Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA


PADA MASA PENJAJAHAN

Kelompok 2 :
1. Armita Deviana 01
2. Aqeela Danish Ara 04
3. Affiifah Jihan Maydianti 09
4. Ayyasophya Keiza F.H 10
5. Azmi Alifia Larasati 11

SMA NEGERI 1 SALATIGA


2023
A. Kondisi Umat Islam pada Masa Datangnya Penjajah
Tanda-tanda kekuatan tandingan mulai muncul setidaknya sejak abad ke-16.
Portugal dan Spanyol mulai menguasai sejumlah wilayah strategis umat Islam di Afrika
Utara dan pesisir Samudra Hindia. Saat itu, tokoh muslimin yang paling head to head
terhadap Eropa adalah Kesultanan Utsmaniyyah.
Berabad-abad lamanya, Islam mendominasi warna peradaban dunia. Begitu besar
kontribusi kaum Muslimin pada pencerahan umat manusia. Perluasan wilayah pengaruh
Islam terjadi dengan berbagai cara, mulai dari ekspansi militer, diplomasi, perdagangan,
hingga kebudayaan sehari-hari.
Bangsa Eropa yang semula berlomba-lomba memperebutkan sumber daya
komoditas di dunia Timur, kini mulai memperdaya menjajah. Kolonialisme merupakan
pengalaman pahit bagi umumnya kaum muslimin global.
Menurut Iik Arifin Mansurnoor dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, sejak
abad ke-19, ekspansi Barat semakin kuat. Namun saat itu, dunia Islam yang meliputi
wilayah-wilayah di Afrika Utara, Asia Barat, Asia Tengah, Anak Benua India, hingga
Nusantara sudah menjadi fragmen-fragmen tersendiri.
Misalnya, saat Portugal melancarkan serangan ke daerah pantai Samudra Hindia,
Kesultanan Utsmaniyyah berupaya melindungi kepentingannya di sana. Oleh karena
sejak awal pertumbuhannya kerajaan ini berorientasi ke Eropa, pemerintah Istanbul
semata-mata mencoba membantu penguasa Muslim lokal untuk menghadapi bangsa
Eropa non-Muslim itu.
Sepanjang abad ke-16, misalnya, Kesultanan Aceh termasuk yang menikmati
berbagai bantuan dari saudara seimannya di Turki. Arifin lantas menyembunyikan pola
respon dunia Islam terhadap eks pansi bangsa Eropa. Ditinjau dari segi stabilitas
kerusakan Muslim, ada sejumlah corak yang menonjol.
Pertama, rezim yang stabil. Ini dicontohkan oleh Kesultanan Utsmaniyyah. Saat
Eropa berekspansi, Istanbul lebih siap menghadapinya karena sudah terlebih dahulu
terbuka terhadap dinamika modern yang muncul di Benua Biru, terutama sejak awal
abad ke-18. Bahwa, pada akhirnya kesultanan ini melemah dan luruh pascagerakan
prosekulerisme yang diinisiasi Kemal Ataturk, itu soal lain. Kedua, rezim yang agak
stabil. Arifin mencontohkan, Dinasti Qajar di Iran. Penguasa Qajar sejak abad ke-19
mulai memanjakan permisif terhadap pengaruh asing.
Alhasil, respon mengemuka. Kaum ulama setempat penyelesaian penerobosan
Barat sebagai campur tangan terhadap Iran. Kelompok lokal yang berpendidikan Eropa
mengecam bobroknya rezim Qajar. Sedangkan kelompok pedagang yang melihat sistem
ekonomi kini cenderung merugikan mereka.
Ketiga, entitas politik yang terbelah-belah. Ini ditunjukkan kerajaan-kerajaan di
Asia Tenggara saat kedatangan ekspansi bangsa Eropa. Maka dari itu, kekuatan militer
dan taktis dari Barat dapat secara relatif lebih mulus mencengkeram kekuatanya.
Mereka mencaplok satu per satu wilayah di Nusantara. Memasuki abad ke-20,
muncul corak pemerintahan baru. Bukan lagi konsep teritorial-religius, melainkan
republik (sekuler). Paham yang terutama mendorongnya ialah nasionalisme,
sebagaimana mengemuka di Barat pasca-Revolusi Prancis akhir abad ke-18.
Dunia Islam juga terpengaruh hal itu, terutama sejak Ataturk menggulingkan
kekuasaan sultan Utsmaniyyah pada tahun 1924. Persebaran kaum terdidik Barat di
berbagai masyarakat Muslim, termasuk Indonesia, juga ikut menguatkan diseminasi
nasionalisme.
Saat menempuh pendidikan, mereka mendalami sistem sekuler yang membahas
antara urusan agama dan negara. Usai Perang Dunia II, pergerakan kemerdekaan bermun
culan di Asia dan Afrika. Akhirnya, kini umat Islam mondial memiliki rumah masing-
masing yang bernama negara ( nation-state ).
B. Kondisi Umat Islam pada Masa Penjajahan Belanda
1. Kondisi Sosial Politik Umat Islam Indonesia
Alur penyebaran Islam di Indonesia berawal dari bagian utara Sumatera,
kemudian Islam tersebar sampai ke daerah-daerah penghasil rempah-rempah di
Indonesia Timur. Daerah-daerah yang paling mantap Islamnya adalah daerah-daerah
yang paling penting dalam perdagangan Internasional, yakni pesisir pesisir Sumatera
di Selat Malaka, Semenanjung Malaya, pesisir utara Jawa, Brunei, Sulu, dan Maluku.
Awal abad ke-13 telah berdiri suatu kerajaan Islam di ujung Sumatera Utara.
Lantas segera disusul Kesultanan Aceh yang diperkirakan telah berdiri sekitar
penghujung abad ke-14 yang memainkan peranan utama dalam sejarah Indonesia.
Kemudian sekitar permulaan abad ke-15, Islam telah memperkuat kedudukannya di
Malaka, pusat rute perdagangan Asia Tenggara. Setelah itu pada pertengahan kedua
abad ke-16, suatu dinasti baru yaitu Kesultanan Mataram memerintah Jawa Tengah,
dan berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan pesisir. Maka, pada permulaan abad ke-
17 kemenangan agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
Pemeluk-pemeluk Islam yang pertama antara lain meliputi para pedagang, yang
segera disusul oleh orang orang kota baik dari lapisan atas maupun lapisan bawah.
Masa-masa kerajaan Islam tersebut menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api
Sejarah, disebut masa perkembangan agama Islam, yakni masa umat Islam telah
membangun kekuasaan politik Islam atau kesultanan.
Pada masa perkembangan ini pula, perlu diketahui adanya perpindahan
dinasti-dinasti di Nusantara yang memerintah memeluk agama Islam, yakni adanya
raja Hindu melakukan konversi agama menjadi penganut Islam sekaligus terjadi
pembentukan kekuasaan politik Islam atau kesultanan. Istilah kerajaan berubah
menjadi kesultanan. Tidak lagi disebut raja melainkan sultan. Raja tersebut tidak
kehilangan kekuasaannya dan tetap diakui oleh mayoritas rakyatnya sebagai sultan
yang sah, peristiwa ini menurut J.C. van Leur terjadi karena political motive
(bermotivasi kekuasaan).
Peristiwa lainnya adalah proses Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi dan
tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Jawa Barat melalui pernikahan yang menjadi
sebab awal masuknya Islam di kalangan Istana Pakuan Pajajaran. Dimulai pada masa
Raden Manah Rarasa atau Pamanah Rasa, lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi dari
Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Dewata Wisesa.
Melalui pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, santri dari
Syekh Hasanudin atau dikenal pula sebagai Syekh Quro, menjadi sebab terjadinya
Islamisasi Prabu Siliwangi dan Dinastinya. Pernikahan tersebut dilaksanakan secara
Islami, dan dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang putra dan seorang putri.
Dari putri Prabu Siliwangi, Nyai Rara Santang, yang menikah dengan Maolana Sultan
Mahmud atau Syarif Abdullah melahirkan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati sebagai salah seorang dari wali sanga adalah cucu Prabu Siliwangi.
Pada saat itu, Islam bukan saja datang untuk menetap dan menyebarkan
pengaruhnya, karena ia telah mempermainkan peranan politik dan ideologis yang luar
biasa pentingnya. Motif politik atau motivasi kekuasaan yang diwujudkan dengan
konversi agama masuk ke Islam sebagai bukti atau pengakuan para raja saat itu bahwa
Islam telah menjadi arus bawah yang kuat dan berpengaruh besar terhadap proses
penyuburan tanah atau lapisan masyarakat bawah. Dampaknya membentuk
pandangan para penguasa saat itu untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir
imperialis barat kecuali dengan berpihak kepada agamanya rakyat, yakni Islam.
Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh mulai memegang peran penting di bagian
utara Pulau Sumatra. Pengaruh Aceh ini meluas dari Barus di sebelah utara hingga
sebelah selatan di daerah Indrapura. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah,
Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya. Kemajuan Aceh
pada waktu tersebut sangat terpengaruh oleh kemunduran Kerajaan Malaka yang
mengalami pendudukan orang-orang Portugis. Kesultanan Aceh juga memiliki
hubungan politik luar negeri yang telah menampilkan Kesultanan Aceh sebagai suatu
kekuatan nyata di daerah Asia Tenggara, baik politik, ekonomi, maupun militer.15
Hubungan politik luar negeri ini tidak hanya berlangsung pada masa Kesultanan
Aceh, melainkan sebelumnya pada masa Kesultanan Perlak dan Kesultanan Samudra
Pasai sudah terjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain seperti Gujarat,
India, Malaka, Persia, Arab, serta kerajaan-kerajaan di Jawa, Malaya, Cina dan lain-
lain.
Ketika mulai pecah perang antara Aceh-Belanda (1873), sebuah surat kabar
yang terbit di Istanbul menceritakan, bahwa dalam tahun 1516 Sultan Aceh
Firmansyah telah menghubungi Siman Pasha Wazir dari Sultan Selim I Turki untuk
mengikat tali persahabatan. Permintaan Aceh disetujui oleh Turki dan semenjak itu
hubungan keduanya telah dimulai. Apalagi setelah Sultan Ali Alauddin Mansur Syah
(1838-1870) mengadakan kontak niaga dengan Kerajaan Katolik Perancis, dibawah
Napoleon III pada 1852 M. Hal ini diikuti dengan meningkatkan hubungan diplomatik
antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki pada 1869 M. Dilanjutkan dengan
upaya peningkatan hubungan diplomatik pada masa Sultan Mahmud Syah (1870-
1874) antara Kesultanan Aceh dengan Turki, Inggris, Amerika Serikat dan Republik
Perancis di bawah Presiden Thiers.
Jika keadaan Aceh pada abad ke-16 merupakan salah satu kerajaan Islam yang
berpengaruh, Demak juga merupakan salah satu kerajaan Islam yang berkembang di
Pantai Utara Pulau Jawa pada abad ke-15. Dapat dikatakan bahwa pada pertengahan
abad ke-16 Demak telah menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Bagian pedalaman
dari Kerajaan Majapahit hampir semua telah menjadi daerah taklukannya, sedangkan
di bagian Barat sebagian daerah Pajajaran telah menjadi daerah yang ada di bawah
pengaruhnya.
Selain itu, Demak juga memiliki hubungan dagang yang baik dengan Malaka.
Akan tetapi hubungan itu mulai terganggu sejak Malaka dikuasai oleh Portugis.
Setelah Portugis berhasil menaklukkan Malaka, 1511 M, sebagai pusat niaga Islam
dari tangan kekuasaan Sultan Mahmud, timbullah kekacauan sistem niaga secara
damai berubah menjadi sistem perampokan. Kerajaan Katolik Portugis tidak memiliki
komoditi yang dapat dibarterkan di Malaka. Umat Islam merasa tertindas sehingga
memindahkan pusat niaganya ke Brunei.
Selain itu, imperialis Portugis juga mengharapkan hubungan niaga rempah-
rempah antara Nusantara dengan Kesultanan Turki terputus. Dampaknya diharapkan
keruntuhan Kesultanan Turki. Dari kondisi itulah, Kesultanan Demak melancarkan
perlawanan bersenjata merebut kembali Malaka, 1512 M, demikian juga Kesultanan
Aceh. Namun, upaya tersebut mengalami kegagalan. Memasuki abad ke-17 M, umat
Islam di Indonesia dihadapkan serbuan banyak negara imperialis Barat. Kedua
kekuatan imperialis Katolik Portugis dan Spanyol belum berhasil terpecahkan, datang
gelombang baru imperialis Protestan Belanda dengan lembaga dagangnya VOC, dan
Inggris dengan lembaga dagangnya EIC (The East India Company –Maskapai Hindia
Timur Inggris– )
Pada tahun-tahun setelah J.P. Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC, arah
politiknya jelas bukan hanya untuk perdagangan biasa, melainkan untuk
melaksanakan monopoli perdagangan serta politik kekuasaan terhadap kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, sehingga muncullah reaksi-reaksi yang besar bahkan
sampai terjadi perang. Adapun kekuasaan politik Islam atau kesultanan pada abad ke-
16 M yang melancarkan perlawanan bersenjata, antara lain adalah:
- Kesultanan Demak
- Kesultanan Cirebon
- Kesultanan Banten dan Jayakarta
- Kesultanan Aceh
- Kesultanan Ternate
- Kesultanan Tidore
- Kesultanan Ambo
- Kesultanan Bacan
- Kesultanan Jailolo
- Kesultanan Gowa
- Kesultanan Brunei
terhadap imperialis Barat: Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol pada abad
ke-16 M.
Kemudian dilanjutkan oleh:
- Kesultanan Mataram dan Tatar Oekoer
- Kesultanan Banten
- Kesultanan Gowa
- Kesultanan Makassar
- Kesultanan Aceh
terhadap imperialis Kerajaan Protestan Belanda dan Kerajaan Protestan
Anglikan Inggris pada abad ke-17 M.

2. Kondisi Sosial Ekonomi Umat Islam Indonesia


Pada umumnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dapat dikatakan sebagai
kerajaan Maritim, karena pusat-pusat kekuasaannya berada di kota-kota pelabuhan.
Pusat-pusat kekuasaan di kota-kota pelabuhan mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan ekonomi Kesultanan, karena ia juga berfungsi sebagai pasar.
Penghasilan pasar adalah salah satu sumber penghasilan bagi Sultan atau
penguasa setempat. Segala transaksi berada di dalam kekuasaan Sultan, walaupun
dalam praktiknya kekuasaan itu didelegasikan kepada pejabat pelabuhan, seperti
syahbandar atau pejabat lain yang ditunjuk Sultan. Dengan memberikan perlindungan
dan jaminan terhadap transaksi itu, Sultan berhak memungut berbagai pajak dan cukai
untuk segala macam barang.
Seperti di pelabuhan Malaka, ada kapal-kapal Malaka yang menjadi milik
penuh dari Sultan, dan dalam hal ini perdagangan dijalankan oleh seorang saudagar
yang bertindak atas nama Sultan. Menurut Pires, pada setiap jung yang berangkat dari
Malaka ada sebagian barang dagangan milik Sultan. Keuntungan yang diperoleh dari
perdagangan ini tidak sedikit, apalagi Sultan mendapat prioritas dalam pembagian
ruang (petak) untuk barang dagangannya.
Dari usaha perdagangan ini, Sultan dapat mengumpulkan harta yang besar.
Dengan penghasilan dari bea cukai yang dipungut dari barang impor ditambah dengan
pajak lainnya, kekayaan Sultan bertambah dengan semakin ramainya kapal-kapal dan
saudagar-saudagar yang mengunjungi bandar. Sultan Alauddin Syah dikatakan
mempunyai harta yang ditaksir sama dengan 140 kuintal emas (8824 kg). Mansyur
Syah, menurut perkiraan Pires, memiliki 120 kuintal emas ditambah dengan sejumlah
besar intan berlian dan ratna-mutu-manikam.
Berdasarkan keterangan Willem Lodewijk, salah seorang anggota kongsi
dagang Belanda yang ikut dalam rombongan Cornelis de Houtman ke Pelabuhan
Banten pada tahun 1596, di kota Banten terdapat beberapa pasar, yakni pasar
Karangantu, Pabean, dan Pacinan. Di Pasar Karangantu yang dekat pelabuhan,
terdapat berbagai bangsa yang berdagang. Para pedagang itu berasal dari Portugis,
Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu (Burma), Malaya, Bengal, Gujarat, Malabar,
Abesinia, dan dari berbagai tempat lainnya di Nusantara seperti Madura, Bugis, dan
sebagainya. Pasar Paseban adalah pasar yang menyediakan barang-barang keperluan
sehari-hari. Pasar ini terbuka dan tetap ramai dari pagi sampai malam hari. Pasar yang
ketiga Pacinan merupakan pasar temporer yang tidak setiap hari ada kegiatan
perdagangan.
Menurut keterangan John Davis, yang berkunjung ke Banda Aceh di abad,
disana terdapat tiga buah pasar untuk kegiatan transaksi dan jual beli segala macam
barang dagangan, yang dilakukan oleh berbagai bangsa. Peter Mundi mencatat dengan
rinci jenis-jenis barang diperdagangkan di sana, antara lain terdapat telur penyu.
Barang-barang dagangan yang dijajakan di pasar kota-kota besar dapat digolongkan
atas dua jenis, yakni hasil produksi dalam negeri dan impor.
Pasar tidak hanya terdapat di kota-kota, tetapi juga di berbagai tempat di desa-
desa. Adanya pasar di dalam kota-kota pusat kerajaan maupun kota-kota yang bukan
pusat kerajaan, sangatlah erat hubungannya dengan sifat corak kehidupan ekonomi
kota itu sendiri. Kota-kota pusat kesultanan dan kota-kota pelabuhan, seperti Samudra
Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Banten, Gresik, Jaratan, Japara, Surabaya, Ternate,
Banda, Gowa-Makassar, Banjarmasin, dan Palembang banyak dikunjungi pedagang-
pedagang besar-kecil dari berbagai negeri asing dan juga dari berbagai kerajaan di
Indonesia.
Hingga permulaan abad 17 di berbagai daerah Nusantara yang telah dikuasai
kerajaan-kerajaan Islam masih terdapat sistem jual beli barter atau tukar-menukar
tanpa alat pembayaran uang. Sistem barter biasanya dilakukan oleh pedagang pesisir
dengan pedagang pedalaman, juga antara pedagang kota dengan petani. Tetapi
beberapa kerajaan lain pada abad 15 dan 16 pun sudah ada yang memakai mata uang
untuk alat pembayaran baik dengan menggunakan mata uang setempat maupun mata
uang asing. Penggunaan mata uang sebagai alat pembayaran telah dilaksanakan secara
luas dalam fase pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam.
Pasar dalam perkampungan pedagang-pedagang asing maupun di pusat kota
atau di bagian lain dari kota, tidaklah lepas dari kepentingan ekonomi masyarakat
kota. Hubungan kota dan desa di sekitarnya juga tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan perekonomian karena saling bergantung. Golongan petani yang menjual
surplus hasil buminya kepada golongan pedagang merupakan faktor yang penting pula
dalam kehidupan perekonomian, dan pasar adalah tempat pertukaran barang-barang
yang mereka masing-masing perlukan.
Pada akhir abad 16 dan di awal abad 17 para pedagang Eropa turut
meramaikan kegiatan pasar di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Pedagang Eropa yang
paling awal datang di kawasan Nusantara adalah Portugis, disusul orang-orang Eropa
lainnya, seperti Inggris dan Belanda.
Kedatangan Inggris dan Belanda ke Nusantara tidak hanya datang dengan
memakai organisasi niaga, VOC (dari Kerajaan Protestan Belanda) dan EIC (dari
Kerajaan Protestan Anglikan Inggris), namun juga berusaha keras untuk mematikan
kesadaran pemasaran dengan jalan mematahkan kemampuan umat Islam dalam hal
penguasaan pasar. Baik dalam pemasaran melalui jalan niaga laut atau maritim dan
pemasaran di pasar daratan. Dengan kata lain, menciptakan hilangnya kemauan umat
Islam sebagai wirausahawan ataupun sebagai wiraniagawan.
Terutama dengan adanya upaya Barat untuk mempertahankan penjajahannya,
dengan mematahkan potensi pasar yang dikuasai umat Islam. Pemerintah kolonial
Belanda dengan cara menyebarkan “ajaran Islam” dengan melalui hadits yang
dipalsukan bahwa Allah menyukai orang-orang di masjid daripada yang di pasar.
Dampaknya secara perlahan-perlahan, patahlah budaya niaga dan kesadaran upaya
penguasaan pasar oleh kalangan pribumi.
Terjadilah kekosongan pasar dan digantikan oleh kelompok Bangsa Timur
Asing: Cina, India, dan Arab. Diciptakan kebijakan yang bersifat diskriminasi rasial,
kalangan Bangsa Timur Asing tersebut di mata penjajah menjadi warga negara kelas
dua. Dengan disertai pemberian kewenangan memegang monopoli. Sebaliknya,
pribumi Islam menjadi warga negara kelas tiga. Pasarnya disita, serta kekuasaan
ekonominya dipatahkan, pribumi Islam menjadi sangat terbelakang.
Tujuan kolonial Belanda tersebut melalui kongsi dagangnya, VOC, dengan
sendirinya membangkitkan perlawanan pedagang pribumi yang merasa langsung
terancam kepentingannya. Sikap bermusuhan bertambah kuat karena kehadiran
Belanda mendorong umat Islam lebih memperkokoh persatuan untuk menghadapinya.
Terlebih lagi sistem monopoli perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional
yang telah berlaku.
3. Kondisi Pendidikan Umat Islam Indonesia
Tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Nusantara Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari sebab timbulnya kekuasaan politik Islam di luar Indonesia. Timbulnya
kekuasaan politik Islam yang dibangun oleh Kaisar Dinasti Genghis Khan besar
pengaruhnya terhadap Nusantara Indonesia, yang mendorong meluasnya kekuasaan
politik Islam dan pertumbuhan Masjid, pesantren serta pasar di dalam dan luar Pulau
Jawa.
Fungsi pesantren pada saat itu tidak hanya sebagai arena melahirkan ulama.
Namun, pesantren juga sebagai kancah pembinaan pemimpin bangsa. Para putra
Sultan dari Kesultanan Ternate, Tidore, dan Maluku pada umumnya, dipesantrenkan
kepada Waliyullah Sunan Ampel Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Oleh karena itu,
tidak heran jika kehadiran pesantren dengan santri yang datang dari berbagai suku dan
etnis, tetapi menghilangkan pandangan yang etnosentrisme, menjadikan Islam sebagai
wawasan dasar nasionalisme.
Dari survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang diadakan
pada tahun 1819 terkesan bahwa pesantren sebenarnya belum ada pada waktu itu di
seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat
di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di
daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal
yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.
Pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah pesantren
Tegalsari, di Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono
II pada tahun 1742 sebagai tanda terima kasih kepada Kyai Hasan Besari. Paku
Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk santri.
Sungguhpun tidak ada bukti yang jelas adanya pesantren sebelum berdirinya
pesantren Tegalsari, tidak berarti tidak ada santri yang tinggal sekian lama di tempat
guru untuk memperdalam agama Islam waktu itu. Zainal Abidin, raja Ternate pertama
yang beragama Islam dikabarkan belajar agama Islam di Giri, mungkin dengan Prabu
Satmata, yang disebut sebagai raja-ulama pertama di Giri.
Selain itu, sejak dibukanya terusan Suez pada 1869, setiap tahun ribuan kaum
muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak sedikit dari mereka itu
yang membawa ajaran ortodoks setelah naik haji atau sekian lama bermukim di tanah
suci. Dan semakin penting lagi di Indonesia, sebagaimana di mana-mana di dunia
Islam, penganjur-penganjur Islam yang ortodoks cenderung untuk berbenturan dengan
para penguasa sekuler.
Adapun pada masa kesultanan Aceh telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan
yang bidang tugasnya meliputi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sudah
semenjak berabad-abad yang lampau sebelum kesultanan Aceh, Aceh sudah tidak
mengenal lagi buta huruf, seperti yang diakui orang Perancis, Beaulieu, yang pernah
berkunjung ke Aceh di abad ke-17. Sultan Iskandar Muda mempunyai minat yang
sangat besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk itu banyaklah
dayah-dayah (pesantren-pesantren) yang didirikannya.
Sejak kedatangan para imperialis dengan tujuan yang ingin
membumihanguskan ajaran Islam dan diganti dengan agama para imperialis, para
ulama mulai mendidik dan merekrut para santri dan masyarakat untuk memiliki moral
dan semangat berjihad membela agama, bangsa dan negara.
Penjajah Barat mencoba mengembangkan ajaran agama Katolik dan Protestan
melalui pengembangan imperialisme. Untuk kepentingan ini, penjajah Kerajaan
Protestan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda melakukan upaya nista, yakni
mematahkan gerakan pendidikan yang berupaya mencerdaskan anak bangsa atau
umat Islam yang diusahakan oleh ulama.
Dari berbagai kebijakan politik penjajah, dapat dibaca melalui upaya
mengkondisikan pribumi sebagai bangsa terjajah tetap bodoh. Dengan target
hilangnya kesadaran sebagai bangsa yang miskin dan bodoh serta terjajah menjadi
merasa tidak perlu melakukan perlawanan terhadap penjajah karena kebodohannya
menjadikan penderitanya, tidak menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohannya
sebagai produk strategi penjajah.
Pemerintah kolonial Belanda hanya memberikan fasilitas pendidikan untuk
kalangan anak bangsawan dan anak raja serta anak Eropa. Tidak lupa diberikan
fasilitas diskriminatif untuk Cina dan Ambon. Pesantren dijadikan target serangannya,
ruthless operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kiai atau ulamanya
digantung. Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar atau dirusakkan. Santri-
santrinya ditangkap dan dibuang jauh dari wilayah aslinya.
Sedangkan kiai ortodoks yang terlatih di Makkah membangun pesantren yang
semakin menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar. Malah jauh lebih penting dari
itu, gelombang ortodoksi terbaru mengubah setiap pesantren, sekurang-kurangnya
secara potensial menjadi pusat sentimen anti-Belanda.
Latar belakang sejarah ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat
pembelajaran Islam, menjadi sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama
sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya
tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa, dan merebut
kembali kemerdekaan, terutama berjuang menegakkan agama dan hukum Islam di
seluruh Nusantara Indonesia agar terbebas dari penindasan Kristenisasi dari
imperialisme Katolik atau imperialisme Protestan yang akan menggantikan hukum
Islam dengan hukum Barat.
Prahara imperialis Barat ini dijawab umat Islam Indonesia sesuai dengan
tantangannya. Dijawab oleh Ulama dan Santri dengan masyarakat pesantrennya,
bersama para Sultan dengan kekuasaan politik Islam. Kerjasama tersebut melancarkan
perlawanan bersenjata di darat dan di laut. Walaupun menggunakan senjata yang tidak
sebanding dengan senjata yang dimiliki oleh imperialis Barat.
Ancaman yang lebih besar lagi adalah pemberontakan-pemberontakan yang
sungguh-sungguh dan tersebar luas, kebanyakan dilancarkan sebagai “Perang Sabil”
atas nama Islam, selama abad ke-19, yang menyaksikan proses konsolidasi
pemerintahan Belanda di Jawa dan Sumatra. Demikianlah yang terjadi dalam perang
Banten di pertengahan abad ke-18, yang disebut perang Cirebon (1802-1806)
melawan Belanda di bawah panji Islam. Di Sumatra, orang-orang Belanda turut
campur di dalam perang Padri (1821-1838) di pihak kepala-kepala adat Minangkabau
melawan para ulama yang perkasa.
Setidaknya ada tiga kali peperangan besar lainnya yang melibatkan para
Ulama dan santri serta para Sultan dengan kekuasaan politiknya, seperti perang
Makassar (1660-1669), perang Diponegoro (1825- 1830), dan perang Aceh (1873-
1912) yang merupakan perang santri terlama sehingga Belanda menghadapi
peperangan tersebut sampai akhir kekuasaanya.
Belanda memperoleh kesulitan yang sangat besar dengan Islam di Kesultanan
Aceh di Sumatra; untuk jangka waktu panjang Aceh merupakan daerah ortodoks
Islam di wilayah Indonesia yang paling tegar, di mana perang yang ganas dan
berkepanjangan berlangsung antara tahun 1873 sampai 1912. Pemerintah Belanda pun
tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam memang banyak
dimotori oleh para haji dan ulama.
Kemudian seiring perjalanan waktu para ulama menyadari bahwa perjuangan
mereka tidak akan berhasil kalau melanjutkan cara-cara tradisional. Oleh karena itu
perlu diadakan perubahan yang walaupun berasal dari pengaruh kolonial sendiri, yaitu
berjuang melalui organisasi-organisasi, baik bidang sosial pendidikan ataupun di
bidang pergerakan politik.
Hingga pada pertengahan abad ke-19, Umat Muslim di wilayah Indonesia dan
Melayu belum merupakan bagian dari kesatuan imperium dan budaya, melainkan
mereka terbagi dalam berbagai etnik dan bahasa, dan sejumlah negara. Baru pada
akhir abad ke-19 dominasi Belanda dan Inggris mengantarkan pada transformasi
besar-besaran dalam kehidupan politik dan ekonomi, dan memancing reaksi
kelompok nasionalis dan Muslim untuk menentang campur tangan bangsa asing.
Ulama tradisional dan guru-guru Sufi, mantan elite politik, kelompok administrator
dan intelektual baru Indonesia, reformer Muslim, dan para pemuka militer radikal
bangkit untuk menuntut masa depan masyarakat Indonesia dan Melayu. Gerakan
nasionalis sekuler, komunis, tradisionalis Islam, dan gerakan reformis Islam bangkit
menentang pemerintahan kolonial, dalam pergolakan untuk merumuskan bentuk
masyarakat Indonesia-Melayu abad ke-20.

B. Kondisi Umat Islam pada Masa Penjajahan Jepang


Indonesia yang berpenduduk majemuk ini terdiri dari beberapa suku, agama, dan
budaya. Ternyata tidak mempersoalkan kemajemukan ini, karena mempunyai
kungkungan penjajah asing. Keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia yang
mengelompokkan diri pada berbagai komunitas yang berbeda-beda seperti yang
digambarkan terdahulu menjadi sadar akan kebutuhan kemerdekaan dan kedaulatan
sendiri. Oleh karena itu perbedaan diantara kelompok-kelompok yang ada, kelihatannya
dikesampingkan buat sementara untuk memperjuangkan tujuan yang besar yakni
kemerdekaan Indonesia. Mereka ini menyatukan potensi, baik yang berpaham nasional
maupun yang berpaham Islamis, serta yang berpaham sosial Komunis.
Kondisi umat Islam berada pada tahap perjuangan memerdekakan bangsanya dari
penjajah Jepang sehingga suku, golongan, dan agama tidak jadi persoalan demi
kemerdekaan nusantara yang mereka cintai, sehingga timbul persatuan diantara
masyarakat yang majemuk. Kondisi ini hampir terjadi di setiap pulau di nusantara bahwa
yang menjadi fokus perhatian umat Islam adalah terbebas dari seluruh bentuk
kolonialisme.
Memasuki dekade keempat pertengahan pertama abad ke-20 M, ulama dan santri
dihadapkan lawan atau tantangan yang mirip dengan lawan pada masa Rasulullah Saw.
Pada masa itu, umat Islam tertindas oleh kekaisaran Roma di Barat dan kekaisaran Persia
di Timur. Keduanya merupakan common enemy (musuh yang sama) umat Islam pada
masa Rasulullah Saw. Demikian pula perkembangan sejarah ulama dan santri di
Indonesia, dihadapkan melawan Imperialis Barat, Kerajaan protestan Belanda. Kemudian
menyusul hadirnya Imperialis Timur, kerajaan Shinto di Jepang.
Jepang, memperhatikan dan mengamati umat Islam dalam segala bidang, demi
suksesnya misi yang dicita-citakan. Jepang melihat umat Islam sangat dibutuhkan dalam
rana politik kekuasaan sehingga mereka membungkus politik dalam bentuk kerjasama.
Jepang tertarik dengan potensi para tokoh-tokoh agama dan nasionalis yang memiliki
kemampuan dalam memobilisasi rakyat, sehingga mereka tetap dipelihara oleh Jepang.
Kini pihak Jepang mencoba mengembangkan para guru Islam tradisional pedesaan
sebagai mata rantai utama mereka dengan rakyat Jawa. Terdapat banyak kesulitan antara
pihak Jepang dan para pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dan
kaum Islam modernis di kota-kota. Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap
sikap membungkuk sebagai penghormatan kepada Kaisar di Tokyo yang bertentangan
dengan kewajiban seorang Muslim untuk bersembahyang menghadap ke Mekah dan
tunduk hanya kepada Tuhan. Akhirnya pihak Jepang sepakat tentang tidak perlunya
membungkukkan badan kepada Kaisar pada upacara-upacara keagamaan. Sementara
para politikus Islam modernis di kota-kota dan pihak Jepang saling merasa kecewa, para
Kyai wilayah pedesaan Jawa yang lebih sederhana tampak lebih menyetujui akan
rencana-rencana pihak Jepang. Kombinasi disiplin fisik, militer, dan rohani orang-orang
Jepang menyentuh perasaan yang responsif dikalangan masyarakat pesantren.
Pengalaman tertindas dalam masa yang panjang ketika menghadapi kebuasan
imperialisme Protestan Belanda, telah mengukuhkan tekad ulama dan santri, dan berhasil
merumuskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu, penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan
prikeadilan.
Keadaan umat Islam masa pendudukan jepang, lebih memiliki posisi tawar
dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda, walaupun di daerah yang lain tetap ada
masyarakat kecil yang disiksa dalam sistem tanam paksa namun para intelektual Muslim
memiliki posisi jual yang tinggi sehingga bangsa Jepang memiliki perhitungan dan
pertimbangan tersendiri dalam melunakkan pejuang kemerdekaan itu untuk diajak kerja
sama dalam bidang kekuasaan. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki tekad untuk
memerdekakan negeri, maka pihak jepang tidak mampu mensugesti untuk berkhianat
terhadap negerinya sendiri.
C. Perlawanan terhadap penjajah
1. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai didirikan pada tahun 1267 oleh Nizamuddin Al
Kamil, seorang pimpinan angkatan laut dari Mesir. Kerajaan yang berpusat di pesisir
pantai utara Sumatera dekat Lhokseumawe ini didirikan untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah, terutama lada.
Setelah Nizamuddin Al Kamil wafat, kerajaan ini telah beberapa kali dipimpin
oleh raja-raja yang juga memberikan pengaruhnya terhadap kerajaan dan masyarakat
sekitar. Di antara raja-raja pernah memimpin, ada beberapa raja yang perannya cukup
besar hingga membuat Kerajaan Samudera Pasai mengalami masa kejayaan.
1) Sultan Malik Al-Saleh (1267-1297)
Pada tahun 1267, Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Meurah Silu
dengan gelar Sultan Malik Al-Saleh. Di masa pemerintahannya,
Kerajaan Samudera Pasai berhasil menguasai Selat Malaka yang pada
saat itu menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai
salah satu komoditas ekspor utamanya. Selain lada, Kerajaan
Samudera Pasai juga mengekspor sutra dan kapur barus.

2) Sultan Muhammad Az-Zahir (1297-1326)


Setelah Sultan Malik Al-Saleh wafat pada tahun 1297, kepemimpinan
Kerajaan Samudera Pasai dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Sultan
Muhammad Malik Az-Zahir. Sang raja baru ini untuk pertama kalinya
memperkenalkan koin emas atau dirham sebagai mata uang. Mata uang
dirham secara resmi digunakan dalam perdagangan di Kerajaan
Samudera Pasai pada tahun 1297. Mata uang ini berupa kepingan emas
yang memiliki diameter 10 mm dan berat sekitar 0,6 gram. Sisi atas
bertuliskan Muhammad Malik Al-Zahir dan sisi bawah bertuliskan Al-
Sultan al-adil yang artinya sultan harus memberi keadilan terhadap
masyarakat.

3) Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326-1345)


Pada tahun 1326, tahta kerajaan diteruskan oleh Sultan Mahmud Malik
Az-Zahir. Di masa pemerintahannya, Kerajaan Samudera Pasai
terkenal sebagai kerajaan dagang yang maju. Di tempat ini, banyak
dijumpai pedagang dari India dan Cina yang membeli rempah-rempah,
terutama lada. Selain itu, di Kerajaan Samudera Pasai terdapat
beberapa jenis barang dari Cina yang dapat dibeli pedagang tanpa
harus berlayar ke Cina.
Tidak selamanya kerajaan mengalami kejayaan, pasti ada masanya ia akan runtuh.
Sama halnya seperti Kerajaan Samudera Pasai. Pada tahun 1521 di bawah pimpinan Sultan
Zain Al-Abidin, Portugis menyerang kerajaan ini karena iri dengan kemajuan dagang mereka
yang begitu pesat. Angkatan perang Portugis yang lebih kuat, akhirnya mereka berhasil
menaklukkan Kerajaan Samudera Pasai.
Keadaan kerajaan yang melemah ini, kemudian dimanfaatkan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah, raja Kerajaan Aceh Darussalam untuk mengambil alih Kerajaan Samudera
Pasai. Pada tahun 1524, akhirnya Kerajaan Samudra Pasai dimasukkan ke dalam wilayah
Kerajaan Aceh Darussalam. Hal tersebut dibuktikan dengan dipindahkan Lonceng Cakra
Donya milik Kerajaan Samudera Pasai ke Kerajaan Aceh Darussalam.

2. Kerajaan Aceh
Sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis sudah terjadi sejak abad ke-
14 Masehi. Kronologi awalnya, kala itu Aceh menjadi tujuan perdagangan ketika
Portugis menguasai Malaka pada 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque.
Portugis merupakan salah satu bangsa Eropa, selain Spanyol, pertama yang
melakukan penjelajahan samudera dengan misi 3G, yakni Gold (kekayaan), Glory
(kejayaan), dan Gospel (penyebaran agama). Di wilayah-wilayah yang dikunjunginya,
termasuk Malaka dan Aceh, Portugis berniat melakukan penaklukkan dan menguasai
perdagangan rempah-rempah yang merupakan komoditas mahal di Eropa.
Bumi Serambi Mekkah yang kala itu merupakan wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki bandar perdagangan yang ramai, bahkan
bersaing dengan Malaka.
Portugis menganggap Kesultanan Aceh Darussalam sebagai ancaman terhadap
posisi mereka di Malaka. Maka, pada 1523 Portugis menyerang Aceh. Dikutip dari
buku Perlawanan Tokoh-tokoh Masyarakat Aceh Terhadap Rezim Kolonial Belanda
(2002), serangan tersebut dapat dipatahkan.
Selama bertahun-tahun lamanya, Portugis menjadi musuh Kesultanan Aceh
Darussalam yang saat itu dipimpin Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Penyebab
terjadinya perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis adalah sebagai berikut:
a. Ambisi Portugis yang ingin memonopoli perdagangan di wilayah Aceh.
b. Portugis melarang orang-orang Aceh berlayar untuk berdagang melewati Laut
Merah.
c. Penangkapan kapal-kapal Aceh oleh Portugis.
d. Portugis memburu kapal-kapak dagang Aceh di Laut Merah pada 1524-1525.
Beberapa kapal Aceh tersebut ditangkap Portugis dan semakin memicu
kemarahan rakyat Aceh.
Sebagai upaya pertahanan diri kapal-kapal dagang Aceh, dikutip dari buku
Sejarah Indonesia Kelas XI (2014), berikut ini langkah-langkah yang dilakukan:
- Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan seperti
meriam dan menempatkan prajurit untuk pengawalan.
- Mendatangkan bantuan persenjataan, tentara, dan tenaga-tenaga ahli
dari Turki.
- Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut (India) dan Jepara.
Pada 1568, pasukan Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Portugis di Malaka
pada. Namun, serangan ini gagal lantaran kekutan militer Portugis lebih tangguh. Setahun
kemudian, gantian Portugis menyerang Aceh namun dapat digagalkan pasukan Aceh.
Kesultanan Aceh Darussalam beserta rakyatnya terus melakukan perlawanan kepada
Portugis yang memonopoli perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Kronologi
Perlawanan di Era Sultan Iskandar Muda Rakyat Aceh kembali menyerang Portugis pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Serangan di tahun 1629 itu mampu
membuat Portugis di Malaka kewalahan.
Kesultanan Aceh Darussalam mempersiapkan armada laut yang memiliki kapasitas
mengangkut prajurit sampai 800 orang. Armada Kesultanan Aceh merapat di Sumatera Timur
dan Sumatera Barat saat melakukan serangan ke Malaka. Kendati semua kekuatan telah
dilancarkan, namun serangan ini belum mampu mengusir Portugis.
Aceh tidak hanya melakukan serangan fisik. Sultan Iskandar Muda juga melakukan
blokade perdagangan agar kekuatan Portugis di Malaka goyah karena ketiadaan barang yang
bisa dibawa ke Eropa. Hanya saja, rencana ini terkendala dengan adanya beberapa raja kecil
yang tetap berdagang dengan Portugis. Mereka melakukan itu dengan diam-diam karena
memerlukan uang. Lantaran kebijakan blokade tidak berhasil sepenuhnya, maka Kesultanan
Aceh Darussalam melakukan langkah-langkah lanjutan, yakni: Aceh menjalin hubungan
dengan Turki, Persia, dan Gujarat (India). Aceh memperoleh bantuan yaitu kapal, prajurit,
dan makanan dari komunitas muslim di Jawa. Kapal-kapal dagang Aceh dilengkapi
persenjataan yang memadai dan prajurit tangguh. Meningkatkan kerja sama dengan
Kesultanan Demak di Jawa dan Kesultanan Gowa di Makassar. Sebenarnya tidak ada
pemenang dalam pertikaian antara Aceh kontra Portugis. Pada 1641, kekuasaan Portugis di
Malaka melemah seiring kehadiran VOC dari Belanda yang kemudian merebut wilayah itu.

3. Demak
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa
yang berdiri sekitar tahun 1478 M. Raja pertama Kerajaan Demak adalah Raden Patah
yang berkuasa sejak 1478 hingga 1518. Di bawah pemerintahan Raden Patah,
Kerajaan Demak banyak mengalami perkembangan di berbagai bidang, seperti
perluasan dan pertahanan kerajaan sekaligus pengembang Islam.
Namun, selain itu, terjadi pula perlawanan Kerajaan Demak terhadap Portugis
ketika Raden Patah masih berkuasa. Latar belakang perlawanan Demak terhadap
Portugis disebabkan oleh kerugian yang diterima Kesultanan Demak karena aktivitas
perdagangannya dengan para saudagar Muslim di wilayah Malaka terganggu oleh
Portugis.
Pada akhir abad ke-15, Portugis tengah mencari kepulauan rempah-rempah
karena merupakan komoditas dengan nilai termahal di Eropa. Portugis memulai
pelayarannya pada 1487 yang dipimpin oleh Bartolomeu Dias. Dia mengitari Tanjung
Harapan di Afrika dan masuk ke Samudera Hindia.
Setelah itu, pada 1497, pelayaran Vasco da Gama sampai di India, tetapi
barang dagangan Portugis mengalami kalah saing dengan barang dagangan dari Asia.
Lebih lanjut, Portugis mengetahui bahwa kepulauan rempah-rempah terletak di
Malaka sehingga mereka mulai berlayar ke sana pada April 1511.
Di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque, mereka berlayar dari Goa ke
Malaka dengan membawa 1.200 prajurit dan 18 kapal. Sesampainya di Malaka,
pertempuran pun berlangsung sepanjang Juli hingga awal Agustus. Pada saat itu,
Malaka tengah menghadapi krisis kepemimpinan, di mana Sultan Mahmud sedang
berkonflik dengan putranya, Sultan Ahmad. Portugis kemudian memanfaatkan
kesempatan itu untuk merebut kekuasaan Malaka dan berhasil.
Selama berada di Malaka, Portugis tidak hanya menjadi penghalang
Kesultanan Demak. Mereka juga membuat Kerajaan Demak mengalami kerugian
berat karena aktivitas perdagangan mereka dengan para saudagar Muslim terganggu.
Di samping itu, Portugis juga menyebarkan ajaran agama Katolik yang kemudian
dianggap sebagai penghalang berkembangnya Islam di Indonesia. Berbekal kondisi
itu, Kesultanan Demak memutuskan untuk menyerang Portugis dengan mengirim
armadanya ke Malaka. Tidak hanya di Malaka, Kesultanan Demak juga melakukan
perlawanan terhadap Portugis yang akan mendirikan loji di Sunda Kelapa. Raden
Patah mengirim Pati Unus sebagai pemimpin perlawanan Kesultanan Demak terhadap
Portugis. Serangan pun dilakukan pada 1513 dengan menggunakan kekuatan 100
kapal dan 5.000 pasukan dari Jawa. Sayangnya, Pati Unus gugur di medan
pertempuran dan kepemimpinannya digantikan oleh Fatahillah. Fatahillah berhasil
merebut Sunda Kelapa yang kemudian mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Peristiwa ini yang kemudian menjadi akhir perlawanan Demak terhadap Portugis.

4. Pajang
Sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya
berkuasa selama 15 tahun. Selama memerintah, ia berhasil mengantarkan Pajang
mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang mencapai Madiun,
Blora, dan Kediri.
Selain itu, Pajang adalah kerajaan bersifat agraris yang mengalami kemajuan
pesat di bidang pertanian. Hal ini didukung oleh letaknya yang berada di dataran
rendah yang mempertemukan Sungai Pepe dan Dengkeng, sehingga menjadi lumbung
beras utama di Pulau Jawa.
Pada 1582 M, meletus perang Pajang dan Mataram. Riwayat Kerajaan Pajang
benar-benar berakhir pada 1618 saat dihancurkan oleh pasukan Mataram yang
dipimpin Sultan Agung.

5. Mataram Islam
Sultan Agung adalah sebutan yang berarti raja besar yang sangat berkuasa. Ia
memerintah sejak tahun 1613 hingga 1645. Berkat pemerintahan Sultan Agung,
kerajaan Mataram dapat menjadi kerajaan yang paling berkuasa di pulau Jawa,
terkhusus Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia juga memperluas wilayah ke Sukadana,
Kalimantan dan Cirebon, Jawa Barat.
Saat ingin menguasai Banten, Sultan Agung ditantang oleh pihak Belanda
yang datang dan singgah lebih awal di Banten. Akhirnya terjadi bentrokan di antara
kerajaan Mataram dan Belanda. Maka kerajaan Mataram harus berhasil mengalahkan
Belanda terlebih dahulu agar dapat menguasai Banten. Adapun pusat kekuasaan
Belanda terletak di Batavia.
Kerajaan Mataram kemudian menjatuhkan serangan ke Batavia sebanyak dua
kali. Serangan pertama dilakukan pada 1628, tetapi hasilnya gagal. Kemudian disusul
dengan serangan kedua pada 1629. Lagi-lagi hasilnya gagal dikarenakan persenjataan
Belanda yang sangat luar biasa.
Namun Sultan Agung tidak patah semangat untuk mengalahkan Belanda. Ia
melakukan berbagai upaya, seperti membangun jalan-jalan antara Mataram dan
Batavia. Sultan Agung juga bekerja sama dengan Portugis dan Inggris untuk
mengalahkan Belanda. Namun cita-citanya tidak tercapai karena Sultan Agung wafat
pada 1645.

6. Cirebon
Perlawanan perang Cirebon melawan Belanda memuncak sejak zaman Sultan
Matangaji. Saat itu, Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun
pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang
didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda
Kerep.
Saat itu, para santri selain memperdalam ilmu Islam, juga dilatih silat untuk
kepentingan melawan penjajahan. Jajaran Kuwu dan bawahan dan rakyatnya juga
membentuk pemberontakan di seluruh desa di Cirebon.
Saat itu, Sultan Tajul Asikin Amirzena mengawali perlawanan terhadap
Belanda. Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan
Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.
Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh
Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin
(Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).
Sultan Amir Siddiq secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan
pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat
latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.
Namun, di tengah membangun kekuatan melawan Belanda, pembangunan
kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda, tak lama kemudian Belanda
menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.
Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya
menggelar perundingan kembali. Namun, ketika perundingan yang dimediasi oleh
pengurus kuda istana bernama Ki Muda (adik ipar Sultan Matangaji) terjadi, Sultan
Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin
oleh Sultan Matangaji.
Kendati dihabisi, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan
Matangaji. Sehingga Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji.
Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri.
Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum
Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta
petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan.
Kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang
perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus
Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus
Serit (Pangeran Syakroni). Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan
Susukan pada April sampai September tahun 1818.

7. Banten
Belanda kali pertama datang ke Indonesia pada 1596, di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman, tepatnya di Banten, Jawa Barat. Namun, kala itu, Belanda
langsung diusir oleh penduduk pesisir Banten karena mereka dianggap kasar dan
sombong. Ketidaksukaan rakyat Banten terhadap Belanda berlanjut hingga 1656. Kala
itu, Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 1656, rakyat Banten melakukan perlawanan terhadap Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda.

 Perlawanan Banten terhadap VOC


Pada masa kolonial, Banten merupakan salah satu kesultanan yang sangat
maju sehingga banyak menarik pedagang untuk singgah di sana, salah satunya
Belanda. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa sekitar tahun 1650-an,
Banten mulai mengalami perkembangan pesat dan menjadi daerah yang populer.
Kondisi ini kemudian membuat VOC tertarik untuk memonopoli perdagangan di
kawasan pesisir Jawa, termasuk Banten. Untuk bisa mengambil alih wilayah Banten,
VOC melakukan Devide et Impera atau Politik Adu Domba. VOC menghasut putra
mahkota Sultan Haji untuk merebut kekuasaan sang ayah, Sultan Ageng Tirtayasa.
Kala itu, Sultan Haji sedang tidak akur dengan sang ayah.

8. Makassar
HUT Kota Makassar didasarkan pada masuknya Islam pada di awal abad ke-
17. Di abad ini, sejumlah peristiwa sejarah terjadi. Tidak hanya proses masuknya
Islam tetapi juga perlawanan rakyat Makassar dalam melawan penjajah, khususnya
VOC yang ingin mengambil alih kekuatan perdagangan Kerajaan Makassar.
Kemasyhuran Kota Makassar sebagai pusat perdagangan kala itu tidak
terlepas dari strategi dan berbagai upaya yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa.
Ekonomi yang tumbuh subur di Kota Makassar menjadikan kota ini menjadi sasaran
bagi bangsa asing seperti Portugis dan Belanda untuk melakukan perniagaan.
Dikutip dari jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya berjudul
"Perlawanan Sultan Hasanuddin Terhadap VOC 1660-1669 M yang terbit tahun
2022" disebutkan bahwa mulanya Belanda datang ke Kota Makassar untuk berdagang
setelah mendapat persetujuan dari Raja Gowa ke XIV I Mangarrangi Daeng Manrabia
Sultan Alauddin. Kedatangan Belanda saat itu disetujui dengan satu syarat, yakni
hanya untuk berdagang.
Syarat ini diberikan karena Raja Gowa mengetahui bahwa Belanda adalah
musuh besar orang Portugis yang terlebih dahulu datang ke Makassar untuk
berdagang. Namun, setelah berhasil berdagang di Makassar, Belanda justru semakin
berambisi untuk menguasai perdagangan di Makassar. Mereka menganggap para
pedagang Eropa lainnya sebagai saingan dan tidak ingin jika mereka berkeliaran di
Makassar.
Belanda bahkan memonopoli perdagangan di wilayah Timur Indonesia.
Setelah mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Maluku, Belanda juga menghalau
perahu-perahu dagang Makassar di dekat perairan Ambon agar dapat memonopoli
perdagangan rempah-rempah. Selain itu, VOC juga mendesak Raja I Mangarrangi
Daeng Manrabia Sultan Alauddin untuk tidak lagi menjual beras kepada bangsa
Portugis di Malaka. Karena tuntutannya tak diindahkan oleh Raja Gowa, VOC pun
merasa murka, sejak saat itu berbagai pertempuran antara VOC dengan Kerajaan
Gowa terus terjadi.
Pertempuran VOC dengan Kerajaan Gowa terus berlangsung hingga masa
kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang diangkat menjadi Raja Gowa pada tahun
1653. Saat memimpin Kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin tetap menjalankan serta
melanjutkan kebijaksanaan pendahulunya yakni Sultan Alaudin dan almarhum
ayahnya Sultan Malikussaid, untuk tidak mengakui hak monopoli perdagangan VOC.
Hal ini membuat hubungan antara Kerajaan Gowa dan VOC semakin
memanas. VOC yang menganggap Kerajaan Gowa sebagai musuh yang sangat
berbahaya dan terus berusaha menghancurkannya.
Ancaman VOC bagi wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa yang semakin kuat
mau tidak mau memaksa rakyat pribumi untuk ikut melakukan perlawanan.
Sepanjang tahun 1660-1670, berbagai perlawanan terhadap VOC dilakukan oleh
Sultan Hasanuddin bersama rakyat Makassar (Gowa-Tallo).

9. Ternate dan Tidore


Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Papua terdapat dua kerajaan,
yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau
Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau
Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di
Kepulauan Maluku dan Papua.
Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi
persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki
benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605). Belanda
yang tampa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang,
seperti berikut ini.
1) Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi
(rempahrempah) kepada VOC (contingenten).

2) Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika


harga rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman
kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran
naik/meningkat.
3) Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yakni sistem perondaan yang
dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan
gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku.

Tindakan-tindakan penindasan tersebut jelas membuat rakyat hidup terkenan


dan menderita. Sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata
melawan VOC. Pada tahun 1635–1646 rakyat di Kepulauan Hitu bangkit
melawan VOC di bawah pimpinan Kakiali dan dilanjutkan oleh Telukabesi.
Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi melakukan perlawanan
terhadap VOC. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku, dan
Saparua juga terjadi perlawanan rakyat, tetapi semua perlawanan berhasil
dipadamkan oleh VOC.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar, tetapi pada akhir
abad ke-18 muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan
VOC di Maluku. Jika melawan Portugis Kasultanan dan rakyat Ternate yanga
memegang peranan penting maka untuk melawan VOCsebaliknya, kasultanan
dan rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit
melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku.

Selanjutnya, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore.


Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat
menentang VOC, maka mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali
di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru muncul pada
permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura.

D. PERAN UMAT ISLAM DALAM PERSIAPAN KEMERDEKAAN


Umat Islam turut terjun dalam medan pertempuran guna berjuang melawan
penjajah yang sudah merampas kedaulatan rakyat Indonesia. Ketika kaum penjajah
datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan saat itu sudah
berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain.
Jauh sebelum mereka datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas
bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah
saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda :" Allah
telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula warna yang sangat
indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih ". Begitu juga dengan bahasa
Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama
menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa
jurnalistik.
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah
air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan
semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan,
termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh
ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat)
tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru
Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M
Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga
sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. la
seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah.
Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah)
kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah
terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya
dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah
omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy
atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan
penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang
muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika
para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang
mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda
dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan
dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan
dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya.
Para da'i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam
kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar
menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17
ُ‫َو َما َعلَ ْينَآ اِاَّل ْالبَ ٰل ُغ ْال ُمبِيْن‬
Artinya: Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan
jelas".

Anda mungkin juga menyukai