Anda di halaman 1dari 15

Tugas Farmakoterapi

PENDAHULUAN

http://repository.wima.ac.id/6839/2/Bab%201.pdf

Ketentuan terapi pada bayi

http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
MDJmZGUyMmY5ZmI0OGRlMWM1ZTUwNDg4NDk4ZWI5MTMyMzJlNDJhMw==.pdf

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1RCA90cS--
pKb8lsioDGCR9TDs0id4hrdf9W9lSjBxhg/edit#gid=0

Pengertian Pijat Bayi

Pijat bayi adalah seni perawatan kesehatan pada bayi dengan terapi sentuh dengan
teknik-teknik tertentu sehingga manfaat pengobatan dan kesehatan tercapai. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa pemijatan pada bayi memberikan manfaat sangat besar
pada perkembangan bayi, baik secara fisik maupun secara emosional. Pijat bayi akan
merangsang peningkatan aktivitas nervus vagus yang akan menyebabkan penyerapan
lebih baik pada sistem pencernaan sehingga bayi akan lebih cepat lapar dan ASI akan
lebih banyak diproduksi (Luize A, 2006).

Pengaruh positif sentuhan pada proses tumbuh kembang anak telah lama dikenal
manusia. Namun, penelitian ilmiah tentang hal ini masih belum banyak dilakukan. Kulit
merupakan organ tubuh manusia yang berfungsi sebagai reseptor terluas yang dimiliki
manusia. Sensasi sentuh/raba adalah indera yang aktif berfungsi sejak dini. Oleh karena
itu, sejak dalam kandungan, janin telah dapat merasakan belaian hangat cairan ketuban.
Pengalaman pijat yang pertama yang dialami manusia ialah pada waktu dilahirkan, yaitu
pada waktu melalui jalan lahir si ibu. (Fujita, Endoh,Saimon, & Yamaguchi, 2010)

Manfaat Pijat Bayi


Pijat bayi dapat dilakukan pada BBLR, karena menurut penelitian bermanfaat bagi
tumbuh kembang fisik dan emosi bayi.(Tekgündüz et al., 2014) Bayi bayi prematur yang
dapat di pijat secara teratur setiap hari menunjukkan perkembangan fisik dan emosional
yang lebih baik ketimbang bayi yang tidak di pijat, terutama pada BBLR sebagai berikut :
a. Penurunan kadar hormon cotecolamin (Stress)
b. Penurunan jumlah & sitoksisitas dari sistem imun (sel pembunuh alami/ natural killer
cells)
c. Memperbaiki sirkulasi darah dan pernapasan
d. Merangsang fungsi pencernaan dan pembuangan
e. Meningkatkan barat badan
f. Mengurangi depresi dan ketegangan
g. Membuat tidur lelap
h. Mengurangi rasa sakit
i. Mengurangi kembung dan colik
j. Meningkatkan produksi ASI
k. Meningkatkan hubungan kasih sayang orang tua dan bayi (bonding). (Proverawati &
Ismael, 2010)

manfaat pijat bayi pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) juga meningkatkan aktivitas
tonus vagus dalam bayi preterm yang menerima pijat. Sebab vagus innervates lambung
dan pancreas, peningkatkan aktivitas tonus vagus mungkin menyebabkan penambahan
berat badan yang lebih besar dengan meningkatkan kegiatan lambung dan
mempromosikan pelepasan insulin. Demikian pula, dengan menurunkan kortisol, terapi
pijat dapat memicu kenaikan berat badan dengan mengurangi inhibitory pengaruh
kortisol pada sekresi insulin (Field, 2010).

Selain itu, dengan menurunkan kortisol, terapi pijat dapat memicu kenaikan berat badan
dengan meningkatkan meningkatkan kadar IGF-1 sebagaimana kronik tingkat tinggi
kortisol menghambat pelepasan hormon pertumbuhan. Stimulasi umpan dan
peningkatan aktivitas tonus vagus juga telah dikaitkan dengan pelepasan hormone
penyerapan makanan (misalnya, gastrin) yang dapat memberikan kontribusinya untuk
lebih efisien penyerapan makanan.(Field et al.,2008)

Frekuensi Pijat Bayi


Pijat bayi dapat segera dimulai setelah bayi dilahirkan, sesuai keinginan orang tua.
Dengan lebih cepat mengawali pemijatan bayi akan mendapat keuntungan yang lebih
besar, terlebih jika pemijatan dapat dilakukan setiap hari dari sejak kelahiran sampai
berusia 5-7bulan. Pemijatan sebaiknya dilakukan pada pagi hari, 1-2 jam setelah minum
susu untuk menghindari regurgitasi dan muntah atau bisa juga sebelum mandi dipagi
hari dan malam hari sebelum bayi tidur, karena aktivitas bayi sepanjang hari cukup
melelahkan tentunya bayi juga perlu relaksasi agar otot-otot menjadi kendur kembali,
sehingga bayi dapat tidur lebih nyenyak dan tenang. Tindakan pijat dikurangi seiring
bertambahnya usia bayi. Sejak usia enam bulan, pijat dua hari sekali sudah memadai
(MBA, Roesli,2016).

Lama waktu yang digunakan dalam pemijatan tidak ada ketentuan baku. Namun,
berdasarkan banyak penelitian yang mengalokasikan waktu pemijatan sekitar 15 menit.
Dalam penelitian oleh field, menilai efek kumulatif dari 5 hari terapi pijat (tiga pijat
sehari atau sebanyak 15 pijat) pada bayi prematur aktivitas dan stress perilaku
menggunakan desain kelompok acak terkontrol. Lima hari pijat dipilih karena studi
terbaru oleh kelompok kami telah menentukan kerangka waktu ini efektif untuk
meningkatkan bayi prematur dan perkembangan (Field et al., 2008)

Kegiatan Selama Pemijatan


Selama melakukan pemijatan, dianjurkan untuk selalu
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Memandang mata bayi, disertai pancaran kasih sayang selama pemijatan berlangsung
b. Bernyanyilah atau putarkan lagu-lagu yang tenang dan lembut, untuk membantu
menciptakan suasana tenang selama pemijatan berlangsung.
c. Awalilah pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan,kemudian secara bertahap
tambahkanlah tekanan pada sentuhan yang dilakukan, khususnya apabila anda sudah
merasa yakin bahwa bayi mulai terbiasa dengan pijatan yang sedang dilakukan
d. Sebelum melakukan pemijatan, lumurkan lation yang lembut sesering mungkin.
e. Sebaiknya pemijatan dimulai dari kaki bayi, umumnya bayi lebih menerima apabila di
pijat pada daerah kaki. Dengan demikian, akan memberi kesempatan pada bayi untuk
membiasakan di pijat sebelum bagian lain disentuh. Oleh karena itu, urutan pemijatan
dimulai dari bagian kaki, perut, dada, tangan, muka dan diakhiri dibagian punggung.
f. Tanggaplah pada isyarat yang diberikan bayi. Jika bayi menangis cobalah
menenangkan bayi sebelum melakukan pemijatan. Jika bayi menangis lebih keras,
hentikan pemijatan karena mungkin bayi mengharapkan untuk digendong, disusui, atau
sudah sangat ingin tidur.
g. Mandikan bayi segera setelah pemijatan berakhir agar bayi merasa lebih segar dan
bersih setelah dilumuri minyak bayi. Namun apabila pemijatan dilakukan pada malam
hari, bayi cukup diseka dengan air hangat agar bersih dari minyak bayi.
h. Lakukan konsultasi pada dokter atau perawatan untuk mendapatkan keterangan lebih
lanjut tentang pemijatan
i. Hindarkan mata bayi dari baby oil. (MBA, Roesli, 2016)

Hal-hal yang tidak dianjurkan selama pemijatan.


a. Memijat bayi langsung setelah makan
b. Membangunkan bayi khusus untuk pemijatan
c. Memijat bayi pada saat dalam keadaan tidak sehat
d. Memijat bayi pada saat bayi tidak mau di pijat
e. Memaksakan posisi tertentu pada bayi (Proverawati & Ismael,
2010)

Kategori obat pada bayi sesuai kemenkes atau FDA

http://repository.ump.ac.id/6791/3/BAB%20II_IKHSAN%20MANAFI_FARMASI
%2713.pdf

Ketentuan tata laksana terapi pada bayi sesuai kemenkes


https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/904/837

Kegiatan Selama Pemijatan


Selama melakukan pemijatan, dianjurkan untuk selalu
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Memandang mata bayi, disertai pancaran kasih sayang selama pemijatan berlangsung
b. Bernyanyilah atau putarkan lagu-lagu yang tenang dan lembut, untuk membantu
menciptakan suasana tenang selama pemijatan berlangsung.
c. Awalilah pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan,kemudian secara bertahap
tambahkanlah tekanan pada sentuhan yang dilakukan, khususnya apabila anda sudah
merasa yakin bahwa bayi mulai terbiasa dengan pijatan yang sedang dilakukan
d. Sebelum melakukan pemijatan, lumurkan lation yang lembut sesering mungkin.
e. Sebaiknya pemijatan dimulai dari kaki bayi, umumnya bayi lebih menerima apabila di
pijat pada daerah kaki. Dengan demikian, akan memberi kesempatan pada bayi untuk
membiasakan di pijat sebelum bagian lain disentuh. Oleh karena itu, urutan pemijatan
dimulai dari bagian kaki, perut, dada, tangan, muka dan diakhiri dibagian punggung.
f. Tanggaplah pada isyarat yang diberikan bayi. Jika bayi menangis cobalah
menenangkan bayi sebelum melakukan pemijatan. Jika bayi menangis lebih keras,
hentikan pemijatan karena mungkin bayi mengharapkan untuk digendong, disusui, atau
sudah sangat ingin tidur.
g. Mandikan bayi segera setelah pemijatan berakhir agar bayi merasa lebih segar dan
bersih setelah dilumuri minyak bayi. Namun apabila pemijatan dilakukan pada malam
hari, bayi cukup diseka dengan air hangat agar bersih dari minyak bayi.
h. Lakukan konsultasi pada dokter atau perawatan untuk mendapatkan keterangan lebih
lanjut tentang pemijatan
i. Hindarkan mata bayi dari baby oil. (MBA, Roesli, 2016)

Perubahan farmakokinetik pada bayi

https://eprints.umbjm.ac.id/472/4/BAB%202.pdf

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/generics/article/download/9850/5167

Farmakokinetik adalah proses yang dialami obat ketika obat masuk ke


dalam tubuh manusia, yang terdiri atas proses absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi (Holford, 2012). Studi farmakokinetik pada manusia biasanya
dilakukan ketika uji klinik fase 1 pada proses pengembangan obat. Pendekatan
yang paling banyak digunakan adalah dengan melakukan evaluasi individual dan
spesifik untuk masing-masing pasien. Untuk mendapatkan estimasi nilai
parameter farmakokinetik primer (waktu paruh, clearance, volume distribusi)
dibutuhkan pengambilan darah atau bahan biologis yang cukup sering pada
waktuwaktu tertentu (sekitar 10-15 kali hingga eliminasi sempurna) dari tiap
pasien. Jumlah subjek yang dilibatkan sekitar 10- 20 orang dan merupakan subjek
sehat, yang hasilnya akan diekstrapolasi pada pasien dewasa dan anak-anak
(Charles, 2014); (Reed, 1999).

Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa sesuai


dengan pertambahan usianya. Beberapa perubahan farmakokinetika terjadi selama
periode perkembangan dari masa anak-anak sampai masa dewasa yang menjadi
pertimbangan dalam penetapan dosis untuk pediatri :

A. Absorpsi

Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak sebanding dengan pasien
dewasa. Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum sebanyak pada dewasa,
sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut akan menurunkan
absorbsi obat – obat yang bersifat asam lemah seperti fenobarbital dan fenitoin,
sebaliknya akan meningkatkan absorbsi obat–obat yang bersifat basa lemah
seperti penisilin dan eritromisin. Waktu pengosongan dan pH lambung akan
mencapai tahap normal pada usia sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung
pada bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh karena itu
harus diperhatikan pada pemberian obat yang di absorbsi di lambung.

Peristaltik pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat karena
itu absorbsi obat di usus halus sulit di prediksi. Absorpsi perkutan meningkat pada
bayi dan anak-anak terutama pada bayi prematur karena kulitnya lebih tipis, lebih
lembab, dan lebih besar dalam ratio luas permukaan tubuh per kilogram berat
badan. Sebagai contoh terjadinya peningkatan absorpsi obat melalui kulit, terjadi
pada penggunaan 7 steroid, asam borat, heksaklorofen, iodium, asam salisilat dan
alcohol.

Absorpsi obat pada pemberian secara intramuskular bervariasi dan sulit


diperkirakan. Perbedaan masa otot, ketidakstabilan vasomotor perifer, kontraksi
otot dan perfusi darah yang relatif lebih kecil dari dewasa, kecuali persentase air
dalam otot bayi lebih besar dibandingkan dewasa. Efek total dari faktor-faktor ini
sulit diperkirakan, misalnya fenobarbital akan diabsorpsi secara cepat sedang
absorpsi diazepam memerlukan waktu lebih lama. Oleh karena itu, pemberian
secara intramuskular jarang dilakukan pada neonatus kecuali pada keadaan darurat
atau tidak dimungkinkannnya pemberian secara intra vena.
Pemberian obat secara rektal umumnya berguna untuk bayi dan anak yang
tidak memungkinkan menggunakan sediaan oral seperti pada kondisi muntah,
kejang. Namun demikian, seperti halnya pada pasien dewasa, ada kemungkinan
terjadinya variasi individu pada suplai darah ke rektum yang menyebabkan variasi
dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian secara rektal.

B. Distribusi

Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya
perbedaan volume cairan ekstraseluler, total air tubuh, komposisi jaringan lemak,
dan ikatan protein. Volume cairan ekstraseluler relatif lebih tinggi dibandingkan
orang- 8 orang dewasa, volume ini akan terus menurun seiring bertambahnya usia;
pada neonatus 50%, pada bayi berusia 4-6 bulan 35%, pada usia satu tahun 25%
sedangkan pada orang dewasa sebanyak 20-25% dari total berat badan. Hal lain
yang lebih penting adalah total cairan dalam tubuh akan lebih tinggi pada bayi
yang dilahirkan secara prematur (80-85% dari total berat badan) dibandingkan
pada bayi normal (75% dari total berat badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60%
dan pada orang dewasa (55% dari total berat badan). Besarnya volume cairan
ekstra sel dan total air tubuh akan menyebabkan volume distribusi dari obat-obat
yang larut dalam air contoh fenobarbital Na, penisillin dan aminoglikosida, akan
meningkat sehingga dosis mg/kg BB harus diturunkan.

Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan lemak pada bayi
dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi prematur 1-2% sedangkan pada bayi
lahir cukup bulan 15% sedangkan pada orang dewasa sekitar 20%. Sebagai
konsekuensinya volume

distribusi obat yang larut lemak pada bayi dan anak lebih kecil dibandingkan
dengan orang dewasa sehingga diperlukan penurunan dosis dan/atau penyesuaian
interval. Afinitas ikatan obat dengan protein plasma pada bayi dan anak lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa, hal ini ditambah pula dengan
terjadinya kompetisi untuk tempat ikatan obat tertentu oleh senyawa endogen
tertentu seperti bilirubin. Ikatan protein plasma seperti fenobarbital, salisilat dan
fenitoin pada neonatus lebih kecil daripada orang dewasa sehingga diperlukan
dosis yang lebih kecil atau interval yang lebih panjang.

Afinitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan orang dewasa pada
usia 10-12 bulan. Sebagai contoh, dosis gentamisin pada neonatus usia 0-7 hari 5
mg/kg BB setiap 48 jam, bayi usia 1 - 4 minggu tiap 36 jam, lebih dari 1 bulan
setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan 4 mg/kgBB setiap 24 jam.

C. Metabolisme
Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh rendahnya
aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi
empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi belum sempurna, terutama
pada proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan
asam sulfat berlangsung sempurna.

Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada


anak masih belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil dari
bagian ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur
metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia dan mungkin
memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun agar berkembang
sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada usia setelah satu tahun.
Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi lebih besar daripada
dosis dewasa agar tercapai konsentrasi plasma terapeutik. Hal ini disebabkan bayi
belum mampu melakukan 10 metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk
metabolit aktifnya.

D. Eliminasi melalui ginjal

Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus menurun dan bersihan


(clearance) obat tidak dapat di prediksi, tergantung cara eliminasi obat tersebut di
ginjal. Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui ginjal.
Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah 0,6–0,8 mL/menit per 1,73
m2 dan pada bayi adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses filtrasi glomerulus,
sekresi tubuler dan reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi ekskresi ginjal.
Proses perkembangan proses ini akan berlangsung sekitar beberapa minggu
sampai satu tahun setelah kelahiran.

Pengaruh penggunaan obat di dalam tubuh pada bayi


Patofisiologi pada bayi

http://eprints.undip.ac.id/44517/3/
Cahya_Suspimantari_22010110120024_BAB_2_KTI.pdf

https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1993/BAB%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y

http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1705/1783

Patofisiologi

Proses imun pada HDN dimulai saat terjadi sensitisasi pada kehamilan pertama saat
darah janin yang memasuki sirkulasi ibu.Inkompatibilitas rhesus umumnyasaat
persalinan terjadi perdarahan transplasentaanak pertama dengan Rh-D positif pada ibu
dengan Rh-D negatif, yang lebih sering pada komplikasi persalinan atau kala memanjang.
Sensitisasi juga dapat terjadi saat dilakukan prosedur klinik seperti terminasi kehamilan,
amniosentesis,kordosentesis atau saat pengambilan sampel villi chorialis. Adanya
ketidakcocokan golongan darah memicu ibu membentuk antibodi. Risiko sensitisasi
terhadap antigen Rh-D akan berkurang bila bayi ada ketidakcocokangolongan darah
ABO. Setiap sel bayi yang lolos ke dalam sirkulasi ibu akan dihancurkan cepat oleh anti-A
atau anti-B sehingga mengurangi kemungkinan terpaparnya antigen Rh-D.4,8Awalnya
anti-D ibu yang terbentuk pada saat tersensitisasi adalah Imunoglobulin (Ig) M yang
tidak dapat melalui plasenta. Stimulasi produksi IgG secara cepat akan terjadi pada
kehamilan berikutnya saat antigen Rh-D terdeteksi lagi (Gambar 1). IgG dapat melalui
plasenta dan memasuki sirkulasi bayi untuk berikatan dengan Rh-D pada eritrosit bayi
dan dihancurkan (hemolisis).

Kecepatan penghancuran eritrosit menentukan tingkat keparahan HDN menjadi ringan,


sedang atau berat. HDN ringan terjadi hemolisis dalam jumlah kecil yang masih dapat
ditoleransi oleh bayi dan menjadi anemia ringan saat dilahirkan.4,8Hemolisis dalam
jumlah yang besar akan meningkatkan bilirubin sebagai produk pemecahan, namun
kadar bilirubin dalam darah bayi akan tetap rendah selama kehamilan karena
kemampuan plasenta untuk mengangkut bilirubin dari sirkulasi janin.Setelah 24 jam
pasca dilahirkan, kadar bilirubin akan sangat cepat meningkat karena kehamilan
berikutnya saat antigen Rh-D hepar bayi belum matur dan tidak mampu memetabolisme
bilirubin yang menumpuk.Bilirubin dapat masuk ke dalam otak (kernikterus) bila kadar
tetap meningkat dan bersifat toksik terhadap sel-sel saraf sehinggga menimbulkan
komplikasi kerusakan saraf permanen bila bayi tetap hidup.4,6,8Hemolisis yang terjadi
sangat cepat dan lama akan menyebabkan anemia berat pada bayi. Hepar, limpa dan
organ lain mengkompensasi kebutuhan dengan cara meningkatkan produksi eritrosit.
Hal ini mengakibatkan hepatospleno-megali sampai gagal hati. Eritrosit imatur
(eritroblast) akan dikeluarkan ke sirkulasi sehingga disebut sebagai eritroblastosis fetali

Tidak seperti Inkompatibilitas Rh, anak pertama dapat mengalami HDN akibat
inkompatibilitas ABO karena IgG anti-A dan anti B normal ada didalam golongan darah
Odewasa sehingga eritrosit bayi menjadi target antigen diserang oleh 2 jenis antibodi.
HDN akibat inkompatibilitas ABO biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh karena
eritrosit janin lebih mengekspresikan lebih sedikit antigen golongan darah ABO
dibanding dewasa. Selain itu antigen golongan darah ABO diekspresikan dari berbagai
jaringan sehingga sedikit kemungkinan berikatannya anti-A dan anti-B terhadap antigen
target pada eritrosit bayi. Angka kejadian yang rendah pada HDN inkompatibilitas ABO
juga dapat diakibatkan tipe antibodi pada anti-A dan anti- B sebagian besar adalah IgM
yang tidak dapat melalui plasenta. Angkakejadian dan keparahan hiperbilirubinemia
pada HDN akibat inkompatibilitas ABO dimungkinkan oleh adanya variasi promotor gen
Uridin difosfatglukoniltransferase. Anemia berat disertai hidrops fetalis jarang
ditemukan.Hemolytic Disease of the Newborn(HDN) akibat inkompatibilitas Kell
umumnya dipicu oleh transfusi darah yang umum pada wanita ras Kaukasia. Patogenesis
HDN akibat Kell berbeda dengan rhesus dan tingkat keparahan lebih sulit diprediksi
dibandingkan dengan inkompatibilitas rhesus. Ikatan eritrosit terhadap anti-K dianggap
dapat menghambat aktivitas enzimatik glikoprotein Kell dan menekan
hematopoiesis.Anti-K menghancurkan progenitor eritroid awal pada hepar bayi melalui
proses imunologik. Dugaan ini timbul karena hemolisis pada inkompatibilitas Kell lebih
sedikit, dan jarang ditemukan hyperbilirubinemia psca kelahiran.
PATOFISIOLOGI BAYI PREMATUR

Penyebab terjadinya kelahiran prematur belum diketahui secara jelas. Data


statistik menunjukkan bahwa bayi lahir prematur terjadi pada ibu yang memiliki sosial
ekonomi rendah. Kejadian ini kurangnya perawatan pada ibu hamil karena tidak
melakukan antenatal care selama kehamilan. Asupan nutrisi yang tidak adekuat selama
kehamilan, infeksi pada uterus, dan komplikasi obstetrik yang lain merupakan pencetus
kelahiran bayi prematur. Ibu hamil dengan usia yang masih muda, mempunyai
kebiasaan merokok dan mengkomsumsi alhohol juga dapat menyebabkan terjadinya
bayi prematur. Faktor tersebut juga dapat mengakibatkan terganggunya fungsi plasenta
menurun dan memaksa bayi untuk keluar sebelum waktunya. Karena bayi lahir sebelum
masa gestasi yang cukup maka organ tubuh bayi belum matur sehingga bayi lahir
prematur memerlukan perawatan yang sangat khusus untuk memungkinkan bayi
beradaptasi dengan lingkungan luar (Tanto, 2014).

Dan bayi prematur juga relatif kurang mampu untuk bertahan hidup karena
struktur anatomi dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum bekerja seperti
bayi yang lebih tua. Kekurangan tersebut berpengaruh terhadap kesanggupan bayi
untuk mengatur dan mempertahankan suhu badannya dalam batas normal. Bayi
berisiko tinggi lain juga mengalami kesulitan yang sama karena hambatan atau gangguan
pada fungsi anatomi, fisiologi, dan biokimia berhubungan dengan adanya kelainan atau
penyakit yang diderita. Bayi prematur atau imatur tidak dapat mempertahankan suhu
tubuh dalam batas normal karena pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur,
kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat sebagai sumber kalori. Tidak ada atau
kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relative lebih luas akan
menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi kurang
atau tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh melalui aktivitas.
Selain itu kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang (Tanto, 2014).

Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat


dikelompokan dalam 4 golongan yaitu :
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
2) Inflamasi/infeksi
3) Perdarahan plasenta
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus
Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada
primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun
psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal
(HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini
menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stress
pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan
hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic
Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP),
interleukin-8, cyclooksigenase-2, dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen
plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal.

Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang


menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial
terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator
inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan
merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan
kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin
(prostaglandin dan endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan
dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada
serviks dan pecahnya kulit ketuban.

Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan


plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan
kontraksi miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi
dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin
menjadi trombin dan pada beberapa penelitian trombin
mampu menstimulasi kontraksi miometrium.

Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa


disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.
Perhitungan dosis pada bayi

https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/
73e4067fb2da489fbf2677adcc3f9701.pdf

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20181435-S33197-Riris%20Ediati.pdf

Dosis obat adalah sejumlah obat yang diberikan satu kali atau selama jangka
waktu tertentu sehingga memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa
(Joenoes, 2004). Macam-macam Dosis (Joenoes, 2004):
a. Dosis lazim
Dosis lazim dapat juga disebut dosis terapeutik atau dosis medicinalis,
yaitu sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita
dewasa.
b. Dosis permulaan (initial dose)
Dosis permulaan (initial dose) dapat juga disebut dosis awal (loading
dose), yaitu dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam tubuh yang menghasilkan efek klinis.
c. Dosis pemeliharaan (maintenance dose)
Dosis pemeliharaan (maintenance dose), yaitu dosis obat yang
diperlukan untuk memelihara, mempertahankan efek klinik atau
konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan dosis regimen.
d. Dosis toksik
Dosis toksik, yaitu dosis obat yang diberikan melebihi dosis terapi,
terutama obat yang tergolong racun dan ada kemungkinan terjadi
keracunan.
e. Dosis letalis
Dosis letalis, yaitu dosis toksik sampai terjadi kematian
Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat antara lain (Joenoes, 2004):
1. Faktor obatnya sendiri, dilihat dari sifat fisika seperti
kelarutan dalam lemak, sifat kimia seperti asam-basa
2. Cara pemberian obat kepada pasien (oral, rektal, lokal)
3. Faktor penderita seperti umur, berat badan, jenis kelamin, dan sebagainya.
Untuk obat-obat yang memiliki indeks terapi yang luas, maka metode ‘persentase’
dapat digunakan untuk memperoleh persentase terhadap dosis orang dewasa untuk
berbagai usia dan berat badan anak. Diantaranya adalah untuk usia balita yang
disajikan dalam tabel 1 berikut (Prest, 2003):

Tabel 2.1
Persentase terhadap dosis dewasa untuk berbagai usia dan berat badan anak

Usia Berat badan Luas permukaan Persentase terhadap


ideal (kg) tubuh (m2) dosis dewasa (%)*
Neonatus (full term) 3,5 0,23 12,5
1 bulan 4,2 0,26 14,5
3 bulan 5,6 0,32 18
6 bulan 7,7 0,40 22
1 tahun 10 0,47 25
3 tahun 15 0,62 33
5 tahun 18 0,73 40
*Metode perhitungan melalui persentase terhadap dosis orang dewasa sebaiknya
tidak digunakan jika terdapat perhitungan dosis anak dalam mg/kg atau mg/m2.
Neonatus mungkin memerlukan penyesuaian dosis (Prest,2003).

Dibidang pediatri, penentuan obat untuk terapi seringkali menemukan kesulitan


(Prest, 2003), terutama bila menyangkut pengobatan anak premature, anak baru
lahir, dan juga yang masih bayi (Joenoes, 2004). Alasannya ialah karena organ
penderita belum berfungsi secara sempurna (Prest, 2003), seperti hepar, ginjal,
dan susunan saraf pusat (Joenoes, 2004). Dalam praktek sehari-hari, banyak
rumus yang digunakan sebagai pendekatan untuk menghitung dosis obat untuk
anak yang membuktikan bahwa tidak satupun cara perhitungan dapat disebut atau
dinyatakan memuaskan untuk digunakan bagi semua obat. Contoh rumus
perhitungan dosis obat yang umum digunakan pada pasien balita berdasar umur
dengan dasar umur dewasa = 20-24 tahun (Joenoes, 2004):
1. Rumus Young
Dosis anak (<12 tahun) = (umur anak/umur anak+12) x dosis dewasa (mg)
2. Rumus Gabius
Dosis anak (sampai 1 tahun) = (1/12) x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (1-2 tahun) = (1/8) x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (2-3 tahun) = (1/6) x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (3-4 tahun) = (1/4) x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (4-7 tahun) = (1/3) x dosis dewasa (mg)
Berat badan digunakan untuk menghitung dosis yang dinyatakan dalam mg/kg.
Akan tetapi, perhitungan dosis anak dari dosis dewasa berdasarkan berat badan
saja, seringkali menghasilkan dosis anak yang terlalu kecil karena anak memiliki
laju metabolisme yang lebih tinggi, sehingga per kilogram berat badannya
seringkali membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa
(Setiawati, 2007). Contoh rumus perhitungan dosis obat yang umum digunakan
pada pasien balita berdasar berat badan dengan dasar bobot dewasa = 70 kg
(Joenoes, 2004):
1. Rumus Clark
Dosis anak = (bobot anak/ bobot dewasa) x dosis dewasa (mg)
2. Rumus Sagel
Dosis (0-20 minggu) = {[13 bobot anak+15]/100} x dosis dewasa (mg)
Dosis (20-52 minggu) = {[ 8 bobot anak + 7]/ 100} x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (1-9 tahun)= {[ 3 bobot anak +12]/100} x dosis dewasa (mg)
Luas permukaan tubuh lebih tepat untuk menghitung dosis anak karena banyak
fenomena fisik lebih erat hubungannya dengan luas permukaan tubuh (Setiawati
A. & Muchtar, 2007). Contoh rumus perhitungan dosis obat yang
umum digunakan pada pasien balita berdasar luas permukaan tubuh/LPT dengan
dasar LPT dewasa = 1,73 m2 (Joenoes, 2004):
1. Denekamp
Dosis anak = [(12n+13)/100] x dosis dewasa (mg)
2. Sagel
Dosis anak (0-20 minggu) = [(19n+12)/100] x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (20-52 minggu) = [(11n+15)/100] x dosis dewasa (mg)
Dosis anak (1-12 tahun) = [(4n+22)/100] x dosis dewasa (mg)

Anda mungkin juga menyukai