Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN Tn. R DENGAN KASUS DIABETES MILITUS DI RUANG
AROFAH RSM SITI KHODIJAH
Disusun untuk memenuhi tugas praktik klinik Keperawatan Medikal Bedah
Dosen pembimbing : Dhina Widayati, S.Kep.,Ns.M.Kep.

Oleh:
Nama: Yuhana Cindy Prastika
Nim: 202001063

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES


KARYA HUSADA KEDIRI
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dengan diagnosa medis DM (DIABETES MILITUS) Pada


Tn.R di RSM SITI KHODIJAH, Oleh Mahasiswa Stikes Karya Husada Kediri :

NAMA : YUHANA CINDY PRASTIKA


NIM : 202001063
PRODI : S1 KEPERAWATAN
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik S1 Keperawatan
Departemen Keperawatan Medikal Bedah, yang dilaksanakan pada tanggal 29
Mei - 11 Juni 2023.

Mengetahui,

Yuhana Cindy Prastika


202001063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Dhina Widayati, S.Kep.,Ns.M.Kep. Ns. Setyo Herlina, S.Kep.


NIDN. 0731038601 NIK. 09.070182.059
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
peningkatan kadar gula (glukosa) darah atau hiperglikemia (Jonathan,
2019).
Diabestes Melitus adalah suatu kondisi yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin
dan di diagnosis dengan mengamati peningkatan kadar glukosa dalam
darah (Azis, 2020).
Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan 3 cara yaitu jika terdapat keluhan
klasik, pemeriksaan glukosa plasma sewaktu =200 mg/dL sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM, yang kedua bila pemeriksaan glukosa
plasma puasa =126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik dan yang ketiga
tes toleransi glukosa oral (TTGO) >200mg/dL (American Diabetes
Association. Diabetes Guidelines. Diabetes Care, 2016).
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut (Walker, 2020) Diabetes Melitus diklasifikasikan dalam 8
kategori Klinis diantaranya:
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat memproduksi insulin karena
sel-sel penghasil insulin di pankreas telah dihancurkan. Hal ini
disebabkan oleh respons autoimun di mana sistem kekebalan secara
keliru menyerang sel-sel yang mensekresi insulin. Penyebab reaksi ini
belum diketahui. Terlepas dari orang yang memiliki kerusakan pada
pankreas, diabetes tipe 1 hanya terjadi pada mereka yang memiliki
kecenderungan genetik terhadap kondisi tersebut. Diabetes tipe 1
tampaknya datang tiba-tiba, tetapi penghancuran sel-sel penghasil
insulin dapat dimulai beberapa bulan atau tahun sebelumnya, dan baru
sekitar 80 persen atau lebih dari sel-sel ini telah dihancurkan sehingga
gejala biasanya muncul.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Pada jenis diabetes ini, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup
insulin atau sel kurang dapat meresponsnya. Ini berarti glukosa tetap
berada di dalam darah dan tidak dapat digunakan untuk energi.
Awalnya, pankreas merespons resistensi insulin dengan memproduksi
lebih banyak insulin, tetapi seiring waktu, pankreas tidak dapat
mengatasi peningkatan permintaan.
c. Diabetes gestasional
Diabetes yang muncul pertama kali dalam kehamilan dikenal sebagai
diabetes gestasional. Terkadang, diabetes tipe 1 atau tipe 2 tidak
terdiagnosis sebelum kehamilan. Kemunculan sekitar 24-28 minggu,
dan menghilang saat bayi lahir. Saat hamil, tubuh meningkatkan
glukosa darahnya untuk memenuhi kebutuhan bayi yang sedang
tumbuh dan dibutuhkan lebih banyak insulin. Namun, hormon yang
diproduksi oleh plasenta membuat insulin menjadi kurang efektif. Jika
produksi insulin tidak dapat mengatasi penurunan efektivitas ini,
glukosa tetap berada dalam darah dan diabetes gestasional berkembang.
Kondisi ini mungkin tidak menimbulkan gejala tetapi akan terdeteksi
selama pemeriksaan antenatal rutin.
d. Kematangan Diabetes Pada Anak Muda
Umumnya dikenal sebagai MODY (Maturity Onset Diabetes of the
Young), ini adalah jenis diabetes genetik langka yang terjadi pada
orang di bawah 25 tahun yang memiliki riwayat keluarga diabetes
setidaknya dalam dua generasi. MODY sering secara tidak sengaja
didiagnosis sebagai diabetes tipe 1 atau tipe 2. Selain itu, MODY sering
kali dirawat dengan insulin ketika pada banyak orang dapat berhasil
dikelola dengan obat diabetes lain atau, pada beberapa orang, tanpa obat
apa pun.
e. Diabetes autoimun laten pada orang dewasa
LADA (Latent autoimmune diabetes in adults) memiliki ciri-ciri
diabetes tipe 1 dan tipe 2 sehingga kadang-kadang disebut sebagai
“diabetes tipe satu setengah”. LADA biasanya berkembang dari usia
30-an dan seterusnya. Seperti tipe 1, ini terjadi karena pankreas berhenti
memproduksi insulin, yang diduga disebabkan oleh sistem kekebalan
yang menyerang sel-sel penghasil insulin. Namun, tidak seperti tipe 1,
sel penghasil insulin terus memproduksi insulin selama berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun. Gejala LADA khas diabetes dan
cenderung datang secara bertahap: kelelahan terus-menerus; buang air
kecil berlebihan haus terus menerus; dan penurunan berat badan.
f. Diabetes neonatal
Jenis diabetes ini sangat jarang dan didefinisikan sebagai diabetes yang
didiagnosis sebelum usia 6 bulan. Ini disebabkan oleh mutasi genetik
yang mempengaruhi produksi insulin. Ada dua jenis kondisi yaitu:
sementara dan permanen. Pada tipe sementara, kondisi biasanya
menghilang pada usia sekitar 12 bulan. Jenis permanen seumur hidup.
g. Diabetes sekunder
Diabetes yang diakibatkan oleh masalah kesehatan lain atau perawatan
medis dikenal sebagai diabetes sekunder. Ada berbagai kemungkinan
penyebab, termasuk infeksi virus yang menghancurkan sel-sel
penghasil insulin di pankreas.
h. Pradiabetes
Istilah "pradiabetes" mengacu pada glukosa darah yang sedikit
meningkat tetapi tidak cukup tinggi untuk digolongkan sebagai
diabetes.
3. Etiologi Diabetes Melitus
Etiologi Diabetes Melitus Menurut (Susanti,2019) diantaranya:
a. Genetik
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit
Diabetes Melitus. Sekitar 50% penderita diabetes tipe 2 mempunyai
riwayat keluarga dengan diabetes. Diabetes tipe 2 lebih banyak
kaitannya dengan faktor genetik dibanding diabetes tipe 1.
b. Obesitas
Semakin banyak jaringan lemak, maka jaringan tubuh dan otot akan
semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama jika lemak tubuh
terkumpul di daerah perut. Lemak ini akan menghambat kerja insulin
sehingga gula tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam
peredaran darah.
c. Pola Hidup
Pola makan yang terbiasa dengan makanan cepat saji dan banyak
mengandung lemak dan kalori tinggi sangat berpotensi untuk
meningkatkan resiko terkena diabetes. Hal ini diyakini sebagai faktor
terbesar untuk seseorang mudah terserang penyakit berat baik diabetes
maupun penyakit berat lainnya. Di samping itu aktivitas fisik yang
rendah juga berpotensi untuk seseorang terjangkit penyakit diabetes.
Selain itu, stress juga meningkatkan kerja metabolisme dan
meningkatkan kebutuhan sumber energi yang berakibat pada kenaikan
kerja pankreas mudah rusak sehingga berdampak pada penurunan
insulin.
d. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis pada usia setelah
40 tahun. Penurunan ini yang berisiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas yang memproduksi insulin. Biasanya mengalami DM tipe II.
Dimana bertambahnya usia seiring dengan banyaknya paparan yang
mengenai seseorang dari unsur-unsur di lingkungannya terutama
makanan.
e. Riwayat endokrinopati
Riwayat endokrinopati yaitu adanya riwayat sakit gangguan hormone
(endokrinopati) yang melawan insulin seperti peningkatan glukagon,
hormone pertumbuhan, tiroksin, kortison dan adrenalin.
f. Riwayat infeksi pankreas
Riwayat infeksi pankreas yaitu adanya infeksi pancreas yang mengenai
sel beta penghasil insulin. Infeksi yang menimbulkan kerusakan
biasanya disebabkan karena virus rubella, dan lain-lain.
g. Konsumsi Obat-obatan
Konsumsi obat yang dimaksud ialah riwayat mengonsumsi obat-obatan
dalam waktu yang lama seperti adrenalin, diuretika, kortokosteroid,
ekstrak tiroid dan obat kontrasepsi.
h. Kebiasaan Merokok
Rokok mengandung zat adiktif yang bernama nikotin. Asupan nikotin
dapat meningkatkan kadar hormon seperti kortisol, yang dapat
mengganggu efek insulin.
4. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
Menurut (Black, 2014 dan Smeltzer et al,2013) manifestasi klinis diabetes
melitus diantaranya:
a. Poliuria (sering buang air kecil).
b. Polydipsia (rasa haus yang berlebih).
c. Polifagia (rasa lapar yang berlebih).
d. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan.
e. Pada kulit pasien DM akan mengalami kering, lesi kulit atau luka yang
lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada kulit.
f. Sakit kepala.
g. Mengantuk.
h. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
i. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf juga sering di alami oleh pasien DM.
5. Patofisiologis
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pancreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oeh
hati. Disamping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat
disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia prosprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa
dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glikosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan di eksresikan ke dalam urin, ekskresi ini
akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan
ini dinamakan diuresis osmotic. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(polyuria) dan rasa haus (polydipsia).
Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolism protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin yang mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa
yang disimpan) dan gluconeogenesis (pembentukan glukosa baru dari
asam-asam amino dan substansi lain). Namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut
menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan.

Ketoasidosis dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri


abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan penurunan kesadaran, koma bahkan
kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolic tersebut dan mengatasi
gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi
yang penting.
DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolic dengan karakteristik utama
adalah terjadinya hiperlikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum
jelas, factor genetic dikatakan memiliki peranan yang sangat penting
dalam munculnya DM tipe 2. Factor genetic ini akan berinteraksi dengan
faktor- faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas
fisik, diet dan tingginya kadar asam lemak bebas. Mekanisme terjadinya
DM 2 umumnya disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus padam
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insuli dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa dalam sel.
Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistesi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikam pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun, terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena
itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada DM 2. Meskipun demikian,
DM tipe yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainnya
seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK)
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-
tahun) dari progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien gejala tersebut sering bersifat
ringan seperti kelelahan, iritanilitas, polyuria, polydipsia, luka pada kulit
yang lama-lama sembuh, infeksi vagina atau pendangan kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi). Salah satu konsekuensi tdak terdeteksinya
penyakit DM selama bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi DM
jangka panjang (misalnya kelainan mata, neuropati perifer, kelainan
vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan
(Smeltzer dan Bare, 2015).
6. WOC
7. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus
Pemeriksaan Penunjang untuk DM dilakukan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dilanjutkan dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM,
seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi, obesitas, riwayat keluarga,
dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu pemeriksaan penyaring
setiap tahun. Bagi pasien berusia tua tanpa faktor resiko pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Yunita, 2015).
Pemeriksaan penunjang untuk diabetes melitus menurut (Wijaya,2013)
adalah sebagai berikut :
a. Kadar glukosa
1) Gula darah puasa / nuchter >140 mg/dl
2) Gula darah sewaktu / random > 200mg/dl
3) Gula darah 2 jam PP (post prandial) >200 mg/dl
b. Aseton plasma dengan hasil + mencolok
c. Aseton lemak bebas menunjukan peningkatan lipid dan kolesterol
d. Osmolaritas serum dengan hasil >330 osm / l
e. Urinalisis menunjukan adanya proteinuria, ketonuria, glukosuria
8. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM menurut (PERKENI,2021) diantaranya:
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Terapi farmakologis untuk penyandang DM yaitu obat oral dan
injeksi. Terapi farmakologis untuk DM diantaranya yaitu obat
antihiperglikemia oral. Untuk terapi farmakologis injeksi diantaranya
Insulin, Agonis GLP-1 (Increatin Mimetic), Kombinasi insulin dan
agonis GLP-1.
b. Penatalaksanaan Non Farmakologis
1) Edukasi
Edukasi yang dilakukan bagi pasien DM fokus pada perubahan
gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), serta edukasi tentang
pemberian obat anti diabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya
juga diberikan kepada seluruh anggota keluarga agar mereka
memahami pentingnya perubahan gaya hidup untuk keberhasilan
manajemen DM (Indonesia, 2015). Edukasi dilakukan dengan
tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM.
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian penting dan
penatalaksanaan DM secara komprehensif. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
3) Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmina yang bisa dilakukan
diantaranya jalan cepat, bersepada, jongging, berenang.
9. Komplikasi Diabetes Melitus
Menurut (Astuti,2017), komplikasi yang ditimbulkan DM diantarnya:
a. Komplikasi Akut
1) Hipoglikemia yaitu keadaan dimana kadar gula dalam darah
berada di bawahkadar normal.
2) Hiperglikemia yaitu keadaan dimana kadar gula dalam darah
berada di atas kadar normal.
3) Penyakit makrovaskuler yaitu penyakit mengenai pembuluh darah
besar, penyakit jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit
pembuluh darah kapiler).
4) Penyakit mikrovaskuler yaitu penyakit mengenai pembuluh darah
kecil, renopati dan nefropati.
b. Komplikasi Kronis
1) Neuropatik diabetikum yaitu kerusakan syaraf kaki yang
meningkatkan kejadian ulkus kaki dan infeksi.
2) Retinopati diabetikum yaitu salah satu penyebab kebutaan yang
terjadi karena kerusakan pembuluh darah.
3) Nefropatik diabetikum yaitu penyakit ginjal diabetes yang
menyebabkan kerusakan fungsi ginjal.
4) Proteinuria yaitu faktor risiki penurunan faal ginjal.
5) Kelainan koroner yaitu keadan yang terjadi karena penyempitan,
penyumbatan dan adanya kelainan di pembuluh nadi koroner.
Akibat dari penyempitan atau penyumbatan ini dapat
menghentikan aliran darah ke otot.
6) Ulkus atau gangren diabetikum yaitu kematian karena
penyumbatan pembuluh darah oleh mikroemboli retrombosis
akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang menyertai pasien DM
sebagai komplikasi menahun.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
I. Data Umum
Identitas pasien meliputi nama, ruang rawat, no register, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa,bahasa, alamat, pekerjaan, penghasilan,
status, pendidikan terakhir, golongan darah, tanggal MRS, tanggal
pengkajian, diangnisa medis, dll.
II. Data Dasar
a. Keluhan utama
Biasanya pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama gatal-
gatal pada kulit lalu menimbulkan luka dan tidak sembuh-sembuh,
kesemutan atau rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping
itu pasien juga mengeluh poliuri, polidipsi, anoreksia, mual dan
muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut,
kram otot, sakit kepala sampai penurunan kesadaran.
b. Alasan masuk rumah sakit
Suatu kronologi dari awal kejadian hingga pasien dibawa ke rumah
sakit.
c. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pasien datang degan keluhan yang dominan adalah
sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi
dan polifagia), sebelum pasien mempunyai berat badan yang
berlebih, biasanya pasien belum menyadari kalau itu merupakan
perjalanan penyakit diabetes mellitus. Pasien baru tahu kalau
sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
d. Upaya yang telah dilakukan
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala.
e. Terapi yang telah diberikan
Terapi dengan memberikan penatalaksanaan baik farmakologis
maupun non farmakologis.
f. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien DM pernah dirawat karna kadar glukosa darah
tinggi. Adanya faktor resiko yang mempengaruhi seperti genetic,
obesitas, usia, minimnya aktivitas fisik, pola makan yang
berlebihan atau salah.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya dari genogram keluarga terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita diabetes mellitus.
III. Pola Fungsi Kesehatan
a. Presepsi terhadap kesehatan-manajemen kesehatan
Perlu dikaji mengenai persepsi pasien dan keluarga mengenai
pentingnya kesehatan bagi anggota keluarga. Pada pasien dengan
DM dapat terjadi perubahan pola persepsi dan tata laksana hidup
sehat dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang kepatuhan pola
hidup sehat dan kepatuhan akan prosedur pengobatan.
b. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan dan
sirkulasi dan juga kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
Pentingnya latihan/gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak tubuh
dan kesehatan berhubungan satu sama lain. Mengkaji reaksi pasien
setelah beraktivitas adanya keringat dingin, kelelahan, perubahan
pola nafas. Beberapa pasien DM akan mengalami kesulitan
beraktivitas karena kelemahan.
c. Pola istirahat dan tidur
Pada pola istirahat tidur yang perlu dikaji yaitu apakah pasien bisa
tidur, waktu tidur, lama tidur, kualitas tidur, nyenyak, nyaman.
Adakah masalah dalam tidur seperti insomnia dan somnabulism.
d. Pola nutrisi-metabolik
Perlu dikaji mengenai nutrisi dan metabolik pasien. Kaji kebiasaan
makan pasien, pola diet, penurunan berat badan, adakah mual
muntah dan kesulitan menelan. Metabolisme dapat terganggu karena
retensi insulin sehingga menimbulkan gejala sering kencing, sering
minum, sering makan, berat badan turun, dan kelelahan. Keadaan ini
dapat mengakibatkan gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
e. Pola eliminasi
Mengkaji pola BAB dan BAK pasien sebelum dan sesudah sakit.
Pada pasien DM biasanya terdapat perubahan dalam eliminasi urine.
Terdapat poliuri, retensi urine, inkontinensia urine, rasa panas atau
tidak nyaman pada proses BAK. Karena terjadinya hiperglikemia
dapat menyebabkan pasien sering kencing.
f. Pola kognitif dan persepsi sensori
Perlu dikaji apakah mengalami gangguan kognitif dan perseptual
sensori seperti adakah nyeri jika ada bagaimana kualitas, durasi,
skala dan cara mengurangi nyeri. Apakah panca indra dapat
berfungsi dengan baik, bagaimana kemampuan bicara pasien. Selain
itu perlu dikaji mengenai daya ingat, konsentrasi dan kemampuan
mengetahui tentang penyakitnya. Biasanya pasien dengan diabetes
akan mengalami keluhan sakit atau kesemutan terutama pada kaki.
Selain itu juga mengalami gangguan penglihatan.
g. Pola konsep diri
Menggambarkan bagaimana pasien memandang dirinya sendiri,
adakah perasaan terisolasi diri atau perasaan tidak percaya diri,
cemas karena penyakitnya. Pasien dengan DM memerlukan
pengobatan dan perawatan yang cukup lama sehingga menyebabkan
pasien mengalami gangguan kecemasan.
h. Pola mekanisme koping
Menggambarkan adakah masalah yang dialami pasien, ketakutan
akan penyakitnya, kecemasan yang muncul tanpa alasan jelas,
pandangan pasien dan koping mekanisme yang digunakan pasien
ketika terjadi masalah.
i. Pola fungsi seksual – reproduksi
Menggambarkan adakah gangguan yang terdapat pada
reproduksinya dan apakah penyakitnya yang sekarang mengganggu
fungsi seksualnya. Pasien dengan DM terkadang mengalami keluhan
gangguan ereksi dan keputihan menyebabkan adanya ganggguan
pada system reproduksi.
j. Pola hubungan – peran
Menggambarkan hubungan pasien dengan orang lain terutama orang
sekitar apakah baik kemudian peran pasien di lingkungan dan
masyarakat, serta apakah pasien ikut serta dalam kegiatan
masyarakat.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Menggambarkan kepercayaan yang dianut pasien, ketaatan ibadah
selama sakit, ketaatan berdoa, kemudian adakah hambatan yang
dialami pasien dalam melakukan ibadah.
IV. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum
1) Keadaan umum: pasien DM biasanya datang ke RS dalam
keadaan baik composmentis.
2) Tanda-tanda vital: pemeriksaan tanda vital yang terkait yaitu
tekanan darah, nadi, suhu dan frekuensi pernafasan. Tekanan
darah dan pernafasan pada pasien dengan pasien DM bisa tinggi
atau normal, Nadi dalam batas normal, sedangkan suhu akan
mengalami perubahan jika terjadi infeksi.
b. Kepala
1) Bentuk kepala kemudian pada kulit kepala adakah benjolan atau
lesi atau tidak.
2) Rambut: warna rambut termasuk kuantitas, penyebaran dan
tekstur rambut.
3) Wajah: pucat dan wajah tampak berkerut menahan nyeri.
4) Mata: Mata tampak cekung (kekurangan cairan), sclera ikterik,
konjungtiva merah muda, penglihatan kabur. Pupil: miosis,
midrosis, atau anisokor.
5) Hidung: Tidak terjadi pembesaran polip dan sumbatan hidung
kecuali ada infeksi skunder seperti influenza.
6) Mulut dan faring Bibir: sianosis, pucat beberapa mengalami mual
muntah, lidah sering terasa tebal, gigi mudah goyah, gusi mudah
bengkak dan berdarah, ludah terasa lebih kental, Mukosa oral:
lembab atau kering.
7) Telinga: bentuk telinga, kebersihan telinga, adanya gangguan
pada telinga.
c. Leher
Leher simetrsi atau tidak, nyeri telan atau tidak, nyeri tekan atau
tidak, ada pembesaran vena jugularis dan kelenjar tiroid atau tidak.
d. Thorax (dada)
a. Paru-paru.
Inspeksi: melihat apakah pasien mengalami sesak nafas.
Palpasi: Mengetahui vocal premitus dan mengetahui adanya
massa, lessi atau bengkak.
Perkusi: mengkaji area paru-paru pada thoraks.
Auskultasi: mendengarkan suara nafas normal dan nafas
tambahan.
b. Jantung.
Inspeksi: amati ictus kordis terlihat atau tidak.
Palpasi: takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, nadi perifer
melemah atau berkurang.
Perkusi: mengetahui ukuran bentuk jantung secara kasar.
Auskultasi: mendengar detak jantung, bunyi jantung dapat di
diskripsikan dengan S1, S2 tunggal.
e. Abdomen
Inspeksi: melihat apakah terdapat benjolan di perut.
Auskultasi: Memeriksa peristaltik usus dengan menghitung selama 1
menit.
Perkusi: mengetahui bunyi suara pada abdomen, dominan suara
timpani.
Palpasi: mengetahui adanya nyeri tekan.
f. Tulang belakang
Ada atau tidak kelainan tulang belakang seperti lordosis,skoliosis,
kifosis.
g. Ekstermitas
Melihat adanya keterbatasan dalam aktivitas dan ada tidaknya
kelumpuhan atau kekakuan.
Kekuatan otot: 0: lumpuh. 1: ada kontraksi. 2: melawan gravitasi
dengan sokongan. 3: melawan gravitasi tapi tidak ada lawanan. 4:
melawan gravitasi dengan tahanan sedikit. 5: melawan gravitasi
dengan kekuatan otot penuh.
h. Genetalia dan anus
Melihat pada daerah genital mulai warna, kebersihan, adanya
benjolan seperti lesi, massa dan tumor. Normalnya daerah genital
bersih, integritas kulit baik, tidak ada edema dan tanda-tanda infeksi.
i. Pemeriksaan neurologis
Periksa ada atau tidaknya masalah atau gangguan pada 12 saraf
kranial. Biasanya pada penderita DM terjadi penurunan sensoris,
sakit kepala , latergi, mengantuk, reflek lambat, dan disorientasi.
V. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan gula darah
b. Pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral rolerance test
(TTGO) untuk menentukan toleransi terhadap respons
pemberian glukosa.
c. Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat
meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
d. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbAIc).
VI.Terapi
Jenis terapi farmakologis dan non yang diberikan kepada pasien dengan
DM biasanya untuk menstabilkan kadar glukosa darah dan pemeberian
edukasi terkait pola hidup dan cara mengkontrol kadar glukosa agar tetap
stabil.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan menurut (Tim Pokja PPNI SDKI,2018), diantarnya:
1. D.0027 Ketidakstabilan kadar gula darah
2. D.0009 Perfusi parifer tidak efektif
3. D.0129 Gangguan integritas kulit/jaringan
4. D.0111 Defisit pengetahuan
5. D.0142 Risiko infeksi
6. D.0077 Nyeri akut
7. D.0056 Intoleransi aktivitas
8. D.0109 Defisit Perawatan Diri
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1. D.0027 L.05022 Kestabilan kadar I.03115 Manajemen
Ketidakstabilan gula darah SetelahHiperglikemia
kadar gula darah dilakukan intervensiObservasi
keperawatan selama 3 X 1. Identifikasi kemungkinan
24 jam maka Kestabilan penyebab hiperglikemia
kadar gula darah2. Monitor kadar gula darah
meningkat, dengan 3. Monitor tanda dan gejala
Kriteria Hasil: hiperglikemia
4. Monitor intake dan output
1. Kesadaran (5) cairan
2. Mengantuk (5) Terapeutk
3. Pusing (5) 5. Konsultasikan dengan medis
4. Lelah/ lesu (5) jika tanda dan gejala
5. Keluhan lapar (5) hiperglikemia tetap ada atau
6. Gemeter (5) memburuk
7. Berkeringat (5) Edukasi
8. Mulut kering (5) 6. Anjurkan hindari olahraga jika
9. Rasa haus (5) gula darah lebih dari 250mg/dl
10. Kadar glukosa darah 7. Anjurkan monitor gula darah
(5) secara mandiri
8. Anjurkan kepatuhan diet dan
olahraga
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian insulin
2. D.0009 L.02011 I.03121 Pemantauan Cairan
Perfusi Parifer Perfusi Parifer Observasi:
Tidak Efektif Setalah dilakukan 1. Monitor frekuensi nadi
intervensi selama 3x24 2. Monitor frekuensi napas
jam, maka perfusi parifer 3. Monitor tekanan darah
meningkat dengan kriteria 4. Monitor pengisian kapiler
hasil : 5. Monitor elastisitas atau turgor
1. Denyut nadi Parifer (5) kulit
2. Sensasi (5) 6. Monitor jumlah, warna urin.
3. Warna kulit pucat (5) 7. Identifikasi tanda-tanda
4. Pengisian kapiler (5) hipovolemia
5. Akral (5) 8. Identifikasi tanda-tanda
6. Turgor kulit (5) hipervolemia
7. Tekanan darah 9. Identifikasi faktor resiko
diastolik (5) ketidakseimbangan cairan.
8. Tekanan darah sistolik Terapeutik
(5) 10. Atur waktu pemantauan
cairan dengan konsisi pasien
11. Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
12. Informasikan hasil
pemantauan cairan
3. D.0109 Defisit L.11103 Perawatan diri I.11345 Dukungan perawatan diri
perawatan diri Setelah dilakukan Observasi
intervensi keperawatan 1. Monitor tingkat kemandirian
selama 3 X 24 jam Terapeutik
maka perawatan diri 2. Sediakan lingkungan yang
meningkat, terapeutik (suasana hangat,
Kriteria Hasil: rileks, privasi)
1) Kemampuan ke toilet 3. Dampingi dalam melakukan
(BAB/BAK) (5) perawatan diri sampai mandiri
2) Minat melakukan 4. Fasilitas untuk menerima
perawatan diri (5) keadaan ketergantungan
3) Mempertahankan 5. Jadwalkan rutinitas perawatan
kebersihan diri (5) diri
Edukasi
6. Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
kemampuan

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tahap dari proses keperawatan yang dimulai
setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Dengan rencana
keperawatan yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat, intervensi
diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan untuk
mendukung danmeningkatkan status kesehatan pasien (Potter, 2009).
Tujuan dari implementasi aalah membantu pasien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Perencanaan
asuhan keperawatan dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai
keinginan untuk beradaptasi dalam implementasi asuhan keperawatan.
Selama tahap implementasi, perawat akan terus melakukan pengumpulan
data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan
pasien (Nursalam, 2011).
Jenis-jenis tindakan tahap pelaksanaan implementasi antara lain sebagai
berikut:
1. Secara Mandiri (Independent). Tindakan yang diprakarsai sendiri oleh
perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya dan
menanggapi reaksi karena adanya stressor .
2. Saling ketergantungan (Interdependent) Tindakan keperawatan atas
dasar kerja sama tim keperawatan dengan tim kesehatan lainnya, seperti
dokter, fisioterapi, dan lain lain.
3. Rujukan Ketergantungan (Dependent) Tindakan keperawatan atas dasar
rujukan dan profesi lainnya diantaranya dokter, psikiatri, ahli gizi, dan
lainnya.
5. EVALUASI KEPERAWATAN
Menurut (Wijaya & Putri,2013) evaluasi adalah proses yang berkelanjutan
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi
dilakukan sesuai dengan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi formatif,
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan evaluasi hasil atau sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon pasien pada tujuan yang telah
ditentukan Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu sebagai
berikut :
S : Respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang
kontradiksi terhadap masalah yang ada.
P : Tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien.
DAFTAR PUSTAKA
ADA (American Diabetes Association). 2016. Standards of Medical Care in
Diabetes 2016. Diabetes Care,39;1.
Andra Saferi Wijaya. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Astuti, Anita. 2017. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Kadar Gula Darah Pada
Pasien Diabetes Mellitus Di Poli Penyakit Dalam RSUD Jombang.
Diakses 08Januari 2020 dari http://repo.stikesicme
Azis, W. A., Muriman, L. Y., & Burhan, S. R. 2020. Hubungan Tingkat
Pengetahuan dengan Gaya Hidup Penderita Diabetes Mellitus. Jurnal
Bakri & Maria, H. (2017). Asuhan Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Pustaka
Mahardika.Penelitian Perawat Profesional, 2(1), 105–114.
Black, M. Joyce&Hawks J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Buku
2. Elsevier : Singapore.
Jonathan , Kevin , Kuswinarti , and Natalia Mulyani Nanny Soetedjo. 2019. "Pola
Penggunaan Antidiabetes Oral Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Bagian
Penyakit Dalam RSUD Kota Bandung Tahun 2017. Bandung
PERKENI. 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa di Indonesia (1st ed.). PB. PERKENI.
https://pbperkeni.or.id/unduhan
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah.(vol. 2). Jakarta : EGC
Susanti, E. F. N. (2019). Gambaran faktor risiko terjadinya diabetes melitus pada
penderita diabetes melitus tipe 2. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
1–14. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/71368
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
Yunita Sari 2015 Perawatan Luka Diabetes. Yogyakarta : Graha Ilmu PPNI 2016
Standar Diagnosa Keperawatan Intervensi Edisi 1 : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai