Kelompok 2 :
1. Armita Deviana 01
2. Aqeela Danish Ara 04
3. Affiifah Jihan Maydianti 09
4. Ayyasophya Keiza F.H 10
5. Azmi Alifia Larasati 11
2. Kerajaan Aceh
Sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis sudah terjadi sejak abad ke-
14 Masehi. Kronologi awalnya, kala itu Aceh menjadi tujuan perdagangan ketika
Portugis menguasai Malaka pada 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque.
Portugis merupakan salah satu bangsa Eropa, selain Spanyol, pertama yang
melakukan penjelajahan samudera dengan misi 3G, yakni Gold (kekayaan), Glory
(kejayaan), dan Gospel (penyebaran agama). Di wilayah-wilayah yang dikunjunginya,
termasuk Malaka dan Aceh, Portugis berniat melakukan penaklukkan dan menguasai
perdagangan rempah-rempah yang merupakan komoditas mahal di Eropa.
Bumi Serambi Mekkah yang kala itu merupakan wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki bandar perdagangan yang ramai, bahkan
bersaing dengan Malaka.
Portugis menganggap Kesultanan Aceh Darussalam sebagai ancaman terhadap
posisi mereka di Malaka. Maka, pada 1523 Portugis menyerang Aceh. Dikutip dari
buku Perlawanan Tokoh-tokoh Masyarakat Aceh Terhadap Rezim Kolonial Belanda
(2002), serangan tersebut dapat dipatahkan.
Selama bertahun-tahun lamanya, Portugis menjadi musuh Kesultanan Aceh
Darussalam yang saat itu dipimpin Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Penyebab
terjadinya perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis adalah sebagai berikut:
a. Ambisi Portugis yang ingin memonopoli perdagangan di wilayah Aceh.
b. Portugis melarang orang-orang Aceh berlayar untuk berdagang melewati Laut
Merah.
c. Penangkapan kapal-kapal Aceh oleh Portugis.
d. Portugis memburu kapal-kapak dagang Aceh di Laut Merah pada 1524-1525.
Beberapa kapal Aceh tersebut ditangkap Portugis dan semakin memicu
kemarahan rakyat Aceh.
Sebagai upaya pertahanan diri kapal-kapal dagang Aceh, dikutip dari buku
Sejarah Indonesia Kelas XI (2014), berikut ini langkah-langkah yang dilakukan:
- Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan seperti
meriam dan menempatkan prajurit untuk pengawalan.
- Mendatangkan bantuan persenjataan, tentara, dan tenaga-tenaga ahli
dari Turki.
- Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut (India) dan Jepara.
Pada 1568, pasukan Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Portugis di Malaka
pada. Namun, serangan ini gagal lantaran kekutan militer Portugis lebih tangguh. Setahun
kemudian, gantian Portugis menyerang Aceh namun dapat digagalkan pasukan Aceh.
Kesultanan Aceh Darussalam beserta rakyatnya terus melakukan perlawanan kepada
Portugis yang memonopoli perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Kronologi
Perlawanan di Era Sultan Iskandar Muda Rakyat Aceh kembali menyerang Portugis pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Serangan di tahun 1629 itu mampu
membuat Portugis di Malaka kewalahan.
Kesultanan Aceh Darussalam mempersiapkan armada laut yang memiliki kapasitas
mengangkut prajurit sampai 800 orang. Armada Kesultanan Aceh merapat di Sumatera Timur
dan Sumatera Barat saat melakukan serangan ke Malaka. Kendati semua kekuatan telah
dilancarkan, namun serangan ini belum mampu mengusir Portugis.
Aceh tidak hanya melakukan serangan fisik. Sultan Iskandar Muda juga melakukan
blokade perdagangan agar kekuatan Portugis di Malaka goyah karena ketiadaan barang yang
bisa dibawa ke Eropa. Hanya saja, rencana ini terkendala dengan adanya beberapa raja kecil
yang tetap berdagang dengan Portugis. Mereka melakukan itu dengan diam-diam karena
memerlukan uang. Lantaran kebijakan blokade tidak berhasil sepenuhnya, maka Kesultanan
Aceh Darussalam melakukan langkah-langkah lanjutan, yakni: Aceh menjalin hubungan
dengan Turki, Persia, dan Gujarat (India). Aceh memperoleh bantuan yaitu kapal, prajurit,
dan makanan dari komunitas muslim di Jawa. Kapal-kapal dagang Aceh dilengkapi
persenjataan yang memadai dan prajurit tangguh. Meningkatkan kerja sama dengan
Kesultanan Demak di Jawa dan Kesultanan Gowa di Makassar. Sebenarnya tidak ada
pemenang dalam pertikaian antara Aceh kontra Portugis. Pada 1641, kekuasaan Portugis di
Malaka melemah seiring kehadiran VOC dari Belanda yang kemudian merebut wilayah itu.
3. Demak
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa
yang berdiri sekitar tahun 1478 M. Raja pertama Kerajaan Demak adalah Raden Patah
yang berkuasa sejak 1478 hingga 1518. Di bawah pemerintahan Raden Patah,
Kerajaan Demak banyak mengalami perkembangan di berbagai bidang, seperti
perluasan dan pertahanan kerajaan sekaligus pengembang Islam.
Namun, selain itu, terjadi pula perlawanan Kerajaan Demak terhadap Portugis
ketika Raden Patah masih berkuasa. Latar belakang perlawanan Demak terhadap
Portugis disebabkan oleh kerugian yang diterima Kesultanan Demak karena aktivitas
perdagangannya dengan para saudagar Muslim di wilayah Malaka terganggu oleh
Portugis.
Pada akhir abad ke-15, Portugis tengah mencari kepulauan rempah-rempah
karena merupakan komoditas dengan nilai termahal di Eropa. Portugis memulai
pelayarannya pada 1487 yang dipimpin oleh Bartolomeu Dias. Dia mengitari Tanjung
Harapan di Afrika dan masuk ke Samudera Hindia.
Setelah itu, pada 1497, pelayaran Vasco da Gama sampai di India, tetapi
barang dagangan Portugis mengalami kalah saing dengan barang dagangan dari Asia.
Lebih lanjut, Portugis mengetahui bahwa kepulauan rempah-rempah terletak di
Malaka sehingga mereka mulai berlayar ke sana pada April 1511.
Di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque, mereka berlayar dari Goa ke
Malaka dengan membawa 1.200 prajurit dan 18 kapal. Sesampainya di Malaka,
pertempuran pun berlangsung sepanjang Juli hingga awal Agustus. Pada saat itu,
Malaka tengah menghadapi krisis kepemimpinan, di mana Sultan Mahmud sedang
berkonflik dengan putranya, Sultan Ahmad. Portugis kemudian memanfaatkan
kesempatan itu untuk merebut kekuasaan Malaka dan berhasil.
Selama berada di Malaka, Portugis tidak hanya menjadi penghalang
Kesultanan Demak. Mereka juga membuat Kerajaan Demak mengalami kerugian
berat karena aktivitas perdagangan mereka dengan para saudagar Muslim terganggu.
Di samping itu, Portugis juga menyebarkan ajaran agama Katolik yang kemudian
dianggap sebagai penghalang berkembangnya Islam di Indonesia. Berbekal kondisi
itu, Kesultanan Demak memutuskan untuk menyerang Portugis dengan mengirim
armadanya ke Malaka. Tidak hanya di Malaka, Kesultanan Demak juga melakukan
perlawanan terhadap Portugis yang akan mendirikan loji di Sunda Kelapa. Raden
Patah mengirim Pati Unus sebagai pemimpin perlawanan Kesultanan Demak terhadap
Portugis. Serangan pun dilakukan pada 1513 dengan menggunakan kekuatan 100
kapal dan 5.000 pasukan dari Jawa. Sayangnya, Pati Unus gugur di medan
pertempuran dan kepemimpinannya digantikan oleh Fatahillah. Fatahillah berhasil
merebut Sunda Kelapa yang kemudian mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Peristiwa ini yang kemudian menjadi akhir perlawanan Demak terhadap Portugis.
4. Pajang
Sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya
berkuasa selama 15 tahun. Selama memerintah, ia berhasil mengantarkan Pajang
mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang mencapai Madiun,
Blora, dan Kediri.
Selain itu, Pajang adalah kerajaan bersifat agraris yang mengalami kemajuan
pesat di bidang pertanian. Hal ini didukung oleh letaknya yang berada di dataran
rendah yang mempertemukan Sungai Pepe dan Dengkeng, sehingga menjadi lumbung
beras utama di Pulau Jawa.
Pada 1582 M, meletus perang Pajang dan Mataram. Riwayat Kerajaan Pajang
benar-benar berakhir pada 1618 saat dihancurkan oleh pasukan Mataram yang
dipimpin Sultan Agung.
5. Mataram Islam
Sultan Agung adalah sebutan yang berarti raja besar yang sangat berkuasa. Ia
memerintah sejak tahun 1613 hingga 1645. Berkat pemerintahan Sultan Agung,
kerajaan Mataram dapat menjadi kerajaan yang paling berkuasa di pulau Jawa,
terkhusus Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia juga memperluas wilayah ke Sukadana,
Kalimantan dan Cirebon, Jawa Barat.
Saat ingin menguasai Banten, Sultan Agung ditantang oleh pihak Belanda
yang datang dan singgah lebih awal di Banten. Akhirnya terjadi bentrokan di antara
kerajaan Mataram dan Belanda. Maka kerajaan Mataram harus berhasil mengalahkan
Belanda terlebih dahulu agar dapat menguasai Banten. Adapun pusat kekuasaan
Belanda terletak di Batavia.
Kerajaan Mataram kemudian menjatuhkan serangan ke Batavia sebanyak dua
kali. Serangan pertama dilakukan pada 1628, tetapi hasilnya gagal. Kemudian disusul
dengan serangan kedua pada 1629. Lagi-lagi hasilnya gagal dikarenakan persenjataan
Belanda yang sangat luar biasa.
Namun Sultan Agung tidak patah semangat untuk mengalahkan Belanda. Ia
melakukan berbagai upaya, seperti membangun jalan-jalan antara Mataram dan
Batavia. Sultan Agung juga bekerja sama dengan Portugis dan Inggris untuk
mengalahkan Belanda. Namun cita-citanya tidak tercapai karena Sultan Agung wafat
pada 1645.
6. Cirebon
Perlawanan perang Cirebon melawan Belanda memuncak sejak zaman Sultan
Matangaji. Saat itu, Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun
pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang
didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda
Kerep.
Saat itu, para santri selain memperdalam ilmu Islam, juga dilatih silat untuk
kepentingan melawan penjajahan. Jajaran Kuwu dan bawahan dan rakyatnya juga
membentuk pemberontakan di seluruh desa di Cirebon.
Saat itu, Sultan Tajul Asikin Amirzena mengawali perlawanan terhadap
Belanda. Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan
Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.
Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh
Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin
(Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).
Sultan Amir Siddiq secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan
pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat
latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.
Namun, di tengah membangun kekuatan melawan Belanda, pembangunan
kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda, tak lama kemudian Belanda
menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.
Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya
menggelar perundingan kembali. Namun, ketika perundingan yang dimediasi oleh
pengurus kuda istana bernama Ki Muda (adik ipar Sultan Matangaji) terjadi, Sultan
Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin
oleh Sultan Matangaji.
Kendati dihabisi, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan
Matangaji. Sehingga Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji.
Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri.
Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum
Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta
petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan.
Kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang
perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus
Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus
Serit (Pangeran Syakroni). Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan
Susukan pada April sampai September tahun 1818.
7. Banten
Belanda kali pertama datang ke Indonesia pada 1596, di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman, tepatnya di Banten, Jawa Barat. Namun, kala itu, Belanda
langsung diusir oleh penduduk pesisir Banten karena mereka dianggap kasar dan
sombong. Ketidaksukaan rakyat Banten terhadap Belanda berlanjut hingga 1656. Kala
itu, Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 1656, rakyat Banten melakukan perlawanan terhadap Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda.
8. Makassar
HUT Kota Makassar didasarkan pada masuknya Islam pada di awal abad ke-
17. Di abad ini, sejumlah peristiwa sejarah terjadi. Tidak hanya proses masuknya
Islam tetapi juga perlawanan rakyat Makassar dalam melawan penjajah, khususnya
VOC yang ingin mengambil alih kekuatan perdagangan Kerajaan Makassar.
Kemasyhuran Kota Makassar sebagai pusat perdagangan kala itu tidak
terlepas dari strategi dan berbagai upaya yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa.
Ekonomi yang tumbuh subur di Kota Makassar menjadikan kota ini menjadi sasaran
bagi bangsa asing seperti Portugis dan Belanda untuk melakukan perniagaan.
Dikutip dari jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya berjudul
"Perlawanan Sultan Hasanuddin Terhadap VOC 1660-1669 M yang terbit tahun
2022" disebutkan bahwa mulanya Belanda datang ke Kota Makassar untuk berdagang
setelah mendapat persetujuan dari Raja Gowa ke XIV I Mangarrangi Daeng Manrabia
Sultan Alauddin. Kedatangan Belanda saat itu disetujui dengan satu syarat, yakni
hanya untuk berdagang.
Syarat ini diberikan karena Raja Gowa mengetahui bahwa Belanda adalah
musuh besar orang Portugis yang terlebih dahulu datang ke Makassar untuk
berdagang. Namun, setelah berhasil berdagang di Makassar, Belanda justru semakin
berambisi untuk menguasai perdagangan di Makassar. Mereka menganggap para
pedagang Eropa lainnya sebagai saingan dan tidak ingin jika mereka berkeliaran di
Makassar.
Belanda bahkan memonopoli perdagangan di wilayah Timur Indonesia.
Setelah mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Maluku, Belanda juga menghalau
perahu-perahu dagang Makassar di dekat perairan Ambon agar dapat memonopoli
perdagangan rempah-rempah. Selain itu, VOC juga mendesak Raja I Mangarrangi
Daeng Manrabia Sultan Alauddin untuk tidak lagi menjual beras kepada bangsa
Portugis di Malaka. Karena tuntutannya tak diindahkan oleh Raja Gowa, VOC pun
merasa murka, sejak saat itu berbagai pertempuran antara VOC dengan Kerajaan
Gowa terus terjadi.
Pertempuran VOC dengan Kerajaan Gowa terus berlangsung hingga masa
kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang diangkat menjadi Raja Gowa pada tahun
1653. Saat memimpin Kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin tetap menjalankan serta
melanjutkan kebijaksanaan pendahulunya yakni Sultan Alaudin dan almarhum
ayahnya Sultan Malikussaid, untuk tidak mengakui hak monopoli perdagangan VOC.
Hal ini membuat hubungan antara Kerajaan Gowa dan VOC semakin
memanas. VOC yang menganggap Kerajaan Gowa sebagai musuh yang sangat
berbahaya dan terus berusaha menghancurkannya.
Ancaman VOC bagi wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa yang semakin kuat
mau tidak mau memaksa rakyat pribumi untuk ikut melakukan perlawanan.
Sepanjang tahun 1660-1670, berbagai perlawanan terhadap VOC dilakukan oleh
Sultan Hasanuddin bersama rakyat Makassar (Gowa-Tallo).
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar, tetapi pada akhir
abad ke-18 muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan
VOC di Maluku. Jika melawan Portugis Kasultanan dan rakyat Ternate yanga
memegang peranan penting maka untuk melawan VOCsebaliknya, kasultanan
dan rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit
melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku.