Anda di halaman 1dari 215

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Oleh
QURATUL AINI
NIM: 160402025

Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk


mendapatkan gelar Magister Hukum

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018
ii
PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Pembimbing:
Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag
Dr. Khairul Hamim, MA

Oleh
QURATUL AINI
NIM: 160402025

Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk


mendapatkan gelar Magister Hukum

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018

iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis oleh: Quratul Aini, NIM: 160402025 dengan judul, “Pelanggaran Taklik
Talak Sebagai Alasan Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang” telah
memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.

Disetujui pada tanggal: 21 Desember 2018

iv
v
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME

vii
PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Oleh
QURATUL AINI
NIM: 160402025

ABSTRAK

Taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara
atau alasan-alasan tertentu yang telah disepakati. Taklik talak bukan suatu
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik
talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Apabila di kemudian hari
salah satu atau semua yang telah diikrarkan terjadi maka istri dapat
mengadukannya ke Pengadilan Agama dan apabila alasannya terbukti maka
hakim akan memutuskan perkawinannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran
taklik talak yang dijadikan sebagai alasan perceraian dan untuk mengetahui
pertimbangan hukum yang diterapkan oleh hakim dalam memeriksa pelanggaran
taklik talak yang dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri
Menang.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan maqa>s}id al-syari>’ah. Penelitian
ini melibatkan hakim, panitera dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan
penelitian penulis di Pengadilan Agama Giri Menang. Penggalian data dilakukan
dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk pelanggaran taklik
talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan
istri 2 tahun berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)
Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan
istri selama 6 bulan atau lebih. Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, antara lain: Pertama,
pertimbangan hukum, ketika hakim menjatuhkan putusannya, hakim
mempertimbangkan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua,
pertimbangan maslahat, yakni mempertimbangkan kondisi rumah tangga para
pihak yang sudah pecah, ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih
mendatangkan maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat. Jika mafasadatnya
lebih besar maka majelis hakim akan mengabulkan gugatan tersebut. Sedangkan
dasar hukum yang diterapkan pada perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM adalah
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 45, pasal 46
dan Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, serta Peraturan Menteri Agama
Nomor 2 Tahun 1990, hadis dan dalil fikih.

Kata Kunci: Pelanggaran, Taklik Talak, Alasan, Perceraian.

viii
ix
x
MOTTO

            

      

Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang


mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)
kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat (Q.S. Al-Mujadalah
(58): 1).1

1
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2011 ), 542.

xi
PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku, ayahanda dan ibunda yang selalu memberikan


motivasinya, do’anya, keikhlasannya, dan kasih sayangnya yang tak
terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dengan bangga
ananda persembahkan tesis ini kepada engkau ayahanda dan ibunda.
2. Anak-anakku (Thoriq Alfaridzi dan Rifky Syahrial) serta keluarga besar yang
aku sayangi yang selalu memberikan dorongan, motivasi, dan bantuannya
baik berupa moril maupun materil.
3. Dosen-dosen khususnya dosen pembimbing yang penuh kebijaksanaan dan
kesabaran memberikan bimbingannya sehingga saya menjadi orang yang
berilmu.
4. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang ikut serta dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. Teman-teman kelas ku pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah tanpa
terkecuali, yang selalu aku cintai.
6. Almamaterku dan kampus tercinta UIN Mataram.

xii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.


karena atas hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan baik dan tepat waktu. Segala nikmat yang Allah berikan telah
menguatkan hati Penulis untuk selalu menuntut ilmu. Selanjutnya salawat beserta
salam kepada sang revolusioner Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan
andil besar terhadap perubahan peradaban manusia.
Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram. Tesis ini
membahas tentang “Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian Di
Pengadilan Agama Giri Menang”. Tesis ini ditulis untuk pengembangan keilmuan
dalam hukum Islam, khususnya bidang Hukum Keluarga di Indonesia.
Selesainya penulisan tesis ini sesuai dengan target waktu yang telah
penulis tentukan. Dalam hal ini, terlalu banyak pihak-pihak yang ikut andil
membantu penulis menyelesaikannya. Oleh karena itu, kepada semua pihak yang
turut membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis hanya mampu mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya dan mudah-mudahan Allah SWT memberikan
balasan yang setimpal. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada Yth:
1. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag. sebagai Pembimbing I dan Dr. Khairul
Hamim, MA. sebagai Pembimbing II yang memberikan bimbingan, motivasi,
dan koreksi mendetail, terus-menerus, dan tanpa bosan di tengah
kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan tesis ini lebih matang dan
selesai;
2. Dr. H. Adi Fadli, M.Ag dan Atun Wardatun, M.A, Ph.D, sebagai penguji
yang telah memberikan saran konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini;
3. Dr. Hj. Teti Indrawati Purnamasari, SH., M.Hum. sebagai Ketua Prodi Ahwal
Al-Syakhshiyyah Program Magister Pascasarjana UIN Mataram;
4. Prof. Dr. Suprapto, M.Ag. selaku Direktur Pascasarjana UIN Mataram;

xiii
5. Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag, selaku Rektor UIN Mataram yang telah
memberikan tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberi
bimbingan dan peringatan untuk tidak berlama-lama di kampus tanpa pernah
selesai.
6. Buat sahabat karib angkatan 2016 Program Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Mataram yang telah meninggalkan kesan persahabatan yang begitu
mendalam untuk kenangan di masa yang akan datang. Khususnya teman kelas
pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Penulis mengucapkan
terimakasih yang setulusnya kepada seluruh pihak yang tidak mungkin
disebutkan satu-persatu.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan sumbangsih kepada semua
pihak. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif
demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis tetap berkarya dan dapat
memberikan manfaat untuk agama, bangsa dan negara. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Mataram, 5 Januari 2019


Penulis,

Quratul Aini

xiv
PEDOMAN TRANSLITRASI

Pedoman Translitrasi: Arabic Romanization Table dengan Font Time New Arabic

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ s} = ‫ص‬ l = ‫ل‬

h} = ‫ح‬ d} = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ t} = ‫ط‬ n = ‫ن‬

d = ‫د‬ z} = ‫ظ‬ h = ‫ه‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

Short : a =َ i =َ u =َ
Long : a =‫ا‬ i> = ‫ي‬ u> =‫و‬
>
Diphthong : ay = ‫ا ي‬ aw = ‫او‬

xv
DAFTAR ISI

KOVER LUAR ........................................................................................... i


LEMBAR LOGO ....................................................................................... ii
KOVER DALAM ....................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iv
PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... vi
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ......................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................. viii
MOTTO ...................................................................................................... xi
PERSEMBAHAN ....................................................................................... xii
KATA PENGANTAR ................................................................................ xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..................................... xv
DAFTAR ISI ............................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xx
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Permasalahan ......................................................................... 8
1. Identifikasi Masalah.......................................................... 8
2. Pembatasan Masalah ......................................................... 9
3. Rumusan Masalah ............................................................ 9
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 9
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...................................... 10
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................................. 17
G. Kerangka Teori ..................................................................... 22
H. Sistematika Pembahasan ...................................................... 25
BAB II TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK 28
A. Tinjauan Umum Perceraian .................................................. 28
1. Pengertian Perceraian ...................................................... 28
2. Sebab-sebab Perceraian ................................................... 30
B. Tinjauan Umum Taklik Talak .............................................. 34
1. Konsep Akad dalam Islam ............................................... 34
2. Pengertian Taklik Talak ................................................... 37
3. Sejarah Perkembangan Taklik Talak ............................... 40

xvi
4. Landasan Hukum Taklik Talak Menurut Hukum Islam .. 45
5. Taklik Talak Menurut Perundang-undangan di Indonesia 48
6. Akibat Hukum Taklik Talak ............................................ 50
7. Tujuan Diadakan Taklik Talak ........................................ 51
8. Kedudukan Taklik Talak dalam Hukum Perjanjian ........ 53
C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus
Perkara di Pengadilan Agama .............................................. 58
1. Pengertian Maqa>s}id al-Syari>’ah ............................... 59
2. Tujuan al-Syari>’ah ........................................................ 61
3. Maqa>s}id al-Syari>’ah dalam Ijtihad ........................... 67
4. Kehujjahan Maqa>s}id al-Syari>’ah .............................. 68
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG ................................................................................... 73
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Giri Menang ............ 73
1. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Giri
Menang ............................................................................ 73
2. Letak Geografis Pengadilan Agama Giri Menang ........... 77
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang ............... 78
4. Rencana Strategis Pengadilan Agama Giri Menang ........ 79
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang ..... 79
6. Penyusunan Alur Tupoksi Pengadilan Agama Giri
Menang ............................................................................ 82
7. Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut Pengadilan
Agama Giri Menang ........................................................ 85
8. Kondisi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang ............ 89
9. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Giri Menang
Tahun 2014-2017 ............................................................. 94
10. Gambaran Perkara Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 97
B. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan
Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang .................... 99
C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik
Talak Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak
Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM. .......................................... 103

xvii
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM
TERHADAP PELANGGARAN TAKLIK TALAK
SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA GIRI MENANG ......................................................... 114
A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan
Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang ................... 114
B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik
Talak Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai
Talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM. ............................... 128
1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 128
2. Dasar Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 151

BAB V PENUTUP .................................................................................... 159


A. Kesimpulan ........................................................................... 159
B. Implikasi Teoritis .................................................................. 160
C. Saran ..................................................................................... 161

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 163


LAMPIRAN ................................................................................................ 168

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Nama-Nama Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, 91.


Tabel 3.2 Penerimaan Perkara Menurut Jenisnya Tahun 2014-2017, 96.

xix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang, 81

xx
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


Lampiran 2 : Hasil Penelitian
Lampiran 3 : Izin Penelitian
Lampiran 4 : Salinan Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM

xxi
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada prinsipnya, Islam tidak menghendaki terjadinya perceraian,
karena perkawinan merupakan ikatan yang kuat, yang diharapkan dapat
mewujudkan keluarga bahagia dan kekal sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun
demikian, Islam juga tidak menutup diri terhadap perceraian yang memang
bisa saja terjadi dengan berbagai alasan. Perceraian tersebut dilakukan dengan
suatu prinsip lebih mendahulukan menolak mafsadat (kerusakan) daripada
mengambil suatu mas}lah}ah (kebaikan) dalam perkawinan, sehingga
perceraian merupakan pintu darurat dari ikatan perkawinan.
Meski dibolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu merupakan suatu
perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan
kemaslahatan antara suami istri.2 Nabi SAW Bersabda:

‫ض ا ْْلَ ََل ِل َإَل اهللِ الطَّ ََلق (رواه‬ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ َ‫ال أبْغ‬ ِّ ِ‫َعن ابْ ِن ُع َمر َع ِن الن‬
َ ‫َِّب‬
3
)‫أبو داود‬
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Perkara halal
yang paling dibenci Allah ialah talak” (HR. Abu Daud, No. 2178).
Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Allah membolehkan
untuk bercerai dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk
mempertahankan perkawinan. Artinya, perceraian merupakan jalan terakhir
(jalan darurat) yang dapat dilalui oleh suami dan istri apabila keutuhan rumah
tangga tidak mampu dijaga dan dipertahankan. Jalan atau alternatif terakhir
berarti suami istri telah berusaha menempuh berbagai cara untuk mencari titik
temu agar bisa berdamai di antara kedua belah pihak. Namun langkah yang
ditempuh tersebut ternyata tidak mampu mengatasi semua permasalahan yang

2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II (Kairo: al-Fath Lil I’lam al-Arobi, t.t.), 155.
3
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.t.), 255.
2

terjadi dalam kehidupan rumah tangga, sehingga perceraian merupakan pilihan


terakhir yang ditempuh untuk mengakhiri berbagai persoalan yang ada. 4
Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dapat
mengakibatkan perselisihan, pertengkaran, permusuhan dan penyelewengan
yang bisa mengarah pada hilangnya keharmonisan dalam keluarga. Salah satu
yang menjadi penyebab perselisihan dalam keluarga adalah masalah keuangan
atau ekonomi keluarga. Permasalahan ekonomi mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan keluarga pada khususnya dan kehidupan bermasyarakat
pada umumnya. Bahkan, permasalahan ekonomi ini seringkali menjadi alasan
sebagian besar masyarakat untuk mengajukan perceraian ke pengadilan agama
karena dianggap telah terjadi pelanggaran taklik talak bagi mereka yang
mengikrarkannya ketika akad nikah.
Pada umumnya, taklik talak berarti talak yang digantungkan atau
dihubungkan dengan syarat-syarat tertentu. Jika syarat yang diucapkan tersebut
terpenuhi, maka jatuhlah talak yang digantungkan tersebut. Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, taklik talak merupakan sebuah ikrar yang
diucapkan oleh suami, dengan ikrar itu suami telah menggantungkan terjadinya
talak terhadap istrinya. Jika di kemudian hari pihak suami melanggar salah satu
atau semua syarat yang telah diikrarkan, maka jatuhlah talak suami terhadap
istrinya.5
Eksistensi konsep taklik talak tidak dapat dipisahkan dengan perceraian,
karena dalam peraturan hukum yang berlaku di Indonesia taklik talak dapat
dijadikan sebagai salah satu alasan untuk mengajukan perceraian. Hal ini telah
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa taklik talak
merupakan sebuah perjanjian talak.6 Sebagaimana diketahui bahwa pada
prinsipnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mempersulit terjadinya
perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam praktek peradilan di Pengadilan Agama
pada perkara perceraian. Dalam mengabulkan gugatan perceraian yang

4
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 73.
5
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan
Bintang, 2010), 227.
6
Kompilasi Hukum Islam Pasal 45 ayat (2).
3

diajukan oleh pihak suami atau istri, hakim harus melihat apakah alasan yang
diajukan oleh para pihak sudah sesuai dengan salah satu alasan yang diatur
dalam undang-undang. Apabila alasan-alasan yang diajukan oleh para pihak
tidak sesuai dengan undang-undang, maka bisa saja hakim menolak
permohonan atau gugatan perceraian tersebut.
Adapun alasan-alasan perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 pasal 19, sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinannya berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihkan, pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7
Di samping alasan-alasan di atas, dalam KHI ditambah dua alasan lagi,
sebagaimana termuat dalam pasal 116 huruf g dan h, yaitu:
g. Suami melanggar taklik talak, dan
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.8
Di Indonesia merupakan hal yang biasa bagi suami untuk mengucapkan
taklik talak pada saat memulai ikatan perkawinan. Suami mengajukan syarat
jika dia menyakiti istrinya atau tidak menghiraukanya selama jangka waktu
tertentu, maka pengaduan istri kepada Pengadilan Agama akan menyebabkan

7
Citra Umbara, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2012), 42.
8
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 357.
4

istri tersebut terceraikan. Hal ini menunjukkan bahwa taklik talak mempunyai
akibat hukum pada pasangan suami istri.9
Dalam tata cara pernikahan (adat Islam Indonesia) telah diatur sebuah
bentuk perjanjian dari seorang suami terhadap seorang istri yang telah tertera di
setiap buku nikah. Pembacaan taklik talak disarankan untuk dibaca mempelai
laki-laki setelah mengucapkan akad nikah, hal ini sudah menjadi kebiasaan dari
adat pernikahan menurut agama Islam yang ada di Indonesia. Salah satu
manfaat dari taklik talak berguna untuk menjaga hak-hak istri dari tindakan
sewenang-wenang suami.10
Taklik talak menurut pengertian hukum di Indonesia adalah semacam
ikrar. Dengan ikrar itu suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas
istrinya. Apabila ternyata di kemudian hari melanggar salah satu atau semua
yang telah diikrarkan, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama.11 Di dalam pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 telah dijelaskan
tentang perjanjian perkawinan bahwa:
1. Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat pernikahan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
pengubahan tidak merugikan pihak ketiga.12
Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal
ini tidak termasuk taklik talak. Hal ini berbeda dalam penjelasan Peraturan

9
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: Inis,
2008), 78-81.
10
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahriyah, 2010), 386-387.
11
Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam, 207.
12
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 45.
5

Menteri Agama No. 3 tahun 1975 pasal 11 ayat 1, 3, dan 4 dijelaskan: (1)
Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. (2) Ada atau tidak adanya perjanjian itu dicatat dalam
daftar pemeriksaan nikah. (3) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah
kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad
nikah dilangsungkan. (4) Sigat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Penjelasan di dalam PMA tahun 1975 tersebut secara tidak langsung
telah menjelaskan satu aturan yang bertolak belakang dengan yang ada di
dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dari hal ini Kompilasi Hukum Islam
menggarisbawahi apa yang ada di dalam pasal 11 PMA tahun 1975 yang
dituangkan di dalam pasal 45 hingga pasal 52.
Perjanjian perkawinan yang telah dijelaskan dalam pasal 29 UU No. 1
tahun 1974 memberikan gambaran yang berbeda dari PMA No. 3 tahun 1975
mengenai perjanjian perkawinan. Di dalam PMA tersebut dijelaskan secara
jelas bahwa taklik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Seperti
yang dijelaskan di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 46: (1) Isi taklik talak
tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang
disyaratkan di dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan
sendirinya talak jatuh, supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus
mengajukan persoalanya ke Pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak
bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.13
Ayat (3) di atas jika ditelaah lagi bertentangan dengan pasal 29 UU No.
tahun 1974 ayat (4). Di dalam UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa selama
perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan
dari kedua belah pihak. Dari penjelasan ini yang dijelaskan dalam perjanjian
perkawinan tidak termasuk taklik talak. Naskah perjanjian taklik talak
dilampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah ditandatangani suami.
Walaupun taklik talak telah dituliskan dalam buku nikah, namun bukan
sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali taklik talak telah

13
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 335-336.
6

diucapkan maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali. Apabila
perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran taklik
talak yang dilakukan oleh suami misalnya, istri berhak mengajukan gugatan
perceraian.14
Berkaitan dengan permasalahan di atas, ada sebuah kasus di Pengadilan
Agama Giri Menang yakni pada putusan perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
Biasanya yang mengajukan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak
adalah pihak istri yang merasa dirugikan oleh pihak suami. Namun dalam
perkara tersebut yang mengajukan perkara perceraian justru sebaliknya, pihak
suami mengajukan permohonan cerai talak dengan alasan telah melanggar
taklik talak yang telah diucapkan. Hal ini secara sekilas tentu akan
menimbulkan pertanyaan, mengapa pihak suami yang mengajukan perkara
perceraian ke pengadilan padahal dia sendiri yang telah melanggar taklik talak
yang telah diucapkan. Dalam perkara tersebut yang menjadi korban adalah
pihak istri karena suami telah melakukan perselingkuhan. Seharusnya yang
mengajukan perceraian dengan alasan taklik talak adalah pihak istri.
Berawal sejak tanggal 5 Nopember 2012, Pemohon (sumai) mempunyai
hubungan khusus dengan perempuan lain , hubungan khusus tersebut diketahui
oleh Termohon (istri) pada tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah
pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon. Pemohon berusaha untuk
meminta maaf dan Termohon mau memaafkan Pemohon dengan syarat
Pomohon harus menanda tangani perjanjian yang isinya: “Pemohon tidak akan
pacaran lagi dan jika perjanjian ini Pemohon langgar maka jatuhlah talak tiga
Pemohon terhadap Termohon”.15
Pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan Pemohon sedang
berduaan dengan perempuan lain (perempuan yang pernah menjadi
selingkuhan pemohon), oleh karena Pemohon telah membuat perjanjian
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2006), 141.
15
Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
7

tersebut, maka Termohon menganggap telah jatuh talak Pemohon (talak tiga
sekaligus) terhadap Termohon. Pemohon sangat meragukan isi perjanjian
tersebut, karena tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon.
Pemohon dengan Termohon menginginkan kembali rukun dan membina rumah
tangga namun tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh masyarakat maupun
tokoh agama di tempat Pemohon bertempat tinggal dan menganggap telah
jatuh talak tiga Pemohon kepada Termohon.16
Disebabkan rasa ragu apakah telah jatuh talak atau tidak melalui
perjanijain tersebut, akhirnya pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama Giri Menang untuk mendapatkan kepastian hukum. Dalam
permohonannya, pemohon mengungkapkan bahwa telah terjadi pertengkaran
antara pemohon dengan istrinya yang disebabkan karena pemohon (suami)
diketahui telah menjalin hubungan khusus dengan perempuan lain. Pemohon
berusaha untuk meminta maaf kepada termohon, akan tetapi termohon (istri)
mau memaafkan dengan syarat pemohon membuat surat perjanjian (taklik
talak) tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jika perjanjian (taklik talak)
tersebut dilanggar maka jatuhlah talak tiga pemohon terhadap termohon.
Namun tidak berselang lama, pemohon (suami) kembali menjalin hubungan
dengan wanita lain tersebut dan termohon (istri) mengetahui hal tersebut dan
menganggap telah jatuh talak tiga pemohon terhadap termohon. Akibatnya
pemohon pergi meninggalkan termohon dan pulang ke rumah orang tua
pemohon sendiri.17
Perkara tersebut menarik untuk diteliti secara lebih mendalam karena
yang seharusnya mengajukan perceraian adalah pihak yang dirugikan yakni
pihak istri. Dalam perkara tersebut Pemohon dalam taklik talaknya
menggantungkan talak tiga jika dia mengulangi perbuatannya (menjalin
hubungan dengan perempuan lain). Sekilas maksud dari permohonan cerai
yang diajukan oleh pemohon adalah agar bisa kembali lagi dengan istrinya. Hal
ini terkesan bahwa pemohon ingin merekayasa hukum.

16
Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
17
Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
8

Berdasarkan fakta-fakta di atas, menjadi alasan penulis untuk


mengetahui secara jelas duduk perkaranya, dan mengkaji terhadap
pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian karena pelanggaran
taklik talak dilihat dari hukum Islam. Kajian ini akan diimplementasikan dalam
bentuk karya ilmiah berupa tesis dengan judul “Pelanggaran Taklik Talak
Sebagai Alasan Perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan
Perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM).”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan
yang muncul, di antaranya:
a. Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka perceraian melalui
penyuluhan-penyuluhan keluarga, namun permasalahan dalam rumah
tangga yang dihadapi oleh pasangan suami istri semakin komplek
sehingga banyak pasangan suami istri yang mengakhiri bahtera rumah
tangga melalui perceraian.
b. Taklik talak pada dasarnya bertujuan untuk mengantisipasi agar suami
tetap menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang
berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Namun
terkadang taklik talak tersebut menjadi bumerang yang sewaktu-waktu
mengancam keutuhan rumah tangga. Banyak pihak suami terkadang
tidak menyadari bahwa dia telah melanggar taklik talak dan
menimbulkan keraguan sehingga mengajukan cerai talak untuk
mendapatkan kepastian hukum.
c. Sebagian besar masyarakat belum memahami fungsi taklik talak,
sehingga belum banyak yang menerapkan taklik talak tersebut ketika
berlangsungnya akad nikah. Ada sebagian masyarakat yang menganggap
bahwa ketika suami tidak menafkahi istrinya 3 bulan berturut-turut maka
dianggap telah jatuh talak. Padahal taklik talak tersebut berfungsi sebagai
salah satu alasan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama
ketika suami melanggarnya. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya
9

sosialisasi dari pemerintah tentang taklik talak tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan, baik melalui pengajian,
penyuluhan dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu luas pembahasannya dan tetap pada
jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya berkisar
pada persoalan bentuk-bentuk taklik talak yang dijadikan sebagai alasan
perceraian dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
memutuskan pelanggaran taklik talak dalam perkara Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
3. Rumusan Masalah
Dalam rangka memperoleh dan coba masuk pada pembahasan yang
lebih sistematis dan logis, penulis perlu membuat beberapa rumusan
masalah sebagai patokan dan fokus bahasan pada bab-bab dan paparan-
paparan selanjutnya. Adapun rumusan masalah yang akan penulis kaji
dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan
sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang?
b. Bagaimana pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang
terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam
perkara cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan sebagai
alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang.
2. Mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang
terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara
cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
10

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua segi:
1. Segi Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan hukum Islam khususnya bidang hukum keluarga Islam
(ah}wal al-shakhs}iyyah), sehingga akan lebih membantu dalam
menyelesaikan masalah-masalah perkawinan khususnya mengenai taklik
talak.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam khususnya
hukum keluarga Islam (ah}wal al-shakhs}iyyah) mengenai taklik talak.
2. Segi Praktis
a. Bagi akademisi diharapkan untuk menambah kajian keilmuan dalam
bidang hukum perkawinan khususnya mengenai taklik talak. Penelitian
ini dapat dijadikan sebagai referensi dan rujukan untuk penelitian-
penelitian lain selanjutnya.
b. Bagi pengambil kebijakan diharapkan untuk mengembangkan pemikiran
dan kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai
peraturan-peraturan perkawinan yang berada di Indonesia, khususnya
mengenai taklik talak.
c. Bagi masyarakat pada umumnya diharapkan untuk memberikan wawasan
keilmuan dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-
peraturannya yang berlaku di Indonesia.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Untuk menunjukkan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan ini
benar-benar merupakan hasil karya dan temuan penulis sendiri, maka berikut
ini penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang pernah dikaji sebelumnya
sebagai bahan perbandingan dengan penelitian penulis.
Adapun penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian
Khoiruddin Nasution dengan judul “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik
Talak dan Perjanjian Perkawinan”. Tulisan ini berusaha menyajikan bagaimana
11

kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk menjamin hak mereka


sekaligus melindungi mereka dari perbuatan semena-mena suami lewat taklik
talak dan atau perjanjian perkawinan. Menurut Khoiruddin Nasution,
ketersediaan aturan taklik talak sejak awal sampai muncul dalam Perundang-
Undangan Perkawinan Indonesia, bertujuan untuk menjamin hak-hak istri dan
melindungi mereka dari tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang laki-laki
(suami). Meskipun konsep taklik talak ini sudah lama eksis, tetapi belum
dipahami secara lengkap oleh masyarakat pada umumnya. Kurangnya
pemahaman terhadap konsep ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari
pemerintah. Oleh karena itu, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara terus
menerus dan substansial.18
Penelitian di atas jika dilihat berdasarkan tema penelitian, memiliki
persamaan dengan penelitian penulis yakni sama-sama meneliti tentang taklik
talak. Namun penelitian tersebut hanya mengkaji sejarah perkembangan taklik
talak dan urgensinya terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Penelitan
tersebut tidak secara khusus mengkaji tentang pelanggaran taklik talak sebagai
alasan perceraian. Sedangkan penelitian penulis mengkususkan untuk mengkaji
taklik talak sebagai alasan mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.
Penelitian dengan tema yang sama juga dilakukan oleh Hasanudin yang
meneliti tentang kedudukan taklik talak dalam perkawinan. Hasanudin
mengkaji kedudukan taklik talak dalam hukum Islam dan hukum positif yang
berlaku di Indonesia. Menurut Hasanudin, kedudukan taklik talak dalam
perkawinan setidaknya mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: (1) Sebagai salah satu
perjanjian perkawinan, (1) Sebagai alasan gugatan perceraian dan (3) Sebagai
kekuatan spiritual perlindungan istri.19
Sebagai salah satu perjanjian perkawinan taklik talak mempunyai
kekhususan dibanding dengan perjanjian perkawinan pada umumnya, yaitu
taklik talak sekali sudah diucapkan dan diperjanjikan tidak dapat dicabut oleh

18
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 342.
19
Hasanudin, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum
Islam dan Hukum Positif”, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1 (Juni 2016), 59,
diakses 11 Maret 2018,http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/view/1145/963.
12

pihak manapun juga termasuk suami yang mengucapkannya. Dilihat dari


ketentuan hukum perjanjian sebagaimana yang termuat dalam KUHPerdata
taklik talak secara umum juga telah memenuhi persyaratan sebagai suatu
perjanjian. Sighat taklik talak sebagai alasan gugatan perceraian sudah sejak
dulu menjadi yurisprudensi di Pengadilan Agama bahkan hingga saat ini
dengan jumlah yang sangat banyak Pengadilan Agama memutuskan perkara
perceraian karena pelanggaran taklik talak. Di samping itu taklik talak bagi istri
adalah satu usaha untuk menjamin hak istri serta melindungi dan menjaga
mereka dari tindakan diskriminatif dan kesewenang-wenangan suami yang
memiliki hak mutlak dalam perceraian. Disisi lain sighat taklik talak sebagai
motivasi komitmen suami untuk mu’a>syarah bi al-ma’ru>f demi
terwujudnya keluarga saki>nah, mawaddah wa rahmah.20
Sebagaimana penelitian Khoiruddin Nasution, Hasanudin juga lebih
menyoroti taklik talak tersebut sebagai jaminan perlindungan hak-hak
perempuan. Hasanudin belum mengkaji secara khusus mengenai perceraian
yang diajukan oleh pihak istri atau pihak suami dengan alasan pelanggaran
taklik. Oleh karena itu, penelitian penulis berbeda dengan penelitian Hasanudin
meskipun sama-sama mengkaji tentang taklik talak.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian Hasanudin, penelitian yang
dilakukan oleh Syaifuddin Haris juga membahas kedudukan taklik talak dalam
perkawinan, hanya saja penelitian ini meninjau taklik talak dari segi hukum
perjanjian. Ada dua permasalahan pokok yang menjadi fokus kajian penelitian
Haris, pertama, apakah taklik dalam suatua perkawinan dikategorikan sebagai
perjanjian, kedua, apa implikasi hukum terhadap pelanggaran taklik talak
dalam suatu perkawinan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Haris menggunakan jenis
penelitian hukum normatif. Menurut Haris, taklik talak mempunyai perbedaan
dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua
belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan
dalam pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak

20
Hasanudin, Kedudukan Taklik Talak, 59.
13

bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Adapun implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami
melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk
mengajukan tuntutan perceraian kepada Pengadilan Agama.21
Penelitian di atas masih secara umum membahas tentang taklik talak,
meskipun telah disinggung bahwa jika taklik talak tersebut dilanggar maka bisa
dijadikan sebagai alasan untuk bercerai. Hanya saja penelitian di atas hanya
mengkaji dari segi teori saja, belum menyentuh praktek nyata yang terjadi
dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengkaji kasus
yang memang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, meskipun
penelitian di atas dengan penelitian penulis sama-sama mengkaji taklik talak,
akan tetapi sangat jauh perbedaannya, jika penelitian di atas adalah studi
pustaka, maka penelitian yang penulis lakukan adalah studi kasus.
Selanjutnya penelitian Muhammad Latif Fauzi, yang mengkaji tentang
perkembangan taklik talak dan pelembagaannya pada era kolonial. Penelitian
ini dilaksanakan melalui penulusuran dokumen dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan taklik talak di daerah Jawa. Menurut Fauzi, cukup sulit
menemukan data yang terpercaya tentang sumber dan penerapan taklik talak di
masyarakat Jawa pada masa kerajaan Islam pra-kolonial. Tradisi ini diyakini
lahir pada masa Sultan Agung, raja ketiga Mataram, dan dipengaruhi oleh
konsep perceraian bersyarat (t}a>liq mu’allaq) dalam doktrin fikih mazhab
Syafi’iyah. Pendapat ini cukup berasalan dan sulit dibantah karena pada masa
itu, bahkan sampai sekarang, kitab-kitab fikih seperti Tuhfah al-Thulla>b bi
Syarh Tahri>r Tanqih al-Luba>b (Zakariya al-Anshari) dan Hasyiah al-

21
Syaefuddin Haris, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau dari
Hukum Perjanjian”, Arena Hukum, Vol. 6 No. 3 (Desember 2013), 356-357, diakses 11 Maret
2018, http:// download.portalgaruda.org/article.php?...kedudukan%20taklik.
14

Syarqa>wi ‘ala> Sya>ri’ al-Tahri>r (al-Syarqawi) telah kaprah digunakan


sebagai rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum.22
Meskipun begitu, agak sulit untuk mengatakan bahwa penerapan tradisi
yang telah dipraktekkan di Jawa semata-mata sesuai dengan konsep fikih. Pada
masa kerajaan Islam Jawa, tradisi taklik talak ini dikenal dengan istilah janji
dalem atau janjiningratu dan sangat berbeda dari konsep fikih. Secara sosial
politik, taklik talak merupakan kebijakan politik hukum yang diambil penguasa
untuk menjawab kesulitan yang dialami perempuan untuk mendapatkan
perceraian melalui fasakh (pembatalan perkawinan). Jika dilihat dari sisi istilah
dan substansinya, terdapat unsur adat Jawa yang sangat kuat. Perjanjian, secara
substantive berisi janji atau ikrar suami, ini bersifat vertikal, karena melibatkan
dua pihak, yaitu rakyat (suami) dan penguasa (raja).23
Secara khusus penelitian di atas memang tidak mempunyai kaitan
dengan penelitian penulis, karena penelitian tersebut hanya fokus mengkaji
sejarah pelembagaan taklik talak. Penelitian tersebut lebih mengarah kepada
penelitian literatur-literatur klasik yang pernah digunakan oleh umat Islam di
daerah Jawa dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan
nikah, talak, dan rujuk. Akan tetapi secara umum penelitian tersebut bisa
dijadikan sebagai rujukan bagi penulis untuk membahas permasalahan taklik
talak dalam kehidupan berumah tangga.
Selanjutnya penelitian Sofyan Yusuf yang mengkaji tentang taklik talak
perspektif ulama mazhab dan pengaruhnya dalam rumah tangga. Penelitian ini
dilakukan untuk memahami pandangan ulama mazhab tentang pengucapan
taklik talak dalam pernikahan dan pengaruhnya dalam kehidupan berumah
tangga. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik
pengumpulan data berupa wawancara dan observasi di Desa Centong
Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

22
Muhammad Latif Fauzi, “Islam, Adat dan Politik: Perkembangan Taklik Talak dan
Pelembagaannya Pada Era Kolonial”, Istinbath, Jurnal of Islamic Law, Vol. 16 No. 2
(Desember 2017), 317, diakses 11 Maret 2018,
http://ejurnal.uinmataram.ac.id/index.php/istinbath.
23
Fauzi, Islam, Adat dan Politik, 318.
15

Berdasarkan hasil penelitiannya Fauzi menyimpulkan bahwa jumhur


ulama yaitu mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, taklik
talak baik qasami atau syarṭi yang diucapkan suami dapat menyebabkan
terjadinya talak suami kepada istri, apabila taklik tersebut dilanggar atau
terjadinya sesuatu yang disyaratkan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn
Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa ta’liq qasam tidak berakibat jatuhnya
talak, akan tetapi wajib membayar kafarat. Adapun pengaruh atau implikasi
hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik
talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan
pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan
tuntutan perceraian kepada pengadilan agama dan istri menyerahkan uang
‘iwaḍ (pengganti), maka jatuhlah talak satu kepadanya. 24
Penelitian di atas memiliki kaitan erat dengan penelitian penulis
meskipun berbeda dari segi fokus permasalahan yang dikaji. Jika dilihat
berdasarkan jenis penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dengan
penelitian penulis sama-sama meneliti di lapangan (field research). Penelitian
di atas selain mengkaji dari segi teori (library research), Yusuf juga melakukan
penelitian di lapangan yakni wawancara dengan masyarakat mengenai
pemahaman mereka tentang taklik talak. Adapun perbedaannya dengan
penelitian penulis, jika penelitian di atas mengkaji tentang pemahaman
masyarakat mengenai taklik talak, maka penelitian penulis mengkaji
pelanggaran taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama.
Penelitian-penelitian yang telah penulis paparkan di atas lebih fokus
mengkaji tentang taklik talak tanpa mengkaji secara khusus tentang perceraian.
Oleh karena itu, penulis juga perlu memaparkan penelitian tentang perceraian
yang dilakukan oleh Jasri Hasan dengan judul “Analisis Yuridis Putusan
Hakim terhadap Perkara Perceraian Akibat Murtad di Pengadilan Agama

24
Sofyan Yusuf, “Taklik Talak Perspektif Ulama dan Pengaruhnya dalam Berumah
Tangga”, Anil Islam, Vol. 10 No. 2 (Desember 2017), 283, diakses 11 Maret 2018,
http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam/article/download/65/41.
16

Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang”. 25 Penelitian ini menggunakan


pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jasri Hasan
menyimpulkan bahwa: Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutus perkara
perceraian akibat murtad, antara lain: Pertama, pertimbangan hukum, ketika
hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan
bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni
mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah, ketika
perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan maslahat atau
lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar maka perkawinan
tersebut lebih baik diakhiri. Ketiga, pertimbangan sosial, mempertimbangkan
akibat yang akan diterima oleh para pihak dari putusannya tersebut dalam
kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan dasar hukum yang digunakan adalah
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam huruf (b) dan huruf (f) yang menekankan perselisihan dan
pertengkaran sebagai alasan perceraian.26
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jasri Hasan, dapat
dilihat persamaan dan perbedaannya dengan penelitian penulis. Persamaannya
adalah sama-sama meneliti tentang perceraian. Akan tetapi berbeda dari segi
fokus masalah yang diteliti dan penyebab terjadinya perceraian. Penelitian Jasri
Hasan mengkaji permasalahan perceraian yang diakibatkan oleh salah satu
pihak suami atau istri murtad. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis,
mengkaji permasalahan perceraian yang disebabkan oleh pelanggaran taklik
talak yang dilakukan oleh suami.
Berdasarkan review terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang telah
penulis paparkan di atas, dapat diketahui bahwa belum ada yang meneliti
secara khusus tentang pelanggaran taklik talak yang dijadikan sebagai alasan
mengajukan perceraian di Pengadilan Agama. Di samping itu, kasus yang

25
Jasri Hasan, Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian Akibat
Murtad di Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang (Tesis Program
Pascasarjana IAIN Mataram, 2016).
26
Hasan, Analisis Yuridis Putusan, 203-204.
17

dikaji dalam penelitian ini tergolong unik, karena pada umumnya perceraian
dengan alasan pelanggaran taklik talak diajukan oleh pihak istri yang merasa
dirugikan. Akan tetapi dalam kasus ini yang mengajukan perceraian dengan
alasan pelanggaran taklik talak adalah pihak suami yang melakukan
pelanggaran terhadap taklik talak yang sudah diucapkan. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini bukan merupakan
pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang mempunyai nilai tinggi serta dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif. Secara keseluruhan penelitian ini merupakan
penelitian lapangan (field research) yang menfokuskan diri untuk meneliti
tentang pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan
kebenaran pelanggaran taklik talak pada perkara cerai talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan maqa>s}id al-syari>’ah. Pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan
menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-
asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan,
pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis
pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah
hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.27 Pendekatan yuridis
digunakan untuk memahami sekaligus mengkritisi pendapat hakim
mengenai alasan-alasan perceraian karena pelanggaran taklik talak yang
diajukan oleh pihak suami. Sedangkan pendekatan normatif digunakan
untuk memahami dan mengkritisi pendapat serta dasar hukum yang

27
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 47-49.
18

digunakan oleh hakim membuktikan kebenaran pelanggaran taklik talak


dalam memutuskan perceraian perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
Adapun pendekatan melalui maqa>s}id al-syari>’ah, juga tidak
kalah penting. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum-hukum
syariat dibuat untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga melakukan
analisa terhadap tujuan penetapan hukum dapat memperluas lapangan
ijtihad dengan kekuatan analisa rasional.28
2. Spesifikasi Penelitian
Adapun spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa
deskriptif analisis, yakni memaparkan, menggambarkan atau
mengungkapkan data-data yang mempunyai relevansi dengan permasalahan.
Hal ini dibahas dan dianalisis menurut teori-teori atau pendapat para ahli,
dari hasil penelitian, dan pendapat penulis sendiri kemudian yang terakhir
adalah menyimpulkannya.29
Deskiriptif, mengandung arti bahwa dalam penelitian ini penulis
bermaksud untuk menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan. Sedangkan secara analisis berarti
mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada bagaimana
proses pengambilan keputusan dalam perkara perceraian karena pelanggaran
taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.
3. Lokasi Penelitian
Adapun yang dijadikan lokasi dalam mencari dan mengumpulkan
data-data yang diperlukan adalah di Pengadilan Agama Giri Menang
Kabupaten Lombok Barat. Pengadilan Agama Giri Menang dipilih sebagai
lokasi penelitian karena pengadilan ini pernah menangani perkara perceraian
akibat taklik talak.

28
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 172.
29
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju,
2008), 172.
19

4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat penulis bertumpu, artinya penelitian itu
bertolak dari sumber data.30 Sumber data dalam penelitian ini diperoleh
langsung dari penelitian lapangan dari sejumlah narasumber yang
menyangkut informasi tentang taklik talak. Adapun sumber data dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua, antara lain:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam
melakukan penelitian di lapangan,31 dalam hal ini adalah pertimbangan
hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutus perkara
pelanggaran taklik talak yang termuat dalam dokumen putusan
No.080/Pdt.G/2013/PA.GM. Untuk menguatkan data tersebut dilakukan
juga wawancara dengan majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
Apabila tidak memungkinkan, maka wawancara dilakukan dengan
hakim-hakim lain dan panitera yang ada di Pengadilan Agama Giri
Menang.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam
penelitian kepustakaan, penelitian kepustakaan adalah teknik untuk
mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data
yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk
menganalisa permasalahan pelanggaran taklik talak.
Dalam penelitian ini bila dilihat dari sudut sumbernya
menggunakan data berupa putusan pengadilan, di mana yang dimaksud
di sini adalah putusan Pengadilan Agama Giri Menang mengenai perkara
pelanggaran taklik talak yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht
van gewijsde). Jika dilihat dari sumber mengikatnya penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer yang berupa Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan untuk bahan
30
E. Zaenal Arifin, Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1998), 54.
31
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 106.
20

hukum sekunder dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, serta
bahan hukum tertier berupa kamus dan eksiklopedia. Karena tujuan
penelitian ini membahas mengenai putusan pengadilan, maka dalam hal
ini putusan tersebut merupakan data sekunder di mana data tersebut
merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber yang dikumpulkan
oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum primer (peraturan perundang-
undangan), bahan hukum sekunder (kamus hukum, ensiklopedia).
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mempermudah penulis dalam memperoleh dan menganalisa
data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap
permasalahan yang diteliti secara langsung di lokasi penelitian, yakni di
Pengadilan Agama Giri Menang.32 Dalam penelitian ini, penulis
melakukan pengamatan bagaimana proses penyelesaian perkara
perceraian dan melakukan pencatatan terhadap beberapa data yang
dibutuhkan untuk proses penelitian.
b. Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semistruktur, yaitu tanya jawab secara lisan antara peneliti
dengan informan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sudah disiapkan sebelumnya, akan tetapi tidak terikat dengan pedoman
wawancara yang sudah disusun. Pertanyaan yang diajukan bisa berubah
disesuaikan situasi dan kondisi informan.33
Metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data dari
informan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini penulis
melakukan wawancara dengan Majlis Hakim yang menangani perkara
pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang. Apabila
32
H. Salim HS dan Erlies Soetiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 27.
33
Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 95.
21

tidak memungkinkan, maka wawancara penulis lakukan dengan hakim-


hakim yang lain di Pengadilan Agama Giri Menang. Wawancara ini
penulis gunakan untuk mendapatkan jawaban tentang bentuk-bentuk
pelanggaran taklik talak yang diajdikan sebagai alasan mengajukan
perceraian.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data
dengan cara mengumpulkan dan memilih berkas-berkas tertulis34, buku-
buku yang ada kaitannya dengan masalah perceraian dan taklik talak,
serta arsip-arsip lainnya seperti putusan pengadilan terkait pelanggaran
taklik talak. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang
tertulis yang memberikan keterangan yang sesuai dengan data yang
dibutuhkan, yaitu data mengenai lokasi penelitian, konsep-konsep yang
berbicara tentang perkawinan dan dispensasi nikah, baik berupa buku-
buku, kitab-kitab, jurnal, artikel dan sebagainya.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, langkah selanjutnya
adalah menganalisis dan mengolah data. Yang pertama kali dilakukan
adalah mengorganisir data dan mengkategorikannya yang bertujuan untuk
menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Kemudian data yang telah kumpul tersebut diklasifikasikan sehingga
menajadi susunan urut data (array) untuk selanjutnya mengambil
kesimpulan.35
Selanjutnya data tersebut diolah dan analisis dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Metode analis deskriptif diawali dengan
mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut subaspek dan
selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberi makna terhadap
subaspek satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau

34
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
Cet. 22, 2015), 240.
35
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Bineka Cipta, 1998), 88-89.
22

interpretasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara


aspek yang satu dengan lainnya dan dengan keseluruhan aspek yang
menjadi permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga
memberikan gambaran hasil yang utuh. 36
G. Kerangka Teori
Salah satu prinsip dari hukum perkawinan nasional yang seirama
dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup),
karena perceraian berarti gagalnya perkawinan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal sejahtera akibat perbuatan manusia. Perceraian berbeda
dengan putusnya perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari
Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat dielakkan oleh manusia.37
Dalam al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4): 21, Allah berfirman:

           

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian


kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
istri, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.38
Tujuan mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan rumah
tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan.
Banyak dijumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tersebut tidak dapat terealisir
dengan baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti faktor
biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan pendapat dan lain-lain.
Agama Islam tidak menutup mata seperti hal di atas. Agama Islam membuka
suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat
diatasi lagi. Jalan keluar itu dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui

36
Nasution, Metode Penelitian, 174.
37
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Masdar Maju,
1990), 160.
38
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing,
2011), 81.
23

talak, khuluk dan sebagainya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali
dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi
keadaan atau sifat yang menimbulkan kemudaratan pada salah satu pihak,
maka pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa untuk
putusnya perkawinan.39 Sebagaimana yang tercantum dalam kaidah fikih yang
berbunyi:
40
.‫االخف‬ ‫الضرر األ شد يزال بالضرر‬
Kaidah di atas memiliki pengertian bahwa kemudharatan yang berat
dihilangkan dengan kemudharatan yang ringan, apabila perceraian kedua belah
pihak akan lebih baik dari pada mereka bersama, maka hakim harus memberi
putusan cerai bagi keduanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam selain alasan perceraian yang terdapat
dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal
19 PP. No. 9 Tahun 1975 Juga ditambah dua alasan lagi, yaitu:
a. Suami melanggar taklik talak dan,
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.41
Apabila dalam alasan-alasan perceraian mulai dari poin “a” sampai “f”
menggunakan kata kata salah satu pihak, maka dalam perceraian poin g yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam langsung menyebut pihak suami. Ini
berarti alasan pelanggaran taklik talak hanya dilakukan oleh suami saja.
Apabila kembali kepada istri tentang perceraian yang pada dasarnya
menghendaki terjadinya perceraian dengan mudah, maka perceraian dilakukan
sebagai langkah akhir. Jika langkah akhir tetap dilakukan, maka masing masing
pihak harus melakukannya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah
SWT dalam Surat Al-Baqarah (2): 229:

39
Departemen Agama, Ilmu Fiqh (Jakarta: Yuliana, 1984), 246.
40
Samsul Ma’arif, Ka’idah-Ka’idah Fiqih (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005), 29.
41
Pasal 16 KHI.
24

       

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. 42
Dalam hukum perkawinan di Indonesia perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak rukun lagi. 43
Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan, maka tidak ada perceraian di luar sidang
pengadilan. Oleh karena itu, perceraian di luar sidang pengadilan dianggap
tidak sah dan tidak mengikat (cerai liar).44 Di samping itu, khusus untuk taklik
talak terdapat ketentuan umum: Apabila keadaan yang disyariatkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak sendirinya talak jatuh atau
supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan perceraianya
kepada Pengadilan Agama.45
Hal ini dirasakan perlu karena dalam rangka menjaga dari tindakan
yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara dan juga untuk
kepastian hukum. Adapun yang dimaksud dengan pembuktian adalah
menyatakan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.46 Pada asasnya siapa yang
mengemukakan suatu hak ia harus dibebani dengan pembuktian, sedangkan
peristiwa-peristiwa yang menghapuskan hak tersebut harus dibuktikan oleh
pihak yang membantah hak itu. Hendaknya hakim dalam membebankan
pembuktian baru dirasakan adil dan bijaksana apabila yang paling sedikit
dirugikan diperintahkan untuk membuktikan. Sebagaimana disebut dalam
firman Allah SWT pada Surat Al-Hujurat (49): 6:

42
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36.
43
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 287.
44
M. Yahya Harahap, “Materi KHI” dalam Moh. Mahfud (ed), Peradilan Agama dan
KHI dan Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), 91.
45
Pasal 46 ayat 2 KHI.
46
Kurdianto, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata (Surabaya: Usaha Nasional,
1991), 11.
25

                 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah


dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.47
Dalam persidangan yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau hal-hal
yang menjadi perselisihan dan bukan hukumnya, yaitu segala apa yang
diajukan oleh pihak yang satu dan disangkal pihak yang lain. Misalnya dalam
pasal 825 B.Rv bahwa dalam acara perdata mengenai perceraian antara
pengakuan istri dengan pengakuan suami saja tidak dianggap sebagai bukti.
Pada garis besar hakim perdata dalam hokum pembuktian terikat kepada
berbagai pembatasan, yaitu pasal 164 HIR, pasal 284 R.Bg dan pasal 1866
BW.
Perkara yang harus dibuktikan kebenarannya yang dicari adalah
kebenaran formil, ini tidak berarti bahwa dalam acara perdata mencari
kebenaran yang setengah-setengah atau palsu (pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg
dan pasal 1865 BW ). Tujuan pembuktian ini untuk menetapkan hubungan
hukum antara kedua belah pihak yakni penggugat dan tergugat.
Kebenaran formil berarti hakim menyelidiki kebenaran dari peristiwa-
peristiwa yang dikemukakan. Penyelesaian itu hanya sepanjang para pihak atau
salah satu pihak yang menghendakinya. Hakim dilarang untuk mengabulkan
hak hak yang dituntut atau melebihi hal yang tidak diminta (pasal 178 ayat 3
HIR dan pasal 189 ayat 3 R.Bg).
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran awal dalam penulisan tesis ini maka perlu
diuraikan sebuah sistematika. Adapun Sistematika dalam penulisan tesis ini
terdiri dari tiga bagian utama yang memuat bagian awal, bagian inti dan bagian
akhir. Adapun uraian masing-masing bagian tersebut adalah sebagai berikut:
Bagian awal, terdiri dari halaman judul, halaman pernyataan keaslian,
halaman pengesahan, halaman persetujuan tim penguji, halaman motto,

47
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 516.
26

halaman persembahan, nota dinas pembimbing, abstrak, halaman transliterasi,


kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar lampiran dan terakhir adalah
daftar singkatan.
Bagian inti, merupakan bagian utama dalam tesis ini yang terdiri dari
lima bab yaitu bab satu, bab dua, bab tiga, bab empat, dan bab lima. Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, permasalahan (mencakup: identifikasi masalah, pembatasan masalah
dan rumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan kajian teori, yakni tinjauan umum perceraian dan
taklik talak, terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama membahas tinjauan
umum perceraian, meliputi: pengertian perceraian dan sebab-sebab perceraian.
Sub bab kedua membahas tinjauan umum taklik talak, meliputi; pengertian
taklik talak, sejarah perkembangan taklik talak, landasan hukum taklik talak
menurut hukum Islam, taklik talak menurut perundang-undangan di Indonesia,
akibat hukum taklik talak, dan tujuan diadakan taklik talak. Sub bab ketiga
membahas tentang maqa>s}id al-syari’ah dalam memeriksa dan memutus
perkara di Pengadilan Agama, meliputi; pengertian maqa>s}id al-syari>’ah,
tujuan pokok disyariatkannya hukum Islam (maqa>s}id al-syari>’ah),
mas}lah}ah} sebagai tujuan akhir maqa>s}id al-syari>’ah.
BAB III : Merupakan paparan data dan temuan penelitian yakni
pertimbangan hukum hakim terhadap pelanggaran taklik talak di Pengadilan
Agama Giri Menang. Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama
memaparkan tentang gambaran umum Pengadilan Agama Giri Menang. Sub
bab kedua memaparkan tentang bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai
alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang. Sub bab ketiga
memaparkan tentang pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri
Menang terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam
perkara cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
27

BAB IV : Merupakan bab pembahasan yakni analisis pertimbangan


hukum hakim terhadap pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri
Menang. Bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama membahas tentang
bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di Pengadilan
Agama Giri Menang. Sub bab kedua membahas tentang pertimbangan hukum
hakim Pengadilan Agama Giri Menang terhadap pelanggaran taklik talak
sebagai alasan perceraian dalam perkara cerai talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari
tesis serta saran-saran yang konstruktif sebagai akhir dari penulisan tesis ini.
Bagian akhir, terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar
riwayat hidup (curriculum vitae).
28

BAB II
TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK

Pada bagian ini diawali dengan penjelasan beberapa teori tentang


perceraian dan taklik talak. Bagian ini juga menguraikan tentang, tinjauan umum
perceraian dan tinjauan umum taklik talak. Untuk menunjang proses pengambilan
putusan oleh hakim, maka pada bagian ini juga dibahas tentang maqa>s}id al-
syari’ah yang tidak terpisahkan dalam proses pengambilan putusan. Meskipun
banyak aspek lain yang dijelaskan dalam bagian ini, namun tidak terlepas dari
konsep teoritis pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di Pengadilan
Agama Giri Menang.
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian dalam istilah fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti
membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Furqah berarti cerai, lawan dari
berkumpul. Sedangkan menurut istilah, talak ialah melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya perkawinan. Kemudian kedua perkataan ini
dijadikan istilah oleh ahli-ahli fikih yang berarti perceraian antara suami
istri.48
Menurut Sayyid Sabiq, talak berasal dari kata it}la>q yang artinya
melepaskan atau meninggalkan dan menurut istilah agama talak artinya
melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.49
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
menjelaskan pengertian perceraian, melainkan hanya ada ketentuan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.50
Talak terbagi menjadi 2 pengertian yakni talak dalam arti umum dan
talak dalam arti khusus. Talak dalam arti umum ialah segala macam bentuk

48
Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam, 156.
49
Sabiq, Fiqh Sunnah, 155.
50
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13.
29

perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti meninggalnya salah satu
baik suami ataupun istri. Sedangkan arti talak secara khusus ialah perceraian
yang dijatuhkan oleh suami saja.
Talak terdiri dari dua macam, antara lain:
a. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak satu dan dua yang dijatuhkan oleh suami
kepada istrinya yang sudah pernah dicampurinya secara hakiki, dan
dijatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang dikembalikan dan
bukan pula talak yang ketiga kalinya 51 dan tidak ada bedanya dengan
talak yang s}a>rih dengan kina>yah. Sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah SWT pada Surat Al-Baqarah (2): 229:

52
 
  
  
  
    
     
 
     
    
  
 
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.
Talak raj’i ini tidaklah sepenuhnya mengakhiri ikatan perkawinan
antara suami istri, karena keduanya masih mempunyai hak untuk rujuk.
Mantan suami dengan mantan istri masih masih terikat hak dan
kewajiban masing-masing. Suami masih tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada istrinya, suami wajib melindungi istrinya di rumahnya. Ia
tidak boleh mengusirnya, begitu juga istri tidak boleh keluar dari rumah
suaminya, kecuali jika istri itu menentang atau berbuat kurang baik. Hak
dan kewajiban tetap berlanjut sebagaimana biasa selama iddah.53
b. Talak Ba>’in
Talak ba>’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami,
kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti

51
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, Cet. VI, 2010),
75.
52
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36.
53
Saebani, Fiqh Munakahat, 76.
30

talak perempuan yang belum digauli. Talak ba>’in terbagi menjadi dua
macam, yaitu:
1) Ba>’in S}ughra>
Talak ini dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika
sudah terjadi talak, istri dianggap bebas menentukan pilihan setelah
habis masa iddah-nya. Suami dapat rujuk dengan akad perkawinan
yang baru.54
2) Ba>’in Kubra>
Ba>’in Kubra> adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga
kalinya. Talak ini dapat mengakibatkan hilangnya hak rujuk mantan
suami kepada mantan istrinya walaupun keduanya saling
menginginkan perbaikan rumah tangganya kembali baik pada waktu
masih iddah atau sesudahnya, kecuali dengan syarat meliputi:
a) Istri tersebut kawin lagi dengan laki-laki lain/suami kedua (adanya
muhallil).
b) Istri sudah pernah dicampuri oleh suami kedua.
c) Istri telah dicerai oleh suami yang kedua dan telah habis masa
iddah-nya.55
2. Sebab-Sebab Perceraian
Perkawinan pada dasarnya bertujuan untuk hidup bersama selama-
lamanya, tetapi adakalanya karena ada sebab-sebab tertentu perkawinan itu
harus diakhiri. Baik karena putus demi hukum maupun putus karena hukum,
atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami istri. Istilah hukum
yang digunakan Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian
atau berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri adalah putusnya
perkawinan. Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam
istilah fikih digunakan kata ba>’in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami

54
Saebani, Fiqh Munakahat, 75.
55
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 162.
31

tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan akad nikah
yang baru.56
Istilah yang paling netral adalah perceraian, namun sulit pula
digunakan istilah tersebut sebagai pengganti istilah putusnya perkawinan,
karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan.
Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat saja menggunakan
istilah putusnya perkawinan, namun dalam arti yang tidak sama dengan
istilah ba>’in yang digunakan dalam fikih, atau dipandang sebagai sinonim
dari istilah furqah dalam fikih.57
Menurut Soemiyati, yang menjadi sebab putusnya perkawinan
adalah talak, khulu>’, syiqa>q, fasakh, ta’liq t}ala>q, ila>’, z}iha>r,
li’a>n dan kematian.58 Mahmud Yunus berpendapat bahwa suatu
perkawinan menjadi putus karena bermacam-macam sebab yaitu kematian,
talak, khulu>’, fasakh, akibat syiqa>q (talak atau khulu>’), pelanggaran
ta’liq t}ala>q (termasuk talak).59 Umar said mengatakan bahwa di dalam
hukum Islam putusnya perkawinan itu dapat terjadi karena beberapa sebab
yaitu kematian, talak, khulu>’, fasakh, ila>’, z}iha>r, li’a>n dan murtad.60
Adapun bentuk-bentuk putusnya perkawinan ada dalam beberapa
bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah, yakni kematian salah seorang
suami atau istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula
hubungan perkawinannya.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak suami karena adanya alasan tertentu
yang dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian
dalam bentuk ini disebut talak.

56
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2009), 189.
57
Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 190.
58
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, 1997), 105.
59
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 110.
60
Umar Said, Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: CV. Cempaka, 1997), 189.
32

c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu


yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak putusnya perkawinan yang
disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya
perkawinan dengan cara ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya
perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.61
Di samping itu, terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan
hubungan suami istri yang dihalalkan agama tidak dapat dilakukan, namun
tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara syara’. Terhentinya
hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk:
a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan
istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila
suami telah membayar kafarat. Terhentinya hubungan perkawinan dalam
bentuk ini disebut z}iha>r.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia
membayar kafarat atas sumpahnya itu, namun perkawinannya tetap utuh.
Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut ila>’.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah
atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai
selesai proses li’a>n dan perceraian di muka hakim. Terhentinya
perkawinan dalam bentuk ini disebut li’a>n.62
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
pengadilan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

61
Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 197.
62
Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 198.
33

tentang Perkawinan, Pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus


karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Pada pasal
berikutnya menyebutkan bahwa untuk menerapkan prinsip mempersulit
terjadinya perceraian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-alasan
perceraian.63
Perceraian yang dilakukan di depan pengadilan harus memiliki
alasan-alasan tertentu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116
menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami melanggar ta’lik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.64

63
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13.
64
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 357.
34

B. Tinjauan Umum Taklik Talak


Sebelum membahas pengertian taklik talak, sejarah perkembangan
taklik talak, akibat hukum taklik talak, dan lain-lain, penulis terlebih dahulu
akan memaparkan konsep akad dalam Islam. Materi ini penting untuk dibahas
karena taklik talak sangat erat kaitannya dengan akad.
1. Konsep Akad dalam Islam
Akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘aqd, bentuk masdar dari
kata ‘aqada dan jamaknya adalah al-‘uqu>d yang berarti perjanjian atau
kontrak.65 Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).66 Berdasarkan
pengertian akad secara bahasa, maka akad adalah pertalian yang mengikat.
Adapun pengertian akad menurut istilah, ada beberapa pendapat di
antaranya menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Isla>mi wa
Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad adalah
hubungan/keterkaitan antara ijab dan kabul atas sesuatu yang dibenarkan
oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.67 Sedangkan menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan kabul
sesuai dengan ketentuan syara’ yang menetapkan keridaan kedua belah
pihak.68 Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad
adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan keridaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan
memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang
sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam
menjalankan akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing
pihak tanpa ada pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka

65
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), 953.
66
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeva, 2001), 63.
67
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 48.
68
T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1984), 21.
35

penting untuk membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya


pelanggaran hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini adalah firman Allah
dalam al-Qur’an Surat al-Maidah (5): 1:

            

            
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.69
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah
bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan
dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat
menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal.70 Sedangkan
dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:
‫األصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد‬
Artinya: Hukum asal dalam transaksi adalah keridaan kedua belah pihak
yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. 71
Maksud dari kaidah di atas bahwa keridaan dalam transaksi atau
perjanjian merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi atau
perjanjian dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridaan kedua belah
pihak yang melakukan perjanjian.
Akad menjadi sah jika terpenuhi rukun syarat-syaratnya. Rukun
adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun

69
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 106.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, “Tafsir Al-Maraghi”, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
70

Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Juz VI (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2003), 81.
71
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta : Kencana, 2006), 130.
36

menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun


akad terdiri dari:72
a. Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).
b. Ma’qud ‘Alaih (objek akad).
c. Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
d. Tujuan akad.
Berbeda dengan jumhur ulama, mazhab Hanafi berpendapat bahwa
rukun akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi mazhab Hanafi, yang
dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk
akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing
pihak berupa ijab dan qabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah
unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak
dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang
bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar esensi akad, para pihak
dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.73
Secara spesifik, fuqaha memberikan beberapa persyaratan yang
dijadikan patokan untuk menentukan keabsahan sebuah akad. Artinya, sah
tidaknya suatu akad tergantung oleh beberapa syarat tertentu. Adapun
syarat-syarat yang dimaksud (akad dalam pernikahan) adalah sebagai
berikut:
a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul.
b. Materi dari ijab dan kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang ditentukan.
c. Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus
walaupun sesaat. Ulama Malikiyah membolehkan asal waktunya singkat.
d. Ijab dan kabul tidak boleh membatasi masa perkawinan tersebut, karena
nikah untuk selamanya.

72
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 34.
73
Afandi, Fiqh Muamalah, 34.
37

e. Ijab dan kabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. 74
Selain dari beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad
sebagaimana tersebut di atas, ijab kabul dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Dalam hal ini paling tidak ada empat cara yang biasa dilakukan oleh
beberapa pihak yang hendak melakukan ijab kabul, adapun keempat cara
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan
secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan kabul yang
dilakukan oleh para pihak.
b. Tulisan, adakalanya suatu akad dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak bisa bertemu langsung.
c. Isyarat, suatu akad tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang
cacatpun dapat melakukan prosesi ijab dan kabul (akad). Apabila
cacatnya adalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan
dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut
memiliki pemahaman yang sama.
d. Perbuatan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini
(untuk beberapa kasus) akad dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja,
tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan
ta’at}i atau mua’t}ah.75
2. Pengertian Taklik Talak
Lembaga taklik talak timbul jika ada penilaian istri bahwa suaminya
menunjukkan gejala-gejala akan menyia-nyiakan atau akan
meninggalkannya di kemudian hari. Taklik talak itu sendiri merupakan kata
majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu kata taklik dan talak.
Kata taklik dalam bahasa Arab berasal dari kata, ‘allaqa yu>‘alli>qu
ta‘li>qan, yang berarti menggantungkan. Sementara kata talak dari kata
Arab talla>qa yutalli>qu> tatli>qan, yang berarti mentalak atau

74
Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 62.
75
Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 62.
38

menceraikan.76 Sedangkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian


taklik yaitu perjanjian, sedangkan kata talak yaitu perceraian antara suami
dan istri.77
Maka dari sisi bahasa, taklik talak berarti talak yang digantungkan.
Artinya, terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan istri
yang digantungkan terhadap sesuatu peristiwa tertentu sesuai dengan
perjanjian. Istilah taklik talak tidak ditemukan dalam fikih, tetapi istilah
yang biasa dipakai dan memiliki maksud yang sama dengan taklik talak
dalam rumusan yang berbeda, disebut dengan talak mu’allaq, yaitu “talak
yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan
oleh istrinya pada masa mendatang”.78
Dalam fikih Islam, taklik dibagi menjadi dua yaitu; ta‘li>q qasami>
dan ta‘li>q syarthi>. Ta‘li>q qasami> adalah taklik yang dimaksudkan
seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau
meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Sedangkan
ta‘li>q syarthi>. yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak
jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut
ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari,
hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika
terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan
suami.79
Ibnu Hazm berpendapat dua jenis ta‘li>q qasami> dan ta‘lîq
syarthi> tidak sah dan pengucapannya pun dianggap tidak memiliki dampak
hukum apa pun. Alasannya, Allah SWT telah mengatur secara jelas
mengenai talak. Sedangkan, taklik semacam itu tidak ada tuntunannya
dalam al-Qur’an maupun hadits. Bila taklik tersebut dipandang sebagai

76
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan atau Penafsiran al-Qur’an, t.th.), 277.
77
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4, 2008), 1124.
78
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga : Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 259.
79
Sabiq, Fiqh Sunnah, 222.
39

sebuah janji. Menurut Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, taklik tersebut
tidak sah. Sebagai sanksinya, maka orang yang mengucapkannya wajib
membayar kafarat, memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian
kepada mereka. Dan jika tidak, ia wajib berpuasa selama tiga hari.
Mengenai talak bersyarat, keduanya berpendapat bahwa talak bersyarat
dianggap sah apabila yang dijadikan persyaratan telah terpenuhi.80
Dalam hukum Indonesia taklik talak diartikan sebagai perjanjian
yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.81
Menurut Mustafa Kamal Pasha taklik talak adalah: “Talak yang
digantungkan”. Maksudnya talak yang digantungkan pada suatu syarat,
dimana suatu talak akan jatuh dengan sendirinya manakala syarat yang
digantungkan tersebut terwujud”. Adapun syarat yang dapat digantungkan
tadi haruslah merupakan janji yang dibuat dan diucapkan sesudah aqad
perkawinan dilangsungkan, sedang janji yang dibuat sebelum akad nikah
dilangsungkan betapapun dibuat sedemikian rupa kuatnya seperti ditulis
diatas segel dan sebagainya. Namun hukumnya tidak dapat membatalkan.82
Sedangkan Menurut Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip oleh
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, menyatakan bahwa: Taklik
talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan
tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan
perjanjian taklik talak ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian
itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah
untuk semua bentuk taklik talak. Apabila suami melanggar perjanjian yang
telah disepakati, maka istri dapat meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk
oleh pihak yang berwewenang.83

80
Sabiq, Fiqh Sunnah, 222.
81
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13.
82
Mustafa Kamal Pasha, Fikih Sunnah (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), 229.
83
Nurudin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam, 212. Lihat juga Abdul Manan,
Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2006),
398.
40

Perbedaan antara taklik yang ada dalam fikih dengan yang ada di
Indonesia adalah taklik talak menurut kitab-kitab fikih diucapkan oleh
suami apabila ia menghendakinya, sedang menurut undang-undang
Indonesia diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau
anjuran dari Pegawai Pencatat Nikah . Di samping itu taklik talak menurut
hukum Indonesia disyaratkan adanya iwa>d, sedangkan taklik talak yang
terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak disyaratkan adanya iwa>d.
Berdasarkan definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa, taklik
talak adalah perceraian sebagai akibat pelanggaran janji yang diucapkan
suami sesaat setelah akad nikah.
3. Sejarah Perkembangan Taklik Talak
Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak dimulai dari
perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram (1554 Jawa/1630
Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan
ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan istri (keluarga) pergi
dalam jangka waktu tertentu untuk melaksanakan tugas. Di samping itu
taklik talak ini menjadi jaminan bagi suami bila kepergian itu adalah dalam
rangka tugas Negara. Taklik itu disebut “taklek janji dalem” atau “taklek
janjiningratu”. Artinya taklik talak dalam kaitan dengan tugas Negara,84
yang aslinya berbunyi:
“Mas Penganten, pekenira tompo Taklek Jangji Dalem, samongso
pekanira nambang (ninggal) rabi pakenira ...; lawase pitung sasi
lakon daratan, hutawa nyabrang sagara rong tahun, saliyane
ngelakoni hayahan dalem, tan terimane rabi pakenira nganti darbe
hatur rapak (sowan) hing pangadilan hukum, sawuse terang
papriksane runtuh talak pakanira sawijiâ”.
Bahasa Indonesianya:
‘Wahai penganten, dikau memperoleh Taklik Janji Dalem, sewaktu-
waktu dikau menambang (meninggalkan) istrimu bernama .........
selama tujuh bulan perjalanan darat, atau menyeberang lautan dua
tahun, kecuali dalam menjalankan tugas Negara, dan istrimu tidak

84
Nurul Hakim, Taklik Talak dan Pengaruhnya terhadap Kedudukan Wanita dalam
Rumah Tangga, dalam http://nurel-hakim.blogspot.com/2011/04/taklik-talak-dan-
pengaruhnya-terhadap.html, diakses pada 15 Nopember 2017.
41

rela sehingga mengajukan rapak (menghadap) ke Pengadilan hukum,


setelah jelas dalam pemeriksaannya, maka jatuhlah talakmu satu’.85

Menurut Zaini Ahmad Noeh, sebaimana dikutip oleh Khoirudin


Nasution, pelembagaan taklik talak dan gono-gini yang terjadi pada masa
Kerajaan Mataram merupakan pengembangan dari pemikiran dan
pemahaman ulama’ terhadap hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan
masalah talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan istri.86
Rumusan sighat taklik talak tersebut, hanya unsur pergi
meninggalkan yang dijadikan dasar istri untuk mengadu ke pengadilan
sebagai alasan perceraian (taklik talak). Lamanya waktu meninggalkan
tersebut adalah 7 (tujuh) bulan untuk kepergian suami menggunakan
perjalanan darat, 2 (dua) tahun untuk kepergian suami menyeberangi
lautan.87
Untuk memuluskan missinya ke Indonesia, Belanda mengambil
sikap netral terhadap hukum Islam sebagai hukum yang telah berkembang
dalam masyarakat, termasuk taklik talak. Taklik talak diberlakukan seiring
dengan keluarnya ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb. 1895 No. 198 jis
stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348 Stb. 1933 No. 98 yang berlaku
untuk Solo dan Yogyakarta.
Sejak keluarnya Ordonansi tersebut maka timbul gagasan para
ulama’ dengan persetujuan Bupati untuk melembagakan taklik talak sebagai
sarana pendidkan bagi para suami agar lebih mengerti kewajiban terhadap
istri, dengan beberapa tambahan rumusan sighat, termasuk kewajiban
nafkah dan tentang penganiayaan jasmani. Selanjutnya sighat taklik talak
tidak lagi diucapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, tetapi dibaca atau
diucapkan sendiri oleh suami.88

85
Taklik tidak dibaca oleh penganten pria, tetapi diucapkan oleh Penghulu Naib dan
cukup dengan dijawab: Hinggih sendika.
86
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 15.
87
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 15.
88
Nilna Fauza, Perjanjian Perkawinan Menjamin Hak-Hak Perempuan,
http://zuhalfais.blogspot.com/2011/02/perjanjian-perkawinan-menjamin-hak-hak.html, 15
Nopember 2017.
42

Pada tahun 1931 ketika taklik talak diberlakukan di sekitar Jakarta


dan Tangerang, rumusan sighat taklik talak mengalami penambahan,
terutama dari aspek unsur-unsurnya. Demikian juga mengalami perubahan
dari aspek jangka waktunya. Rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut:89
a. Tiap-tiap saya tinggalkan istri saya dengan semata-mata tinggal jalan
darat tiga bulan atawa jalan laut dalam masa enam bulan lamanya;
b. Atawa saya tidak kasih nafkah yang wajib pada saya dalam masa satu
bulan lamanya;
c. Atawa saya pukul akan dia dengan pukulan yang menyakiti padanya;
d. Maka jika istri saya itu tidak suka akan salah satu yang tersebut di atas
itu, ia boleh pergi sendiri atau wakilnya mengadukan halnya kepada Raad
Agama, serta ia minta bercerai dan manakala istri saya yang tersebut itu
membayar pada saya uang banyaknya f 0,10 (sepuluh Cent) serta sabit
dakwaannya, tertalaklah istri saya yang tersebut satu talak dan dari uang
iwa>d khulâ yang tersebut saya wakilkan kepada Raad Agama buat kasih
sedekah kepada fakir miskin.

Rumusan tersebut di atas, terjadi penambahan unsur-unsurnya,


sebanyak dua unsur, yaitu tidak memberi nafkah dan memukul istri yang
bersifat menyakiti. Dari unsur intensitas waktunya juga mengalami
perubahan dari 7 (tujuh) bulan menjadi 3 (tiga) bulan jalan darat, dari 2
(dua) tahun menjadi 6 (enam) bulan jalan laut.
Melihat bahwa bentuk taklik talak di Jawa bermanfaat dalam
menyelesaikan perselisihan suami-istri, maka banyak penguasa daerah luar
Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing- masing. Setelah
berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah untuk luar Jawa dan Madura, Stb.
1932 No. 482, maka pemberlakuan taklik talak lebih merata di daerah luar
Jawa dan Madura.90
Perkembangan selanjutnya rumusan taklik talak semakin
disempurnakan, terutama dalam hal melindungi kepentingan istri. Agar
taklik talak tersebut tidak bisa dirujuk suami setelah terjadinya perceraian di
depan Pengadilan, maka rumusannya ditambah ketentuan tentang ‘iwad,

89
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 18.
90
Fauza, Perjanjian Perkawinan, 6.
43

yakni uang pengganti. Dengan adanya ‘iwad atau uang pengganti maka
jatuhnya talak karena taklik menjadi talak khu>lu’ atau talak ba’in.
Mantan suami tidak dapat merujuk istrinya kecuali dengan akad
nikah baru. Dengan pemberlakuan ‘iwad ini, upaya istri untuk terhindar dari
penderitaan akibat dari ulah suaminya semakin terjamin.91
Setelah Indonesia merdeka, rumusan sighat taklik talak ditentukan
sendiri oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan
agar penggunaan rumusan sighat taklik talak tidak disalah gunakan secara
bebas yang mengakibatkan kerugian bagi pihak suami atau istri, atau bahkan
bertentangan dengan tujuan hukum syara‘.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat
taklik talak diberlakukan seragam di seluruh Indonesia. Sejak rumusannya
diambil alih Depag, sighat taklik talak mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan tersebut tidak hanya mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi juga
mengenai kualitas syarat taklik yang bersangkutan dan besarnya uang
‘iwad.92 Perubahan-perubahan ini semata-mata karena sesuai misi awal
pelembagaan taklik talak adalah untuk melindungi kaum perempuan dari
tindakan kesewenangan suami.93
Adapun unsur-unsur yang mengalami perubahan adalah seperti
rumusan ayat (3) sighat taklik talak. Pada tahun 1950 disebutkan: ‘atau saya
menyakiti istri saya itu dengan memukul’, dimana pengertian memukul
disini hanya terbatas pada memukul saja. Pada tahun 1956 pengertian
memukul diperluas sampai kepada segala perbuatan suami yang dapat
dikatagorikan menyakiti badan jasmani, seperti menendang, mendorong
sampai jatuh, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan
sebagainya.94

91
Fauza, Perjanjian Perkawinan, 6.
92
Hakim, Taklik Talak, 10.
93
Manan, Penerapan Hukum, 404.
94
Manan, Penerapan Hukum, 404.
44

Sudut rentang waktunya juga mengalami perubahan, seperti rumusan


ayat (1) sighat taklik talak tentang lamanya pergi meninggalkan istri, Pada
tahun 1950, 1956 dan 1969 ditetapkan menjadi 2 (dua) tahun. Sedang ayat
(4) sighat taklik talak tentang lamanya membiarkan/ tidak memperdulikan
istri, pada tahun 1950 ditetapkan selama 3 (tiga) bulan, pada rumusan tahun
1956 menjadi 6 (enam) bulan. Perubahan jangka waktu ini dimaksudkan
untuk mempersulit terpenuhi syarat sighat taklik talak, sekaligus
memperkecil terjadinya perceraian.95
Rumusan terakhir sighat taklik talak adalah rumusan yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990, yang
rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut:96
Sesudah akad nikah, saya ....... bin........ berjanji dengan sesungguh
hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang
suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ..... binti ........
dengan baik (mu‘âsyarah bil ma‘rûf) menurut ajaran syari‘at Islam.
Selanjutnya saya
mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut:
1. Sewaktu-waktu saya:
2. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut;
3. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya;
4. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya;
5. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam
bulan lamanya;
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang memberinya hak untuk
mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta
diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya
membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadl
(penggati) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk
menerima uang ‘iwad (pengganti) itu dan kemudian
menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat,
untuk perluan ibadah sosial.

Berdasarkan sejarah di atas dipahami bahwa, adanya lembaga taklik


talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada

95
Manan, Penerapan Hukum, 405.
96
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 18.
45

sampai saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia


yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat
taklik talak oleh suami.
4. Landasan Hukum Taklik Talak Menurut Hukum Islam
Taklik talak dilihat dari segi esensinya sebagai perjanjian
perkawinan yang digantungkan pada syarat, dengan tujuan utamanya
melindungi istri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang
suami, mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalam surat Al-
Baqarah ayat 229 sebagai berikut:

            

             

              

         


Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah
(2): 229).97

Allah memerintahkan suami untuk mencerai istrinya dengan cara


yang baik, dan melarang mengambil sesuatu mahar yang sudah pernah
diberikan kepada istrinya, kecuali dalam keadaan yang sangat
mengkhawatirkan, bahwa kedua belah pihak tidak lagi mampu
melaksanakan hukum-hukum Allah. Maksudnya hukum-hukum yang

97
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36.
46

berkenaan dengan perkawinan, misalnya: mu’asyarah{ bi al-ma’ru>f, taat


dan menunaikan hak masing-masing. Apabila ternyata ada terjadi
perselisihan dan ternyata sebabnya memang cukup kuat, maka istri
diperbolehkan menebus dirinya, dan suami boleh menerima harta dari istri
itu,98 keadaan seperti itu disebut khu>lu’.99
Imam Syafi’i mengemukakan, jika seorang suami mengambil mahar
dari seorang istri, dan istrinya rela, maka hal itu diizinkan sebagaimana
dipahami dari firman Allah SWT “jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya”), jika suami mengambil sesuatu dari istri atas talak yang
terjadi, lalu dia mengakui bahwa dia mengambilnya dengan paksa, maka
talaknya tetap berlaku.100
Hal ini diperjelas oleh Ibnu Taimiyah bahwa: Jika seorang istri
sangat marah pada suami dan dia memilih untuk berpisah dengannya, maka
hendaknya dia memilih untuk berpisah dengannya, maka hendaknya dia
menebus dirinya dengan cara mengembalikan kepada suaminya apa yang
dia ambil darinya yang berupa mahar, dan dia berlepas diri dari tanggung
jawabnya, dan suami hendaknya melepaskannya.101
Selain itu terdapat dasar hukum dari hadits, bahwa istri Tsabit bin
Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW
mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya sebagai berikut:

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫ت الن‬


َ ‫َِّب‬ ٍ ‫ت بْ ِن قَ ْي‬
ْ َ‫س أَت‬ ِ ِ‫اس أ ََّن امرأَةَ ثَاب‬
َْ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ب َعلَيْ ِه ِِف ُخلُ ٍق َوَال ِدي ٍن‬ ِ
ُ ‫س َما أ َْعت‬ٍ ‫ت بْ ُن قَ ْي‬ ِ َ ‫فَ َقالَت يا رس‬
ُ ِ‫ول اللَّه ثَاب‬ َُ َ ْ
98
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan (peng dan pent), Terjemahan Tafsir Ayat
Ahkam Ash-Shabuni I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 278.
99
Khulu’ artinya talak yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberi
‘iwadl atau tebusan karena disebabkan oleh beberapa hal tertentu. Lihat, Pasha, Fikih Sunnah,
229.
100
Syaikh Ahmad bin Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Jilid 1, terj. Febrian
Hasmand dkk. (Jakarta: Almahira, 2008), 391.
101
Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2003), 134.
47

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬


َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ِ‫اْل ْس ََل‬
‫م‬ ِْ ‫ِف‬ ِ ‫ر‬
َ ‫ف‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ه‬
ُ ‫ر‬َ ‫ك‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ِّن‬
ِّ ِ َ‫ول‬
‫ك‬ َ
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم اقْ بَ ْل‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ت نَ َع ْم ق‬ ْ َ‫ين َعلَْيه َحدي َقتَهُ قَال‬ َ ‫أَتَ ُرِّد‬
‫اس (رواه‬ ٍ َّ‫ال أَبُو َعْبد اللَّ ِه َال يُتَابَ ُع فِ ِيه َع ْن ابْ ِن َعب‬َ َ‫اْلَ ِدي َقةَ َوطَلِّ ْق َها تَطْلِي َقةً ق‬
ْ
.)‫البخارى‬
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasanya istri Tsabit bin Qais datang kepada
Nabi SAW dan berkata, wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela
Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku
khawatir kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda:
Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu? Ia
menjawab, Ya. Rasulullah SAW bersabda: Terimalah kebun itu,
dan ceraikanlah ia dengan talak satu. Abu Abdullah berkata; Tidak
ada hadits penguat dari Ibnu Abbas (HR. Bukhari).102

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa Tsabit tiada tercela,


sedangkan permintaan cerai datang dari istri yang takut bahwa dia tak akan
mampu menjalankan perintah yang ditetapkan Allah, dia tidak dapat
menunaikan kewajibannnya sebagai seorang istri. Nabi SAW mengizinkan
wanita itu untuk melepaskan dirinya sendiri dengan mengembalikan
maharnya kepada suami sebagai ganti rugi atas pembebasan yang telah
diberikan kepadanya.103 Hal ini terdapat khila>fiyah apakah suami boleh
menerima lebih dari jumlah maharnya dahulu atau tidak:104
a. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halal menerima
tambahannya, jika khu>lu’ terjadi disebabkan istri mendurhakai
suaminya;
b. Jumhur ulama (menurut Ibnu Bathal) berpendapat bahwa boleh suami
menerima lebih dari jumlah maskawinnya. Tetapi Imam Malik
menambahkan, bahwa itu kurang berakhlak;

102
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz III (Beirut: Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, 1992), 406.
103
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),
115.
104
Kahar Mansur (pengh. dan pent.), Bulughul Maram, Jilid 2 (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1992), 86-87.
48

c. Imam Athak, Ahmad, Ishak, dan Hadawiyah berpendapat tidak boleh


suami menerima lebih dari jumlah maskawinnya berdasarkan hadits di
atas. Tapi, jumhur menjawabnya, “hadits itu tidak melarang dan tidak
menyuruh melebihkannya.
Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzni berbeda sendiri pendapatnya dari
pendapat jumhur ‘ulama, dengan mengatakan bahwa: suami tidak boleh
mengambil sesuatu pun dari istri. Alasan yang dikemukakan bahwa firman
Allah SWT diatas, telah dibatalkan oleh firman Allah yang lain yaitu:105

         

        


Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-Nisa (4): 20).106

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian ayat ini adalah


manakala pengambilan tersebut tanpa kerelaan istri. Akan halnya jika
dengan kerelaannya, maka hal itu dibolehkan.107
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadits di atas, dapat disimpulkan
bahwa sebagai salah satu bentuk perjanjian, taklik talak lebih
mengupayakan ke arah terciptanya suatu kondisi hubungan yang lebih baik.
Sejauh memang taklik talak itu diperlukan dan dibutuhkan. Kaitanya dengan
masalah pengaduan istri untuk menuntut cerai suami merupakan sesuatu
yang telah memiliki landasan yang jelas. Tuntutan tersebut dapat dilakukan
dengan jalan perceraian atas dasar pelanggaran taklik talak disertai sejumlah
uang sebagai ‘iwa>d.
5. Taklik Talak Menurut Perundang-Undangan

105
Ayyub, Fikih Keluarga, 308.
106
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 81.
107
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah
(Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), 491.
49

a. Taklik Talak dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


Taklik talak dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ditemukan pasal
yang secara khusus menyebutkan serta mengatur tentang taklik talak
dalam kapasitasnya sebagai besar perjanjian perkawinan maupun sebagai
alasan perceraian pasal 29 undang-undang ini hanya menyebutkan
dibolehkannya bagi kedua mempelai untuk mengadakan perjanjian
tertulis sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya pada
pasal (29) ditekankan bahwa perjanjian perkawinan yang dimaksud tidak
termasuk taklik talak di dalamnya. Adapun bunyi pasal (29) secara
lengkap adalah sebagai berikut:
Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga tersangkut.108
Menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip oleh Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengatakan bahwa: Perjanjian
dalam pasal 29 ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi
“verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten),
dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi
“verbintenissen uit de wet allen” (perikatan yang bersumber pada
undang-undang).109
Titik Triwulan Tutik memperjelas pernyataan tersebut bahwa:
Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-
undang ini termasuk didalamnya taklik talak sebagaimana yang termuat
dalam surat nikah. Mengenai isi perjanjian perkawinan Undang-Undang
Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak
boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.110
b. Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam

108
Pasal 29, Undang-undang No. 1/1974.
109
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata, 137.
110
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006), 130.
50

Berbeda dengan Undang-undang, KHI secara eksplisit lebih jelas


dalam menjelaskan tentang taklik talak. Dalam KHI taklik talak
mempunyai fungsi: Pertama, dilihat dari esensinya taklik talak sebagai
perjanjian perkawinan yang menggantungkan kepada syarat dengan
tujuan utama melindungi istri dari kemadlaratan atas kesewenangan
suami. Kedua, taklik talak digunakan sebagai alasan perceraian.
Meskipun demikian, jika dilihat dari sistematika penyusunanya,
maka KHI lebih menitikberatkan esensinya sebagai perjanjian
perkawinan. Di mana pemuatanya dalam pasal 45 dan 46 diatur lebih
rinci daripada pemuatanya dalam Bab XIV tentang putusnya
perkawinan.111
Pembahasan tentang taklik talak dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan dalam pasal 45 dan 46 KHI. Pasal 45 menyebutkan bahwa:
kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk 1) taklik talak, 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Adapun dalam pasal 46 disebutkan bahwa: 1) isi sighat
taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, 2) apabila
keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak sendirinya talak jatuh. Supaya sungguh-sungguh jatuh
istri harus mengajukan persoalnya ke Pengadilan Agama, 3) perjanjian
taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.
6. Akibat Hukum Taklik Talak
Walaupun taklik talak pelaksanaannya bersifat sukarela (suami boleh
membaca atau tidak membacanya), tetapi apabila taklik talak itu dilakukan
maka perjanjian tersebut tidak dapat dicabut kembali, sehingga akibat
hokum yang dihasilkan apabila suami melanggar perjanjian taklik talak
yang diucapkannya adalah jatuh talak ba’in sughra, yakni memutuskan
hubungan perkawinan suami istri setelah kata talak diucapkan. Hal tersebut

111
Mannan, Penerapan Hukum, 402.
51

bias terealisasi dengan cara istri mengadukan pelanggaran suami tersebut ke


pengadilan agama dan aduannya diterima oleh pengadilan serta istri dapat
membuktikan pelanggaran yang dilakukan suami tersebut diikuti dengan
pembayaran uang ‘iwa>d.
Apabila talak telah jatuh, maka istri kembali menjadi orang lain bagi
suaminya. Mantan suami tidak boleh bersenang-senang dengan mantan
istrinya apalagi sampai menyetubuhinya, karena suami istri tersebut bukan
mahram lagi dan haram berhubungan badan. Jika dilakukan juga maka
hukumnya sama dengan berzina.112 Mantan suami masih berhak untuk
kembali (rujuk) kepada mantan istrinya yang tertalak ba’in sughra dengan
akad perkawinan baru dan mahar baru selama mantan istrinya belum
menikah dengan orang lain.
Mengenai kekuatan berlakunya taklik talak, Peraturan Menteri
Agama No. 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika belum terwujud syarat
taklik, kemudian suami menjatuhkan talak raj’i dan kemudian suami
merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak yang diucapkan suami
tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika sewaktu-waktu terwujud
syarat taklik, maka istri dapat menggunakannya sebagai alasan gugatan
perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak. Tetapi apabila terjadi
talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah talak raj’i, taklik talak yang
diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Sehingga jika
suami istri menghendaki berlakunya perjanjian taklik talak, maka perjanjian
taklik talak itu harus diulang.113
7. Tujuan Diadakan Taklik Talak
Kehidupan bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan manis
dan indah, sewaktu-waktu ada kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat
memutuskan ikatan perkawinan. Islam dengan syari’atnya yang
komprehensif mengatur hal-hal yang dapat mencegah terputusnya ikatan
perkawinan tersebut.
112
Yon Ngariono, Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan Hubungan
Seks, posmo, III, 118 (23-29 Juni 2001), 16.
113
Sayyid Usman, Qawanin al-Syari’ah, Salinan Nabhan (Surabaya: tth.), 80.
52

Tetapi meski begitu, syari’at Islam dalam mengatur masalah


perkawinan, khususnya pada pemegang hak perceraian, hanya terdapat pada
hak suami. Dan hal itupun karena dilandasi faktor-faktor yang
mengharuskan suamilah yang pantas memegang hak perceraian itu. Dengan
dilembagakannya taklik talak, istri juga dapat melakukan perceraian dengan
syarat perceraian tersebut memang layak untuk dilakukan. Dengan begitu
hak-hak istri dapat terjamin dan suami harus melaksanakan kewajiban-
kewajibannya terhadap hak istri sehingga suami tidak dapat melakukan hal
sewenang-wenang terhadap istrinya.
Mahmud Yunus menerangkan bahwa, umumnya di Indonesia pada
masa sekarang diadakan taklik talak sesudah akad nikah gunanya supaya
istri jangan teraniaya bila suami berlarut-larut tidak memberi nafkah kepada
istrinya, atau telah hilang dengan tak ada beritanya.114 Kemudian menurut
Sayuti Thalib mengatakan, bahwa hak menjatuhkan talak berada dalam
tangan suami, dengan adanya lembaga taklik talak maka ini berarti
pelimpahan wewenang menjatuhkan talak dari pihak suami kepada istri.
Pelimpahan yang terbatas yaitu dalam hal-hal tertentu.115 Selanjutnya,
Peunoh Dally dalam disertasinya berpendapat bahwa maksud diadakannya
taklik talak ialah suatu usaha dan daya upaya melindungi istri dari tindakan
sewenang-wenang suaminya.116 Lebih lanjut Peunoh mengatakan bahwa
syari’at Islam sudah menentukan secara terperinci hak istri terhadap suami,
namun ia tidak memiliki alat pemaksa supaya suami menunaikan
kewajibannya.
Dengan adanya sistem taklik talak tersebut nasib istri dan
kedudukannya dapat diperbaiki. Jika suami menyia-nyiakan istrinya
sehingga ia sengsara, maka istri dapat mengadukan kepada hakim supaya
perkawinannya diputuskan.

114
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, dan Hambali (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), 129.
115
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Di Indonesia (Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986), 77.
116
Peunoh Dally, Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat dalam Naskah Mir’at
al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Istri Menurut Ahlussunnah, Disertasi Provendus
Doctor (Jakarta: Perpustakaan Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah, 1983), 85.
53

Zaini Ahmad Noeh, mengatakan bahwa lembaga taklik talak sangat


menguntungkan bagi pihak wanita, yaitu membekali wanita dengan hujjah
syar’i yang sah untuk melepaskan diri dari penderitaan akibat perbuatan
yang dijanjikan suaminya, itu pun bila istri tidak rela atas perbuatan
suaminya itu.117 Lebih jauh lagi Zaini mengungkapkan pendapat Snouck
Hurgronje yang berpendapat bahwa dilembagakannya taklik talak setiap
akad nikah yang berlaku diseluruh Jawa dan Madura, menyebabkan
kedudukan wanita yang menikah jauh lebih kuat dari pada sekedar
memberlakukan hukum Islam secara biasa.
8. Kedudukan Taklik Talak dalam Hukum Perjanjian
Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah
akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang
berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang sifatnya temporal
dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan
universal.
Perjanjian Perkawinan dalam KHI terdapat dalam BAB VII yang di
dalamnya mengatur taklik talak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 45
dan Pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Taklik Talak. (2) Perjanjian lain
yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Adapun mengenai
penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang berarti
perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Janji
juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing
menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Dan
perjanjian bias juga diartikan sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan

117
Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Shigat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah, Mimbar
Hukum (Jakarta: Ditbinbapera No. 30 Th. VII, 1997), 68.
54

yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing berjanji menaati apa
yang tersebut dalam persetujuan itu.
Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Sedangkan dalam Pasal 46 KHI berbunyi:
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
di kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke
pengadilan agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa:
a. Isi taklik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan
oleh Departemen Agama, karena yang melakukan perjanjian taklik talak
ini adalah orang Islam saja, maka isi perjanjian taklik talak tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
b. Apabila suami melanggar perjanjian taklik talak tersebut, maka istri
harus mengajukannnya ke pengadilan agama. Karena perceraian di
Indonesia terjadi apabila dilakukan di hadapan para hakim dalam sidang
di pengadilan agama. Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang
dijatuhkan oleh hakim. Menurut Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin
Hanbali memperbolehkan seorang wanita menuntut talak dari hakim
karena adanya sebab-sebab berikut ini:118
1) Tidak diberi nafkah. Ketiga ulama madzhab tersebut sepakat bahwa
apabila seorang suami terbukti tidak mampu memberi nafkah pokok
kepada istrinya, maka istrinya itu tidak boleh mengajukan tuntutan
118
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh ala al-Madzahib al-khamsah, terj. Masykur
A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2001), 490-
491.
55

cerai. Tetapi bila ketidakmampuannya itu tidak terbukti dan suami


tidak mau memberi nafkah, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa
suami istri itu tidak boleh diceraikan. Sementara itu Imam Maliki dan
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan suami istri itu dapat diceraikan,
lantaran tidak adanya nafkah bagi istri sama artinya dengan
ketidakmampuan suami memberi nafkah.
2) Istri merasa terancam baik berupa ucapan atau perbuatan suami.
3) Terancam kehidupan istri karena suami tidak berada di tempat.
Menurut Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal, sekalipun si suami
meninggalkan nafkah yang cukup untuk selama masa
ketidakhadirannya. Bagi Imam Ahmad, jarak minimal sang istri boleh
mengajukan gugatan cerai adalah enam bulan sejak kepergian
suaminya, dan tiga tahun menurut Maliki (menurut pendapatnya yang
lain satu tahun).
4) Istri terancam kehidupannya karena suami berada dalam penjara.
c. Taklik talak tidak wajib hukumnya, akan tetapi sekali taklik talak
diucapkan maka tidak dapat dicabut kembali, dalam hal ini taklik talak
sangat mengikat bagi yang mengadakan perjanjian taklik talak ini.
Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam terdapat kaitannya dengan perjanjian
yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan bahwa undang-
undang telah menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar
suatu perikatan atau perjanjian dianggap sah yaitu:
a. Kesepakatan mereka yang mengikat diri.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam, walau dengan teks yang berbeda mempunyai
unsur-unsur yang sama dengan perjanjian dalam KUHPerdata. Namun
56

demikian, dalam perjanjian taklik talak mempunyai perbedaan dengan


perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah
pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak
bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Untuk mengukur apakah taklik talak sebuah perjanjian atau bukan,
kita harus melihat Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya
perjanjian yaitu (1) Sepakat meraka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap
mereka yang mengikatkan diri, (3) Suatu hal tertentu, dan (4) Suatu sebab
atau kausa yang halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut
di atas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori syarat subjektif dan
kategori syarat objektif. Syarat subjektif, yaitu syarat sepakat mereka yang
mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian. Apabila
syarat subjektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan
(Vernieitigbaar). Syarat objektif, yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat
suatu sebab yang halal. Apabila dalam perjanjian syarat objektif tidak
dipenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum.119
Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah
adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian
yang sah. Di dalam taklik talak, suami istri telah sepakat tanpa paksaan
untuk menandatangani persetujuan bersama yang tertuang dalam konsep
taklik talak itu, karena taklik taklak bukan sebuah keharusan bagi
berlangsungnya sebuah perkawinan.
Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Di dalam hukum perkawinan, seseorang
boleh dapat melangsungkan perkawinan apabila berumur 19 tahun lak-laki
dan 16 tahun bagi perempuan, artinya suami istri tersebut sudah dewasa dan
cakap hokum untuk melakukan perbuatan hukum.

119
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1999),
65.
57

Suatu hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu


perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau
tertentu. Di dalam taklik talak ini, yang diperjanjikan sudah jelas yang
tertuang dari isi taklik talak tersebut.
Suatu sebab atau kausa yang halal artinya perjanjian itu tidak
dilarang atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Karena keberadaan taklik talak untuk melindungi si istri dari perbuatan
suami, maka keberadaan taklik talak tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, taklik
talak adalah sebuah perjanjian.
Menurut Az-Zaqra, perjanjian (akad) dalam terminologi fikih adalah
ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang
sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri.120
Ali Al-Sayis memberikan komentar lebih lanjut bahwa perjanjian
dalam Islam itu bukan hanya perjanjian yang bersifat partai, tetapi juga
termasuk perjanjian sepihak, bahkan juga termasuk janji kepada Tuhan.
Berkaitan dengan ruang lingkup perjanjian ini Ibn Araby mengemukakan
pendapatnya, ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori perjanjian,
yakni:
a. Perjanjian secara umum.
b. Sumpah.
c. Kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada hambanya.
d. Akad Nikah, perkongsian (syirkah), jual beli, sumpah dan janji kepada
Allah.
e. Perikatan atas dasar saling mempercayai.121
Sayid Sabiq menguraikan dalam Fikih Sunnah bahwa perjanjian
perkawinan yang disebut sebagai taklik talak ada dua macam bentuk:

120
Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2000), 63.
121
Abu Zakariya Muhammad ibn Abdullah Ibn Araby, Ahkam al-Qu’an Juz II (Beriut:
Dar al- Ma’rifah, t.t), 524-525.
58

a. Taklik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian


melakukan peker-jaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau
menguatkan suatu kabar. Dan taklik talak seperti ini disebut dengan ta’liq
qasami.
b. Taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi
syarat ta’liq. Taklik seperti ini disebut dengan ta’liq syarti.122
Dari kedua bentuk taklik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-
kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta’liq qasamy, suami bersumpah
untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada taklik talak suami mengajukan syarat
dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada
isterinya.
C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus Perkara di
Pengadilan Agama
Hakim sebagai bagian utama (primary variable) penegak hukum,
mempunyai peran yang signifikan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Untuk menegakkan dan kebenaran dan keadilan tersebut, hakim harus mampu
melakukan penafsiran terhadap undang-undang secara aktual, agar hukum yang
diterapkan bersifat adaptabilitas dengan perkembangan kondisi, waktu dan
tempat serta dapat mewujudkan kemashlahatan bagi kehidupan masyarakat
yang senantiasa berkembang. Oleh karena itu, dalam hal penegakan hukum,
hakim bukan sekedar “broche de la loi”, tetapi sebagai penterjemah atau
pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtschepping) bahkan
menciptakan hukum baru melalui putusan-putusannya (judge made law).123
Oleh karena itu, salah satu basis teoritis yang perlu dikuasai dan
dipahami oleh hakim (terutama hakim pada Pengadilan Agama) dalam
mewujudkan kebenaran dan keadilan, adalah teori tentang maqa>s}id al-
syari>’ah. Artinya, bagaimana seorang hakim bisa melakukan analisis filosofis
terhadap perkara yang sedang dihadapinya. Maka pertanyaan-pertanyaan yang

122
A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994),
41-42.
Bagir Manan, “Penegakkan Hukum yang Berkeadilan”, Majalah Hukum Varia
123

Peradilan, Tahun Ke-XX No. 241 (Jakarta: IKAHI, 2005), 5.


59

muncul ketika memeriksa perkara adalah pertanyaan yang betul-betul menjurus


kepada inti dari kasus yang sedang diperiksa. Begitu juga dalam memutuskan
perkara tersebut, yaitu bagaimana hakim mengunakan landasan pemikiran
hukum yang berdasarkan kepada maqa>s}id al-syari>’ah. Sehingga putusan
hukum yang diambil oleh hakim bisa mendatangkan kemashlahatan dan
menolak kemudharatan bagi kedua belah pihak yang berpekara.
1. Pengertian Maqa>s}id al-Syari’ah
Secara bahasa maqa>s}id al-syari>’ah (‫ )مقاصد الشريعة‬terdiri dari dua
kata; maqa>s}id dan al-syari>’ah. Maqa>s}id (‫ )مقاصد‬merupakan bentuk
jamak dari maqs}u>d (‫ )مقصود‬artinya yang berarti menuju, bertujuan,
berkeinginan dan kesengajaan.124 Kata maqs}u>d-maqa>s}id dalam ilmu
Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh
karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ’tujuan’ atau ’beberapa
tujuan.’ Sedangkan al-Syari>’ah¸ merupakan bentuk subyek dari akar kata
syara’a yang artinya adalah jalan menuju sumber air sebagai sumber
kehidupan.125 Oleh karenanya secara terminologis, maqa>s}id al-syari>’ah
dapat diartikan sebagai ‘tujuan-tujuan ajaran Islam’ atau dapat juga
dipahami sebagai ’tujuan-tujuan pembuat syari’at (Allah) dalam
menggariskan ajaran/syari’at Islam’.
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Syathibi adalah peletak dasar ilmu
maqa>s}id sehinga wajar jika kemudian ia disebut-sebut sebagai bapak
“maqa>s}id al-syari>’ah”. Al-Syathibi juga yang pertama kali menyusun
maqa>s}id al-syari>’ah secara sistematis sebagaimana Imam al-Syafi’i
dengan ilmu us}u>l fiqh yang disusunnya sehingga maqa>s}id lebih
komunikatif dan akseptabel di kalangan sarjana muslim. Namun demikian,
maqa>s}id pada dasarnya sudah muncul jauh sebelum Al-Syathibi menulis
teori tersebut dalam al-Muwa>faqat-nya. Lalu siapakah cendikiawan
muslim yang sebenarnya mengintrodusir maqa>s}id? Setidaknya ada dua
pendapat yang dapat kita cermati untuk dapat memperoleh jawaban dari
124
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: McDonald & Evan
Ltd., 1980), 767.
125
Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, cet. VIII (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), 175.
60

pertanyaan di atas, yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad al-


Raysuni, dan pendapat yang diutarakan oleh Hammadi al-Ubaydi.
a. Menurut al-Raysuni,126 maqa>s}id digunakan pertama kali oleh at-
Turmudzi al-Hakim, cendekiawan muslim yang hidup pada abad 3
Hijriyah. Istilah maqa>s}id tersebut digunakan oleh at-Turmudzi dalam
beberapa kitabnya, antara lain as}-S}alah wa Maqa>s}iduhu, al-Ha>j wa
Asra>ruhu, al-’Illah, al-’Ial al-Syari’ah dan al-Furu>q. Setelah itu,
maqa>s}id dibahas juga oleh beberapa tokoh, antara lain Abu Mansur al-
Maturidi, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan al-
Baqilani.
b. Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaydi, tokoh yang menggagas
pertama kali tentang maqa>s}id adalah Ibrahim an-Nakhai (wafat 96 H).
Beliau adalah tabi’in, yang juga kemudian menjadi guru tidak langsung
dari Imam Abu Hanifah. Setelah al-Ubaydi, maqa>s}id kemudian
dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam,
Najmuddin al-Thufi dan yang terakhir adalah Al-Syathibi.
Inti atau substansi dari konsep maqa>s}id al-syari>’ah adalah
kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-
Jauziyah bahwa maqa>s}id al-syari>’ah adalah mencegah kerusakan dari
dunia manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, pengen-
dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, dan kebajikan serta menerangkan
tanda-tanda jalan yang harus dilalui di hadapan akal manusia.127 Sementara
itu, Abdul Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri-kut bahwasanya
maksud umum Syāri’ menetapkan hukum ialah untuk menegak-kan
kemashlahatan manusia dalam ke-hidupan ini, menarik manfaat dan meno-
lak kemudaratan bagi mereka. Karena sesungguhnya kemashlahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri dari urusan-urusan d}aruriyyat,

126
Ahmad al-Raysuni, Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi (Beirut:
International Islamic Publishing House, 1995), 40-46.
127
Shams al-Din Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn Abi Bakr al-Ma’ruf bi Ibn Qayyim
al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, cet. II, 1993 M/1414 H), 177.
61

ha>jiaya>t dan tahsi>niyyat. Apabila urusan-urusan tersebut telah


terpenuhi dan terangkat maka tegaklah kemashlahatan mereka. Syari’at
Islam menetapkan hukum-hukum dalam bermacam-macam aspek amal
manusia adalah untuk menegakkan ketiga urusan (dharuriyyah, hajiyyât dan
tahsiniyyât) baik bagi perorang maupun masyarakat.128
Sementara substansi maqa>s}id al-syari>’ah yang dikemukakan Al-
Syatibi dalam al-Muwa>faqa>t adalah kemaslahatan dan kemaslahatan itu
dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu; Pertama, maqa>s}id al-syari’
(tujuan Tuhan). Kedua, maqa>s}id al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat
dari sudut tujuan Tuhan, maqa>s}id al-syari>’ah mengandung empat
aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari syari’ menetapkan syari’at yaitu
kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat; (2) penetapan syari’at sebagai
sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syari’at sebagai hukum taklifi
yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syari’at guna membawa manusia ke
bawah lindungan hukum. Dengan demikian, tujuan Tuhan menetapkan
suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia.
Untuk itu, Tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan
syari’at sesuai dengan kemampuannya. Dengan memahami dan
melaksanakan syari’at, manusia akan terlindung di dalam hidupnya dari
segala kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-nafsu.129
2. Tujuan al-Syari’ah
Substansi maqa>s}id al-syari>’ah adalah kemashlahatan.130
Kemashlahatan dalam taklif tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu:
pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausitas;
kedua, dalam bentuk majazi, yakni bentuk yang merupakan membawa
kepada kemashlahatan.131 Maka di sini kemaslahatan dapat dilihat dari dua

128
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Kawatiyyah, 1998), 198.
129
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007),
43.
130
Al-Syatibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2003), 3.
131
Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, Kamus Istilah Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005), 197.
62

sudut pandang, yaitu: maqa>s}id al-syari’ (tujuan pembuat hukum/Tuhan)


dan maqa>s}id al-Mukallaf (tujuan mukallaf), sebagai berikut:132

a. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Syari’


Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’
mengandung empat aspek, yaitu:
1) Kemaslahatan
Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an
menjadi tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, khluqiyah berkaitan
dengan etika, dan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum
yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan) dan af’al (perbuatan-
perbuatan manusia). Kelompok terakhir ini dalam sistematika hukum
Islam dibagi ke dalam dua besar, yaitu ibadah (pola hubungan
manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan manusia
dengan manusia).133 Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat
aturan-aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari
6360 ayat al-Qur’an hanya terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan
aspek-aspek hukum.134
Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah
hukum Islam, oleh Tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al-
Qur’an. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat
hadits Rasulullah SAW. Berdasarkan atas dua sumber inilah
kemudian, dari aspek hukum terutama dalam konteks muamalah
dikembangkan oleh ulama di antaranya al-Syatibi yang telah mencoba
mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber

132
Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 5.
133
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 32.
134
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1984),
7.
63

ajaran Islam itu dengan mengaitkan dengan maqa>s}id al-


syari>’ah.135
2) Sesuatu yang Harus Dipahami
Maqa>s}id al-Syari>’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’
mengandung empat aspek, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang
harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar
syari’at itu dapat dipahami, sehingga dapat dicapai kemashlahatan
yang dikandungnya.
b. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Mukalla>f
Tujuan syari’at dalam arti tujuan mukallaf yang berujung pada
kemaslahatan sebagai substansinya, dapat terealisasikan apabila lima
unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu
adalah: (a) agama, (b) jiwa, (c) akal, (d) keturunan, dan (e) harta.136
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini,
al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah-Nya membagi
kepada tiga tingkatan, yaitu:137 pertama, kebutuhan dharuriyat (primer),
yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang
harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal ini dapat disimpulkan kepada
lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila
sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan
kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di
akhirat.138
Kedua, kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu yang
sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan
menolak segala halangan.139 Artinya, ketiadaan aspek hajiyat tidak
sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak,
melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.

135
Mustamin Giling, “Kedudukan Maqashid al-Syari’ah dalam Agama”, Stadium:
Kajian Sosial, Agama, Hukum, dan Pendidikan, Vol. 1. No. 2, (2003), 112.
136
Totok dan Amin, Kamus Isilah Ushul Fikih, 197.
137
Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10.
138
Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10.
139
Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9.
64

Ketiga, kebutuhan tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang


pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta
pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan
muamalah.140 Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka
kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak
terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti
tidak terpenuhinya aspek hajiyyat.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peringkat maqa>s}id
al-syari>’ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan
berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing,
yaitu:141
a. Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyah, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat primer,
seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika kewajiban ini diabaikan
maka eksistensi agama akan terancam.
2) Memelihara agama dalam tingkatan hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama dengan maksud menghindarkan dari kesulitan.
Seperti pensyari’atan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang
bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang
yang melakukannya.
3) Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tingggi martabat manusia sekaligus
menyempurnakan pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan.
b. Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)

140
Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9.
141
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 124-
127.
65

Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan


menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyyat, seperti pensyari’atan
kewajiban memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan
berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2) Memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyyat, seperti dibolehkan berburu
dan menikmati makanan yang halal dan bergizi. Jika ketentuan ini
diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan
hanya akan mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya
aturan tata cara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan
dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikan, maka tidak akan
mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
c. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan
1) Memelihara akal dalam tingkatan dharuriyyat, seperti diharamkan
mengkonsumsi minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika
ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal.
2) Memelihara akal dalam tingkatan hajiyyat, seperti anjuran menuntut
ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak
akan merusak akal, namun akan mempersulit diri seseorang, terutama
dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3) Memelihara akal dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti menghindarkan
diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.
Hal ini berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.
d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
66

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,


dapat dibedakan menjadi tiga tingkat:
1) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyat, seperti pensyari’atan
hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinaan. Apabila
ketentuan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
2) Memelihara keturunan dalam tingkatan hajiyyat, seperti ditetapkannya
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada saat akad nikah dan
diberikan hak talak padanya. Jika mahar tidak disebutkan, maka suami
akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.
Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah
tangga tidak harmonis.
3) Memelihara keturunan dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti
disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia
diabaikan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula
akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan, ia hanya
berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
e. Memelihara Harta (Hifzh al-Ma>l)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Memelihara harta dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan
aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain
dengan cara yang illegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan
berakibat terancamnya eksistensi harta.
2) Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya
jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak
akan mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit
seseorang yang memerlukan modal.
3) Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan
agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal iitu berkaitan
67

dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini
juga akan berpengaruh kepada keabsahan jula beli tersebut, sebab pada
tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan
pertama.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat seperti di atas sangat
penting, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Jika
terjadi kontradiksi dalam penerapannya maka tingkatan pertama
(dharuriyyat) harus didahulukan dari pada tingkatan kedua (hajiiyyat) dan
tingkatan ketiga (tahsiniyyat).142
3. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Ijtihad
Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW,
sudah ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqa>s}id al-
syari>’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam sebuah
hadits, Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah
menyimpan daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari.
Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang
menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging
qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga hari. Peristiwa tersebut
disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi Rasulullah SAW membenarkan
serta menjelaskan bahwa: “dahulu aku melarang kalian menyimpannya
(daging qurban) karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari
perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging
kurban). Sekarang simpanlah daging-daging qurban itu (karena tidak ada
lagi para tamu yang membutuhkannya). 143
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur
karena dikhawatirkan akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan
terhadap roh-roh orang yang di kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan.

142
Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, 127.
143
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412H/1991M), 143-144, Hadits Nomor 1971.
68

Tapi kemudian, Rasulullah SAW membenarkan atau membolehkan umat


Islam untuk menziarahi kuburan.144
Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti penting maqa>s}id al-
syari>’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging qurban di atas,
larangan menyimpan daging qurban adalah memberi kelapangan kepada
Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah maqa>s}id al-syari>’ah
dari larangan menyimpan daging qurban. Akan tetapi setelah orang badui
tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan menyimpan dagingpun
tidak diberlakukan lagi.
Begitu juga dengan hadits yang kedua tentang perempuan yang
menziarahi kuburan dikarenakan takut jatuh kedalam kesyirikan, akan tetapi
ketika beberapa tahun kemudian di mana keimanan mereka sudah bagus,
maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi. Ini membuktikan bahwa
maqa>s}id al-syari>’ah telah ada pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi
hal tersebut belumlah diistilahkan dalam kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih).
Peranan maqa>s}id al-syari>’ah telah ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad, karena perobahan kondisi
zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari zaman sebelumnya.
Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,
terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan hukumnya, maka
dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qias
dalam rangka menajawab persoalan baru yang belum ada pada masa
Rasulullah SAW.145
Dengan demikian bahwa ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas
akan mampu menjawab perubahan-perubahan yang tidak terbatas
jumlahnya. Di samping itu dengan mengetahui tujuan syari’at, seorang
mujtahid dapat menjadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah
suatu ketentuan hukum masih bisa diterapkan atau tidak. Begitu juga

144
Muslim, Shahih Muslim, 146, Hadits Nomor 1977.
145
Dahlan, Ensiklopedi, 1111.
69

dengan seorang mujtahid dalam meng-istinbath dan menerapkan hukum


harus senantiasa mengacu pada maqa>s}id al-syari>’ah.
4. Kehujjahan Maqa>s}id al-Syari’ah
Sifat dasar dari maqa>s}id al-syari>’ah adalah pasti (qat’i).
Kepastian di sini merujuk pada otoritas maqa>s}id al-syari>’ah itu sendiri.
Apabila syari’ah memberi panduan mengenai tata cara menjalankkan
ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui praktik
riba tidak dibenarkan, pasti hal tersebut disebabkan demi menjaga harta
benda masyarakat, agar tidak terjadi kezaliman sosio-ekonomi. Dengan
demikian eksistensi maqa>s}id al-syari>’ah pada setiap ketentuan hukum
syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa wajib maka
pasti ada manfaat yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, jika ia berupa
perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudharatan yang harus
dihindari.146
Al-Ghazali mengajukan teori maqa>s}id al-syari>’ah dengan
membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa,
akal, kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah
memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati yang mesti
dilindungi dan dipertahankan. Maqa>s}id al-syari>’ah juga merupakan
prinsip umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja
disarikan dari elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil
dan isi kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Kesimpulan yang seperti ini
kelihatan dapat diterima secara meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan
pada abad kelima, di era asas-asas syari’ah, terutama Sunnah telah tercatat
dengan baik, sehingga hampir tidak mungkin ada Sunnah yang tercecer.
Jadi, meskipun sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya unsur

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustasyfa min ‘Ilm al -Ushul: Tahqiq wa


146

Ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Juz 1 (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1417 H/1997M),
416-417.
70

tambahan terhadap kelima maqasid di atas, namun kelimanya sulit


dikesampingkan sebagai elemen penting maqa>s}id al-syari>’ah.147
Mashlahah sebagai tujuan syari’ah dalam bingkai pengertian yang
membatasinya, bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara'
sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian
tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar
kemashlahatan saja. Tapi mashlahah adalah makna yang universal yang
mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-
dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan
karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-
masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: pertama, kalau akal mampu
menangkap maqa>s}id al-syari>’ah secara parsial dalam tiap-tiap
ketentuan hukum, maka akal adalah penentu atau hakim sebelum datangnya
syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.148 Kedua, kalau
anggapan bahwa akal mampu menangkap maqa>s}id al-syari>’ah secara
parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja, maka
batallah keberadaan atsar dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum,
karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia. 149
Pemeliharaan terhadap aspek yang lima (kulliyat al-khamsah)
sebagai pemeliharaan mashlahah dalam tujuan syari’ah dapat
diimplementasikan dalam dua metode: pertama, melalui metode konstruktif
(bersifat membangun). Kedua, melalui metode preventif (bersifat
mencegah). dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban agama dan
berbagai sunnah agama yang lainnya dapat dijadikan contoh terhadap
metode ini. Hukum wajib dan sunnat dimaksudkan untuk memelihara
sekaligus mengukuhkan elemen-elemen maqa>s}id al-syari>’ah tersebut.

147
al-Ghazali, Al-Mustasyfa, 417.
148
Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin at-Tufi (Beirut:
Dar al-Fikr, 1954), 127-132.
149
Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami (Kairo: Dar
an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), 529.
71

Sedangkan larangan-larangan terhadap perbuatan yang diharamkan atau


dimakruhkan bisa dijadikan contoh metode preventif, yaitu mencegah
berbagai analisir yang dapat mengancam bahkan menggelimir semua dasar-
dasar maqa>s}id al-syari>’ah. Kaena itulah, undang-undang pidana dengan
berbagai sanksi hukum secara tegas dapat didukung oleh maqa>s}id al-
syari>’ah. Contoh, apabila jiwa diganggu oleh pembunuhan atau
penganiyaan, maka hal tersebut merupakan tindakan pidana yang harus
dijatuhi hukuman. Seperti itu juga halnya apabila kehormatan seseorang
dinodai, maka juga dapat dijatuhi hukuman.150
Kemudian bagaimana penerapan teori maqa>s}id al-syari>’ah ini
dalam memeriksa dan memutuskan perkara pada Pengadilan Agama?
Dalam tahapan pemeriksaan, teori maqa>s}id al-syari>’ah yang digunakan
adalah dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
inti kasus yang sedang diperiksa. Artinya, bagaimana seorang hakim bisa
menemukan fakta-fakta yang sebenarnya dari kasus tersebut, melalui
pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan kepada analisis filosofis terhadap
kasus yang sedang dihadapi. Untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan
tersebut, maka yang harus dilakukan oleh hakim adalah merumuskan
masalah pada perkara yang sedang dihadapi. Perumusan pokok masalah
dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan oleh hakim
merupakan kunci dari proses penerapan hukum yang tepat dan benar.151
Dalam merumuskan masalah suatu perkara, maka yang perlu
diperhatikan adalah melakukan identifikasi terhadap perkara yang sedang
diperiksa. Pengidentifikasian suatu perkara perlu dilakukan, agar, hakim
bisa melakukan kategorisasi terhadap perkara yang sedang diperiksa itu.
Setelah masalah teridentifikasi dan kategori perkara telah jelas, selanjutnya
hakim memilih metode yang digunakan dalam memeriksa perkara. Dalam
memilih metode dalam memeriksa perkara, hakim juga harus

150
al-Jauziyah, I’lām al-Muwaqqi’in, 220.
151
Andi Syamsu Alam, “Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding”, Majalah Varia Peradilan, Tahun Ke-XX No. 239
(Jakarta: IKAHI, 2005), 41.
72

mempertimbangkan latar belakang lahirnya suatu perkara, apa penyebab


munculnya perkara tersebut? selain itu itu hakim juga harus melakukan
pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data untuk menemukan fakta
yang sebenarnya.
Sedangkan penerapan maqa>s}id al-syari>’ah dalam memutuskan
perkara, maka yang menjadi pertimbangan hakim adalah teori kemaslahatan
hukum, dalam artian, hakim sebagai penterjemah atau pemberi makna
melalui penemuan hukum (rechtschepping) dan menciptakan hukum baru
melalui putusan-putusannya (judge made law), harus bisa mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat (terutama pihak yang berpekara) dalam
setiap putusannya. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa menang dan
yang merasa kalah, karena putusan hakim sudah memberikan
kemashlahatan dan menolak kemudaratan bagi pihak-pihak yang berpekara.
Adapun pertimbangan kemaslahatan yang perlu diperhatikan adalah
asas kulliyah al-khamsah, yaitu: (1) menjaga agama, (2) menjaga jiwa, (3)
menjaga akal, (4) menjaga keturunan dan (5) menjaga harta. Khusus untuk
Pengadilan Agama, maka pertimbangan kemaslahatan yang perlu dijaga
adalah: (1) menjaga agama, (2) menjaga keturunan, dan (3) menjaga harta,
karena perkara yang dihadapi Pengadilan Agama berkaitan dengan hukum
keluarga Islam yang lebih menekankan tiga aspek ini, yaitu agama,
keturunan dan harta.
73

BAB III
PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELANGGARAN
TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Bab ini merupakan paparan data yang penulis peroleh di lokasi


penelitian, yang berupa putusan terhadap perkara perceraian akibat pelanggaran
taklik talak serta hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Giri
Menang. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pertama, gambaran gambaran
umum Pengadilan Agama Giri menang . Kedua, bentuk-bentuk pelanggaran taklik
talak sebagai alasan perceraian. Ketiga pertimbangan hukum hakim terhadap
pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara cerai talak
Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Giri Menang
1. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Giri Menang
Pengadilan Agama merupakan salah satu institusi yang sangat
urgen dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara spesifik,
ia dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum
dan keadilan yang merupakan perwujudan dari pelaksanaan hukum Islam,
guna menata masyarkat Indonesia. Secara yuridis Pengadilan Agama
merupakan suprastruktur politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
secara historis merupakan salah satu mata rantai yang tumbuh dan
berkembang sejak zaman Rasulullah SAW dan secara sosiologis ia lahir
atas dukungan dan upaya masyarakat, terutama umat Islam dan para
ulama yang merupakan bagian dari intensitas kebudayaan Islam dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Peradilan Agama sudah
tumbuh dan sudah ada legitimasi sebagai suatu lembaga hukum pada tahun
1847. Kemudian pada tahun 1882 berdasarkan Keputusan Raja (Raja
Belanda) pada tanggal 19 Januari 1882, Nomor: 152, Pengadilan Agama
ditetapkan sebagai suatu lembaga negara untuk menegakkan hukum dan
74

keadilan. Atas dasar stbl. 1882 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya


Pengadilan Agama di Indonesia untuk daerah Jawa dan Madura.152
Kemudian atas dasar Pasal 134 ayat 2 I.S., maka rencana ordonansi
hasil kerja Comitte Voor Preisteraad dijadikan sebagai ordonansi dengan
stbl. 1931 nomor 53, namun kemudian diadakan perubahan-perubahan lagi
pada tahun 1937, yaitu dengan keluarnya stbl. 1937 nomor 116 dan 610
serta stbl. 1940 nomor 3, untuk peraturan Peradilan Agama di Jawa dan
Madura. Sedangkan untuk daerah Kalimantan Selatan dan sekitar
Banjarmasin berdasarkan stbl. 1937 nomor 638 dan 639.153
Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura, serta selain
daerah Kalimantan dan Banjarmasin dan sekitarnya, berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1957, maka dibentuk Pengadilan Agama
untuk daerah Propinsi Aceh. Kemudian mencabut PP nomor 29 Tahun 1957
dan menetapkan PP Nomor 45 tahun 1957, maka dibentuklah Pengadilan
Agama untuk daerah diluar Jawa dan Madura yang ditetapkan pada tanggal
5 Oktober 1957, yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1957 Nomor
99.154
Di daerah Lombok, sebenarnya sebelum terbentuknya Pengadilan
Agama yang berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1957 sudah ada suatu suatu
lembaga (badan ) yang mengurusi hukum syara’ yang dilakukan oleh suatu
badan yang disebut Muhammanadanscha Godsdient Beambtabe yang
bertindak sebagai Pengadilan Agama sehari-hari yang kemudian dikenal
dengan nama Raad Agama, yang tugas sehari-harinya menyelesaikan
perselisihan suami istri yang beragama Islam dalam masalah nikah, talak,
rujuk, fasakh, mahar, nafkah, had}a>nah, wakaf dan baitul mal.155
Sebelum perkara mereka ditangani oleh Raad Agama, terlebih
dahulu ditangani oleh pejabat penghulu distrik, apabila tidak dapat

152
Dokumen Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2017.
153
Dokumen PA Giri Menang Tahun 2017.
154
Dokumen PA Giri Menang Tahun 2017.
155
Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-
selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.
75

diselesaikan di tingkat distrik (penghulu distrik), perkaranya dikirim ke


Raad Agama yang dijabat oleh penghulu Landraad tingkat Kabupaten.
Raad Agama tetap berjalan sampai terbentuknya Pengadilan Agama di
Lombok berdasarkan pada PP No. 45 Tahun 1957.156
Pengadilan Agama di daerah Lombok yang pertama, yang dibentuk
atas dasar PP No. 45 Tahun 1957 adalah Pengadilan Agama Mataram yang
pembentukannya berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor
5 Tahun 1958 dan berkedudukan di Kota Mataram. Sedangkan wilayah
hukumnya meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan
Lombok Timur.
Setelah adanya desakan dari pemuka-pemuka masyarakat Lombok
Tengah dan Lombok Timur, agar dibentuk Pengadilan Agama di dua
wilayah tersebut, maka keluarlah Keputusan Menteri Agama Nomor 195
tahun 1968, tanggal 28 Agustus 1968 sebagai dasar pembentukan
Pengadilan Agama Praya untuk daerah Tingkat II Lombok Tengah dan
Pengadilan Agama Selong untuk daerah Tingkat II Lombok Timur. Sejak
saat itulah Pengadilan Agama Selong secara Yuridis (formil) terbentuk.
Namun realisasinya belum bisa dilaksanakan karena bermacam-macam
pertimbangan, terutama masalah anggaran dan personil yang masih belum
memungkinkan.
Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
yang secara efektif berlaku tanggal 1 Oktober 1975, nampak tugas-tugas
Pengadilan Agama semakin bertambah, khususnya Pengadilan Agama
Mataram yang mewilayahi tiga kabupaten daerah Tingkat II di Pulau
Lombok. Oleh karena itu, dipandang perlu oleh pemerintah untuk
membentuk Pengadilan Agama yang secara yuridis sudah terbentuk
(Pegadilan Agama Praya dan Pengadilan Agama Selong), mengingat
volume perkara di daerah tersebut sangat meningkat, yang membutuhkan
penanganan secara cepat, tepat dan biaya ringan, sedangkan Pengadilan

156
Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-
selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.
76

Agama Mataram letaknya cukup jauh dan biaya yang harus dikeluarkan
oleh masyarakat yang berperkara dari daerah Lombok Timur dan Lombok
Tengah cukup banyak.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka tanggal 20
Juli 1976 dibukalah secara resmi Pengadilan Agama Selong sebagai
realisasi Keputusan Menteri Agama RI Nomor 195 Tahun 1968.157 Adapun
pembentukan Pengadilan Agama Praya, dengan keluarnya Keputusan
Menteri Agama Nomor 195 Tahun 1968 tanggal 28 Agustus 1968 tersebut,
secara de jure Pengadilan Agama Praya telah terbentuk, namun saat itu
masih dirangkap oleh Pengadilan Agama Mataram, karena secara de facto
Pengadilan Agama Praya belum didirikan dan diresmikan. Barulah pada
tanggal 21 Maret 1977, secara de facto Pengadilan Agama Praya diresmikan
dengan mengangkat K.H. Muhtar Thoyyib, sebagai Ketua Pengadilan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. B.II/3-d/4320
tertanggal 31 Juli 1976 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1976. 158
Sedangkan Pengadilan Agama Giri Menang terbentuk berdasarkan
Keppres RI Nomor 145 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998, yang mulai
berlaku tanggal 7 April 1999.159 Jadi, Pengadilan Agama di Pulau Lombok
hingga saat ini berjumlah 4 (empat) Pengadilan Agama yaitu Pengadilan
Agama Mataram, Pengadilan Agama Giri Menang, Pengadilan Agama
Praya dan Pengadilan Agama Selong.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957,
Lembaga Negara No. 99 Tahun 1957, Pasal 1 menyebutkan “di tempat yang
yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’ah yang darerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan
Negeri”, eksistensi Pengadilan Agama semakin dibutuhkan seiring berbagai
desakan dan aspirasi yang datang dari masyarakat daerah (termasuk dari

157
Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-
selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.
158
Kesektariatan PA Praya, Sejarah Pengadilan Agama Praya, dalam http://www.pa-
praya.go.id/, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.
159
Baiq Halkiyah, S.Ag, MH, Ketua Pengadilan Agama Giri Menang, Wawancara
(Gerung: 21 Oktober 2018).
77

beberapa Daerah di NTB), terutama Lombok, sebagaimana tercantum pada


penjelasan PP No. 45 Tahun 1957 alinea 15 dan tambahan Lembaga Negara
No 1441).
Namun demikian pelaksanaannya secara konkrit baru dapat
dilakukan sampai keluarnya Penetapan Menteri Agama No. 05 Tahun 1958
dan terbitnya Keputusan Menteri Agama No. 195 Tahun 1968 yang dalam
“menimbang”, huruf b dinyatakan bahwa “desakan dari pemuka masyarakat
di daerah-daerah Praya dan Selong agar supaya segera dibentuk Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah di daerah-daerah tersebut”.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1995 tentang
Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Palu, Kendari dan
Kupang dan terbitnya KMA Nomor 434 tahun 1995 tentang Pembentukan
Sekretariat Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Palu Kendari dan Kupang,
maka Wilayah Hukum (Yurisdiksi) Pengadilan Tinggi Agama Mataram
sampai sekarang meliputi 16 Pengadilan Agama ditambah dengan
terbentuknya Pengadilan Agama Giri Menang dan Pengadilan Agama
Badung dengan Keppres RI Nomor 145 tahun 1998 tanggal 16 September
1998, yang mulai berlaku tanggal 7 April 1999.
2. Letak Geografis Pengadilan Agama Giri Menang
Ditinjau dari letak geografis, Pengadilan Agama Giri Menang
berada pada posisi yang cukup berbeda dengan kantor lainnya. Hal ini
disebabkan karena keberadaan kantor Pengadilan Agama Giri Menang ini
tidak berdampingan dengan kantor lainnya. Kantor ini sendiri dikelilingi
oleh areal persawahan di setiap sisinya. Sebelah depan jalan Soekarno Hatta
yang menjadi jalur yang menghubungkan lembaga ini dengan masyarakat
yang membutuhkan pelayanannya. Jalur ini merupakan penghubung antara
desa dan kecamatan yang ada di Lombok Barat.160 Untuk lebih jelasnya,
berdasarkan batas-batas posisi Pengadilan Agama Giri Menang Lombok
Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Sebelah Timur : Areal jalan Soekarno Hatta

160
Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.
78

- Sebelah Barat : Areal persawahan dan pemukiman penduduk


- Sebelah Selatan : Areal persawahan dan pemukinan penduduk
- Sebelah Utara : Kantor Bupati Lombok Barat
Pengadilan Agama Giri Menang berkedudukan di Ibu Kota
Kabupaten Lombok Barat dengan wilayah hukumnya meliputi 15 wilayah
kecamatan dan terdiri dari 113 desa dengan jumlah penduduk 695.104 jiwa
dengan luas wilayah kabupaten Lombok Barat adalah 1.642,46 Km, dengan
penduduk mayoritas beragama Islam. Wilayah inilah yang kemudian
dikatakan sebagai wilayah kekuasaan relatif atau yurisdiksi relatif
Pengadilan Agama Giri Menang. Adapun wilayah kecamatannya adalah
Kecamatan Sekotong Tengah, Kecamatan Lembar, Kecamatan Gerung,
Kecamatan Labuapi, Kecamatan Kediri, Kecamatan Kuripan, Kecamatan
Narmada, Kecamatan Lingsar, Kecamatan Gunungsari, Kecamatan
Batulayar, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Pemenang, Kecamatan Gangga,
Kecamatan Kayangan, dan Kecamatan Bayan. 161
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang
Visi Pengadilan Agama Giri Menang dirumuskan sebagai berikut:
“Terwujudnya Pengadilan Agama Giri Menang Yang Agung”. Peradilan
yang mandiri dan profesional yang handal dan bermoral sebagai sosok
peradilan baik secara institunsi, individual maupun sistem yang memiliki
kompetensi dalam menjalankan tugas dan fungsi secara terampil, baik dan
benar, berlandaskan nilai etika dan moral propesional, transparan, akuntabel
dan memiliki kredibilitas.
Untuk mencapai visi tesebut, ditetapkan misi Pengadilan Agama Giri
Menang yang harus dilaksanakan, yaitu:
a. Mewujudkan Peradilan cepat dan biaya ringan;
b. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur peradilan;
c. Meningkatkan pengawasan dan epesiensi;
d. Meningkatkan kesadaran dan ketaatan suatu Masyarakat;
e. Meningkatkan kualitas administrasi dan manajemen Peradilan;

161
Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.
79

f. Meningkatkan sarana dan perasarana peradilan.162


4. Rencana Strategis Pengadilan Agama Giri Menang
Rencana strategis Pengadilan Agama Giri Menang pada hakikatnya
adalah upaya sistematis dan terencana untuk menampilkan kinerja melalui
hal-hal sebagai berikut:
a. Meningkatkan profesionalisme kerja dalam rangka mewujudkan
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
b. Meningkatkan kedisiplinan dan etos kerja dalam rangka
mengoptimalkan 5 hari kerja.
c. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
d. Meningkatkan kemandirian lembaga peradilan tanpa intervensi pihak
lain tanpa mengabaikan kritik yang membangun.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi komputer dan pengelolaan
website Pengadilan Agama Giri Menang yang dapat menjadi sarana bagi
masyarakat untuk mencari atau memperoleh informasi yang dibutuhkan.
f. Menyediakan ”Informasi Desk”, sebagai tempat untuk informasi awal
bagi masyarakat pencari keadilan.
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, susunan organisasi Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita, sedangkan Pasal 10 ayat
(1) menyebutkan bahwa Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang
Ketua dan seorang Wakil Ketua. Pasal 26 ayat (2) menyebutkan bahwa
“dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang
Panitera Pengganti dan beberapa orang Juru Sita”. Pasal 38 menyebutkan
bahwa pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan
Jurusita Pengganti. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44 Undang-undang
Nomor: 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa: “Panitera Pengadilan

162
Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2016
(Giri Menang, 2016), 5.
80

merangkap Sekretaris Pengadilan”, hal ini berbeda dengan ketentuan dalam


Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yakni Panitera Pengadilan tidak
merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Akan tetapi dalam Undang
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ketentuan Pasal 44
tersebut dihapus.163
Pasal 105 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
menyebutkan tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan dan Sekretariat Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama. Sebagai realisasi dari pasal di atas, Menteri Agama RI telah
menerbitkan Keputusan Nomor 303 Tahun 1990. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006, ketentuan Pasal 105 ayat (2) diubah sehingga
berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan
organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung”.
Terhadap ketentuan tersebut terutama tentang susunan organisasi (struktur
organisasi), Mahkamah Agung belum mengeluarkan ketentuan tersebut,
sehingga tetap mengacu pada ketentuan yang lama.
Pada tahun 2015 Mahkamah Agung kembali mengeluarkan
peraturan baru, yakni PERMA No. 7 Tahun 2015, yakni Panitera
Pengadilan tidak merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Oleh karena itu,
susunan organisasi Pengadilan Agama Giri Menang terdiri dari: Ketua,
Wakil Ketua, Panitera (Membawahi: [1] Panitera Muda Gugatan, [2]
Panitera Muda Permohonan, [3] Panitera Muda Hukum, [4] Panitera
Pengganti, [5] Juru Sita), Sekretaris (Membawahi: [1] Kasubag Perencanaan
IT dan Pelaporan, [2] Kasubag Kepegawaian, Organisasi dan Tata Laksana,
[3] Kasubag Umum dan Keuangan).
Dari uraian tersebut di atas, Pengadilan Agama Giri Menang,
adalah Pengadilan Agama kelas II B, sehingga Struktur Organisasi
Pengadilan Agama Giri Menang adalah sebagaimana tercantum di bawah
ini:

163
Panmud Hukum, Laporan Tahunan, 8-9.
81

Gambar 1
Struktur dan Personalia Pengadilan Agama Giri Menang 2017
KETUA
BAIQ HALKIYAH, S.Ag., M.H.
1. MUHAMAD JAMIL, S.Ag
2. Dra. ULIN NA’MAH, S.H
WAKIL KETUA
3. RUFAIDAH IDRIS, S.H.I
Dra. ULIL USWAH, M.H
4. HAYATUL MAQI, S.H.I, M.Si
5. MOCH. YUDHA TEGUH NUGROHO, S.H.I
6. HUDA LUKONI, SHI, SH, MH
7. MUH. SAFRANI HIDAYATULLAH, S.Ag. M.Ag
8. MOCH. SYAH ARIYANTO, S.H.I
9. RUSYDIANA KURNIAWATI LINANGKUNG, S.H.I
10. H. ADI IRFAN JAUHARI, Lc. MA
11. FATHA AULIA RISKA, S.H.I
12. NURHASAN, S.H.I

PANITERA SEKRETARIS
Drs. AHMAD, SH. MH. MUAIDI, SH

PANITERA MUDA KEPALA SUB BAGIAN


PERMOHONAN PERENCANAAN, IT,
PELAPORAN
LALU WIRAME, SH
H. SUHAILI, SH

PANITERA MUDA KEPALA SUB BAGIAN


GUGATAN KEPEGAWAIAN
ABDUL MISRAN, SHI H. MAWARDI, SH

PANITERA MUDA KEPALA SUB BAGIAN


HUKUM UMUM DAN KEUANGAN
M. NASIR, SH RATIP, SH

KELOMPOK FUNGSIONAL KELOMPOK FUNGSIONAL

PANITERA PENGGANTI JURU SITA JURU SITA PENGGANTI


ARSIPARIS PUSTAKAWAN PRANATA
1. SAHNUDIN, SH 1. SABRI, SH 1. M. TAHIR AKHMAT, SH KOMPUTER
2. H. NUZULUDDIN, SH 2. L. MUHTAR SANUSI, SH 2. BAIQ SURIANU, SH
3. QURATUL AINI, SH 3. A. RASUL, SH 3. IMRAN, SH
4. SRI KURNIAWATI, SH 4. BUSTANIL ARIFIN, SH 4. HAIRUL BAHRIAH, SH
5. IHSAN, SH 5. ABDURRAIL, SHI
6. RUGAYA, SH 6. M. FAUZI, SE
7. KARTINI, SH 7. BAIQ ROSIDA, SH
8. BAIQ SANTI SULISTIORINI, SH 8. HJ. SITI ZAHRAH, SH
9. TITIK FITRIANI, SH 9. BAIQ ROSMANAILI, SHI
10. NUR ALIYAH, SH 10. AHMAD JAELANI, SHI
11. YULIANA ASTI ASTUTI, S.Sy 11. ABDUL GHAFUR, A.Md
12. SILVIA KUSUMADEWI, SHI 12. ARIANA FITRIANI, A.Md

BENDAHARA
1. AHMAD JAELANI, SHI (BENDAHARA PEGELUARAN)
2. LASTRIANI, SE (BENDAHARA PENERIMAAN)

PRANATA PERADILAN
82

6. Penyusunan Alur Tupoksi Pengadilan Agama Giri Menang


Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama, bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, infaq, shadaqah dan ekonomi
syari’ah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009, tidak merubah/ menambah/ mengurangi ketentuan dalam Pasal
49 tersebut di atas.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama
mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan
bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi;
b. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi
dan paninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya;
c. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan
kecuali biaya perkara);
d. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam
pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
e. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,
pelaksanaan hisab rukyat, memberikan pertimbangan hukum agama,
pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap advokat/ penasehat
hukum dan sebagainya.
Adapun tugas pokok dan fungsi sesuai dengan struktur organisasi di
atas adalah sebagai berikut:
a. Ketua Pengadilan Agama: Tugas pokok dan fungsinya adalah pemimpin
pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Giri Menang dalam mengawasi,
83

mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai dengan


kebijakan tugas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Wakil Ketua Pengadilan Agama: Tugas pokok dan fungsinya adalah
mewakili Ketua Pengadilan Agama Giri Menang dalam hal
merencanakan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai Wakil
Ketua Pengadilan Agama Giri Menang serta mengkoordinir dan
melaporkan pengawasan tugas kepada Ketua Pengadilan Agama Giri
Menang.
c. Hakim: Tugas pokok dan fungsinya adalah menerima dan meneliti berkas
perkara serta bertanggung jawab atas perkara yang diterima yang
menjadi wewenangnya baik dalam proses maupun penyelesaiannya
sampai dengan minutasi. Berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan
Agama, menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek
serta melaksanakan pengawasan bidang Bindalmin atas perintah ketua.
d. Panitera: Tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan Ketua
Pengadilan Agama dalam merencanakan dan melaksanakan pelayanan
teknis di bidang administarsi perkara, administarsi umum dan
administrasi lainya yang berkaitan dengan menyiapkan konsep rumusan
kebijakan dalam menggerakkan dan mengarahkan pelaksanaan tugas
kegiatan Kepaniteraan.
e. Sekretaris: Tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan
Ketua Pengadilan Agama dalam merencanakan dan melaksanakan
pelayanan teknis di bidang administrasi, organisasi, keuangan, sumber
daya manusia, serta sarana dan prasarana di lingkungan Pengadilan
Agama.
f. Wakil Panitera: Tugas pokok dan fungsinya adalah membantu Panitera
dalam melaksanakan tugas-tugas Kepaniteraan dan bertanggungjawab
dalam mengawasi tugas meja 1, meja II, meja III. Mengevaluasi dan
melaporkan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
84

g. Sub bagian Perencanaan, Teknologi Informasi, dan Pelaporan


mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan, program,
dan anggaran, pengelolaan teknologi informasi, dan statistik, serta
pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan dokumentasi serta pelaporan dan
bertanggung jawab kepada Sekretaris.
h. Sub bagian Kepegawaian, Organisasi, dan Tata Laksana mempunyai
tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan urusan kepegawaian,
penataan organisasi dan tata laksana dan bertanggung jawab kepada
Sekretaris.
i. Sub bagian Umum dan Keuangan mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan pelaksanaan urusan surat menyurat, arsip, perlengkapan,
rumah tangga, keamanan, keprotokolan, perpustakaan, serta pengelolaan
keuangan dan bertanggung jawab kepada Sekretaris.
j. Panitera Muda Gugatan: Tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin
dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada bagian gugatan
serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan
mengevaluasi dan membuat laporan/bertanggung jawab kepada Wakil
Panitera.
k. Panitera Muda Permohonan: Tugas pokok dan fungsinya adalah
memimpin dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada
bagian permohonan serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam
pelaksanaan mengevaluasi dan membuat laporan/ bertanggung jawab
kepada Wakil Panitera.
l. Panitera Muda Hukum: Tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin
dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada bagian hukum
serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan
mengevaluasi dan membuat laporan/bertanggung jawab kepada Wakil
Panitera.
m. Panitera Pengganti: Bertugas membatu Majelis Hakim mengikuti sidang
pengadilan membuat berita acara membuat instrumen sidang mengetik
putusan dan penetapan perkara, menyerahkan berkas perkara yang telah
85

selesai pada Panitera Muda Hukum/meja III melalui Wakil Panirera


serta bertanggung jawab kepada Panitera/Sekretaris.
n. Jurusita dan Jurusita Pengganti: Tugas pokok dan fungsinya adalah
melaksanakan tugas kejurusitaan dan bertanggung jawab dengan Wakil
Panitera.164
7. Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Giri
Menang
Wewenang atau yang sering disebut kompetensi, kompetensi
Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif Peradilan
Agama merujuk pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan kompetensi absolut
berdasarkan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu
kewenangan mengadili perkara-perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b)
kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c)
wakaf dan sadaqah. Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ini sekarang sudah
diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan diamandemen lagi dengan
UU No. 50 Tahun 2009.165
Menurut Yahya Harahap,166 ada lima tugas dan kewenangan
Peradilan Agama, yaitu; 91) fungsi kewenangan mengadili, (2) memberi
keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang (3) kewenangan lain oleh atau
berdasarkan undang-undang, (4) kewenangan Peradilan Tinggi Agama
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa
kompetensi relatif; serta (5) bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kekuasaan Peradilan Agama ini pada prinsipnya sama makna,
perumusan dan cara pengaturannya sebagaimana yang ditentukan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha

164
Panmud Hukum, Laporan Tahunan, 11-13.
165
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 103.
166
Harahap, Kedudukan, Kewenangan, 58.
86

Negara. Bahkan jenis kekuasaan fungsi dan kewenangan pun sama,


perbedaannya pada ruang lingkup kekuasaan mengadili, yaitu disesuaikan
dengan ciri yang melekat pada masing-masing lingkungan peradilan.
a. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama Giri Menang
Dalam menentukan kompetensi relatif setiap Peradilan Agama
dasar hukumnya berpedoman pada ketentuan Undang-undang Hukum
Acara Perdata. Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa
hukum acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum.
Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif
Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR, atau pasal
142 R.Bg. jo Pasal 66 dan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989. Penentuan
kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke
Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi
syarat formal.167
Kopetensi relatif adalah kopetensi (kewenangan Pengadilan
Agama yang mempunyai wilayah hukum tertentu).168 Jadi kopetensi
relatif Pengadilan Agama Giri menang adalah wilayah hukum pengadilan
yang meliputi seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten
Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat.
b. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Giri Menang
Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan empat jenis
lingkungan peradilan, dan masing-masing mempunyai kewenangan
mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk Peradilan Agama
menurut Bab I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989
ditetapkan tugas kewenangannya yaitu kewenangan mengadili perkara-
perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan sedekah.
167
Lubis, Hukum Acara, 104.
168
Royhan A. Rasyid, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
25.
87

Dengan demikian kewenangan Peradilan Agama tersebut


sekaligus dikaitkan dengan asas personalitas keislaman, yaitu yang dapat
ditundukkan terhadap kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya
mereka yang beragama Islam.169
Dewasa ini dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No.78 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah
satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan
lembaga Peradilan Agama, pada Pasal 49 yang sekarang juga meliputi
perkara-perkara bidang Ekonomi Syari’ah.
Dari perluasan kewenangan Peradilan Agama saat ini, yang
meliputi perkara bidang Ekonomi Syari’ah berarti juga perlu mengalami
perluasan terhadap pengertian asas personalitas keislaman di atas.
Mengenai hal ini telah diantisipasi dalam penjelasan Pasal 1 angka 37
tentang perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ini yang menyebutkan
sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang
beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan pasal ini”.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kewenangan mutlak
(kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perkara perdata
tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
jo UU No. 3 Tahun 2006 dan berdasarkan atas asas personalitas
keislaman yang telah diperluas. Dengan kata lain, bidang-bidang tertentu
yang dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut Peradilan
Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari orang-orang
yang beragama Islam.170 Akan tetapi termasuk sengketa Ekonomi
Syari’ah, di dalamnya termasuk Perbankan Syari’ah.

169
Lubis, Hukum Acara, 105.
170
Lubis, Hukum Acara, 107.
88

Dengan adanya amandemen UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU


No.7 Tahun 1989 maka kewenangan absolut Peradilan Agama semakin
diperluas, hal tersebut sebagaimana bunyi Pasal 49 berbunyi:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam, di bidang: (a) Perkawinan, (b) Waris, (c) Wasiat, (d)
Hibah, (e) Wakaf, (f) Zakat, (g) Infaq, (h) Sadaqah, dan (i) Ekonomi
Syari’ah”.
Kopetensi absolut adalah kopetensi (kekuasaan) pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara.171 Jadi kopetensi absolut Pengadilan
Agama Giri Menang adalah menangani perkara-perkara yang menjadi
kewenangan pengadilan Agama Giri Menang yang berkaitan dengan
sengketa perdata bagi mereka yang beragama Islam sebagai berikut: 172
1) Menggali perkara orang-orang islam di bidang perkawinan,
diantaranya: izin poligami, izin kawin, penyelenggaraan perkawinan,
penolakan perkawinan oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah),
pembatalan perkawinan, kelalaian atas kewajiban suami istri, cerai
talaq, cerai gugat, harta bersama, penguasaan anak, pencabutan
kekuasaan orang tua sebagai wali, nafkah anak oleh ibu, hak-hak
bekas istri, pencabutan kekuasaan wali, perwalian terhadap wali,
penetapan asal usul anak, pengangkatan anak, penolakan kawin
campur, pengesahan anak, akad nikah, dan wali adhol.
2) Ekonomi Syari’ah yang meliputi: Bank Syari’ah, obligasi, asosiasi,
pembiayaan, pengadilan, lembaga keuangan mikro, resuransi, bisnis,
dana pensiun, surat berharga berjangka menengah, dan sekuralitas.
3) Kewasiatan meliputi: ahli waris, harta pengesahan, bagian masing-
masing waris, pelaksanaan pembagian harta peninggalan wasiat
dalam harta hibah, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, dan sadaqah.

171
Lubis, Hukum Acara, 27.
172
Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.
89

8. Kondisi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman
yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang
diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif
dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab
IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat
(2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki
kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga
ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah
satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri
(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor
utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala
kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah,
mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan
semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan
melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan
90

bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan


kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.173
Lembaga peradilan di Indonesia dari tahun ke tahun mulai
menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu dari
lembaga peradilan, hakim saat ini juga mendapat sorotan yang relatif tinggi
dari masyarakat dan media. Secara yuridis, hakim merupakan bagian
integral dari sistem supremasi hukum. Tanpa adanya hakim yang memiliki
integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan, maka
jargon-jargon good government dan good governance yang selama ini
digembar-gemborkan oleh banyak pihak tidak akan dapat terealisasi, hanya
sebatas “mimpi” semata.
Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili. Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para
pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi
tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Pertimbangan dari
seorang hakim sangat diharapkan karena hakim adalah orang yang tinggi
pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Hakim juga diharapkan
sebagai orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah.174
Asas hakim aktif sesuai dengan aliran pikiran tradisioanal Indonesia,
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 mengharuskan hakim aktif karena yang
dituju dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terlaksananya negara hukum Republik
Indonesia.175
Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk
membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh

173
Wildan Suyuthi, "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), 15.
174
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), 113.
175
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4 Tahun 2004 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004).
91

lainnya.176 Ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan.


Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan
pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukm) terhadap perkara
yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain
pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali,
memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut
untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia (Pasal 1 dan 2 UU. No.14/1970).177
Guna mewujudkan penegakan hukum dan keadilan dalam
masyarakat, maka perlu didukung oleh sumber daya yang memadai. Sumber
daya yang dimaksud di sini adalah aparatur peradilan terutama hakim. Oleh
karena itu, Pengadilan Agama Giri Menang mempunyai 14 (empat belas)
hakim untuk menangani perkara-perkara yang diajukan di Pengadilan
Agama Giri Menang. Adapun keempat belas orang hakim tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.1: Nama-Nama Hakim Pengadilan Agama Giri Menang
No Nama Keterangan
1 Baiq Halkiyah, NIP 19680605.199703.2.001
S.Ag. MH. TTL Lombok Tengah, 05 Juni 1968
Jabatan Ketua
Gol./Ruang Pembina (IV/a)
Pendidikan S2 Universitas Mataram

2 Muh. Safrani NIP 19770219 200704 1 001


Hidayatullah, S.Ag. TTL Mataram, 19 Februari 1977
M.Ag. Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata (III/c)

176
Bisri, Peradilan Islam, 104.
177
Arto, Praktek Perkara Perdata, 29.
92

Pendidikan S2 UIN Yogyakarta

3 Rufaidah Idris, NIP 19790617.200604.2.003


SH.I. TTL Denpasar, 17 Juni 1979
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata (III/c)
Pendidikan S1 STAIN Mataram

4 Muhamad Jamil, NIP 19760905.200502.1.004


S.Ag. TTL 05 September 1976
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata (III/c)
Pendidikan S1 Institut Agama Islam
Ibrahimy

5 Hayatul Maqi, SHI. NIP 19581231.199203.1.016


M.Si. TTL 19780322 200704 1 001
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)
Pendidikan S2 UGM Yogyakarta

6 Huda Lukoni, SHI. NIP 19790927 200704 1 001


SH. MH. TTL Banyuwangi, 27 September
1979
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)
Pendidikan S2 Ilmu Hukum

7 Moch. Yudha NIP 19810118 200704 1 001


Teguh Nugroho, TTL Blora, 18 Januari 1981
SHI. Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)
Pendidikan S1 Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

8 H. Adi Irfan NIP 19781110.200904.1.007


Jauhari, Lc. M.A. TTL Bekasi, 18 November 1978
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)
93

Pendidikan S2 UIN Syarif Hidayatullah

9 Moch. Syah NIP 19790528 200704 1 001


Ariyanto, SH.I TTL Kupang, 01 April 2011
Jabatan Hakim
Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)
Pendidikan S1 IAIN Sunan Ampel

10 Nurhasan, S.HI. NIP 19830308 2009121 004


TTL Sendang Mulyo, 08 Maret
1983
Jabatan Hakim
Gol./Ruang Penata Muda (III/a)
Pendidikan S1 UIN Syarif Hidayatullah

11 Fatha Aulia Riska, NIP 19840404 200912 2 004


S.HI. TTL Blitar, 04 April 1984
Jabatan Hakim
Gol./Ruang Penata Muda (III/a)
Pendidikan S1 UMM Malang

12 Rusydiana NIP 19850920.200805.2.001


Kurniawati TTL Mataram, 20 September 1985
Linangkung, SH.I. Jabatan Hakim
Gol./Ruang Penata (III/c)
Pendidikan S1 UIN Sunan Kalijaga

Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada


dasarnya memiliki dua tindakan peran. Pertama, untuk membuktikan
keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau
pidana oleh suatu norma umum yang harus diterapkan kepada kasus
tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata atau pidana yang
konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus diterapkan.
Dari kedua peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan
penerap dari norma hukum yang berupa peraturan perundang-undangan
94

yang kemudian diikuti dengan menerapkan sanksi demi tegaknya peraturan


perundang-undangan tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendukung peran seorang hakim dalam
upaya menemukan hukum maka dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan
yang cukup. Hal ini bertujuan supaya hukum yang diterapkan memenui rasa
keadilan bagi semua pihak. Di sinilah pentingnya pendidikan bagi seorang
hakim. Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa 45% hakim di Pengadilan
Agama Giri Menang sudah menempuh pendidikan S2.
9. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Giri Menang
Perkara yang penulis paparkan dalam penelitian ini adalah perkara
pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2017. Keadaan dan jumlah perkara
yang diterima Agama Giri Menang pada tahun 2014 sebanyak 2467 perkara
ditambah sisa perkara tahun 2013 sebanyak 92 perkara. Jadi jumlah perkara
yang ditangani Agama Giri Menang pada tahun 2014 sebanyak 2559
perkara. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:178
a. Sisa perkara tahun 2013 = 92 Perkara
b. Penerimaan perkara tahun 2014 = 2467 Perkara
Jumlah = 2559 Perkara
c. Perkara yang diputus tahun 2014, dengan rincian sebagai berikut:
1) Dikabulkan = 2263 Perkara
2) Digugurkan = 138 Perkara
3) Ditolak = 9 Perkara
4) Tidak diterima = 7 Perkara
5) Dicoret = 10 Perkara
6) Dicabut = 47 Perkara
Jumlah = 2474 Perkara
Sisa perkara tahun 2014 = 85 Perkara

178
Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Giri Menang Tahun 2014 (Giri
Menang, 2014), 30.
95

Pengadilan Agama Giri Menang pada tahun 2015 menangani perkara


sebanyak 1657 perkara. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:179
a. Sisa perkara tahun 2014 = 85 Perkara
b. Penerimaan perkara tahun 2015 = 1572 Perkara
Jumlah = 1657 Perkara
c. Perkara yang diputus tahun 2015, dengan rincian sebagai berikut:
1) Dikabulkan = 1385 Perkara
2) Digugurkan = 53 Perkara
3) Ditolak = 11 Perkara
4) Tidak diterima = 17 Perkara
5) Dicoret = 16 Perkara
6) Dicabut = 48 Perkara
Jumlah = 1529 Perkara
Sisa perkara tahun 2015 = 127 Perkara
Adapun pada tahun 2016, Agama Giri Menang menangani perkara
sebanyak 2558 perkara. Adapun rinciannya adalah:180
a. Sisa perkara tahun 2015 = 127 Perkara
b. Penerimaan perkara tahun 2016 = 2431 Perkara
Jumlah = 2558 Perkara
c. Perkara yang diputus tahun 2016, dengan rincian sebagai berikut:
1) Dikabulkan = 2200 Perkara
2) Digugurkan = 99 Perkara
3) Ditolak = 3 Perkara
4) Tidak diterima = 14 Perkara
5) Dicoret = 15 Perkara
6) Dicabut = 98 Perkara
Jumlah = 2429 Perkara
Sisa perkara tahun 2016 = 129 Perkara

179
Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2014
(Giri Menang, 2014), 90.
180
Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2016
(Giri Menang, 2016), 90.
96

Adapun rincian penerimaan perkara menurut jenisnya sejak tahun


2014 sampai dengan tahun 2017 adalah sebagai berikut:181
Tabel 3.2: Penerimaan Perkara Menurut Jenisnya Tahun 2014-2017
No Jenis Perkara Jumlah Perkara
2014 2015 2016 2017
1 Izin Poligami 8 3 4 8
2 Pencegahan Perkawinan - 2 6 -
3 Penolakan Perkawinan oleh PPN - - 2 1
4 Pembatalan Perkawinan 1 2 - -
5 Cerai Talak 93 102 154 189
6 Cerai Gugat 415 420 471 515
7 Harta Bersama 6 3 5 7
8 Penguasaan Anak - 3 2 1
9 Nafkah Anak Oleh Ibu - - - -
10 Hak-Hak Bekas Istri - - - -
11 Pengesahan Anak 4 - - -
12 Pencabutan Kekuasaan Orang Tua - - - -
13 Perwalian 5 3 9 10
14 Pencabutan Kekuasaan Wali - - - -
15 Ganti Rugi Terhadap Wali - - - -
16 Asal-Usul Anak - 1 9 4
17 Penetapan Kawin Campuran - - - -
18 Isbat Nikah 1908 995 1701 1229
19 Izin Kawin - - - -
20 Dispensasi Kawin 3 7 27 23
21 Wali Adhol 10 2 3 4
22 Ekonomi Syar’iyah - - - -
23 Kewarisan 12 18 24 29
24 Wasiat - - - -

181
Pengadilan Agama Giri Menang, Laporan Tahunan 2014 – 2017.
97

25 Hibah - 2 - -
26 Wakaf - - 1 -
27 Zakat / Infaq / Sodaqoh - - - -
28 P3HP / Penetapan Ahli Waris 5 6 11 9
29 Lain-lain - 3 1 1
Jumlah 2467 1572 2431 2030

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa Pengadilan Agama Giri


Menang menangani perkara terbanyak pada tahun 2016 dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelum dan setelahnya yakni tahun 2015 dan tahun
2017.
10. Gambaran Perkara Cerai Talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.
a. Subyek Hukum
Perkara ini diajukan oleh Naharudin bin Baderun, umur 35 tahun,
agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa
Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selanjutnya disebut
sebagai Pemohon. Adapun pihak lawannya adalah Srianu binti H. Mahli,
umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal
di Dusun Mendagi, Desa Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok
Barat, selanjutnya disebut sebagai Termohon.
b. Duduk Perkara
Pemohon dengan Termohon adalah suami istri sah yang menikah
pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1998 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat,
sesuai Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor: 228/13/VII/1998 tanggal 9 Juli
1998. Setelah melangsungkan perkawinan, Pemohon dan Termohon
bertempat tinggal di Dusun Lembar, Desa Lembar, Kecamatan Lembar,
Kabupaten Lombok Barat dan terakhir di Dusun Mendagi, Desa Beleke,
Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selama pernikahan tersebut
Pemohon dengan Termohon telah hidup sebagaimana layaknya suami istri
98

dan dikaruniai 2 orang anak yang bernama: (1) M. Tomi Hermawan, laki-
laki, umur 14 tahun, (2) Siti Anisa Nilmalasari, perempuan, umur 10 tahun.
Berawal sejak tanggal 5 Nopember 2012, Pemohon mempunyai
hubungan khusus dengan seorang perempuan bernama Ati (bukan nama
sebenarnya), hubungan khusus tersebut diketahui oleh Termohon pada
tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah pertengkaran antara Pemohon
dengan Termohon, dan Termohon mau memaafkan Pemohon dengan
membuat perjanjian yang merupakan inisiatif dari Termohon pada tanggal
31 Januari 2013 yang isinya: “Pemohon tidak akan pacaran lagi dan jika
perjanjian ini Pemohon langgar maka jatuhlah talak tiga Pemohon terhadap
Termohon”.
Pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan Pemohon
sedang berduaan dengan Nurhayati, oleh karena Pemohon telah membuat
perjanjian tersebut, maka Termohon menganggap telah jatuh talak
Pemohon terhadap Termohon, kemudian Pemohon pulang kembali ke
rumah orang tua Pemohon. Pemohon sangat meragukan isi perjanjian
tersebut, karena tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon.
Pemohon dengan Termohon menginginkan kembali rukun dan membina
rumah tangga namun tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh masyarakat
maupun tokoh agama di tempat Pemohon bertempat tinggal dan
menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada Termohon.
Melalui perjanjian yang telah dibuat oleh Pemohon, Pemohon telah
menjatuhkan talak tiga kepada Termohon. Oleh karena itu, Pemohon
(suami) memohon kepada Majelis hakim untuk ditetapkan sebagai talak satu
sehingga Pemohon bisa rujuk kembali dengan Termohon. Berdasarkan dali-
dalil dan alasan-alasan tersebut di atas pemohon mohon kepada Majelis
hakim yang memeriksa perkara ini memberikan putusan sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Menetapkan jatuh talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin Baderun)
terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).
c. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
99

c. Amar Putusan
Setelah memeriksa dan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang
ditemukan pada saat proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Agama
Giri Menang memutuskan:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Menyatakan taklik talak Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap
Termohon (Srianu binti H. Mahli) sah menurut hukum.
c. Menetapkan jatuhnya talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin Baderun)
terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).
d. Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus sebelas
ribu rupiah) kepada Pemohon.
B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian di
Pengadilan Agama Giri Menang
Suatu bahtera perkawinan tidak selamanya dapat mengarungi samudra
kehidupan dengan tenang dan lancar. Setelah keluarga terbentuk berbagai
masalah bisa timbul dalam kehidupan keluarga yang pada gilirannya dapat
menjadi benih yang mengancam kehidupan perkawinan yang berakibat
keretakan atau perceraian. Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu
perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan
dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa ini
kandas di tengah jalan oleh adanya berbagai hal.
Putusnya hubungan perkawinan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi
didahului oleh keadaan adanya keretakan dalam membina mahligai rumah
tangga yang menjurus kepada ketidakharmonisan dan keserasian dalam
kehidupan berkeluarga. Konflik yang terus-menerus antara suami dengan istri
menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak dapat bertahan untuk selama-
lamanya. Jika hubungan baik dari pasangan suami istri itu tidak mungkin terus
dilangsungkan, maka Islam pun tidak membelenggu dengan suatu rantai yang
memuakkan, mengakibatkan keadaan yang menyengsarakan dan menyakitkan.
Dalam keadaan inilah perceraian dibolehkan.
100

Salah perbuatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan


perceraian ke Pengadilan Agama adalah pelanggaran taklik talak. Terdapat
berbagai bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan alasan untuk
mengajukan perceraian. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa
orang narasumber (hakim) di Pengadilan Agama Giri Menang, ada beberapa
bentuk pelanggaran yang biasa diajdikan alasan untuk mengajukan perceraian
ke Pengadilan Agama Giri Menang.
Menurut Muh. Safrani, taklik talak bisa dijadikan alasan untuk
mengajukan perceraian ke Pengadiln Agama. Adapun bentuk pelanggaran
taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian, di antaranya adalah
suami meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-
turut tidak menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan suami
selama 6 bulan tidak memperdulikan istri. Hal sebagaimana diungkapkan oleh
Muh. Safrani dalam kesempatan wawancara dengan penulis:
Taklik talak dapat dijadikan alasan perceraian kerena bentuk perjanjian
antara suami dan istri selama substansi taklik talaknya tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Akan tetapi, jika keadaan yang
diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi, namun talak ini tidak
dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh,
istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Bentuk
atau model pelanggaran taklik talak antara lain: suami meninggalkan
istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-turut tidak
menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan suami
selama 6 bulan tidak memperdulikan istri.182

Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Muh. Safrani tentang bentuk-


bentuk taklik talak, pada kesempatan wawancara dengan penulis pada waktu
yang berbeda, Rufaidah Idris salah satu hakim di Pengadilan Agama Giri
Menang mengungkapkan:
Dalam kehidupan rumah tangga, permasalahan sudah pasti ada.
Meskipun demikian, suami istri harus bisa meyikapi permasalahan
tersebut agar tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga. Banyak
pasangan suami istri ketika melangsungkan akad nikah disertai dengan
pengucapan taklik talak oleh suami. Oleh karena itu, jika terjadi

182
Muh. Safrani Hidayatullah (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara
(Gerung: 22 Nopember 2018).
101

pelanggaran taklik talak, yang seharusnya mengajukan gugatan


perceraian adalah istri. Talak bisa jatuh dengan taklik talak jika
memenuhi syarat. Keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak
tersebut betul-betul terjadi, maka supaya taklik talak benar-benar jatuh,
istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama, kalau tidak mengajukan
atau mengadukan persoalannya ke Pengadilan Agama maka talak suami
itu selamanya tidak akan jatuh. Karena dalam sighat taklik talak selain
ada empat keadaan tertentu yakni: (1) Meninggalkan istri 2 tahun
berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)
Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak
memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih. Di samping itu, ada hal
lain atau syarat lain yang harus dipenuhi yakni: (a) Istri tidak ridha, (2)
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, (3) Gugatan diterima, (4)
Istri menyerahkan iwad Rp. 10.000. Keempat syarat ini harus dipenuhi
maka jatuhlah talak suami.183

Berdasarkan pendapat Rufaidah Idris di atas, bentuk-bentuk


pelanggaran taklik talak yang dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian
antara lain: (1) Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, (2) Tidak member
nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3) Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4)
Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.
Berbeda dengan pendapat Muh. Safrani dan Rufaidah Idris yang
menyatakan bahwa pelanggaran taklik talak dapat dijadikan alasan mengajukan
perceraian ke Pengadilan Agama, Muhamad Jamil mengatakan bahwa taklik
talak tidak dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian. Menurut Muhamad
Jamil, taklik talak tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, namun
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 51 disebutkan pelanggaran atas
perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk mengajukan ke
Pengadilan. Jadi menurut Muhamad Jamil pelanggaran taklik talak bisa
dijadikan alasan mengajukan perceraian, sebagaimana pernyataannya:
Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1
tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat taklik talak sebagai alasan
perceraian, namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51
disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak
kepada istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka pelanggaran taklik
talak bisa dijadikan alasan mengajukan perceraian. Sesuai rumusan

183
Rufaidah Idris (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara (Gerung: 30
Nopember 2018).
102

bahwa taklik talak adalah perjanjian yang digantungkan kepada syarat


dengan tujuan utamanya melindungi istri dari kemudharatan, maka
bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang telah dibuat oleh suami istri
pada saat pernikahan tersebut.184

Menurut Rusydiana Kurniawati dalam kesempatan wawancara dengan


penulis mengungkapkan bahwa pelanggaran taklik talak bisa dijadikan alasan
mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian
hukum. Terkait dengan permasalahan siapa yang harus mengajukan
perecaraian, Rusydiana berpendapat bahwa Suami maupun istri dapat
mengajukan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak karena
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan sebagaimana
ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 115 KHI. Hal ini
sebagaimana pernyataannya:
Pelanggaran terhadap taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan
mengajukan perceraian. Selama saya bertugas di Pengadilan Agama
Giri Menang belum pernah menangani perkara cerai dengan alasan
pelanggaran taklik talak. Pelanggaran terhadap taklik talak sebagaimana
yang termuat dalam buku Kutipan Akta Nikah memang harus diajukan
oleh istri karena hal itu menjadi bagian dari klausula. Sedangkan dalam
perkara 0080/Pdt.G/2013/PA.GM diajukan dengan alasan pelanggaran
terhadap taklik talak yang tidak termuat dalam buku kutipan akta nikah
sehingga tidak ada larangan untuk suami mengajukan perkara
perceraian ke Pengadilan Agama. Suami maupun istri dapat
mengajukan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak
karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
sebagaimana ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 jo.
Pasal 115 KHI. Hal tersebut dikecualikan/dikhususkan untuk
pelanggaran terhadap taklik talak yang termuat di dalam Buku kutipan
Akta Nikah hanya dapat diajukan oleh istri.185

Berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber di Pengadilan


Agama Giri Menang, ada beberapa bentuk pelanggaran taklik talak yang bisa
dijadikan alasan mengajukan perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan istri 2
tahun berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)

184
Muhamad Jamil (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara (Gerung:
29 Nopember 2018).
185
Rusydiana Kurniawati Linangkung (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang),
Wawancara (Gerung: 30 Nopember 2018).
103

Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan


istri selama 6 bulan atau lebih.
Dalam perkara cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM, taklik talak
yang dilanggar berupa perjanjian antara Pemohon dengan Termohon, di mana
Pemohon sebelumnya menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain.
Setelah hubungan tersebut diketahui oleh Termohon (istri), terjadi
pertengkaran antara Pemohon dan Termohon dan dibuatlah perjanjian tersebut.
Pemohon berjanji tidak akan menjalin hubungan lagi dengan perempuan
tersebut, jika Pemohon kembali menjalin hubungan asmara denga perempuan
tersebut maka jatuh talak tiga Pemohon terhadap Termohon. Jadi, dalam kasus
ini taklik talak diucapkan setelah lama menjali hubungan suami istri, bukan
sejak awal pernikahan pada saat akad ijab kabul.
C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik Talak
Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
Pertimbangan hakim merupakan konstruksi hukum yang menjadi dasar
pemikiran hakim dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan
permohonan cerai talak dengan alasan pelanggaran taklik talak yang diajukan
Pemohon (suami). Berdasarkan Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM yang
penulis kaji dalam penelitian ini, ada beberapa pertimbangan dan dasar hukum
yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara cerai talak dengan
alasan pelanggaran taklik talak, antara lain:
Menimbang, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis
hakim di dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator Drs.
Mutamakin, S.H. di luar persidangan kepada kedua belah pihak tidak berhasil,
maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini pada pokok perkara.
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah
pemohon memohon agar perjanjian taklik talak yang telah dibuat dan
ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus pemohon kepada
termohon secara taklik talak dapat ditetapkan dengan jatuh talak satu raj’i demi
mendapatkan kepastian status hukum dan permohonan tersebut tetap
104

dipertahankan oleh Pemohon tanpa ada perubahan apapun. Bahwa atas dalil-
dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon mengakui dan membenarkan
dalil-dalil permohonan Pemohon.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan
terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan
yang sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak yang sah sebagai
subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam. Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon telah memenuhi syarat-
syarat formil maupun materiil sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg.,
maka majelis hakim berpendapat dapat menerima saksi-saksi Pemohon tersebut
untuk didengar keterangannya di persidangan.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2) dan
keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim berpendapat bahwa dalil-
dalil permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah terbukti bahwa pemohon
telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak dengan jatuhnya
talak tiga Pemohon sekaligus terhadap Termohon, namun setelah terjadinya
taklik tersebut, Pemohon dengan Termohon masih saling mencintai dan
berkeinginan melanjutkan hubungan rumah tangganya, akan tetapi masyarakat
enggan menerima karena beranggapan antara Pemohon dengan Termohon telah
jatuh talak tiga.
Menimbang, bahwa dalam hukum Islam selain talak khulu’, talak
tafwidh, fasakh dan lain sebagainya sebagai teknik-teknik perceraian, juga
diatur mengenai taklik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan sumber hukum
materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus perkara perceraian mengatur
dan mengakui eksistensi lembaga taklik talak sebagai salah satu alasan
perceraian sebagaimana termuat dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 116 huruf
(g) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Menimbang, bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga taklik talak dalam
sistem hukum perkawinan dan perceraian Islam di Indonesia adalah
melindungi hak-hak istri dari perbuatan/tindakan semena-mena suami demi
105

niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap hidup membina rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana termuat dalam surat
Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
Menimbang, bahwa dari pengakuan Pemohon yang telah dibenarkan
oleh Termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta keterangan saksi-
saksi telah terbukti bahwa Pemohon telah membuat dan menandatangani
perjanjian taklik talak yang dalam perjanjian tersebut kejadian yang dijadikan
gantungan (taklik) oleh Pemohon untuk menjatuhkan talaknya adalah sesuatu
yang berkaitan erat dengan persoalan (tingkah laku) Pemohon yang dapat
mempengaruhi keharmonisan dan menghalangi hubungan Pemohon dan
Termohon dalam membina rumah tangga dan dapat menghalangi Pemohon
atau Termohon untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, yaitu
mengenai perbuatan pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan
khusus (bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama
Nurhayati, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian ta’lik
talak yang diperjanjikan Pemohon tersebut pada dasarnya memenuhi tujuan
dan nilai luhur pengaturan lembaga taklik talak dalam hukum perkawinan dan
perceraian di Indonesia sebagaiman termuat dalam Kompilasi Hukum Islam
dan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.
Menimbang, bahwa majelis hakim sependapat dengan dalil fikih yang
termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir halaman 105:

‫ومن علق طَلقا بصفة وقع بوجودها عمَل مبقتضى اللفظ‬


Artinya: Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya dengan
sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan adanya sesuatu
sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut.
Menimbang, bahwa dari dalil Pemohon yang telah dibenarkan oleh
Termohon dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti setelah
Pemohon telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak, ternyata
Pemohon telah menjalin hubungan, bahkan sampai menikah lagi dengan
perempuan lain yang bernama Nurhayati meskipun telah diceraikan kembali
106

oleh Pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut dan pertimbangan-


pertimbangan di atas, perjanjian taklik talak Pemohon telah memenuhi
ketentuan hukum Islam dan Pemohon telah terbukti sah secara hukum
melanggar perjanjian taklik talak tersebut.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon terbukti sah secara hukum
telah melanggar perjanjian taklik talaknya tersebut, maka selanjutnya majelis
hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan talak yang jatuh sebagai
akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus pemohon tersebut dalam takliknya.
Bahwa berkaitan dengan perkara a quo majelis hakim perlu mengetengahkan
hadits-hadits yang akan dijadikan dasar pertimbangan dalam memutus perkara
a quo sebagai berikut:

‫ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬ ِ ‫ َكا َن الطََّلَ ُق َعلَى َعه ِد رس‬:‫عن ابن عباس قال‬
َُ ْ
‫ضاهُ َعلَْي ِه ْم عمر (رواه‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وأ َِِب ب ْك ٍر وسنَت‬
َ ‫ْي م ْن خَلَفَة ُع َمَر طََلَ ُق الثََّلَث فَأ َْم‬
َْ َ َ َ َ
.)‫البخارى ومسلم‬
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar
dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus hanya
diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan ketentuan
tersebut pada rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).

.‫ "طلق ركانة امرأته ثَلثًا ِف جملس واحد‬,‫عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال‬
‫كيف‬: ‫ فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬..‫شديدا‬ ً ‫فحزن عليها حزنًا‬
‫ فإمنا تلك‬:‫ قال‬.‫ نعم‬:‫ ِف جملس واحد؟ قال‬:‫ فقال‬.‫ ثَلثًا‬:‫طلقتها؟ قال‬
(‫" )رواه أمحد وأبو يعلى‬.‫ فراجعها‬.‫ فأرجعها إن شئت‬،‫واحدة‬
Artinya; Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rukanah menceraikan istrinya dengan
talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya. Kemudian
Rasulullah SAW bertanya (kepadanya): “Bagaimana kamu
menceraikannya?” Ia menjawab: “Aku menceraikannya dengan talak
tiga sekaligus”. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “(jika
demikian) maka itu hanya jatuh talak satu, maka rujuklah kepada
istrimu.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)
107

Menimbang, bahwa Mazhab Dzahiriyah dan Jama’ah, sebagaimana


dikutip Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2 halaman 561,
berpendapat:

‫ حكمه حكم الوحدة وال تأثري للفظ ِف ذلك‬: ‫وقال أهل الظاهر ومجاعة‬
Artinya: Madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa hukumnya
(talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak satu dan tidak ada
efek yuridis dalam ucapan talak tiga sekaligus tersebut”.
Menimbang, bahwa dengan diajukannya permohonan dalam perkara a
quo oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah beri’tikad
baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon dalam perkara a quo
dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan
keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya
tersebut
Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa
talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga,
akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan pendapat ulama
sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan demi kemaslahatan
rumah tangga pemohon, termohon serta kedua anaknya tersebut, maka majelis
hakim berpendapat bahwa talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam
perkara a quo hanya jatuh talak satu. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat bahwa permohonan
pemohon, sebagaimana tersebut dalam petita nomor 2, dapat dikabulkan
dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’i pemohon terhadap termohon;
Di samping menelaah keempat putusan di atas, penulis juga
melakukan wawancara dengan beberapa orang hakim di Pengadilan Agama
Giri Menang. Wawancara yang dilakukan adalah terkait dengan pertimbangan
hukum yang digunakan dalam memutus perkara perceraian karena pelanggaran
taklik talak. Ada beberapa alasan dan pandangan yang dikemukakan oleh para
hakim terkait dengan pertimbangan hukum yang digunakan.
108

Menurut Muh. Safrani, setiap putusan pengadilan harus


mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi dalam proses persidangan dan
harus merujuk pada peraturan perundang-undangan. Dalam kesempatan
wawancara dengan penulis ia menyatakan:
Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan taklik talak,
tentunya harus merujuk pada undang-undang yang ada, khususnya
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang KHI pada pasal 8,
pasal 45, 46 dan 116 huruf (g), selain itu dapat juga menggunakan
sumber hukum lain seperti al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 19 dan
hadits Nabi. Jadi menurut saya, yang dijadikan sumber pertimbangan
oleh hakim dalam memutus suatu perkara adalah undang-undang
termasuk sumber hukum yang lain, bukan ijtihad. Dalam
membuktikan kebenaran telah terjadi pelanggaran taklik talak,
penggugat ataupun tergugat harus menghadirkan saksi dan bukti lain
di persidangan. Kemudian hakim mempertimbangkan dan
menganalisa apakah pelanggaran taklik talak tersebut bisa dibuktikan
oleh penggugat atau tidak.186

Berbeda dengan pendapat Muh. Safrani yang mengataan bahwa


ijtihad bukan termasuk dalam pertimbangan hukum. Menurut Muhamad
Jamil ijtihad dapat ditempuh oleh majelis hakim ketika sudah tidak
menemukan dasar hukum dalam al-Qur’an, hadits, dan peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana pernyataannya:
Dalam memutus suatu perkara, yang pertama adalah hakim harus
mendasarkan putusannya dengan undang-undang yang disandingkan
dengan sumber-sumber hukum lainnya. Dalam mempertimbangkan
alasan perceraian yang pertama harus berdasarkan undang-undang,
jika tidak ditemukan dalam undang-undang baru ijtihad. Dalam
pembuktiannya hakim tetap membebankan kepada pihak untuk
menghadirkan saksi dan bukti lain dan pemeriksaan perkara
perceraian seperti biasa. Hakim tetap dengan mengonstatir,
mengkualifisir dan mengkontutir perkara tersebut, apakah
pelanggaran taklik talak terbukti maka dikabulkan dengan khul’iy
jika tidak terbukti maka ditolak.187

Di samping itu, menurut Muhamad Jamil dalam mengambil


keputusan terhadap suatu perkara, majelis hakim harus mendasarkan pada
pengetahuan dan keyakinan hakim terhadap pemasalahan yang dihadapi

186
Muh. Safrani, Wawancara, 22 Nopember 2018.
187
Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.
109

oleh penggugat dan tergugat atau pemohon dengan termohon. Berikut


pernyataannya:
Pertimbangan hukum hakim meliputi dalil gugatan, bantahan serta
dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada, selanjutnya hakim
akan menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain
itu juga berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan
terhadap kondisi rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin
hidup rukun lagi sehingga rumah tangga tidak mungkin
diselamatkan. Penilaian hakim berdasarkan pada kenyataan dalam
rumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan parah
sehingga perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan lagi.188

Keyakinan dalam hal ini maksudnya adalah setelah melalui proses


pembuktian terhadap gugatan Penggugat yang dikuatkan oleh keterangan
saksi-saksi, hakim mengambil kesimpulan dengan keyakinannya bahwa
rumah tangga tersebut sudah pecah dan tidak bisa disatukan kembali.
Menurut Rufaidah Idris salah seorang hakim di Pengadilan Agama Giri
Menang, dalam memutuskan suatu perkara selain merujuk pada peraturan
perundang-undangan, hakim juga harus merujuk pendapat-pendapat ulama
yang tertuang dalam kitab-kitab fikih. Berikut pernyataannya:
Dalam memeriksa dan memutus sebuah perkara, harus berdasarkan
undang-undang dan ijtihad serta tidak menafikkan pendapat ulama.
Adapun untuk membuktikan adanya pelanggaran taklik talak adalah
dengan alat bukti pada tahap pembuktian dalam perkara perceraian
karena pelanggaran taklik talak termasuk dalam kategori talak bain
shugro, walaupun yang jatuh adalah talak suami. Karena untuk
jatuhnya talak suami itu istri harus mengajukan ke Pengadilan
Agama dan membayar iwad. Selanjutnya adalah memeriksa
kebenaran alasan/dalil gugatan dalam hal ini adanya pelanggaran
taklik talak: dengan pembuktian membebankan kepada penggugat
untuk membuktikan dalilnya. Jika terbukti ada pelanggaran taklik
talak, maka gugatan dikabulkan, jika tidak terbukti perkara
ditolak.189

Selain itu, majelis hakim juga harus mempertimbangkan alasan-


alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat, sebagaimana
pernyataannya:

188
Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.
189
Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.
110

Alasan-alasan yang diajukan oleh Penggugat akan dipertimbangkan


oleh Majelis Hakim dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu
serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Kalau
peristiwanya telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas,
penerapan hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan
hukum yang jelas dan tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad
dalam arti menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan
hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang
dibenarkan.190
Alat bukti dan pembuktian merupakan proses yang sangat penting
dalam peroses persidangan untuk menemukan fakta hukum. Tanpa alat
bukti, maka Majelis Hakim akan kesulitan dalam menemukan fakta hukum.
Menurut Menurut Rusydiana Kurniawati Linangkung, menyatakan:
Pelanggaran terhadap taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan
mengajukan perceraian. Majelis Hakim harus mempertimbangkan
ada tidaknya pelanggaran taklik talak yang didalilkan. Bila
pelanggaran taklik talak itu terbukti, maka alasan hukum untuk
melakukan perceraian sudah ada, karena dengan pelanggaran taklik
talak itu rumah tangga telah pecah. Kalau alasan perceraian sudah
ada dan terbukti, maka Majelis Hakim harus mengabulkan gugatan
itu. Pembuktian menjadi beban/tanggung jawab bagi para pihak
sedangkan hakim bertugas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh
para pihak untuk kemudian memperoleh fakta sebagai pertimbangan
terbukti atau tidak adanya pelanggaran taklik talak yang didalilkan.
Perkara perceraian dengan alasan adanya pelanggaran taklik talak
diatur dalam ketentuan pasal 116 huruf g KHI. Bilamana dari
pembuktian di persidangan diperoleh fakta pelanggaran taklik talak
maka perkara dikabulkan, sebaliknya jika tidak terbukti maka
perkara tersebut ditolak.191

Sebagaimana pendapat Rufaidah Idris, dalam menangani sebuah


perkara majelis hakim harus mempertimbangkan alasan-alasan perceraian
yang diajukan oleh penggugat. Rusydiana sependapat dengan pandangan
tersebut, sebagaimana pernyataannnya:
Secara umum termasuk dalam memutus perkara perceraian dengan
alasan pelanggaran terhadap taklik talak, hakim harus mendasarkan
putusannya pada alasan-alasan yang termuat di dalam pasal-pasal

190
Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.
191
Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.
111

tertentu dari peraturan yang terkait atau dari sumber hukum tak
tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 62 UU Nomor 7 tahun 1989.192

Di samping itu, putusan pengadilan harus memenuhi rasa keadilan


dan kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh
Rusydiana:
Putusan Pengadilan haruslah memuat asas keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Demikian pula dalam perkara perceraian hakim harus
mempertimbangkan fakta yang ada untuk dikaitkan dengan aturan
hukum yang berlaku dengan memperioritaskan hukum positif untuk
unifikasi hukum Islam di Indonesia.193

Dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hukum di


Pengadilan Agama pada dasarnya sama, tidak terkecuali perkara perceraian
karena pelanggaran taklik talak. Dasar hukum yang digunakan adalah UU
No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaannya hanya
terletak pada pasal dan ayat yang digunakan. Terkait dengan permasalahan
ini, Muhamad Jamil menyatakan:
Untuk dapat bercerai dengan alasan pelanggaran taklik talak, harus
dibuktikan bahwa peristiwa tersebut telah menyebabkan keretakan
perkawinan yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian di
persidangan dilakukan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau
orang-orang yang terdekat dengan Pemohon dan Termohon. Dari
pemeriksaan saksi-saksi akan diketahui apakah perselisihan terus
menerus yang terjadi dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak
yang selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan keputusan
hakim. Dengan kewenangannya seorang hakim berhak memutuskan
apakah perceraian ditolak atau dikabulkan. Dalam pertimbangan
hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan hakim adalah
yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975,
KHI dan dalil-dalil hukum syara’. Dalil-dalil yang dipakai
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, baru pendapat para ulama yang
termuat dalam kitab-kitab fikih. Dalam pertimbangan hukum juga
dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dari putusan itu.194

192
Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.
193
Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.
194
Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.
112

Untuk dapat bercerai, pihak yang mengajukan gugatan harus


mempunyai alasan yang kuat dan jelas. Alasan-alasan tersebut harus bisa
dibuktikan di persidangan. Setelah melalui proses pembuktian, Majlis
Hakim akan mempertimbangkan apakah gugatan para pihak dikabulkan
ataukah ditolak. Terkait dengan permasalahan ini, Muh. Safrani dalam
kesempatan wawancara dengan penulis, menyatakan:
Untuk dapat bercerai harus dapat dibuktikan bahwa peristiwa yang
merupakan alasan perceraian itu telah mengakibatkan keretakan
perkawinan yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian
dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang-
orang yang terdekat dengan pengugat dan tergugat. Dari
pemeriksaan saksi-saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan
terus menerus dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang
selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan putusan. Dengan
kewenangannya, seorang hakim berhak memutuskan apakah
perceraian ditolak atau dikabulkan.195
Di samping itu, selain menerapkan dasar dan pertimbangan hukum
sebagimana telah dipaparkan di atas, majelis hakim juga harus
mempertimbangkan kemaslahatan antara kedua belah pihak. Maslahat
dalam hal ini maksudnya adalah Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi
rumah tangga para pihak yang bersengketa, ketika pernikahan tersebut
dilanjutkan apakah akan menimbulkan manfaat atau mudarat. Menanggapi
permasalahan tersebut Rufaidah Idris menyatakan:
Putusan dalam perkara jenis apapun, baik itu perkara waris, itsbat
nikah, perceraian dan lain-lain, tetap dan harus menggunakan
pertimbangan maslahat. Pertimbangan maslahat adalah
pertimbangan utama dalam sebuah putusan. Lebih-lebih dalam
memutus perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak, Majelis
Hakim harus bisa mempertimbangkan jika rumah tangga tersebut
tetap dilanjutkan apakah akan menimbulkan mudarat yang lebih
besar ataukah tidak. Jika ya, maka perkawinan tersebut harus diputus
untuk menghindari mudarat yang lebih besar.196

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maslahat merupakan


pertimbangan yang harus ada dalam setiap putusan. Hanya saja kriteria

195
Muh. Safrani, Wawancara, 22 Nopember 2018.
196
Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.
113

maslahat yang digunakan oleh Majelis Hakim masih terlalu umum. Majelis
Hakim hanya mengutip dalil-dalil maslahat yang dikemukakan oleh ulama
fikih tanpa ada penafsiran baru dari Majelis Hakim.
114

BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Pada bab ini penulis membahas dan menganalisis secara komprehensif


hasil temuan di lapangan tentang pandangan dan putusan hakim terhadap perkara
perceraian akibat pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.
Ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan pada bab ini. Pertama, analisis
terhadap bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di
Pengadilan Agama Giri Menang. Kedua, analisis terhadap pertimbangan hukum
hakim terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara
cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM. Kedua pokok permasalahan tersebut
dibahas secara rinci, fakta dan temuan di lapangan dikombinasikan dengan teori-
teori yang relevan dengan tema pembahasan.

A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian di


Pengadilan Agama Giri Menang

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para informan (hakim)


di Pengadilan Agama Giri Menang, terdapat beberapa bentuk pelanggaran
taklik talak yang bisa dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian. Adapun
bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak tersebut antara lain:
1. Meninggalkan istri 2 (dua) tahun berturut-turut;
2. Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya;
3. Menyakiti badan/Jasmani istri;
4. Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.
Di antara keempat bentuk taklik talak tersebut, poin 2 dan 3 sering
terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini terbukti dengan banyaknya
kasus gugat cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama Giri Menang dengan
alasan penelantaran nafkah keluarga dan kekerasan dalam rumah tangga.
Meskipun pada kenyataannya ketika mengajukan gugatan perceraian, pihak
istri tidak mendasari alasan-alasan tersebut sebagai taklik talak. Jadi, dapat
115

dikatakan bahwa bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak tersebut merupakan


bagian dari kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan beberapa bentuk
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Rumusan dari definisi di
atas kemudian digunakan untuk menganalisis mengenai konsep kekerasan
dalam rumah tangga yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Secara redaksional pengertian kekerasan dalam rumah tangga yang
sama seperti di atas memang tidak dapat ditemui dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, namun dalam Penjelasan
Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam telah
menentukan beberapa alasan yang dapat digunakan untuk melakukan
perceraian, yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
116

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga;
Dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, alasan tersebut ditambah
dengan:
1. Suami melanggar taklik talaknya; dan
2. Peralihan agama (murtad) yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga.197
Apabila dibandingkan antara rumusan kekerasan dalam rumah tangga
yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
dengan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk melakukan perceraian,
maka beberapa alasan tersebut secara subtansial sesuai dengan rumusan
kekerasan dalam rumah tangga, alasan-alasan tersebut adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (a) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam);
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
4. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga;
Hal tersebut di atas menunjukan bahwasanya konsep kekerasan dalam
rumah tangga yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

197
Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, 357.
117

1. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah setiap perbuatan yang baik secara
langsung maupun tidak langsung mengakibatkan penderitaan atau
kesengsaraan psikis/mental yang berat pada seseorang. 198 Dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, konsep
kekerasan dalam rumah tangga seperti di atas dapat ditemui pada
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam, yaitu “Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”.
Kemudian dalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yaitu
“Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga”.
Kedua alasan perceraian tersebut termasuk dalam kekerasan psikis
dalam rumah tangga, karena baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mengakibatkan tekanan jiwa yang kemudian dapat menimbulkan
penderitaan psikis/mental berat pada seseorang (suami/istri).
2. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan seseorang yang dapat
menimbulkan atau mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. 199
Kekerasan fisik ini lebih mengarah kepada jasmani atau raga seseorang.
Konsep kekerasan secara fisik dalam rumah tangga seperti tersebut di atas
dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 116 huruf (d)
Kompilasi Hukum Islam, yang memuat ketentuan salah satu alasan
perceraian adalah “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”.
3. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan seseorang yang
berupa penelantaran atau menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah
198
Murti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis (Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2012), 83.
199
Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga, 83.
118

tangganya, sedangkan menurut ketentuan yang berlaku, ia berkewajiban


memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut.200 Penelantaran rumah tangga, walaupun dalam redaksi yang
berbeda dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, secara jelas juga
telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam,
yaitu mengenai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk melakukan
perceraian adalah “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal di luar kemampuannya”.
Untuk melindungi istri dari kesewenang-wenangan suami, maka
diadakanlah perjanjian taklik talak. Apabila suami telah membaca serta
menandatangani sighat taklik talak setelah akad nikah, maka suami dianggap
telah melakukan perjanjian yang baginya berlaku sebagai undang-undang.
Perjanjian ini merupakan jaminan kepada istri bahwa suami sekali-kali tidak
akan mempermainkan lembaga perkawinan yang akan dibangun nantinya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf (e) menyatakan perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah
akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam. (KHI) lebih bersifat universal-konsepsional
yang berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang sifatnya
temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen
dan universal.
Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat
dalam Bab 7 yang di dalamnya mengatur taklik talak sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 45 dan Pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai
dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Taklik Talak. (2)
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun

200
Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga, 83.
119

mengenai penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang
berarti perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat.
Janji juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing
menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Perjanjian
bisa juga diartikan sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat
oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji menaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.
Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Sedangkan dalam Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berbunyi: 1). Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam. 2).
Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi di
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. 3).
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa: 1) Isi
taklik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan oleh
Kementerian Agama, karena yang melakukan perjanjian taklik talak ini adalah
orang Islam saja, maka isi perjanjian taklik talak tersebut tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam; dan 2) Apabila suami melanggar perjanjian
taklik talak tersebut, maka istri harus mengajukannnya ke Pengadilan Agama.
Karena perceraian di Indonesia terjadi apabila dilakukan dihadapan para hakim
dalam sidang di Pengadilan Agama.
Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan Hukum Islam, terdapat kaitannya dengan perjanjian yang ada dalam
Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan bahwa Undang-undang telah
menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perikatan
120

atau perjanjian dianggap sah yaitu: 1). Kesepakatan mereka yang mengikat diri.
2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3). Suatu hal tertentu. 4). Suatu
sebab yang halal.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, walau dengan teks yang berbeda mempunyai unsur-unsur yang
sama dengan perjanjian dalam KUHPerdata. Namun demikian, dalam
perjanjian taklik talak mempunyai perbedaan dengan perjanjian pada umumnya
dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk membubarkan
kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (3) KHI
yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang
wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik talak sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Untuk mengukur apakah taklik talak sebuah perjanjian atau bukan, kita
harus melihat Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian
yaitu: (1) sepakat meraka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap mereka yang
mengikatkan diri, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab atau kausa yang
halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut di atas dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori syarat subjektif dan kategori syarat
objektif. Syarat subjektif yaitu syarat sepakat mereka yang mengikatkan diri
dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak
dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (vernieitigbaar). Syarat
objektif yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal.
Apabila dalam perjanjian syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian adalah
batal demi hukum.201
Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya
kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah.
Di dalam taklik talak, suami istri telah sepakat tanpa paksaan untuk
menandatangani persetujuan bersama yang tertuang dalam konsep taklik talak
itu, karena taklik taklak bukan sebuah keharusan bagi berlangsungnya sebuah

201
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1999),
65.
121

perkawinan. Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Di dalam hukum perkawinan, seseorang boleh
dapat melangsungkan perkawinan apabila berumur 19 tahun laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974) , artinya
suami istri tersebut sudah dewasa dan cakap hukum untuk melakukan
perbuatan hukum.
Suatu hal tertentu maksudnya adalah yang diperjanjikan dalam suatu
perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.
Di dalam taklik talak ini, yang diperjanjikan sudah jelas yang tertuang dari isi
taklik talak tersebut. Suatu sebab atau kausa yang halal artinya perjanjian itu
tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Karena keberadaan taklik talak untuk melindungi si istri dari perbuatan suami,
maka keberadaan taklik talak tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, taklik talak adalah
sebuah perjanjian. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhamad Jamil salah
seorang hakim di Pengadilan Agama Giri Menang, berikut pernyataannya:
Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1
tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat taklik talak sebagai alasan
perceraian, namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51
disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak
kepada istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka pelanggaran taklik
talak bisa dijadikan alasan mengajukan perceraian. Sesuai rumusan
bahwa taklik talak adalah perjanjian yang digantungkan kepada syarat
dengan tujuan utamanya melindungi istri dari kemudharatan, maka
bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang telah dibuat oleh suami istri
pada saat pernikahan tersebut.202

Sekilas kita melihat bahwa ikrar taklik talak ini sebagai bentuk
kesungguhan mempelai pria kepada mempelai wanita bahwa ia akan selalu
mencintai istrinya dan berjanji akan melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang suami dengan baik. Hal ini juga memberikan perlindungan hukum bagi
wanita karena mendapat jaminan dari suaminya. 203

202
Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.
203
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 40-41.
122

Perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari


hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya
disadari bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam
sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu
suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban
yang tidak ringan, diantaranya ia harus menyayangi istri dan mampu
memberikan nafkah lahir maupun batin. Ikrar taklik talak pada dasarnya
memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini.
Secara normatif, seorang laki-laki yang menikah juga telah berjanji
kepada Allah SWT untuk memperlakukan istrinya dengan baik, menjaga
kemuliaan serta tidak menganiayanya. Kekuatan yang dapat dimainkan dari
taklik talak dalam menjamin hak-hak istri dan melindungi mereka dari
perlakukan diskriminatif dan sewenang-wenang suami secara singkat dapat
digambarkan berikut.
Pertama, adalah membuat perjanjian perkawinan antara calon suami
dan calon istri ketika melakukan akad nikah agar keduanya tidak melakukan
hal-hal apa saja yang dapat menjadi sumber tidak terpenuhi hak perempuan
(istri) dan besar kemungkinan menjadi sumber perlakuan diskriminatif dan/atau
sewenang-wenang. Kedua, tentu sejalan dengan pertama, mencantumkan
dalam taklik talak bahwa dapat menjadi alasan untuk berpisah (bercerai) apa
saja yang dapat menjadi sebab tidak terjaminnya hak istri dan/atau perlakuan
apa saja yang dapat menjadi sumber perlakuan diskriminatif dan kesewenang-
wenangan terhadap istri.204
Dengan ungkapan lain, dicantumkan dalam taklik talak agar suami
tidak melakukan apa pun yang mungkin menjadi sumber tidak terjaminnya hak
istri atau menjadi sebab terjadinya perlakuan marginalisasi terhadap istri.
Untuk menentukan sumber tidak terjaminnya hak-hak istri dan atau sumber
marginalisasi yang besar kemungkinan terjadi terhadap perempuan, dapat
dilihat dari keumuman yang terjadi di masyarakat Indonesia, sesuai dengan

204
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 51.
123

konteksnya. Di antara contoh adalah banyaknya laki-laki yang mempunyai sifat


temperamental. Maka untuk menghindari kemungkinan terjadinya amukan
suami terhadap istri dicantumkan dalam taklik talak, bahwa suami tidak boleh
menyakiti istri, baik dalam bentuk pukulan atau bentuk apapun yang menjadi
sebab istri sakit dari perlakuan kasar suami. Terhadap apa saja perkataan
maupun perlakuan yang sering menjadi sumber tidak terjaminnya hak-hak istri
dan sumber perlakuan diskriminatif atau kesewenang-wenangan suami.
Pertama, untuk menentukan apa saja perkataan dan atau perlakuan yang
sering menjadi sumber tidak terjaminnya hak-hak istri dan sumber perlakuan
diskriminatif dan atau sewenang-wenang, dapat didasarkan pada kebiasaan
yang sering terjadi di tingkat nasional. Boleh juga didasarkan pada kebiasaan
yang sering terjadi di daerah tertentu. Atau boleh juga didasarkan pada
kebiasaan yang sering terjadi terhadap orang perorang. 205
Apa yang disebutkan sebelumnya, perlakuan kasar suami, adalah
contoh yang umum terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Mungkin di
daerah tertentu sering terjadi suami pergi merantau yang menurut istri menjadi
sumber tidak terjaminnya hak istri dan atau menjadi sumber marginalisasi
terhadap istri, dapat pula dicantumkan dalam taklik talak, bahwa suami kelak
tidak akan pergi merantau. Mungkin juga di daerah lain sering terjadi suami
begitu saja pergi merantau ke negara tetangga dan istri rela. Maka dalam
konteks ini dapat pula dicantumkan taklik talak, suami tidak pergi merantau ke
negara tetangga tanpa persetujuan bersama suami dan istri.206
Demikian juga boleh membuat taklik talak yang didasarkan pada
kebiasaan jelek orang perorang secara individu. Misalnya ada sifat individu
seseorang yang dapat menyebabkan tidak terpenuhi hak-hak istri dan atau
menyebabkan perlakuan diskriminatif atau sewenangwenang. Misalnya ada
kepribadian orang yang senang menyakiti pasangannya. Maka dalam kasus ini
dibuat dalam taklik talak, bahwa kalau melakukannya, suami secara suka rela

205
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 55.
206
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 56.
124

pergi konsultasi atau berobat ke ahli. Boleh juga misalnya disepakati bahwa
kalau suami melakukannya akan bersedia dikenakan sanksi denda.207
Kedua, untuk menentukan ada atau tidaknya perkataan atau perbuatan
yang dapat menjadi sebab tidak terjaminnya hak-hak istri dan kemungkinan
menjadi sumber diskriminasi atau sewenang-wenang, dapat ditempuh dengan
menselaraskan dan mengintegrasikan antara hak dan kewajiban suami dan istri,
dan mengintegrasikan antara hak-hak tersebut dengan prinsip dan tujuan
perkawinan. Semua ini seharusnya berimbang, sebab dalam prinsip hukum
perkawinan ditetapkan bahwa suami dan istri seharusnya bermusyarawah dan
demokrasi dalam menuntaskan masalah-masalah kehidupan rumah tangga,
bahwa suami dan istri adalah pasangan yang bersifat patnership, yang berarti
saling; saling tolong, saling kerja sama, dan saling membutuhkan, bahwa
perkawinan adalah untuk selama hidup.208
Demikian juga dengan tujuan perkawinan, bahwa tujuan perkawinan
adalah untuk kebahagiaan bersama suami dan istri, yakni sama-sama untuk
mendapatkan kehidupan yang aman, tenteram, dan penuh cinta dan kasih
sayang (sakînah mawaddah wa rahmah). Untuk mencapai tujuan akhir ini
dibutuhkan pencapaian tujuan antara, yakni: (1) tujuan untuk melanjutkan
generasi (regenerasi), (2) untuk sama-sama dipenuhi kebutuhan biologisnya,
(3) untuk sama-sama dijaga kehormatannya, (4) untuk sama-sama beribadah.209
Dengan terpenuhi tujuan ini secara bersama diharapkan tercapai pula
tujuan bersama antara suami dan istri dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga. Dengan demikian, hak dan kewajiban antara suami dan istripun
seharusnya berimbang dan bersifat saling melengkapi. Maka terhadap hal-hal
yang memungkinkan menjadi sebab tidak terpenuhinya hak istri, dan ini dapat
pula sekaligus menjadi sebab tidak tercapainya tujuan perkawinan, dapat
dicantumkan dalam taklik talak.
Dalam hal inilah tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat
pertanggungjawaban suami terhadap istrinya. Dari satu sisi suami akan lebih
207
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 58.
208
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 72.
209
Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 76.
125

konsisten dan bertanggungjawab terhadap kelangsunan rumah tangga dan di


sisi lain istri akan lebih dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal -hal yang
termaktub dalam sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk
mengajukan keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak. Walau masih
terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif terhadap keberadaan taklik saat
ini, namun pengaruhnya terhadap penghargaan terhadap wanita dalam rumah
tangga lebih besar.
Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat menolong
wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki.210 Sebagaimana dahulu
banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak perempuan yang terkatung-
katung, tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah oleh suami, tetapi
tidak pula diceraikan. Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereka justru
disalahkan karena sulitnya hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari
mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya, kemudian
banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya putuslah nikah dengan
suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk membebaskan perempuan
dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab di daerah Minangkabau
diberlakukan taklik talak.
Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak,
ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati
bersama, maka perjanjian taklik talak itu dianggap sah untuk semua bentuk
taklik. Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu maka istri
dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak
yang berwenang.211
Jika memperhatikan bentuk taklik talak yang telah dibahas pada bab 3
di atas dapat dipahami bahwa maksud yang dikandungnya amat baik dan
positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi istri dari kesewenang-wenangan
suami dalam memenuhi kewajibannya yang merupakan hak-hak istri yang
harus diterimanya. Sesuai dengan ajaran Islam, seorang suami mempunyai
210
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981), 71.
211
Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan
Agama Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 4.
126

kewajiban memelihara istrinya dengan sebaik-baiknya, berarti hak istri adalah


memperoleh pemeliharaan sebaik baiknya dari suaminya. 212
Keberadaan taklik talak apabila ditinjau dari hukum perjanjian pun
merupakan sebuah perjanjian yang apabila dilanggar menimbulkan
konsekuensi yuridis yaitu suami telah melakukan perbuatan ingkar janji atau
wantprestasi, sehingga menurut penulis istri dapat menggugat suami ke
pengadilan negeri untuk menuntut hak-haknya yang telah dilangar oleh suami
tersebut sesuai bunyi dari taklik talak yang ada. Hal ini berdasarkan
argumentasi bahwa taklik talak itu adalah sebuah perjanjian yang telah
disepakati bersama baik oleh suami ataupun oleh istri.
Pembacaan taklik talak yang dilakukan sesaat setelah akad nikah
menimbulkan kesan, bahwa perkawinan yang akan dijalani akan selalu
dibayang-bayangi dengan perceraian. Sehingga seakan-akan tidak sesuai
dengan tujuan dari perkawinan yang menginginkan terbentuknya keluarga
(rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti
yang dimaksudkan pada pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Tetapi menurut pendapat penulis, pembacaan taklik talak justru
merupakan suatu bentuk jaminan dari suami kalau perkawinannya kelak akan
berjalan dengan baik. Secara umum tidak ada seorang pun di dunia ini yang
menginginkan perkawinannya putus di tengah jalan dan berakhir dengan
perceraian. Penulis berkeyakinan bahwa tidak ada suami yang mempunyai niat
untuk menceraikan istrinya secara bersamaan ketika dia melakukan akad nikah.
Oleh karena itu, dengan membaca taklik talak maka suami telah berjanji akan
melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan dengan
penuh tanggung jawab. Karena tidak seorang pun yang mengharapkan
kehidupannya menemui kegagalan.
Setiap perkawinan tentulah diharapkan akan bertahan seumur hidup.
Adakalanya, harapan ini tidak tercapai karena rumah tangga bahagia yang
diidam-idamkan berubah menjadi neraka, maka terbukalah pintu perceraian.

212
Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1997), 197.
127

Karena awal dari perkawinan adalah cinta kasih yang membayangkan


kebahagiaan, maka selalulah peristiwa perceraian diliputi oleh ledakan-ledakan
emosi yang sebaliknya, benci dan dendam. Oleh karena itu kasus percerian
merupakan perkara yang paling sulit ditangani hakim.
Apabila masalah tersebut timbul disebabkan karena pelanggaran taklik
talak yang dilakukan suami, maka pada situasi seperti ini istri lah yang pada
akhirnya menjadi pihak yang teraniaya. Hak-hak istri yang semestinya
diperoleh dari suami tidak didapatkan, bagaimana sikap istri ketika taklik talak
dilanggar? Untuk menjelaskan masalah ini penulis akan menguraikannya
sebagai berikut:
1. Tindakan Hukum Istri Ketika Taklik Talak Dilanggar
Pada bagian akhir shigat taklik talak disebutkan bahwa, apabila istri
tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan
pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri
membayar uang sebesar Rp 10.000.- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwad
(pengganti) kepada suaminya, maka jatuhlah talak satu kepadanya, kepada
pengadilan atau petugas tersebut tadi, suami mengkuasakan untuk menerima
uang ‘iwad (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Dirjen
Bimas islam dan Penyelenggara Haji, Cq Direktorat Urusan Agama Islam
untuk keperluan ibadah sosial.
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika ketentuan
taklik talak dilanggar oleh suami dan istri tidak ridho, maka istri dibenarkan
untuk melakukan suatu tindakan hukum. Adapun tindakan hukum yang
dapat dilakukan istri sesuai dengan rumusan di atas adalah dengan
mengajukan gugatan kepada hakim di Pengadilan Agama, kemudian hakim
membenarkan pengaduannya itu dan istri menyerahkan uang ‘iwad
(pengganti), maka jatuhlah talak satu kepadanya.
2. Posisi Istri dalam Perceraian Karena Pelanggaran Taklik Talak
Dari berbagai kasus perceraian yang ada, sangat jarang ataupun tidak
ada ditemukan data atau berkas berkenaan dengan pengaduan istri yang
sesuai dengan rumusan pada shigat taklik talak. Istri yang memulai proses
128

perceraian, baik karena pelanggaran taklik talak atau sebab yang lain harus
mengajukan gugatan seperti gugatan perdata biasa dengan segala
formalitasnya, dengan hak banding, kasasi dan lain-lain bagi suami. Proses
yang dilakukan istri akan semakin lama dan berbelit-belit. Dengan demikian
maka pihak istri akan selalu dalam keadaan yang serba sulit. Karena
posisinya sebagai penggugat maka istri pula yang harus membuktikan apa
yang menjadi tuntutannya. Dengan posisi yang seperti ini maka, istri
menjadi pihak yang sangat dirugikan.
Dalam satu sisi, hak yang semestinya ia terima tidak ia dapatkan,
yang disebabkan karena suami melanggar ketentuan taklik talak, sedangkan
di sisi lain ia harus berjuang di pengadilan untuk membuktikan tentang
perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Lebih parah lagi, perbuatan
tersebut adalah perbuatan suami yang telah merampas dengan semena-mena
tentang hak yang harusnya ia terima. Dalam hal ini istri tidak mendapatkan
perlakuan serta kedudukan yang sejajar baik di dalam keluarga maupun di
depan hukum.

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik Talak


Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping
itu, juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.
Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan
hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya
pembuktian, di mana hasil dari pembuktian itu digunakan sebagai bahan
129

pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang


paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan
untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu
benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya
bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan
kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para
pihak.213
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (hakim di Pengadilan
Agama Giri Menang) dan hasil telaah penulis terhadap cerai talak No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya,
penulis menemukan beberapa pertimbangan yang digunakan oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara tersebut. Adapun pertimbangan tersebut
penulis klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pertimbangan hukum, dan
pertimbangan masalahat.
a. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan atau yang sering disebut dengan considerans
merupakan dasar dalam mengambil sebuah keputusan. Pertimbangan
dalam putusan perdata dibagi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk
perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam
perkara perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara pihak dan
hakim, para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan
persoalan hukumnya adalah urusan hakim.
Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak
lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada
masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian,
sehingga putusan tersebut mempunyai nilai obyektif. Pasal 184 HIR dan
Pasal 195 Rbg menyebutkan bahwa alasan dan dasar putusan harus
dimuat dalam pertimbangan putusan. Peraturan tersebut mengharuskan
setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban,

213
Arto, Praktek Perkara Perdata, 141.
130

alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis,
pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu
putusan diucapkan oleh hakim.
Dalam menyelesaikan perkara cerai talak dengan alasan
pelanggaran taklik talak majelis hakim terlebih dahulu menentukan
kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang didalilkan
oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan
sebagai berikut:
1) Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.
2) Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara
perceraian, hakim berusaha untuk mendamaikan pihak yang
berperkara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun
kembali dalam kehidupan rumah tangga.
3) Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dalam sidang terbuka
untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara
permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan
secara intensif pada setiap kali persidangan.
4) Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan
acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban
tergugat dan pengugat dipersidangan, pemeriksaan saksi-saksi dan
pembacaan putusan.
5) Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan
oleh hakim selama proses persidangan berlangsung para pihak yang
berperkara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila yang
terlihat nyata dalam sikap para pihak bahwa ketidak rukunan antara
suami istri tidak terlalu parah maka Majelis Hakim akan menilai
bahwa kondisi yang demikian itu belum dapat dijadikan alasan
perceraian. Karena itu Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975
dipandang belum terpenuhi.214

214
Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.
131

Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan


kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa
yang menjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam rumah
tangga tersebut untuk selanjutnya dibuktikan dengan saksi-saksi dan alat-
alat bukti yang diajukan para pihak. Alasan perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus tersebut di atas bukan merupakan
sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab lain yang
mendahuluinya di antaranya:
1) Perselisihan yang menyangkut keuangan, karena istri dianggap boros,
atau karena suami tidak menyerahkan seluruh penghasilannya kepada
istri.
2) Perselisihan yang menyangkut masalah kesetiaan suami kepada
istri.215
Selanjutnya untuk menilai ada atau tidaknya suatu keretakan
perkawinan harus dapat dibuktikan bahwa alasan percerian yang diajukan
ke pengadilan merupakan peristiwa yang mengganggu keharmonisan
rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan dan keadaan tersebut
tidak dapat dipulihkan kembali.
Perceraian dapat dikabulkan setelah peristiwa yang merupakan
alasan perceraian dapat dibuktikan dan telah mengakibatkan keretakan
rumah tangga yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian
dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang-orang
yang terdekat dengan Pengugat dan Tergugat. Dari pemeriksaan saksi-
saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerus dalam
rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan
dituangkan dalam pertimbangan putusan. Dengan kewenangannya,
seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak atau
dikabulkan.
Pertimbangan hukum hakim ini meliputi dalil gugatan, bantahan
serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada, selanjutnya hakim

215
Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.
132

akan menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain itu
juga berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan
terhadap kondisi rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin hidup
rukun lagi sehingga rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Penilaian
hakim berdasarkan pada kenyataan dalam rumah tangga bahwa
perselisihan itu sudah sangat lama dan parah sehingga perkawinan itu
tidak mungkin dipertahankan lagi.216
Selanjutnya hakim berkeyakinan dengan keadaan seperti itu
perceraian lebih baik dikabulkan daripada perkawinan tetap
dipertahankan terus maka akan menimbulkan kemudaratan yang lebih
besar. Kemudaratan yang dimaksudkan adalah perkawinan tersebut tidak
membawa kebahagiaan bagi mereka dan merugikan pertumbuhan anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Pertimbangan hakim apabila ada kumulasi masalah perceraian
dengan melihat alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh para pihak,
dengan memperhatikan alasan yang paling menonjol serta terbukti
tidaknya gugatan. Selain itu hakim juga berpedoman pada adanya suatu
keyakinan bahwa keadaan rumah tangga suami istri tersebut telah pecah
(shiqa>q) dan tidak mungkin diselamatkan lagi.217
Perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga
menyebabkan perpecahan, biasanya tidak berdiri sendiri (merupakan
kumulasi). Satu dan lain hal saling mempengaruhi, alasan-alasan
perceraian para pihak saling berkait antara satu alasan dengan alasan
yang lainnya, dengan pengertian bahwa satu alasan menjadi penyebab
adanya alasan perceraian yang lain. Misalnya dalam hal
ketidakharmonisan suami istri karena dipicu oleh perselingkuhan suami
dengan perempuan lain atau sebaliknya, kemudian pihak istri atau suami
pergi dari tempat kediaman bersama, suami bertindak kasar, suami tidak
memberi nafkah kepada istri, meninggalkan keluarga atau pergi dari

216
Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.
217
Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.
133

rumah yang pada awalnya dilakukan dengan alasan yang jelas namun
lama kelamaan tidak ada kabarnya.
Alasan-alasan tersebut selanjutnya akan dipertimbangkan oleh
majelis hakim dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu serta
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Kalau peristiwanya
telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, penerapan
hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan hukum yang
jelas dan tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad dalam arti
menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan hukum yang tepat
melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan.218
Dengan kewenangannya seorang hakim berhak memutuskan
apakah perceraian ditolak atau dikabulkan. Dalam pertimbangan
hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan hakim adalah yang
terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan dalil-
dalil hukum syara’. Dalil-dalil yang dipakai bersumber dari al-Qur’an
dan al-Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab
fikih. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadai dasar dari putusan itu.219
Penyelesaian perceraian diakhiri dengan dibacakannya putusan
hakim di muka persidangan. Dalam memutus perkara, hakim
berpedoman pada aturan yang mempunyai dasar hukum yang kuat dalam
memutuskan suatu perkara sehingga secara yuridis tidak menyimpang
dari ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan putusan cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM
yang penulis jadikan sebagai bahan kajian, terdapat bebrapa
pertimbangan dalam putusan tersebut, antara lain:
1) Bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim di
dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator Drs.
Mutamakin, S.H. di luar persidangan kepada kedua belah pihak tidak
218
Ichtianto, Tanggung Jawab Hakim (Jakarta: Mimbar Hukum, No. 47, tahun XI,
2000), 5.
219
Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.
134

berhasil, maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini


pada pokok perkara.
2) Bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah pemohon
memohon agar perjanjian taklik talak yang telah dibuat dan
ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus
pemohon kepada termohon secara taklik talak dapat ditetapkan
dengan jatuh talak satu raj’i demi mendapatkan kepastian status
hukum dan permohonan tersebut tetap dipertahankan oleh Pemohon
tanpa ada perubahan apapun. Bahwa atas dalil-dalil permohonan
Pemohon tersebut, Termohon mengakui dan membenarkan dalil-
dalil permohonan Pemohon.
3) Bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan terbukti bahwa
antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang
sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak yang sah
sebagai subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam. Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh
Pemohon telah memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil
sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg., maka majelis hakim
berpendapat dapat menerima saksi-saksi Pemohon tersebut untuk
didengar keterangannya di persidangan.
4) Bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2) dan
keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim berpendapat
bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah
terbukti bahwa pemohon telah membuat dan menandatangani
perjanjian taklik talak dengan jatuhnya talak tiga Pemohon sekaligus
terhadap Termohon, namun setelah terjadinya taklik tersebut,
Pemohon dengan Termohon masih saling mencintai dan
berkeinginan melanjutkan hubungan rumah tangganya, akan tetapi
masyarakat enggan menerima karena beranggapan antara Pemohon
dengan Termohon telah jatuh talak tiga.
135

5) Bahwa dalam hukum Islam selain talak khulu’, talak tafwidh, fasakh
dan lain sebagainya sebagai teknik-teknik perceraian, juga diatur
mengenai taklik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan
sumber hukum materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus
perkara perceraian mengatur dan mengakui eksistensi lembaga taklik
talak sebagai salah satu alasan perceraian sebagaimana termuat
dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
6) Bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga taklik talak dalam sistem
hukum perkawinan dan perceraian Islam di Indonesia adalah
melindungi hak-hak istri dari perbuatan/tindakan semena-mena
suami demi niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap
hidup membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
sebagaimana termuat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
7) Bahwa dari pengakuan Pemohon yang telah dibenarkan oleh
Termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta keterangan
saksi-saksi telah terbukti bahwa Pemohon telah membuat dan
menandatangani perjanjian taklik talak yang dalam perjanjian
tersebut kejadian yang dijadikan gantungan (taklik) oleh Pemohon
untuk menjatuhkan talaknya adalah sesuatu yang berkaitan erat
dengan persoalan (tingkah laku) Pemohon yang dapat
mempengaruhi keharmonisan dan menghalangi hubungan Pemohon
dan Termohon dalam membina rumah tangga dan dapat
menghalangi Pemohon atau Termohon untuk menjalankan
kewajibannya sebagai suami istri, yaitu mengenai perbuatan
pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan khusus
(bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama
Nurhayati, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa
perjanjian ta’lik talak yang diperjanjikan Pemohon tersebut pada
136

dasarnya memenuhi tujuan dan nilai luhur pengaturan lembaga taklik


talak dalam hukum perkawinan dan perceraian di Indonesia
sebagaiman termuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.
8) Bahwa dari dalil Pemohon yang telah dibenarkan oleh Termohon
dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti Pemohon
telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak, ternyata
Pemohon telah menjalin hubungan, bahkan sampai menikah lagi
dengan perempuan lain yang bernama Nurhayati meskipun telah
diceraikan kembali oleh Pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut
dan pertimbangan-pertimbangan di atas, perjanjian taklik talak
Pemohon telah memenuhi ketentuan hukum Islam dan Pemohon
telah terbukti sah secara hukum melanggar perjanjian taklik talak
tersebut.
9) Bahwa oleh karena Pemohon terbukti sah secara hukum telah
melanggar perjanjian taklik talaknya tersebut, maka selanjutnya
majelis hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan talak
yang jatuh sebagai akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus
pemohon tersebut dalam takliknya.
10) Bahwa dengan diajukannya permohonan dalam perkara a quo oleh
pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah
beri’tikad baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon
dalam perkara a quo dapat dipertimbangkan demi memberikan
kepastian hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan
termohon terhadap status perkawinannya tersebut
11) Bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa talak tiga
yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga,
akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan
pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas
dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta
kedua anaknya tersebut, maka majelis hakim berpendapat bahwa
137

talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam perkara a quo


hanya jatuh talak satu.
12) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka
majelis hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon,
sebagaimana tersebut dalam petitum nomor 2, dapat dikabulkan
dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’i pemohon terhadap
termohon.220
Menurut penulis dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim
menilai bahwa Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya
dengan saksi-saksi yang ternyata keterangan satu dengan yang lainnya
saling berkesesuaian, terutama tentang terjadinya pelanggaran taklik
talak yang dilakukan oleh Pemohon. Pemohon pada awalnya telah
menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain, kemudian berjanji
untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Jika Pemohon kembali
menjalin hubungan dengan perempuan lain tersebut maka jatuh talak tiga
Pemohon kepada Termohon. Oleh karena Pemohon kembali mengulangi
perbuatannya maka Termohon menganggap sudah jatuh talak dan antara
Pemohon dengan Termohon sudah pisah rumah sejak kejadian tersebut.
Dengan kejadian tersebut, Pemohon menyesal dan ingin kembali
menjalin hubungan suami istri. Namun karena menurut masyarakat telah
jatuh talak tiga, maka Pemohon tidak berani kembali kepada Termohon
meskipun mereka masih sama-sama saling mencintai. Oleh karena itu,
Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama Giri
Menang untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai permasalahan
tersebut.
Pemohon (suami) memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan
Agama Giri Menang untuk menetapkan talak tiga sekaligus yang jatuh
karena taklik talak yang diucapkan oleh Pemohon ditetapkan sebagai
talak satu agar Pemohon bisa rujuk dengan Termohon. Dengan merujuk

220
Pengadilan Agama Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM,
7-11.
138

pada peraturan perundang-undangan, hadits-hadits tentang talak tiga dan


pendapat ulama tentang permasalahan tersebut. Akhirnya Majelis Hakim
menjatuhkan putusan sebagi berikut:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon.
2) Menyatakan taklik talak Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap
Termohon (Srianu binti H. Mahli) sah menurut hukum.
3) Menetapkan jatuhnya talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin
Baderun) terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).
4) Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus
sebelas ribu rupiah) kepada Pemohon.
Menurut penulis pertimbangan tersebut sudah tepat karena
dengan kejadian tersebut menimbulkan perselisihan dan ketidakpastian
hukum mengenai status talak yang digantungkan oleh Pemohon (taklik
talak). Dalam memutus suatu perkara, majelis hakim harus
mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi selama proses persidangan.
Fakta persidangan yang ditemukan pada perkara taklik talak di atas
adalah adanya ketidakpastian hukum tentang jatuhnya talak suami
terhadap istri.
Pasal 184 ayat (1) dan (2) HIR dan Pasal 195 ayat (1) dan (2)
R.Bg serta Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970
mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata
harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan jawaban Tergugat
secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat putusan juga dimuat
secara jelas tentang alasan dasar dari putusan, pasal-pasal dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku, biaya perkara serta hadir dan
tidaknya para pihak yang berperkara pada waktu putusan itu diucapkan.
Adapun hal-hal yang dilihat dan diperhatikan oleh Majelis Hakim
dalam pertimbangan fakta hukum ini adalah sebagai berikut:
1) Gugatan yang Diajukan Oleh Penggugat
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) HIR dan Pasal 195 ayat (1)
R.Bg bahwa gugatan dan jawaban para pihak cukup ditulis secara
139

ringkas saja. Dalam praktik biasanya gugatan dimuat secara


keseluruhan dalam putusan. Sebenarnya hal ini akan mempertebal
halaman putusan saja. Namun hal ini bukanlah suatu kesalahan,
karena memuat semua gugatan dan jawab-menjawab secara lengkap
akan memperjelas tentang duduk perkaranya dalam putusan
tersebut.221
2) Jawaban dan Tanggapan Para Pihak
Sebaiknya jawaban dan tanggapan para pihak cukup dimuat
secara ringkas saja. Tidak perlu jawaban dan tanggapan para pihak
(termasuk reflik dan duplik) dimuat secara keseluruhan, cukup hal-hal
yang menyangkut pokok-pokoknya saja atau garis besarnya saja
asalkan tidak menghilangkan arti dari jawab-menjawab tersebut atau
mengurangi artinya. Tetapi apabila dimuat secara keseluruhan, hal
tersebut bukanlah suatu kekeliruan. Bisa saja dimuat secara
keseluruhan tetapi haruslah dilihat situasi dan kondisi dari perkara
yang disidangkan.222
3) Fakta Kejadian dalam Persidangan
Fakta kejadian ini dapat berupa alat-alat bukti, baik tertulis
maupun tidak tertulis, keterangan saksi-saksi, persangkaan ataupun
sumpah, baik untuk kepentingan Penggugat maupun untuk
kepentingan Tergugat. Untuk mempersingkat keterangan yang
terdapat dalam persidangan, sebaiknya diringkas apa yang terdapat
dalam Berita Acara Sidang. Lazimnya ditulis bahwa sesuatu yang
terurai dalam Berita Acara Sidang dianggap termuat dalam putusan
ini.223
Setelah hal-hal tersebut di atas (gugatan penggugat, jawaban dan
dan tanggapan para pihak serta fakta kejadian dalam persidangan)
dipertimbangkan satu persatu secara kronologis, kemudian barulah ditulis
dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya.
221
Manan, Penerapan Hukum, 294.
222
Manan, Penerapan Hukum, 294.
223
Manan, Penerapan Hukum, 295.
140

Sebaiknya didahulukan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan


Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab fikih.
Dalil-dalil tersebut disingkronkan satu dengan yang lain agar ada
hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan.224
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum dari sumber-sumber
hukum di atas, maka hakim harus mencarinya dengan menggunakan
metode interpretasi dan konstruksi.225 Adapun metode interpretasi terdiri
dari beberapa jenis yaitu:226
1) Penafsiran Subsumtif yaitu penerapan suatu teks undang-undang
terhadap kasus inkonkreto sekedar menerapkan sillogisme.
2) Penafsiran Gramatikal yaitu untuk mengetahui makna teks undang-
undang ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa umum
sehari-hari.
3) Penafsiran Sistematis dan Logis yaitu menafsirkan suatu undang-
undang dengan menghubungkannya dengan peraturan lain atau
dengan keseluruhan sistem hukum.
4) Penafsiran Historis yaitu penafsiran teks undang-undang didasarkan
pada sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.
5) Penafsiran Sosiologis atau Teleologis yaitu menerapkan makna
undang-undang disesuaikan dengan kebutuhan hukum sosial.
6) Penafsiran Kompratif yaitu penafsiran undang-undang dengan
memperbandingkan antara berbagai sistem hukum.
7) Penafsiran Restriktif yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara
membatasi ruang lingkup undang-undang tersebut, dengan

224
Manan, Penerapan Hukum, 295.
225
Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, hal mana
kajian pokoknya tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang tersebut. Sedangkan metode
konstruksi adalah mempergunakan penalaran logis untuk mengembangkan suatu teks undang-
undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi
dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Manan, Penerapan Hukum,
279-281.
226
Amran Suadi, Teknik Pengambilan Putusan dan Penulisan Putusan Yustisial,
Makalah pada Temu Karya Ilmiah Hakim Pengadilan Agama se-Sumatera Utara (PTA Medan,
1998), 5.
141

mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada arti


bahasa.
8) Penafsiran Ekstensif yaitu menafsirkan undang-undang melampaui
batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.
9) Penafsiran Futuristis, yaitu penafsiran undang-undang bersifat
antisipasi dengan menggunakan undang-undang yang belum memiliki
kekuatan hukum.
Selain metode penafsiran, hakim dapat menggunakan metode
konstruksi dengan berpedoman kepada tiga syarat yaitu (1) konstruksi
harus meliputi bidang hukum positif, (2) dalam konstruksi tidak boleh
ada pertentangan logis di dalamnya, dan (3) konstruksi bersifat
menyelesaikan permasalahan hukum yang kabur dengan kejelasan-
kejelasan yang dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi
pencari keadilan.227 Adapun metode konstruksi terdiri dari beberapa
metode yaitu:228
1) Argumen peranalogian, yaitu penalaran yang digunakan terhadap
suatu peristiwa yang belum tersedia peraturan hukumnya, tetapi
peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang, atau
dalam kajian hukum Islam disebut “qiya>s”.
2) Metode argumentatum a’contrario, yaitu suatu penalaran hukum
dengan membatasi penerapan hukum pada peristiwa tertentu yang
tersebut dalam undang-undang, sedangkan peristiwa lain yang tidak
diatur dalam undang-undang itu diterapkan makna kebalikan dari
aturan undang-undang tersebut, atau dalam kajian hukum Islam
disebut “mafhu>m al-mukha>lafah”.
3) Pengkonkritan hukum (Rechtsvervijnings) yaitu penalaran hukum
dengan pengkonkritan terhadap suatu masalah hukum yang terlalu
umum dan sangat luas, atau dalam kajian Islam mirip dengan
penerapan al-muqayya>d terhadap nas} ‘a>m (umum).
227
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis
(Jakarta: Chandra Pratama, cet. I,1996), 192.
228
Manan, Penerapan Hukum, 282.
142

4) Fiksi hukum yaitu penalaran hukum mengikuti asas “in dubito pro
reo” artinya asas yang mengatakan bahwa setiap orang dianggap
mengetahui hukum.
b. Pertimbangan Maslahat
Setelah menelaah putusan Pengadilan Agama Giri Menang No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM tentang perkara cerai talak akibat pelanggaran
taklik talak, secara umum putusan tersebut menjadikan mas}lah}ah
sebagai pertimbangan hukum. Namun secara khusus putusan tersebut
tidak mencantumkan kaidah yang terdapat dalam kitab Al-Ashbah wa al-
Naz}a>’ir, yang berbunyi:

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Artinya: Menolak keburukan harus diutamakan daripada mengharap
kebaikan.229
Pertimbangan masalahat yang dituangkan dalam putusan tersebut
hanya secara umum. Adapun pertimbangan masalahat yang dimaksud
adalah: “Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat
bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh
talak tiga, akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan
pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan
demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua
anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang
diperjanjikan oleh pemohon dalam perkara a quo hanya jatuh talak satu”.
Ditinjau dari sisi hukum dan keprofesian hakim jelas bahwa
independensi atau kemandirian hakim pada hakikatnya diikat dan
dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Batasan atau rambu-rambu yang
harus selalu diingat dalam implementasi kebebasan ini adalah terutama
aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi
prosedural/formil maupun substansial/materiil itu sendiri sudah
merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan

229
Ima>m Abd al-Rah}ma>n Jala>l al-Di>n al-Suyut}i, al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir
(Riyad: Maktabah Nazlr Mustafa al-Bazi, 1418 H/ 1997 M), 62.
143

independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-


wenang. Hakim adalah subordinat pada hukum dan tidak dapat bertindak
contra legem. Namun harus disadari pula bahwa kebebasan dan
independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau
akuntabilitas. Jadi antara independensi dan akuntabilitas ibarat dua sisi
koin yang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung
jawab. Dapat dipahami bahwa konteks kebebasan hakim haruslah
diimbangi dengan akuntabilitas peradilan. Bentuk tanggung jawab ada
dengan pelbagai macam mekanismenya, namun yang paling perlu
disadari adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat karena pada
dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah
melaksanakan pelayanan publik dalam memberikan keadilan bagi
masyarakat pencari keadilan.230
Oleh karena itu, untuk menilai sebuah putusan yang dibuat oleh
hakim tidak berhenti pada tataran kesesuainnya dengan norma-norma
hukum semata tetapi juga harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas
yakni terkait dengan tugas peradilan dalam mewujudkan keadilan di
tengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu hakim dalam membuat sebuah
putusan hukum harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
matang yang dapat dipertanggungjawabkan secara normatif maupun
sosiologis-filosofis. Di sinilah relevansinya dengan prinsip kemaslahatan
sebagai tujuan hukum Islam (maqa>s}id al-shari>’ah). Apalagi
mengingat putusan hakim merupakan salah satu dari empat produk
hukum Islam di Indonesia selain fikih, undang-undang dan fatwa. Oleh
karena itu, putusan hakim memiliki posisi yang sangat penting dan harus
selalu mendapatkan perhatian tersendiri.
Adapun mengenai pertimbangan kemaslahatan, hakim selalu
berasumsi bahwa dalam suasana rumah tangga yang sudah tidak
harmonis yang selalu diwarnai percekcokan, perselisihan, pertengkaran,
tidak saling memperdulikan, bagi hakim perceraian merupakan solusi

230
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim (Jakarta: Kencana, 2012), 172.
144

terbaik untuk menghindari mafsadat yang lebih besar dengan alasan


bahwa dalam suasana seperti itu tujuan pernikahan untuk mewujudkan
keluarga saki>nah mawaddah warah}mah sudah sangat sulit. Jika
dipertahankan maka mudaratnya akan jauh lebih besar daripada
maslahatnya.
Meski telah dijadikan sebagai dasar pertimbangan namun
pertimbangan kemaslahatan dalam banyak putusan diterapkan secara
umum saja yakni perceraian sebagai solusi terbaik atas permasalahan
yang ada. Prinsip ini diterapkan pada hampir semua kasus yang
sebenarnya masing-masing memiliki spesifikasi tersendiri jika
dielaborasi lebih mendalam. Apalagi menyangkut kasus taklik talak,
kemaslahatan dan kemudaratan bisa saja dijabarkan secara khusus
berdasarkan kerangka d}aru>riyya>t al-khamsah sebagai penjabaran
maqa>s}id al-shari>’ah, misalnya menyangkut terpeliharanya anak dari
hal-hal yang tidak diinginkan dari sebuah perceraian dan terpeliharanya
akal istri dari stres karena diselingkuhi oleh suaminya.
Jika dikaitkan dengan maqa>s}id al-shari>’ah maka hal itu
terkait dengan hifz} al-aql (memelihara akal) dan hifz} al-nasl
(memelihara keturunan) yang dalam hukum Islam mendapat perhatian
penting. Hal inilah yang seharusnya dijabarkan oleh hakim secara lebih
rinci supaya terasa benar-benar kedalaman putusannya. Namun khusus di
Pengadilan Agama Giri Menang, tampaknya hal ini belum pernah
dipertimbangkan. Kemaslahatan anak selalu dilihat hanya dari sisi
materiilnya saja. Umumnya putusan-putusan yang terkait dengan anak
hanya menyangkut tanggung jawab nafkah h}ad}a>nah yang harus
dipenuhi suami pasca perceraian.
Menurut ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-Azi>z ibn ‘Abd al-Sala>m,
sebagaimana dikutip Djazuli, keseluruhan hukum Islam yang terinci
dalam pelbagai bidang hukum bertujuan untuk meraih maslahat dan
menolak mafsadat. Keseluruhan takli>f yang tercermin dalam konsep al-
ah}ka>m al-khamsah (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)
145

kembali pada kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat.231 Demikian


pula penelitian yang dilakukan oleh Ibn al-Qayyim terhadap teks-teks al-
Qur’an dan Sunnah menyimpulkan bahwa syariat Islam dibangun untuk
kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal
yakni keadilan, kerahmatan, kemaslahatan dan kebijaksanaan atau
mengandung makna (hikmah) bagi kehidupan. Prinsip-prinsip ini harus
menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam.
Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti bertentangan dengan
cita-cita syariat atau agama. Jadi, setiap hal yang zalim dan tidak
memberi rahmat bukanlah hukum Islam.232
Selanjutnya dipertegas oleh al-Shat}ibi> bahwa syariat diadakan
untuk kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat yang
meliputi tiga tingkatan yakni d}aru>riyya>t, ha>jiyya>t dan
tah}si>niyya>t. Mas}lah}ah daru>riyya>t adalah sesuatu yang mesti
adanya demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Jika ia tidak
ada maka akan terjadi kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan.
Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan atas lima perkara yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan ha>jiyya>t adalah sesuatu
yang sebaiknya ada agar dalam pelaksanaannya menjadi leluasa dan
terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu tersebut tidak ada maka tidak akan
menimbulkan kerusakan dan kematian hanya saja akan menimbulkan
mashaqqah atau kesempitan seperti adanya rukhs}ah bagi orang sakit
dan musafir dalam masalah ibadah. Adapun tah}si>niyya>t adalah
sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak
yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada maka tidak akan
menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu dan juga tidak akan
menimbulkan mashaqqah dalam pelaksanaannya, hanya saja dinilai tidak
pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan.

231
A. Djazuli, “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Tjun Surjaman, ed., Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Rosdakarya, cet. I, 1991), 240.
232
al-Jawziyah, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, 11.
146

Contohnya adalah menutup aurat.233 Inilah urutan-urutan kemaslahatan


dari urutan tertinggi yang harus diprioritaskan dalam perwujudannya
hingga urutan terbawah yang meskipun tidak urgen namun tetap harus
diperhatikan demi kesempurnaan hidup manusia. Oleh karena itu, upaya-
upaya pengkajian hukum Islam harus memperhatikan aspek-aspek
tersebut. Jika tidak maka sasaran hukum Islam untuk mewujudkan
kemaslahatan tidak akan tercapai dan justru akan menimbulkan
kemafsadatan.
Demikian pentingnya prinsip mas}lah}ah tersebut sehingga al-
T}u>fi> meletakkan supremasi kemaslahatan dan kepentingan umum di
atas sumber-sumber hukum yang lain bahkan harus didahulukan jika
bertentangan dengan na>s} itu sendiri. Jadi jika terjadi kontradiksi antara
mas}lah}ah di satu pihak dengan na>s} (al-Qur’an dan Sunnah) serta
ijmak di pihak lain maka ketentuan mas}lahah harus didahulukan atas
sumber-sumber hukum yang lain tersebut melalui upaya takhs}i>s} dan
penjelasan.234 Pemikiran yang progresif tersebut menjadi kontroversi
tersendiri namun harus diketahui bahwa kaidah ini dikhususkan pada
bidang muamalah bukan dalam bidang ibadah.
Hal-hal inilah yang mendasari Qodri Azizy untuk mencetuskan
bahwa al-mas}a>lih al-‘a>mmah harus menjadi landasan penting dalam
mewujudkan fikih atau hukum Islam. Al-mas}a>lih al-‘a>mmah ini
dapat dipadankan dengan universal values selama tidak bertentangan
dengan ajaran pokok Islam. Dalam hal ini semua orang akan merasakan
kemaslahatannya tanpa membedakan jenis, etnik dan bahkan juga agama.
Kemudian menurut Azizy, berbicara mengenai mas}lah}ah berarti
mengakui besarnya peran akal.235

233
Al-Shatibi, Al-Muwafaqat, 7-9.
234
Fathi Ridwan, Min Falsafat al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab al-Bunani,
cet. II, 1975), 175-176.
235
Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-
Modern (Jakarta: Teraju, cet. II, 2003), 123.
147

Untuk mewujudkan formulasi ijtiha>d modern yang mampu


memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang
akan datang, diperlukan persiapan langkah-langkah. Dalam hal ini
ijtiha>d yang dimaksudkan adalah maud}u>’i, tematik atau kasus
perkasus yang muncul pada masa kini dan jawabannya yang mampu
hidup untuk masa kini dan waktu yang akan datang. Langkah langkah
tersebut sebagai berikut:236
1) Menggunakan sumber primer (primary sources) sebagai sumber
rujukan dalam bermazhab. Dalam bermazhab Syafi’i, misalnya, agar
menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius dan kritis kitab-
kitab karya Imam Syafi’i, bukan kitab-kitab karya murid-muridnya
(pendukung mazhab Syafi’i).
2) Mengkaji pemikiran fikih ulama atau keputusan hukum Islam oleh
organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis,
tetapi dengan critical study. Hal ini berarti menempatkan fikih
sebagai sejarah pemikiran (intellectual history atau history of ideas).
Artinya, mengkaji sejarah pemikiran ulama sekaligus latar belakang
mengapa ulama tersebut mencetuskan pemikiran itu.
3) Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan
(knowledge), baik yang didasarkan atas dasar deduktif
dan verstehen maupun yang dihasilkan secara empirik. Hanya al-
Qur’an dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) saja
yang tidak dapat diuji ulang (re-examined), walaupun
pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam.
4) Mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar (pemikiran di luar
mazhabnya) dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan
terjadi serta responsif terhadap berbagai perkembangan problem-
problem baru yang muncul.
5) Meningkatkan daya tanggap (responsif) dan cepat dengan
permasalahan yang muncul, yang mana biasanya umat ingin cepat

236
Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, 110.
148

mendapatkan jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam.


Sehingga umat tidak terlalu lama menunggu jawaban hukum
tersebut.
6) Melakukan penafsiran yang aktif dan bahkan proaktif. Yang
dimaksud aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu
sekaligus mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan
yang sedang dialami oleh umat.
7) Ajaran al-ah}ka>m al-khamsah atau ketetapan berupa hukum wajib,
haram, sunnah, makruh dan mubah agar dapat dijadikan sebagai
konsep atau ajaran etika sosial. Selama ini banyak kritik bahwa
hukum Islam selalu berkutat pada wilayah ibadah mahd}ah dan
kurang menyentuh kehidupan sosial.
8) Menjadikan ilmu fikih sebagai bagian dari ilmu hukum secara
umum. Hal ini dimaksudkan karena sasaran akhirnya adalah hukum
nasional.
9) Menyeimbangkan proses deduktif dan induktif dalam
mempraktikkan hukum Islam. Proses deduktif dapat terwakili
dengan bagaimana kita memahami na>s} dari wahyu yang berupa
al-Quran dan hadis yang sahih dengan segala jenis metodenya,
termasuk qiya>s. Sedangkan deduktif adalah memberi peran akal
pada posisi yang sangat penting dalam membantu
mewujudkan h}asanah fi al-dunya dan h}asanah fi al-a>khirat.
10) Menjadikan mas}a>lih ‘ammah menjadi landasan utama dalam
membangun fikih atau hukum Islam. Mas}a>lih ‘ammah dapat
dipadankan dengan universal values pada dataran aspek yang tidak
bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Berbicara mengenai
mas}lah}ah, berarti mengakui peran penting akal dalam proses
ijtiha>d.
11) Menjadikan wahyu Allah lewat na>s} (al-Qur’an dan hadis yang
sahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam
ijtiha>d.
149

Berdasarkan 11 langkah di atas, maka kombinasi dari


sumber pokok (al-Qur’an dan Hadis) dan cabang (kitab-kitab fikih)
dengan optimalisasi peran akal dalam memunculkan solusi hukum adalah
langkah terbaik dari dua pilihan yang sama-sama kontraproduktif di
tengah eskalasi problem sosial yang menuntut ulama untuk meresponnya
secara cepat dan tepat. Sebelas hal di atas merupakan pra syarat untuk
membangun formulasi baru dalam berijtihad, suatu model yang
bernama al-ijtiha>d al-ilmu al-‘as}ri atau modern scientific ijtiha>d.237
Adapun yang diterapkan dalam putusan-putusan terhadap perkara
perceraian akibat pelanggaran taklik talak yang telah penulis paparkan di
atas, masih menggunakan dalil mas}lah}ah yang terlalu umum. Majelis
Hakim masih terlalu tekstual dalam menerapkan dalil mas}lah}ah
tersebut, Majelis Hakim masih menerapkan dalil tersebut apa adanya,
tanpa ada ijtiha>d baru dan penafsiran lebih lanjut terhadap dalil-dalil
hukum yang diterapkan dalam putusan.
Menurut Masdar F. Mas’udi, mas}lah}ah merupakan asas
ijtiha>d untuk merekonstruksi penafsiran hukum. Begitu pentingnya
mas}lah}ah bagi asas ijtiha>d, ia membuat suatu kaidah mas}lah}ah
yang " ‫" إذا صحت المصلحة فهي مذهبي‬
berbunyi:................................................ .. (jika sahih suatu
mas}lah}ah maka ia menjadi peganganku). Kaidah ini sebagai respons
dan sekaligus revisi atau rekonstruksi terhadap kaidah yang selama ini

"‫مذهبي‬
dipegang teguh di dunia fikih yang ‫" إذا صح الحديث فهو‬
berbunyi:............................................
(Jika sahih suatu hadis maka ia menjadi peganganku). Untuk membangun
penafsiran hukum yang baru yang berasaskan mas}lah}ah, terlebih
dahulu perlu dilakukan rekonstruksi terhadap konsep qat}’i>-z}anni>,
yang kemudian dijadikan sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan
metode penemuan hukum (ijtiha>d). Menurutnya, pandangan umum
mengenai ijtiha>d yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya
menjangkau hal-hal yang bersifat z}anni, dan kurang mencermati
dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat}’i>. Dengan meletakkan

237
Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, 126.
150

kembali mas}lah}ah sebagai asas ijtiha>d, maka konsep lama tentang


qat}’i>-z}anni> terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan
kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat
pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat}’i> dan z}anni tersebut
agar lebih punya tenaga (power) dalam memberikan assist dan kontitum
pemecahan berbagai masalah.238
Jelaslah bahwa teori mas}lah}ah merupakan salah satu dari
gagasan-gagasan briliant yang telah menjadi bagian dari sejarah
perjalanan hukum Islam lintas generasi yang sangat penting untuk
menjadi acuan bagi generasi kontemporer dalam aktivitas pengkajian
hukum Islam khususnya untuk pengembangan hukum Islam. Lebih-lebih
lagi dalam aktualisasi hukum Islam seperti di Pengadilan Agama yang
diberikan kewenangan resmi oleh negara untuk memberikan keadilan
bagi masyarakat muslim pencari keadilan dalam bidang perkara-perkara
tertentu seperti perceraian. Oleh karena itu, kemaslahatan sebagai intisari
dari maqa>s}id al-shari>’ah harus menjadi pertimbangan penting bagi
para hakim dalam melahirkan putusan-putusannya.
Jika pertimbangan kemaslahatan ini tidak dipertimbangkan dan
majelis hakim tidak mengabulkan permohonan cerai talak yang diajukan
oleh pemohon, dikhawatirkan akan menimbulkan kemudaratan bagi
pemohon dan termohon. Kemudaratan yang penulis maksud adalah
pemohon dan termohon masih saling mencintai, mereka ingin kembali
membina kehidupan rumah tangga setelah putus akibat pelanggaran
taklik talak, taklik talak dengan perjanjian jatuh talak tiga jika pemohon
mengulangi perbuatannya.
Pemohon dan termohon ingin rujuk, akan tetapi masyarakat
menganggap telah jatuh talak tiga sehingga pemohon dan termohon tidak
boleh rujuk sebelum termohon menikah terlebih dahulu dengan laki-laki
lain. Oleh karena pemohon dengan termohon masih saling mencintai,

238
Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syari’ah”,
dalam ‘Ulum al-Qur’an, No. 3, Vol. VI, (1995), 97.
151

sehingga dikhawatirkan mereka akan menempuh cara-cara yang dilarang


oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan praktek nikah tahlil (cina
buta). Jika hal tersebut dilakukan oleh pemohon dengan termohon tentu
akan menimbulkan masalah hukum baru. Oleh karena itu, pertimbangan
maslahah merupakan pertimbangan yang seharusnya diperhatikan oleh
majelis hakim dalam menangani perkara perceraian.
2. Dasar Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor
080/Pdt.G/2013/PA.GM.
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori
dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman,
di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat
menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar
1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor
48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu
kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal
24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara
Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.239
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga

239
Arto, Praktek Perkara Perdata, 142.
152

putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal


24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.240
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya
perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.241
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan
dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus
menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru
dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999
jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk
bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal
(doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada

240
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), 94.
241
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, 95.
153

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam
Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
Adapun dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim
Pengadilan Agama terdiri dari Peraturan Perundang-undangan dan hukum
syara’. Peraturan perundang-undangan disusun urutan derajatnya, misalnya
undang-undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun
terbitnya, misalnya UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor
1 Tahun 1974. Dasar hukum syara’ juga diurutkan berdasarkan
tingkatannya, dimulai dari al-Qur’an, kemudian hadis, baru kemudian
pendapat fuqaha.
Dasar hukum yang digunakan dalam memutus perkara cerai talak
akibat pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang pada
perkara Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, yaitu:242
a. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal
116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami melanggar
taklik talak”.
b. Kompilasi Hukum Islam pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyebutkan bahwa:
kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk: 1) taklik talak, 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Adapun dalam pasal 46 disebutkan bahwa: 1) isi sighat
taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, 2) apabila
keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak sendirinya talak jatuh. Supaya sungguh-sungguh jatuh
istri harus mengajukan persoalnya ke Pengadilan Agama, 3) perjanjian
taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.

242
PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9-11.
154

c. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika


belum terwujud syarat taklik, kemudian suami menjatuhkan talak raj’i
dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak
yang diucapkan suami tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika
sewaktu-waktu terwujud syarat taklik, maka istri dapat menggunakannya
sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik
talak. Tetapi apabila terjadi talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah
talak raj’i, taklik talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum. Sehingga jika suami istri menghendaki berlakunya
perjanjian taklik talak, maka perjanjian taklik talak itu harus diulang. 243
d. Dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir halaman
105:

‫ومن علق طَلقا بصفة وقع بوجودها عمَل مبقتضى اللفظ‬


Artinya: Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya
dengan sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan
adanya sesuatu sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut.
e. Hadits-hadits tentang talak tiga sekaligus, yakni hadis riwayat Bukhari
dan Muslim serta hadis riwayat Ahmad dan Abu Ya’la:

‫ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه‬ ِ ‫ َكا َن الطََّلَ ُق َعلَى َعه ِد رس‬:‫عن ابن عباس قال‬
َُ ْ
‫ضاهُ َعلَْي ِه ْم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وسلم وأ َِِب ب ْك ٍر وسنَت‬
َ ‫ْي م ْن خَلَفَة ُع َمَر طََلَ ُق الثََّلَث فَأ َْم‬
َْ َ َ َ َ
.)‫عمر (رواه البخارى ومسلم‬
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu
Bakar dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus
hanya diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan
ketentuan tersebut pada rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).

‫ "طلق ركانة امرأته ثَلثًا ِف جملس‬,‫عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال‬
‫ فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه‬..‫شديدا‬ً ‫ فحزن عليها حزنًا‬.‫واحد‬
243
Usman, Qawanin al-Syari’ah, 80.
155

.‫ نعم‬:‫ ِف جملس واحد؟ قال‬:‫ فقال‬.‫ ثَلثًا‬:‫كيف طلقتها؟ قال‬: ‫وسلم‬


‫" )رواه أمحد وأبو‬.‫ فراجعها‬.‫ فأرجعها إن شئت‬،‫ فإمنا تلك واحدة‬:‫قال‬
(‫يعلى‬
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rukanah menceritakan istrinya
dengan talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya (kepadanya):
“Bagaimana kamu menceraikannya?” Ia menjawab: “Aku
menceraikannya dengan talak tiga sekaligus”. Kemudian
Rasulullah SSAW berkata: “(jika demikian) maka itu hanya
jatuh talak satu, maka rujuklah kepada istrimu.” (HR. Ahmad
dan Abu Ya’la).

f. Pendapat Mazhab Dzahiriyah dan Jama’ah, sebagaimana dikutip Ibnu


Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2 halaman 561:

‫ حكمه حكم الوحدة وال تأثري للفظ ِف ذلك‬: ‫وقال أهل الظاهر ومجاعة‬
Artinya: Madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa
hukumnya (talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak
satu dan tidak ada efek yuridis dalam ucapan talak tiga
sekaligus tersebut.
Setelah mempertimbangkan fakta hukum, alat bukti, dan saksi-saksi
dalam persidangan, Majelis Hakim pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, berkesimpulan bahwa dengan diajukannya
permohonan oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon
telah beri’tikad baik dan oleh karenanya permohonan pemohon dapat
dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan
keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya
tersebut.
Meskipun terdapat ulama yang berpendapat bahwa talak tiga yang
diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga, akan tetapi
dalam perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM, berdasarkan hadits-hadits dan
pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan majelis hakim
dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua
156

anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang
diperjanjikan oleh pemohon dalam taklik talak yang diucapkan oleh
pemohon hanya jatuh talak satu.244
Majelis Hakim kemudian menghubungkan fakta-fakta hukum
tersebut dengan peraturan perundang-undangan, hadis dan pendapat ulama
dalam kitab fikih sebagai dasar hukum sebagaimana tersebut di atas. Setelah
menghubungkan fakta hukum dan dasar hukum tersebut, Majelis Hakim
mengabulkan permohonan Pemohon, yakni menyatakan sah taklik talak
yang diucapkan oleh Pemohon dan menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon
terhadap Termohon. Jadi meskipun dalam taklik talak tersebut Pemohon
telah menggantungkan talak tiga, akan tetapi majelis hakim memutus jatuh
talak satu.
Peceraian atau talak dapat diajukan kepada Pengadilan Agama guna
untuk dinyatakan sahnya perceraian dan memiliki kekuatan hukum sesuai
dengan penetapan Kompilasi Hukum Islam. Jika kita lihat menurut fikih
klasik, perceraian dapat jatuh apabila suami mengucapkan ikrar talak
terhadap istrinya, tetapi talak ini hanya sah menurut agama saja dan tidak
sah menurut hukum yang ditetapkan di negara Indonesia karena tidak
dilakukan pengucapan ikrar talak suami di muka sidang Pengadilan Agama.
Demikian juga halnya dengan talak tiga yang diucapkan sekaligus,
ketika diajukan ke Pengadilan Agama maka talaknya jatuh satu bukan tiga.
Dalam hal talak tiga yang diucapkan sekaligus, ulama berbeda pendapat dan
hakim pengadilan agama memilih pendapat ulama yang mengatakan talak
tersebut jatuh satu. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:

‫َخبَ َرنَا ُسلَْي َما ُن بْ ُن َح ْر ٍب َع ْن َمحَّ ِاد بْ ِن َزيْ ٍد َع ْن‬


ْ ‫يم أ‬
ِ ِ ِ
َ ‫َحدَّثَنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراه‬
َ َ‫الص ْهبَ ِاء ق‬
‫ال‬ َّ ‫يم بْ ِن َمْي َسَرةَ َع ْن طَ ُاو ٍس أ ََّن أَبَا‬ ِ ‫السختِي ِاِن عن إِب ر‬
َ َ ْ ْ َ ِّ َ ْ َّ ‫وب‬
‫اه‬ َ ُّ‫أَي‬
ِ ‫ث َعلَى َعه ِد رس‬ َ ِ‫ات ِم ْن َهنَات‬
ُ ‫ك أَ ََلْ يَ ُك ْن الطَّ ََل ُق الث َََّل‬ ِ ‫اس ه‬ ِ
‫ول‬ َُ ْ َ ٍ َّ‫البْ ِن َعب‬
244
PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9.
157

‫ك فَلَ َّما َكا َن‬ ِ ِ ‫اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم وأَِِب ب ْك ٍر و‬
َ ‫ال قَ ْد َكا َن َذل‬
َ ‫اح َد ًة فَ َق‬ َ َ َ َ ََ َْ ُ َ
.)‫َج َازهُ َعلَْي ِه ْم (روه مسلم‬ ِ ِ ِ
َ ‫َّاس ِِف الطَّ ََلق فَأ‬
ُ ‫ِف َع ْهد ُع َمَر تَتَايَ َع الن‬
Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb dari Hammad bin
Zaid dari Ayyub As-Sakhtiyani dari Ibrahim bin Maisarah dari
Thawus bahwa Abu As Shahba` berkata kepada Ibnu Abbas :
Beritahukanlah kepadamu apa yang engkau ketahui! Bukankah
talak tiga (yang diucapkan sekaligus) pada masa Rasulullah SAW
dan Abu Bakar dinyatakan hanya jatuh talak sekali? Jawab Ibnu
Abbas: Hal itu telah berlaku, dan pada masa pemerintahan Umar,
orang-orang terlalu mudah untuk menjatuhkan talak, lantas dia
memberlakukan hukum atas mereka (yaitu jatuh talak tiga dengan
sekali ucap). (HR. Muslim, Hadis Nomor 1472).245

Hadis di atas menjelaskan bahwa di zaman Rasulullah SAW dan


Abu Bakar r.a, karena kebenaran keimanan mereka dan tujuan yang utama
serta ikhtiar, maka tidak nampak adanya maksud-maksud penipuan sehingga
merka mengulang-ulang lafal talak sampai tiga kali itu tidak lain hanya
bermaksud sebagai taukid (penguat). Akan tetapi di zaman Umar bin
Khatthab terjadinya kasus merajalela orang menjatuhkan talak tiga secara
sekali ucapan dengan lafal yang tegas, maka Umar memberlakukan talak
tiga itu tetap jatuh tiga.
Berdasarkan penjelasan hadis di atas bahwa pendapat Umar bin
Khatthab menyimpang dengan hadis Rasulullah SAW yang mana
memberlakukan talak tiga sekaligus tidak jatuh melainkan talak satu.
Sedangkan Umar bin Khatthab memberlakukan talak tiga sekaligus tetap
jatuh tiga, karena kondisi di masa Umar masyarakatnya berlebih-lebihan
dan bermain-main dalam hal talak tiga. Oleh karena itu, Umar
memberlakukan hukum tersebut untuk mencegah masyarakat tidak
menganggap main-main dalam hal talak tiga. Dalam hal ini Umar bin
Khatthab melakukan ijtihadnya sesuai dengan tujuan dan kondisi-kondisi
terhadap masyarakatnya.

245
Muslim, Shahih Muslim, 1099.
158

Peraturan dalam Pengadilan Agama sama halnya seperti hadis


Rasulullah SAW, yang mana telah ditetapkan talak tiga menjadi talak satu.
Namun banyak ulama fikih berbeda pendapat tentang talak tiga yang
diucapkan sekaligus, ada yang berpendapat talak tiga sekaligus hanya jatuh
satu, dan ada juga yang berpendapat talak tiga sekaligus tetap jatuh tiga.
Dalam kasus cerai talak akibat pelanggaran taklik talak pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, Pemohon (suami) ketika mengucapkan taklik talak
tersebut dalam keadaan tertekan, karena jika Pemohon tidak mau
menandatangani taklik talak yang dibuat oleh Termohon (istri), maka
Pemohon tidak akan dimaafkan oleh Termohon atas kesalahan yang
diperbuatnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pertimbangan dan dasar hukum yang diterapkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Giri Menang dalam menangani permohonan cerai talak
dengan alasan pelanggaran taklik talak pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM sudah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan hukum Islam (fikih).
159

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan secara panjang lebar
pada bab-bab sebelumnya, setelah dibahas dan dianalisis, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan taklik talak menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Taklik talak diucapkan oleh
mempelai pria setelah dilangsungkannya akad pernikahan. Taklik talak
bukan suatu hal yang wajib dibacakan saat pernikahan dilangsungkan,
akan tetapi sebuah pilihan. Namun sekali diucapkan taklik talak tidak
dapat ditarik kembali atau diubah, meskipun dengan persetujuan pihak istri
dan suami. Implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami
melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri
untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan agama. Adapun
bentuk pelanggaran taklik talak yang bisa dijadikan alasan mengajukan
perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, (2)
Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3) Menyakiti
badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan istri
selama 6 bulan atau lebih.
2. Pelanggaran taklik talak merupakan salah satu alasan dari beberapa alasan
yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dapat
mengajukan perceraian. Majelis Hakim dalam menangani perkara
perceraian karena pelanggaran taklik talak berupaya agar para pihak
berdamai, namun apabila tidak berhasil maka hakim akan meneruskan
acara pada pemeriksaan perkara yang diakhiri dengan putusan hakim.
Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Giri Menang, sebagaimana hasil penelitian ada dua
pertimbangan yang digunakan. Pertama, pertimbangan hukum, ketika
160

hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan


bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni
mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah,
ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan
maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar
maka perkawinan tersebut lebih baik diakhiri. Sedangkan dasar hukum
yang diterapkan pada perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM adalah Pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 45, Pasal 46
dan Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami
melanggar taklik talak”. Di samping itu, didasarkan juga pada Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, hadis-hadis tentang talak tiga
sekaligus dan dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir.
B. Implikasi Teoritis
Setiap penelitian tentu diharapkan bermanfaat bukan hanya untuk
pribadi penulis saja, tetapi juga untuk instansi-instansi pemerintah dan
masyarakat umum. Adapun implikasi teoritis dari penelitian tentang
pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian, antara lain:
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi
perkembangan hukum Islam khususnya bidang hukum keluarga Islam,
sehingga akan membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah
perkawinan khususnya mengenai taklik talak.
2. Mengingat banyaknya kasus perselisihan dalam rumah tangga yang
berujung kepada perceraian, maka melalui hasil penelitian ini diharapkan
menjadi acuan bagi masyarakat untuk lebih menjaga keharmonisan rumah
tangga.
3. Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan (istri) banyak yang menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga, baik berupa kekerasan pisik,
psikis, penelantaran nafkah dan kekerasan seksual. Oleh karena itu,
penelitian ini dihrapkan menjadi pembuka cakrawala berpikir khususnya
bagi kaum perempuan untuk lebih berhati-hati dalam memilih pasangan
hidup. Untuk menjamin hak-hak perempuan dalam rumah tangga, maka
161

tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian pra nikah, supaya pihak
suami tidak terlalu sewenang-wenang dalam memperlakukan istrinya.
4. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan masukan bagi pejabat-
pejabat pemerintah yang dalam hal ini adalah pihak Kantor Urusan Agama
untuk senantiasa memberikan arahan kepada calon mempelai yang akan
melangsungkan pernikahan untuk lebih memperhatikan hak-hak dan
kewajiban dalam rumah tangga.
5. Bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang pada khususnya dan
semua instansi Pengadilan Agama pada umumnya, dengan hasil penelitian
ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dalam membenahi pelaksanaan
peradilan agar tercapai rasa keadilan bagi masyarakat.
C. Saran-Saran
Dengan bekal dan kemampuan yang sangat terbatas ini penulis
mencoba untuk memberikan saran-saran dengan harapan dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu hukum terutama hukum keluarga (Ah}wa>l Al-
Syakhs}iyyah) dan bagi pelaksanaan hukum dalam masyarakat, adapun saran-
saran tersebut adalah:
1. Mengingat kehidupan rumah tangga penuh dengan problematika, maka
disarankan pada calon suami istri yang hendak melaksanakan pernikahan
benar-benar mempersiapkan secara matang, bukan hanya sekedar menuruti
hawa nafsu belaka. Dalam memasuki kehidupan rumah tangga perlu
persiapan mental yang kuat, sehingga problem yang ada dalam rumah
tangga dapat diatasi dengan baik dan suami istri berhasil dengan baik
dalam rangka membangun keluarga bahagia sesuai dengan syari’at Islam.
2. Keberadaan taklik talak merupakan salah satu bentuk jaminan
perlindungan hukum bagi istri dari tindakan kesewenang-wenangan suami.
Oleh karena itu maka perlu payung hukum yang kuat dan jelas. Pengaturan
taklik talak diharapkan tidak hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
dan Peraturan Menteri Agama saja, melainkan harus juga diatur secara
tegas dalam Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa taklik
talak merupakan perjanjian dalam perkawinan.
162

3. Mengingat implikasi hukum yang terjadi sangat besar dalam pelanggaran


terhadap taklik talak, maka diharapkan kepada para suami benar-benar
memahami isi dari taklik talak dan tidak hanya sekedar diucapkan demi
formalitas dalam rangkaian acara ijab kabul suatu perkawinan. Begitu juga
kepada para wali atau pegawai pencatat perkawinan atau pembantu
pegawai pencatat perkawinan (penghulu) harus lebih memberikan
pemahaman yang jelas saat penyampaian nasehat atau tausyiah setelah
pembacaan sighat taklik.
4. Dalam memeriksa perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak,
Pengadilan Agama diharapkan melakukan pemeriksaan dengan adil dan
tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip-
prinsip hukum yang baik dan benar, serta menjadi gambaran bagi
Peradilan Agama lain agar senantiasa menjalankan aturan yang telah
diberikan oleh Instansi Peradilan Tertinggi Negara dalam pemeriksaan
terhadap masyarakat pencari keadilan.
5. Semua hakim Pengadilan Agama sebagai penegak hukum yang berbasis
Islam seharusnya dalam memutuskan perkara memperhatikan wawasan
dari al-Qur’an, hadis atau sumber rujukan hukum Islam lainnya. Hal ini
untuk menjadikan Pengadilan Agama tidak hanya berpedoman pada
undang-undang yang berlaku seperti di Pengadilan Negeri dan hal ini
menambah kewibawaan putusan, juga lebih dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Beni Ahmad Saebani. Perkawinan dan Perceraian Keluarga


Muslim. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Abu> Da>wud. Sunan Abi Da>wud, Juz II. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.t.
Afandi, Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Afriqi, Ibn Mansur. Lisan al-‘Arab, cet. VIII. Beirut: Dar al-Shadr, t.th.
Alam, Andi Syamsu. “Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding”, Majalah Varia Peradilan, Tahun
Ke-XX No. 239. Jakarta: IKAHI, 2005.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
__________. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
Jakarta: Chandra Pratama, Cet.I, 1996.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, cet. ke-2, 2002.
Arifin, E. Zaenal. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Bineka Cipta, 1998.
Asshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1984.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga : Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-
Modern. Jakarta: Teraju, cet. II, 2003.
al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung: Rosda Karya , 1997.
_________. Peradilan Agama di Indoensia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
__________.Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2004.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il. S}ahi>h al-Bukha>ri, Juz III. Beirut: Dar al-
Kutub al-’Ilmiyyah, 1992.
Dally, Peunoh. Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat dalam Naskah
Mir’at al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Isteri Menurut
Ahlussunnah, Disertasi Provendus Doctor. Jakarta: Perpustakaan
Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah, 1983.
__________. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeva, 2001.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007.
Djazuli, A. “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Tjun Surjaman, ed., Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek.
Bandung: Rosdakarya, cet. I, 1991.
__________. Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana, 2006.
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1985.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Bahan Penyuluhan
Hukum, Departemen Agama RI. Jakarta: 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4, 2008.
Fauza, Nilna. Perjanjian Perkawinan Menjamin Hak-Hak Perempuan.
http://zuhalfais.blogspot.com/2011/02/perjanjian-perkawinan-menjamin-
hak-hak.html.
Fauzi, Muhammad Latif. “Islam, Adat dan Politik: Perkembangan Taklik Talak
dan Pelembagaannya Pada Era Kolonial”, Istinbath, Jurnal of Islamic
Law, Vol. 16 No. 2 (Desember 2017),
http://ejurnal.uinmataram.ac.id/index.php/istinbath.
al-Farran, Syaikh Ahmad bin Mustafa. Tafsir Imam Syafi’i, Jilid 1, terj. Febrian
Hasmand dkk. Jakarta: Almahira, 2008.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Al-Mustasyfa min ‘Ilm al -Ushul: Tahqiq wa
Ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Juz 1. Beirut: Mu’assasat al-
Risalah, 1417 H/1997M.
Giling, Mustamin. “Kedudukan Maqashid al-Syari’ah Dalam Agama”, Stadium:
Kajian Sosial, Agama, Hukum, dan Pendidikan. Vol. 1. No. 2, 2003.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Masdar Maju,
1990.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hakim, Nurul. Taklik Talak dan Pengaruhnya terhadap Kedudukan Wanita dalam
Rumah Tangga, dalam http://nurel-hakim.blogspot.com/2011/04/taklik-
talak-dan-pengaruhnya-terhadap.html.
Hamidy, Mu’ammal dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabuni I. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.
Hamka. Tafsir al-Azhar Juz V. Jakarta: Panji Masyarakat, 1981.
Harahap, M. Yahya. “Materi KHI” dalam Moh. Mahfud (ed). Peradilan Agama
dan KHI dan Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993.
Haris, Syaefuddin. “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau
dari Hukum Perjanjian”, Arena Hukum, Vol. 6 No. 3, Desember 2013.
Hasan, Husein Hamid. Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar
an-Nahdah al-Arabiyah, 1971.
Hasan, Jasri. Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian
Akibat Murtad di Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama
Giri Menang. Tesis Program Pascasarjana IAIN Mataram, 2016.
Hasanudin. “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum
Islam dan Hukum Positif”, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1
(Juni 2016),
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/view/1145/963.
HS, H. Salim dan Erlies Soetiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah.
Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.
Ichtianto. Tanggung Jawab Hakim. Jakarta: Mimbar Hukum, No. 47, tahun XI,
2000.
al-Jawziyah, Shams al-Di>n Abi> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Abi> Bakr al-
Ma’ru>f bi Ibn Qayyim. I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-
‘A>lami>n, Juz III. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1993
M/1414 H.
Jumanto, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Istilah Ushul Fikih. Jakarta:
Amzah, 2005.
Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana, 2012.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sygma
Publishing, 2011.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Kawatiyyah, 1998.
Kurdianto. Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata. Surabaya: Usaha Nasional,
1991.
Lev, Daniel S. Islamic Court in Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan
Agama Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Intermasa, 1986.
Lubis, Sulaikan. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta:
Inis, 2008.
Ma’arif, Samsul. Ka’idah-Ka’idah Fiqih. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005.
Manan, Bagir. “Penegakkan Hukum yang Berkeadilan”, Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun Ke-XX No. 241. Jakarta: IKAHI, 2005.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, 2006.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa.“Tafsir Al-Maraghi”, terj. Bahrun Abu Bakar dkk.
Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Juz VI. Semarang: PT. Karya Toha Putra,
2003.
Mas’udi, Masdar F. “Meletakkan Kembali Mas}lah}ah sebagai Acuan Syari’ah”,
dalam ‘Ulu>m al-Qur’a>n, No. 3, Vol. VI, 1995.
Muhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 2010.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif,
1997.
Muslim, Abu Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury. Shahih Muslim, Juz
II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412H/1991M.
Muthahhari, Murtadha. The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem. Bandung:
Penerbit Pustaka, 1997.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press,
1984.
Nasution, Bahder Joha. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,
2008.
Nasution, Khoiruddin. “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan
Perjanjian Perkawinan”, Jurnal Unisia, Vol. XXXI No. 70 (Desember
2008), http:// jurnal.uii.ac.id/Unisia/article/view/2700/2487.
ND., Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ngariono, Yon. Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan Hubungan
Seks, posmo, III, 118, 23-29 Juni 2001.
Noeh, Zaini Ahmad. Pembacaan Shigat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah,
Mimbar Hukum. Jakarta: Ditbinbapera No. 30 Th. VII, 1997.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2006.
Pasha, Mustafa Kamal. Fikih Sunnah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.
Patrik, Purwahid. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju, 1999.
Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Rasyid, Royhan A. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahriyah, 2010.
al-Raysuni, Ahmad. Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi. Beirut:
International Islamic Publishing House, 1995.
Rid}wa>n, Fath}i>. Min Falsafat al-Tashri>’ al-Isla>mi>. Beirut: Da>r al-
Kita>b al-Bunani>, cet. II, 1975.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Juz II. Kairo: al-Fath Lil I’la>m al-Arobi, t.t.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia, Cet. VI, 2010.
Said, Umar. Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: CV. Cempaka, 1997.
al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, di-tah}qiq oleh
Muh}ammad ‘Abd al-Qadi>r al-Fa>dili>, Jilid I, Juz II. Beirut: al-
Maktabah al-‘As}riyyah, t.th.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty, 1997.
Soeroso, Murti Hadiati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2012.
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
Cet. 22, 2015.
al-Suyut}i, Ima>m Abd al-Rah}ma>n Jala>l al-Di>n. al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir.
Riyad: Maktabah Nazlr Mustafa al-Bazi, 1418 H/ 1997 M.
Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim
dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media,
2006.
Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Di Indonesia. Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006.
Umar, Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Usman, Sayyid. Qawanin al-Syari’ah, Salinan Nabhan. Surabaya: t.th.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: McDonald & Evan
Ltd., 1980.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, dan Hambali. Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
__________. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996.
__________. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan atau Penafsiran al-Qur’an, t.th.
Yusuf, Sofyan. “Taklik Talak Perspektif Ulama dan Pengaruhnya dalam Berumah
Tangga”, Anil Islam, Vol. 10 No. 2 (Desember 2017),
http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam/article/download/65/41.
Zaid, Mustafa. Al-Maslahah fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin at-Tufi. Beirut:
Dar al-Fikr, 1954.
Zahrah, Muhammad Abu. Us}u>l al- Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1958.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VI. Damsyik: Da>r al-
Fikr, cet.2, 1405 H/1985 M.
__________. Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz II. Damsyik: Da>r al-Fikr, 1986.
PEDOMAN WAWANCARA

“Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian Di Pengadilan Agama

Giri Menang (Studi Putusan Perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM)”

A. Identitas Narasumber
Nama : .................................................................................

Tempat/Tgl. Lahir : .................................................................................

Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Giri Menang

Lokasi & Waktu : .................................................................................

B. Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Bapak tentang taklik talak, apakah taklik talak dapat
dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian?
2. Apa saja bentuk-bentuk/model pelanggaran taklik talak yang dijadikan
sebagai alasan mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang?
3. Biasanya dalam kasus pelanggaran taklik talak, pihak yang dirugikan adalah
istri kemudian dengan alasan pelanggaran taklik talak tersebut pihak istri
mengajukan gugatan perceraian. Namun dalam perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, yang melanggar taklik talak adalah suami dan pihak
suami sendiri yang mengajukan perceraian. Bagaimana pandangan bapak
terhadap kasus tersebut?
4. Menurut Bapak, jika terjadi pelanggaran taklik talak, siapa seharusnya yang
mengajukan gugatan perceraian?
5. Dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik
talak, apakah hakim mendasarkan pada undang-undang saja atau merujuk
pada sumber-sumber lain?
6. Mana yang lebih dominan yang digunakan sebagai pertimbangan dalam
memutus cerai perkara pelanggaran taklik talak ini? apakah dari ijtihad
sendiri atau semata-mata bersandar pada undang-undang yang berlaku?
7. Bagaimana hakim membuktikan adanya pelanggaran taklik talak dan
bagaimana cara menyelesaikannya?
8. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian
dengan alasan pelanggaran taklik talak?
HASIL WAWANCARA

Nama : H. ADI IRFAN JAUHARI, Lc.,M.A


Tempat Tanggal Lahir : BEKASI, 10 NOVEMBER 1978
Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
Lokasi dan Waktu : SENIN, 26 NOVEMBER 2018

1. Taklik talak boleh atau jaiz” dan bukan keharusan dalam perkawinan.
Taklik talak dapat dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan perceraian
2. Selama tugas di Pengadilan Agama Giri Menang belum pernah
menyidangkan cerai dengan alasan taklik talak.
3. Belum sempat baca putusan tsb,,….
4. Pada umumnya (taklik pada buku nikah) yang di persyaratkan salah
satunya adalah ketidak ridhoan istri terhadap kondisi/keadaan yang disebut
dalam sighat, maka dalam hal ini istri yang mengajukan atas pelanggaran
taklik dari suami.
5. Secara azas hakim wajib memedomani UU dan sumber hokum lain yang
dibenarkan dalam hokum acara.
6. Saya berpendapat bahwa ijtihad dan undang-undang bukan dalam hal yang
vis a vis karena ijtihad adalah proses pengambilan kesimpulan hokum
yang tentu dapat juga didasarkan dari UU atau sumber hokum lainnya.
7. Sederhana saja, pelajari sighat taklik, lalu gunakan hokum pembuktian
dalam menentukan apakah taklik itu sudah dilanggar atau belum.
8. Hakim harus menimbang sejauh mana bentuk sighat dan pelanggaran yang
dijadikan alasan apakah benar terdapat korelasai dan akibat yang menjadi
syarat dalam jatuhnya taklik. Jika yam aka telah terbukti bahwa taklik
telah dilanggar.
HASIL WAWANCARA

Nama : MUH. SAFRANI HIDAYATULLAH


Tempat Tanggal Lahir : MATARAM, 19 FEBRUARI 1977
Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
Lokasi dan Waktu : KAMIS, 22 NOVEMBER 2018

1. Taklik talak dapat dijadikan alasan perceraian kerena bentuk perjanjian


antara suami ddan istri selama substansi taklik talaknya tidak bertentangan
dengan hukum islam. Akan tetapi, jika keadaan yang diisyaratkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi, namun talak ini tidak dengan sendirinya
talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguhjatuh, istri harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
2. Bentuk atau model pelanggaran taklik talak antara lain: suami
meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-
turut tidak menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan
suami selama 6 bulan tidak memperdulikan istri.
3. Yang harus mengajukan pelanggaran taklik talak adalah pihak istri sebagai
Penggugat
4. Tentunya harus merujuk pada Undang-undangyang ada, khususnya
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang KHI pada pasal 8, pasal
45, 46 dan 116 huruf (g), selain itu dapat menggunakan sumbner hokum
lain seperti Al Qur’an Surat An nisa ayat 19 dan hadis nabi lainnya
5. Yang di jadikan sumber pertimbangan adalah undang-undang termasuk
sumber hokum yang lain, bukan ijtihad
6. Pembuktiannya dengan membebankan menghadirkan ssaksi dan bukti lain
di persidangan
7. Pertimbangannya dengan menganalisa apakah pelanggaran taklik talak
tersebut bisa dibuktikan oleh Penggugat atau tidak
HASIL WAWANCARA

Nama : MUHAMMAD JAMIL, S.Ag


Tempat Tanggal Lahir : DEMAK, 05 JULI 1976
Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
Lokasi dan Waktu : KAMIS, 29 NOVEMBER 2018

1. Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1


tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat Taklik talak sebagai alasan
perceraian namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51
disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan member hak kepada
istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka Pelanggaran Taklik talak bisa
dijadikan alasan mengajukan perceraian
2. Sesuai rumusan bahwa taklik talak adalah perjanjian yang di gantungkan
kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi istri dari
kemudharatan, maka bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang yang telah
di buat oleh suami istri pada saat pernikahan tersebut.
3. Hakim tidak boleh menilai putusan orang lain
4. Jika tujuan utamanya Taklik Talak adalah melindungi istri maka yang
berhak mengajukan gugatan dengan alasan taklik talak adalah istri.
5. Dalam memutus perkara hakim yang pertama adalah berdasarkan dengan
Undang-Undang yang disandingkan dengan sumber-sumber hokum
lainnya
6. Dalam mempertimbangkan alasan perceraianyang pertama harus
berdasarkan Undang-Undang jika tidak ditemukan dalam undang-undang
baru ijtihad.
7. Dalam Pembuktiannya hakim tetap membebankan kepada pihak untuk
menghadirkan saksi dan bukti lain dan pemeriksaan perkara perceraian
seperti biasa.
8. Hakim tetap dengan mengonstatir, mengkualifisir dan mengkontutir
perkara tersebut, apakah pelanggaran Taklik Talak terbukti maka di
kabulkan dengan khul’iy jikatidak terbukti maka ditolak.
HASIL WAWANCARA

Nama : RUFAIDAH IDRIS, S.H.I.


Tempat Tanggal Lahir : DENPASAR, 17 JUNI 1979
Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
Lokasi dan Waktu : KAMIS, 30 NOVEMBER 2018

1. Ya. Taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian (


Kompilasi Hukum Islam pasal 116 Huruf g).
2. Saya belum pernah menangani perkara perceraian dengan alasan
Pelanggaran Taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.
3. Dalam perkara di maksud, saya belum membaca putusannya. Namun
menurut saya bisa saja, dalam pelanggaran taklik talak yang dilakukan
suami dan suami yang mengajukan perceraian (KHI Pasal 116 huruf g)
4. Menurut saya jika terjadi Pelanggaran Taklik talak, yang seharusnya
mengajukan gugatan perceraian adalah istri.
Keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak tersebut betul-betul
terjadi, maka supaya taklik talak benar-benar jatuh, istri harus mengajukan
ke Pengadilan Agama, kalau tidak mengajukan atau mengadukan
persoalannya ke Pengadilan Agama maka talak suami itu selamanya tidak
akan jatuh. Karena dalam sighat taklik talak selain ada empat keadaan
tertentu yakni: 1. Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut. 2.tidak
member nafkah wajib 3 bulan lamanya. 3. Menyakiti badan/Jasmani istri
atau. 4. Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau
lebih. Ada hal lain atau syarat lain yakni: 1. Istri tidak ridho. 2.
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. 3. Gugatan diterima. 4. Istri
menyerahkan iwadh Rp. 10.000,-. Keempat syarat ini harus dipenuhi maka
jatuhlah talak suami.
5. Pada Undang-undang dan sumber lainnya
6. Berdasarkan Undang-undang dan ijtihad tidak menafikkan pendapat ulama
7. Membuktikan adanya pelanggaran taklik talak dengan alat bukti pada
tahap pembuktian dalam perkara perceraian karena pelanggaran taklik
talak termasuk dalam kategori talak bain shugro, walaupun yang jatuh
adalah talak suami. Karena untuk jatuhnya talak suami itu istri harus
mengajukan ke Pengaadilan Agama dan membayar iwadh.
8. Memeriksa kebenaran alasan/ dalil gugatan dalam hal ini adanya
pelanggaran taklik talak: dengan pembuktian membebankan kepada
Penggugat untuk membuktikan dalilnya.
Kalo terbukti adanya pelanggaran taklik talak , perkara dikabulkan , jika
tidak terbukti perkara di tolak.
HASIL WAWANCARA

Nama : RUSYDIANA KURNIAWATI LINANGKUNG,


S.H.I
Tempat Tanggal Lahir : MATARAM, 20 SEPTEMBER 1985
Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG
Lokasi dan Waktu : KAMIS, 30 NOVEMBER 2018

1. Ya. Pelanggaran terhadap Taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan


mengajukan perceraian.
2. Selama saya bertugas di Pengadilan Agama Giri Menang belum pernah
menangani perkara cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak.
3. Pelanggaran terhadap taklik talak sebagaimana yang termuat dalam buku
Kutipan Akta Nikah memang harus diajukan oleh istri karena hal itu
menjadi bagian dari klausula. Sedangkan dalam perkara
0080/Pdt.G/2013/PA.GM diajukan dengan alasan pelanggaran terhadap
taklik talak yang tidak termuat dalam buku kutipan akta nikah sehingga
tidak ada larangan untuk suami mengajukan perkara perceraian ke
Pengadilan Agama.
4. Suami maupun istri dapat mengajukan perkara perceraian dengan alasan
Pelanggaran taklik talak karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1
tahun 1974 jo. Pasla 115 KHI. Hal tersebut dikecualikan/dikhususkan
untuk pelanggaran terhadap taklik talak yang termuat di dalam Buku
kutipan Akta Nikah hanya dapat diajukan oleh istri.
5. Secara umum termasuk dalam memutus perkara perceraian dengan alasan
pelanggaran terhadap taklik talak, hakim harus mendasarkan putusannya
pada alsan-alasan yang termuat di dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan
yang terkait atau dari sumber hokum tak tertulis sebagaimana ketentuan
pasal 25 UU Nomor 4 tahun 2004 jo. Pasal 62 UU nomor 7 tahun 1989
6. Putusan Pengadilan haruslah memuat asas keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Demikian pula dalam perkara perceraian hakim harus
mempertimbangkan fakta yang ada untuk dikaitkan dengan aturan hokum
yang berlaku dengan memperioritaskan hokum positif untuk unifikasi
hokum islam di indonesia
7. Pembuktian menjadi beban/ tanggung jawab bagi para pihak sedangkan
hakim bertugas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak untuk
kemudian memperoleh fakta sebagai pertimbangan terbukti atau tidak
adanya pelanggaran taklik talak yang didalilkan.
8. Perkara perceraian dengan alasan adanya pelanggaran taklik talak diatur
dalam ketentuan pasal 116 huruf g KHI. Bilamana dari pembuktian di
persidangan di peroleh fakta pelanggaran taklik talak maka perkara
dikabulkan , sebaliknya jika tidak terbukti maka perkara tersebut ditolak.
SALINAN PUTUSAN
Nomor 80/Pdt.G/2013/PA.GM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Giri Menang yang mengadili perkara-perkara


perdata tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara permohonan penetapan ta’klik talak
antara:

Naharudin bin Baderun, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan


Swasta, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa Beleke,
Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, sebagai
Pemohon;

Melawan

Srianu binti H. Mahli, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa Beleke,
Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat,sebagai
Termohon;

Pengadilan Agama tersebut;


Setelah membaca berkas perkara;

Setelah mendengar keterangan kedua belah pihak serta memeriksa alat-


alat bukti;

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Bahwa, Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 7 Maret


2013 yang terdaftar pada register perkara Pengadilan Agama Giri
Menang Nomor 80/Pdt.G/2013/PA.GM., telah mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri sah yang


menikah pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1998 yang dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Gerung
Kabupaten Lombok Barat, sesuai buku Duplikat Kutipan Akta Nikah
Nomor: 228/13/VII/1998 tanggal 9 Juli 1998;
2. Bahwa setelah melangsungkan perkawinan, Pemohon dan Termohon
bertempat tinggal di Dusun Lembar, Desa Lembar, Kecamatan
Lembar, Kabupaten Lombok Barat dan terakhir di Dusun Mendagi,
Desa Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selama
pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup
sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 2 orang anak yang
bernama:
2.1. M. TOMI HERMAWAN, laki-laki, umur 14 tahun;
2.2. SITI ANISA NILMALASARI, perempuan, umur 10 tahun;

Kedua anak tersebut dalam pemeliharaan atau asuhan pemohon dan


termohon;

3. Bahwa mulai tanggal 5 Nopember 2012 Pemohon mempunyai


hubungan khusus dengan seorang perempuan bernama NURHAYATI,
dengan hubungan khusus tersebut diketahui oleh Termohon pada
tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah pertengkaran antara
Pemohon dengan Termohon, dan Termohon mau memaafkan
Pemohon bila membuat perjanjian yang merupakan inisiatif dari
Termohon pada tanggal 31 Januari 2013 yang isinya: SAYA TIDAK
AKAN PACARAN LAGI DAN JIKA PERJANJIAN INI PEMOHON
LANGGAR MAKA JATUHLAH TALAK TIGA PEMOHON TERHADAP
TERMOHON;
4. Bahwa pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan
Pemohon yang lagi berduaan dengan NURHAYATI, oleh karena
Pemohon membuat perjanjian tersebut, maka Termohon menganggap
telah jatuh talak Pemohon terhadap Termohon, kemudian Pemohon
pulang kembali ke rumah orang tua Pemohon;
5. Bahwa Pemohon sangat meragugat isi perjanjian tersebut, karena
tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon, dan Pemohon
dengan Termohon menginginkan rukun dan membina rumah tangga
namun tidak dibenarkan dan tidk diterima oleh masyarakat maupun
tokoh agama di tempat Pemohon dan menganggap telah jatuh talak
tiga Pemohon kepada Termohon;
6. Bahwa Pemohon telah menjatuhkan talak tiga yang dibuat dalam
perjanjian dengan Termohon dan memohon kepada Ketua Pengadilan
Agama cq. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk ditetapkan
sebagai talak satu sehingga pemohon bisa rujuk kembali dengan
Termohon;
7. Bahwa berdasarkan dali-dalil dan alasan-alasan tersebut di atas
pemohon Mohon kepada bapak Ketua Pengadilan Agama Gir Menang
Cq. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini memberikan putusan
sebagai berikut:
PRIMER:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;


2. Menetapkan jatuh talak satu raj’i Pemohon (NAHARUDIN bin
BADERUN) terhadap Termohon (SRIANU binti H. MAHLI) ;
3. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan hukum yang
berlaku;
SUBSIDER:
Dan atau memberikan putusan lain yang seadil-adilnya dan
bermanfaat;

Bahwa pada persidangan yang ditetapkan, Pemohon dan


Termohon hadir sendiri di persidangan;

Bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah


pihak, akan tetapi tidak berhasil;

Bahwa sebelum memasuki pokok perkara, para pihak juga telah


diperintahkan oleh majelis hakim supaya menempuh upaya mediasi diluar
sidang di hadapan mediator yang telah disepakati kedua belah pihak yaitu
Drs. Mutamakin, SH;

Bahwa berdasarkan laporan hasil mediasi Nomor


80/Pdt.G/2013/PA.GM tanggal 20 Maret 2013, mediasi dinyatakan tidak
berhasil;

Bahwa oleh karena perdamaian dan mediasi tersebut tidak


berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat
permohonan pemohon, yang isinya tetap dipertahankan pemohon tanpa
ada perubahan dan penambahan;

Bahwa, atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon


memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan
dan mengakui seluruh dalil-dalil permohonan Pemohon;

Bahwa, untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon


telah mengajukan bukti-bukti surat berupa:

1. Fotokopi Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor: 228/12/VII/1998,


tertanggal 9 Juli 1998 atas nama pemohon dan termohon yang dibuat
dan ditandatangani oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Gerung, Kabupaten Lombok Barat (P.1);
2. Asli surat perjanjian Ta’klik Talak yang ditanda tangani NAHARUDIN
(Pemohon) tertanggal 31 Januari 2013 (P.2);

Bahwa disamping itu, pemohon juga menghadapkan saksi-saksi,


sebagai berikut;

Saksi I : SAKNAH binti AMAQ MERAK, umur 50 tahun, agama Islam,


pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kediaman di Dusun Lembar,
Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat,
dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena


saksi adalah ibu kandung Pemohon, sedangkan Termohon
adalah anak menantu Saksi;

2. Bahwa saksi hadir pada saat Pemohon dengan Termohon


melangsungkan akad nikah pada ± 15 tahun yang lalu dan
telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama TONI dan
ANISA;
3. Bahwa saksi tahu rumah tangga Pemohon dengan
Termohon rukun harmonis dan baik-baik saja. Namun sejak
tahun 2012 rumah tangga mereka ada masalah karena
Pemohon berpacaran dengan perempuan bernama
NURHAYATI;
4. Bahwa pada bulan Januari 2013 Termohon mengetahui
Pemohon mempunyai hubungan dengan NURHAYATI,
kemudian Termohon mau memaafkan Pemohon jika
Pemohon mau membuat perjanjian, jika Pemohon
berpacaran lagi, maka jatuhlah talak tiga Pemohon kepada
Termohon;
5. Bahwa saksi melihat sendiri isi surat perjanjian ta’lik talak
tersebut yang ditanda tangani sendir oleh Pemohon;
6. Bahwa pada bulan Februari 2013 ternyata Pemohon telah
ketahuan masih berhubungan dengan NURHAYATI kembali;
7. Bahwa saksi tahu pada bulan Februari tersebut Pemohon
telah menikah dengan NURHAYATI ,namun setelah berjalan
satu bulan, kurang lebih satu minggu yang lalu NURHAYATI
diceraikan oleh Pemohon;
8. Bahwa semenjak Termohon mengetahui jika pemohon
masih berhubungan lagi dengan NURHAYATI , termohon
menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada
Termohon, sehingga sampai sekarang antara Pemohon
dengan Termohon sudah pisah rumah;
9. Bahwa saksi tahu Pemohon sangat menyesali perjanjian
ta’lik talaknya tersebut dan antara Pemohon dengan
Termohon sekarang ini masih saling mencintai dan
berkeinginan untuk melanjutkan hubungan rumah
tangganya, tetapi masyarakat sekitar tidak menerima karena
menganggap telah jatuh talak tiga;

Saksi II: SAPUAN bin BADERUN, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan
Karyawan PT. Indocement, tempat kediaman di Dusun Lembar,
Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat,
dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena


saksi adalah adek kandung Pemohon, sedangkan
Termohon adalah kakak ipar Saksi;
2. Bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri
yang telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama
TONI dan ANISA;
3. Bahwa saksi tahu rumah tangga Pemohon dengan
Termohon rukun harmonis dan baik-baik saja. Namun sejak
antara bulan Januari – Februari 2013 yang lalu saksi tahu
rumah tangga mereka ada masalah karena Pemohon
berpacaran dengan perempuan bernama NURHAYATI;
4. Bahwa benar setelah Termohon mengetahui Pemohon
mempunyai hubungan dengan NURHAYATI, kemudian
Pemohon membuat perjanjian,ta’lik talak dengan Termohon,
jika Pemohon berpacaran lagi, maka jatuhlah talak tiga
Pemohon kepada Termohon;
5. Bahwa selain mendengar cerita dari Pemohon dan
Termohon, saksi juga melihat sendiri isi surat perjanjian ta’lik
talak tersebut yang ditanda tangani sendir oleh Pemohon;
6. Bahwa pada tanggal 3 Februari 2013, Termohon
mengetahui dan mempergoki sendiri Pemohon telah dan
masih berhubungan dengan NURHAYATI kembali;
7. Bahwa saksi tahu pada bulan Februari tersebut Pemohon
telah menikah dengan NURHAYATI ,namun setelah berjalan
satu bulan, kurang lebih satu minggu yang lalu NURHAYATI
diceraikan oleh Pemohon;
8. Bahwa semenjak Termohon mengetahui jika pemohon
masih berhubungan lagi dengan NURHAYATI , termohon
menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada
Termohon, sehingga sampai sekarang antara Pemohon
dengan Termohon sudah pisah rumah;
9. Bahwa saksi tahu Pemohon sangat menyesali perjanjian
ta’lik talaknya tersebut dan antara Pemohon dengan
Termohon sekarang ini masih saling mencintai dan
berkeinginan untuk melanjutkan hubungan rumah
tangganya, tetapi masyarakat sekitar tidak menerima karena
menganggap telah jatuh talak tiga;
Bahwa terhadap alat-alat bukti dan keterangan saksi-saksi
tersebut, Pemohon dan Termohon mengakui dan membenarkannya;

Bahwa selanjutnya Pemohon dan Termohon tidak menyampaikan


sesuatu apapun lagi dan mohon putusan;

Bahwa untuk melengkapi uraian putusan ini, maka Majelis Hakim


menunjuk berita acara persidangan ini sebagai bagian dalam putusan ini;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon


adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis


hakim di dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator
Drs. Mutamakin, S.H. diluar persidangan kepada kedua belah pihak tidak
berhasil, maka mejelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini pada
pokok perkara;

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permohonan pemohon


adalah pemohon memohon agar perjanjian ta’klik talak yang telah dibuat
dan ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus
pemohon kepada termohon secara ta’lik talak dapat ditetapkan dengan
jatuh talak satu raj’i demi mendapatkan kepastian status hukum dan
permohonan tersebut tetap dipertahankan oleh pemohon tanpa ada
perubahan apapun;

Menimbang, bahwa atas dalil-dalil permohonan pemohon tersebut,


termohon mengakui dan membenarkan dalil-dalil permohonan pemohon;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan
terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam
perkawinan yang sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak
yang sah sebagai subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 (1)
Kompilasi Hukum Islam

menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon telah


memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil sebagaimana
sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg., maka Majelis Hakim
berpendapat dapat menerima saksi-saksi pemohon tersebut untuk
didengar keterangannya di persidangan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2)


dan dan keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim
berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan pemohon dalam perkara a quo
telah terbukti bahwa pemohon telah membuat dan menandatangani
perjanjian ta’lik talak dengan jatuhnya talak tiga pemohon sekaligus
terhadap termohon, namun setelah terjadinya ta’lik tersebut pemohon
dengan termohon masih saling mencintai dan berkeinginan melanjutkan
hubungan rumah tangganya, akan tetapi masyarakat enggan menerima
karena beranggapan antara pemohon dengan termohon telah jatuh talak
tiga;

Menimbang, bahwa dalam hukum islam selain talak khulu’, talak


tafwidh, fasakhdan lain sebagainya sebagai tehnik-tehnik perceraian, juga
diatur mengenai ta’lik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia;

Menimbang, bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu


rujukan sumber hokum materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus
perkara perceraian mengatur dan mengakui eksistensi lembaga ta’lik talak
sebagai salah satu alasan perceraian sebagaimana termuat dalam pasal
45 ayat (1) dan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam (KHI);
Menimbang, bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga ta’lik talak
dalam sistem hukum perkawinan dan perceraian islam di Indonesia
adalah melindungi hak-hak isteri dari perbuatan/tindakan semena-mena
suami demi niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap hidup
membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
sebagaimana termuat dalam surat ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974;

Menimbang, bahwa dari pengakuan pemohon yang telah


dibenarkan oleh termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta
keterangan saksi-saksi telah terbukti bahwa pemohon telah membuat dan
menandatangani perjanjian ta’lik talak yang dalam perjanjian tersebut
kejadian yang dijadikan gantungan (ta’lik) oleh pemohon untuk
menjatuhkan talaknya adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan
persolan (tingkah laku) pemohon yang yang dapat mempengaruhi
keharmonisan dan menghalangi hubungan pemohon dan termohon dalam
membina rumah tangga dan dapat menghalangi pemohon atau termohon
untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri, yaitu mengenai
perbuatan pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan khusus
(bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama
NURHAYATI, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian
ta’lik talak yang diperjanjikan pemohon tersebut pada dasarnya memenuhi
tujuan dan nilai luhur pengaturan lembaga ta’lik talak dalam hukum
perkawinan dan perceraian di indonesia sebagaiman termuat dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1990;

Menimbang, bahwa majelis hakim sependapat dengan dalil fikih


yang termuat dalam kitab Syarqawi ala al-tahrir halaman 105:

‫ومن علق طَلقا بصفة وقع بوجودها عمَل مبقتضى اللفظ‬


Artinya; “Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya
dengan sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan
adanya sesuatu sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut”.

Menimbang, bahwa dari dalil pemohon yang telah dibenarkan oleh


termohon dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti
setelah pemohon membuat dan menandatangani perjanjian ta’lik talak,
ternyata pemohon telah menjalin hubungan , bahkan sampai menikah lagi
dengan perempuan lain yang bernama NURHAYATI meskipun telah
diceraikan kembali oleh pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut dan
pertimbangan-pertimbangan diatas, perjanjian ta’lik talak pemohon telah
memenuhi ketentuan hokum islam dan pemohon telah terbukti sah secara
hokum melanggar perjanjian ta’lik talak tersebut;

Menimbang, bahwa oleh karena pemohon terbukti sah secara


hokum telah melanggar perjanjian ta’lik talaknya tersebut, maka
selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan
talak yang jatuh sebagai akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus
pemohon tersebut dalam ta’liknya;

Menimbang, bahwaberkaitan denga perkara a quo majelis hakim


perlu mengetengahkan hadits-hadits yang akan dijadikan dasar
pertimbangan dalam memutus perkara a quo sebagai berikut:

ِ ‫ َكا َن الطََّلَ ُق َعلَى َعه ِد رس‬:‫عن ابن عباس قال‬


‫ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم َوأَِِب بَ ْك ٍر‬ َُ ْ
.)‫ضاهُ َعلَْي ِه ْم عمر (رواه البخارى ومسلم‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ‫وسنَت‬
َ ‫ْي م ْن خَلَفَة ُع َمَر طََلَ ُق الثََّلَث فَأ َْم‬
ْ ََ

Artinya: “Dari ibnu abbas, ia berkata : Pada masa Rasulullah saw, Abu
Bakar dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus
hanya diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan
ketentuan tersebut pada rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

‫ فحزن‬.‫ "طلق ركانة امرأته ثَلثًا ِف جملس واحد‬,‫عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال‬
:‫كيف طلقتها؟ قال‬: ‫ فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬..‫شديدا‬
ً ‫عليها حزنًا‬
.‫ فأرجعها إن شئت‬،‫ فإمنا تلك واحدة‬:‫ قال‬.‫ نعم‬:‫ ِف جملس واحد؟ قال‬:‫ فقال‬.‫ثَلثًا‬
(‫" )رواه أمحد وأبو يعلى‬.‫فراجعها‬

Artinya; “Dari ibnu abbas, ia berkata : Rukanah menceritakan istrinya


dengan talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya (kepadanya): “Bagaimana
kamu menceraikannya?” ia menjawab: Aku menceraikannya
denga talak tiga sekaligus. Kemudian Rasulullah berkata : “(jika
demikian) Maka itu hanya jatuh talak satu, maka rujuklah kepada
istrimu”. (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)

Menimbang, bahwa madzhab Dzahiriyah dan Jama’ah,


sebagaimana dikutip ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2
hal.561, berpendapat:

‫ حكمه حكم الوحدة وال تأثري للفظ ِف ذلك‬: ‫وقال أهل الظاهر ومجاعة‬

Artinya: “madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa


hukumnya (talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak satu
dan tidak ada efek yuridis dalam ucapan talak tiga sekaligus
tersebut”.
Menimbang, bahwa dengan diajukannya permohonan dalam
perkara a quo oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon
telah beri’tikad baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon
dalam perkara a quo dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian
hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan termohon
terhadap status perkawinannya tersebut

Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat


bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh
talak tiga, akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan
pendapat ulama’ sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan
demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua
anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang
diperjanjikan oleh pemohondalam perkara a quo hanya jatuh talak satu;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka mejelis hakim berpendapat bahwa permohonan
pemohon, sebagaimana tersebut dalam petita nomor 2, dapat dikabulkan
dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’I pemohon terhadap
termohon;

Menimbang, bahwa oleh karena perkara a quo termasuk dalam


bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009, maka biaya perkara dibebankan kepada Pemohon;
Mengingat dan memperhatikan segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan
perkara ini;
MENGADILI

1. Mengabulkan permohonan pemohon;


2. Menyatakan ta’lik talak pemohon (NAHARUDIN bin BADERUN)
terhadap Termohon (SRIANU binti H. MAHLI) sah menurut hukum;
3. Menetapkan jatuhnya talak satu raj’I pemohon (NAHARUDIN bin
BADERUN) terhadap termohon (SRIANU binti H. MAHLI);
4. Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus
sebelas ribu rupiah) kepada pemohon;

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan pada hari


Rabu tanggal 27 Maret 2013 M. bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil
Awwal 1434 H. dan telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh kami MUSLICH, S.Ag. sebagai Ketua Majelis serta
MUH. NASIKHIN, S.HI., M.H., dan SYAFRUDDIN, S.Ag., M.SI., masing-
masing sebagai Anggota Majelis, dibantu H. SATERIAH AN, S.HI.
sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh pemohon dan termohon.

Anggota Majelis I Ketua Majelis

ttd ttd

MUH. NASIKHIN, S.HI., MH. MUSLICH, S.Ag.


Anggota Majelis II

ttd

SYAFRUDDIN, S.Ag., M.SI..

Panitera Pengganti,

ttd

H. SATERIAH AN, S.HI.

Perincian Biaya Perkara:

1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,00

2. Biaya Proses : Rp. 50.000,00

3. Panggilan : Rp. 120.000,00

5. Meterai : Rp. 6.000,00

6. Redaksi : Rp. 5.000,00

Jumlah : Rp 211.000,00

(Dua ratus sebelas ribu rupiah)

Anda mungkin juga menyukai