OLEH
KELOMPOK 1:
Dosen Pengampu:
DENPASAR
2023
1
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus didefinisikan oleh World Health Organization
(WHO) sebagai sindrom metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
kronis akibat salah satu dari beberapa kondisi yang menyebabkan
sekresi dan / atau tindakan insulin yang rusak. Pradiabetes adalah
keadaan yang ditandai dengan kelainan metabolisme yang
meningkatkan risiko terkenaDM dan komplikasinya.
Penyakit Diabetes Melilitus (DM) adalah penyakit kronis
yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai
akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh.
Gangguan metabolisme tersebut disebabkan karena kurangnya
produksi hormon insulin yang diperlukan tubuh. Penyakit ini juga
dikenal sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah.
Penyakit diabetes merupakan penyakit endokrin yang paling banyak
ditemukan (Susanti,2019)
Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan 3 cara yaitu jika
terdapat keluhan klasik, pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200
mg/dL sudahcukup untuk menegakkan diagnosis DM, yang kedua bila
pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik dan yang ketiga tes toleransi glukosa oral (TTGO) >200mg/dL,
(American Diabetes Association. Diabetes Guidelines. Diabetes Care,
2016)
2
menyerang sel-sel yang mensekresi insulin. Penyebab reaksi ini
belum diketahui.
Terlepas dari orang yang memiliki kerusakan pada
pankreas, diabetes tipe 1 hanya terjadipada mereka yang memiliki
kecenderungan genetik terhadap kondisi tersebut. Diabetes tipe 1
tampaknya datang tiba-tiba, tetapi penghancuran sel-sel penghasil
insulin dapat dimulai beberapa bulan atau tahun sebelumnya, dan
baru sekitar 80 persen atau lebih dari sel-sel ini telah dihancurkan
sehingga gejala biasanya muncul.
2) Diabetes Melitus tipe 2
Pada jenis diabetes ini, pankreas tidak dapat menghasilkan
cukup insulin atau sel kurang dapat meresponsnya. Ini berarti
glukosa tetap berada di dalam darah dan tidak dapat digunakan
untuk energi. Awalnya, pankreas merespons resistensi insulin
dengan memproduksi lebih banyak insulin, tetapi seiring waktu,
pankreas tidak dapat mengatasi peningkatan permintaan. Inilah
sebabnya mengapa pengobatan diabetes tipe 2 sering berubah
seiring waktu dan pada akhirnya cenderung membutuhkan
insulin. Diabetes tipe 2 seringkali, meskipun tidak selalu,
dikaitkan dengan kelebihan berat badan, dan juga dengan
penumpukan timbunan lemak di sekitar hati dan pancreas, serta
faktor usia.
3) Diabetes gestasional
Diabetes yang muncul pertama kali dalam kehamilan
dikenal sebagai diabetes gestasional. Terkadang, diabetes tipe 1
atau tipe 2 tidak terdiagnosis sebelum kehamilan. Lebih sering,
bagaimanapun, pertama kali muncul selama kehamilan, sekitar
24-28 minggu, dan menghilang saat bayi lahir. Wanita yang
mengidap diabetes tipe ini berisiko tinggi terkena diabetes
gestasional lagi di kehamilan berikutnya dan juga
mengembangkan diabetes tipe 2 permanen dalam beberapa tahun.
Saat Anda hamil, tubuh Anda meningkatkan glukosa
3
darahnya untuk memenuhi kebutuhan bayi yang sedang tumbuh
dan dibutuhkan lebih banyak insulin. Namun, hormon yang
diproduksi oleh plasenta membuat insulin menjadi kurang efektif.
Jika produksi insulin Anda tidak dapat mengatasi penurunan
efektivitas ini, glukosa tetap berada dalam darah dan diabetes
gestasional berkembang. Kondisi ini mungkin tidak menimbulkan
gejala tetapi akan terdeteksi selama pemeriksaan antenatal rutin.
Jika Anda mengalami diabetes gestasional, Anda akan ditawari
perawatandan perawatan yang dipersonalisasi selama kehamilan.
4) Kematangan diabetes pada anak muda
Umumnya dikenal sebagai MODY (Maturity Onset
Diabetes of the Young), ini adalah jenis diabetes genetik langka
yang terjadi padaorang di bawah 25 tahun yang memiliki riwayat
keluarga diabetes setidaknya dalam dua generasi. MODY sering
secara tidak sengaja didiagnosis sebagai diabetes tipe 1 atau tipe
2. Selain itu, MODY sering kali dirawat dengan insulin ketika
pada banyak orang dapat berhasil dikelola dengan obat diabetes
lain atau, pada beberapa orang,tanpa obat apa pun.
5) Diabetes autoimun laten pada orang dewasa
Kondisi ini (sering disebut hanya LADA Latent
autoimmune diabetes in adults) memiliki ciri-ciri diabetes tipe 1
dan tipe 2 sehingga kadang-kadang disebut sebagai “diabetes tipe
satu setengah”. LADA biasanya berkembang dari usia 30-an dan
seterusnya. Seperti tipe 1, ini terjadi karena pancreas berhenti
memproduksi insulin, yang diduga disebabkan oleh sistem
kekebalanyang menyerang sel-sel penghasil insulin.
Namun, tidak seperti tipe 1, sel penghasil insulin terus
memproduksi insulin selama berbulan- bulan atau bahkan
bertahun-tahun. Gejala LADA khas diabetes dan cenderung
datang secara bertahap: kelelahan terus-menerus; buang air kecil
berlebihan haus terus menerus; dan penurunan berat badan. Jika
dicurigai menderita LADA, pengobatan akan dilakukan dengan
4
tablet dan / atau insulin, tergantung kadar glukosa darah.
6) Diabetes neonatal
Jenis diabetes ini sangat jarang dan didefinisikan sebagai
diabetes yang didiagnosis sebelum usia 6 bulan. Ini disebabkan
oleh mutasi genetik yang mempengaruhi produksi insulin. Ada
dua jenis kondisi yaitu: sementara dan permanen. Pada tipe
sementara, kondisi biasanya menghilang pada usia sekitar 12
bulan. Jenis permanen seumur hidup dan dapat dikonfirmasi
dengan pengujian genetik. Perawatan mungkin dengan tablet atau
insulin.
7) Diabetes sekunder
Diabetes yang diakibatkan oleh masalah kesehatan lain atau
perawatan medis dikenal sebagai diabetes sekunder. Ada berbagai
kemungkinan penyebab, termasuk infeksi virus yang
menghancurkan sel-sel penghasil insulin di pankreas; kerusakan
pankreas akibat kondisi seperti fibrosis kistik atau pankreatitis;
operasi pengangkatan pankreas; kelainan hormonal tertentu,
misalnya penyakit Cushing; atau sebagai efek samping dari
beberapa obat, seperti kortikosteroid. Perawatan bervariasi sesuai
dengan penyebab yang mendasari.
8) Pradiabetes
Istilah "pradiabetes" mengacu pada glukosa darah yang
sedikit meningkat tetapi tidak cukup tinggi untuk digolongkan
sebagai diabetes. Jika Anda didiagnosis dengan pradiabetes, Anda
dapat mengurangi risiko terkena diabetes tipe 2 dengan nasihat
praktis dandukungan dari ahli kesehatan.
5
insulin atau insulin tidak dapat bekerja dengan baik, yang menyebabkan
berbagai gejala dan gangguan kesehatan.
Pada penderita diabetes, glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke sel tubuh sehingga kehilangan sumber energi yang biasa. Tubuh
mencoba membuang kelebihan glukosa dalam darah dengan
mengeluarkannya melalui urin, dan menggunakan lemak dan protein
(dari otot) sebagai sumber energi alternatif. Hal ini mengganggu proses
tubuh dan menyebabkan gejala diabetes.
Akibatnya, glukosa menumpuk di dalam darah dan
menyebabkan gejala seperti mengeluarkan banyak air seni, karena
tubuh Anda mengeluarkan kelebihan glukosa dengan menyaringnya ke
dalam urin. Karena tubuh tidak dapat menggunakan glukosa untuk
energi, ia menggunakan otot dan simpanan lemaknya, yang dapat
menyebabkan gejala seperti penurunan berat badan. Kadar glukosa
darah yang hanya sedikit.
Penyebab dari penyakit diabetes melitus (Susanti, 2019)
1) Genetik
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko
dari penyakit Diabetes Melitus. Sekitar 50% penderita
diabetes tipe 2 mempunyai orang tua yang menderita
diabetes, dan lebih dari sepertiga penderita diabetes
mempunyai saudara yang mengidap diabetes. Diabetes tipe
2 lebih banyak kaitannya dengan faktor genetik dibanding
diabetes tipe1.
2) Ras atau etnis
Ras Indian di Amerika, Hispanik dan orang
Amerika Afrika, mempunyai risiko lebih besar untuk
terkena diabetes tipe 2. Hal ini disebabkan karena ras-ras
tersebut kebanyakan mengalami obesitas sampai diabetes
dan tekanan darah tinggi. Pada orang Amerika di Afrika,
usia di atas 45 tahun, mereka dengan kulit hitam lebih
banyakterkena diabetes dibanding dengan orang kulit putih.
6
Suku Amerika Hispanik terutama Meksiko mempunyai
risiko tinggi terkena diabetes 2-3 kali lebih sering daripada
non-hispanik terutama pada kaumwanitanya.
3) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko diabetes yang
paling penting untuk diperhatikan. Lebih dari 8 diantara 10
penderita diabetes tipe 2 adalah orang yang gemuk. Hal
disebabkan karena semakin banyak jaringan lemak, maka
jaringan tubuh dan otot akan semakin resisten terhadap
kerja insulin, terutama jika lemak tubuh terkumpul di
daerah perut. Lemak ini akan menghambat kerja insulin
sehingga gula tidak dapat diangkut ke dalam sel dan
menumpuk dalam peredaran darah.
4) Metabolic Syndrome
Metabolic syndrome adalah suatu keadaan
seseorang menderita tekanan darah tinggi, kegemukan dan
mempunyai kandungan gul dan lemak yang tinggi dalam
darahnya. Menurut WHO dan NCEP-ATP III, orang yang
menderita metabolic syndrome adalah mereka yang
mempunyai kelainan yaitu tekanan darah tinggi lebih dari
140/90 mg/dl, kolesterol HDL kurang dari 40 mg/dl,
trigliserida darah lebih dari 150 mg/dl, obesitas sentral
dengan BMI lebih dari 30, lingkar pinggang lebih dari 102
cm pada pria dan 88 cm pada wanita atau sudah terdapat
mikroalbuminuria.
5) Pola makan dan pola hidup
Pola makan yang terbiasa dengan makanan yang
banyak mengandung lemak dan kalori tinggi sangat
berpotensi untuk meningkatkan resiko terkena diabetes.
Adapun pola hidup buruk adalah pola hidup yang tidak
teratur dan penuh tekanan kejiwaan seperti stres yang
berkepanjangan, perasaan khawatir dan takut yang
7
berlebihan dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Hal ini
diyakini sebagai faktor terbesar untuk seseorang mudah
terserang penyakit berat baik diabetes maupun penyakit
berat lainnya. Di samping itu aktivitas fisik yang rendah
juga berpotensi untuk seseorang terjangkit penyakit
diabetes.
6) Usia
Pada diabetes melitus tipe 2, usia yang berisiko
ialah usia diatas 40 tahun. Tingginya usia seiring dengan
banyaknya paparan yang mengenai seseorang dari unsur-
unsur di lingkungannya terutama makanan.
7) Riwayat endokrinopati
Riwayat endokrinopati yaitu adanya riwayat sakit
gangguan hormone (endokrinopati) yang melawan insulin
seperti peningkatan glukagon, hormone pertumbuhan,
tiroksin, kortison dan adrenalin.
8) Riwayat infeksi pancreas
Riwayat infeksi pancreas yaitu adanya infeksi
pancreas yang mengenai sel beta penghasil insulin. Infeksi
yang menimbulkan kerusakan biasanya disebabkan karena
virus rubella, dan lain-lain
9) Konsumsi obat
Konsumsi obat yang dimaksud ialah riwayat
mengonsumsi obat- obatan dalam waktu yang lama seperti
adrenalin, diuretika, kortokosteroid, ekstrak tiroid dan obat
kontrasepsi.
8
(Alifaradila Rachmayanti, et al., 2017). Menurut Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2013,
menyatakan bahwa dari jumlah masyarakat Indonesia yang terbagi atas
33 provinsi, penderita DM tipe 2 yang berusia >14 tahun sebanyak
176.689.336 jiwa. Dari jumlah yang sudah disebutkan tersebut, baru
sebanyak 2.650.340 jiwa yang tereteksi sedangkan sisanya belum
pernah didiagnosis oleh dokter menderita kencing manis tipe 2 (Adhitya
Prawirasatra, et al., 2017).
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa,
Indonesia menempati urutan ketujuh sebagai Negara dengan jumlah
penderita DM tertinggi, yaitu sekitar 7,6 juta jiwa. Dipreduksikan
bahwa Indonesia akan masuk ke dalam peringkat 5 teratas penderita
diabetes melitus terbanyak di dunia pada tahun 2030 (Alifaradila
Rachmayanti, et al., 2017). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi DM maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat
seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun.
Pada usia 20 tahun keatas, lebih dari 10 orang mengalami komplikasi
akibat diabetes sedangkan pada usia 65 tahun keatas, kasus DM tipe 2
ini meningkat 1-4 kali lipat (IDF, 2013). Adapun prevalensi pada orang
dewasa yaitu sebesar 2,5% pada pria dan 5,9% pada wanita. Prevalensi
tertinggi terjadi pada kelompok wanita berusia 41-55 tahun (Mirza,
2017).
9
2) Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa
dalam darah
3) Glikolisis meningkat sehingga dadangan glikogen berkurang
dan glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus
menerus melebihi kebutuhan.
4) Glukoneogenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa
hati yang tercurah ke dalam darah dari pemecahan asam
amino dan lemak (Long ,1996).
Pada DM tipe 1 terdapat ketidak mampuan menghasikan
insulin karena sel-sel beta telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Akibat produksi glukosa tidak terukur oleh hati, maka terjadi
hiperglikemia. Jika konsentrasi klokosa dalam darah tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap semua glukosa, akibatnya glukosa muncul
dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa berlebihan diekskresikan
dalam urine disertai pengeluaran cairan dan elektrolit (diuresis
osmotik). Akibat kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan berkemih (poli uri) dan rasa haus
(polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.
pasien juga mengalami peningkatan selera makan (polifagi) akibat
penurunan simpanan kalori gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan.
Pada DM tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan ganguan
sekresi insulin. Resistensi insulin ini disertai dengan penurunan
reaksi intra sel sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Pada gangguan
sekresi insulin berlebihan, kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin maka kadar
glukosa darah meningkat. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif maka awitan DM tipe 2 dapat
10
berjalan tanpa terdeteksi. Gejala yang dialami sering bersifat
ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuri, polidipsi, luka pada
kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
(jika kadar glukosanya sangat tinggi).
11
diperhatikan. Sebagian besar penderita DM tipe 2 yang baru
terdiagnosis memiliki berat badan yang berlebih. Menurut Corwin
(2009), gejala lain yang biasa muncul pada pasien DM yaitu:
1) Polyuria, (peningkatan pengeluaran urine) terjadi apabila
peningkatan glukosa melebihi nilai ambang ginjal untuk
reabsorpsi glukosa, maka akan terjadi glukossuria. Hal ini
menyebabkan diuresis osmotic yang secara klinis bermanifestasi
sebagai poliuria.
2) Polydipsia (peningkatan rasa haus) terjadi karena tingginya
kadar glukosa darah yang menyebabkan dehidrasi berat pada sel
di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena glukosa tidak dapat
dengan mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel. Rasa
lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien
diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan.
3) Polyfagia (peningkatan rasa lapar) terjadi karena penurunan
aktivitas kenyang di hipotalamus. Glukosa sebagai hasil
metabolisme karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam sel,
sehingga menyebabkan terjadinya kelaparan sel.
12
c. Pernapasan (RR) : biasanya pasien mengalami
takipnea
d. Suhu (S) : biasanya suhu tubuh pasien
mengalami pen ingkatan jika terindikasi adanya
infeksi.
4) Berat badan : pasien DM biasanya akan mengalami penuruan
BB secara signifikan pada pasien yang tidak mendapatkan
terapi dan terjadi peningkatan BB jika pengobatan pasien rutin
serta pola makan yang terkontrol.
5) Kepala dan leher
a. Wajah: kaji simetris dan ekspresi wajah, antara lain
paralisis wajah (pada klien dengan komplikasi stroke).
a. Mata: kaji lapang pandang klien, biasanya pasien
mengalami retinopati atau katarak, penglihatan kabur,
dan penglihatan ganda (diplopia).
b. Telinga: pengkajian adakah gangguan pendengaran,
apakah telinga kadang-kadang berdenging, dan tes
ketajaman pendengaran dengan garputala atau bisikan.
c. Hidung: tidak ada pembesaran polip dan tidak ada
sumbatan, serta peningkatan pernapasan cuping hidung
(PCH).
d. Mulut:
a) Bibir: sianosis (apabila mengalami asidosis atau
penurunan perfusi jaringan pada stadium
lanjut).
b) Mukosa: kering, jika dalam kondisi dehidrasi
akibat diuresis osmosis.
c) Pemeriksaan gusi mudah bengkak dan
berdarah, gigi mudah goyah.
d) Leher: pada inspeksi jarak tampak distensi vena
jugularis, pembesaran kelenjar limfe dapat
muncul apabila ada infeksi sistemik
13
6) Jantung dan Paru-paru
Jantung
a. Inspeksi: Ictus kordis tidak tampak terlihat.
b. Palpasi: Ictus kordis teraba di ICS IV midclavikula
sinistra.
c. Perkusi: Redup, ukuran dan bentuk jantung secara
kasar pada kasus diare masih dalam batas normal.
d. Auskultasi: Anak diare tanpa dehidrasi: denyut jantung
normal, dehidrasi ringan/sedang: denyut jantung
normal-meningkat, dehidrasi berat: takikardi dan
brakikardi.
Paru-paru
a. Inspeksi : bentuk dada simetris atau asimetris, irama
pernapasan, nyeri dada, kaji kedalaman dan juga suara
nafas atau adanya kelainan suara nafas, tambahan atau
adanya penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Palpasi : lihat adnya nyeri tekan atau adanya massa.
c. Perkusi : rasakan suara paru sonor atau hipersonor.
d. Auskultasi : dengarkan suara paru vesikuler atau
bronkovesikuler.
Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau
tanpa sputum purulent (tergantung adanya infeksi atau
tidak)
Tanda: frekuensi pernapasan meningkat dan batuk
7) Abdomen
a. Inspeksi : amati bentuk abdomen simetris atau
asimetris.
b. Auskultasi: dengarkan apakah bising usus meningkat.
c. Perkusi : dengarkan thympany atau hiperthympany.
d. Palpasi : rasakan adanya massa atau adanya nyeri
tekan.
8) Integumen
14
a. Kulit: biasanya kulit kering atau bersisik
b. Warna: tampak warna kehitaman disekitar luka karena
adanya gangren, daerah yang sering terpapar yaitu
ekstremitas bagian bawah.
c. Turgor: menurun karena adanya dehidrasi
d. Kuku: sianosis, kuku biasanya berwarna pucat
e. Rambut: sering terjadi kerontokan karena nutrisi yang
kurang.
9) Sirkulasi
Gejala: adanya riwayat hipertensi, klaudikasi, kebas, dan
kesemutan pada ektremitas, ulkus pada kaki dan penyembuhan
lama.
Tanda: adanya takikardia, perubahan tekanan darah postural,
hipertensi, disritmia.
10) Genetalia: adanya perubahan pada proses berkemih, atau
poliuria, nokturia, rasanyeri seperti terbakarpada bagian organ
genetalia, kesulitan berkemih (infeksi).
11) Neurosensori: terjadi pusing, pening, sakit kepala, kesemutan,
kebas pada otot.
Tanda: disorientasi; mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap
lanjut)
15
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang
meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah puasa
terganggu (GDPT). Pertama Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl. Kedua
Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140- 199 mg/dl Diagnosis
prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c 5,7-6,4%.
3. Hipertensi
1. DM Tipe 1
Prognosis diabetes mellitus tipe 1 berkaitan dengan
morbiditas signifikan dan mortalitas prematur. Komplikasi yang
perlu diwaspadai pada jangka pendek berupa terjadinya
ketoasidosis diabetik atau reaksi hipoglikemia berat. Pada jangka
panjang, dapat terjadi berbagai komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular, seperti neuropati, nefropati, dan retinopati.
2. DM tipe 2
Prognosis diabetes melitus tipe 2 (DM Tipe 2) berkaitan
dengan kejadian komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular,
dimana hal ini dapat berisiko morbiditas bahkan mortalitas.
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu penyebab kebutaan
terbanyak dan kematian terbanyak dalam studi epidemiologi
global.
18
10. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologiPemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan
pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi
farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan, yaitu:
19
(d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl-IV) Obat golongan
penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan skresi
glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent)
2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin
1. Kombinasi obat antihiperglikemi oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan kadar glukosa
dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi isnulin basal dan prandinal, serta
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan (PERKENI,
2015).
20
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku
bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan
diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa
raba yang menurun, adanya luka yang tidak - sembuh dan
berbau, adanya nyeri pada luka.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab
terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh
penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-
penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi
insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat
penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis,
tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-
obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah
satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau
penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan
emosi yang dialami penderita sehubungan dengan
penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.
B. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara,
21
tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
b. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran
pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah
gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah
menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak
dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia,
lensa mata keruh.
c. Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna
kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah
sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka,
tekstur rambut dan kuku.
d. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada
penderita DM mudah terjadi infeksi.
e. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau
berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia,
kardiomegalis.
f. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan
lingkar abdomen, obesitas.
g. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas
atau sakit saat berkemih.
h. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn
tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas.
i. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia,
22
letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula
darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200
mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ).
Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau
( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman
23
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
-Ttv :
Nadi=80x/menit,
24
TD=110/90mmHg,
RR = 24x/menit
25
3. Rencana Tindakan Keperawatan/Intervensi
No Rencana Perawatan
Dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
‐ Untuk menmbantu
26
Edukasi
memberikan obat sesyai dosis
1. Anjurkan menghindari yang ditentukan
olahraga saat kadar glukosa
darah lebih dari 250 mg/dl
Kolaborasi
27
3 Setelah dilakukan asuhan observasi Untuk memantau
keperawatan selama 3x24 jam ) Identifikasi adanya nyeri rasa nyeri
maka mobilitas fisik meningkat atau keluhan fisik lainnya Untuk mengurangi
dengan kriteria hasil: ) Identifikasi toleransi rasa nyeri
Pergerakan fisik melakukan
a. ekstemitas meningkat (5) pergerakan
b. Kekuatan otot menurun (5) ) Monitor frekuensi jantung
c. Rentang gerak (ROM) dan tekanan darah sebelum
meningkat (5) memulai mobilisasi
d. Kelemahan fisik menurun (5) ) Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat bantu
(mis. pagar tempat tidur)
b. Fasilitasi melakukan
mobilisasi dini
c. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
dukasi
d. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi Anjurkan
melakukan obilisasi dini
e. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan duduk di tempat
tidur
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgesik
28
4. Evaluasi Keperawatan
Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah
dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang
diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh
mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam
waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi
tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali
menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan
pernyataan tujuan.. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu:
29
DAFTAR PUSTAKA
Istianah, I., Septiani, S., & Dewi, G. K. (2020). Mengidentifikasi Faktor Gizi pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kota Depok Tahun 2019. Jurnal
Kesehatan Indonesia (The Indonesian Journal of Health), X(2), 72–78.
30