Nim : 1915090039
FIQIH IBADAH
A. Pengertian Adzan
Kata adzan diambil dari kosakata bahasa Arab, yaitu ) ) اذانyang artinya ( ) اعالنpengumuman dan ( مطلق
) االعالمyang artinya seruan yang sempurna. Sedangkan menurut Syara’ ialah seruan yang menandakan
sampainya waktu shalat dengan lafadz yang telah ditentukan sebelumnya secara khusus.[2] Sesuai
dengan hadits berikut:
صالَ ِة َأ ْدبَر
َّ َّب بِال َ َ فَِإ َذا ق، َ َحتَّى الَ يَ ْس َم َع التَّْأ ِذ ْين،ٌصالَ ِة َأ ْدبَ َر ال َّش ْيطَانُ َولَهُ ض َُراط
َ ضى النِّدَا َء َأ ْقبَ َل َحتَّى ِإ َذا ثَو َ ِإ َذا نُوْ ِد
َّ ي لِل
”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak
mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan
iqamat ia berlalu lagi …”[3]
B. Sejarah Adzan
Ibnu Umar berkata, “Ketika awal kedatangan kaum muslimin di Madinah, mereka datang untuk
mengerjakan shalat dengan memperkirakan waktu berkumpulnya mereka, karena tidak ada orang yang
khusus bertugas menyeru mereka berkumpul untuk shalat. Suatu hari mereka memperbincangkan hal
ini. Sebagian mereka berkata, Kita akan menggunakan lonceng seperti loncengnya Nasrani untuk
memanggil orang-orang agar berkumpul untuk mengerjakan shalat. Sebagian lain mengatakan, Kita
pakai terompet seperti terompetnya Yahudi. Namun ketika Umar mengusulkan, Tidakkah sebaiknya
kalian mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan shalat. Nabi SAW pun bersabda:
1. Seruan untuk berkumpul mengerjakan shalat baru disyariatkan di Madinah setelah kedatangan
Rasulullah SAW Hijrah. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa adzan telah disyariatkan di Makkah
atau pada malam Isra’, tidak ada satu pun yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam
Fathul Bari (2/104).
2. Seruan untuk shalat yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada Bilal RA bukanlah lafadz-lafadz
adzan yang kita kenal sekarang ini, karena lafadz-lafadz tersebut baru dikumandangkan Bilal setelah
Abdullah bin Zaid RA bermimpi mendengar lafadz-lafadz adzan.
Al-Qadhi Iyadh RA berkata, “Disebutkan dalam hadits bahwa Umar mengisyaratkan kepada mereka
untuk mengumandangkan seruan. Ia berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk
menyerukan panggilan shalat?’ Zahir dari ucapan ini bahwa seruan tersebut berupa pemberitahuan
semata, bukan adzan yang khusus sebagaimana yang disyariatkan. Tetapi berupa pemberitahuan untuk
shalat, bagaimana pun caranya.” (Al-Ikmal, 2/237)
Tentang awal pensyariatan adzan ini juga disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Umair bin Anas RA mengabarkan dari pamannya seorang dari kalangan Anshar: bahwa Nabi SAW
memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat berjamaah. Ada
yang mengusulkan pada beliau, ”Pancangkanlah bendera ketika telah tiba waktu shalat, sehingga bila
orang-orang melihatnya, mereka akan saling memanggil untuk menghadiri shalat.” Namun usulan
tersebut tidak berkenan dihati Rasulullah SAW. Ada yang mengusulkan terompet, namun Rasulullah juga
tidak berkenan menerimanya, bahkan beliau mengatakan, ”Itu perbuatan Yahudi”. Ada yang usul
lonceng, beliau bersabda, ”Itu urusan Nasrani”.
Pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi RA dalam keadaan hatinya dipenuhi pikiran tentang
kegelisahan Rasulullah . Ketika tidur, ia bermimpi mendengarkan lantuan adzan.
Di pagi harinya ia menemui Rasulullah untuk memberitakan mimpi tersebut, ”Wahai Rasulullah, aku
berada di antara tidur dan jaga ketika datang kepadaku seseorang lalu ia menunjukkan adzan
kepadaku.” Sebelumnya Umar ibnul Khaththab RA juga telah bermimpi tentang adzan namun ia
menyembunyikannya (tidak memberitahukan tentang mimpinya) selama 20 hari. Setelahnya barulah
Umar memberitakan mimpinya kepada Nabi. ”Apa yang menghalangimu untuk memberitahukan
mimpimu kepadaku?” tanya Rasulullah kepada Umar. Umar berkata, ”Abdullah bin Zaid telah
mendahului saya, saya pun malu.” Rasulullah pun bersabda, ”Wahai Bilal, bangkitlah, perhatikan apa
yang diajarkan Abdullah bin Zaid lalu ucapkanlah.” Bilal pun mengumandangkan adzan. [5]
Pertama: Ketika awal diwajibkan shalat di Makkah (tiga tahun sebelum hijrah), belum ada seruan untuk
shalat sama sekali. Hal ini terus berlangsung sampai Nabi hijrah ke Madinah. Pada masa itu, untuk
berkumpul kaum muslimin hanya memperkirakan waktunya.
Kedua: Ada seruan umum yang dikumandangkan Bilal untuk berkumpul guna mengerjakan shalat
setelah terjadi musyawarah Rasulullah dan para sahabatnya, atas usulan Umar ibnul Khaththab.
Ketiga: Dikumandangkannya adzan yang syar’i setelah Abdullah bin Zaid mendengarnya dalam
mimpinya.
C. Pengertian Iqamah
Secara bahasa Iqomah diambil dari bahasa Arab yang asal katanya yaitu: ( )أقام – يقيمyang artinya menegak
kan atau bangun. Secara syari’at Iqamah adalah seruan dengan lafad khusus yang gunanya untuk
memberitahukan supaya siap berdiri untuk melaksanakan shalat.[6]
1. Al Quran
QS. Al-Maidah: 58
QS. Al-Jumu’ah: 9
صاَل ِة َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا نُو ِد
َّ ي لِل
2. Hadist
“Jika telah datang waktu shalat, maka hendaklah salah satu orang diantara kalian mengumandangkan
adzan, dan orang yang paling tua diantara kalian menjadi imam (jika sama-sama memiliki ilmu dan
keutamaan”.
Banyak hadits yang datang menyebutkan keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan
(muadzin). Di antaranya berikut ini:
”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak
mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan
iqamat ia berlalu lagi…”
]9[صفِّاَأْل َّولِثُ َّملَ ْميَ ِجدُواِإاَّل َأ ْنيَ ْستَ ِه ُموْ ا َعلَ ْي ِهالَ ْستَهَ ُموْ ا
َّ …لَوْ يَ ْعلَ ُمالنَّا ُس َمافِيالنِّدَا ِء َوال.
”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf yang
awal kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan berundi niscaya mereka rela
berundi untuk mendapatkannya…”
”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya1 pada hari kiamat.”
”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatupun yang mendengar suara lantunan adzan dari
seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.”
ْ يُ ْغفَ ُرلِ ْلمَْؤ ِّذنِ ُم ْنتَهَىَأ َذانِ ِه َويَ ْستَ ْغفِ ُرلَهُ ُكلُّ َر
]12[ُطبٍ َويَابِ ٍس َس ِم َعه
”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah ataupun yang kering yang
mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.”
Ibnu Mas’ud berkata: Ketika kami bersama Rasulullah dalam satu safar, kami mendengar seseorang
menyerukan, ”Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabiyullah bersabda, ”Dia di atas fithrah.” Terdengar lagi
seruannya, ”Asyhadu an laa ilaaha illallah.” ”Ia keluar dari api neraka,” kata Rasulullah. Kami pun
bersegera ke arah suara seruan tersebut. Ternyata orang itu adalah pemilik ternak yang mendapati
waktu shalat ketika sedang menggembalakan hewannya, lalu ia menyerukan adzan. (HR. Ahmad 1/407-
408. Guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata, ”Hadits ini shahih di atas syarat
Syaikhain.” Lihat Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/56, 57)
]13[ َاللَّهُ َّمَأرْ ِش ِداَأْلِئ ّمةَ َوا ْغفِرْ لِلَمَْؤ ِّذنِ ْين
”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.”
Aisyah RA berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
]14[ َفََأرْ َشدَاللهُاَأْلِئ ّمةَ َو َعفَا َعنِالمَْؤ ِّذنِ ْين،ضا ِمنٌ َو ْال ُمَؤ ِّذنُ ُمْؤ تَ َم ٌن
َ اِإْل َما ُم
“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi, maka semoga Allah
memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan para muadzin.”