kebutuhan Maslow
Teori pemenuhan kebutuhan (need fulfillment)
ini dikemukakan oleh Abraham Maslow (Maslow's
Need Hierarchy), Model Maslow sering disebut
dengan model hierarki kebutuhan, karena
menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini
digunakan untuk menunjukkan kebutuhan
seseorang yang harus dipenuhi agar individu
tersebut termotivasi untuk bekerja. Teori ini

66
mendasarkan pada faktor-faktor kebutuhan dan
kepuasan individu sehingga mereka mau
melakukan aktivitasnya, jadi mengacu kepada diri
seseorang. Teori ini mencoba mencari tahu tentang
kebutuhan apa yang dapat memuaskan dan yang
mendorong semangat kerja seseorang. Semakin
tinggi kebutuhan dan kepuasan seorang. Semakin
tinggi standar kebutuhan dan kepuasan yang
diinginkan, maka semakin giat seseorang untuk
bekerja.
2. Teori Kebutuham McClelland
Dalam teorinya McClelland mengemukakan
bahwa individu mempunyai cadangan energi
potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan
dikembangkan tergantung pada kekuatan atau
dorongan kepuasan kerja individu dan situasi serta
peluang yang tersedia. Teori ini memfokuskan pada
tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi
(Achievement), kebutuhan kekuasaan (power), dan
kebutuhan afiliasi (Affiliation).
3. Teori Kesenjangan Kepuasan
Kepuasan kerja seseorang diukur dengan
menghitung selisih antara apa yang seharusnya
dengan kenyataan yang dirasakannya. Kreitner dan
Kinicki menyatakan kepuasan kerja tercapai bila
batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi
yaitu tidak ada perbedaan antara yang diinginkan
dengan kenyataan. Bila yang didapat ternyata lebih
besar daripada yang diharapkan, maka orang akan
menjadi semakin puas. Kesenjangan yang terjadi
adalah kesenjangan positif, sebaliknya apabila
kesenjangan yang terjadi jauh di bawah standar

67
minimum yang diharapkannya, maka timbul
negative discrepancy yang mengakibatkan
ketidakpuasaan semakin besar terhadap pekerjaan.
4. Teori Keadilan
Teori keadilan menyatakan pada prinsipnya
teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa
puas sepanjang mereka merasa ada keadilan (equity),
merinci kondisi-kondisi yang mendasari seorang
pekerja akan menganggap fair atau wajar akan
insentif dan keuntungan dalam pekerjaannya
apabila sama dengan orang lain yang sederajat. Pada
dasarnya teori ini menitik beratkan pada usaha
membandingkan antara rasio masukan dan keluaran
seorang pekerjaan dengan pekerja lain. Input atau
masukan ialah segala sesuatu yang berharga, yang
dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaan. Misalnya pendidikan, pengalaman,
kecakapan, jumlah jam kerja, sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud outcomes adalah segala sesuatu yang
berharga yang dirasa sebagai hasil dari pekerjannya,
misalnya upah, insentif, status, pengakuan, dan
kesempatan untuk berkembang. Bila perbandingan
itu dianggapnya cukup adil (equal), maka seseorang
akanmerasa puas. Bila perbandingan itu tidak
seimbang tetapi menguntungkan.
5. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Teori “Dua Faktor” dikembangkan oleh
Herzberg (1966) yang menyatakan bahwa kepuasan
kerja dan ketidakpuasan kerja (job dissatisfactions) itu
merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan
dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak
merupakan suatu variabel yang kontinyu.

68
Karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yang dinamakan disatisfer
atau hygiene factors dan yang lain dinamakan
satisfiers atau motivators.
Satisfiers (motivators needs) meliputi faktor-faktor
intrinsik atau faktor-faktor yang berasal dari intern
karyawan, di mana faktor-faktor ini dibuktikan sebagai
sumber kepuasan kerja seperti recognition, autonomy,
responsibility, and the work itself (work activities). Apabila
motivator needs terpenuhi, maka karyawan akan
merasa puas, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah
selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfier
(hygiene factors) meliputi faktor – faktor ekstrinsik atau
faktor- faktor yang berasal dari luar pekerjaan itu
sendiri (the work itself), dimana faktor-faktor ini
terbukti menjadi sumber ketidakpuasan. Hygiene factors
meliputi hal-hal seperti pay wages, working condition,
dan human relation behavior of supervisors atau co-worker.
Apabila hygiene needs tidak terpenuhi, maka karyawan
akan merasa tidak puas. Sebaliknya apabila hygiene
needs terpenuhi, maka karyawan akan puas (nol
dissatisfed).

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Indrasari (2017:43) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah bila tidak
ada perbedaan antara yang diinginkan dengan
persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum
yang diinginkan telah terpenuhi. Atau dengan kata lain
kepuasan kerja juga menunjukkan derajat tingkat
harapan atas terpenuhinya kontrak psikologis
seseorang. Kepuasan kerja akan lebih tinggi untuk

69
orang yang menerima kontribusi seimbang dalam
hubungan mereka dengan kemanfaatan organisasi.
Robbins dalam Indrasari (2017:44) menyatakan
bahwa kepuasan kerja dapat terpengaruhi oleh
beberapa faktor yakni faktor menially challenging work,
equitable rewards, supportive working conditions, dan
faktor supportive mileagues. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Mentally Challenging Work. Faktor mentally
challenging work pegawai dalam kepuasan kerja
menggambarkan bahwa pegawai lebih menyukai
pekerjaan yang memberikan peluang kepadanya
untuk menggunakan seluruh kemampuannya dalam
menyelesaikan pekerjaan yang diberikan secara
bebas. Pegawai sangat mengharapkan tanggapan
atasan tentang seberapa baik pekerjaan tersebut
dikerjakan. Pekerjaan yang tidak menantang
seringkali membuat pegawai bosan, sebaliknya jika
pekerjaan terlalu menantang cenderung akan sulit
dikerjakan dan membuat pegawai frustasi.
Pekerjaan yang tantangannya di antara kedua batas
ekstrim inilah yang mampu membuat pegawai
menjadi senang dan puas.
2. Equitable Rewards. Pegawai menginginkan kebijakan
organisasi dalam sistem pembayaran dan
kesempatan promosi yang adil dan sesuai dengan
yang diharapkan. Kepuasan kerja akan tercipta jika
pembayaran gaji dilakukan dengan adil yakni sesuai
ruang lingkup pekerjaan, sesuai kemampuan
pegawai, serta sesuai standar yang berlaku.
Walaupun tidak semua pegawai bertujuan mencari
uang semata.

70
3. Supportive Working Conditions. Pegawai selalu akan
memperhatikan lingkungan kerja untuk
memperoleh rasa nyaman. Pegawai tidak menyukai
jika fasilitas kerja tidak menyenangkan dan
berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Pegawai
menghendaki suasana lingkungan kerja mendekati
suasana ketika sedang berada dirumah.
4. Supportive Colleagues. Pegawai tidak hanya bekerja
untuk uang atau penghargaan fisik semata. Bagi
kebanyakan pegawai bekerja pada dasarnya adalah
untuk memenuhi kebutuhan interaksi sosial.
Memiliki dukungan rekan kerja positif akan
memberikan kepuasan kerja pegawai. Perilaku
pimpinan juga mempengaruhi kepuasan kerja
pegawai.
Mangkunegara (2015:119) menyatakan ada 2
faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:
1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan, kecakapan
khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik,
pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi dan sikap
kerja
2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur
organisasi, pangkat, kedudukan, mutu pengawasan,
jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi sosial, dan hubungan kerja.

D. Dimensi Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja dapat diukur melalui beberapa
indikator. Smith et al. dalam Indrasari (2017:46
menyatakan terdapat 5 (lima) dimensi kepuasan kerja
yakni:

71
1. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan
memberikan kesempatan pegawai belajar sesuai
dengan minat serta kesempatan untuk
bertanggungjawab. Dalam teori dua faktor
diterangkan bahwa pekerjaan merupakan faktor
yang akan menggerakkan tingkat motivasi kerja
yang kuat sehingga dapat menghasilkan prestasi
kerja yang baik.
2. Kesempatan terhadap gaji. Kepuasan kerja pegawai
akan terbentuk apabila besar uang yang diterima
pegawai sesuai dengan beban kerja dan seimbang
dengan pegawai lainnya
3. Kesempatan promosi. Promosi adalah bentuk
penghargaan yang diterima pegawai dalam
organisasi. Kepuasan kerja pegawai akan tinggi
apabila pegawai dipromosikan atas dasar prestasi
kerja yang dicapai pegawai tersebut.
4. Kepuasan terhadap supervisi. Hal ini ditunjukkan
oleh atasan dalam bentuk memperhatikan seberapa
baik pekerjaan yang dilakukan pegawai, menasehati
dan membantu pegawai serta komunikasi yang baik
dalam pengawasan. Kepuasan kerja pegawai akan
tinggi apabila pengawasan yang dilakukan
supervisor bersifat memotivasi pegawai.
5. Kepuasan terhadap rekan sekerja. Jika dalam
organisasi terdapat hubungan antara pegawai yang
harmonis, bersahabat, dan saling membantu akan
menciptakan suasana keiompok kerja yang
kondusif, sehingga akan menciptakan kepuasan
kerja pegawai.
Luthans dalam Indrasari (2017:47) menyatakan
bahwa kepuasan kerja meliputi 6 (enam) dimensi yakni

72
gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan,
kelompok kerja, dan kondisi kerja. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Gaji. Berkaitan dengan kompensasi yang diperoleh
pegawai atas pekerjaan yang dilakukan. Uang yang
diperoleh pegawai tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar pegawai namun juga untuk
kebutuhan yang lebih tinggi. Oleh karena itu gaji
yang diterima pegawai haruslah memenuhi
kebutuhan nominal, bersifat mengikat,
menimbulkan semangat, diberikan secara adil, dan
bersifat dinamis.
2. Pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan harus menarik bagi
pegawai, memberikan kesempatan belajar, dan
kesempatan menerima tanggung jawab. Pekerjaan
yang terlalu mudah memberikan rasa jenuh, akan
tetapi pekerjaan terlalu berat membuat pegawai
tertekan.
3. Promosi. Merupakan proses pemindahan dari satu
jabatan ke jabatan lainnya yang lebih tinggi di dalam
organisasi. Promosi diikuti oleh tugas,
tanggungjawab, dan wewenang yang baru yang
lebih tinggi dari jabatan sebelumnya. Kesempatan
promosi ini memberikan pengaruh yang bervariasi
terhadap kepuasan kerja pegawai dalam organisasi.
4. Rekan kerja. Teman kerja yang ramah dan mudah
diajak kerjasama memberikan kepuasan kerja bagi
pegawai lainnya. Teman kerja seperti ini jika terjadi
secara merata diantara kelompok kerja akan
membuat pekerjaan menjadi mudah dilakukan dan
akibatnya pegawai mendapat kepuasan kerja.

73
5. Pengawasan. Gaya atasan dalam menjalankan
pengawasan terhadap pegawai dapat berupa
memberikan perhatian dan partisipasi pegawai.
Pengawasan yang memberikan perhatian terhadap
kepentingan pegawai dan mengajak pegawai
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap pekerjaan pegawai sendiri akan sulit
dilupakan pegawai.
6. Kelompok Kerja. Di dalam organisasi pegawai
masuk ke dalam kelompok kerja. Kelompok kerja
yang kondusif akan memberikan kemudahan
pegawai bekerja dan pada akhimya memberikan
kepuasan pegawai.

E. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja


Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap
pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima pekerjaan
dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka
terima (Wibowo, 2016:415). Kepuasan yang dirasakan
karyawan akhirnya mendorong prestasi kerjanya.
Kepuasan yang di dapat oleh karyawan dalam
perusahaan bukan hanya semata-mata dari besarnya
gaji yang diberikan, namun dari nilai yang ditanamkan
dalam perusahaan dapat membangkitkan motivasi
karyawan secara non financial (Mangkunegara,
2016:113). Perusahaan harus mampu menciptakan
kepuasan kerja bagi karyawan demi meningkatkan
kualitas layanan yang maksimal. Kepuasan kerja dapat
ditinjau dari dua sisi, dari sisi karyawan, kepuasan
kerja akan memunculkan perasaan menyenangkan
dalam bekerja, sedangkan dari sisi perusahaan,

74
kepuasan kerja akan meningkatkan produktivitas,
perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan (Suwatno
dan Priansa, 2016:68).
Kajian Fadlallh (2015) memberikan kesimpulan
bahwa ada hubungan positif dan signifikan secara
statistik antara faktor kepuasan kerja dan kinerja
karyawan. Kajian menyimpulkan bahwa setiap kali
ada yang lebih baik (kondisi kerja, gaji dan promosi,
dan hubungan kerja) ada kepuasan kerja yang lebih
tinggi. Kajian Ilham (2018) juga menyimpulkan
kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan. Khan, et al (2012) menyimpulkan bahwa
semua dimensi kepuasan kerja, yakni gaji, promosi,
keselamatan dan keamanan kerja, kondisi kerja,
otonomi kerja, hubungan dengan rekan kerja,
hubungan dengan penyelia dan sifat pekerjaan
mempengaruhi kinerja.
Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap
pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima pekerjaan
dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka
terima (Wibowo, 2016:415). Hasil kajian ini sesuai
dengan hasil kajian Fadlallh (2015), Ilham (2018) dan
Khan, et al (2012) yang menyatakan bahwa Kepuasan
Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kinerja
Pegawai.
Kepuasan yang dirasakan karyawan akhirnya
mendorong prestasi kerjanya. Kepuasan yang di dapat
oleh karyawan dalam perusahaan bukan hanya semata-
mata dari besarnya gaji yang diberikan, namun dari
nilai yang ditanamkan dalam perusahaan dapat
membangkitkan motivasi karyawan secara non financial

75
(Mangkunegara, 2016:113). Berdasarkan hasil kajian ini,
manajemen di Kecamatan harus mampu menciptakan
kepuasan kerja bagi pegawai demi meningkatkan
kualitas layanan yang maksimal. Kepuasan kerja dapat
ditinjau dari dua sisi, dari sisi pegawai, kepuasan kerja
akan memunculkan perasaan menyenangkan dalam
bekerja, sedangkan dari sisi instansi, kepuasan kerja
akan meningkatkan produktivitas, perbaikan sikap dan
tingkah laku pegawai.

76
BAB
PENUTUP
6
Melalui pembahasan buku ini menunjukkan
pengaruh yang besar dari gaya kepemimpinan, budaya
organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama
terhadap kinerja pegawai. Hubungan yang positif antara
gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan kepuasan
kerja dengan kinerja pegawai dan hubungannya adalah
kuat dimana kontribusi gaya kepemimpinan, budaya
organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama
terhadap kinerja pegawai secara statistic mencapai 59,4 %,
sedangkan sisanya ditentukan oleh factor lain seperti
motivasi kerja, lingkungan kerja, beban kerja, remunerasi,
dan sebagainya.
Kajian ini berupaya membuktikan secara teoritis,
dampak gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan
kepuasan kerja baik secara parsial maupun secara
simultan terhadap kinerja pegawai. Temuan pada
penulisan buku ini menunjukkan, baik secara parsial
maupun secara simultan, hasil pada buku ini selaras
dengan hasil kajian-kajian sebelumnya, dimana gaya
kepemimpinan, budaya organisasi dan kepuasan kerja
baik secara parsial maupun secara simultan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja, sehingga hasil

77
kajian ini sesuai dengan teori dan kajian terdahulu yang
telah diuraikan dalam literatur manajemen sumberdaya
manusia.
Kinerja merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan manusia. Kinerja merupakan hasil pekerjaan
yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan
kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja
adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang
dicapai dari pekerjaan tersebut (Suwatno dan Priansa,
2016:196). Pegawai yang memiliki kinerja baik tercermin
dari perilakunya, tanggung jawab dalam menyelesaikan
pekerjaannya, semangat kerja, budaya organisasi kerja,
ketekunan dan keseriusan dalam bekerja, membangun
kerjasama, tidak membuang-buang waktu selama bekerja,
keinginan memberikan hasil yang maksimal sesuai yang
ditargetkan. Upaya untuk meningkatkan kinerja secara
teoritis, berdasarkan hasil kajian ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya yakni gaya kepemimpinan, budaya
organisasi dan kepuasan kerja
Kajian ini membuktikan, secara parsial dan
simultan, gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan
kepuasan kerja berdampak signifikan terhadap kinerja
pegawai. Berdasarkan hasil kajian, budaya organisasi
memiliki dampak yang paling besar dan signifikan,
dengan kata lain Budaya Organisasi dalam kajian ini
merupakan variabel yang berpengaruh paling signifikan,
sehingga budaya organisasi sebaiknya menjadi fokus
utama manajemen dalam rangka memperbaiki kinerja
pegawai, namun dalam kondisi yang memungkinkan,

78
perbaikan pada variabel gaya kepemimpinan dan
kepuasan kerja juga sebaiknya dilakukan.
Kinerja adalah pelaksanaan suatu pekerjaan dan
penyempurnaan pekerjaan tersebut sesuai dengan
tanggung jawabnya sehingga dapat mencapai hasil sesuai
dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil kajian, sesuai
dengan koefisien yang dihasilkan, maka secara berurutan
manajemen Kecamatan dalam upaya meningkatan Kinerja
Pegawai di Kecamatan adalah dengan melakukan
perbaikan pada variabel budaya organisasi, kemudian
kepuasan kerja dan terakhir gaya kepemimpinan.
Pada variabel budaya organisasi, menurut
responden berdasarkan tabulasi jawaban pada kuesioner,
Selalu ingin menjadi dan memberikan yang terbaik
kepada warga Kecamatan dan selalu memperhatikan
pelayanan kepada warga dengan menjaga soliditas tim,
merupakan faktor yang paling berdampak pada kinerja,
dengan demikian manajemen Kecamatan lebih
memperhatikan dimensi tim kerja dan agresifitas tim kerja
dalam upaya meningkatkan kinerja, sedangkan
mengetahui visi dan misi Kecamatan tidak terlalu
mendapat perhatian yang baik dari responden, sehingga
sosialisasi visi dan misi kepada pegawai sebaiknya
dilakukan secara lebih masif, agar internalisasi visi dan
misi menjadi lebih baik lagi pada setiap pegawai.
Pada kepuasan kerja, menurut responden
berdasarkan tabulasi jawaban pada kuesioner, hubungan
dengan rekan kerja baik saat bekerja maupun diluar jam
kerja berjalan dengan baik tanpa persaingan dan
perselisihan, dan Komunikasi dengan rekan kerja terjalin
dengan akrab menjadi faktor terbesar yang berdampak
pada kinerja, dengan demikian orientasi pada tim kerja

79
menjadi faktor yang paling dominan pada Kecamatan
yang dapat memengaruhi kinerja dengan dampak yang
paling besar, kemudian faktor Gaji dan tunjangan yang
anda terima sudah sesuai standar UMR Jakarta dan Gaji
yang anda terima beserta tunjangan lainnya mampu
memacu semangat kerja dan semangat untuk berprestasi
menjadi faktor terbesar kedua yang berdampak pada
kinerja pegawai. Faktor kerja tim dan Gaji sebaiknya
menjadi fokus manajemen dalam menjalankan
kebijakannya. Selanjutnya, pada variabel kepuasan kerja,
indikator terendah adalah pegawai kurang tertarik
dengan pekerjaan saat ini, dimensi pekerjaan itu sendiri
menjadi dimensi paling rendah menurut jawaban
responden, sehingga manajemen kecamatan sebaiknya
melakukan rotasi pekerjaan secara rutin untuk
menghilangkan kebosanan pegawai atas tugas rutinnya
yang mungkin selama bertahun-tahun dijalaninya tanpa
perubahan.
Pada gaya kepemimpinan, menurut responden
berdasarkan tabulasi jawaban pada kuesioner, para
pimpinan di Kecamatan memberikan contoh
perilaku/teladan merupakan faktor terbesar yang
berdampak pada kinerja, selama ini teladan yang
diberikan para pimpinan di Kecamatan sudah cukup baik.
Selain teladan, para pimpinan di Kecamatan memiliki
kemampuan/kompetensi dalam melakukan tugas juga
mendapat poin tertinggi pada jawaban pada variabel gaya
kepemimpinan, dengan demikian para pimpinan di
kecamatan sebaiknya terus mempertahankan teladan yang
sudah ada serta terus berupaya meningkatkan
kemampuan/kompetensi dalam melakukan tugas, sebab
hal itu mendorong pegawai untuk berkinerja lebih baik.

80
Adapun indikator yang rendah menurut responden
adalah dalam kondisi mendesak, bawahan diperbolehkan
mengambil keputusan diluar supervisi para pimpinan asal
mampu memecahkan masalah yang ada. Hal ini dapat
dimaklumi karena pada sistem birokrasi kepemerintahan
yang berjenjang, pengambilan keputusan kurang fleksibel
untuk dilakukan.

81
DAFTAR PUSTAKA

Alonderiene, Raimonda dan Modesta Majauskaite. 2014.


Leadership style and job satisfaction in higher
education institutions. Journal of Management
Development, Vol. 35 Iss 2 pp. 190-216
Alvi, Huma Abid. Mehmood Hanif. Muhammad
Shahnawaz Adil. Rizwan Raheem Ahmed dan Jolita
Vveinhardt. 2014. Impact of Organizational Culture
on Organizational Commitment and Job Satisfaction.
European Journal of Business and Management
Vol.6, No.27, ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839
(Online)
Aridhona, Nina. Lukman M. Baga. dan M. Joko Affandi.
2015. Dampak Reformasi Birokrasi pada Perubahan
Budaya Organisasi di Perwakilan BPKP Provinsi
DKI Jakarta. Jurnal Manajemen dan Organisasi Vol
VI, No 2, Agustus.
Ariyawan, Yodhika Widya. Abdul Rivai dan Suharto.
2017. Influence Of Leadership Style And
Organizational Culture On Organizational
Performance Through Job Satisfaction In PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk. he International
Journal of Engineering and Science (IJES) Volume 7
Issue 10 Pages PP 21-37 ISSN (e): 2319 – 1813 ISSN
(p): 23-19 – 1805.
Babalola, Sunday Samson. 2016. The Effect Of Leadership
Style, Job Satisfaction And Employee-Supervisor
Relationship On Job Performance And
Organizational Commitment. The Journal of

82
Applied Business Research Volume 32, Number 3 –
May/June
BrŠnnström, Hanna dan Frida Staffansson. 2014. The
Prominence of Organizational Culture in Workplace
Well-Being. a Qualitative Research on an
International Organization. UmeΠSchool of
Business and Economics Spring semester 2014
Degree project, 30 hp. Sweden www.usbe.umu.se
Brury, Monce. 2016. Pengaruh Kepemimpinan, Budaya
Organisasi, Motivasi Kerja Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor SAR Sorong.
Jurnal Riset Bisnis dan Manajemen Vol 4 ,No.1, Page
1-16
Embuldeniya, Apeksha. 2017. The Impact Of Employee
Job Satisfaction On Employee Productivity In
Apparel Industry Of Sri Lanka. EPRA International
Journal of Multidisciplinary Research (IJMR)
Volume: 3 Issue: 12|December. ISSN (Online):
2455-3662
Fadlallh, Abdul Wahid A. 2015. Impact of Job Satisfaction
on Employees Performance an Application on
Faculty of Science and Humanity Studies University
of Salman Bin Abdul-Aziz-Al Aflaj. International
Journal of Innovation and Research in Educational
Sciences Volume 2, Issue 1, ISSN (Online): 2349–5219
Fauzy, Muhammad. Moch Mukeri Warso dan Andi Tri
Haryono. 2016. Pengaruh Budaya Organisasi Dan
Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan
Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel
Intervening (Studi Pada Karyawan PT. Toys Games

83
Indonesia Semarang). Journal of Management Vol.02
No.02 , Maret
Gita, Robertus dan Ahyar Yuniawan. 2016. Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Transformasional, Motivasi
Kerja, Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan (Studi Pada PT. BPR Arta Utama
Pekalongan). Jurnal Studi Manajemen & Organisasi
13 (2016) Desember.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/smo
Habba, Dahlan. Basri Modding. Muh. Jobhaar Bima dan
Jamaluddin Bijang. 2017. The Effect of Leadership,
Organisational Culture and Work Motivation on Job
Satisfaction and Job Performance among Civil
Servants in Maros District Technical Working Unit.
IRA-International Journal of Management & Social
Sciences (ISSN 2455-2267), 7(1), 52-64.
doi:http://dx.doi.org/10.21013/jmss.v7.n1.p7.
Hakim, Lukman dan Kusdiyanto. 2012. Analisis Pengaruh
Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan
(Studi Kasus PDAM Kota Surakarta). e-jurnal
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/1
035.
Hakim, Lukmanul. 2011. Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil Melalui
Motivasi Pada Dinas Perhubungan Kota Palembang.
ILMIAH Volume III No.3.
Hardiyono, Nurdjanah Hamid dan Ria Mardiana. 2017.
The Effect Of Work Environment And
Organizational Culture On Employees’ Performance
Through Job Satisfaction As Intervening Variable At

84
State Electricity Company (PLN) Of South Makassar
Area. Advances in Economics, Business and
Management Research, volume 40. 2nd International
Conference on Accounting, Management, and
Economics (ICAME 2017)
Hasibuan, Malayu. 2016. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Herawan, Mukzam dan Nurtjahjono (2015). Pengaruh
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja
Karyawan Studi
Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor
Cabang Kota Malang Kawi. Jurnal Administrasi
Bisnis (JAB) Vol. 1 No. 1 Januari 2015.
Hidayat. 2012. Perilaku Kepemimpinan dan Komitmen
Karyawan Pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja
dan Kinerja Karyawan (Studi pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI
Jakarta). Jurnal Aplikasi Manajemen I Volume 10 I
Nomor 1 I Maret.
Ilham, Romi. 2018. The Impact of Organizational Culture
and Leadership Style on Job Satisfaction and
Employee Performance. Journal of Advanced
Management Science Vol. 6, No. 1, March
Indrasari, Meithiana 2017. Kepuasan Kerja dan Kinerja
Karyawan: Tinjauan dari Dimensi Iklim Organisasi,
Kreativitas Individu, dan Karakteristik Pekerjaan.
Yogyakarta. Indomedia Pustaka.
Insan, Pribadi Darmawan dan Ahyar Yuniawan, 2016.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif,
Lingkungan Kerja, Kompensasi Dan Budaya

85
Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada
Bagian Keperawatan RSUD Tugurejo Semarang).
Diponegoro Journal Of Management Volume 5
Nomor 1, Tahun 2016, Halaman 1-13. ISSN (Online):
2337-3792http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/dbr.
Jefry, Didit. Andyanto. Heri Pratikto dan I Wayan Jaman
AP. 2018. The Effect of Organizational Commitment
and Organizational Culture on Employee
Performance through Employee Satisfaction (Study
of Gondanglegi Islamic Hospital of Malang).
European Journal of Business and Management.
ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online)
Vol.10, No.8.
Kausar, 2013. Budaya Organisasi Pemerintahan Daerah
Kabupaten Tulang Bawang Lampung. Jurnal
Sosiohumaniora, Volume 15, No. 1, Maret Page : 26 -
34
Khan, Alamdar Hussain. Muhammad Musarrat Nawaz.
Muhammad Aleem dan Wasim Hamed. 2012.
Impact of job satisfaction on employee performance :
An empirical study of autonomous medical
Institutions of Pakistan. African Journal of Business
Management Vol. 6 (7), pp. 2697-2705, 22 February.
http://www.academicjournals.org/AJBM. DOI:
10.5897/AJBM11.2222 ISSN 1993-8233.
Kurniawan, Muhammad 2013. Pengaruh Komitmen
Organisasi, Budaya Organisasi, Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Organisasi Publik (Studi Empiris
pada SKPD Pemerintah Kabupaten Kerinci). Artikel

86
Ilmiah. Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Padang.
Lathifah, Atsti Fauzia Ulfana dan Anthon Rustono. 2015.
Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cimahi.
e-Proceeding of Management : Vol.2, No.2 Agustus
2015: Page 1164. ISSN : 2355-9357
Livia. 2017. Penerapan Karakteristik Dan Tipe Budaya
Organisasi
(Kasus Pada PT SPB). Jurnal Agora Vol. 5, No. 1.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2015. Manajemen
Sumberdaya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Maramis, Enrico. 2013. Kepemimpinan, Budaya
Organisasi, Dan Motivasi Pengaruhnya Terhadap
Kinerja Karyawan Pada PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) Cabang Manado. Jurnal EMBA Vol.1 No.4
Desember. Hal. 955-963
Marginingsih, Ria. 2016. Kepemimpinan Karismatik
Sebagai Employer Branding. Jurnal Bisnis
Darmajaya, Vol.02. No.02, Juli.
Mehrabi, Javad. Mohammad Taheri Roozbehani, Shirin
Naseri dan Batool Samangooei. 2012. Impact of
Leadership Develompment on Employee
Performance. International Journal of Business,
Humanities and Technology. Vol. 2, No.5: 154-159
Mohammad, Zainul. 2017. The Effect Of Organizational
Culture And Working Environmenton Employee
Performance: Study On The Example Of Printing

87
Company. RJOAS, 12(72), December
https://doi.org/10.18551/rjoas.2017-12.09.
Mubarak, Ahmad dan Susetyo Darmanto. 2016. Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Budaya
Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dengan
Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Intervening
(Studi Pada PNS Di Kecamatan Watukumpul
Kabupaten Pemalang). Jurnal Maksimum Vol.5 No.1
September
Muhajir, Ilyas. 2013. Analisis Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap
Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja
Karyawan (Studi Pada PT. Dok & Perkapalan Kodja
Bahari (Persero) Cabang Semarang). Jurnal Ilmiah
Tesis, Vol. 1, Agustus. Program Pasca Sarjana
Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi-Universitas
Diponegoro.
Mulyanto dan Dyah Widayati. 2012. Pengaruh
Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Pegawai Dengan Kepuasan Kerja Sebagai
Variabel Moderating (Studi Kasus Di Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan Dan
Kehutanan Kabupaten Karanganyar). Surakarta:
Jurnal STIE AUB.
Ndulue, Theresa Ifeyinwa dan Henry Chinonso
Ekechukwu. 2016. Impact Of Job Satisfaction On
Employees Performance: A Study Of Nigerian
Breweries Plc Kaduna State Branch, Nigeria. Kuwait
Chapter of Arabian Journal of Business and
Management Review Vol. 5, No.11, July.

88
Nugroho, Dwiyekti Agung 2011. Pengaruh Budaya
Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan
Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi
Dan Kinerja Pegawai (Studi Pada Pusat
Pengembangan danPemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan/Vocational Education
Development Center Malang. Jurnal Manajemen
Bisnis. Volume 1 No. 02. Edisi Oktober
Nurdin, Ridwan. dan Indar Darmawansyah. 2014.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Di RSUD Namlea
Kabupaten Buru Provinsi Maluku.
Paais, Maartje. 2018. Effect Of Work Stress, Organization
Culture And Job Satisfaction Toward Employee
Performance In Bank Maluku. Academy of Strategic
Management Journal Volume 17, Issue 5.
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 146 Tahun
2009
Prasetyanto, Wahyu Eko. 2014. Analisis Pengaruh Gaya
Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja
dan Motivasi Terhadap Etos Kerja Guru Pegawai
Negeri Sipil Di Daerah Istimewa Yogyakarta. JBMA
– Vol. II, No. 2, September 2014. ISSN : 2252-5483
Pratama, Gilang 2016. Effect Of Transformational
Leadership Towards Employee’s Performance
Through Satisfaction And Moderated By Culture.
Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November
Putra, Gede Prawira Utama dan Made Subudi. 2014.
Pengaruh Disiplin Kerja, Gaya Kepemimpinan, dan
Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada

89
Hotel Matahari Terbit Bali Tanjung
Benoa-Nusa Dua. Denpasar: Jurnal Fakultas
Ekonomi Universitas Udayana: 802-814
Putra, Siswanto Wijaya. 2015. Pengaruh Komitmen
Organisasi, Budaya Organisasi, Gaya
Kepemimpinan Dan Lingkungan Terhadap Kinerja
Karyawan Pada Industri Kecil. Jurnal
MODERNISASI, Volume 11, Nomor 1, Februari.
Putri, Nina Melati 2013. Peran Kepuasan Kerja dan
Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Negeri
Sipil Di Dinas Komunikasi, Informatika Dan
Kehumasan DKI Jakarta. Artikel Ilmiah. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ritawati, Agustina 2013. Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional Dan Budaya Organisasi Terhadap
Kepuasan Kerja Dan Kinerja Karyawan PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Surabaya. Jurnal Ilmu
Ekonomi & Manajemen Januari 2013, Vol. 9 No.1,
hal. 82-93.
Sarwar, Aisha. Mehwish Mumtaz. Zillae Batool danan
Sundus Ikram. 2015. Impact of Leadership Styles on
Job Satisfaction and Organizational Commitment.
International Review of Management and Business
Research. Vol. 4 Issue.3. September
Satyawati, Ni Made Ria dan I Wayan Suartana, 2014.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Budaya
Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Yang
Berdampak Pada Kinerja Keuangan. e-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):17-
32ISSN: 2302-8556.

90
Sedarmayanti, 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri
Sipil. Bandung: PT Refika Aditama
Sedarmayanti. 2017. Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia. Bandung: PT Refika
Aditama.
Sinambela. Lijan Poltak. 2016. Manajemen Sumberdaya
Manusia. Bumi Aksara:Jakarta.
Sudirjo, Frans dan Theodorus Kristanto., 2015. Pengaruh
Budaya Organisasi, Gaya Kepemimpinan Dan
Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan
Dengan Komitmen Organisasional Sebagai Variabel
Interverning (Studi Pada Rumah Sakit PT PT VALE
Soroako, Sulawesi Selatan). Serat Acitya - Jurnal
Ilmiah UNTAG Semarang.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suwatno dan Priansa, 2016. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Edisi Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian,
Bandung : CV Alfabeta.
Tampi, Bryan Johannes. 2012. Pengaruh Gaya
Kepemimpinan dan Motivasi Terrhadap Kinerja
Karyawan Pada Pt. Bank Negara Indonesia,Tbk
(Regional Sales Manado). Journal “Acta Diurna”
Volume III. No.4.
Tintami, Lila. Ari Pradhanawati dan Hari Susanto. 2012.
Pengaruh Budaya Organisasi Dan Gaya
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kinerja
Karyawan Melalui Disiplin Kerja Pada Karyawan
Harian SKT Megawon II PT. Djarum Kudus.

91
Diponegoro Journal Of Social And Politic Hal. 1-8
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
pelayanan publik
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah
menerangkan tentang Pemerintahan Daerah
Wahyuni, Evi. 2015. Pengaruh Budaya Organisasi dan
Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai
Bagian Keuangan Organisasi Sektor Publik
Dengan Motivasi Kerja Sebagai Variabel Intervening
(Studi Kasus Pada Pegawai Pemerintah Kota
Tasikmalaya). Jurnal Nominal Volume IV Nomor 1
Tahun 2015.
Waluyo. 2019. Manajememen Kinerja.
https://bkddki.jakarta.go.id/berita/read/materi-
sosialisasi-manajemen-kinerja-aparatur-sipil-negara
Wibowo. 2016. Manajemen Kinerja. Edisi Kelima. Jakarta.
PT RajaGrafindo Persada.
Winanti, Marliana. 2013. Pengaruh Budaya Organisasi
Dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.
Atri Distribution. Jurnal Ilmiah Unikom.
http://profit.is.unikom.ac.id/jurnal/pengaruh-
budaya-organisasi.
Xenikou, Athena. 2017. Transformational Leadership,
Transactional Contingent Reward, and
Organizational Identification: The Mediating Effect
of Perceived Innovation and Goal Culture
Orientations. Front. Psychol. 8:1754. doi:
10.3389/fpsyg.2017.01754

92
Yusrialis. 2012. Budaya Birokrasi Pemerintahan
(Keperihatinan dan Harapan) Jurnal Sosial Budaya
Vol. 9 No. 1 Januari-Juli.
Yusuf, Furtasan Ali. 2017. The Impact of Organizational
Culture, Leadership, Job Satisfaction and Trust
towards Lecture’s Organizational Commitment of
the Private Universities in Serang Regency
Indonesia. International Journal of Human Resource
Studies ISSN 2162-3058 2017, Vol. 7, No. 1.

93
TENTANG PENULIS

PENULIS I :
Ahmad Darda, SE. MM, Lahir di
Garut pada tanggal 09 Maret 1967.
Saat ini penulis bekerja sebagai
Dosen Tetap di STIE
Muhammadiyah Jakarta. Penulis
merupakan lulusan S-1 Manajemen
SDM STIE Bisnis Idonesia Jakarta
dan S2 MM Konsentrasi MSDM Universitas
Krisnadwipayana Jakarta.

PENULIS 2 :
Ahmad Rojikun, S.Sos. MM. Lahir
di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1969.
Saat ini penulis bekerja sebagai
Dosen Tetap di Universitas
Mohammad Husni Thamrin dan
beberapa PTS di Jakarta. Penulis
merupakan lulusan dari S1
Administrasi Negara, Fisip Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan S2 MM Konsentrasi
Manajemen SDM- STIE IGI Jakarta.

PENULIS 3
Yusuf., SE., M.Pd., M.Ak. Lahir di
Tangerang pada tanggal 28 Mei
1983. Saat ini penulis bekerja sebagai
Dosen Tetap di Universitas
Pamulang. Penulis merupakan
lulusan S1 Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, IPB Bogor dan S2
MPd Pendidikan IPS Universitas
Indraprasta serta S2 M.Ak Magister Akuntansi
Universitas Mercu Buana Jakarta.

94

Anda mungkin juga menyukai