Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dina Assyfa

No BP : 1910521034

Mata Kuliah : Manajemen Sumber Daya Manusia (M2)

Dosen Pengampu : Drs. Arrizal, M.Si

Kualitas Kehidupan Kerja

1. Meringkas bab “Kualitas kehidupan kerja (quality of work life)” buku, “Manajemen
Sumberdaya Manusia” oleh Gary Dessler”, (Sembarang Edisi)?

I. Konsep Kualitas Kehidupan Kerja

Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu kondisi kerja sebagai hasil dari interaksi antara
individu dan pekerjaannya sehingga membuat pekerja lebih produktif dan memberi kepuasan
kerja.

Kualitas kehidupan kerja menurut Dessler (1986, h.476) adalah:

“keadaan dimana para pegawai dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting dengan
bekerja dalam organisasi, dan kemampuan untuk melakukan hal itu bergantung pada apakah
terdapat adanya:Perlakuan yang fair, adil, dan suportif terhadap para pegawai.

Kesempatan bagi tiap pegawai untuk menggunakan kemampuan secara penuh.Kesempatan


untuk mewujudkan diri, yaitu untuk menjadi orang yang mereka rasa mampu
mewujudkannya. Kesempatan bagi semua pegawai untuk berperan secara aktif dalam
pengambilan keputusan-keputusan penting yang melibatkan pekerjaan mereka.”Pendekatan
kualitas kehidupan kerja berupaya memenuhi kebutuhan yang dirasakan penting bagi
karyawan dengan memberikan perlakuan yang fair, adil, dan suportif; memberikan
kesempatan bagi tiap pegawai untuk menggunakan kemampuan secara penuh; memberikan
kesempatan untuk mewujudkan diri dan memberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam
pengambilan keputusan-keputusan penting yang melibatkan pekerjaan mereka.

Dengan demikian pendekatan ini berusaha untuk lebih mendayagunakan keterlampilan dan
kemampuan karyawan serta menyediakan lingkungan yang mendorong mereka untuk
meningkatkan keterlampilan dan kemampuannya. Gagasannya adalah bahwa karyawan
merupakan sumber daya manusia yang perlu dikembangkan, bukan sekedar
digunakan.Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan salah satu
bentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan
sumber daya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan
cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok dalam
filsafat tersebut ialah: kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia,
efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan keputusan teutama
yang menyangkut pekerjaan, karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan.

Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Pandangan pertama
mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan
organisasi. Contohnya: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan pekerja
dan kondisi kerja yang aman. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa kualitas kehidupan
kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif
merasa puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh dan berkembang selayaknya
manusia.

Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia


dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalah
mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas
kehidupan kerja yang lebih baik.

II. “Job Enrichment” dan “Job Enlargement”

Job Enrichment merupakan upaya untuk memotivasi karyawan dengan memberikan mereka
kesempatan untuk menggunakan berbagai kemampuan mereka. Ini adalah sebuah ide yang
dikembangkan oleh American psikolog Frederick Hertzberg pada tahun 1950. Kepuasan
kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan
merasakan kepuasan dalam bekerja maka seorang karyawan akan berupaya semaksimal
mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang
akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan.

Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari
masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-
pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan
menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik. Oleh
sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu menciptakan
kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga diperoleh karyawan yang
tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia bekerja kearah pencapaian tujuan
perusahaan. Maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhan-kebutuhan
individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi (Robbins,
2001:18).

Motivasi melalui job enlargement adalah memberikan tugas dan tanggung jawab lebih besar
pada karyawan. Namun ini dalam bentuk kuantitas. Misalnya, seorang tenaga telemarketing,
diminta untuk melakukan panggilan lebih banyak lagi.

Job Enrichment hampir sama dengan job enlargement. Hanya bedanya, jika job enlargement
menambah dalam kuantitas, maka job enrichment menambah pekerjaan dalam hal kualitas,
atau kompleksitasnya. Misalnya, seorang teknisi yang biasanya menangani mesin, kemudian
ditugaskan untuk menangani mesin baru yang lebih kompleks.

Seperti layaknya solusi-solusi lain di dunia kerja, Job Enrichment tentu saja tidak dapat
dianggap obat yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit. Secara khusus Landy (1989)
menyebutkan bahwa Job Enrichment justru dapat merugikan para pekerja yang telah
terstimulasi secara optimal dalam pekerjaannya. Pekerja yang telah optimal seperti ini akan
mengalami overstimulasi jika pekerjaannya disertakan dalam program Job Enrichment
(Landy, 1989). Karena Contoh Kasus kita di atas lebih banyak mencakup pekerja yang
mendapatkan tugas yang mudah dan repetitif, Job Enrichment sangat cocok untuk diterapkan.
Lebih baik lagi jika program ini digabungkan dengan Penetapan Target, sehingga target yang
ditetapkan dapat dirancang sesuai dengan pekerjaan yang telah melalui program Job
Enrichment.

Sejalan dengan lima karakteristik pekerjaan yang dibahas dalam teori Job Characteristic
Model (Judge et al, 2001), program Job Enrichment dan Penetapan Target yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut:

Mengelompokkan pekerja dalam tim yang baru.


Saat ini pekerja dikelompokkan berdasarkan langkah tertentu dalam proses ban berjalan,
misalnya kelompok pengisi kaleng, penyegel kaleng, pengisi dus, dsb. Tim yang
direkomendasikan adalah tim yang terdiri dari orang-orang dengan keahlian yang berbeda.
Masing-masing tim akan diberi tanggung jawab untuk memenuhi pesanan pelanggan tertentu.
Dengan cara ini, task identity dan task significance akan meningkat bagi semua pekerja,
karena mereka dapat melihat keseluruhan proses mulai dari awal hingga akhir, dan juga
mereka dapat melihat bahwa apa yang mereka lakukan adalah penting bagi rekan-rekan
sesama tim maupun pelanggan (Judge et al, 2001). Selain itu, autonomy juga dapat
meningkat karena masing-masing tim dapat menentukan bagaimana cara yang terbaik bagi
mereka untuk menyelesaikan pekerjaan mereka (Judge et al, 2001). Misalnya anggota tim
dapat menentukan pembagian tugas di antara mereka. Salah satu konsekuensi dari program
ini adalah adanya kemungkinan mesin-mesin dalam pabrik harus dipindahkan sesuai dengan
pengelompokkan tim yang baru ini. Untuk itu, dibutuhkan analisis finansial untuk
menentukan apakah perusahaan mampu membiayai hal ini.

Meningkatkan keahlian pekerja.

Sejalan dengan tim yang baru, masing-masing pekerja kini harus menguasai lebih dari satu
keahlian dalam keseluruhan proses kerja di perusahaan. Karena itu, mereka harus belajar dari
rekan sesama anggota tim (coaching), ataupun dari pelatihan yang diadakan oleh perusahaan.
Manajemen perusahaan harus memformalkan proses belajar ini untuk memastikan bahwa
semua pekerja memiliki waktu dan kesempatan untuk meningkatkan keahliannya (misalnya
dengan menetapkan satu jam pertama dari setiap shift kerja sebagai waktu coaching). Sebagai
konsekuensinya, hasil kerja kemungkinan akan menurun untuk beberapa saat karena para
pekerja masih berusaha mempelajari keahlian yang baru. Namun hal ini tidak akan
berlangsung lama karena keahlian-keahlian yang dibutuhkan dalam Contoh Kasus di atas
bukanlah keahlian yang rumit.

Tetapkan target.

Target haruslah spesifik dan cukup sulit sehingga pekerja termotivasi untuk mencapainya
(Locke & Latham, dalam Donovan, 2001). Jika memungkinkan, lebih baik seluruh anggota
tim diikutsertakan dalam menetapkan target bagi tim tersebut. Menurut penelitian, Penetapan
Target yang melibatkan partisipasi anggota tim akan menciptakan response generalisation
(Ludwig & Geller, 1997). Maksudnya adalah bahwa motivasi untuk mencapai hasil kerja
yang lebih tinggi tidak hanya terjadi pada tugas yang ditargetkan, tapi juga terjadi pada tugas
lainnya (Ludwig & Geller, 1997).

Berikan umpan balik.

Para pekerja harus diberi informasi mengenai prestasi kerja mereka. Umpan balik ini bisa
diberikan secara rutin, atau ketika ada kejadian khusus yang efeknya signifikan bagi
perusahaan (Wright, 1991). Penetapan Target sangatlah berkaitan dengan pemberian Umpan
Balik karena Target tanpa Umpan Balik tidaklah efektif (Ludwig & Geller, 1997), dan juga
sangat sulit memberikan Umpan Balik jika sejak awal tidak ada Target yang dapat dijadikan
kriteria evaluasi (Wright, 1991). Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus
menciptakan mekanisme untuk mencatat prestasi kerja, baik dari segi kuantitas (misalnya
jumlah dus yang dikirim per hari atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu dus
soda) maupun kualitas (misalnya tim mana yang banyak dipuji pelanggan karena tidak pernah
melakukan kesalahan dalam memenuhi pesanan)

Pekerjaan yang diperkaya dapat memotivasi secara intrinsik pada pekerja yang memiliki
kebutuhan yang kuat terhadap keberhasilan dan kemandirian. Program Job Enrichment lebih
berhasil jika dikenakan pada pekerja yang tidak takut terhadap tanggung jawab baru dan yang
menganggap penting bekerja keras untuk mencapai keberhasilan pribadi dalam lingkungan
kerjanya.

III. Kualitas Kehidupan Kerja dan Kinerja

Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang kompleks, baik berasal dari
diri pribadi karyawan (internal factor) maupun upaya strategis dari perusahaan. Faktor-faktor
internal misalnya motivasi, tujuan, harapan dan lain-lain, sementara contoh faktor eksternal
adalah lingkungan fisik dan non fisik perusahaan. Kinerja yang baik tentu saja merupakan
harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja
karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara
keseluruhan.

Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian
organisasi. Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang
mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan
terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Adanya kualitas
kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam
organisasi. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif antara praktek kualitas
kehidupan kerja dengan kinerja karyawan.

IV. Pengertian Moral Kerja

Istilah moral digunakan untuk menerangkan perilaku organisasi. Drafke & Kossen (1998)
mendefinisikan: moral kerja mengacu pada sikap-sikap karyawan baik terhadap organisasi-
organisasi yang mempekerjakan mereka, maupun terhadap faktor-faktor pekerjaan yang khas,
seperti supervisi, sesama karyawan, dan rangsangan-rangsangan keuangan. Ini dapat
dianggap berasal baik dari individu maupun kelompok yang merupakan bagian dimana
karyawan berada. William B. & Keith Davis (1993) menghubungakan moral kerja dengan
quality of work life effort. Menurutnya, moral kerja bermanfaat dan dapat digunakan untuk
berbagai kepentingan yang erat kaitannya dengan usaha membina relasi antar karyawan,
komunikasi informal dan formal, pembentukan disiplin serta konseling

Dari sejumlah pengertian yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa moral kerja adalah suatu
predisposisi yang mempengaruhi kemauan, perasaan dan pikiran untuk bekerja dan berupaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan sebaik-baiknya. Moral kerja dapat dilihat
dalam kaitannya dengan moral individual dan moral kelompok. Moral individual berarti
semangat individu untuk menyumbangkan tenaga maupun pikirannya dalam usaha mencapai
tujuan organisasi. Sedangkan moral kerja kelompok berarti semangat kerja dari kelompok
secara bersama-sama untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya guna mencapai tujuan
bersama.

V. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Moral

Drafke & Kossen (1998) mengemukakan sejumlah faktor yang mempengaruhi moral kerja
yaitu:

1) Organisasi itu sendiri

2) Kegiatan-kegiatan mereka sendiri, ketika bekerja maupun setelah selesai bekerja.

3) Sifat pekerjaan
4) Teman-teman sejawat mereka.

5) Kepemimpinan atasan.

6) Penerapan aturan.

7) Konsep.

8) Pemenuhan kebutuhan pribadi.

Menurut Drafke & Kossen, organisasi secara signifikan mempengaruhi moral kerja
karyawan. Reputasi organisasi yang kurang baik di masyarakat dapat mempengaruhi moral
kerja secara negatif dan sebaliknya organisasi yang memiliki citra khusus di mata masyarakat
akan dapat mempengaruhi moral kerja secara positif.

VI. Moral dan Produktivitas

Harris (1984) menjelaskan bahwa semenjak moral dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan,
adalah penting untuk meninjau akibat dari moral tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi)
dan moral rendah (persepsi kepuasan rendah). Satu dari efek atau pengaruh yang tidak dapat
diramalkan dari moral adalah dampak pada produktivitas karyawan. Berbagai penelitian yang
dilakukan oleh Kazt dan Vroom memperlihatkan tidak ada hubungan yang konsisten antara
tingkat moral kerja yang spesifik dengan kinerja produktif karyawan. Kadang-kadang
produktivitas tinggi dan moral juga tinggi, tetapi di lain waktu produktivitas rendah meskipun
moral kerja tinggi dan sebaliknya. Di sisi lain, Drafke & Kossen (1998) mengatakan bahwa
hubungan langsung antara moral kerja dan produktivitas adalah moral yang tinggi akan
berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula jika moral rendah akan
mengurangi produktivitas.

Sedangkan Herzberg (dalam Gellerman, 1984:321) meringkaskan berbagai penelitian yang


dipublikasikan mengenai efek moral kerja terhadap produktivitas sebagai berikut:

Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menunjukkan bahwa moral yang tinggi berkaitan
dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menunjukkan bahwa moral tidak
berhubungan dengan produktivitas; dan 11% lainnya menyebutkan moral tinggi berhubungan
dengan produktivitas yang rendah…Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat cukup banyak
data yang mendukung bahwa memberi perhatian pada karyawan berpengaruh terhadap
meningkatnya keluaran karyawan…..Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain sikap
kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mempengaruhi produktivitas.

Selanjutnya Harris mengatakan bahwa kemungkinan gejala hubungan antara produktivitas


dengan tingkat moral harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mempengaruhi tingkat
moral seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu (1) persepsi karyawan terhadap keadaan
organisasi yang tidak dapat dikendalikannya, seperti pengawasan, kerja sama dengan rekan
sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap pekerja. Bila faktor tersebut dipandang
menyenangkan bagi karyawan, moral kerja akan cenderung tinggi (2) persepsi karyawan
terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima (3) persepsi karyawan
terhadap kemungkinan untuk mendapatkan imbalan dan masa depan serta kesempatan untuk
maju.

2. Meringkas bab “Kualitas kehidupan kerja (quality of work life)” buku,


“Manajemen Sumberdaya Manusia dan Personalia” oleh T. Hani Handoko”,
(Sembarang Edisi)?

3. Apakah pengertian kompensasi?

Kompensasi ialah semua bentuk imbalan mengalir kepada pegawai dan timbul dari status
kepegawaian mereka (Gary Dessler, 1986: 349).

4. Kompensasi pagawai memiliki tiga komponen, apakah itu?

Kompensasi pagawai memiliki tiga komponen (Gary Dessler, 1986: 349 - 350) yaitu:

1. Pembayaran uang secara langsung (direct financial payment) dalam bentuk gaji dan
insentif finansial.

2. Pembayaran tidak langsung (indirect payment) dalam bentuk tunjangan seperti


asuransi dan liburan atas dana perusahaan.

3. Imbalan non-finansial (nonfinancial rewards) ialah imbalan yang tidak mudah


dikuantifikasi, yaitu imbalan dalam bentuk kualitas kehidupan kerja (organisasi yang baik).
Contohnya, imbalan pekerjaan yang secara mental lebih menantang, jam kerja yang luwes,
dan kantor yang lebih bergengsi.
5. Apakah pengertian kualitas kehidupan kerja (quality of work life)?

Kualitas kehidupan kerja ialah semua bentuk imbalan mengalir kepada pegawai dan timbul
dari status kepegawaian dalam bentuk imbalan nonfinansial (nonfinancial rewards) atau
organisasi yang terbaik (the best organization) (Gary Dessler, 1986: 349–350 dan 476).

6. Jelaskan enam tanda adanya kualitas kehidupan kerja (quality of work life)?

Ada enam tanda adanya kualitas kehidupan kerja (Gary Dessler, 1986: 476) yaitu:

1. Perlakuan yang fair dan adil terhadap para pegawai.

2. Kesempatan menggunakan kemampuan secara penuh untuk mewujudkan


aktualisasi diri, yaitu untuk menjadi orang yang dicita-citakan yang dirasa mampu
mewujudkannya.

3. Komunikasi terbuka dan saling mempercayai antar semua pegawai.

4. Kesempatan berperan aktif dalam mengambil keputusan penting yang melibatkan


jabatan tiap pegawai.

5. Kompensasi yang cukup dan fair.

6. Lingkungan yang aman dan sehat.

7. Ada lima teknik menciptakan kualitas kehidupan kerja (quality of work life)?

I}. Manajemen Sumberdaya Manusia

Manajemen sumberdaya manusia ialah kegiatan organisasi dalam


mengerjakan konsep dan teknik analisis jabatan, perencanaan pegawai, perekrutan pegawai,
seleksi pegawai, orientasi pegawai, pelatihan pegawai, pemberian gaji, pemberian insentif
finansial, pemberian tunjangan, penerapan kualitas kehidupan kerja, penilaian prestasi kerja,
dan manajemen karier pegawai untuk mencapai visi dan tujuan organisasi (Gary Dessler,
1986: 2; Gary Dessler, 2004: 2)

II}. Manajemen berdasarkan sasaran (management by objective) (MBO)

Manajemen berdasarkan sasaran (management by objective) ialah sistem


manajemen yang tujuan kinerja (performance goals) terinci ditentukan bersama-sama oleh
para karyawan dan para manajer, dan kemajuan ke arah pencapaian tujuan itu dikaji secara
berkala, dan imbalan dibagi-bagikan berdasarkan kemajuan itu (Robbins dan Coulter, 2004:
181).

III}. Kualitas Kehidupan Kerja yang Berpusat pada Kelompok

Program ini memberikan kesempatan lebih besar kepada semua pegawai untuk
mengelola (manage) sendiri pekerjaannya

IV}. Gugus Mutu (Quality Circle)

Gugus mutu (quality circle) ialah suatu kelompok yang terdiri dari lima
sampai sepuluh pegawai terlatih yang bertemu sekali seminggu selama satu jam untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam bidang kerja mereka (Dessler, 1986 : 493).

V}. Pengaturan Waktu Kerja secara Luwes

Ada dua jenis pengaturan waktu kerja secara luwes yaitu pengayaan pekerjaan
(job enrichment) dan pemberian keleluasaan kepada para karyawan untuk memilih waktu
kerja (Dessler, 1986: 499 – 504).

Anda mungkin juga menyukai