PENDAHULUAN
http://repository.wima.ac.id/6839/2/Bab%201.pdf
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
MDJmZGUyMmY5ZmI0OGRlMWM1ZTUwNDg4NDk4ZWI5MTMyMzJlNDJhMw==.pdf
https://docs.google.com/spreadsheets/d/1RCA90cS--
pKb8lsioDGCR9TDs0id4hrdf9W9lSjBxhg/edit#gid=0
Pijat bayi adalah seni perawatan kesehatan pada bayi dengan terapi sentuh dengan
teknik-teknik tertentu sehingga manfaat pengobatan dan kesehatan tercapai. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa pemijatan pada bayi memberikan manfaat sangat besar
pada perkembangan bayi, baik secara fisik maupun secara emosional. Pijat bayi akan
merangsang peningkatan aktivitas nervus vagus yang akan menyebabkan penyerapan
lebih baik pada sistem pencernaan sehingga bayi akan lebih cepat lapar dan ASI akan
lebih banyak diproduksi (Luize A, 2006).
Pengaruh positif sentuhan pada proses tumbuh kembang anak telah lama dikenal
manusia. Namun, penelitian ilmiah tentang hal ini masih belum banyak dilakukan. Kulit
merupakan organ tubuh manusia yang berfungsi sebagai reseptor terluas yang dimiliki
manusia. Sensasi sentuh/raba adalah indera yang aktif berfungsi sejak dini. Oleh karena
itu, sejak dalam kandungan, janin telah dapat merasakan belaian hangat cairan ketuban.
Pengalaman pijat yang pertama yang dialami manusia ialah pada waktu dilahirkan, yaitu
pada waktu melalui jalan lahir si ibu. (Fujita, Endoh,Saimon, & Yamaguchi, 2010)
manfaat pijat bayi pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) juga meningkatkan aktivitas
tonus vagus dalam bayi preterm yang menerima pijat. Sebab vagus innervates lambung
dan pancreas, peningkatkan aktivitas tonus vagus mungkin menyebabkan penambahan
berat badan yang lebih besar dengan meningkatkan kegiatan lambung dan
mempromosikan pelepasan insulin. Demikian pula, dengan menurunkan kortisol, terapi
pijat dapat memicu kenaikan berat badan dengan mengurangi inhibitory pengaruh
kortisol pada sekresi insulin (Field, 2010).
Selain itu, dengan menurunkan kortisol, terapi pijat dapat memicu kenaikan berat badan
dengan meningkatkan meningkatkan kadar IGF-1 sebagaimana kronik tingkat tinggi
kortisol menghambat pelepasan hormon pertumbuhan. Stimulasi umpan dan
peningkatan aktivitas tonus vagus juga telah dikaitkan dengan pelepasan hormone
penyerapan makanan (misalnya, gastrin) yang dapat memberikan kontribusinya untuk
lebih efisien penyerapan makanan.(Field et al.,2008)
Lama waktu yang digunakan dalam pemijatan tidak ada ketentuan baku. Namun,
berdasarkan banyak penelitian yang mengalokasikan waktu pemijatan sekitar 15 menit.
Dalam penelitian oleh field, menilai efek kumulatif dari 5 hari terapi pijat (tiga pijat
sehari atau sebanyak 15 pijat) pada bayi prematur aktivitas dan stress perilaku
menggunakan desain kelompok acak terkontrol. Lima hari pijat dipilih karena studi
terbaru oleh kelompok kami telah menentukan kerangka waktu ini efektif untuk
meningkatkan bayi prematur dan perkembangan (Field et al., 2008)
http://repository.ump.ac.id/6791/3/BAB%20II_IKHSAN%20MANAFI_FARMASI
%2713.pdf
https://eprints.umbjm.ac.id/472/4/BAB%202.pdf
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/generics/article/download/9850/5167
A. Absorpsi
Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak sebanding dengan pasien
dewasa. Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum sebanyak pada dewasa,
sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut akan menurunkan
absorbsi obat – obat yang bersifat asam lemah seperti fenobarbital dan fenitoin,
sebaliknya akan meningkatkan absorbsi obat–obat yang bersifat basa lemah
seperti penisilin dan eritromisin. Waktu pengosongan dan pH lambung akan
mencapai tahap normal pada usia sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung
pada bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh karena itu
harus diperhatikan pada pemberian obat yang di absorbsi di lambung.
Peristaltik pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat karena
itu absorbsi obat di usus halus sulit di prediksi. Absorpsi perkutan meningkat pada
bayi dan anak-anak terutama pada bayi prematur karena kulitnya lebih tipis, lebih
lembab, dan lebih besar dalam ratio luas permukaan tubuh per kilogram berat
badan. Sebagai contoh terjadinya peningkatan absorpsi obat melalui kulit, terjadi
pada penggunaan 7 steroid, asam borat, heksaklorofen, iodium, asam salisilat dan
alcohol.
B. Distribusi
Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya
perbedaan volume cairan ekstraseluler, total air tubuh, komposisi jaringan lemak,
dan ikatan protein. Volume cairan ekstraseluler relatif lebih tinggi dibandingkan
orang- 8 orang dewasa, volume ini akan terus menurun seiring bertambahnya usia;
pada neonatus 50%, pada bayi berusia 4-6 bulan 35%, pada usia satu tahun 25%
sedangkan pada orang dewasa sebanyak 20-25% dari total berat badan. Hal lain
yang lebih penting adalah total cairan dalam tubuh akan lebih tinggi pada bayi
yang dilahirkan secara prematur (80-85% dari total berat badan) dibandingkan
pada bayi normal (75% dari total berat badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60%
dan pada orang dewasa (55% dari total berat badan). Besarnya volume cairan
ekstra sel dan total air tubuh akan menyebabkan volume distribusi dari obat-obat
yang larut dalam air contoh fenobarbital Na, penisillin dan aminoglikosida, akan
meningkat sehingga dosis mg/kg BB harus diturunkan.
Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan lemak pada bayi
dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi prematur 1-2% sedangkan pada bayi
lahir cukup bulan 15% sedangkan pada orang dewasa sekitar 20%. Sebagai
konsekuensinya volume
distribusi obat yang larut lemak pada bayi dan anak lebih kecil dibandingkan
dengan orang dewasa sehingga diperlukan penurunan dosis dan/atau penyesuaian
interval. Afinitas ikatan obat dengan protein plasma pada bayi dan anak lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa, hal ini ditambah pula dengan
terjadinya kompetisi untuk tempat ikatan obat tertentu oleh senyawa endogen
tertentu seperti bilirubin. Ikatan protein plasma seperti fenobarbital, salisilat dan
fenitoin pada neonatus lebih kecil daripada orang dewasa sehingga diperlukan
dosis yang lebih kecil atau interval yang lebih panjang.
Afinitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan orang dewasa pada
usia 10-12 bulan. Sebagai contoh, dosis gentamisin pada neonatus usia 0-7 hari 5
mg/kg BB setiap 48 jam, bayi usia 1 - 4 minggu tiap 36 jam, lebih dari 1 bulan
setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan 4 mg/kgBB setiap 24 jam.
C. Metabolisme
Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh rendahnya
aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi
empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi belum sempurna, terutama
pada proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan
asam sulfat berlangsung sempurna.
http://eprints.undip.ac.id/44517/3/
Cahya_Suspimantari_22010110120024_BAB_2_KTI.pdf
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1993/BAB%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1705/1783
Patofisiologi
Proses imun pada HDN dimulai saat terjadi sensitisasi pada kehamilan pertama saat
darah janin yang memasuki sirkulasi ibu.Inkompatibilitas rhesus umumnyasaat
persalinan terjadi perdarahan transplasentaanak pertama dengan Rh-D positif pada ibu
dengan Rh-D negatif, yang lebih sering pada komplikasi persalinan atau kala memanjang.
Sensitisasi juga dapat terjadi saat dilakukan prosedur klinik seperti terminasi kehamilan,
amniosentesis,kordosentesis atau saat pengambilan sampel villi chorialis. Adanya
ketidakcocokan golongan darah memicu ibu membentuk antibodi. Risiko sensitisasi
terhadap antigen Rh-D akan berkurang bila bayi ada ketidakcocokangolongan darah
ABO. Setiap sel bayi yang lolos ke dalam sirkulasi ibu akan dihancurkan cepat oleh anti-A
atau anti-B sehingga mengurangi kemungkinan terpaparnya antigen Rh-D.4,8Awalnya
anti-D ibu yang terbentuk pada saat tersensitisasi adalah Imunoglobulin (Ig) M yang
tidak dapat melalui plasenta. Stimulasi produksi IgG secara cepat akan terjadi pada
kehamilan berikutnya saat antigen Rh-D terdeteksi lagi (Gambar 1). IgG dapat melalui
plasenta dan memasuki sirkulasi bayi untuk berikatan dengan Rh-D pada eritrosit bayi
dan dihancurkan (hemolisis).
Tidak seperti Inkompatibilitas Rh, anak pertama dapat mengalami HDN akibat
inkompatibilitas ABO karena IgG anti-A dan anti B normal ada didalam golongan darah
Odewasa sehingga eritrosit bayi menjadi target antigen diserang oleh 2 jenis antibodi.
HDN akibat inkompatibilitas ABO biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh karena
eritrosit janin lebih mengekspresikan lebih sedikit antigen golongan darah ABO
dibanding dewasa. Selain itu antigen golongan darah ABO diekspresikan dari berbagai
jaringan sehingga sedikit kemungkinan berikatannya anti-A dan anti-B terhadap antigen
target pada eritrosit bayi. Angka kejadian yang rendah pada HDN inkompatibilitas ABO
juga dapat diakibatkan tipe antibodi pada anti-A dan anti- B sebagian besar adalah IgM
yang tidak dapat melalui plasenta. Angkakejadian dan keparahan hiperbilirubinemia
pada HDN akibat inkompatibilitas ABO dimungkinkan oleh adanya variasi promotor gen
Uridin difosfatglukoniltransferase. Anemia berat disertai hidrops fetalis jarang
ditemukan.Hemolytic Disease of the Newborn(HDN) akibat inkompatibilitas Kell
umumnya dipicu oleh transfusi darah yang umum pada wanita ras Kaukasia. Patogenesis
HDN akibat Kell berbeda dengan rhesus dan tingkat keparahan lebih sulit diprediksi
dibandingkan dengan inkompatibilitas rhesus. Ikatan eritrosit terhadap anti-K dianggap
dapat menghambat aktivitas enzimatik glikoprotein Kell dan menekan
hematopoiesis.Anti-K menghancurkan progenitor eritroid awal pada hepar bayi melalui
proses imunologik. Dugaan ini timbul karena hemolisis pada inkompatibilitas Kell lebih
sedikit, dan jarang ditemukan hyperbilirubinemia psca kelahiran.
PATOFISIOLOGI BAYI PREMATUR
Dan bayi prematur juga relatif kurang mampu untuk bertahan hidup karena
struktur anatomi dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum bekerja seperti
bayi yang lebih tua. Kekurangan tersebut berpengaruh terhadap kesanggupan bayi
untuk mengatur dan mempertahankan suhu badannya dalam batas normal. Bayi
berisiko tinggi lain juga mengalami kesulitan yang sama karena hambatan atau gangguan
pada fungsi anatomi, fisiologi, dan biokimia berhubungan dengan adanya kelainan atau
penyakit yang diderita. Bayi prematur atau imatur tidak dapat mempertahankan suhu
tubuh dalam batas normal karena pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur,
kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat sebagai sumber kalori. Tidak ada atau
kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relative lebih luas akan
menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi kurang
atau tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh melalui aktivitas.
Selain itu kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang (Tanto, 2014).
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/
73e4067fb2da489fbf2677adcc3f9701.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20181435-S33197-Riris%20Ediati.pdf
Dosis obat adalah sejumlah obat yang diberikan satu kali atau selama jangka
waktu tertentu sehingga memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa
(Joenoes, 2004). Macam-macam Dosis (Joenoes, 2004):
a. Dosis lazim
Dosis lazim dapat juga disebut dosis terapeutik atau dosis medicinalis,
yaitu sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita
dewasa.
b. Dosis permulaan (initial dose)
Dosis permulaan (initial dose) dapat juga disebut dosis awal (loading
dose), yaitu dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam tubuh yang menghasilkan efek klinis.
c. Dosis pemeliharaan (maintenance dose)
Dosis pemeliharaan (maintenance dose), yaitu dosis obat yang
diperlukan untuk memelihara, mempertahankan efek klinik atau
konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan dosis regimen.
d. Dosis toksik
Dosis toksik, yaitu dosis obat yang diberikan melebihi dosis terapi,
terutama obat yang tergolong racun dan ada kemungkinan terjadi
keracunan.
e. Dosis letalis
Dosis letalis, yaitu dosis toksik sampai terjadi kematian
Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat antara lain (Joenoes, 2004):
1. Faktor obatnya sendiri, dilihat dari sifat fisika seperti
kelarutan dalam lemak, sifat kimia seperti asam-basa
2. Cara pemberian obat kepada pasien (oral, rektal, lokal)
3. Faktor penderita seperti umur, berat badan, jenis kelamin, dan sebagainya.
Untuk obat-obat yang memiliki indeks terapi yang luas, maka metode ‘persentase’
dapat digunakan untuk memperoleh persentase terhadap dosis orang dewasa untuk
berbagai usia dan berat badan anak. Diantaranya adalah untuk usia balita yang
disajikan dalam tabel 1 berikut (Prest, 2003):
Tabel 2.1
Persentase terhadap dosis dewasa untuk berbagai usia dan berat badan anak