Anda di halaman 1dari 26

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Perusahaan

5.1.1 Sejarah Perkembangan Bursa Efek Indonesia

Pasar modal telah hadir di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda

dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan

oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial

atau VOC. Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912,

perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang

diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal

mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor

seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah

kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang

menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.

Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada

tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami

pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang

dikeluarkan pemerintah. Selanjutnya, tonggak perkembangan pasar modal

di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:

1. Periode Jaman Belanda (1912 – 1942)

Pada tanggal 14 Desember 1912, asosiasi 13 broker dibentuk di

Jakarta. Asosiasi tersebut diberi nama Belanda sebagai Vereniging voor

Effectenhandel yang merupakan cikal bakal pasar modal pertama di

57
58

Indonesia. Setelah perang dunia I, pasar modal di Surabaya mendapat

giliran dibuka pada tanggal 1 Januari 1925 dan disusul di Semarang pda

tanggal 1 Agustus 1925. Karena masih dalam jaman penjajahan Belanda

dan pasar-pasar modal ini juga didirikan oleh Belanda, mayoritas saham-

saham yang diperdagangkan di sana merupakan saham-saham perusahaan

Belanda dan afiliasinya yang tergabung dalam Dutch East Indies Trading

Agencies. Pasar-pasar modal ini beroperasi sampai kedatangan Jepang di

Indonesia tahun 1942 (Hartono, 2010:62).

2. Periode Orde Lama (1952 – 1960)

Setelah Jepang meningalkan Indonesia pada tanggal 1 September

1951 dikeluarkan Undang-undang Darurat No. 12, yang kemudian

dijadikan Undang-undang No. 15/1952 tentang pasar modal. Selain itu

melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 289737/U.U tanggal 1

November 1951, Bursa Efek Jakarta (BEJ) dibuka kembali. Hal ini

bertujuan untuk menampung obligasi pemerintah. Selain itu juga bertujuan

untuk mencegah saham-saham Belanda yang dulunya diperdagangkan di

pasar modal di Jakarta lari keluar negeri (Hartono, 2010:63).

Kepengurusan bursa efek ini kemudia diserahkan ke Perserikatan

Perdagangan Uang dan Efek-efek (P.P.U.E). Bursa efek ini berkembang

sangat baik walaupun yang diperdagangkan umumnya adalah obligasi

perusahaan Belanda dan obligasi pemerintah Indonesia. Karena adanya

sengketa antara pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai Irian

Barat, semua bisnis Belanda dinasionalkan melalui Undang-undang


59

Nasionalisasi No. 86 tahun 1958. Hal ini mengakibatakan larinya modal

Belanda dan sejak itu aktivitas di Bursa Efek Jakarta semakin menurun.

3. Periode Orde Baru (1977 – 1988)

Bursa Efek Jakarta dikatakan lahir kembali pada tahun 1977

didalam periode orde baru sebagai hasil Keputusan Presiden No. 52 tahun

1976. Keputusan ini menetapkan pendirian pasar modal, pembentukan

Badan Pembina Pasar Modal (BAPEPAM) dan PT. Danareksa. Presiden

Suharto meresmikan kembali Bursa Efek Jakarta pada tanggal 10 Agustus

1977. Periode ini juga disebut dengan periode tidur yang panjang, karena

sampai dengan tahun 1988 hanya sedikit sekali perusahaan yang tercatat di

BEJ, yaitu 24 perusahaan saja dimana selama 4 tahun, 1985 sampai dengan

1988 tidak ada perusahaan yang go public (Hartono,2010:64).

4. Periode Bangun dari Tidur yang Panjang (1988 – 1995)

Sejak diaktifkan kembali pada tahun 1977 sampai tahun 1988 BEJ

dikatakan dalam keadaan tidur yang panjang selama 11 tahun. Setelah

tahun 1988, selama tiga tahun saja, yaitu sampai tahun 1990 jumlah

perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat sampai dengan 128

perusahaan. Sampai akhir tahun 1994 jumlah perusahaan yang sudah IPO

menjadi 225. Pada periode ini, Initial Public Offering (IPO) menjadi

peristiwa nasional dan banyak dikenal sebagai periode lonjakan IPO (IPO

boom)(Hartono,2010:65).

5. Periode Otomatisasi (Mei 1995)

Karena peningkatan kegiatan transaksi yang dirasakan sudah

melebihi kapasitas manual, maka BEJ memutuskan untuk


60

mengotomatisasikan kegiatan transaksi di bursa. Sistem otomatisasi yang

diterapkan di Bursa Efek Jakarta diberi nama Jakarta Automated Trading

System (JATS) dan mulai dioperasikan pada hari Senin tanggal 22 Mei

1995. Sistem manual hanya mampu menangani 3.800 transaksi tiap

harinya, sedangkan dengan JATS, sistem ini mampu menangani sebanyak

50.000 transaksi tiap harinya. Untuk mengantisipasi jumlah anggota bursa

dan transaksi yang meningkat di Bursa Efek Surabaya (BES), maka pada

tnggal 19 September 1996 BES menerapkan sistem otomatisasi yang

disebut dengan Surabaya Market Information & Automated Remote

Trading (S-MART). Dimana sistem S-MART in diintegrasikan dengan

sistem JATS di BEJ dan sistem di KDEI (Kliring Deposit Efek Indonesia)

untuk penyelesaian transaksi ( Hartono, 2010:73).

6. Periode Krisis Moneter (Agustus 1997 – September 1998)

Pada bulan Agustus 1997, krisis moneter melanda negara-negara

Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan

Singapura. Tidak banyak perusahaan yang melakukan IPO pada periode

krisi ini, yaitu hanya sebanyak 18 perusahaan. Untuk mengurangi lesunya

permintaan sekuritas di pasar modal Indonesia, pemerintah berusaha

meningkatkan aktivitas perdagangannya lewat transaksi investor asing

( Hartono, 2010:80).

7. Periode Tanpa Warkat (Juli 2000)

Perdagangan dengan warkat sudah dianggap tidak efisien lagi.

Belum lagi banyak warkat yang hilang sewaktu disimpan atau banyak

juga warkat yang dipalsukan. Secara administratif, penerbitan warkat juga


61

akan menghambat proses penyelesaian transaksi. Oleh karena alasan-

alasan tersebut, maka pada bulan Juli 2000, BEJ mulai menerapkan

perdagangan-perdagangan tanpa warkat (Hartono, 2010:83).

8. Periode Penyembuhan (Oktober 1998 – Desember 2002)

Setelah mengalami penurunan derastis sampai akhir bulan

September 1998 sampai menembus di bawah 300 poin, IHSG di bulan

Oktober 1998 mulai mengalami peningkatan menembus kembali di atas

300 poin. Pada tanggal 5 Oktober 1998 IHSG bernilai 311,96 poin.

Periode penyembuhan ini ditandai dengan naik turunya IHSG berkisar

400 poin sampai dengan 700 poin ( Hartono, 2010:83).

9. Periode Kebangkitan Kembali (Januari 2003 – Januari 2008)

Pada tanggal 3 Januari 2003 IHSG dibuka dengan nilai 405,44.

Mulai awal tahun ini IHSG mengalami peningkatan. Di akhir tahun 2004

pada tanggal 30 Desember 2004 IHSG ditutup pada nilai 1.000,23. Di

tahun 2005, tanggal 3 Januari 2005, IHSG dibuka pada nilai 1.038,82

poin dan di akhir tahun pada tanggal 29 Desember 2005 IHSG ditutup

pada niai 1.162,63 poin. Kenaikan IHSG terjadi terus menerus sejak

tahun 2003, sampai akhir tahun 2007 IHSG sudah meningkat lebih dari

470%. Pada periode ini pasar modal Indonesia mengalami kondisi yang

baik dan merupakan salah satu pasar modal yang paling berkembang di

dunia (Hartono, 2010:84).


62

10. Periode Bursa Efek Indonesia (Oktober 2007)

Efektif mulai bulan November 2007, setelah diadakannya

RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) yang diadakan

tanggal 30 Oktober 2007. BEJ dan BES bergabung menjadi BEI (Bursa

Efek Indonesia) (Hartono, 2010:86).

11. Periode Krisis Global (Akhir Januari 2008)

Periode kesebelas dari pasar modal Indonesia dimulai dari bulan

Januari 2008. Pada akhir bulan Januari 2008, pasar modal dikejutkan

dengan pengungkapan kerugian Citybank sekitar 30% akibat dari kasus

Subprime Mortage di Amerika Serikat. Dampak dari krisis global ini

sampai mengikis habis nilai indeks dari nilai tertinggi 2.838,476 pada

bulan Januari menjadi 1.089,34 dengan penuruna nilai indeks sebanyak

1.749,136 poin atau penurunan 61,62%. Memasuki April 2009, titik cerah

mulai muncul di pasar modal Indonesia. Pada tanggal 3 April 2009 nilai

IHSG menembus titik psikologi 1.500, yaitu sebesar 1.511,335. Jika

IHSG mampu menembus nilai ini, pelaku pasar optimis IHSG akan pulih

kembali (Hartono, 2010:87).

5.2 Hasil dan Pembahasan

5.2.1 Uji Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan statistik yang memberikan gambaran

atau deskripsi suatu data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah

untuk dipahami (Ghozali, 2016:19). Analisis statistik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah nilai rata-rata (mean), standar deviasi,

maksimum dan minimum dari variabel-variabel penelitian dengan


63

menggunakan program SPSS sebagai alat untuk menguji data tersebut.

Hasil statistik deskriptif dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Hasil Uji Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics
Minimu Std.
N m Maximum Mean Deviation
Likuiditas 210 40,31 1389,90 288,61 260,31
Profitabilitas 210 -0,20 143,53 16,30 20,81
K. Publik 210 1,82 67,07 26,39 15,51
Leverage 210 7,09 739,65 98,28 96,48
Umur 210 0,00 38,00 20,50 7,97
99.924,0 245.435.000,0 11.892.443,9 31.512.344,2
Ukuran 210 0 0 6 1
Pengungkapan 210 39,39 81,82 63,77 8,71
Valid N
(listwise) 210        

Sumber: Lampiran 6

Berdasarkan uji statistik deskriptif pada Tabel 5.1 dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Variabel Likuiditas memiliki nilai minimum sebesar 40,31 dan nilai

maximum 1389,90 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 288,61 dan

standar deviasi sebesar 260,31.

2. Variabel Profitabilitas memiliki nilai minimum sebesar -0,20 dan nilai

maximum 143,53 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 16,30 dan

standar deviasi sebesar 20,81.

3. Variabel Kepemilikan Saham Publik memiliki nilai minimum sebesar

1,82 dan nilai maximum 67,07 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar

26,39 dan standar deviasi sebesar 15,51.


64

4. Variabel Leverage memiliki nilai minimum sebesar 7,09 dan nilai

maximum 739,65 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 98,28 dan

standar deviasi sebesar 96,48.

5. Variabel Umur Perusahaan memiliki nilai minimum sebesar 0,00 dan

nilai maximum 38,00 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 20,50 dan

standar deviasi sebesar 7,97.

6. Variabel Ukuran Perusahaan memiliki nilai minimum sebesar

99.924,00 dan nilai maximum 245.435.000,00 dengan nilai rata-rata

(mean) sebesar 11.892.443,96 dan standar deviasi sebesar

31.512.344,21.

7. Variabel Pengungkapan Sukarela memiliki nilai minimum sebesar

39,39 dan nilai maximum 81,82 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar

63,77 dan standar deviasi sebesar 8,71.

5.2.2 Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau

tidak (Ghozali, 2016:154). Model regresi yang baik adalah memiliki

distribusi normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini uji

normalitas dilakukan dengan menggunakan uji statistik melalui uji

Kolmogorov Smirnov. Dasar pengambilan keputusan untuk uji ini adalah

jika nilai signifikansi atau profitabilitas > 0,05 maka residual memiliki

distribusi normal. Sebaliknya jika nilai signifikansi atau profitabilitas <


65

0,05 maka residual tidak memiliki distribusi normal. Hasil uji normalitas

dapat dilihat pada Tabel 5.2 sebagai berikut:

Tabel 5.2
Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
  Residual
N   210
Normal Parametersa Mean 0,000
  Std. Deviation 8,722
Most Extreme Sifferences Absolute 0,068
  Positive 0,050
  Negative -0,068
Komogorov-Smirnov Z   0,990
Assymp. Sig. (2-tailed)   0,281
a. Test distribution is
Normal.

Sumber: Lampiran 7

Berdasarkan hasil uji normalitas pada Tabel 5.2 dijelaskan bahwa

nilai Asymp. Sig sebesar 0,281, lebih besar dari 0,05 maka dapat

dinyatakan bahwa model regresi telah berdistribusi normal.

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model

regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi

yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel bebas. Untuk

mendeteksi ada atau tidaknya korelasi antar sesama variabel bebas dapat

dilihat dari nilai tolerance dan nilai variance inflation factor (VIF). Jika

nilai tolerance ≥ 0,10 dan nilai VIF ≤ 10, maka tidak terjadi masalah

multikolinearitas, artinya model regresi tersebut baik. Sebaliknya bila nilai

tolerance ≤ 0,10 dan nilai VIF ≥ 10, maka terjadi masalah


66

multikolinearitas, artinya model regresi tersebut tidak baik (Ghozali,

2016:103). Hasil uji multikolinearitas disajikan pada Tabel 5.3 berikut:

Tabel 5.3
Hasil Uji Multikolinearitas

Coefficientsa
Collinearity Statistics
Model   Tolerance VIF
1 (Constant)    
  Likuiditas 0,779 1.283
  Profitabilitas 0,892 1.121
  K. Publik 0,949 1.054
  Leverage 0,787 1.270
  Umur 0,890 1.123
  Ukuran 0,933 1.072
a. Dependent Variable : Pengungkapan

Sumber: Lampiran 8

Berdasarkan hasil uji multikolinearitas pada Tabel 5.3 dapat

dijelaskan bahwa nilai tolerance masing-masing variabel bebas lebih dari

0,10 dan nilai variance inflation factor (VIF) kurang dari 10, sehingga

dapat disimpulkan bahwa regresi tidak terjadi multikolinearitas.

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak mengandung

gejala heterokedastisitas atau mempunyai varian yang homogen. Jika

varian dari residu pengamatan ke pengamatan lain berbeda berarti ada

gejala heteroskedastisitas dala model regresi (Ghozali, 2016:134). Untuk

mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan

menggunakan uji Glejser. Jika hasil uji Glejser menunjukan nilai


67

probabilitas signifikansi lebih besar dari 0,05 maka model regresi tidak

mengandung heterokedstisitas. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat

pada Tabel 5.4 berikut ini:

Tabel 5.4
Hasil Uji Heteroskedastisitas

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Mo Std.
del   B Error Beta t Sig.
1 (Constant) 7,920 2,998   2,642 0,009
  Likuiditas -0,005 0,003 -0,115 -1,471 0,143
  Profitabilitas 0,014 0,038 0,027 0,366 0,714
  K. Publik -0,003 0,049 -0,004 -0,059 0,953
  Leverage -0,010 0,009 -0,094 -1,205 0,230
  Umur 0,064 0,099 0,047 0,645 0,519
  Ukuran 1,766 0,000 0,105 1,481 0,140
a. Dependent Variable : ABRES

Sumber: Lampiran 9

Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas pada Tabel 5.4 dapat

dijelaskan bahwa nilai signifikansi dari masing-masing variabel bebas

lebih besar dari 0,05, jadi dapat disimpulkan bahwa di dalam model

regresi tidak terjadi heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya

korelasi antara variabel pada periode tertentu dengan variabel periode

sebelumnya. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi

autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya data autokorelasi dapat dilihat

dari nilai Durbin Watson dengan ketentuan berikut:


68

a. Jika 0 < d < dl, maka dapat disimpulkan bahwa ada autokorelasi

positif

b. Jika dl ≤ d ≤ du, maka tidak ada pengambilan keputusan

c. Jika 4 – dl < d < 4, maka tidak dapat disimpulkan bahwa ada

autokorelasi negative

d. jika 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl, maka tidak ada pengambilan keputusan

e. Jika du < d < 4 < - du, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

autokorelasi baik positif maupun negatif.

Hasil uji autokorelasi dapat disajikan pada Tabel 5.5 sebagai

berikut:

Tabel 5.5
Hasil Uji Autokorelasi

Model Summaryb
Adjusted Std. Error of Durbin-
Model R R Square R Square the Estimate Watson
1 0,441a
0,194 0,171 8,849 1,864
a. Predictors: (Constant), Ukuran,Leverage, Profitabilitas, K.Publik, Umur,
Likuiditas
b. Dependent Variable: Pengungkapan

Sumber: Lampiran 10

Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui nilai DW adalah sebesar 1,864

lebih besar dari batas atas (du) 1,823 dan kurang dari 4 – du = 4 – 1,823 =

2,177. Oleh karena nilai statistik 1,864 berada diantara du dan 4 – du,

maka pengujian dengan Durbin Watson berada pada daerah tanpa ada

autokorelasi.
69

5.2.3 Analisis Regresi Linear Berganda

Model regresi yang digunakan analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi luas pengungkapan sukarela laporan keuangan perusahaan

manufaktur di Bursa Efek Indonesia tahun 2013 - 2015 adalah dengan

menggunakan analisis regresi linear berganda. Analisis regresi linear

berganda digunakan untuk mengetahui atau memperoleh gambaran

mengenai pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

Analisis regresi pada dasarnya adalah studi mengenai ketergantungan satu

variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen

(variabel bebas), dengan tujuan untuk mengestimasi atau memprediksi rata-

rata populasi atau nilai rata-rata variabel independen berdasarkan nilai

variabel independen yang diketahui (Ghozali, 2016:93). Hasil uji analisis

regresi linear berganda disajikan pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Std.
Model B Error Beta t Sig.
1 (Constant) 62,072 2,470   25,129 0,000
  Likuiditas -0,001 0,003 -0,031 -0,437 0,662
  Profitabilitas 0,063 0,031 0,134 2,015 0,045
  K. Publik 0,215 0,041 0,343 5,307 0,000
  Leverage 0,001 0,007 0,012 0,165 0,869
  Umur 0,224 0,081 0,184 2,757 0,006
  Ukuran -2,785 0,000 -0,228 -3,491 0,001

Sumber : Lampiran 11
70

Berdasarkan pada Tabel 5.6 dapat ditulis persamaan regresi linear

berganda sebagai berikut:

Y =62,072−0,001 X 1 +0,063 X 2 +0,215 X 3 +0,001 X 4 + 0,224 X 5−2,785 X 6

Interpretasinya sebagai berikut:

1. Nilai konstanta (Constant) sebesar 62,072. Hal ini berarti bahwa apabila

semua variabel bebas diasumsikan konstan atau sama dengan nol, maka

besarnya nilai pengungkapan sukarela laporan keuangan adalah 62,072.

2. Koefisien regresi dari likuiditas adalah sebesar -0,001. Hal ini berarti

bahwa apabila likuiditas turun satu satuan dengan variabel yang lainnya

konstan, maka nilai pengungkapan sukarela laporan keuangan akan

turun sebesar 0,001.

3. Koefisien regresi dari profitabilitas adalah sebesar 0,063. Hal ini berarti

bahwa apabila profitabilitas naik satu satuan dengan variabel yang

lainnya konstan, maka nilai pengungkapan sukarela laporan keuangan

akan naik sebesar 0,063.

4. Koefisien regresi dari kepemilikan saham publik (K. Publik) adalah

sebesar 0,215. Hal ini berarti bahwa apabila kepemilikan saham publik

naik satu satuan dengan variabel yang lainnya konstan, maka nilai

pengungkapan sukarela laporan keuangan akan naik sebesar 0,215.

5. Koefisien regresi dari leverage adalah sebesar 0,001. Hal ini berarti

bahwa apabila leverage naik satu satuan dengan variabel yang lainnya

konstan, maka nilai pengungkapan sukarela laporan keuangan akan naik

sebesar 0,001.
71

6. Koefisien regresi dari umur perusahaan adalah sebesar 0,224. Hal ini

berarti bahwa apabila umur perusahaan naik satu satuan dengan

variabel yang lainnya konstan, maka nilai pengungkapan sukarela

laporan keuangan akan naik sebesar 0,224.

7. Koefisien regresi dari ukuran perusahaan adalah sebesar -2,785. Hal ini

berarti bahwa apabila ukuran perusahaan turun satu satuan dengan

variabel yang lainnya konstan, maka nilai pengungkapan sukarela

laporan keuangan akan turun sebesar 2,785.

5.2.4 Uji Kelayakan Model (goodness of fit)

Untuk membuktikan ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir

nilai aktual dengan cara mengukur dari nilai koefisien determinasi, nilai

statistik F, dan nilai statistik t. Untuk membuktikan hipotesis yang diajukan

benar atau tidaknya maka dilakukan pengujian hipotesis yang dilakukan

dengan uji sebagai berikut:

1. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) mengukur seberapa jauh kemampuan

model dalam menerangkan variasi variabel dependen, jika nilai R-square

yang kecil berarti bahwa kemampuan variabel-variabel independen dalam

menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas. Nilai yang mendekati

satu artinya variabel-variabel independen memberikan hampir semua

informasi yang dibutuhkan dalam memprediksi variasi variabel dependen

(Ghozali, 2016:95). Koefisien determinasi (R2) disajikan pada Tabel 5.7

sebagai berikut:
72

Tabel 5.7
Hasil Uji Koefisien Determinasi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square


1 0,441a 0,194 0,171
a. Predictors: (Constant), Ukuran,Leverage, Profitabilitas, K.Publik, Umur,
Likuiditas
b. Dependent Variable: Pengungkapan

Sumber: Lampiran 11

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat dijelaskan bahwa nilai Ajusted R

Square sebesar 0,171 atau sebesar 17,10 persen. Hal ini berarti bahwa 17,10

persen variabel terikat yaitu luas pengungkapan sukarela laporan keuangan

bisa dijelaskan oleh variabel likuiditas, profitabilitas, kepemilikan saham

publik, leverage, umur perusahaan dan ukuran perusahaan. Sedangkan

sisanya 82,90 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak

dimasukan ke dalam model.

2. Uji F

Uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel

bebas yaitu likuiditas, profitabilitas, kepemilikan saham publik, leverage,

umur perusahaan dan umur perusahaan yang dimasukan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat yaitu

luas pengungkapan sukarela. Atau untuk mengetahui apakah model regresi

dapat digunakan untuk memprediksi variabel independen atau tidak. Kriteria

pengambilan keputusan dalam uji statistik F ini adalah jika signifikansi

<0,05, maka ada pengaruh secara bersama-sama seluruh variabel bebas

terhadap variabel terikat. Hasil uji F dapat dilihat pada Tabel 5.8 sebagai

berikut:
73

Tabel 5.8
Hasil Uji F

ANOVAb
Mode Sum of Mean
l   Squares df Square F Sig.
0,000
1 Regression 3837,068 6 639,511 8,166 a

  Residual 15897,333 203 78,312  


  Total 19734,402 209      
a. Predictors: (Constant), Ukuran, Leverage, Profitabilitas, K.Publik, Umur,
Likuiditas
b. Dependent Variable: Pengungkapan

Sumber: Lampiran 11

Berdasarkan hasil uji F pada Tabel 5.8 dapat dijelaskan bahwa nilai

signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti bahwa

variabel likuiditas (X1), profitabilitas (X2), kepemilikan saham publik (X3),

leverage (X4), umur perusahaan (X5) dan ukuran perusahaan (X6)

berpengaruh bersama-sama terhadap variable luas pengungkapan sukarela

laporan keuangan perusahaan.

3. Uji t

Menurut Imam Ghozali (2016) uji statistik t pada dasarnya

menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara

individual dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian dilakukan

dengan menggunakan signifikan level 0.05, penerimaan dan penolakan

hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

1. Jika nilai signifikan > 0.05 maka hipotesis ditolak, ini berarti secara

parsial variabel independen tidak mempunyai pengaruh secara

signifikan terhadap variabel dependen.


74

2. Jika nilai signifikan ≤ 0.05 maka hipotesis diterima, ini berarti bahwa

secara parsial variabel independen tersebut mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap variabel dependen. Hasil uji t dapat dilihat

pada Tabel 5.9 berikut ini:

Tabel 5.9
Hasil Uji t

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 62,072 2,470   25,129 0,000
  Likuiditas -0,001 0,003 -0,031 -0,437 0,662
  Profitabilitas 0,063 0,031 0,134 2,015 0,045
  K. Publik 0,215 0,041 0,343 5,307 0,000
  Leverage 0,001 0,007 0,012 0,165 0,869
  Umur 0,224 0,081 0,184 2,757 0,006
  Ukuran -2,785 0,000 -0,228 -3,491 0,001
a. Dependent Variable : Pengungkapan

Sumber: Lampiran 11

Berdasarkan hasil uji t pada Tabel 5.9 dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Nilai signifikansi dari variabel likuiditas sebesar 0,662 lebih besar

dari 0,05 dengan beta -0,001. Hal ini berarti bahwa likuiditas tidak

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan.

2. Nilai signifikansi dari variabel profitabilitas sebesar 0,045 lebih kecil

dari 0,05 dengan beta 0,063. Hal ini berarti bahwa profitabilitas

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan.
75

3. Nilai signifikansi dari variabel kepemilikan saham publik sebesar

0,000 lebih kecil dari 0,05 dengan beta 0,215. Hal ini berarti bahwa

kepemilikan saham publik berpengaruh positif terhadap luas

pengungkapan sukarela laporan keuangan.

4. Nilai signifikansi dari variabel leverage sebesar 0,869 lebih besar dari

0,05 dengan beta 0,001. Hal ini berarti bahwa leverage tidak

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan.

5. Nilai signifikansi dari variabel umur perusahaan sebesar 0,006 lebih

kecil dari 0,05 dengan beta 0,224. Hal ini berarti bahwa profitabilitas

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan.

6. Nilai signifikansi dari variabel profitabilitas sebesar 0,001 lebih kecil

dari 0,05 dengan beta -2,785. Hal ini berarti bahwa profitabilitas

berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan.

5.2.5 Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh Likuiditas terhadap Luas Pengungkapan Sukarela

Hipotesis pertama menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh

positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan. Hasil

pengujian menunjukan variabel likuiditas mempunyai nilai signifikansi

0,662 yang lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

variabel likuiditas tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela

laporan keuangan, dengan demikian hipotesis pertama ditolak.


76

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa likuiditas tidak

mempengaruhi luas pengungkapan sukarela laporan keuangan. Hal ini

karena pihak manajemen beranggapan bahwa dengan likuiditas yang

tinggi sudah cukup dijadikan sinyal positif untuk investor maupun

pengguna laporan keuangan lainnya dalam menilai prospek dan kinerja

perusahaan tanpa harus melakukan pengungkapan sukarela yang lebih luas

dengan biaya yang lebih besar. Hasil penelitian ini konsisten dan

memperkuat hasil penelian sebelumnya yang dilakukan oleh Santiada

(2015) dan Effendi (2015), yang menemukan bahwa likuiditas tidak

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan.

Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunita

Pertiwi (2016) yang menyatakan likuiditas berpengaruh terhadap luas

pengungkapan sukarela laporan keuangan.

2. Pengaruh Profitabilitas terhadap Luas Pengungkapan Sukarela

Hipotesis kedua menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh

positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan. Hasil

pengujian menunjukan bahwa variabel profitabilitas memiliki nilai

signifikansi sebesar 0,045 lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat dinyatakan

bahwa variabel profitabilitas berpengaruh positif terhadap luas

pengungkapan sukarela laporan keuangan, dengan demikian hipotesis

kedua diterima.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat profitabilitas atau

margin laba yang tinggi akan mendorong manajer untuk memberikan

informasi atau pengungkapan sukarela yang lebih luas, karena perusahaan


77

ingin meyakinkan investor terhadap profitabilitas perusahaan dan akan

mendukung kompensasi bagi para manajer. Menurut teori sinyal, tingkat

pengungkapan sukarela digunakan oleh pasar sebagai sinyal untuk menilai

hasil kinerja perusahaan. Perusahaan yang berkinerja bagus, salah satunya

dapat dilihat dari tingkat profitabilitasnya, memiliki dorongan untuk

melakukan pengungkapan sukarela yang lebih luas untuk menunjukan

kualitas perusahaan yang baik. Ketika perusahaan mengungkapkan lebih

banyak informasi secara sukarela, maka pasar akan menilai bahwa

perusahaan tersebut memiliki kinerja yang bagus.

Hasil penelitian ini konsiten dengan hasil penelitian Ariasih (2015),

Yunita (2010) yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif

terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan. Penelitian ini

tidak konsisten dengan hasil penelitian Pradifta (2012) yang menyatakan

bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan

sukarela laporan keuangan perusahaan.

3. Pengaruh Kepemilikan Saham Publik terhadap Luas Pengungkapan

Sukarela

Hipotesis ketiga menyatakan bahwa kepemilikan saham publik

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan. Hasil pengujian menunjukan variable kepemilikan saham

publik memiliki nilai signifikan 0,000 lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat

dinyatakan bahwa variabel kepemilikan saham publik berpengaruh positif

terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan, dengan demikian

hipotesi ketiga diterima.


78

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa adanya perbedaan dalam

proporsi saham yang dimiliki oleh investor luar dapat mempengaruhi

kelengkapan pengungkapan sukarela laporan keuangan oleh perusahaan.

Hal ini karena semakin banyak pihak yang membutuhkan informasi

tentang perusahaan, semakin banyak pula detail-detail butir yang dituntut

untuk dibuka dan dengan demikian pengungkapan perusahaan akan

semakin luas. Laporan keuangan tahunan merupakan salah satu alat yang

penting untuk mengatasi masalah keagenan antara manajemen dan pemilik

laporan keuangan dapat dipandang sebagai upaya untuk mengurangi

asimerti informasi antara manajemen dan pemilik. Sebagai pihak yang

tidak mengikuti operasi perusahan sehari-hari, pemilik menginginkan

pengungkapan informasi yang seluas-luasnya. Dipihak lain, ada dorongan

bagi manajemen untuk selektif dalam melakukan pengungkapan informasi,

karena pengungkapan informasi mengandung biaya. Manajemen hanya

akan mengungkapkan informasi jika manfaat yang diperoleh dari

pengungkapan melebihi biaya pengungkapan informasi tersebut. Semakin

besar presentase kepemilikan saham publik, semakin besar pihak yang

membutuhkan informasi tentang perusahan, sehingga semakin banyak pula

butir-butir informasi yang dituntut untuk diungkap dalam laporan

keuangan.

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Zaenaf (2014)

dan Kartika (2009) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham publik

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela. Hasil penelitian

ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardani


79

(2012) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham publik tidak

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan.

4. Pengaruh Leverage terhadap Luas Pengungkapan Sukarela

Hipotesis keempat menyatakan bahwa leverage berpengaruh

positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan

perusahaan. Hasil pengujian menunjukan variable leverage memiliki nilai

signifikan 0,869 lebih besar dari 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

variabel leverage tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela

laporan keuangan, dengan demikian hipotesis keempat ditolak.

Tingkat leverage tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan

sukarela laporan keuangan perusahaan dapat disebabkan karena

manajemen menilai bahwa pengungkapan sukarela laporan keuangan yang

lebih luas tidak mampu memberikan manfaat yang lebih tinggi dari pada

beban-beban yang ditimbulkan akibat pengungkapan sukarela tersebut. Di

samping itu perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, akan berpikir

untuk melakukan pengungkapan leverage secara detail dan terbuka dalam

pengungkapan sukarela. Karena pihak publik dan investor akan berpikir

bahwa kinerja perusahaan tersebut buruk.

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Pertiwi

(2016) dan Santiada (2015) yang menyatakan bahwa leverage tidak

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela. Tetapi hasil penelitian

ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunita

(2010) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap

luas pengungkapan sukarela perusahaan.


80

5. Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Luas Pengungkapan Sukarela

Hipotesis kelima menyatakan bahwa umur perusahaan

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan perusahaan. Hasil pengujian menunjukan variable umur

perusahaan memiliki nilai signifikan 0,006 lebih kecil dari 0.05. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa variabel umur perusahaan berpengaruh positif

terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan, dengan demikian

hipotesis kelima dapat diterima.

Umur perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan dalam

bersaing dan memanfaatkan peluang bisnis untuk dapat tetap eksis dalam

perekonomian. Perusahaan yang berumur lebih tua cenderung memiliki

pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan laporan

keuangan. Perusahaan yang memiliki pengalaman lebih banyak akan

lebih mengetahui kebutuhan publik dan investor akan informasi yang

diperlukan dalam perusahaan. Di sisi lain perusahaan yang lebih senior

cenderung lebih meningkatkan praktek-praktek pelaporan keuangan

mereka dari waktu ke waktu, sehingga informasi yang diungkapkan akan

lebih luas.

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Zaenaf

(2014) dan Santiada (2015) yang menyatakan bahwa umur perusahaan

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan suklarela laporan

keuangan perusahaan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian

Fitriana (2014) yang menyimpulkan bahwa umur perusahaan tidak


81

berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela laporan keuangan

perusahaan.

6. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Luas Pengungkapan Sukarela

Hipotesis keenam menyatakan bahwa ukuran perusahaan

berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela laporan

keuangan perusahaan. Hasil pengujian menunjukan bahwa variable

ukuran perusahaan memiliki koefisien -2,785 dan nilai signifikan 0,001

lebih kecil dari 0.05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa ukuran

perusahaan berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan sukarela,

dengan demikian hipotesis keenam ditolak.

Berpengaruh negatifnya ukuran perusahaan terhadap luas

pengungkapan sukarela laporan keuangan perusahaan dapat disebabkan

karena perusahaan dengan total aktiva rendah cenderung akan

melakukan pengungkapan sukarela secara lebih luas guna menarik

perhatian para analis akan prospek perusahaannya di masa yang akan

datang, tentunya dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari

pengungkapan sukarela tersebut. Disamping itu perusahaan besar juga

memiliki dorongan untuk untuk menahan informasi yang mengandung

nilai relevan untuk menghindari tekanan biaya politik dalam hukum dan

kenaikan pajak serta tekanan untuk melaksanakan tanggung jawab

sosial, hal ini menyebabkan terbatasnya informasi yang diungkapkan

secara sukarela. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian

Baskaraningrum dan Merkusiwati (2012), yang menyatakan bahwa

ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan


82

suklarela laporan keuangan perusahaan. Namun hasil penelitian ini

bertentangan dengan penelitian Ariasih (2015) yang menyimpulkan

bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap luas

pengungkapan sukarela laporan keuangan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai