MODUL 6
TERPERCAYA
DI KEMENTERIAN
ATR/BPN
Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
Telp. (021) 8674586
Penulis:
Lisma Niken Pratiwi, S.IP.
Editor:
Nur Fadillah Ulfa, S.Kom.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya Modul
yang menjadi pegangan bagi peserta Pelatihan Nilai-Nilai Kementerian
ATR/BPN. Modul ini dapat terselesaikan karena kerjasama Tim Penyusun
Modul yang sudah dirangkum melalui beberapa kali workshop dan dukungan
dari berbagai pihak di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
2. Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kementerian ATR/BPN;
3. Tim Penyusun Modul;
4. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya Modul ini.
Akhir kata, semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi peserta
Pelatihan Nilai-Nilai Kementerian ATR/BPN. Kritik dan saran dengan senang
hati akan diterima untuk perbaikan modul ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 2
B. DESKRIPSI SINGKAT 3
C. MANFAAT MODUL 3
D. HASIL BELAJAR 4
G. WAKTU 5
D. RANGKUMAN 21
E. LATIHAN 21
C. RANGKUMAN 33
D. LATIHAN 34
B. AMPLOP COKLAT 38
BAB V. PENUTUP 50
A. SIMPULAN 50
B. TINDAK LANJUT 50
DAFTAR PUSTAKA 52
KUNCI JAWABAN 54
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Formulir Alat Bantu Rancangan Aktualisasi Nilai Organisasi (“Terpercaya”) 29
Tabel 2 Usulan Program Budaya Kerja Kementerian ATR/BPN 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tiga Lini Pertahanan Pengendalian Organisasi 18
BAB I
PENDAHULUAN
..::SELAMAT::..
Anda telah menyelesaikan 5 modul dari 6 modul dalam Paket Modul Budaya Kerja
dan Budaya Inovasi . Modul ”Terpercaya Di Kementerian ATR/BPN ” ini
merupakan modul ke 6 yang akan Anda pelajari.
Semoga Anda tetap semangat belajar dan menimba ilmu.
REALITAS
Baca dan perhatikan kasus yang terjadi di bawah ini:
Kementerian ATR/BPN Terapkan Nilai Organisasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
“Beberapa nilai ini kita akan terapkan sistematik di seluruh kantor Kementerian ATR/BPN, saya
pikir meskipun masih ada kelemahan tetapi di beberapa kementerian menganggap kantor kita jadi
model yang melakukan reformasi,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto beranggapan bahwa
pengembangan SDM tidak ada batasnya di semua bidang karena faktor lingkungan yang selalu
berubah. Untuk itu, tantangan Kementerian ATR/BPN saat ini adalah menyusun sistem Human
Resource Development (HRD) baru yang merupakan turunan dari Renstra 5 tahunan.
..........
Sumber: Redaksi Wartalika, 28 Mei 2021. Diakses dari
https://wartalika.id/news/nasional/2021/05/28/kementerian-atr-bpn-terapkan-nilai-organisasi-
pelaksanaan-reformasi-birokrasi
Dari realitas yang terjadi disampaikan bahwa Kementerian ATR/BPN saat ini telah
menerapkan nilai organisasi yakni Melayani, Profesional, Terpercaya. Namun untuk ketiga
nilai ini, perlu penyusunan budaya kerja sebagai tindak lanjut penerapan dari Nilai
Kementerian ATR/BPN. SDM di masa mendatang akan jauh lebih baik, terlebih dengan
penerapan sistem rekrutmen dan nilai organisasi yang saat ini dimiliki. Dan nilai-nilai ini akan
diterapkan sistematik di seluruh kantor Kementerian ATR/BPN. Untuk itu pemahaman akan
nilai-nilai organisasi ini menjadi kebutuhan penting bagi tiap ASN di Kementerian ATR/BPN.
Nilai organisasi “Terpercaya” akan dibahas dalam modul ini.
A. LATAR BELAKANG
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 115/SK-0T.02/V/2021 tentang Nilai-Nilai
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
menetapkan 3 nilai utama organisasi Kementerian ATR/BPN, yakni
Melayani, Profesional, dan Terpercaya. Selain itu, ditetapkan pula
bahwa Pimpinan dan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di
lingkungan Kementerian ATR/BPN wajib melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan mendasar pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah perilaku
utama masing-masing nilai organisasi. Penerapan ketiga nilai ini harus
didahului dengan penyusunan budaya kerja bagi seluruh pegawai
Kementerian ATR/BPN.
Ketiga nilai-nilai organisasi di atas sangat penting dan harus
segera diwujudkan apalagi dengan isu-isu Kementerian ATR/BPN yang
memang sistemnya adalah pelayanan. Dan oleh karenanya, ASN
menjadi faktor utama berhasil atau tidaknya organisasi ini membangun
nilai organisasi khususnya dalam modul ini adalah nilai “terpercaya”.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Mata Pelatihan ini membahas tentang perilaku utama terpercaya;
internalisasi dan aktualisasi, dan kisah inspiratif “integritas tanpa
batas”.
C. MANFAAT MODUL
a. Manfaat Bagi Peserta:
Memberikan pengetahuan dan meningkatkan pemahaman terkait
materi yang disampaikan, sehingga peserta dapat memahami dan
mampu mengimplementasikan nilai “terpercaya” di Kementerian
ATR/BPN dengan lebih baik.
D. HASIL BELAJAR
Setelah mempelajari materi dalam mata pelatihan ini peserta
dapat memahami sikap “terpercaya” di Kementerian ATR/BPN.
G. WAKTU
Waktu penyampaian mata pelatihan ini adalah 9 JP x @ 45 menit
BAB II
PERILAKU UTAMA TERPERCAYA
b. Dapat dipercaya
Dimulai dari diri sendiri menjadi pribadi yang dapat
dipercaya, berlanjut ke relasi pertemanan atau persahabatan,
kemudian relasi di organisasi, meluas ke tempat kerja atau
dipercaya lingkungan, dan akhirnya di masyarakat global. Namun
yang akan dicakup di sini adalah yang pertama yaitu menjadi
pribadi (ASN) yang dapat dipercaya.
1) Dapat diandalkan
Apakah artinya “dapat diandalkan”? Seorang yang
dapat diandalkan berarti mampu, akan dan pasti
menyelesaikan tugas yang mereka terima. Setiap
pegawai pada sebuah organisasi pasti ingin karirnya
meningkat dan salah satu cara agar karirnya dapat
meningkat adalah dengan menjadi pegawai yang bisa
diandalkan.
Bisa diandalkan bukan berarti pegawai tersebut
mengerjakan semua tugas teman kantor yang memang
bukan tanggung jawab pegawai yang bersangkutan.
Seorang pegawai harus menyelesaikan tugas pekerjaan
yang dibebankan kepadanya semaksimal mungkin dan
memberikan bantuan bila teman kantor memang sangat
butuh bantuan.
Contohnya, ciri utama bagi praktisi yang dapat
diandalkan adalah memiliki ilmu yang dikuasai dengan
sungguh-sungguh. Dalam bidang SDM, seorang praktisi
SDM belum dapat diandalkan sebelum dia menguasai
ilmunya dengan mendalam.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai karakter bisa
diandalkan (dunia profesi, 2021):
a) Selalu aktif dalam bekerja
b) Tulus
c) Bekerja dengan cerdik
d) Memperlakukan rekan kerja dengan baik
e) Membantu rekan kerja yang sedang kesulitan
f) Mengakui kesalahan jika menjadi pelakunya
g) Menjadi orang yang dapat dipercaya.
2) Menjaga martabat
Kata "martabat" menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), yakni tingkat harkat kemanusiaan,
harga diri. Magnis Suseno (1992) berpendapat bahwa
nilai kemanusiaan yang universal berakar pada
martabat manusia. Adapun martabat diartikannya
sebagai “derajat” atau “pangkat” manusia sebagai
manusia. Dengan kalimat lain, “martabat manusia”
mengungkapkan apa yang menjadi keluhuran manusia
yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain di
bumi. Untuk itu seseorang yang “menjaga martabat”
dapat diartikan sebagai karakter seseorang yang
menjaga apa yang menjadi keluhurannya sebagai
manusia maupun menjaga harga dirinya.
Kata “patuh” dan “taat” hampir sama artinya, yakni tunduk dan
setia. Wujud kata patuh dan taat pada Peraturan adalah menjalankan
D. RANGKUMAN
Berdasarkan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor
115/SK-0T.02/V/2021 tentang Nilai-Nilai Kementerian ATR/BPN, Nilai
terpercaya dapat ditunjukkan dengan perilaku utama yaitu:
1) Bekerja dengan integritas, dapat dipercaya dan diandalkan,
menjaga martabat serta tidak melakukan hal tercela
2) Patuh dan taat pada peraturan yang telah ditetapkan sesuai tugas
dan tanggung jawab yang diberikan
Di dalam pelaksanaan nilai-nilai organisasi ini dibutuhkan sebuah
satuan yang memantau atau memastikan bahwa para ASN benar-
benar menjalankan nilai-nilai tersebut. Satuan tersebut adalah Unit
Kepatuhan Internal (UKI). Manfaat UKI adalah untuk melakukan
pengecekan/penilaian atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka
menghindari kesalahan/kekeliruan yang dapat merugikan organisasi.
E. LATIHAN
A. Konsistensi
B. Memperlihatkan arogansi
C. Sikapnya santai
D. Respek soal waktu
E. Menunjukkan rasa terima kasih
2. Tahapan Internalisasi
Dalam proses internalisasi berkaitan dengan penanaman
nilai “terpercaya” pada ASN Kementerian ATR/BPN dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tahapan Transformasi Nilai
Tranformasi Nilai adalah sebuah tahapan yang terjadi
antara kedua belah pihak di dalam bentuk komunikasi
verbal. Di dalam tahapan ini melibatkan tranformasi dari
sebuah informasi dari orang yang satu ke orang lainnya
didalam suatu hubungan sosial. Namun, objeknya masih
C. RANGKUMAN
Penerapan nilai organisasi “terpercaya” membutuhkan proses
internalisasi dan aktualisasi nilai tersebut kepada pegawai (ASN) oleh
organisasi dalam hal ini Kementerian ATR/BPN. Kedua proses ini
mutlak dibutuhkan, agar nilai organisasi yang ditanamkan dapat
tercermin dalam perilaku pegawai secara nyata. Internalisasi nilai
organisasi “terpercaya” dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan yakni:
Tahapan Transformasi Nilai, Tahapan Transaksi Nilai, dan Tahapan
Transinternalisasi Nilai. Setelah nilai diinternalisasi, tahapan
selanjutnya adalah aktualisasi atau penerapan di unit kerja masing-
masing ASN. Proses ini tidak dapat instan dan harus benar-benar
dipahami baik oleh pegawai maupun organisasi.
D. LATIHAN
1. Secara terminologi, apakah arti kata “internalisasi”?
A. Semua hal yang berhubungan dengan kehidupan di
dalam masyarakat itu tidak bisa dipisahkan
B. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan
kesadaran, atau dengan kata lain tindakan ini dilakukan
tanpa adanya paksaan.
C. Sebuah penyatuan sikap yang dilakukan berdasarkan
dengan standar tingkah laku serta pendapat didalam
kepribadian seseorang.
D. Upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai–nilai ke
dalam jiwa sehingga menjadi miliknya
E. Semua jawaban salah
“Baik Pak Suparman dan Ibu Sarmini, laporan ini akan kami proses secepatnya,
akan kami lakukan pengecekan terhadap kebenaran dan kejelasan data-data
kepemilikan tanah tersebut” Kata ku
Pihak Ibu Sarmini kemudian beranjak pergi, tersisa pihak Pak Suparman.
Tiba-tiba Pak Suparman berkata “Lakukan dengan benar Pak, Saya kenal dengan
pejabat-pejabat tinggi. Kita sama-sama butuh mas, anda tidak usah macam-
macam”
“Baik, akan saya lakukan sebaik mungkin pak” Jawabku sembari tersenyum.
Setelah dilakukan analisis dengan melihat catatan pelayanan yang pernah diajukan
dan Berita Acara Penelitian Lapangan yang dibuat tahun sebelumnya, ketemulah
benang merah permasalahannya. Ternyata ada ketidakberesan dalam proses jual
beli tanah yang dilakukan Pak Suparman. Di dalam surat jual beli tanah, hanya
ada tanda tangan suami Ibu Sarmini, Suparjo. Itu pun diduga juga direkayasa.
Padahal, suami istri pemilik tanah harus tanda tangan semua.
Agar tidak menimbulkan masalah berkepanjangan, aku melaporkan semua
kejadian tersebut kepada kepala kantor. Beberapa orang yang berhubungan dengan
permasalahan itu dikumpulkan, lalu berkas diteliti bersama-sama.
Diam-diam kami melakukan pengecekan di lapangan, mengecek ke kelurahan,
mencari info ke kecamatan dan tetangga sekitar.
Ketika semua data sudah cukup kuat, termasuk konfirmasi data ke kedua belah
pihak, kami buatkan berita acara. Pembetulan data pun kami lakukan sesuai
dengan dokumen yang paling valid. Butuh waktu tiga bulan lebih untuk
menyelesaikan satu kasus ini.
Setelah itu kami buat Surat Pemberitahuan kepada kedua belah pihak bahwa
proses jual beli tanah tersebut tidak sah, sesuai dengan dokumen-dokumen asli dan
analisis lapangan. Awalnya keputusan itu masih belum bisa diterima oleh pihak
Pak Suparman. Namun, dokumen dan saksi justru mengalahkannya. Akhirnya
kasus sengketa tanah dimenangkan oleh Pihak Ibu Sarmini.
Selang beberapa hari dari penyelesaian kasus sengketa, Ibu Sarmini datang
kembali ke kantor, “Pak Halim, sebagai tanda terima kasih kami, karena Bapak
dan teman-teman Bapak sudah membantu saya, mohon diterima ungkapan terima
kasih dari kami,” desaknya sambil menyodorkan satu amplop putih. Tebal.
“Kami menghargai ucapan terima kasih dari Anda. Tetapi tidak usah memberikan
apa pun kepada kami. Ini semua tugas kami, Anda bisa melihat dan membaca di
media bahwa BPN sedang berbenah. Kami semua sedang belajar bekerja
profesional. Semua ini memang tugas kami. Cukuplah Anda dengan kami sebagai
saudara. Bahkan kami membutuhkan masukan dari Anda untuk kebaikan institusi
kami.”
Sambil merajuk dan minta nomor ponsel, dia masih mencoba mengangsurkan
amplop tersebut. “Pak, tolong diterima, saya ikhlas bukan untuk mempengaruhi
Bapak, tapi ungkapan terima kasih saya.”
“Mohon maaf, Bu, terima kasih sekali lagi. Kami sedang berusaha menegakkan
etika dalam bekerja, jadi tolong dukung kami dengan tidak memberikan apa pun
kepada kami.” Aku melihat Ibu itu kecewa. Dia benar-benar tulus. Tapi kami juga
tulus melayani masyarakat. Karena kami memang dibayar pemerintah untuk itu.
Hari ini ada perasaan yang membuncah, Allah memberikan kesempatan untuk
menjelaskan kepada Ibu Sarmini yang diyakini seorang Pengusaha Batik Sukses,
bahwa kami adalah pegawai BPN yang profesional.
B. AMPLOP COKLAT
Ketika nasehat baik orang tua, prinsip dan keyakinan yang sudah
dipegang, tugas dan tanggung jawab pekerjaan bertemu dengan
atasan yang melanggar aturan dan besarnya kebutuhan hidup, menjadi
pilihan yang seringkali sulit, yang mana yang harus dipilih?
“Hati-hati di sana Nang, gak usah aneh-aneh, nurut sama atasan. Apapun yang
kamu kerjakan di tempat orang, lakukan yang terbaik demi agama, nusa, dan
bangsa! Yang penting satu: jangan korupsi! Simbok di rumah baik-baik saja.
Mangkato, Nang, nanti terlambat!”
Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, seperti baru kemarin Simbok
mengatakan itu, ketika aku berangkat untuk pertama kalinya meninggalkan rumah
untuk bekerja di kota.
“Tidak usah sok deh, kamu ‘kan masih pegawai baru!” muka meradang menahan
amarah, Atasanku menggebrak meja dengan keras. “Saya benar-benar tidak berani
Pak.” “Kamu kan tidak perlu ngapa-ngapain, cukup ketik saja sesuai
kesepakatan!” “Tapi, Pak ...“ “Tidak usah tapi-tapian, habis waktu saya jika hanya
berdebat denganmu!”
Tidak! Betapa pun Beliau adalah pemimpin di kantor ini, aku tidak ingin
memenuhi perintahnya. Aku bimbang sejenak, meskipun akhirnya dengan berat
kutinggalkan juga ruangan itu, kembali ke meja kerjaku. Demi memikirkan
kembali posisiku sebagai pegawai baru di kantor ini, aku pun memenuhi
permintaan Beliau. Sehingga angka-angka ajaib itu pun tercipta, entah dari mana
aku sendiri tak mampu menjelaskan. Tugasku hanyalah memindahkan catatan
tangan itu dalam format yang telah ditentukan. Seminggu kemudian Atasanku
mendatangiku dan memberiku amplop cokelat yang tak perlu ditanyakan lagi
isinya apa.
“Maaf, ini apa, Pak?” tanyaku curiga.
“Jatah kamu,” jawabnya polos. “Maksudnya, Pak?” tanyaku lagi. “Tidak usah
basa-basi, ambil saja!” ujarnya enteng sambil meninggalkan ruanganku begitu
saja. Segera kuintip isi amplop cokelat yang memang tidak disegel itu. Segepok
uang yang tidak sedikit! Tidak, hal inilah yang paling kutakutkan dari kemarin.
Menerima uang yang bukan hakku. Apalagi aku tahu ini adalah uang kotor. Aku
harus menolak uang ini, tapi bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?
Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku. Akhirnya kuyakinkan
diri untuk teguh pada prinsipku, bila tak dimulai dari sekarang, maka tak akan
terjadi perubahan apapun. Kupaksakan pikiranku tertuju pada harapan akan
perubahan besar pada instansi ini ke arah yang jauh lebih baik. Mempertahankan
budaya lama yang santun, kembangkan budaya baru yang lebih beradab, temukan
cara perubahan yang terbaik dan meninggalkan keburukan-keburukan. Aku pun
bersemangat menuju ke ruangan atasanku. “Saya percaya Mas Bagas orang baik.
Makanya uang itu saya serahkan ke kamu. Kalau saya serahkan ke orang lain yang
tidak semestinya, pasti akan diarahkan ke hal yang semakin tidak jelas.
Memangnya kamu mau uang yang dibilang ‘kotor’ itu digunakan dan dihambur-
hamburkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab? Apakah tidak lebih berdosa
nantinya kalau kita memberikan daging kambing yang tak berdosa kepada singa
lapar yang malas mencari mangsa? Kalau kamu merasa uang itu bukan hakmu,
kamu bisa salurkan ke tempat yang menurutmu tepat. Dan yang jelas, karena toh
selama ini kamu adalah tulang punggung kantor ini. Hampir semua seksi
membutuhkan tenagamu, jadi adalah uang hasil keringatmu juga.” ujar Atasanku
suatu hari. Terkejut, aku pun lemas tak berkutik mendengar perkataan ‘enteng’
Beliau. Ya Allah, benarkah yang kudengar tadi? Yang kupahami ini bukan hakku.
Namun mengapa atasanku tadi berkata bahwa ini hasil keringatku sendiri?
Bukankah tanpa uang ini pun aku tetap harus menyelesaikan pekerjaanku, karena
memang sudah kewajibanku?
“Bagas pulanglah, Simbok sakit keras, Pak Lik-mu ndhak punya uang banyak
untuk biaya operasi ibumu.” Bagiku berita itu seperti petir di siang bolong.
Ampuni aku ya Allah, karena selama ini aku begitu lalai berbakti kepada orang
tuaku sendiri. Aku telah meninggalkan Simbok sendiri bersama Pak Lik yang
ternyata juga sedang kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri, apalagi
ditambah kondisi Simbok yang sakit-sakitan. Baru kutahu bahwa uang yang
kukirimkan setiap bulan itu sangat tidak mencukupi biaya rawat jalan Simbok,
karena biaya obat-obatan yang cukup mahal. “Memangnya gajimu cukup banyak
untuk membawa Simbok ke rumah sakit, Nang?” Lidahku mendadak kelu.
Mendadak terlintas olehku sebuah amplop cokelat yang sudah kumasukkan ke
dalam tasku. Dan tas itu, kini masih teronggok di kamar kosku. Namun,
pergolakan di hati terjadi. Tak sudi kucelakai Simbok dengan uang itu. Simbok
pasti juga tidak akan rela jika tahu asal-usul biaya pengobatannya. Kubuang
bayangan amplop cokelat yang memutari kepalaku. Hidup mati manusia sudah
diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Sayup-sayup terngiang kalimat penuh cinta dari Simbok, “Yang penting satu,
jangan korupsi!”
Seandainya apa yang dilakukan oleh Jaya adalah hal yang benar, tentunya Jaya tak
perlu merasa bersalah. Namun nyatanya, Jaya justru merasa semakin tertekan atau
tidak bahagia karena di dalam dirinya berkecamuk sebuah perasaaan bahwa
meski di hadapan manusia ia dianggap sebagai pahlawan namun di hadapan
Tuhan tindakannya tetaplah salah. Rasa bersalah terus saja menyelimuti Jaya,
terlebih bila ia membandingkan dirinya dengan teman sejawatnya yang ternyata
bisa hidup jujur dan tidak takut untuk melawan arus. Selanjutnya, pada bulan April
2005 Jaya dimutasikan ke kantor BPN wilayah Kalimantan Barat. Di tempat yang
baru ini, tepatnya satu tahun kemudian pada tahun 2006, Jaya sudah tidak tahan
lagi dengan perasaan bersalah yang menghantuinya. Pelan tapi pasti, di dalam
dirinya mulai ada keberanian untuk bekerja dengan penuh kejujuran atau
integritas. Namun, di saat timbul keberanian dan ada keinginan yang kuat untuk
berubah, Jaya dihadapkan pada masalah lain. Anaknya ternyata divonis
Dyslexia sehingga harus menjalani terapi dan perlu penanganan khusus. Tentunya
diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Setelah dihitung-hitung, penghasilan
yang diterimanya bakal terkuras untuk membiayai pengobatan anaknya. Luar
biasa, ternyata dalam kesulitan dan ujian hidup yang dialaminya ini, Jaya tetap
memutuskan untuk bekerja tanpa mendapatkan ‘uang saku’ lagi. Keputusan ini
disikapi Jaya dengan cara benar-benar menolak “rezeki” atau ucapan terima kasih
dalam bentuk apapun dari auditee setiap kali selesai mengaudit. Keputusan ini
membuat teman-temannya merasa heran. Bahkan ketua timnya, Arya, dengan rasa
penasaran bertanya kepadanya, “Mengapa kalau dulu mau duit, sekarang tidak
mau? Bukankah duit ini bisa dipakai untuk membantu orang yang susah?” Jaya
pun menjawab bahwa ia ingin berubah. “Kalau kita mau melakukan sesuatu yang
benar caranya pun harus benar, Pak Arya,” tambahnya lagi. Walaupun Arya ingin
memberi uang kepada Jaya untuk pengobatan anaknya, Jaya tetap menolaknya.
Luar biasa! Ini artinya Jaya menyakini bahwa untuk menolong si buah hati, ia tidak
boleh mencarinya dari uang yang tidak ‘jelas’. Masih penasaran dengan sikap
pegawai yang satu ini, suatu saat Arya menelpon Jaya dan meminta nomor
rekeningnya untuk mentransfer jatah atau bagian Jaya. Entah bagaimana memang
pada saat itu Jaya sebenarnya juga membutuhkan uang karena istrinya baru saja
mengalami kecelakaan. Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah jawaban?
Keputusan untuk memilih gaya hidup sebagai pribadi yang berintegritas sudah
bulat dan final sehingga dengan berteguh hati ia tetap menolak uang tersebut.
Keputusan ini kelihatannya konyol karena bagaimana bila suatu saat nanti Jaya
ternyata membutuhkan uang tambahan, apakah ia harus kembali menerima ‘uang
saku’? Tidakkah ini akan lebih memalukan?
Seiring dengan berjalannya waktu, di bulan Juni 2008 Jaya mendapat kenaikan
jabatan. Mungkin ada yang beranggapan bahwa dulu ‘rezekinya’ tidak seberapa
sehingga lebih baik ditolak daripada bikin malu menerimanya. Namun, kini
dengan ‘rezeki’ yang lebih besar setelah kenaikan jabatan, Jaya sebenarnya bisa
saja mewujudkan impian untuk mengobati anaknya yang berkebutuhan khusus
tersebut.
Selama menjabat jabatan barunya, Jaya sama sekali tak pernah luluh dengan
rayuan untuk mendapatkan ‘rezeki’ tambahan yang dapat mengubah nasibnya.
Selain itu, Jaya pun dikenal tegas karena tidak bersedia berkompromi dengan
pengguna jasa. Bahkan dalam bekerja, Jaya mencoba mengajak teman-teman
Berita dahsyatnya tsunami Aceh demikian mengharu biru. Bulan Desember 2004,
Salah seorang pegawai kantor BPN ada mengalami peristiwa dahsyat itu, dia
adalah Junedi. Pada sebuah pertemuan yang mengharukan, cerita deras mengalir
dari Beliau:
Aku salah satu aparat di kantor BPN dan aku tinggal tidak jauh dari tepi laut.
Minggu, 26 Desember 2004 Pagi itu aku masih tertidur lelap, tiba-tiba guncangan
hebat membangunkannya, terdengar teriakan dari luar kamar, “Gempa, gempa,
gempa…” Semua penghuni kontrakan juga penghuni rumah-rumah lainnya
berhamburan keluar menuju jalan aspal, gempa begitu kuat hingga semua orang
berusaha menghindari daerah yang berbahaya, khawatir pohon tumbang, tiang
listrik/telepon roboh, ataupun bangunan mess yang roboh. Setelah gempa mereda,
kemudian aku masuk kamar dan mengambil HP, waktu masih menunjukkan jam
08.15 WIB, aku ingin mengabari keluargaku di Jawa namun sinyal tak ada. Tiba-
tiba gempa kembali terjadi, goncangannya lebih kecil dibanding gempa yang
pertama. Kami pun kembali berkumpul di aspal. ”Mudah-mudahan gempa tidak
berasal dari laut, karena dikhawatirkan gempa tersebut disusul dengan gelombang
dari arah laut.” Kata salah satu rekanku.
Setelah beberapa saat, aku kembali ke kontrakan. Namun tak berselang lama,
tsunami datang! Tiba-tiba terdengar suara ribut dari arah pantai, orang-orang
berusaha mencari perlindungan. Tiba-tiba air datang begitu cepat, tingginya ± 2
meter, air menerjang pagar tembok tempat aku dan tetanggaku menyelamatkan
diri. Robohlah pagar tembok itu, kami jatuh bersama robohnya tembok. Kami
tenggelam, tergilas air laut yang asin dan keruh karena bercampur dengan pasir
dan tanah. Aku berusaha mencapai permukaan air, karena pagar tembok itu
terhalang oleh mess yang masih berdiri kokoh, jadi arus dari laut tak begitu kuat
menerjangku. Aku berusaha menggapai pohon yang ada di dekatku, aku berhasil
memegang salah satu cabang pohon tersebut. Sementara waktu aku selamat, tapi
air begitu cepat meninggi, menenggelamkan pohon tempatku bergantung. Semua
hancur dan tenggelam terkena tsunami. Ternyata keganasan air tak berhenti
sampai di situ. Beberapa saat kemudian ombak setinggi ± 7 meter datang
menghempas dan menenggelamkan diriku ke dalam air. Berkat kayu yang masih
kupeluk dengan erat, aku tenggelam dalam air hanya 5-6 detik dan muncul lagi ke
permukaan.
Setelah berkali-kali ditenggelamkan ombak, dan menghadapi beberapa kendala
aku terus berusaha bergerak dengan sisa tenaga yang ada. Kucari kayu lain agar
aku tetap bisa mengapung. Setelah kudapat, kupeluk erat kayu itu dengan tangan
kiriku. Kuikuti arus menuju kota dan sedapat mungkin kuhindari arus balik ke laut.
Akhirnya aku merapat di atas seng (atap rumah) dan beristirahat di atas seng
tersebut. Matahari mulai menunjukkan sinarnya, hingga seng tempatku pun mulai
terasa panas. Menyengat. Kuambil daun pintu yang terapung didekatku. Aku tarik
ke atas seng dan aku duduk di atasnya. Ikan mulai bergelimpangan di atas air. Ular
dan biawak pun berusaha keluar dari air, tak mampu bertahan di dalam air yang
sangat keruh berwarna cokelat pekat karena bercampur dengan pasir dan lumpur.
Kulihat sejauh mata memandang adalah hamparan air, atap penduduk yang berupa
seng, tumpukan kayu puing-puing rumah yang hanyut terbawa air dan lantai dua
beberapa rumah yang masih berdiri kokoh. Aku memandang jauh ke arah pantai,
tak nampak kantor tempat aku bekerja, tak nampak mess tempat aku berteduh dari
panas dan hujan. Entah bagaimana nasib kedua gedung tersebut.
Aku harus bergerak, takut akan gelombang susulan. Aku mulai berharap, mudah-
mudahan segera datang pertolongan/bantuan/evakuasi dari udara. Tempatku
beristirahat sangat terbuka, sehingga mudah dilihat dari udara jika bantuan tiba.
Jika ingin selamat, aku harus berusaha sendiri. Aku berhasil meyakinkan diriku
sendiri, aku harus berusaha sendiri semaksimal mungkin. Tak boleh
mengharapkan bantuan karena belum tahu kapan bantuan akan tiba, sementara
kulihat seluruh kota sudah porak poranda. Kuputuskan untuk melanjutkan
perjalananku dengan satu tujuan yaitu mencapai ujung air (daratan yang tidak
terkena tsunami). Aku mulai menceburkan diri ke air, aku berenang di pinggir
puing-puing kayu, menghindari arus balik air ke laut. Setelah lima puluh meter
berenang, aku putuskan untuk beristirahat di atas pohon mangga yang masih
berdiri kokoh. Aku tak dapat melanjutkan berenanganku karena arus balik ke laut
begitu deras. Tak mungkin aku berenang melawan arus tersebut. Aku beristirahat
di atas pohon mangga, memandang ke laut, khawatir akan datangnya air susulan.
Kudengar suara azan pertanda sudah waktunya salat Zuhur. Berarti sekarang
sudah jam 12.30 WIB. Sudah empat jam aku terapung. Namun, harapanku untuk
mencapai ujung air semakin besar karena dengan terdengarnya suara azan, berarti
daratan tidak terlalu jauh. Aku melanjutkan perjalananku dengan berjalan di atas
tumpukan puing-puing kayu dan seng yang sudah membentuk gunung setinggi ±
4-5 meter.
Aku terus melangkah, air masih setinggi pinggangku. Sesekali kulihat sekeliling
mencari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum karena tenggorokanku sudah
terlalu kering, setetes air tawar sudah cukup untuk membasahi tenggorokanku.
Dalam perjalananku aku berpapasan dengan seorang pemuda yang kulihat baru
saja mengangkat jenazah seorang wanita yang ternyata wanita itu adalah
tetangganya dan tak tahu di mana sang suami berada. Aku mencoba meminta air
kepadanya dan ditunjukkannya sebuah warung, tak jauh di depanku. Aku bergegas
menuju warung yang juga terendam air selututku. Isi warung berantakan hampir
roboh. Aku mencoba memanggil pemiliknya, tapi tak ada jawaban. Mungkin
warung ini sudah ditinggalkan pemiliknya. Karena tenggorokanku terasa kering
sekali, aku pun memaksakan diri untuk mencari sesuatu yang bisa membasahi
tenggorokanku. Sambil waspada, khawatir warung itu akan roboh, aku mengambil
3 buah jelly yang biasa dimakan anak-anak. Kumakan sebungkus. Alhamdulillah
tenggorokanku sudah basah saat ini. Ujung air 7 km dari rumah! Ternyata di
belakang kedai tersebut adalah daratan. Ya, air sudah berujung. Perjuanganku tak
sia-sia. Ketika pertama kali menginjak daratan, aku tak sanggup melangkah. Perih
sekali. Kedua kaki terluka mulai dari telapak hingga atas mata kaki. Kedua tangan
dan kepalaku pun penuh dengan luka. Aku melangkah dengan terpincang-pincang
menahan rasa sakit, orang nampak berlalu-lalang. Sebagian searah denganku, para
korban yang baru saja menyelamatkan diri, sebagian yang lain berlawanan arah
denganku. Mereka berusaha melakukan pertolongan kepada korban yang selamat
dan melakukan evakuasi jenazah. Setelah sampai di jalan raya, aku baru sadar
ternyata aku berada di samping Terminal, berarti aku sudah terdampar sejauh ± 7
kilometer dari Pantai tempatku pertama kali terkena bencana tsunami. Semua
pengungsi berjalan menuju arah yang sama yaitu Masjid. Di jalan aku menemukan
sandal yang beda kiri dan kanan, aku tanya tidak ada orang yang memiliki dan
mereka menganjurkanku untuk memakai sandal itu, mengurangi rasa sakit di
telapak kakiku. Aku terus berjalan menuju masjid, kutemui seseorang dengan
sebotol air mineral di tangannya. Aku mencoba meminta, alhamdulillah dengan
senang hati disodorkannya air mineral tersebut kepadaku. Basah sudah
tenggorokanku yang sudah kering sejak tadi. Sampai di masjid, terlihat para
pengungsi mulai dari anak-anak hingga orang tua, mereka berkumpul
berkelompok.
Kemudian seseorang berusaha mendekatiku (dia iba melihat bajuku yang basah
kuyup dan robek-robek, serta seluruh tubuhku yang penuh dengan luka). ”Bapak
dari mana?” Kuceritakan semua kejadian yang aku alami. Bapak itu kaget,
tercengang tak percaya atas apa yang aku alami.
”Di tempat kami yang jaraknya cukup jauh dari pantai, air begitu hebat dan
dahsyat, apalagi di daerah bapak yang jaraknya sangat dekat dengan laut”.
Kemudian aku minta tolong untuk diantar ke tempat Shara, calon istri Farhan,
temanku di kantor. Aku tahu tempatnya tapi lupa nama jalannya. Dengan senang
hati aku diantar ke tempat Shara. Sesampai di rumah yang berpagar dan berdinding
putih, aku turun. Ternyata rumah tersebut tak sedikit pun tersentuh oleh air. Aku
tak tahu bagaimana keadaan Firman. Kemudian Ibu Shara mempersiapkan kaos,
celana pendek, handuk, dan cairan pembunuh kuman untuk menghindari infeksi.
Ternyata dalam celana panjangku, masih terdapat dompet yang berisi KTP Merah
Putih, dua kartu debit, dan dua lembar uang pecahan Rp50.000,00. Gempa kecil
kembali terjadi sebanyak 3 kali. Semua berhamburan keluar rumah. Akhirnya
kami semua berkumpul di halaman rumah, dalam diam dan tatapan mata kosong.
Kami tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Trauma air… Tak lama kemudian
aku tersadar dari lamunanku, tampak di depan rumah, orang-orang berlarian panik
sambil meneriakkan, “Air… air… air…” Aku trauma, teringat kejadian pagi tadi
di mess-ku. Aku kurang sigap mendengar peringatan orang-orang dari pantai, aku
tak mau mengulangi kesalahanku yang pertama. Tak kuhiraukan lagi saran Ibu
Shara, aku segera lari dari rumah itu. Bahkan aku sampai lupa mengucapkan
terima kasih. Aku lupa kakiku yang masih perih akibat luka di telapak kakiku.
Yang ada di otakku hanyalah air yang begitu cepat, begitu tinggi, begitu dahsyat.
Aku harus lari secepat mungkin. Aku sampai kembali ke Masjid. Ternyata itu tadi
hanya teriakan-teriakan orang yang sedang panik. Sekelompok pria
memperhatikan aku, melihat luka-luka di sekujur tubuhku. “Ke pinggir jalan raya
aja, Bang, setiap saat ambulans lewat mengangkut korban yang terluka seperti
abang.” Salah seorang mencoba memberitahuku. Namun, aku masih trauma. Aku
tak mau kembali ke dalam kota. Aku tak sanggup membayangkan jika air datang
kembali meluluhlantakkan kota ini.
Mereka menganjurkanku untuk mengikuti arus pengungsi yang lain. Mereka
beriringan menuju bukit yang jaraknya 10 – 15 km. Di benakku muncul ingatan
bahwa di daerah bukit itu adalah sarang GAM. Baru saja aku lolos dari bencana
tsunami, apakah aku harus berhadapan dengan mereka? Hatiku mulai ciut. Aku
tak mau mati sia-sia. Akhirnya aku kembali ke masjid.
Aku pasrah, aku tetap pada pendirianku semula, aku harus lari dari kota ini apapun
yang akan terjadi. Aku berjalan mengikuti rombongan pengungsi, kami beriringan,
kebanyakan berjalan berkelompok bersama sanak saudara yang masih tersisa
akibat bencana. Setelah berjalan ± 500 m, dua buah Bus Sahabat berhenti, para
pengungsi berebut naik. Secara spontan aku pun ikut berebut naik bus. Bus
tersebut (kalau tidak salah Bus Sahabat tersebut mempunyai rute Aceh - Meulaboh
- Tapak Tuan - Medan) sedang berada di Terminal dan berusaha diselamatkan oleh
awak bus ke tempat yang lebih tinggi.
Menjelang magrib, sampailah bus yang kami tumpangi di pom bensin, terpisah
dengan Bus Sahabat lain yang masih ada di belakang kami. Bahan bakar bus mulai
menipis, sementara sepanjang jalan yang kami lalui tak satu pun yang menjual
bahan bakar, demikian juga di pom bensin tempat kami berhenti. Aku cukup was-
was, pom bensin tempat kami berhenti letaknya di tengah ladang dan dikelilingi
bukit. Daerah ini masih termasuk daerah rawan, masih ada anggota GAM yang
berkeliaran di daerah ini. Aku hanya bisa pasrah, kuserahkan semuanya kepada
Sang Pencipta.
Kira-kira 2 jam kemudian awak bus memutuskan untuk bergabung dengan Bus
Sahabat yang lain. Berarti kami harus kembali ke arah Banda Aceh. Mereka harus
bergabung untuk memudahkan koordinasi menunggu petunjuk lebih lanjut dari
perwakilan bus di Banda Aceh. Akhirnya bus berbalik arah dan meluncur menuju
arah Banda Aceh. Berarti untuk menuju kota Medan aku pun harus melalui jalur
darat.
BAB V. PENUTUP
Disiplin adalah jembatan antara bakat dan kesuksesan (Everest John Alexander)
Oleh karena itu, Selamat bagi Anda semua yang telah berproses dengan baik dan
telah menyelesaikan Modul 6 ini dengan baik.
A. SIMPULAN
Nilai “terpercaya” mengandung makna bahwa dalam bekerja,
berfikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan cara terbaik dan
benar, memegang teguh kode etik, amanat jabatan, amanat jabatan
dan prinsip-prinsip moral. Nilai ini sangat dibutuhkan khususnya bagi
Kementerian ATR/BPN yang merupakan lembaga layanan publik.
Perilaku “terpercaya” yang ditunjukkan oleh para ASN akan
berpengaruh pada citra organisasi dan kepercayaan masyarakat
terhadap Kementerian ATR/BPN.
Penerapan nilai “terpercaya” di Kementerian ATR/BPN dilakukan
dengan berbagai tahapan yang harus dipahami para ASNnya, mulai
dari pemahaman perilaku utama dari nilai “terpercaya” tersebut,
pelaksanaan internalisasi dan aktualisasi di organisasi Kementerian
ATR/BPN, serta pemahaman beberapa kisah inspiratiif terkait integritas
yang tak terbatas sebagai gambaran nyata bagi seluruh ASN. Dengan
dipahaminya konsep dan tahapan maka aktualisasi nilai “terpercaya”
secara aktual/nyata/terjadi/sesungguhnya dapat segera diwujudkan.
B. TINDAK LANJUT
Pengetahuan dan keterampilan yang telah dihasilkan melalui
pembelajaran dengan Modul ini, memberikan bekal kepada peserta
pelatihan untuk menapaki proses-proses pembelajaran berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 115/SK-0T.02/V/2021 tentang Nilai-Nilai
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Christofora Megawati Tirtawinata, 2013. Menjadi Pribadi Yang Dapat
Dipercaya. HUMANIORA Vol.4 No.1 April 2013: 49-57. diakses dari
http://research-
dashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceedi
ng/Humaniora/Vol.%204%20No.%201%20April%202113/_6_28_PSi
_Christofora%20Megawati%20Tirtawinata_SETTING_SARI_MENJA
DI%20%20PRIBADI%20%20YANG%20%20DAPAT%20%20DIPER
CAYA%20--%20EDITED.pdf
Dr. Basseng, M.Ed. Dr. Bayu Hikmat Purwana, M.Pd. 2015. Aktualisasi Nilai-
Nilai Dasar Profesi Pegawai Negeri Sipil. Modul Pendidikan dan
Pelatihan Prajabatan Golongan III. Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia. Jakarta
Dunia profesi, 2021. Cara Agar Menjadi Orang yang Bisa Diandalkan.
Diakses dari https://rrajaqni.blogspot.com/2015/12/cara-agar-
menjadi-orang-yang-bisa.html
Enda Heri, 2013. Tugas Kepatuhan Internal di Lingkungan Ditjen
Perbendaharaan. Diakses dari https://slideplayer.info/slide/2569350/
Flora L.Y. Barus, 2018. Ini Dia 10 Tanda Seseorang Bisa Dipercaya. Diakses
dari https://www.gatra.com/detail/news/321255-Ini-Dia-10-Tanda-
Seseorang-Bisa-Dipercaya
Fuad, Ihsan. 1997. Dasar-Dasar Kependidikan. Rieneka Cipta, Jakarta. h.
155.
Guru Pendidikan. 2021. Integritas Adalah. Diakses dari
https://www.gurupendidikan.co.id/integritas-adalah/
KUNCI JAWABAN
BAB II
1. D
2. B
3. B
4. E
5. C
BAB III
1. A
2. C
3. D
4. D
5. B