Anda di halaman 1dari 15

MANUSCRIPT TITLE (Times New Rowman 12)

PENGARUH USIA IBU SAAT HAMIL BALITA STUNTING


TERHADAP KATEGORI STUNTING PADA BALITA STUNTING DI
DESA BALUNG LOR KECAMATAN BALUNG
Efa Ernawati, Main Adviser: I G A Karnasih, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Mat,
Companion Advisor : Syiska Atik Maryanti,S.Sit.,M.Keb

ABSTRACT (Times New Rowman 11)


Latar Belakang: Masalah balita Stunting menggambarkan masalah gizi
kronis yang dipengaruhi oleh kondisi ibu/ calon ibu, salah satu faktor tidak
langsung penyebab stunting adalah usia ibu saat hamil. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Usia ibu saat hamil dengan kategori
balita stungting. Metode : Desain penelitian ini menggunakan metode
analitik komparasi dengan pendekatan retrospektif.. Populasinya adalah
semua ibu yang memiliki anak balita usia 0-59 bulan dengan stunting
sejumlah 178 Balita. Tehnik pengmbilan sambil menggunakan teknik
random sampling dengan jumlah sampel 123 Balita. Pengumpulan data
menggunakan lembar Observasi. Analisa data menggunakan chi square.
Hasil: chi square = 0,649 sesuai dengan teori chi square hal ini dapat
diartikan bahwa H0 diterima yang artinya Tidak Ada Pengaruh Usia Ibu Saat
Hamil dengan kejadian Balita Stunting Kesimpulan : Berdasarkan penelitian
Kategori balita stunting tidak dipengaruhi oleh usia ibu saat hamil dan dari
penelitian ini usia ibu saat hamil yang dominan yang memiliki balita stunting
adalah u usia 20-35 thn, hal ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa usia ini adalah usia yang di katakan siap secara fisik,psikologi dan
social ekonomi sehingga sangat kecil kemungkinan memiliki balita stunting.
Hal ini di karenakan selain melihat factor usia hamil masih ada factor lain
penyebab balita stunting. Diharapkan Penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan untuk penelitian selanjutnya dan bisa dilakukan penelitian faktor
penyebab yang lain seperti pola asuh ibu balita stunting
Kata Kunci : Hamil ,Balita , Stunting

INTRODUCTION (Times New Rowman 12)


Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat
gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai
(WHO, 2015). Masalah balita pendek menggambarkan masalah gizi kronis
yang dipengaruhi oleh kondisi ibu/ calon ibu, masa janin, dan masa
bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita serta
masalah lainnya yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan
(Uliyanti et al., 2017) Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang
dikumpulkan oleh WHO, pada tahun 2020 sebanyak 22% atau sekitar 149,2
juta balita di dunia mengalami kejadian stunting (WHO, 2021).

Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah


gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau balita kurus di
atas 5%. Berdasarkan data di dunia terdapat 150,8 juta atau sebesar 22,2%
jumlah anak dibawah lima tahun yang mengalami kejadian stunting di tahun
2017. Balita stunting tertinggi di dunia berada di Asia sebanyak 83,6 juta.
Asia Tenggara merupakan salah satu bagian dari Asia yang memiliki
proporsi jumlah balita stunting kedua tertinggi setelah Asia Selatan yaitu
14,9 juta atau 25,7% . Indonesia merupakan negara berkembang dan
termasuk kedalam sepuluh negara tertinggi dengan peringkat ketiga
prevalensi balita stunting di Regional Asia Tenggara/ South-East Asia
Regional (SEAR) yaitu 36,4% tahun 2017 (WHO, 2018) . Berdasarkan hasil
studi status gizi Indonesia (SSGI), pada tahun 2021 terdapat 23,5% balita
yang mengalami stunting di Jawa Timur. Terdapat 14 Kabupaten/Kota di
Jawa Timur dengan prevalensi balita stunting diatas angka provinsi.
Sedangkan 24 Kabupaten/Kota sisanya memiliki prevalensi stunting di bawah
angka propinsi. Dari 14 Kabupaten tersebut adalah Bangkalan (38,9%),
Pamekasan (38,7%), kabupaten Bondowoso ( 37%), kabupaten Lumajang
(30,1%), kabupaten Sumenep (29%), kota Surabaya (28,9%), kabupaten
Mojokerto (27,4%), kabupaten Malang dan kota Malang masing-masing
(25,7%) dan kabupaten Nganjuk (25,3%). Kabupaten Tuban ( 25,1%).
Kabupaten Bojonegoro dan kabupaten Jember nilai Presentasinya sama
(23,9% ). Untuk Jember menduduki peringkat 14 sebagai Kabupaten dengan
Prevalensi stunting diatas angka propinsi (Kemenkes RI, 2021).

Berdasarkan hasil laporan EPGBM tahun 2021 terdapat 5 puskesmas


yang tertinggi yaitu Puskesmas Balung (31,7%), Puskesmas Rowotengah
(27,85%), Puskesmas Jelbuk ( 27,55%), Puskesmas Bangsal (26,95%), dan
pusksesmas Kalisat ( 24,98%). Dari angka tersebut Puskesmas balung masuk
menjadi desa kantong stunting .

Faktor penyebab stunting dapat dikelompokan menjadi penyebab


langsung dan tidak langsung. Praktik pemberian kolostrum dan ASI
eksklusif, pola konsumsi anak, dan penyakit infeksi yang diderita anak
menjadi faktor penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi anak dan
bisa berdampak pada stunting. Sedangkan penyebab tidak langsungnya
adalah akses dan ketersediaan bahan makanan serta sanitasi dan kesehatan
lingkungan (Rosha et al., 2020).

Faktor lain yang mempengaruhi kejadian stunting adalah faktor ibu


yang meliputi postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat,
usia ibu saat hamil yang terlalu muda atau terlalu tua, Selain faktor ibu,
stunting dipengaruhi oleh faktor bayi dan balita, serta faktor sosial, ekonomi
atau ketersediaan pangan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap anak lahir pendek, dan salah satu
faktor yang perlu diperhatikan adalah usia ibu saat hamil. Ibu dengan usia <
20 tahun atau > 35 tahun memiliki risiko tinggi terhadap ancaman kesehatan
dan kematian pada ibu ataupun janin yang dikandungnya baik selama
kehamilan, persalinan, maupun nifas (Sani et al., 2020).

Dampak dari stunting adalah jangka pendek dan jangka panjang dan
termasuk peningkatan morbiditas dan mortalitas. Dampak jangka pendeknya
adalah peningkatan risiko infeksi dan penyakit tidak menular, peningkatan
kerentanan untuk menumpuk lemak sebagian besar di wilayah tengah tubuh.
Dampak panjangnya perkembangan anak yang buruk dan kapasitas belajar,
lebih rendah oksidasi lemak, pengeluaran energi yang lebih rendah, ,resistensi
insulin dan risiko lebih tinggi terkena diabetes, hipertensi, dislipidemia,
penurunan kapasitas kerja dan hasil reproduksi ibu yang tidak
menguntungkan di masa dewasa. Selanjutnya, anak stunting yang mengalami
kenaikan berat badan yang cepat setelah 2 tahun memiliki peningkatan risiko
menjadi kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari (Soliman et al.,
2021).

Penangan stunting dilakukan melalui Intervensi Spesifik dan


Intervensi Sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak
sampai berusia 6 tahun. Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 menyatakan
bahwa Gerakan 1000 HPK terdiri dari intervensi gizi spesifik dan intervensi
gizi sensitif. Intervensi spesifik, adalah tindakan atau kegiatan yang dalam
perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Sedangkan
intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor
kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000
HPK. Salah satu sasaran untuk intervensi gizi sensitif adalah remaja. Remaja
merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian serius mengingat masa
remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa dan belum mencapai
tahap kematangan fisiologis dan psikososial (Rahayu et al., 2018)Dengan
melihat fenomena di atas penenliti ingin mengetahui apakah “ Usia ibu saat
hamil berpengaruh dengan kejadian balita stunting”.

METHODS (Times New Rowman 12)

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan


pendekatan kuantitatif. Berdasarkan tujuan penelitian maka peneliti ingin
menggunakan metode analitik komparasi dengan pendekatan retrospektif.
Analitik komparatif adalah penelitian yang membandingkan keadaan satu
variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau dua waktu
yang berbeda. Pada penelitian ini peneliti mempelajari antara usia ibu saat
hamil balita stunting dengan kategori balita stunting pada balita stunting.
Dalam penelitian ini Populasinya adalah semua ibu yang memiliki anak balita
stunting di desa balung lor di Puskesmas balung tahun 2022 sejumlah 178
balita. dalam penelitian ini sampel nya adalah usia ibu hamil balita stunting di
hitung dengan rumus slovin di dapatkan sampel 123. Disini peneliti
menggunakan random sampling dengan metode lotere. Random sampling
adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama
untuk diambil pada setiap elemen populasi, dengan metode lotere.

DISCUSSION
Hasil penelitian dari 123 balita stunting di dapatkan hasil sebagian besar
usia ibu saat hamil anak yang stunting adalah usia 20-35 thn yaitu sejumlah 98
orang 79,7 % , usia 20 – 35 thn ini adalah usia yang sehat reproduksi. Usia ini
adalah masa yang paling optimal bagi seorang wanita untuk menjalani periode
kehamilan dan persalinan, baik secara psikologis maupun fisik. Hamil pada usia
20-35 keadaan psikologis sudah stabil sehingga dengan kestabilan psikologi , ibu
mengerti dan sadar tentang kehamilannya . Sehingga ibu memperhatikan gizi
selama hami, asupan gizi selama hamil bagus, kenaikan BB selama hamil normal
sehingga Pertumbuhan dan Perkembangan janin normal. Dan secara fisik dimana
pada usia 20-35 Tingkat kesuburan sedang sangat tinggi dan kualitas sel telur
sangat bagus selain itu kerja hormon estrogen dan Progesteron sudah stabil
sehingga Endrotrium sudah sempurna dengan sempurnanya endometrium
menyebabkan pembentukan plasenta sempurna dimana fungsi plasenta adalah
untuk mensuplai makanan janin yang di kandung. Sehingga ketika fungsi plasenta
sudah sempurna akan menyebabkan Pertumbuhan dan Perkembangan janin
normal.(Sani et al., 2020). Sedangkan Untuk usia < 20 & > 35 tahun dari 123
responden didapatkan sejumlah 25 balita (20,3%). usia hamil < 20 tahun adalah
usia reproduksi muda dan usia > 35 tahun adalah usia reproduksi tua. kehamilan
saat ibu berusia < 20 thn dan > 35 thn adalah beresiko. kehamilan di bawah usia
20 tahun dapat dikatakan berisiko karena berdasarkan anatomi tubuh,
perkembangan panggul perempuan pada usia tersebut belum sempurna sehingga
dapat menyebabkan kesulitan saat melahirkan. Tak hanya secara fisik, hamil di
bawah usia 20 tahun juga dapat mempengaruhi psikologis wanita yang
menjalaninya. Perempuan yang hamil di bawah usia 20 tahun sering kali
menerima stigma negatif dari teman sebaya atau lingkungan di sekitarnya, terlebih
jika kehamilan tersebut tidak direncanakan. Sedangkan Hamil usia tua, yaitu saat
berusia di atas 35 tahun, memang lebih berisiko, baik bagi ibu hamil sendiri
maupun janinnya. Hamil di usia 35 tahun, baik untuk kehamilan pertama maupun
kehamilan selanjutnya, tergolong kehamilan di usia tua. Wanita yang hamil di
usia tersebut umumnya lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan selama
mengandung.(Sani et al., 2020).

Pada kenyataannya ternyata usia ibu saat hamil balita stunting lebih ada
pada usia reproduksi sehat ( usia 20-35 thn) 79,7 % dari pada usia reproduksi
tidak sehat ( <20 & >35 ) 20,3%. Hal ini bisa saja karena pada usia 20-35
mempunyai rentang panjang dan pada usia <20 dan >35 mempunyai rentang
kecil. Disamping itu kebanyakan orang mulai hamil menunggu usia 20 tahun dan
merencanakan hamil yang terakhir sebelum usia lebih dari 35 tahun. Selain itu
juga di mungkinkan karena pada zaman sekarang sudah ada kemajuan dimana
banyak remaja putri yang menikah pada umur 20 tahun atau minimal sudah lulus
SLTA. Sehingga kehamilan dibawah umur 20 thn dan di atas 35 tahun lebih
sedikit dimungkinkan plasenta adalah untuk mensuplai makanan janin yang di
kandung. Sehingga ketika fungsi plasenta sudah sempurna akan menyebabkan
Pertumbuhan dan Perkembangan janin normal.(Sani et al., 2020). Sedangkan
Untuk usia < 20 & > 35 tahun dari 123 responden didapatkan sejumlah 25 balita
(20,3%). usia hamil < 20 tahun adalah usia reproduksi muda dan usia > 35 tahun
adalah usia reproduksi tua. kehamilan saat ibu berusia < 20 thn dan > 35 thn
adalah beresiko. kehamilan di bawah usia 20 tahun dapat dikatakan berisiko
karena berdasarkan anatomi tubuh, perkembangan panggul perempuan pada usia
tersebut belum sempurna sehingga dapat menyebabkan kesulitan saat melahirkan.
Tak hanya secara fisik, hamil di bawah usia 20 tahun juga dapat mempengaruhi
psikologis wanita yang menjalaninya. Perempuan yang hamil di bawah usia 20
tahun sering kali menerima stigma negatif dari teman sebaya atau lingkungan di
sekitarnya, terlebih jika kehamilan tersebut tidak direncanakan. Sedangkan Hamil
usia tua, yaitu saat berusia di atas 35 tahun, memang lebih berisiko, baik bagi ibu
hamil sendiri maupun janinnya. Hamil di usia 35 tahun, baik untuk kehamilan
pertama maupun kehamilan selanjutnya, tergolong kehamilan di usia tua. Wanita
yang hamil di usia tersebut umumnya lebih berisiko mengalami gangguan
kesehatan selama mengandung.(Sani et al., 2020).

Pada kenyataannya ternyata usia ibu saat hamil balita stunting lebih ada
pada usia reproduksi sehat ( usia 20-35 thn) 79,7 % dari pada usia reproduksi
tidak sehat ( <20 & >35 ) 20,3%. Hal ini bisa saja karena pada usia 20-35
mempunyai rentang panjang dan pada usia <20 dan >35 mempunyai rentang
kecil. Disamping itu kebanyakan orang mulai hamil menunggu usia 20 tahun dan
merencanakan hamil yang terakhir sebelum usia lebih dari 35 tahun. Selain itu
juga di mungkinkan karena pada zaman sekarang sudah ada kemajuan dimana
banyak remaja putri yang menikah pada umur 20 tahun atau minimal sudah lulus
SLTA. Sehingga kehamilan
Kategori balita stunting di Puskesmas Balung tahun 2022
Dari hasil penelitian Sebanyak 123 subyek penelitian balita sangat pendek
27 balita (22%). dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Zscorenya kurang
dari -3SD. Sedangkang balita pendek didapatkan 96 balita (78,%). Dimana Balita
Sangat pendek adalah balita dengan status gizi berdasarkan panjang atau tinggi
badan menurut umur bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai Z
scorenya kurang dari -2SD

Balita pendek dan sangat pendek adalah kondisi gangguan pertumbuhan


yang tidak bisa dikembalikan seperti semula. Maksudnya, ketika seorang anak
sudah stunting atau pendek sejak ia masih balita, maka pertumbuhannya akan
terus lambat hingga ia dewasa. Saat puber, ia tidak dapat mencapai pertumbuhan
maksimal akibat sudah terkena stunting di waktu kecil. Walaupun diberikan
makanan yang kaya akan gizi, namun tetap saja pertumbuhannya tidak dapat
maksimal. Namun, tetap penting bagi orangtua memberikan berbagai makanan
yang bergizi tinggi agar mencegah kondisi si kecil semakin buruk dan gangguan
pertumbuhan yang ia alami semakin parah. Oleh karena itu, sebenarnya hal ini
dapat dicegah dengan cara memberikan nutrisi yang maksimal saat awal-awal
kehidupannya, yaitu 1.000 hari pertama kehidupan.(Rahayu et al., 2018).

Status gizi balita pendek dan sangat pendek disini banyak dari ibu yang
usianya 20-35 saat hamil. Diliat dari usia ibunya yang tergolong reproduksi sehat
seharusnya status gizinya normal. Hal ini bisa disebabkan factor lain seperti factor
pendidikan dan pekerjaan ibu. Dari hasil penelitian di dapatkan Pendidikan dasar (
SD & SMP ) yang lebih dominan yaitu 74 dengan presentase (60,2%). Sehingga
bisa di kategorikan rata-rata Pendidikan orang tua dari balita stunting adalah
menengah kebawah.

Tingkat pendidikan memberikan pengaruh seseorang akan mendapatkan


pengetahuan yang kemudian akan membentuk sikap dalam hal pengambilan
keputusan. Tingkat pendidikan orang tua sangat penting dalam pemenuhan gizi
keluarga untuk mencegah anak stunting. Selain dari factor Pendidikan ada factor
pekerjaan, dari hasil penelitian 123 balita stunting di dapat kan 114 (92,7%) ibu
balita stunting tidak bekerja. Dilihat dari pekerjaan ibu stunting rata-rata tidak
bekerja dan seharusnya mereka punya waktu luang yang banyak. Dengan waktu
yang banyak sebenarnya mereka dapat mengasuh anaknya dengan baik, dan
didukung dengan tingkat Pendidikan orang tua balita stanting yang dominan
menengah kebawah sehingga di mungkinkan mempengaruhi dalam mengasuh
anaknya sehingga menyebabkan kurang optimalnya dalam memberikan asupan
makanan pada anak. Sehingga menyebabkan balita stunting. Selain itu ibu yang
tidak bekerja juga tidak berdaya dalam hal keuangan, Cinta seorang ibu memang
tidak bisa diukur dari uang. Namun, ada begitu banyak kebutuhan anak mulai dari
membeli susu, pakaian hingga sekolah yang semuanya membutuhkan uang.
Menjadi ibu rumah tangga berarti juga hanya akan mengandalkan pemasukan dari
suami saja sehingga terkadang ada begitu banyak kebutuhan anak khusunya dalam
kecukupan gizi dan juga rumah tangga yang tidak tercukupi. Sehingga kadang ibu
ada rasa takut kekurangan uang belanja kalau harus makan-makanan bergizi
seperti ikan telur daging setiap hari.

Pengaruh usia ibu saat hamil balita stunting terhadap kategori stunting pada
balita stunting di desa Balung Lor di Puskesmas Balung
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji chi square di temukan p
value 0,649 > dari 0,05 tidak ada pengaruh usia ibu saat hamil dengan kejadian
balita stunting di desa balung lor Puskesmas Balung. hal ini tidak sesuai dengan
penelitian Mira Sani dkk (2019). menunjukkan bahwa usia ibu saat hamil < 20 th
dan > 35 thn berpengaruh dengan kejadian balita stunting.
Sejalan dengan penelitian Indrasari (2012) yang menyatakan bahwa ibu
dengan usia berisiko (kurang dari 20 tahun)mempunyai risiko 4,2 kali lebih besar
untuk mengalami terjadinya BBLR. Kejadian BBLR dan kelahiran prematur pada
remaja sering dikaitkan sebagai manifestasi Intra uterine Growth Restriction
(IUGR) yang disebabkan belum matangnya organ reproduksi dan status gizi
sebelum masa kehamilan. Kehamilan di bawah usia 20 tahun atau kehamilan
remaja dapat dikatakan berisiko karena berdasarkan anatomi tubuh,
perkembangan panggul perempuan pada usia tersebut belum sempurna sehingga
dapat menyebabkan kesulitan saat melahirkan. Usia ibu yang terlalu muda (< 20
tahun) masih dalam proses pertumbuhan sehingga perkembangan fisik belum
sempurna termasuk organ reproduksinya (Ida, 2010). Pada usia ini, peredaran
darah menuju serviks dan uterus masih belum sempurna sehingga dapat
mengganggu proses penyaluran nutrisi dari ibu ke janin yang dikandungannya
(Manuaba, 2012). Tak hanya secara fisik, hamil di bawah usia 20 tahun juga dapat
memengaruhi psikologis wanita yang menjalaninya. Perempuan yang hamil di
bawah usia 20 tahun sering kali menerima stigma negatif dari teman sebaya atau
lingkungan di sekitarnya, terlebih jika kehamilan tersebut tidak direncanakan.
Masalah ekonomi juga kerap menjadi kendala perempuan yang hamil di usia yang
sangat muda karena umumnya belum mapan dan tidak memiliki pendidikan atau
kemampuan yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
Sehingga dengan belum matangnya psikologis menyebabkan pola asuh yang
belum optimal menyebabkan dilahirkan akan menjadi stuning.
Dalam penelitian ini usia yang lebih berpengaruh terhadap kejadian
stunting adalah kelompok usia 20-35 yaitu sebanyak (79,7%). Stunting disebakan
oleh banyak factor tidak ada hubungannya penelitian ini sesuai dengan penelitain
Tri Nurhidayati dkk ( 2020) .(Hasibuan, Muda, 2013) dimana didapatkan hasil
penelitian p value > 0,05 hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
antara usia ibu saat hamil balita stunting dengan kategori stunting pada balita
stunting. Sedangkan menurut teori yang rentan balita stunting adalah kelompok
usia saat hamil < dari 20 dan kelompok usia > dari 35. Diliat dari stustus gizi ibu
hamil balita yang stunting sebagian besar gizinya bagus. Ini di liat dari ukuran TFU
ibu balita stunting saat hamil didapatkan TFU >28 cm sebanyak 90,2% dan
didukung dengan berat badan lahir balita stunting yang Sebagian besar diatas 2500
gram didapatkan 87%. Mungkin ini bisa disebabkan factor stunting yang lain ,
seperti factor pendidikan dan pekerjaan ibu. Dari hasil penelitian di dapatkan
Pendidikan dasar ( SD & SMP ) yang lebih dominan yaitu 74 dengan
presentase (60,2 %). Sehingga bisa di kategorikan rata-rata Pendidikan
orang tua dari balita stunting adalah menengah kebawah.
Tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap masalah yang ada pada
diri, karena dari pendidikan seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang
kemudian akan membentuk sikap dalam hal pengambilan keputusan. Tingkat
pengetahuan berkaitan erat dengan tingkat Pendidikan formal, semakin tinggi
Pendidikan formal maka semakin mudah untuk memahami informasi yang di
terima.(Notoatmodjo, 2018). Tingkat pendidikan orang tua sangat penting dalam
pemenuhan gizi keluarga untuk mencegah anak stunting. Selain dari factor
Pendidikan ada factor pekerjaan, dari hasil penelitian 123 balita stunting di dapat
kan 114 (92,7%) ibu balita stunting tidak bekerja. Dilihat dari pekerjaan ibu
stunting rata-rata tidak bekerja dan seharusnya mereka punya waktu luang yang
banyak. Dengan waktu yang banyak sebenarnya mereka dapat mengasuh anaknya
dengan baik, tapi pada kenyataanya mereka kurang telaten dalam pola asuh .
Sehingga dengan kurang telaten dalam pola asuh menyebabkan kurang
optimalnya dalam memberikan asupan makanan pada anak. Sehingga
menyebabkan balita stunting. Selain itu ibu yang tidak bekerja juga tidak berdaya
dalam hal keuangan, Cinta seorang ibu memang tidak bisa diukur dari uang.
Namun, ada begitu banyak kebutuhan anak mulai dari membeli susu, pakaian
hingga sekolah yang semuanya membutuhkan uang. Menjadi ibu rumah tangga
berarti juga hanya akan mengandalkan pemasukan dari suami saja sehingga
terkadang ada begitu banyak kebutuhan anak dan juga rumah tangga yang tidak
tercukupi. Sehingga kadang ibu ada rasa takut kekurangan uang belanja kalau
harus makan-makanan bergizi seperti ikan .

CONCLUSIONS
Dari hasil penelitian Pengaruh usia ibu saat hamil dengan kejadian balita
stunting di desa Balung Lor wilayah kerja Puskesmas Balung tahun 2023. Usia
ibu saat hamil balita stunting di desa Balung Lor wilayah kerja Puskesmas
Balung tahun 2023 didapatkan usia < 20 thn dan > 35 thn sebanyak 25 (20,3%)
dan Usia 20- 35 thn sebanyak 98 ( 79,7%). Kategori balita stunting di dapatkan
balita sangat pendek 27 balita (22%) dan balita pendek 96 balita (78,%). Tidak
ada pengaruh usia ibu saat hamil dengan kategori balita stunting. Di dapatkan p
Value 0,649 > 0,05.

REFERENCE

Aryastami, N. K., and Tarigan, I. 2017. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan


Masalah Gizi Stunting di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan 45(4): 233–
240.

Bank Pembangunan Asia. 2021. Prevalensi Stunting Balita Indonesia Tertinggi ke- 2
di Asia Tenggara. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/25/prevalensi-stunting- balita-
indonesia-tertinggi-ke-2-di-asia-tenggara

Batubara, J. R. ., Tridjaja, B., and Pulungan, A. . 2010. Endokrinologi Anak. Jakarta:


Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Black, R. E., Allen, L. H., Bhutta, Z. A., Caulfield, L. E., de Onis, M., Ezzati, M.,
Mathers, C., and Rivera, J. 2008. Maternal and child undernutrition: global and
regional exposures and health consequences. The Lancet 371(1): 243–260.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(07)61690-0

Bloem, M. W., de Pee, S., Hop, L. T., Khan, N. C., Laillou, A., Minarto, Moench-
Pfanner, R., Soekarjo, D., Soekirman, Solon, J. A., Theary, C., and Wasantwisut,
E. 2013. Key strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: lessons from
the ASEAN countries workshop. Food and Nutrition Bulletin 34(2): 8–16.
https://doi.org/10.1177/15648265130342s103

Branca, F., and Ferrari, M. 2002. Impact of micronutrient deficiencies on growth: The
stunting syndrome. Annals of Nutrition and Metabolism 46(1): 8–17.
https://doi.org/10.1159/000066397

Dekker, L. H., Mora-plazas, M., Marín, C., Baylin, A., and Villamor, E. 2010. Stunting
associated with poor socioeconomic and maternal nutrition status and

respiratory morbidity in Colombian schoolchildren. Food and Nutrition Bulletin


31(2): 242–250.

Fillol, F., Sarr, J. B., Boulanger, D., Cisse, B., Sokhna, C., Riveau, G., Simondon,
K. B., and Remoué, F. 2009. Impact of child malnutrition on the specific anti-
Plasmodium falciparum antibody response. Malaria Journal 8(1): 1–10.
https://doi.org/10.1186/1475-2875-8-116

Gibson, G. R. 1999. Dietary modulation of the human gut microflora using the
prebiotics oligofructose and inulin. Journal of Nutrition 129(7 SUPPL.): 1438–
1441. https://doi.org/10.1093/jn/129.7.1438s

Henningham, and McGregor. 2008. Public Health Nutrition (M.J. Gibney (ed.)).
Jakarta: EGC.
Hasibuan, Muda, E. (2013). 提案3 日本語教育の必要性 : 国語教育に忘れられ
がちな言語教育(「国語の特質」をどう考えるか-国語教育研究と日本
語学研究との連携-,秋期学会 第123回 富山大会). Kokugokakyouiku,
73(5), 12–14.
Rahayu, A., Yulidasari, F., Putri, A. O., & Anggraini, L. (2018). Study Guide -
Stunting dan Upaya Pencegahannya. In Buku stunting dan upaya
pencegahannya.

Herdiana, E., and Rosa, E. M. 2011. Pengaruh fungsi manajerial supervise klinik
terhadap dokumentasi asuhan keperawatan di RS PKU Muhamadiyah. Asuhan
Keperawatan 1–19.

Herowati, D., and Sugiharto, M. 2019. Wanita Sudah Menikah Dengan Pemakaian
Kontrasepsi Hormonal Di Indonesia Tahun 2017. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan 22(2): 91–98.

Hien, N. N., and Kam, S. 2008. Nutritional status and the characteristics related to
malnutrition in children under five years of age in Nghean, Vietnam. Journal of
Preventive Medicine and Public Health 41(4): 232–240.
https://doi.org/10.3961/jpmph.2008.41.4.232

Ilfa. 2010. Definisi Umur. http://bidanilfa.blogspot.co.id/2010/01 /definisi- umur.html

Istiftiani, N. 2011. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Faktor Lain
dengan Status Gizi Naduta di Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota
Depok Tahun 2011. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.

Kalanda, B. F., Verhoeff, F. H., and Brabin, B. J. 2006. Breast and complementary
feeding practices in relation to morbidity and growth in Malawian infants.

European Journal of Clinical Nutrition 60(3): 401–407.


https://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1602330

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan (Pedoman bagi Tenaga Kesehatan). Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2018. Cegah Stunting, itu Penting. Pusat Data Dan Informasi,
Kementerian Kesehatan RI1–27.

https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/Bu
letin-Stunting-2018.pdf

Kemenkes RI. 2021. Launching Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI). 1–14.

Kocyigit, F., Acar, M., Turkmen, M. B., Kose, T., Guldane, N., and Kuyucu, E. 2016.
Kinesio taping or just taping in shoulder subacromial impingement syndrome? A
randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Physiotherapy Theory and
Practice 32(7): 501–508. https://doi.org/10.1080/09593985.2016.1219434

Kumar, D., Goel, N. K., Mittal, P. C., and Misra, P. 2006. Influence of infant- feeding
practices on nutritional status of under-five children. Indian Journal of Pediatrics
73(5): 417–421. https://doi.org/10.1007/BF02758565

Manuaba, I. A. C. 2016. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Masithah, T., Soekirman, M. D., and Martianto, D. 2005. Hubungan pola asuh makan
dan kesehatan dengan status gizi anak batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi
Dan Keluarga 29(2): 29–39.

Maxwell, S. 2011. Module 5: Cause of Malnutrition. Diakses pada 08- 11-2022 dari
www.unscn.org.

McGovern, M. E., Krishna, A., Aguayo, V. M., and Subramanian, S. V. 2017. A


review of the evidence linking child stunting to economic outcomes. International
Journal of Epidemiology 46(4): 1171–1191. https://doi.org/10.1093/ije/dyx017

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2017. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan
(2nd ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Oktavia, R. 2011. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dalam Pemberian
ASI Ekslusif dengan Status Gizi BADUTA di Puskesmas Biaro Kecamatan
Ampek Angek Kabupaten Agam Tahun 2011. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

Rahayu, A., Yulidasari, F., Putri, A. O., and Anggraini, L. 2018. Study Guide -
Stunting dan Upaya Pencegahannya. Yogyakarta: CV. Mine.

Rosha, B. C., Susilowati, A., Amaliah, N., and Permanasari, Y. 2020. Penyebab
Langsung dan Tidak Langsung Stunting di Lima Kelurahan di Kecamatan Bogor
Tengah, Kota Bogor (Study Kualitatif Kohor Tumbuh Kembang Anak Tahun
2019). Buletin Penelitian Kesehatan 48(3): 169–182.
https://doi.org/10.22435/bpk.v48i3.3131

Sani, M., Solehati, T., and Hendarwati, S. 2020. Hubungan usia ibu saat hamil dengan
stunted pada balita 24-59 bulan. Holistik Jurnal Kesehatan 13(4): 284– 291.
https://doi.org/10.33024/hjk.v13i4.2016

Soedargo, T. 2010. Dampak Stunted Bagi Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: Gava
Media.

Soetjiningsih, and Suandi. 2010. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Soliman, A., De Sanctis, V., Alaaraj, N., Ahmed, S., Alyafei, F., Hamed, N., and
Soliman, N. 2021. Early and long-term consequences of nutritional stunting: From
childhood to adulthood. Acta Biomedica 92(1): 1–12.
https://doi.org/10.23750/abm.v92i1.11346

Sudijono, A. 2013. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Syafrizar, and Welis, W. 2009. Gizi Olahraga. Padang: Wineka Media.

Teshome, B., Kogi-Makau, W., Getahun, Z., and Taye, G. 2010. Magnitude and
determinants of stunting in children underfive years of age in food surplus
Journal
Template
region of Ethiopia: The case of West Gojam Zone. Ethiopian Journal of Health Development
23(2): 98–106. https://doi.org/10.4314/ejhd.v23i2.53223

Uliyanti, Tamtomo, D. G., and Anantanyu, S. 2017. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan. Jurnal Vokasi Kesehatan 3(2): 67–77. ISSN 2442-
5478

Waibale, P., Bowlin, S. J., Mortimer, E. A., and Whalen, C. 1999. The effect of human
immunodeficiency virus-1 infection and stunting on measles immunoglobulin-G levels in
children vaccinated against measles in Uganda. International Journal of Epidemiology 28(2):
341–346. https://doi.org/10.1093/ije/28.2.341

WHO. 2013. Global nutrition policy review: What does it take to scale up nutrition action.
Geneva, Switzerland: World Health Organization Press.

WHO. 2015. Stunting in a Nutshell. World Health Organization.


https://www.who.int/news/item/19-11-2015-stunting-in-a-nutshell

WHO. 2021. Stunting prevalence among children under 5 years of age (% height- for-age <-2 SD)
(JME country). World Health Organization 5 35.

Anda mungkin juga menyukai