“Seringkali kita melihat Indonesia itu sesuatu yang taken for granted, padahal tidak.
Jadi kalau kita melihat, ada proses-proses transformasi sosiokultural politik yang
sebetulnya mengikuti bagiamana cara orang Indonesia beragama,” ujarnya pada
International Conference: Religious Freedom and Rule of Law, Selasa malam (13/9).
Siti menerangkan bahwa momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi
titik perubahan dari masyarakat ethno-religious community menjadi modern nation
society.
“Kita memiliki dua kali proklamasi. Yang pertama adalah 28 Oktober 1928. Itulah yang
sesungguhnya yang sangat signifikan dan sangat fundamental mengubah cara hidup
kita, dari masyarakat yang eksklusif dan homogen, menjadi masyarakat yang terbuka
dan modern, berbasis pada kebangsaan,” katanya.
Namun, Siti juga mengatakan bahwa proses transformasi merupakan proses yang terus
berlangsung dan bisa mengalami kemajuan maupun kemunduran. Dilihat dari situasi
saat ini, terdapat aspek-aspek yang bisa menimbulkan pergesekan diantara
masyarakat, terutama terkait kondisi ruang publik yang kini bersifat heterogen
“Setelah menjadi masyarakat modern, ruang publiknya bersifat plural sehingga ada
aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan kembali. Tantangannya yang kita hadapi ada
dua. Yang pertama dalah resurfacing sentiment etno-religius yang muncul menjadi
politik identitas. Dan yang kedua adalah masuknya paham-paham dengan keterbukaan
digital,” ucapnya.