Anda di halaman 1dari 7

BAB 11 & 12

● APA APA YANG DITURUNKAN BERULANG KALI

● SESUATU YANG LEBIH DAHULU DARI PADA HUKUMNYA &

SESUATU YANG HUKUMNYA LEBIH DAHULU DARI PADA TURUNNYA AYAT

DISUSUN OLEH :

HAYYI’ SALIMA( 202107501481004 )

DOSEN PENGAMPU : RULIK ENDARWATI, M.Pd.


A. APA APA YANG DITURUNKAN BERULANG KALI
Sejumlah ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin secara terang-terangan menyatakan bahwa
sesungguhnya ada sebagian dari Al-Qur’an yang turunnya berulang kali. Imam Zarkasyi berkata dalam
kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, “Kadang-kadang suatu (ayat atau surat) itu turun dua kali,
karena ta’dziman lisya’nihi (masalahnya penting) dan untuk mengingatkan peristiwa itu yang menjadi
faktor penyebab turunnya karena khawatir dilupakan.”
Al-Qur’an diturunkan secara berulangkali, dimaksudkan sebagai pelajaran bagi umat manusia yang
penuh dengan nilai-nilai pendidikan, dimaksudkan agar umat Islam bisa memahami latar belakang,
kejadian atau fenomena alam untuk dapat dijadikan kajian sebagai pelajaran yang sangat berharga
atas kebesaran dan kekuasaan di alam raya ini.
al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai
dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat.
Sebagian ulama mengingkari adanya sesuatu dari Al-Qur’an itu bisa turun berulang kali. Demikian
saya melihat permasalahan ini dalam kitab al-Kafil bi Ma’ani at-Tanziil, dan dia memberikan alasan
bahwa mencari sesuatu yang sudah ada itu tidak ada faedahnya, tetapi pendapat ini mardud (ditolak)
dengan berbagai faedah yang telah diterangkan.
Sesungguhhnya sesuatu yang lazim dari Al-Qur’an jika setiap apa yang diturunkan di Makkah juga
diturunkan lagi di Madinah, karena Jibril selalu mengontrol bacaan Nabi saw. setiap tahun, tetapi ini
ditolak dengan menafikan adanya mulazamah.
Sesungguhnya tidak ada makna bagi diturunkannya (dua kali), kecuali bahwa Jibril itu turun kepada
Rasulullah saw. dengan membawa Qur’an yang belum pernah dia bawa turun sebelumnya maka Jibril
membacakan kepadanya. Tetapi ini pun ditolak dengan tidak adanya pensyaratan perkataannya:
“sesuatu yang belum dibawa turun oleh malaikat Jibril sebelumnya”. Kemudian sebagian ulama
berpendapat, “Barangkali yang dimaksud dengan turunnya surat atau ayat sebanyak dua kali itu
bahwa Jibril turun ketika arah kiblat dialihkan, maka dia memberitahukan kepada Rasulullah saw.
bahwa al-Fatihah merupakan rukun di dalam shalat sebagaimana di Makkah. Demikian itu dianggap
turun lagi yang kedua kali. Atau Jibril membacakan kepada Nabi ayat itu dengan bacaan yang lainnya
yang belum ia bacakan kepadanya ketika di Makkah, tetapi orang mengira bahwa itu merupakan
turunnya.”
● HIKMAH DI TURUNKAN BERULANG KALI
Terkandung hikmah dan faidah yang besar diturunkan nya al qur’an secara berulang kali, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan [25] ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang
kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)

hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah:

1.Memantapkan hati Nabi ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para
penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dari bagian dakwah.

2. Mudah di hafal dan dijangkau.

3. Orang orang mukmin antusias dalam menerima Al Qur’an dan giat mengamalkannya.

4. Mengiringi kejadian kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan sesuatu.


B. SESUATU YANG LEBIH DAHULU DARI PADA HUKUMNYA &
SESUATU YANG HUKUMNYA LEBIH DAHULU DARI PADA TURUNNYA AYAT
● Sesuatu yg lebih dahulu dari pada hukum nya
Az-zarkasyi mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab nuzul yang
dinamakan “ penurunan Ayat lebih dahulu daripada hukum”. Contoh yang di berikannya dalam hal ini
tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu, kemudian pengamalannya datang
sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu di turunkan dengan lafazd mujmal, yang
mengandung arti lebih dari satu kemudian penafsirannya di hubungkan dengan salah satu arti- arti tersebut,
sehingga ayat tadi mengacu kepada hukum yang datang.
kemudian.Imam Zarkasyi berkata di dalam kitabnya, al-Burhan, “Bisa jadi turunnya ayat itu lebih dahulu
daripada ketetapan hukumnya,. Misalnya firman Allah: ‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri [dengan beriman].’ (al-A’la: 14)
Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn
Umar, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan zakat Ramadhan [zakat fitrah]; kemudian dengan isnad yang
marfu’ Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka berkata: Aku tidak mengerti
maksud penakwilan yang seperti ini, sebab surah itu Makki, sedang di Makkah belum ada Idul Fitri dan
zakat.”
Al-Bazzar juga mengeluarkan sebuah riwayat yang sama dan marfu’. Sebagian ulama mengatakan, “Saya
tidak mengetahui bagaimana pengertian ayat tersebut, karena surat al-A’la ini Makkiyyah, padahal di
Makkah (pada saat) itu belum ada ‘Id, zakat, dan juga belum ada puasa?” Imam al-Baghawi menjawab
bahwasanya boleh ayat itu turun lebih dahulu daripada ketetapan hukumnya, sebagaimana firman Allah
SWT: “Laa uqsimubihaadzal balad, wa anta hillun bihaadzal balad”. Surat al- Balad ini Makkiyyah,
sementara Rasulullah benar-benar dapat tinggal dan menguasai Makkah itu pada saat FathMakkah,
sampai-sampai beliau saw. bersabda: “Wa uhillat lii saa’atun min nahaar”, artinya: “dan telah dihalalkan
bagiku (untuk meraih kemenangan di Makkah) pada saat siang hari.
Ibnu al-Hashshar berkata, “Allah SWT banyak menyebutkan kata-kata zakat di dalam surat-surat
Makkiyyah, baik secara terang-terangan maupun secara isyarat. Allah juga akan mewujudkan janji-Nya
kepada rasul-Nya dan akan menegakkan serta memberi kemenangan terhadap agamanya, hingga shalat,
zakat, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya telah ditetapkan, tetapi zakat tidak diambil kecuali di
Madinah. Persoalan ini tanpa ada khilaf (perbedaan). Ayat yang lainnya adalah firman Allah: “Wa man
ahsanu qaulan mimman da’aa ilallaahi wa ‘amila shaalihan” (QS. Fushilat: 33). Aisyah, Ibnu Umar,
Ikrimah, dan shahabat-shahabat yang lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
para muadzin, sedangkan ayat ini Makkiyyah dan adzan belum disyariatkan kecuali di Madinah.
● Sesuatu yg hukumnya lebih dahulu dari pada turunnya ayat

Di antara contoh yang turunnya lebih akhir daripada hukumnya adalah ayat tentang “wudhu”, sebagaimana
diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari, dari Aisyah, ia berkata, “Kalungku pernah jatuh di tanah lapang, dan kami
sedang memasuki kota Madinah. Rasulullah saw. turun dan memasukkan untanya, kemudian meletakkan
kepalanya ke pangkuanku sambil tidur. Pada saat itu Abu Bakar datang dan memukulku dengan pukulan yang
keras dan ia berkata, ‘Kamu menahan orang banyak karena kalungmu?’ Kemudian Nabi saw. bangun dan Subuh
pun telah tiba, maka Rasulullah saw. mencari air, tetapi tidak mendapatkannya, maka turunlah: ‘Yaa
ayyuhalladziina aamanu idzaa qum tum ilashshalaati ...’ hingga ‘la’allakum tasykuruun’ (QS. al-Ma’idah: 6).” Ayat
ini berdasarkan Ijmak ulama Madaniyyah, tetapi wudhu itu diwajibkan di Makkah bersamaan dengan
diwajibkannya shalat.
Ibnu Abdil Bar berkata, “Telah dimaklumi menurut seluruh ahli sejarah perang bahwa Rasulullah saw. belum
pernah shalat kecuali dengan wudhusejak di wajibkannya shalat, dan tidak ada yang menolak demikian itu
kecuali orang bodoh dan yang menentang.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Hikmah diturunkannya ayat wudhu,
sementara pelaksanaannya didahulukan, agar diwajibkannya wudhu diiringi dengan turunnya ayat.”
Ulama lain mengatakan, “Bisa jadi pada awal ayat diturunkan terlebih dahulu bersamaan dengan diwajibkannya
wudhu, kemudian selebihnya diturunkan, yaitu penyebutan tayamum dalam kisah ini.”

Anda mungkin juga menyukai