Anda di halaman 1dari 5

MISKIN PENDUDUKNYA, TETAPI BANYAK OBESITAS

Oleh Dr. Arifasno Napu, SSiT, M.Kes*

Salam Gizi!!! “Sehat Melalui Makanan”


Selamat Hari Kesehatan Nasional ke 58, 12 Nopember 2022:
“Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku”
Umumnya, kelebihan berat badan (BB) diidentikkan dengan orang yang mapan ekonominya.
Sementara orang kurang gizi seperti pendek digolongkan miskin. Menariknya saat ini, tidak
sedikit yang terkategori sebagai penduduk miskin namun gemuk dan obesitas berarti jumlah
makanan yang dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhannya. Ini sebagai bukti
bahwa cukup lebar celah-celah kritis yang tidak tersentuh oleh intervensi yang berkelanjutan.
Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan yang tidak dapat
diperbaharui tetapi tidak lepas dari masalah kurang gizi maupun kelebihan gizi. Sebaliknya,
terdapat daerah miskin, tetap saja prosentasi penduduk yang kurang gizinya adalah tinggi dan
bahkan kelebihan gizi pun tinggi. Ini ditunjukkan oleh data pendek atau stunting dan kelebihan
BB, yang hampir setiap daerah adalah tidak jauh berbeda seperti di Gorontalo, (Riskesdas 2018).
Kemiskinan di Gorontalo Tahun 2018 ada 16,81% artinya dari 100 orang ternyata yang
masuk kategori miskin ada 16-17 orang (Angka Kemiskinan Provinsi Gorontalo 2018). Tentunya
bila miskin tidak lepas dari keadaan status gizi kurang diantaranya dapat ditunjukkan
berdasarkan panjang badan atau tinggi badan menurut umur (TB/U). Lihat tabel 1.
Tabel 1.
Pendek dan Sangat Pendek
Di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Riskesdas Tahun 2018

Balita (TB/U) 5-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun


(TB/U) (TB/U) (TB/U)
Sangat Pendek Sangat Pendek Sangat Pendek Sangat Pendek
Pendek Pendek Pendek Pendek
12,71 19,79 5,72 19,93 9,32 20,78 5,89 33,65
32,5 25,65 30,1 39,54

Tabel 1 menunjukkan bahwa anak balita yang pendek ada 32,5%. Sementara pada umur 5-12
tahun mengalami penurunan prevalensinya menjadi 25,65%. Penurunan ini bisa saja karena
dilakukannya intervensi oleh pemerintah atau lini yang terkait. Namun begitu anak umur 13-15
tahun prevalensinya naik lagi yakni menjadi 30,1%. Oleh karena itu ketika anak umur 16-18
tahun dengan terbatasnya intervensi maka bisa menyebabkan naik lagi perevalensinya menjadi
39,54%. Apakah ini dapat menjadi dasar analisis tentang seberapa berhasilnya intervensi yang
dilakukan sejak balita sampai 18 tahun tersebut? Bisakah dikatakan bahwa intervensinya
berkurang atau bahkan tidak memadai maka terjadilah peningkatan kasus pendek dimaksud yang
prevalensinya hampir sama antara masa balita sampai umur 18 tahun? Namun penting juga
menjadi pertimbangan yang tepat bahwa ketika terlambat mengitervensi kasus pendek maka
sangat sulit untuk mencapai tinggi badan yang diharapkan apalagi pendek tersebut memang
terkait dengan faktor keturunan seseorang. Pendek karena faktor keturunan agar diidentifikasi
sehingga permasalahan gizi berdasarkan indikator TB/U adalah menjadi koreksi utama.
Tabel 2.
Gemuk dan Obesitas
Di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Riskesdas Tahun 2018
Balita 5-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun > 18 Tahun
Gemuk (BB/TB) (IMT/U) (IMT/U) (IMT/U)

Gemuk Obes Gemuk Obes Gemuk Obes Gemuk Obes

3,91 7,51 6,26 8,08 4,23 8,55 3,82 14,87 24,35

13,77 12,31 12,37 39,12

Keadaan miskin di Gorontalo malah memberikan dampak yang sangat ironis yakni
tingginya prevalensi gemuk dan obesitas. Tabel 2 menunjukkan bahwa berawal dari balita yang
gemuk yang hanya berjumlah 3,91%. Tetapi pada umur 5-12 tahun prevalensi kelebihan BB
meningkat hampir 4 kali dari masa balita yakni menjadi 13,77%. Pada kelompok umur 13-15
tahun dan 16-18 tahun angkanya tidak jauh berbeda dengan saat kelompok umur 5-12 tahun
yakni 12,31% dan 12,37%. Tetapi pada kelompok umur >18 Tahun ternyata kelebihan BB
menjadi sangat tinggi yakni hampir 4 kali dari kelompok umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun
yakni 39,12% (status gizi gemuk 14,87% dan Obesitas 24,35%). Apakah ini menandakan bahwa
dengan begitu banyaknya intervensi dalam bentuk sembako atau jenis makanan lainnya kepada
orang miskin, yang bisa membuat keseimbangan berat badannya terabaikan?
Tabel 3.
Sangat Pendek dan Pendek, Gemuk dan Obesitas
Di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Riskesdas Tahun 2018

16-18 Tahun > 18 Tahun (IMT)


(TB/U)
Sangat Pendek Gemuk Obesitas
Pendek

5,89 33,65 14,87 24,35

39,54 39,12

Tabel 3 menunjukkan bahwa anak umur 16-18 tahun sangat tinggi masalah kurang gizinya yang
ditandai dengan prevalensi pendek sebesar 39,54%, (dari10 anak ada 3-4 orang yang pendek).
Tetapi pada kelompok umur >18 tahun malah terjadi masalah kelebihan BB yang tinggi dengan
prevalensi 39,12% (dari 10 orang dewasa ada 3-4 orang yang kelebihan BB). Artinya Gorontalo
dengan angka kemiskinannya 16,81% sedang ada kejadian yang bersamaan antara masalah
kurang gizi yang kronis dan masalah kelebihan gizi.
Hari ini begitu banyak intervensi spesifik yang diberikan untuk menangani masalah gizi
yang berdampak jelas pada status kesehatan masyarakat. Ada pemberian telur untuk dikonsumsi
setiap hari, ada melalui pemberian makanan tambahan anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusu,
serta pemberian sembako. Ada juga intervensi sensitif yang diberikan diantaranya penanganan
air minum, kesehatan lingkungan, jambanisasi, perbaikan tempat tinggal dll. Namun, intinya
bagaimana terjadi penurunan obesitas atau kelebihan BB.
Tabel 4, menunjukkan bahwa banyak celah-celah kritis yang harus diintervensi dalam
bentuk edukasi. Berbagai intervensi yang telah diberikan tetap penting dilengkapi dengan
intervensi dalam bentuk edukasi langsung dan berkelanjutan. Intervensi tidak parsial dan sesaat
serta hanya seremoni yang tentunya telah menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Olehnya,
sudah saatnya Indonesia darurat belajar gizi dan kesehatan dalam upaya mencegah dan
mengatasi masalah gizi dan kesehatan berbasis makanan. Bila diberikan edukasi dari PAUD,
kemudian begitu di SD dia dapat edukasi lagi, selanjutnya di saat SMP dapat edukasi dan di
SMA juga dapat edukasi yang berkesinambungan. Tentunya saat dia menikah, hamil,
melahirkan, punya anak, dan menyusu, akan mengetahui makanan apa yang harus dikonsumsi
atau diberikan pada keturunannya.
Sangat diyakini bahwa edukasi berkesinambungan, dapat membantu melengkapi secara
totalitas intervensi yang diberikan selama ini dengan tujuan: meningkatkan perilaku masyarakat
tentang gizi dan kesehatan; memutus mata rantai masalah gizi dan kesehatan bersumber dari
makanan; sebagai transformasi hasil-hasil riset perguruan tinggi, lembaga penelitian tentang
makanan kepada peserta didik atau berbagai lapisan masyarakat; mengembangkan dan
melestarikan budaya daerah; meningkatkan jiwa entrepreneur dalam kehidupannya, (Perda
Gorontalo No.3 Taun 2015).
Tabel 4.
Celah-celah Kritis Intervensi Perubahan Perilaku
Balita 5-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun > 18 Tahun (IMT)
Gemuk (BB/TB) (IMT/U) (IMT/U)

1000 HPK PAUD/ SD SMP SMA Mahasiswa, /


Bumil Mengenal, Aktivitas tinggi Aktivitas tinggi dewasa
Busui mempraktikkan, pubertas Pubertas, haid Aktivitas tinggi,
ASI Perilaku (P,S,P), Haid nikah mencari nafkah,
MP-ASI Pemerintah, tumbuh pesat Perilaku (P,S,P), berkeluarga, Hamil,
Pemerintah, Swasta, Perilaku (P,S,P), Pemerintah, Busui, ASI,
Swasta, Masyarakat Pemerintah, Swasta, Pemerintah, Swasta,
Masyarakat Swasta, Masyarakat Masyarakat
Masyarakat
Pembelajaran gizi berbasis makanan khas daerah Gorontalo berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun
2015 adalah membelajarkan gizi dan kesehatan, merupakan satu-satunya di Indonesia yang telah
menawarkan solusi perbaikan gizi berkelanjutan untuk menciptakan perilaku gizi dan kesehatan
yang baik. Akibatnya, dukungan terhadap intervensi yang dilakukan saat ini oleh pemerintah,
swasta, masyarakat atau siapa saja dapat memberikan hasil yang lebih baik dan maksimal serta
menjadi sebuah siklus intervensi pencegahan dan penanganan masalah gizi dan kesehatan.

Adalah pemberian edukasi gizi dan kesehatan yang formal, nonformal dan informal secara
berjenjang dan berkelanjutan menjadi media untuk memperbaiki perilaku konsumsi makan serta
memperbaiki generasi Indonesia ke depan. Bisa saja Indonesia miskin, malah masalah kurang
gizi dan kelebihan gizi merajalela. Tentunya dapat memicu berbagai kerugian dengan
merebaknya penyakit infeksi dan penyakit degeneratif yang tentunya menguras sumber daya
yang cukup besar. Indonesia darurat belajar gizi dan kesehatan guna mengisi celah-celah
kritis yang tidak tersentuh oleh intervensi yang berkelanjutan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bersama berkarya sebagai ibadah, Amiin. Salam Gizi!!! “Sehat Melalui Makanan”

*Pengamat Gizi dan Kesehatan. Mengajar Ilmu Gizi, Kesehatan, Olahraga, Budaya di Perguruan Tinggi, Ketua
Pergizi Pangan Indonesia Gorontalo, Wakil Ketua Kwarda Gorontalo, Pembina DPD PERSAGI Gorontalo, Ketua
Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), Dosen Poltekkes Gorontalo.
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan RI 2018. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS).
2. Pemerintah Provinsi Gorontalo: 2018. Angka Kemiskinan Provinsi Gorontalo Turun Jadi 16,81 Persen
https://gorontaloprov.go.id/angka-kemiskinan-provinsi-gorontalo-turun-jadi-1681-persen/
3. Pemerintah Provinsi Gorontalo, 2015. Perda Pembelajaran Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah
Gorontalo.
4. Napu A, 2019 Indonesia Darurat Mengajar Gizi dan Sehat. https://dinkes.gorontaloprov.go.id/indonesia-
darurat-mengajar-gizi-dan-sehat/

Anda mungkin juga menyukai