Anda di halaman 1dari 68

ANALISIS IMPLEMENTASI KLASTER PERTAMA;

HAK SIPIL DAN KEBEBASAN DALAM MENUJU


KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BUKITTINGGI
TAHUN 2022

PROPOSAL

Oleh :

ALFATIAH AKBAR
2013101002

PROGRAM STUDI MAGISTER


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan tonggak penerus masa depan di sektor pemerintahan

maupun disektor lainnya yang akan melanjutkan perjalanan Negara ini, maka anak

harus menjadi prioritas pemerintah dalam memperbaiki taraf hidup mereka, baik

di bidang pendidikan, kesehatan, bahkan untuk keamanan dan keselamatan

mereka. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 pasal

1 ayat 2 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Salah satu upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan hak

anak adalah dengan melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang

Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dimana Kabupaten/Kota

Kota Layak Anak (KLA) yaitu kabupaten/kota yang mempunyai sistem

pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan

sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara

menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk

menjamin terpenuhinya hak anak. KLA yang pada dasarnya diperkenalkan oleh

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui kebijakan

KLA karena alasan mengakomodasi pemerintah kabupaten/kota yang kemudian


terus berlanjut hingga saat ini, bahkan berkembang berubah menjadi

Kabupaten/Kota Ramah Anak.

KLA adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan

berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya

pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan

berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin

terpenuhinya hak dan perlindungan anak (L. Rosalin et al., 2015). Secara umum,

tujuan KLA adalah untuk memenuhi hak dan melindungi anak, secara khusus

untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada

upaya transformasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

yang ditujukan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak (PHPA), pada suatu

wilayah kabupaten/kota (Ilosa & Rusdi, 2020).

Konsep KLA (child friendly city) di suatu kota mampu memberikan suatu

jaminan terhadap hak-hak anak seperti: kesehatan, perlindungan, perawatan,

pendidikan, tidak menjadi korban diskriminasi, mengenal lingkungan dan

budayanya dalam arti yang luas, berpartisipasi dalam merencanakan kota tempat

tinggalnya, memiliki kebebasan bermain, dan memperoleh lingkungan yang bebas

dari polusi (Riggio, 2002). Whitzman et al. (2010) berpendapat bahwa KLA

adalah praktik yang berfokus pada hak anak atas ruang publik, dengan pendekatan

kesehatan masyarakat yang lebih terbatas yang menekankan pada risiko relatif

lalu lintas dan penculikan oleh orang asing dikarenakan ketidakaktifan secara

fisik.
Setiap Kabupaten/Kota dapat dikategorikan sebaga KLA apabila telah

memenuhi hak anak yang diukur dari 31 indikator KLA yang dibagi dalam 1

kelembagaan dan lima klaster (Darmayanti & Lipoeto, 2020). Salah satu klaster

dalam indikator KLA adalah klaster hak dasar dan kebebasan, yang merupakan

salah satu hak yang sangat penting bagi anak. Penelitian KLA Kluster hak dasar

dan kebebasan ini telah dilakukan oleh Ilosa & Rusdi (2020) dengan judul

Analisis Pelaksanaan Program Kota Layak Anak (KLA) Dalam Memenuhi Hak

Sipil Dan Kebebasan Anak Di Kota Pekanbaru dengan hasil bahwa pemenuhan

hak-hak sipil dan kebebasan anak di kota Pekanbaru selama ini berjalan lebih baik

dari sebelumnya dengan kendala dalam proses pelaksanaannya adalah dari faktor

dana yang masih minim.

Hak identitas bagi anak merupakan hak dasar yang seharusnya dapat

dipenuhi dengan baik yaitu Akte kelahiran. Anak yang lahir wajib memiliki nama

dan terdaftar sebagai warga negara. Memiliki nama memang menjadi penting dan

dapat dipenuhi, namun dalam hal meregisterkan atau mendaftarkan anak sebagai

warga negara ini yang masih belum banyak dipenuhi (Kertati, 2017). Ketika anak

tidak mempunyai akta kelahiran, anak-anak beresiko untuk dieksploitasi sebagai

pekerja anak, menjadi korban perdagangan anak dan juga rentan mengalami

adopsi ilegal (Purnamasari, 2021). Eksploitasi anak banyak terjadi beberapa tahun

belakangan ini, yang menjadikan anak sebagai korban (Elizabeth & Hidayat,

2016).

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait tindak pidana

perdagangan orang dan eksploitasi terhadap anak mencapai 147 kasus selama

tahun 2021 (Rachman, 2022). Untuk itu, pentingnya anak untuk dicatatkan dan
mendapatkan kutipan akta kelahiran karena ini merupakan hak dasar anak melekat

pada setiap anak dan wajib dipenuhi oleh Negara (Kementerian Pemberdayaaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, 2020). Akte Kelahiran merupakan salah satu

Kartu Identitas. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mendorong

pembuatan Kartu Identitas Anak yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak,

yang terdiri dari Kartu Identitas Anak terdiri dari dua jenis, yakni untuk anak usia

0-5 tahun dan 5-17 tahun. Kebijakan inilah yang mendasari kepemilikan Kartu

Identitas Anak dalam pemenuhan Hak Sipil Anak.

Kebijakan kepemilikan Kartu Indentitas Anak pernah diteliti oleh Witanto

(2018) di Kota Bandung dengan hasil yang menunjukkan bahwa Kota Layak

Anak sudah mengacu pada pendekatan yang sudah ditetapkan dalam PERMEN

PPPA No.11 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak.

namun masih banyak anak di Kota Bandung yang belum memiliki akta kelahiran

sehingga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung membuat

suatu program yang dapat mempercepat kepemilikan akta kelahiran jemput bola.

Bhatia et al. (2017) menyebutkan bahwa 94 Negara menunjukkan bahwa

cakupan akta kelahiran di 29 negara lebih dari 90% dan di di 36 negara di bawah

50%, menunjukkan bahwa lebih dari separuh balita yang disurvei di negara-

negara tersebut tidak memiliki akta kelahiran yang disebabkan oleh faktor

ketimpangan kekayaan yang signifikan dalam cakupan akta kelahiran.

Data Persentase anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran menurut

Provinsi 2019-2021 yang dikutip dari Website resmi Badan Pusat Statistik (BPS),

didapatkan bahwa anak yang memiliki akte kelahiran di Indonesia sebesar 86,01
% tahun 2019, pada tahun 2020 terjadi peningkatan sebesar 2,10% anak yang

memiliki akte kelahiran di Indonesia (88,11%). Persentase tahun 2021

peningkatan hanya sebesar 0,31% anak yang memiliki akte kelahiran di Indonesia

(88,42%) dengan persentase tertinggi yaitu Provinsi Yogyakarta (98,14%) dan

persentase terendah adalah Provinsi Papua (45,19%) (Badan Pusat Statistik,

2022). Untuk Provinsi Sumatera Barat persentase anak yang memiliki akte

kelahiran tahun 2021 sebesar 91,38% (Badan Pusat Statistik, 2022). Angka ini

belum sesuai dengan Ukuran dari Indikator Klaster 1 KLA yaitu Persentase anak

yang diregistrasi dan mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran yaitu semua anak

(100%) (L. Rosalin et al., 2015).

Selain indikator Hak Identitas (akte kelahiran), klaster hak dasar dan

kebebasan juga diukur dengan indikator Forum Anak. Sebagai upaya lain untuk

menjamin keberlangsungan hak-hak anak, organisasi Forum Anak yang diatur

melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Nomor 18 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Forum Anak. Organisasi Forum

Anak merupakan organisasi berjenjang dari mulai desa/kelurahan hingga ke

tingkat regional dan internasional (Alviana et al., 2021). Peningkatan peran Forum

Anak sebagai pelopor dan pelapor dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan

khusus anak, karena partisipasi anak merupakan bagian dari proses tumbuh

kembang anak. Anak yang aktif tumbuh kembang fisik dan mentalnya akan lebih

baik. Anak yang aktif memerlukan ruang kesempatan dan kondisi lingkungan,

sarana, dan prasarana yang mendukung. Untuk memenuhi hak partisipasi anak

pemerintah perlu mengembangkan dan meningkatkan wadah partisipasi anak


melalui Forum Anak (Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan

Anak, 2019).

Penelitian Almira & Paselle (2020) menunjukkan hasil bahwa

Implementasi program forum anak dalam rangka penanggulangan kenakalan anak

di Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda telah terlaksana dengan cukup baik.

Akan tetapi masih terkendala pada kurangnya pengetahuan orangtua tentang

forum anak, masih kurangnya partisipasi orangtua anak dan anak-anaknya untuk

menjadi pengelola program forum anak, dan keterbatasan anggaran/finansial yang

dimiliki Pemerintah Kecamatan Sungai Pinang untuk membina satuan tugas untuk

forum anak.

Begitu juga dengan penelitian Liwananda (2018) dengan judul Studi

Evaluasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) dalam Pemenuhan Klaster Hak Sipil

dan Kebebasan di Kota Semarang dengan hasil bahwa pemenuhan klaster hak

sipil dan kebebasan pelaksanaan kebijakan Kota Layak Anak di Kota Semarang

belum memenuhi target dikarenakan belum adanya penguatan bagi forum anak,

stagnansi penyediaan informasi yang layak anak, serta capaian penerbitan akta

kelahiran yang tidak mencapai target menjadi poin utama evaluasi dan kurangnya

sosialisasi ke masyarakat, kurangnya komunikasi antar organisasi pemerintah

daerah, kurangnya sumber daya yang dimiliki, serta regulasi yang menjadi

penghambat berjalannya kebijakan Kota Layak Anak Kota Semarang.

Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat yang

telah menginisiasi pengembangan KLA sejak tahun 2015 dan memperoleh

penilaian strata tingkat Pratama pada tahun 2015, 2017 dan 2018. Peraturan

Walikota Bukittinggi nomor 4 tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan


Anak merupakan dasar dari pelaksaan program pengembangan KLA di Kota

Bukittinggi. Kebijakan tersebut secara spesifik tertuang pada Bab X pasal 28 yang

menyatakan bahwa untuk mewujudkan pemenuhan hak anak secara terpadu dan

sistematis secara berkelanjutan dilakukan melalui kebijakan pengembangan KLA.

Pengembangan KLA di Kota Bukittinggi melibatkan banyak pihak baik dari

pemerintah, swasta maupun dunia usaha. Hal ini diatur dalam keputusan Walikota

Bukittinggi nomor 188.45.149 tahun 2018 tentang Pembentukan Gugus Tugas

Kota Layak Anak Kota Bukittinggi tahun 2018-2021 (Darmayanti & Lipoeto,

2020).

Kota Bukittinggi masih memiliki beberapa permasalahan anak yang harus

diselesaikan dalam rangka mewujudkan KLA. Berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan Kota Bukittinggi pada tahun 2018 menunjukkan bahwa cakupan kartu

Identitas anak Semester I tahun 2021 sebesar 50,81% dan cakupan anak (umur 0-

18 tahun) yang memiliki akte kelahiran Semester I tahun 2021 sebesar 95,07%

(Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Bukittinggi, 2022).

Kurangnya cakupan kartu Identitas dan anak cakupan anak (umur 0-18 tahun)

yang memiliki akte kelahiran dari jumlah data yang ada merupakan sebuah

masalah pemenuhan hak dasar anak terkait akte kelahiran.

Kartu Identitas Anak (KIA) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016, adalah identitas resmi anak sebagai

bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang

diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.

Pemerintah menerbitkan KIA bertujuan untuk meningkatkan pendataan,


perlindungan dan pelayanan publik serta sebagai upaya memberikan perlindungan

dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.

Indikator Klaster pertama KLA tidak hanya pada Persentase anak yang

diregistrasi dan mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran atau KIA akan tetapi

fasilitas informasi layak anak, persentase Forum anak dan kegiatan peningkatan

kapasitas Forum Anak. Berdasarkan data yang diperoleh pada 19 April 2022 dari

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bukittinggi sebagai data awal diperoleh

bahwa forum anak di Kota Bukittinggi belum terlihat perannya sehingga indikator

kedua pada Klaster pertama KLA belum Optimal. Sedangkan pada data akses

informasi Anak, didapatkan keterangan bahwa terdapat 1 unit perpustakaan Kota

Bukittinggi dan 12 unit Taman Bacaan masyarakat binaan Perpustakaan Kota

Bukittinggi di 3 Kecamatan yang ada di kota Bukittinggi.

Indikator pada Klaster 1 KLA adalah hak paling mendasar dalam

memenuhi hak anak adalah anak mendapatkan hak sipil dan kebebasannya karena

ini salah satu hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam membantu orang

tua untuk memenuhi hak anak sejak baru dilahirkan dalam mendapatkan akta

kelahiran sebagai tanda bahwa anak tersebut tercatat di kewarganegaraan

Indonesia. Karena untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal yang

diatur oleh pemerintah dimana jaminan kesehatan untuk ibu hamil didapatkan

sebanyak 4 kali kunjungan dengan menggunakan jaminan Badan Penyelenggaaan

Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Syarat pengurusan kartu BPJS kesehatan anak

salah satunya adalah akte kelahiran anak. Selanjutnya, Indikator Klaster 1 KLA

adalah hak akses informasi yang layak dengan penyediaan fasilitas dan sarana

yang memadai karena anak-anak harus mendapatkan informasi yang layak


sewaktu masih kecil dengan pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana yang

memadai agar anak-anak mendapatkan informasi yang layak anak sesuai dengan

tumbuh kembangnya.

Berdasarkan telaah dokumen yang peneliti lakukan, Kota Bukittinggi telah

mendapatkan penghargaan KLA Tingkat Madya pada tahun 2019, yang mana

pada tahun 2018 mendapatkan penghargaan KLA tingkat Pratama. Kota

Bukittinggi meraih penghargaan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA)

tersertifikasi yaitu Taman SBY yang berlokasi di depan Taman Makam Pahlawan

Gulai Bancah yang merupakan salah satu pelaksanaan indikator Forum anak

(Yulman, 2019).

Penghargaan Kategori Madya yang Bukittinggi raih tak lepas dari peran

serta OPD (Organisasi Perangkat Daerah), Forum Anak, masyarakat, serta anak-

anak Kota Bukittinggi. Kategori tersebut merupakan penilaian seluruh Indikator

KLA yang dinilai klaster pertama yaitu Hak sipil dan kebebasan. Hak sipil dan

kebebasan merupakan hak paling mendasar yang harus dimiliki oleh anak dan

harus dipenuhi oleh Pemerintah yaitu hak atas identitas dengan memastikan

semua anak tercatat memiliki akta kelahiran sebagai bentuk kewarganegaraan

anak. Hak partisipasi anak yang sejatinya untuk melibatkan anak agar berperan

akitf dimaksudkan supaya anak dapat bertanggung jawab dan menikmati hasil

pembangunan melalui Forum Anak (Devi Ayu Rizki et al., 2016).

Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis tertarik untuk meneliti mengenai

pelaksanaan program KLA di Kota Bukittinggi dengan focus kepada Kluster

pertama yaitu Hak Sipil dan kebebasan anak, karena apabila Hak sipil dan

kebebasan belum terpenuhi oleh pemerintah, maka indikator yang tertuang di


dalam klaster kedua Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Klaster

ketiga Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Klaster keempat Pendidikan,

Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya, serta Klaster kelima

Perlindungan Khusus tidak akan terpenuhi. Maka dalam penelitian ini, Penulis

mengambil judul “Analisis Implementasi Klaster Pertama; Hak Sipil dan

Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi Tahun

2022”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana implementasi Klaster Pertama; Hak Sipil dan

Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi tahun 2022

dilihat dari faktor : Input, Proses dan Output.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Klaster

Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di

Kota Bukittinggi tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi, hubungan dan faktor yang

paling berpengaruh dalam pemenuhan hak anak klaster hak sipil dan

kebebasan (biaya, sarana prasarana, petugaas pelayanan) Kota

Bukittinggi tahun 2022.


a. Untuk menganalisis faktor masukan (input) yang mencakup

kebijakan, sumber daya manusia, dana dan metode dalam

implementasi Klaster Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam

menuju Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi tahun 2022.

b. Untuk menganalisis proses pelaksanaan dari implementasi Klaster

Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak

Di Kota Bukittinggi tahun 2022 mencakup proses: perencanaan,

pengorganisasian, penggerakkan dan pemantauan.

c. Untuk menganalisis keluaran (output) yang mencakup pencapaian

dari implementasi Kota Layak Anak klaster Hak Sipil dan Kebebasan

dalam menuju Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Kota Bukittinggi

Diharapkan dapat menjadi sumber informasi, masukan dan

pertimbangan bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam penyusunan

rencana tindak lanjut dalam upaya pemenuhan hak anak di Kota

Bukittinggi.

2. Bagi Dinas P2APPKB Kota Bukittinggi

Diharapkan menjadi sumber informasi, masukan, bahan evaluasi

bagi Dinas P2APPKB Kota Bukittinggi dalam penyusunan rencana

program pengembangan Kota Layak Anak di Kota Bukittinggi.

3. Bagi Universitas Fort De Kock

Sebagai literasi bagi penelitian dan pengembangan keilmuan dalam

bidang kesehatan masyarakat.


4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan dalam

memperkuat hasil pada penelitian dan akan menjadi pengembangan untuk

penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi

Klaster Pertama; Hak Sipil Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di Kota

Bukittinggi tahun 2022 yang akan dilaksanakan pada bulan April - Juli tahun

2022. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mixed

Method Research. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif

deskriptif. Subjek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu 10 orang Informan

(1 orang Koordinator dan 9 orang Anggota Gugus Tugas Kota Layak Anak Kota

Bukittinggi Bidang Hak Sipil dan Kebebasan) dan responden (anak usia 0-18

tahun) dengan pengambilan sampel secara stratified random sampling pada setiap

Kecamatan di Kota Bukittinggi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Implementasi

1. Definisi Implementasi

Secara bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia implementasi

berarti pelaksanaan, penerapan. Secara Umum, implementasi adalah tindakan

atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang telah disusun dengan matang,

cermat dan terperinci. Jadi, implementasi dilakukan jika sudah ada

perencanaan yang baik dan matang, atau sebuah rencana yang telah disusun

jauh jauh hari sebelumnya, sehingga sudah ada kepastian dan kejelasan akan

rencana tersebut. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk

melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap

sesuatu. Yaitu suatu kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan dengan

serius dan mengacu pada norma-norma tertentu untuk mencapai tujuan

kegiatan (Zakky, 2018).

Menurut Pasolong (2017), implementasi adalah proses

mentransformasikan suatu rencana ke dalam praktik. Implementasi diartikan

juga sebagai salah satu aktivitas dalam proses kebijakan publik, sering

bertentangan dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan

itu sebagai batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.

Implementasi menurut teori Jones: “Those Activities directed toward

putting a program into effect” yang berarti bahwa proses mewujudkan

program hingga memperlihatkan hasilnya. Grindle menyatakan implementasi


merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada

tingkat program tertentu” (Mulyadi, 2015).

Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

implementasi merupakan tindakan dari sebuah rencana yang sudah disusun

matang. Implementasi menitikberatkan pada sebuah pelaksanaan nyata dari

sebuah perencanaan.

2. Teori Mengenai Implementasi Kebijakan

Implementasi biasanya terkait dengan suatu kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh suatu lembaga atau badan tertentu untuk mencapai satu tujuan

yang ditetapkan. Suatu kata kerja mengimplementasikan sudah sepantasnya

terkait dengan kata benda kebijaksanaan (Pramono, 2020). Implementasi

kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran

ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi

implementasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai

aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai

dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri.

Menurut Islamy (2000 dalam Pramono, 2020) “bahwa setiap

implementasi kebijakan selalu menghasilkan dampak tertentu pada kelompok

sasaran, bisa positif (intended) atau bisa juga negatif (unintended)”. Umumnya

hanya sedikit kebijakan negara yang setelah dirumuskan dapat

diimplementasikan dengan sendirinya (self-executing), sebagian besar justru

tidak dapat diimplementasikan (nonself-executing).


a. Impelementasi Kebijakan Top Down

Tampak bahwa sebagian besar implementasi kebijakan berada pada

model Top Down yang salah satunya dikemukakan oleh Van Meter dan

Horn (1978) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut :

“policy implementation encompasses those by public and private

individuals (and grousp) that are directed at the achievement of goals and

objectives set forth in prior policy decisions.” Definisi tersebut

memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok)

pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran yang telah ditetapkan (Pramono, 2020).

b. Implementasi Kesehatan Bottom-up

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model kebijakan dalam

perspektif Bottom Up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam

Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses

atau alur. Model Smith ini memandang proses implementasi kebijakan dari

proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik. Dengan

maksud kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk

mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai

kelompok sasaran. Menurut Smith implementasi kebijakan dipengaruhi

oleh empat variable, yaitu (Pramono, 2020):

1) Idealized policy: yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus

kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan

merangsang target group untuk melaksanakannya. Karena


kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka

diharapkan dapat menyesesuaikan pola- pola prilaku dengan

kebijakan yang telah dirumuskan.

2) Implementing organization: yaitu badan-badan pelaksana yang

bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.

3) Environmental factors: unsur-unsur di dalam lingkungan yang

mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya,

sosial, ekonomi dan politik (Pramono, 2020).

c. Implementasi Kebijakan Rational Choice

Jika dikaitkan pada teori pilihan rasional (rational choice theory)

dapat diterjemahkan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu

keputusan atau tindakan tertentu yang dipilih setelah mempertimbangkan

untung runginya suatu kebijakan. Sejauh mana kebijakan yang akan

dimplementasikan tersebut akan menguntungkan dirinya (satu belah pihak

saja) atau sebaliknya akan merugikan. Dalam konteks teori semacam itu,

alternatif-alternatif lainnya tidak akan terealisasikan jika ternyata secara

rasional tidak menguntungkan. Implementasi kebijakan adalah suatu

keputusan atau tindakan tertentu yang dipilih setelah mempertimbangkan

untung runginya suatu kebijakan (Pramono, 2020).

d. Implementasi Kebijakan New Government

Pada model implementasi kebijakan new government ini, tidak

luput dari konsep Reinventing Government. Konsep ini menjelaskan

bahwa transformasi sitem dan organisasi pemerintah secara fundamental


guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi, dan

kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai

dengan mengubah tujuan, pertanggung jawaban, struktur kekuasaan dan

budaya sistem dan organisasi pemerintahan (Pramono, 2020).

3. Fungsi Implementasi

Adapun fungsi Implementasi menurut Usman (2002), antara lain:

1. Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan

pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat berkerja secara efektif

dan efisien dalam pencapaian tujuan.

2. Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai pekerjaan.

3. Menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.

4. Proses implementasi program agar dapat dijalankan oleh seluruh pihak

dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak tersebut dapat

menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh kesadaran dan

produktifitas yang tinggi.

Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan

Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan

Wildavsky mengemukakan bahwa Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas

yang saling menyesuaikan.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Dalam model implementasi George C. Edwards III mengajukan empat

variabel atau faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan,

yaitu (Pramono, 2020):


a. Komunikasi

Untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan, pelaksana

harus mengetahui betul apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan

pelaksanaan kebijakan tersebut. Selain itu, kelompok sasaran kebijakan

juga harus diinformasikan mengenai apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan. Ini penting untuk menghindari adanya resistensi dari kelompok

sasaran (Pramono, 2020).

b. Sumber Daya

Keberhasilan implementasi kebijakan selain ditentukan oleh

kejelasan informasi, juga ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki oleh

implementor. Tanpa sumber daya yang memadai, tentu implementasi

kebijakan tidak akan berjalan secara optimal. Sumber daya sebagai

pendukung implementasi kebijakan dapat berwujud sumber daya manusia

yakni kompetensi implementator, dan sumber daya finansial (Pramono,

2020).

c. Disposisi

Disposisi yang dimaksud di sini adalah menyangkut watak dan

karakteristik oleh implementator, seperti; komitmen, kejujuran, sifat

demokrasi dsb. Disposisi yang dimiliki oleh implementor menjadi salah

satu variabel penting dalam implementasi kebijakan (Pramono, 2020).

d. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan struktur organisasi yang bertugas untuk

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap imlementasi kebijakan. Untuk mendukung keberhasilan


implementasi kebijakan diperlukan sebuah prosedur oprasional yang

standar (Standard Oprational Procedures atau SOP). SOP diperlukan

sebagai pedoman operasional bagi setiap implementor kebijakan

(Pramono, 2020).

Keberhasilan implementasi menurut Merile S. Grindle dipengaruhi

oleh dua variabel besar, yakni:

a. Isi kebijakan (content of policy)

Variabel isi kebijakan ini mencangkup, antara lain:

1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi

kebijakan;

2) Jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh,

masyarakat di wilayah slumareas lebih suka menerima program air

bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit sepeda

motor

3) Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;

4) Apakah letak sebuah program sudah tepat.

b. Lingkungan implementasi (context of implementation)

Variabel lingkungan kebijakan mencakup, antara lain:

1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki

oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;

2) Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa;

3) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Winarno,

2002).
B. Konsep Kota Layak Anak

1. Pengertian KLA

Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Anak

merupakan seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

Kota Layak Anak menurut UNICEF adalah kota yang memberikan

jaminan kepada setiap anak mengenai perlindungan haknya sebagai warga

kota, hak untuk mempengaruhi keputusan mengenai kotanya, hak berekspresi,

hak untuk dapat berperan dalam lingkungan hidup bermasyarakat, hak untuk

mendapatkan pelayanan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan, hak

mendapatkan air bersih dan akes terhadap sanitasi, hak terlindungi dari

eksploitasi dan kekejaman, hak untuk bermain dengan temannya, hak untuk

hidup dilingkungan bebas polusi, dan hak untuk mendapatkan akses setiap

pelayanan dasar tanpa membedakan suku, bangsa agama, kekayaan, gender

ataupun status penyandang disabilitas (Patilima, 2017).

Kabupaten/Kota Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA dalam

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota

Layak Anak adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan

berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya

pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh

dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin

terpenuhinya hak anak.


Kevin Lynch, artistik dari Massachusetts Intitute of Technology

menemukan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang

mempunyai: komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang

mempunyai aturan jelas dan tegas, adanya pemberian kesempatan pada anak,

dan fasilitas pendidikan yang memberikan kesempatan anak untuk

mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka (KLA, 2017).

2. Kebijakan KLA

Berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan KLA adalah

sistem pembangunan satu wilayah administrasi yang mengintegrasikan

komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang

terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan

pemenuhan hak anak.

Untuk mempercepat terwujudnya KLA di seluruh Indonesia,

Kementerian Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerbitkan

empat Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak. Empat peraturan dimaksud adalah :

a. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan

Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.

b. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator

Kabupaten/Kota Layak Anak.


c. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Panduan

Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.

d. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Panduan

Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak.

3. Tujuan Kebijakan KLA

Tujuan dari kebijakan KLA adalah:

a. Meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di

Kabupaten/Kota dalam upaya mewujudkan pembangunan yang peduli

terhadap anak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak;

b. Mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana,

prasarana, metode dan teknologi yang pada pemerintah, masyarakat

serta dunia usaha di Kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak;

c. Mengimplementasikan kebijakan perlindungan anak melalui

perumusan strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota

secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA;

dan

d. Memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dalam

mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.


4. Ruang Lingkup KLA

Ruang lingkup KLA berdasarkan Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia,

tersebut adalah:

a. Pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan,

infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata, baik secara langsung

maupun tidak langsung berhubungan dengan implementasi hak anak

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak; dan

b. Aspek pembiayaan, ketenagaan, pengawasan, penilaian,

pengembangan dan keterwakilan aspirasi dan kepentingan anak dalam

pengambilan keputusan pembangunan kabupaten/kota.

5. Kebijakan Pengembangan KLA

Kebijakan Pengembangan KLA merupakan acuan untuk mewujudkan

KLA yang terdiri atas:

a. konsep KLA

b. hak anak

c. pendekatan pengembangan KLA.

Pengembangan KLA mengacu pada Indikator KLA yang ditetapkan

lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak.

6. Prinsip Pengembangan KLA

Kebijakan Pengembangan KLA dilaksanakan berdasarkan prinsip-

prinsip yang meliputi:


a. tata pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas,

partisipasi, keterbukaan informasi, dan supremasi hukum;

b. non-diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis

kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi,

kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya;

c. kepentingan terbaik bagi anak, yaitu menjadikan hal yang paling baik

bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan,

program, dan kegiatan;

d. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, yaitu

menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

anak semaksimal mungkin; dan

e. penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan

memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk

menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk

mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu

hal yang mempengaruhi dirinya.

Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan hak anak,

meliputi:

a. hak sipil dan kebebasan;

b. lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif;

c. kesehatan dasar dan kesejahteraan;

d. pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan

e. perlindungan khusus.
7. Strategi Pengembangan KLA

Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam:

a. setiap proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan

pembangunan;

b. setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.

8. Pendekatan Pengembangan KLA

Pendekatan Pengembangan KLA dalam Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota

Layak Anak dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan bottom-up

Pengembangan KLA dapat dimulai dari inisiatif individu/keluarga

untuk kemudian dikembangkan di tingkat RT/RW yang layak bagi anak.

Inisiatif masyarakat dalam sebuah wilayah RT/RW tersebut dapat

dikembangkan ke RT/RW lainnya yang akhirnya menjadi sebuah gerakan

masyarakat sebuah desa/kelurahan untuk mewujudkan “Desa/Kelurahan

Layak Anak”. Dari gerakan-gerakan masyarakat desa/kelurahan inilah

dapat mendorong terwujudnya sebuah “Kecamatan Layak Anak”.

Akhirnya, kumpulan dari kecamatan-kecamatan layak anak tersebut dapat

menjadi inisiatif kabupaten/kota yang bersangkutan untuk merealisasikan

“Kabupaten/Kota Layak Anak”.


b. Pendekatan top-down

Pendekatan top-down dimulai dari pemerintah di tingkat nasional

dengan melakukan fasilitasi, sosialisasi, advokasi atau dapat berupa

pembentukan “sample” di beberapa provinsi atau di seluruh provinsi.

Selanjutnya provinsi-provinsi tersebut memberikan fasilitasi dan

sosialisasi atau dapat pula memilih “sample” di beberapa kabupaten/kota

atau di seluruh kabupaten/kota untuk merealisasikan pengembangan KLA,

sehingga inisiatif pengembangan KLA akan terealisasi di tingkat

kabupaten/kota.

c. Pendekatan Kombinasi

Pendekatan kombinasi antara pendekatan bottom-up dan top-down

merupakan pendekatan ideal dalam mempercepat terwujudnya KLA di

kabupaten/kota. Gerakan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang

layak bagi anak yang dimulai dari tingkat keluarga, atau RT/RW, atau di

tingkat desa/kelurahan atau di tingkat kecamatan akan menjadi sangat

ideal jika dikombinasikan dengan komitmen yang kuat dari Pemerintahan

Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, setiap daerah juga dapat

berinisiatif untuk menyiapkan pengembangan KLA di daerahnya.

9. Tahap Pengembangan KLA

Untuk mengefektifkan segala upaya untuk mewujudkan KLA,

maka pendekatan KLA yang dilakukan di atas perlu memperhatikan

tahapan pengembangan KLA yang meliputi:


a. Persiapan, meliputi:

1) Peningkatan komitmen pemerintah daerah diwujudkan dengan

pelaksanaan kebijakan maupun implementasi daerah.

2) Pembentukan Gugus Tugas KLA dan Tim teknis KLA.

Gugus Tugas dengan keanggotaan terdiri atas:

a) Perangkat Daerah

b) Perwakilan Anak

c) Lembaga legislative

d) Lembaga yudikatif

e) Dunia usaha

f) Tokoh agama/masyarakat/penghayat kepercayaan

g) Masyarakat

Tim teknis KLA dibentuk oleh pemerintah daerah yaitu

pelaksana dari aparatur sipil negara yang mendapat tugas dari

perangkat daerah untuk mengadvokasi dan melaksanakan

fungsi Gugus Tugas KLA dalam pencapaian indikator KLA.

3) Pengumpulan data dasar, meliputi:

a) Mengembangkan kebijakan

b) Menyususn focus program

c) Menyusun kegiatan prioritas

b. Perencanaan, meliputi penyusunan rencana Aksi Daerah (RAD) yang

harus berintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan

Rencana Kerja Pemerintah Daerah dengan upaya penguatan lembaga


dan pemenuhan Hak anak yang harus mempertimbangkan pendapat

dan pandangan anak yang diperoleh melalui konsultasi dalam Forum

Anak Kota.

c. Pelaksanaan, dilakukan berjenjang pada tingkatan wilayah kota,

kecamatan, dan kelurahan secara koordinasi dengan Gugus Tugas

KLA dalam mewujudkan KLA.

d. Monitoring dan Evaluasi, dimana untuk monitoring dilakukan paling

sedikit 3 (tiga) bulan sekali dan evaluasi dilaksanakan minimal 1 (satu)

tahun sekali secara berjenjang mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan

dan kota yang dilakukan oleh Gugus Tugas KLA.

e. Pelaporan KLA disampaikan kepada Walikota, Gubernur dengan

tembusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak dan Menteri Dalam Negeri.

Skema 2.1
Tahap Pengembangan KLA

Sumber: (L. N. Rosalin, 2018)


10. Pendanaan Pengembangan KLA

Pendanaan Pengembangan KLA dapat berasal dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

d. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

11. Kelembagaan Pengembangan KLA

Untuk mengefektifkan pengembangan KLA, dibentuk Gugus Tugas

dan tim teknis. Gugus Tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan

wakil dari unsur eksekutif, dan yudikatif yang membidangi anak, perguruan

tinggi, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha,

orang tua dan anak.

Gugus Tugas KLA bertugas untuk :

a. mengkoordinasikan pelaksanaan Kebijakan KLA;

b. melakukan sosialisasi kebijakan layak anak,

c. melakukan advokasi kepada anak

d. mengumpulkan data dasar;

e. melakukan analisis kebutuhan berdasarkan analisa data dasar;

f. menyusun prioritas program untuk mewujudkan KLA;

g. menyiapkan naskah akademis Peraturan Daerah tentang perlindungan

anak;

h. menyiapkan draft rancangan peraturan daerah tentang perlindungan

anak; dan
i. melakukan evaluasi, monitoring, pelaporan KLA;

Tugas tim teknis kabupaten layak anak adalah:

a. mempersiapkan bahan penyusunan kebijakan kabupaten layak anak

sesuai kewenangannya.

b. melaksanakan kegiatan layak anak sesuai tugas pokok dan fungsinya.

c. memberikan laporan kegiatan kepada Bupati melalui Kepala SKPD

yang memiliki kewenangan di bidang Perlindungan Anak.

12. Indikator KLA

Indikator KLA dibuat dalam rangka untuk mengukur kabupaten/kota

menjadi layak anak terdiri dari 31 (tiga puluh satu) Indikator Pemenuhan Hak

Anak” yang juga merupakan “Indikator KLA‟. Indikator KLA dikembangkan

mengacu pada Konvensi Hak Anak (KHA) dan peraturan perundang-

undangan terkait anak. yang dikelompokkan menjadi 6 bagian, yaitu:

a. Bagian penguatan kelembagaan, yang meliputi:

1) Adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk

pemenuhan hak anak.

2) Persentase anggaran untuk pemenuhan hak anak, termasuk

anggaran untuk penguatan kelembagaan.

3) Jumlah peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan

kegiatan yang mendapatkan masukan dari Forum Anak dan

kelompok anak lainnya.

4) Tersedia sumber daya manusia (SDM) terlatih KHA dan mampu

menerapkan hak anak ke dalam kebijakan, program dan kegiatan


5) Tersedia data anak terpilah menurut jenis kelamin, umur, dan

kecamatan.

6) Keterlibatan lembaga masyarakat dalam pemenuhan hak anak.

7) Keterlibatan dunia usaha dalam pemenuhan hak anak.

b. 5 (lima) klaster hak anak, yang meliputi:

1) Klaster hak sipil dan kebebasan.

1. Persentase anak yang teregistrasi dan mendapatkan Kutipan

Akta Kelahiran;

2. Tersedia fasilitas informasi layak anak; dan

3. Jumlah kelompok anak, termasuk Forum Anak, yang ada di

kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.

2) Klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative.

a) Persentase usia perkawinan pertama di bawah 18 tahun;

b) Tersedia lembaga konsultasi bagi orang tua/keluarga tentang

pengasuhan dan perawatan anak; dan

c) Tersedia lembaga kesejahteraan sosial anak.

3) Klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan.

a) Angka Kematian Bayi;

b) Prevalensi kekurangan gizi pada balita;

c) Persentase Air Susu Ibu (ASI) eksklusif;

d) Jumlah Pojok ASI;

e) Persentase imunisasi dasar lengkap;

f) Jumlah lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan

reproduksi dan mental;


g) Jumlah anak dari keluarga miskin yang memperoleh akses

peningkatan kesejahteraan;

h) Persentase rumah tangga dengan akses air bersih; dan

i) Tersedia kawasan tanpa rokok.

4) Klaster pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan

budaya.

a) Angka partisipasi pendidikan anak usia dini;

b) Persentase wajib belajar pendidikan 12 (dua belas) tahun;

c) Persentase sekolah ramah anak;

d) Jumlah sekolah yang memiliki program, sarana dan prasarana

perjalanan anak ke dan dari sekolah; dan

e) Tersedia fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang

ramah anak, di luar sekolah, yang dapat diakses semua anak.

5) Klaster perlindungan khusus.

a. Persentase anak yang memerlukan perlindungan khusus dan

memperoleh pelayanan;

b. Persentase kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang

diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif

(restorative justice);

c. Adanya mekanisme penanggulangan bencana yang

memperhatikan kepentingan anak; dan

d. Persentase anak yang dibebaskan dari bentuk-bentuk

pekerjaan terburuk anak.


C. Konsep Klaster I Hak Sipil dan Kebebasan

1. Hak Sipil dan Kebebasan Anak

Hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai

hakikat dari keberadaan seorang manusia  Arti kata sipil adalah kelas yang

melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang tidak beralasan

oleh pemerintah dan organisasi swasta, dan memastikan kemampuan

seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara tanpa

diskriminasi atau penindasan (Faricha, 2013).

Hak-hak sipil yang ada di setiap negara dijamin secara konstitusional.

Hak-hak sipil bervariasi di setiap negara karena perbedaan dalam demokrasi,

namun adalah mungkin untuk menunjukkan beberapa hak-hak sipil yang

sebagian besar tetap umum. Beberapa hak-hak sipil universal dikenal

seseorang adalah kebebasan berbicara, berpikir dan berekspresi, agama serta

pengadilan yang adil dan tidak memihak (Faricha, 2013).

Hak-hak sipil dianggap sebagai hak-hak alami. Thomas

Jefferson menulis bahwa orang bebas untuk mengklaim hak-hak mereka

sebagai berasal dari hukum alam, dan bukan sebagai karunia hakim utama

mereka. Lebih rincinya, yang termasuk hak-hak sipil (kebebasan-kebebasan

fundamental) yang meliputi (Faricha, 2013):

a. hak hidup;

b. hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam,

tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;

c. hak bebas dari perbudakan;


d. hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;

e. hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun

termasuk negara sendiri.

f. hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;

g. hak atas praduga tak bersalah;

h. hak kebebasan berpikir;

i. hak berkeyakinan (consciense) dan beragama;

j. hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;

k. hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;

l. hak atas perkawinan/membentuk keluarga;

m. hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai

anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak

setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas

kewarganegaraan;

n. hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum.

o. hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi

Hak sipil dan kebebasan bagi anak adalah bagian dari hak anak yang

meliputi hak untuk memperoleh identitas nama dan kewarganegaraan,

mempertahankan identitas, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir,

beragama dan berhati nurani, kebebasan berorganisasi, perlindungan atas

kehidupan pribadi, memperoleh informasi yang memadai dan perlindungan

dari penyiksaan atau penghukuman yang tidak manusiawi (Anonim, 2016).

Hak sipil dan kebebasan anak terdiri dari beberapa hak yang diatur

dalam pasal-pasal terpisah, yakni (Anonim, 2016):


a. Hak Sipil

1) Nama dan Kewarganegaraan

Nama dan kewarganegaraan menunjukkan identitas yang

dimiliki setiap orang dan statusnya sebagai warga dari suatu negara

yang akan menjamin pemenuhan hak-haknya. Dari sisi negara, hak

tersebut merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya dan

menjadi bukti pengakuan hukum dari negara terhadap warganya. 

2) Mempertahankan Identitas

Seorang anak berhak untuk mempertahankan identitasnya dan

negara menghormati hak warganya dalam mempertahankan

identitasnya tersebut, termasuk kaitannya dengan hubungan keluarga.

Apabila ada pihak-pihak yang hendak melakukan perampasan atau

pemalsuan identitas seorang anak, maka negara akan memberi bantuan

dan perlindungan yang layak dengan tujuan menetapkan kembali

dengan cepat jati dirinya. Hal ini sebagai langkah awal bagi anak

dalam mengembangkan jati dirinya untuk tumbuh kembang secara

wajar.

Implementasi dari kedua hak tersebut diwujudkan dalam bentuk

pemberian akte kelahiran dan pencatatan yang harus dilakukan untuk

diregistrasi oleh negara dalam catatan sipil kependudukan seorang anak

sebagai salah satu warga negaranya.  Pencatatan kelahiran sendiri

memiliki empat azas, yakni:


1) Azas universal, berarti pencatatan kelahiran harus diselenggarakan

atau menjangkau seluruh wilayah kedaulatan negara dan semua

penduduk bagi semua peristiwa penting

2) Azas permanen, berarti pelaksanaan pencatatan kelahiran harus

diselenggarakan dengan sebuah sistem yang permanen. Institusi

yang menyelenggarakan harus bersifat permanen untuk menjamin

kontinyuitas pelayanan.

3) Azas wajib, berarti pemerintah wajib menyelenggarakan

pencatatan kelahiran, dan penduduk atas perintah hukum wajib

melaporkan setiap peristiwa kelahiran pada jangka waktu tertentu.

Atas keterlambatan pelaporan tersebut dikenakan sanksi

4) Azas kontinyu atau berkelanjutan berarti pencatatan kelahiran

harus dilakukan tanpa jeda waktu sejak sistem diberlakukan. Dari

operasional sistem yang berkelanjutan ini akan dihasilkan data

peristiwa penting yang lengkap, akurat dan mutakhir (Anonim,

2016).

b. Hak Kebebasan

1) Kebebasan Berpendapat, di mana setiap warga negara termasuk

anak memiliki hak yang sama untuk menyatakan pendapatnya. 

2) Kebebasan Berpikir, Berkesadaran (Berhati Nurani) dan Beragama,

dimana sebuah negara atau pemerintahan yang maju yang

menghargai pluralitas warganya dan tidak diskriminatif.

3) Kebebasan Berserikat dan berkumpul secara damai, dimana

terbukanya proses sosial yang demokratis sejak dini bagi


reproduksi kepemimpinan bangsa dan masyarakat, karena

kebebasan berorganisasi tersebut bisa melahirkan calon-calon

pemimpin bangsa yang mempunyai basis pengalaman

berorganisasi yang baik dan bukan berdasarkan pada basis

keturunan.

4) Perlindungan Terhadap Kehidupan Pribadi (Privasi), dimana setiap

warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari negara atau

pemerintah atas kehidupan pribadi atau privasinya sehingga bisa

terhindar dari segala bentuk pemaksaan dan diskriminasi yang

dalam jangka panjang bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak.

5) Akses kepada Informasi yang Layak, dimana negara menjamin

akses informasi kepada warga negara juga memberikan

perlindungan khususnya kepada kelompok anak dari informasi-

informasi yang berdampak negatif pada anak.

6) Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman

yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat,

dimana mendorong peningkatan perhatian dan kepekaan

pemerintah terhadap hak anak-anak yang berhadapan dengan

hukum sejak awal proses penangkapan anak sebagai tersangka

pelaku tindak pidana hingga selama anak menjalani proses

hukuman terhadap hak anak pelaku tindak criminal.


2. Arti Penting Hak Sipil Dan Kebebasan

a. Hak Sipil

1) Bagi negara atau pemerintah

Arti penting dari hak sipil tersebut yang terdapat dalam akte

kelahiran adalah sebagai berikut :

a) Menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang

yang menjadi warganya

b) Sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun

anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial

dan perlindungan anak.

2) Bagi anak

Arti penting kepemilikan akte kelahiran bagi anak, adalah

sebagai berikut :

a) Merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri

pertama yang dimiliki anak.

b) Menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan

hak waris dari orangtuanya

c) Mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak

kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan

eksploitasi seksual

d) Anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan,

kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya

sebagai warga negara.


3) Bagi masyarakat

Arti penting hak anak yang terdapat dalam kepemilikan

akte kelahiran adalah sebagai berikut :

a) Alat pembuktian status perdata seseorang dan menunjukkan

hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya

b) Mempermudah dalam mengurus hal-hal yang sifatnya

administratif, seperti syarat pendaftaran sekolah, mencari

pekerjaan setelah dewasa, menikah dan lain-lain

c) Terwujudnya tertib sosial yang menyangkut kejelasan identitas

setiap warga masyarakat.

b. Hak Kebebasan

1) Hak anak untuk menyatakan pendapat.

a) Bagi Negara dan Pemerintahan adalah sebagai elemen penting

bagi terwujudnya negara dan pemerintahan  yang demokratis

b) Bagi anak adalah sebagai berikut :

(1) merupakan perwujudan dari hak anak untuk berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri

mereka

(2) meningkatkan harga diri dan percaya diri anak

(3) mengembangkan bakat dan ketrampilan

(4) memperbesar akses pada berbagai peluang

c) Bagi masyarakat adalah pandangan dari orang dewasa tentang

berbagai macam hal termasuk masalah anak tidak selamanya


benar. Pandangan anak dapat menjadi pandangan alternatif

untuk dipertimbangkan.

2) Hak kebebasan berpikir, berkesadaran (berhati nurani, dan

beragama.

d. Bagi negara atau pemerintah adalah memudahkan terwujudnya

sebuah negara atau pemerintahan yang maju yang menghargai

pluralitas warganya dan tidak diskriminatif.  

e. Bagi anak adalah agar anak dapat mengembangkan kecerdasan

jamak (logika matematika, linguistik verbal, body kinestetik,

visual spasial, naturalis, interpersonal, intrapersonal,

kecerdasan musikal dan kecerdasan spiritual).

f. Bagi masyarakat, adalah menciptakan masyarakat yang kreatif,

toleran dan saling menghargai terhadap berbagai perbedaan

yang dimiliki warganya, serta tidak ada dominasi satu

kelompok terhadap kelompok lainnya.

3) Hak kebebasan berorganisasi atau berserikat dan berkumpul secara

damai.

a) Bagi negara atau pemerintah serta masyarakat adalah

terbukanya proses sosial yang demokratis sejak dini karena

kebebasan berorganisasi tersebut bisa melahirkan calon-calon

pemimpin bangsa yang mempunyai basis pengalaman

berorganisasi yang baik dan bukan berdasarkan pada basis

keturunan.
b) Bagi anak adalah untuk mengenal, memahami dan melatih

bagaimana cara berorganisasi sejak dini, melatih

kepemimpinan anak dan melatih anak dalam bermasyarakat.

4) Hak perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi).

a) Bagi negara atau pemerintah adalah negara atau pemerintah

akan dipandang mampu melindungi warganya, khususnya

kelompok anak dari campur tangan pihak-pihak lain yang bisa

merugikan kepentingan anak.

b) Bagi anak adalah terjaganya kehidupan pribadi atau privasinya

sehingga bisa terhindar dari segala bentuk pemaksaan dan

diskriminasi yang dalam jangka panjang bisa menumbuhkan

kepercayaan diri anak.

c) Bagi masyarakat, arti pentingnya adalah adanya instrumen

sosial dan hukum yang membuat warganya merasa lebih

tenteram dan bebas dari ancaman terhadap kehidupan

pribadinya.

5) Hak akses kepada informasi yang layak.

a) Bagi negara atau pemerintah, selain menjadi dasar bagi

perlunya disusun instrumen peraturan atau kelembagaan yang

bisa menjamin akses informasi kepada warga negara juga

memberikan perlindungan khususnya kepada kelompok anak

dari informasi-informasi yang berdampak negatif pada anak.


b) Bagi anak adalah menambah pengetahuan umum, memperluas

wawasan dan juga terhindar dari dampak negatif yang bisa

ditimbulkan dari keterbukaan informasi.

c) Bagi masyarakat, keterbukaan akses tersebut selain di satu sisi

akan mempercepat kemajuan suatu masyarakat tapi di sisi lain

juga menumbuhkan kekawatiran akan dampak negatif,

sehingga mendorong ditumbuhkan dan diperkuatnya kembali

norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dapat membendung

dampak negatif keterbukaan informasi.

6) Hak perlindungan dari penyiksaan dan penghukuman lain yang

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

a) Bagi negara atau pemerintah adalah bisa mendorong

peningkatan perhatian dan kepekaan pemerintah terhadap hak

anak-anak yang berhadapan dengan hukum sejak awal proses

penangkapan anak sebagai tersangka pelaku tindak pidana

hingga selama anak menjalani proses hukuman. Dengan

penyediaan fasilitas rumah tahanan dan lembaga

pemasyarakatan membuka peluang terjadinya pelanggaran

terhadap hak anak pelaku tindak kriminal.

b) Bagi anak adalah supaya anak tidak terhambat proses tumbuh

kembangnya serta supaya hak-hak dasar lainnya tetap terjamin

meskipun anak dalam proses hukum.

c) Bagi masyarakat sendiri, pola-pola penghukuman terhadap

anak yang melakukan kesalahan yang terjadi di masyarakat,


seperti yang terdapat dalam keluarga atau sekolah bisa

diarahkan pada hukuman-hukuman yang sifatnya mendidik dan

bukan menyiksa anak.

3. Klaster 1 Hak Sipil dan Kebebasan

Indikator KLA untuk klaster 1 dalam hak sipil dan kebebasan

dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, meliputi:

a. Persentase anak yang teregistrasi dan mendapatkan Kutipan Akta

Kelahiran.

Pemberian Kutipan Akta Kelahiran anak (0-18 tahun) dilakukan

secara bebas bea yaitu mulai dari saat pelaporan hingga diberikannya

Kutipan Akta Kelahiran. Tidak diperkenankan pembayaran sekecil apapun

mulai dari pengambilan formulir, pengisian, pencatatan dalam buku

register hingga diberikannya Kutipan Akta Kelahiran tersebut ke tangan

yang berhak. Jumlah anak usia 0-18 tahun yang dimaksud adalah jumlah

dari seluruh anak yang baru lahir hingga anak berusia 18 tahun, termasuk

anak yang berkebutuhan khusus (ABK) dan anak dari kelompok rentan

administrasi kependudukan lainnya.

Upaya nyata yang dilakukan antara lain: sosialisasi baik kepada

warga maupun aparat pemerintahan daerah; koordinasi dengan berbagai

organisasi/lembaga kemasyarakatan dalam berbagai bentuk dan profesi;

adanya layanan bagi anak terlantar, panti atau dari kelompok rentan
administrasi kependudukan lainnya; mendekatkan layanan hingga

menjangkau setiap kelurahan/desa; kerja sama dengan komunitas warga.

b. Tersedia fasilitas informasi layak anak.

Fasilitas dapat berupa pojok baca, taman cerdas, perpustakaan,

layanan informasi daerah, dan sebagainya, yang menyediakan informasi

sesuai kebutuhan dan usia anak, termasuk informasi penanggulangan

bencana yang memenuhi kriteria layak anak, yaitu bebas pelanggaran hak

anak/bahan berbahaya misalnya: kekerasan, diskriminasi, rasialisme,

ancaman, kevulgaran, kecabulan, atau ekspose data/diri pribadi anak.

Bahan informasi yang disediakan sudah diperiksa dan ada pemantauan

rutin. Akses diperoleh tanpa mengeluarkan biaya/bebas bea untuk setiap

pelayanan reguler seperti kartu anggota atau langganan

penggunaan/peminjaman; penyebaran lokasi merata menjangkau setiap

pelosok; sudah memperhatikan kebutuhan anak, termasuk Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) dan anak dari kelompok rentan lainnya

seperti kelompok miskin, minoritas, korban bencana, atau terasing.

Sumber informasi layak anak dikelompokkan ke dalam enam

kategori yaitu:

1) Penyiaran, merupakan ketersediaan Radio dan Televisi (baik

internasional, nasional ataupun lokal) dan menjangkau seluruh

wilayah masyarakat.

2) Buku, adalah buku yang disediakan melalui perpustakaan,

perpustakaan keliling atau taman/pojok baca layak anak.


3) Terbitan Berkala, yang bersifat publik (diperjualbelikan secara

bebas), maka yang didata hanya yang tersedia dalam bentuk akses

gratis publik dengan media tertentu (papan/dinding surat kabar

reguler, pusat dokumentasi terbitan dan sejenisnya yang memang

disediakan untuk publik).

4) Internet, Baik dalam bentuk web, internet, layanan informasi

publik, dan sebagainya. Pendataan hanya dilakukan bagi layanan

internet gratis yang disediakan pemerintah daerah (melalui SKPD

atau unit), baik melalui unit dampingan (misalnya pada PAUD atau

BKB/BKR dan sejenisnya) atau pada lokasi kantor lembaga publik,

yang menyediakan layanan kepada anak (atau setidaknya

memberikan alokasi waktu tertentu bagi anak) dengan melakukan

pemantauan terhadap informasi yang layak anak yang bisa dibuka

melalui layanan internet tersebut.

5) Video, Dalam berbagai bentuk dan jenisnya seperti VHS, Beta,

VCD, DVD, Blue-ray dan media penyimpanan audio-video lainnya.

Yang didata adalah jumlah lembaga yang menyediakan layanan

pemutaran/peminjaman multimedia

6) Bahan Lainnya, Permainan elektronik, edutainment dan interaktif

seperti pada taman cerdas, taman teknologi, museum, laboratorium

publik, pusat budaya, pusat informasi dan sebagainya.


c. Jumlah kelompok anak, termasuk Forum Anak, yang ada di

kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.

Kelompok anak adalah perkumpulan yang beranggotakan anak atas

inisiatif dan dikelola oleh anak itu sendiri, untuk mengembangkan bakat,

minat dan kemampuan. Kelompok anak bisa beragam bentuk, yang pada

khususnya merupakan wadah kegiatan atau partisipasi.

Yang dimaksudkan dengan Forum Anak adalah wadah partisipasi

anak di tingkat kabupaten/kota, yang berperan memberikan masukan

dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi

kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak. Keanggotaan

Forum Anak terdiri dari perwakilan anak-anak dari tingkat kecamatan

yang mewakili semua kelompok anak, berdasarkan minat, bakat dan/atau

kemampuan, laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi, termasuk anak

berkebutuhan khusus, anak minoritas dan adat.

D. Kerangka Teori

Berdasarkan teori sebelumnya, kerangka teori yang dipakai mengacu

pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan

Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator

Kabupaten/Kota Layak Anak, maka kerangka pikir berasal dari tahap

pengembangan KLA dan dapat dilihat dalam skema 2.2 berikut.


Skema 2.2
Kerangka Teori
KOTA LAYAK ANAK (KLA)

Klaster 1 Tahap pengembangan KLA


Hak Sipil dan Kebebasan Persentase anak yang teregistrasi
dan mendapatkan Kutipan Akta
Persiapan:
Kelahiran; 1. Kebijakan
Klaster 2 2. SDM
Lingkungan Keluarga dan Tersedia fasilitas informasi layak 3. Dana
Pengasuhan Alternatif anak; 4. Sarana Prasarana

Klaster 3 Jumlah kelompok anak, termasuk Perencanaan


Kesehatan Dasar dan Forum Anak, yang ada di
Kesejahteraan kabupaten/kota, kecamatan dan Pelaksanaan
desa/kelurahan.
Klaster 4
Pendidikan, Pemanfaatan Monitoring dan
Waktu Luang dan Kegiatan Evaluasi
Budaya INPUT
Pelaporan
Klaster 5 PROSES
Perlindungan Khusus
OUTPUT

Sumber : Modifikasi Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan


Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Alur Pikir

Dari kerangka pikir diatas, alur pikir yang digunakan pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Input:
Proses: Output:
- Kebijakan
- SDM - Perencanaan Pelaporan capaian
- Dana - Pelaksanaan KLA Kota
- Sarana - Monitoring& Bukittinggi Tahun
Prasarana Evaluasi 2022

Pelaksanaan Indikator
Klater 1 pada anak usia 0-18
\
Tahun di Kota Bukittinggi
Tahun 2022

Faktor yang
1.Kepemilikan akte kelahiran mempengaruhi
2.Tersedianya Fasilitas Informasi
- Biaya
Layak Anak (ILA) - Sarana Prasarana
3.Terlembaganya Partisipasi Anak - Petugas
pelayanan

Pemantauan Tumbuh
Kembang Anak sesuai Umur

Skema 3.1
Alur Pikir

Keterangan :

: Dianalisis Secara Kuantitatif


: Dianalisis secara Kualitatif

B. Defenisi Istilah Penelitian

Defenisi istilah digunakan untuk memperjelas kerangka pikir yang akan

diteliti. Dibawah ini ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian

diantaranya:

1. Input

Input adalah elemen-elemen pendukung Implementasi Klaster

Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di

Kota Bukittinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

mendalam yang berpedoman pada panduan wawancara dan telaah

dokumen terkait Kebijakan, Tenaga (SDM), Dana, dan Sarana prasarana

Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi.

2. Proses

Proses adalah proses yang dilalui dan mempengaruhi Implementasi

Klaster Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak

Anak Di Kota Bukittinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara mendalam yang berpedoman pada panduan wawancara terkait

Perencanaan, Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Klaster

Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di

Kota Bukittinggi.

3. Proses

Output adalah hasil dari Implementasi Klaster Pertama; Hak Sipil

dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di Kota Bukittinggi.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam yang

berpedoman pada panduan wawancara terkait Implementasi Klaster


Pertama; Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota Layak Anak Di

Kota Bukittinggi.
C. Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

No. Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

INFORMAN

1 Registrasi dan Kepemilikan Proses registrasi dan kempemilikan Akte Kuesioner Wawancara 0: Kurang baik < Ordinal
Akte kelahiran kelahiran terhadap anak usia 0-18 Tahun median
1: Baik ≥ median
2 Fasilitas Informasi Layak Pemanfaatan fasilitas dapat berupa pojok baca, Kuesioner Wawancara 0: Tidak Ada < Ordinal
Anak taman cerdas, perpustakaan, layanan informasi mean
daerah, dan sebagainya, yang menyediakan 1: Ada ≥ mean
informasi sesuai kebutuhan dan usia anak yang
diperoleh tanpa mengeluarkan biaya/bebas bea
untuk setiap pelayanan reguler.

3 Lembaga Partisipasi Anak Wadah kegiatan atau partisipasi seperti Forum Kuesioner Wawancara 0: Tidak Ada < Ordinal
Anak adalah wadah partisipasi anak di tingkat mean
kabupaten/kota, yang berperan memberikan 1: Ada ≥ mean
masukan dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan
hak anak.

RESPONDEN

4 Pemenuhan hak anak dalam Pelaksanaan kegiatan dalam KLA seuai Kuesioner Wawancara 0: tidak terpenuhi Ordinal
Klaster I Hak sipil dan dengan indikator Klaster I hak sipil dan < median
kebebasan yaitu: kebebasan 1: terpenuhi ≥
a. Registrasi dan median
Kepemilikan Akte
kelahiran
b. Fasilitas Informasi
Layak Anak
c. Lembaga Partisipasi
Anak

D. Hipotesis

1. Ada faktor yang paling berpengaruh terhadap implementasi Kota Layak Anak klaster Hak Sipil dan Kebebasan dalam menuju Kota

Layak Anak Di Kota Bukittinggi tahun 2022


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan instumen

penilaian unjuk kerja berbasis android adalah metode campuran (Mixed

Method Research) yaitu, dengan menggabungkan antara jenis penelitian

kualitatif dengan kuantitatif. Menurut Creswell (2014) metode penelitian

campuran merupakan pendekatan penelitian dengan mengkombinaskan antara

penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kota Bukittinggi pada bulan April 2022

sampai dengan Juli 2022.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari Informan yaitu orang

yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi

latar penelitian dan Responden yaitu sasaran program Klaster pertama KLA

berkaitan dengan Kartu Identitas dan Forum Anak yaitu anak usia 0-18 tahun.

1. Informan

Dalam hal ini informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian

(Wirjokusumo & Ansori, 2009). Adapun pemilihan informan ditentukan

berdasarkan teknik total sampling yang mana mengetahui berkaitan


dengan judul penelitian. adapun Informan yang relevan dalam penelitian

adalah:

Tabel 3.1
Daftar Informan
No Jabatan Kode Informan

1 Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil If 1

2 Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika If 2

3 Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan If 3


Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana

4 Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan If 4

5 Ketua Pengadilan Negeri Kota Bukittinggi If 5

6 Ketua Pengadilan Agama Kota Bukittinggi If 6

7 Camat Mandiangin Koto Selayan If 7

8 Camat Guguk Panjang If 8

9 Camat Aur Birugo Tigo Baleh If 9

10 Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga If 10

2. Responden

Sampel adalah bagian dari keseluruhan populasi yang diteliti,

dijadikan responden dan dipandang sifat – sifatnya dapat mewakili

keseluruhan populasi yang ada (Eko Sudarmanto, 2021). Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik secara

stratified random sampling dengan pengambilan sampel sedemikian rupa

tiap unit penelitian yang ada dalam populasi memiliki kesempatan yang

sama untuk dipilih menjadi sampel (Hermawanto, 2010) :

N n
n= =
N d2 +1 n ( 0,1)2 + 1
Keterangan :

N = Jumlah Populasi

d = Tingkat kesalahan yang diharapkan 10% (0,1)

n = Jumlah sampel

D. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data yang

dikumpulkan melalui observasi dan wawancara yang dilakukan kepada

informan penelitian.

2. Data Sekunder

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data yang

diperoleh dari Responden dan sumber-sumber lain yang dianggap relevan

dengan tujuan penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperoleh melalui uji coba lapangan diklasifikasikan

menjadi dua yaitu, data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa

hasil wawancara dan Observasi dengan Informan (expert judgment). Untuk

data kuantitatif yang berupa skor dari hasil kuesioner pada responden yaitu

anak usia 0-18 tahun.Terdapat berbagai jenis teknik yang digunakan dalam

pengumpulan data disesuaikan dengan sifat penelitian yang dilakukan. Teknik

yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:


1. Wawancara

Menurut Koentjaraningrat, metode wawancara atau interview

adalah untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan

keterangan atau pendirian lisan dari seorang responden, dengan bercakap-

cakap berhadapan muka dengan orang itu. Sugiyono (2016) menjelaskan

pengertian wawancara sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan

makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara yang akan dilakukan pada

penelitian ini adalah dengan mewawancarai Informan Utama yang

berkaitan langsung dengan penelitian yang akan diteliti.

Wawancara adalah hal penting dalam penelitian kualitatif karena

menjadi pengumpulan sumber data yang utama. Sebagian besar data

diperoleh melalui wawancara. Untuk itu, penguasaan teknik wawancara

sangat mutlak di perlukan. Menurut Herdiansyah (2011), Wawancara ada

tiga bentuk yaitu:

a. Wawancara terstruktur

Beberapa ciri dari wawancara terstuktur meliputi daftar

pertanyaan dan kategori jawaban telah disiapkan, kecepatan

wawancara terkendali, tidak ada fleksibilitas, mengikuti pedoman, dan

tujuan wawancara biasanya untuk mendapatkan penjelasan tentang

suatu fenomena.

b. Wawancara semi-terstruktur

Ciri-ciri dari wawancara semi-terstruktur adalah pertanyaan

terbuka namun ada batasan tema dan alur pembicaraan, kecepatan


wawancara dapat diprediksi, fleksibel tetapi terkontrol, ada pedoman

wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan dan penggunaan

kata, dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena.

c. Wawancara tidak terstruktur

Wawancara tidak terstruktur memiliki ciri-ciri, yaitu

pertanyaan sangat terbuka, kecepatan wawancara sangat sulit

diprediksi, sangat fleksibel, pedoman wawancara sangat longgar

urutan pertanyaan, penggunaan kata, alur pembicaraan, dan tujuan

wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena.

Untuk memperoleh informasi yang dijadikan data utama dari

lapangan penelitian, peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dan

tidak terstruktur dengan informan. Peneliti menyusun pedoman wawancara

sebelum melakukan wawancara, pedoman wawancara tersebut tidak

tersruktur karena hanya memuat garis besar atau pokok-pokok pertanyaan.

Teknik ini digunakan untuk mengetahui secara mendalam tentang berbagai

informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan dengan menggunakan indera

penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan pertanyaan.

Sedangkan menurut Narbuko & Achmadi (2010), observasi adalah

pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-

fenomena yang diteliti, observasi merupakan metode yang secara langsung

mengamati perilaku subjek penelitiannya dan metode yang pertama-tama

digunakan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penelitian.


Adapun yang peniliti observasi adalah keadaan lingkungan, sarana

prasarana, dan dokumentasi terkait indikator Klaster I KLAyang

berkenaan dengan fokus penelitian. Peneliti menyusun pedoman observasi

sebelum melakukan pengamatan ke lapangan. Hal ini guna mempermudah

peneliti dalam melakukan observasi. Sehingga pengumpulan data melalui

observasi partisipan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

3. Kuesioner

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawab. Penelitian ini menggunakan jenis

kuesioner dengan pertanyaan tertutup dimana jawaban-jawabannya telah

dibatasi oleh peneliti sehingga menutup kemungkinan bagi responden

untuk menjawab panjang lebar sesuai dengan jalan pikirannya. Kuesioner

ini sudah dibagikan diawal penelitian untuk mendapatkan beberapa data

yang dibutuhkan oleh peneliti. Kuesioner diberikan kepada responden

pada saat penelitian dengan teknik secara stratified random sampling.

4. Dokumentasi

Menurut (Sugiyono, 2008) dokumen merupakan catatan peristiwa

yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-

karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian juga akan semakin

kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan

seni yang telah ada.


F. Teknik Pengolahan Data

1. Kualitatif

a. Validasi Data

Penelitian kualitatif dengan pengambilan sampel secara

purposive (non probability) dan jumlah sampel sedikit, perlu

melakukan validasi data. Uji validitas data yang dilakukan dalam

penelitian kualitatif disebut triangulasi. Triangulasi merupakan cara

terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi

kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan

data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.

Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, penelitian dapat mengecek

kembali temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai

sumber, metode, atau teori (Wirawan, 2012).

Norman K. Denkin  dalam Rahardjo (2010) membagi jenis

triagulasi dalam penelitian, antara lain:

1) Triangulasi Metode

Dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode

wawancara, obervasi, dan survei, untuk memperoleh kebenaran

informasi dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu,

peneliti bisa menggunakan metode wawancara bebas dan

wawancara terstruktur, obervasi atau pengamatan untuk mengecek

kebenarannya.
2) Triangulasi Antar Peneliti

Menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan

dan analisis data agar tidak justru merugikan peneliti dan

melahirkan bias baru dari triangulasi.

3) Triangulasi Sumber Data

Menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai

metode dan sumber perolehan data menggunakan observasi terlibat

yang menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya

akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula

mengenai fenomena yang diteliti.

4) Triangulasi Teori

Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan

informasi atau thesis statement dituntut memiliki expert judgement

dalam membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu

(Rahardjo, 2010).

2. Kuantitatif

Pengolahan data yang dilakukan secara komputerisasi dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan data (editing)

Setelah kuesioner diisi dan dikembalikan oleh responden

kemudian jawaban pada kuesioner diperiksa kembali apakah semua

pertanyaan sudah terjawab dengan baik.

b. Pengkodean (coding)

Memberikan kode pada jawaban secara angka.


c. Tabulasi (tabulating)

Menyusun data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

d. Memasukkan data (entry data)

Data yang telah diedit dan diberi kode kemudian dientri dengan

menggunakan kuesioner.

G. Teknik Analisis Data

1. Kualitatif

Dalam melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif analisa

data dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, selama dilapangan,

dan setelah dilapangan. Pada saat analisa data selama di lapangan,

pengumpulan data berlangsung dan pengumpulan data selesai pada

periode tertentu. Ketika wawancara berlangsung, peneliti melakukan

analisa data terhadap informan setiap jawaban yang diperoleh, dan apabila

jawaban kurang tepat atau kurang memuaskan dengan pertanyaan yang

diajukan, peneliti akan terus melanjutkan pertanyaan ke informan sehingga

didapatkan data yang sesuai atau kredibel.

2. Kuantitatif

Variabel yang telah dipilih dan tersimpan dalam bentuk program

data base untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan perangkat

lunak komputer dan dilakukan dalam beberapa tahap yaitu analisis

univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat.


a. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang menggambarkan

suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun secara berkelompok

dengan tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk mendeskripsikan

karakteristik masing- masing variabel yang diteliti (Hastono, 2016).

Analisa univariat ini untuk melihat distribusi frekuensi variabel

independen dan variabel dependen dimana akan disajikan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui apakah ada

hubungan yang signifikan antara dua variabel, atau bisa juga

digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan

antara dua atau lebih kelompok (Hastono, 2016).

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara dua variabel yang diteliti. Pengujian

hipotesis untuk mengambil keputusan apakah hipotesis yang diujikan

cukup meyakinkan ditolak atau diterima, dengan menggunakan uji chi-

square. Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan

batasan kemaknaan α = 0,05 sehingga jika nilai p value ≤ α maka secara

statistik Ho ditolak dan jika pvalue > α maka secara statistik Ho diterima.

Untuk interpretasi nilai Odds Rasio (OR) dengan menggunakan

interval kepercayaan 95% antara lain sebagai berikut :

1) OR < 1, berarti variabel tersebut sebagai faktor protektif

2) OR = 1, bukan faktor risiko


3) OR > 1, berarti variabel tersebut adalah faktor risiko

c. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat

hubungan beberapa variabel (lebih dari satu) independen dengan satu

atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel dependen).

Dalam analisa multivariat akan diketahui variabel independen mana

yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen (Hastono,

2016).

Pada penelitian ini jenis analisis multivariat yang digunakan

adalah regresi logistik ganda. Model regresi logistik dapat digunakan

pada data yang dikumpulkan melalui rancangan cross sectional.

Analisis regresi logistik adalah salah satu pendekatan model matematis

yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa

variabel independen dengan sebuah variabel dependen kategori yang

bersifat dikotom. Variabel kategori yang dikotom adalah variabel yang

mempunyai dua nilai variasi. Pada regresi logistik, variabel dependen

dihitung menggunakan proporsi (Hastono, 2016).

DAFTAR PUSTAKA
Almira, R., & Paselle, E. (2020). Implementasi Program Forum Anak Dalam
Rangka Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda. JPBM (Journal of
Policy & Bureaucracy Management), 1(1), 22–34.
https://doi.org/10.54144/jpbm.v1i1.4
Alviana, I., Rosyadi, S., & Idanati, R. (2021). Partisipasi Forum Anak Banyumas
Dalam Mewujudkan Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Banyumas
Ditinjau dari Perspektif Multi Stakeholder Partnerships. JURNAL
DESENTRALISASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (JDKP), 02(02), 277–287.
https://doi.org/10.30656/jdkp.v2i2.3738
Anonim. (2016). PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN HAK SIPIL DAN
KEBEBASAN ANAK. Universitas Brawijaya. http://blog.ub.ac.id/malang/
Badan Pusat Statistik. (2022). Persentase anak yang memiliki akta kelahiran
Menurut Provinsi (Persen), 2019-2021. BPS - Statistics Indonesia;
www.bps.go.id. https://doi.org/10.1055/s-2008-1040325
Bhatia, A., Ferreira, L. Z., Barros, A. J. D., & Victora, C. G. (2017). Who and
where are the uncounted children? Inequalities in birth certificate coverage
among children under five years in 94 countries using nationally
representative household surveys. International Journal for Equity in
Health, 16(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12939-017-0635-6
Creswell, J. W. (2014). Research Design, Qualitatives, Quantitative, and Mixed
Methods Approcahes (Fourth). Sage Publications.
Darmayanti, & Lipoeto, N. I. (2020). Gambaran Pemenuhan Hak Anak serta
Faktor-Faktor yang Mendukung pada Klaster Kesehatan Dasar dan
Kesejahteraan dalam Implementasi Kebijakan Kota Layak Anak Kota
Bukittinggi tahun 2019. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4), 44–55.
https://doi.org/10.25077/jka.v8i4.1107
Devi Ayu Rizki, Sulastri, S., & Irfan, M. (2016). Pemenuhan Hak Partisipasi
Anak Melalui Forum Anak Dalam Implementasi Kebijakan Kota Layak
Anak Di Kota Bandung. Share Social Work Jurnal, 5(1), 1–4.
https://doi.org/https://doi.org/10.24198/share.v5i1.13085
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Bukittinggi. (2022).
Laporan Regulara Kemajuan Pelaksanaan Pelayanan Administrasi
Kependudukan Kota Bukittinggi Bulan Januarai 2022. Dinas
Kependudukan Dan Pencatatan Sipil.
Eko Sudarmanto, D. (2021). Desain Penelitian Bisnis Pendekatan Kuantitatif (R.
Watrianthos (ed.); Cetakan 1). Yayasan Kita Menulis.
Elizabeth, A., & Hidayat, Z. (2016). Implementasi Program Kota Layak Anak
Dalam Upaya Pemenuhan Hak-Hak Anak Di Kota Bekasi. Journal of
Public Policy and Management Review, 5(2), 55–70.
www.fisip.undip.ac.id
Faricha, A. (2013). Hak Sipil sebagai Pelindung Kebebasan Fundamental
Individu. LBH Yogyakarta. https://lbhyogyakarta.org/2013/04/04/hak-
sipil-sebagai-pelindung-kebebasan-fundamental-individu/
Hastono, S. P. (2016). Analisa Data Pada Bidang Kesehatan. Raja Grafindo
Persada.
Herdiansyah, H. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Salemba Humanika.
Hermawanto, H. (2010). Biostatistik Dasar; Dasar-Dasar Statistik Dalam
Kesehatan. TIM.
Ilosa, A., & Rusdi, R. (2020). Analisis Pelaksanaan Program Kota Layak Anak
(Kla) Dalam Memenuhi Hak Sipil Dan Kebebasan Anak Di Kota
Pekanbaru. Jurnal Manajemen Dan Ilmu Administrasi Publik (JMIAP),
2(1), 87–101. https://doi.org/10.24036/jmiap.v2i1.118
Kementerian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Kemen
PPPA melaksanakan Sosialisasi Pemenuhan Hak Sipil Anak. KLA
(Kabupaten Dan Kota Layak Anak); Kementerian Pemberdayaaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. https://www.kla.id/kemen-pppa-
melaksanakan-sosialisasi-pemenuhan-hak-sipil-anak/
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. (2019).
Tingkatkan Partisipasi Anak, Kemen PPPA Perkuat Peran Forum Anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak;
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2315/tingkatkan-
partisipasi-anak-kemen-pppa-perkuat-peran-forum-anak
Kertati, I. (2017). Pemenuhan Hak Sipil Dan Kebebasan Anak. Jurnal Riptek,
II(2), 63–74.
https://riptek.semarangkota.go.id/index.php/riptek/article/view/28
KLA. (2017). Kota Ramah Anak. KLA (Kabupaten Dan Kota Layak Anak);
www.kla.id/kota-ramah-anak/.
Liwananda, M. T. T. (2018). Studi Evaluasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA)
dalam Pemenuhan Klaster Hak Sipil dan Kebebasan di Kota Semarang.
Journal Of Public Policy And Management Review, 3(1), 1–11.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/download/27016/23761
Mulyadi, D. (2015). Study Kebijakan Publik Dan Pelayanan Publik. Alfabeta.
Narbuko, C., & Achmadi, A. (2010). Metodologi Penelitian. Bumi Aksara.
Pasolong. (2017). Teori Administrasi Publik. Rineka Cipta.
Patilima, H. (2017). Kabupaten Kota Layak Anak. Jurnal Kriminologi Indonesia,
13(1), 39–55. https://media.neliti.com/media/publications/229091-
kabupaten-kota-layak-anak-6606fe4b.pdf.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016.
(2016). Tentang Kartu Identitas Anak (Issue August).
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan
Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak. (2011). Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan
Kabupaten/Kota Layak Anak.
Pramono, J. (2020). Kebijakan Publik. In Sutoyo (Ed.), Kebijakan Publik
(Pertama). Unisri Press.
Purnamasari, D. M. (2021). Kementerian PPPA Ungkap Risiko Anak yang Tak
Punya Akta Kelahiran. Kompas.Com; Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/09/12295861/kementerian-
pppa-ungkap-risiko-anak-yang-tak-punya-akta-kelahiran?page=all
Rachman, A. (2022). KPAI Sebut Sebanyak 147 Anak Dieksploitasi dan
Diperdagangkan Selama 2021. TEMPO.CO; Tempo Media Group.
https://nasional.tempo.co/read/1551060/kpai-sebut-sebanyak-147-anak-
dieksploitasi-dan-diperdagangkan-selama-2021
Rahardjo, M. (2010). Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. http://repository.uin-
malang.ac.id/1133/
Riggio, E. (2002). Child friendly cities: Good governance in the best interests of
the child. Environment and Urbanization, 14(2), 45–58.
https://doi.org/10.1177/095624780201400204
Rosalin, L., Handayani, R., Widayati, S. M. W., Armynuksmono, A., Supartun,
Bhima, D. A., & Cahyani, D. B. (2015). Bahan Advokasi Kebijakan KLA
(DEPUTI Bidang Tumbuh Kembang Anak (ed.)). Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Rosalin, L. N. (2018). REVISI PERATURAN MENTERI PP-PA TENTANG
KABUPATEN_KOTA LAYAK ANAK. Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
https://slideplayer.info/slide/12095183/
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Bisnis. Pusat Bahasa Depdiknas.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014. (2014). Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Usman, N. (2002). Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. CV. Sinar Baru.
Whitzman, C., Worthington, M., & Mizrachi, D. (2010). The journey and the
destination matter: Child-Friendly Cities and children’s right to the City.
Built Environment, 36(4), 474–486. https://doi.org/10.2148/benv.36.4.474
Winarno, B. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo.
Wirawan. (2012). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia : Teori Aplikasi dan
Penelitian. Salemba Empat.
Wirjokusumo, I., & Ansori, S. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Unesa
University Press.
Witanto, Y. A. K. (2018). Implementasi Kebijakan Kota Layak Anak Dalam
Pemenuhan Hak Sipil Anak Melaluipelayanan Akta Kelahiran Jemput
Bola (Studi Deskriptif Mepeling “Memberikan Pelayanan Keliling” di
Kota Bandung)”. Universitas Pendidikan Indonesia.
Yulman. (2019). Bukittinggi Raih Penghargaan Kota Layak Anak Tingkat Madya
dan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA). Pemerintahan Kota
Bukittinggi; Pemerintahan Kota Bukittinggi.
http://www.bukittinggikota.go.id/berita/bukittinggi-raih-penghargaan-
kota-layak-anak-tingkat-madya-dan-ruang-bermain-ramah-anak-rbra
Zakky. (2018). Pengertian Implementasi menurut Para Ahli, KBBI dan Secara
Umum. Www.Zonareferensi.Com/Pengertian-Implementasi/Html.
https://www.zonareferensi.com/pengertian-implementasi/html.

Anda mungkin juga menyukai