Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/352762438

DETEKSI SINDROM TURNER DENGAN METODE SITOGENETIK


KONVENSIONAL DAN METODE FISH

Thesis · June 2021

CITATIONS READS

0 3,579

2 authors:

Astiti tyas Hanatzari Diki Diki

1 PUBLICATION   0 CITATIONS   
Universitas Terbuka
44 PUBLICATIONS   56 CITATIONS   
SEE PROFILE
SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Semnas FMIPA UT 2017 View project

Assessing Distance Education in Biological Science View project

All content following this page was uploaded by Diki Diki on 14 February 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DETEKSI SINDROM TURNER DENGAN METODE
SITOGENETIK KONVENSIONAL DAN METODE FISH
Astiti Tyas Hanatzari1, Diki2
1) Mahasiswa Program Studi S1 Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Terbuka
2) Dosen Program Studi S1 Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Terbuka
Email: astiti.farid@gmail.com

Abstrak
Sindrom Turner merupakan kelainan monosomi yang melibatkan kromosom X. Sindrom
Turner mempunyai dua tipe yaitu tipe klasik dan tipe mosaik. Individu dengan sindrom
Turner umumnya memiliki kromosom berjumlah 45 dengan kariotipe 45,X. Sindrom
Turner didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan kromosom. Pemeriksaan
kromosom tersebut dilakukan dengan metode sitogenetik. Ada dua metode sitogenetik
untuk mendeteksi sindrom Turner yaitu metode sitogenetik konvensional (metode banding),
dan metode molekuler Fluorescence In Situ Hybridization (FISH). Resolusi metode
banding hanya mampu mendeteksi kelainan struktur kromosom berukuran lebih dari 3Mb,
sedangkan metode FISH mampu mendeteksi kelainan struktur kromosom berukuran
kurang dari 4Mb. Deteksi mosaikisme pada sindrom Turner lebih akurat menggunakan
metode FISH karena mampu mendeteksi mosaikisme tingkat rendah.

Kata kunci: sindrom Turner, monosomi X, banding, FISH

Pendahuluan
Sindrom Turner merupakan kelainan kromosom seks paling umum yang
terkait pada fenotip perempuan dan merupakan hasil dari kehilangan atau kelainan
pada kromosom X yang kedua (Meenakshi dkk., 2014). Perempuan dengan satu
salinan kromosom X memiliki kondisi yang dikenal sebagai sindrom Turner
(O’Connor, 2008). Sindrom Turner terlihat pada semua kelompok etnis (Wolff
dkk., 2010). Satu-satunya monosomi yang mampu bertahan hidup sampai lahir
hanyalah monosomi yang melibatkan kromosom X, namun >99% dari semua
kariotipe 45,X meninggal saat dalam kandungan (Arsham dkk., 2017).
Sindrom Turner didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
kromosom (Ricardo dkk., 2018; Pulungan dkk., 2017; Wolff dkk., 2010).
Pemeriksaan kromosom tersebut menggunakan metode sitogenetik. Ada dua
metode sitogenetik untuk mendeteksi sindrom Turner, yaitu metode sitogenetik
konvensional, dan metode molekuler Fluorescence In Situ Hybridization (FISH)
(Kumar dkk., 2021). Metode sitogenetik konvensional dikenal dengan istilah

1
metode banding (pita). Analisis sitogenetik metode banding tidak dapat mendeteksi
kelainan struktur yang kecil sehingga penggunaan fluorescence In Situ
Hybridization (FISH) memungkinkan mendeteksi kelainan delesi yang sangat kecil
(mikrodelesi) dan translokasi yang kecil pada kromosom (Sinclair, 2002). Di
Indonesia belum banyak laboratorium sitogenetika yang memiliki fasilitas FISH.
Salah satu laboratorium sitogenetik di Indonesia yang memiliki fasilitas metode
banding dan metode molekuler FISH adalah lembaga biologi molekuler Eijkman
yang berada di bawah Kementrian Riset dan Teknologi (RISTEK), Republik
Indonesia (Lembaga biologi molekuler Eijkman).
Beberapa pedoman klinis tentang diagnosis dan manajemen pasien sindrom
Turner telah banyak diterbitkan, tetapi aspek laboratorium terkait kelainan ini masih
relatif sedikit (Wolff dkk., 2010). Artikel ini akan mengulas aspek laboratorium
terkait sindrom Turner. Aspek laboratorium yang diulas yakni metode sitogenetik
untuk deteksi sindrom Turner.
Rumusan masalah dari penulisan artikel ini adalah metode sitogenetik apa
yang sesuai untuk mendeteksi kelainan kromosom seks manusia berupa sindrom
Turner, apakah menggunakan metode sitogenetik konvensional (metode banding)
ataupun metode molekuler FISH. Tujuan penulisan artikel ini adalah memberi
informasi tentang metode sitogenetik konvensional (metode banding) dan metode
molekuler FISH untuk mendeteksi kelainan kromosom seks pada manusia berupa
sindrom Turner.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pembuatan artikel ini berupa studi literatur
dengan melakukan pencarian kata kunci, pencarian subjek, serta pencarian buku
dan artikel ilmiah terkini. Pencarian kata kunci menggunakan kata sindrom Turner
(Turner syndrome), monosomi X, sitogenetika, kromosom, metode banding, dan
metode FISH. Pencarian subjek dan buku juga menggunakan kata kunci seperti
tersebut di atas. Pencarian artikel ilmiah menggunakan google scholar, google
cendekia, dan research gate. Kata kunci dalam pencarian artikel ilmiah

2
menggunakan kata sindrom Turner (Turner syndrome), monosomi X, metode
banding, chromosome banding dan metode molekuler FISH.

Sindrom Turner
Pada kondisi normal, manusia memiliki kromosom berjumlah 46 dengan
dua puluh dua pasang autosom dan sepasang kromosom seks. Perempuan memiliki
kromosom seks berupa dua kromosom X, sedangkan laki-laki memiliki satu
kromosom X dan satu kromosom Y (Rooney, 2001). Penentuan jenis kelamin
individu yang terlahir dengan aneuploidi pada kromosom seks, ditentukan oleh ada
tidaknya kromosom Y (Hake dan O’Connor, 2008). Salah satu bentuk kelainan
aneuploidi adalah monosomi berupa sindrom Turner. Aneuploidi adalah hilangnya
atau bertambahnya satu atau beberapa kromosom (Rooney, 2001). Kariotipe dapat
mengungkapkan perubahan jumlah kromosom yang terkait dengan kondisi
aneuploidi (O’Connor, 2008).
Sindrom Turner merupakan kelainan dengan gambaran klinis yang khas
berupa penyimpangan kariotipe dengan hilangnya daerah kritis dari kromosom X
(Wolff dkk., 2010). Sindrom Turner dideskripsikan pertama kali oleh Henry Turner
tahun 1938 yang menemukan kelainan pada sekelompok remaja perempuan dengan
amenore primer, kekanak-kanakan seksual, dan perawakan pendek (Oliveira dkk.,
2009). Individu dengan sindrom Turner memiliki ciri berupa perawakan pendek
(biasanya kurang dari 5 kaki), adanya lipatan kulit di leher belakang, dan payudara
kurang berkembang, kadang-kadang dijumpai dada lebar seperti perisai.
Kecerdasan umumnya normal. Sindrom Turner terindikasi pada 1 dari 2.500
kelahiran bayi perempuan (Klug dkk., 2009).
Individu dengan sindrom Turner umumnya memiliki kromosom berjumlah
45 dengan kariotipe 45,X (Klug dkk., 2009). Kariotipe 45,X merupakan salah satu
kelainan kromosom yang sering ditemukan pada kasus aborsi spontan dini
(Schinzel, 1984). Sebagian besar janin dengan 45,X meninggal saat dalam
kandungan dan aborsi secara spontan (Klug, 2009).
Ada dua tipe sindrom Turner yaitu tipe klasik dan tipe mosaik. Sindrom
Turner tipe klasik memiliki kariotipe 45,X. Kariotipe tipe klasik ditemukan pada

3
45% pasien, sedangkan sisanya memiliki kariotipe mosaik (yaitu 45,X/46,XX atau
45,X/47,XXX), kariotipe dengan kelainan struktur pada kromosom X (yaitu i(Xq)
atau i(Xp)), atau kariotipe yang menunjukkan adanya kromosom Y atau fragmen
dari kromosom Y (Cui dkk., 2018). Munculnya mosaikisme kromosom seks pada
bayi lahir hidup memiliki peluang lebih tinggi dibanding janin dengan 45,X yang
mengalami aborsi (Jones dkk., 2013).

Sitogenetika
Setiap kromosom dapat diidentifikasi berdasarkan perbedaan susunan pita
(Diki, 1995; Kumar dkk., 2021). Susunan pita kromosom dikenal dengan istilah
banding. Menurut Konferensi Paris (1971), pita kromosom merupakan bagian dari
kromosom yang dapat dibedakan dari segmen yang berdekatan dengan tampilan
lebih gelap dengan satu teknik atau lebih (Arsham dkk., 2017).
Gambaran suatu kromosom baik normal maupun abnormal disebut kariotipe
(Shaffer dkk., 2013). Kariotipe berguna untuk mengamati ukuran, bentuk, letak
sentromer, dan keberadaan satelit suatu kromosom (Kumar dkk., 2021; Shaffer dkk.,
2013). Kariotipe merupakan suatu isolasi, pewarnaan, dan pemeriksaan visual
kromosom untuk menentukan penataan ulang kromosom (Sinclair, 2002). Pada
analisis kromosom, pemisahan kromosom umumnya dilakukan dengan sistem
komputerisasi kariotipe (Arsham dkk., 2017).

Gambar 1. Skema metode preparasi kromosom (Arsham dkk., 2017)

4
Pengamatan kromosom paling baik dilakukan saat tahap metafase mitosis
atau meiosis, meskipun pada beberapa penelitian dengan metode Fluorescence In
Situ Hybridization (FISH) dapat menggunakan sel saat tahap interfase (Arsham
dkk., 2017). Berbagai metode pewarnaan telah diperkenalkan untuk membantu
memvisualisasikan kromosom (Arsham dkk., 2017). Jenis pewarnaan disesuaikan
dengan metode yang digunakan, yaitu menggunakan metode banding atau metode
FISH.

Metode sitogenetika konvensional (banding)


Kromosom secara alami tidak berwarna, dan hanya dapat terlihat di bawah
mikroskop (Arsham dkk., 2017). Untuk itu, banyak diperkenalkan metode
pewarnaan untuk memvisualisasikan kromosom. Pewarnaan kromosom yang
pertama kali digunakan di laboratorium sitogenetik menghasilkan pewarnaan
kromosom yang seragam (Arsham dkk., 2017). Pada awal tahun 1970-an, saat
munculnya metode pita (banding) yang pertama, setiap kromosom dan lengannya
dapat diidentifikasi dengan baik (Arsham dkk., 2017).
Metode banding merupakan metode identifikasi dan kelainan struktur
kromosom saat sel berada pada tahap metafase (Arsham dkk., 2017). Identifikasi
kromosom tergantung pada karateristik morfologi kromosom yang meliputi
panjang lengan, rasio lengan, serta ada tidaknya penyempitan sekunder lengan
kromosom (Kumar dkk., 2021). Metode banding menunjukkan gambaran pita
melintang dengan warna gelap dan pucat yang saling bergantian sepanjang lengan
kromosom. Pita melintang berwarna gelap dinamakan positive bands, sedangkan
pita berwarna pucat dinamakan negative bands (Kumar dkk., 2021). Menurut
Kearney, resolusi metode banding hanya mampu mendeteksi penataan ulang yang
melibatkan DNA berukuran lebih dari 3Mb (dikutip dalam Bishop, 2010).
Metode banding analisis kromosom yang utama adalah G-banding (Rooney,
2001). Metode G-banding akan memberi warna pada segmen DNA yang lebih
padat dengan Giemsa (Arsham dkk., 2017). Saat ini sebagian besar kromosom
diwarnai dengan pewarna Giemsa, yang memberikan resolusi pita yang lebih baik,

5
menghasilkan sediaan yang lebih stabil, dan dapat dianalisis dengan mikroskop
medan terang biasa (O’Connor, 2008).
Bahan utama untuk mendeteksi sindrom Turner dengan metode G-banding
adalah sampel darah tepi. Sebanyak lima mililiter darah ditampung pada tabung
vacutainer sodium heparin. Kultur dilakukan sesuai prosedur standar laboratorium
dengan menggunakan bahan-bahan tertentu yang mengandung medium basal kultur,
serum, phytohemagglutinin (PHA), asam amino esensial, antibiotik, dan fungisida
(Rooney, 2001). Kultur diinkubasi pada inkubator 5% CO2 suhu 37°C selama 72
jam. Penambahan Colcemid atau Colchisin dilakukan 30 menit sebelum panen sel
limfosit pada kultur supaya menghentikan pembelahan sel saat tahap metafase
(Rooney, 2001; Moka dkk., 2013).
Pembuatan slide kromosom menggunakan metode dropping, dan berlanjut
dengan proses aging (penuaan) yakni inkubasi pada suhu ruang selama tiga hari
(Moka dkk., 2013). Slide diwarnai dengan teknik konvensional Giemsa-Trypsin-
Giemsa banding (GTG) (Meenakshi dkk., 2014; Moka dkk., 2013). Sebaran
metafase yang baik dianalisis secara mikroskopis menggunakan mikroskop.
Kariotipe disusun dan dianalisis berdasar pedoman International System for
Chromosome Nomenclature (ISCN) (Shaffer dkk., 2013).

Gambar 2. Kariotipe dengan metode G-banding pada monosomi X (Hemmat, 2012)

Metode banding hanya dapat mendeteksi mosaikisme minimal 10%. Analisis


rutin pasien sindrom Turner dalam tiga puluh metafase menunjukkan deteksi
mosaikisme sebanyak 10%. Jika dianggap bahwa semua pasien sindrom Turner
membawa mosaikisme adalah benar, maka apabila dalam darah terdapat mosaik

6
kurang dari 10%, mosaikisme sindrom Turner tidak akan terdeteksi dengan metode
banding (Oliveira dkk., 2009). Sebagian kecil mosaikisme tidak dapat dideteksi
dengan metode banding karena analisis seperti ini membutuhkan sejumlah besar sel
(Oliveira dkk., 2009).

Metode Fluorescence in situ hybridization (FISH)


FISH merupakan metode sitogenetik molekuler dengan menggunakan
mikroskop fluoresens yang dapat mendeteksi kelainan struktur kromosom yang
ukurannya sangat kecil kurang dari 4Mb (Bishop, 2010). Metode FISH
diperkenalkan pada akhir tahun 1980-an (Bishop, 2010). FISH merupakan teknik
diagnostik molekuler menggunakan zat warna flurosen (fluophore) untuk melabel
DNA pelacak (DNA probe) yang digunakan untuk mendeteksi DNA komplementer
(Budiyanti dkk., 2014).
Elemen dasar metode FISH adalah DNA probe dan target sequence (Ratan,
dkk., 2017; Bishop, 2010). Menurut Bishop (2010), salah satu pertimbangan
terpenting dalam FISH adalah pemilihan probe. Menurut Song, pemilihan probe
pada metode FISH tergantung pada jenis penyakit, kelainan, ataupun kelainan
tertentu yang akan diamati (dikutip dalam Ratan dkk., 2017).

Gambar 3. Prinsip metode molekuler FISH (Bishop, 2010)

Prinsip metode molekuler FISH yaitu menyiapkan elemen dasar probe DNA
dan urutan target yang akan digunakan (gambar A) (Bishop, 2010). Probe DNA
dapat diberi label secara langsung maupun tidak langsung sebelum proses

7
hibridisasi. Pemberian label secara tidak langsung menggunakan hapten, sedangkan
pemberian label secara langsung menggunakan penggabungan fluorophore
(gambar B). Probe yang telah diberi label dan DNA target akan didenaturasi
sehingga mendapatkan DNA tunggal (gambar C), selanjutnya dilakukan
penggabungan (gambar E). Langkah tambahan diperlukan untuk
memvisualisasikan hapten non fluoresens pada probe yang diberi label secara tidak
langsung (gambar E). Selanjutnya sinyal yang dihasilkan dapat dievaluasi dengan
mikroskop fluorensens (Bishop, 2010).
Metode FISH memiliki keunggulan dibanding G-banding dalam hal
sensitivitas yang tinggi, spesifitas, dan efisiensi hibridisasi serta deteksi yang tinggi
(Bishop, 2010). Kelebihan FISH dalam sensitivitas dan spesifitas berguna pada
kasus mosaikisme tingkat rendah. Adanya mosaikisme tingkat rendah (kurang
dari 10%) pada sindrom Turner sulit ditafsirkan dengan analisis metode sitogenetik
konvensional (Wolff dkk., 2010). Penggunaan FISH disarankan apabila ditemukan
hasil nonmosaik kariotipe 45,X, agar dapat mendeteksi apabila terdapat mosaikisme
tingkat rendah yang tidak dapat terdeteksi dengan metode banding. Berdasar
Laboratory Guidelines for Turner syndrome oleh the American College of Medical
Genetics (ACMG) Laboratory Quality Assurance Committee, apabila analisis tiga
puluh sel G-banding menghasilkan nonmosaik kariotipe 45,X, maka diperlukan
FISH dengan probe sentromer kromosom X dan Y dengan analisis minimal dua
ratus sel interfase untuk memastikan keberadaan mosaikisme tingkat rendah pada
kromosom Y (Arsham dkk., 2017; Wolff dkk., 2010). Menurut Russel,
pertimbangan usia pasien juga penting saat terjadi mosaikisme tingkat rendah pada
sindrom Turner untuk memastikan bahwa 45,X terjadi bukan karena kehilangan
yang berkaitan dengan usia (dikutip dalam Wolff dkk., 2010).
Kelebihan lain metode FISH yang tidak ada pada metode G-banding yaitu
dapat menggunakan sel tahap metafase maupun interfase (Paramayuda dkk., 2012).
Khusus FISH metafase dapat dilakukan pada sel yang tidak diwarnai hasil dari
pemanenan setelah kultur, atau secara berurutan setelah pewarnaan kromosom
dengan metode banding ataupun pewarnaan padat (Arsham dkk., 2017).
Penggunaan FISH interfase merupakan metode yang lebih akurat untuk melihat

8
rasio mosaikisme dibanding FISH metafase (Paramayuda dkk., 2012). FISH
interfase perlu dilakukan secara rutin untuk mendeteksi mosaikisme tingkat rendah
pada sindrom Turner (Paramayuda dkk., 2012).
Metode FISH memiliki kelebihan dibanding metode G-banding untuk
mendeteksi sindrom Turner karena memerlukan waktu lebih singkat dibanding
metode G-banding. Bahan untuk FISH dapat diproses dalam waktu 4 - 24 jam, dan
analisis 1000 - 2000 sel dapat selesai dalam waktu 15 - 45 menit (Bishop, 2010).
Adapun metode G-banding memerlukan waktu kultur selama 72 jam (Moka dkk.,
2013)
Meskipun FISH dapat mendeteksi secara cepat namun masih memiliki
beberapa kelemahan. FISH hanya mendeteksi kelainan genetik yang telah diketahui
dan cocok dengan probe yang akan digunakan (Bishop, 2010). FISH tidak dapat
berfungsi sebagai pemeriksaan seleksi awal untuk pengaturan ulang kromosom
karena FISH merupakan metode deteksi ketidakseimbangan dalam kelainan genetik
yang telah diketahui (Bishop, 2010). Selain itu, biaya FISH masih relatif mahal di
Indonesia (Dewantoro dkk., 2021).

Kesimpulan
Penggunaan metode FISH lebih disarankan untuk mendeteksi mosaikisme
pada sindrom Turner. FISH interfase lebih akurat untuk mendeteksi mosaikisme
tingkat rendah pada sindrom Turner. Penggunaan metode G-banding pada
mosaikisme sindrom Turner memberikan hasil yang kurang akurat karena belum
mampu mendeteksi kelainan mosaikisme tingkat rendah. Metode FISH dapat
menggunakan sel tahap metafase maupun interfase, sedangkan metode G-banding
hanya menggunakan sel tahap metafase. Namun, mahalnya biaya FISH menjadi
kendala tersendiri sehingga masih banyak deteksi sindrom Turner hanya
menggunakan metode sitogenetik konvensional (metode banding). Karena itu
disarankan penggunaan metode FISH dilakukan apabila hasil analisis tiga puluh sel
G-banding menunjukkan nonmosaik kariotipe 45,X.

9
Daftar pustaka
Arsham, M. S., Barch, M. J., & Lawce, H. J. (Eds.). (2017). The AGT cytogenetics
laboratory manual. John Wiley & Sons.

Bishop, R. (2010). Applications of fluorescence in situ hybridization (FISH) in


detecting genetic abberrations of medical significance. Bioscience horizons,
3(1), 85-95. Diambil 09 Juni 2021 dari
researchgate.net/publication/240250503_Applications_of_fluorescence_in_
situ_hybridization_FISH_in_detecting_genetic_aberrations_of_medical_sig
nificance

Budiyanti, E., Suryani, D., & Pawitan, J. A. (2014). Aplikasi Metode Whole
Chromosome Painting untuk Mendeteksi Aberasi Kromosom pada Tumor
Padat. Majalah Patologi Indonesia, 23(1). Diambil 09 Juni 2021 dari
https://majalahpatologiindonesia.com/p/index.php/patologi/article/view/58

Dewantoro, A., Anggundari, W. C., Nuraeni, U., Prasetya, B., & Yopi, Y. (2021,
February). Metode deteksi molekuler berbasis genomik dan diagnostik
akurasinya dalam pengembangan diagnostik klinik di Indonesia.
In Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi (Vol. 2020, pp. 207-216).
Badan Standardisasi Nasional. Diambil 24 Juni 2021 dari
https://ppis.bsn.go.id/index.php/download/2020/24

Diki, D., (1995). Analisis sitogenetika penderita Leukemia Mieloid Kronik


(Skripsi). Universitas Padjadjaran, Bandung.

Hake, L., O’Connor, C. (2008). Genetic mechanisms of sex determination. Nature


Education, 1(1), 25. Diambil 07 Juni 2021 dari
https://www.nature.com/scitable/topicpage/genetic-mechanisms-of-sex-
determination-314/

Hemmat, M., Wang, B.T., Warburton, P.E., Yang, X., Boyar, F.Z., Mohammed El
Naggar, M.E., Anguiano, A. (2012). Neocentric X-chromosome in a girl with
Turner-like syndrome. Molecular Cytogenetics,5(29). Diambil 18 Juni 2021
dari https://www.researchgate.net/publication/225289835_Neocentric_X-
chromosome_in_a_girl_with_Turner-like_syndrome

Jones, K. L., Jones, M. C., & Del Campo, M. (2013). Smith's Recognizable Patterns
of Human Malformation. 7th edn. Elsevier Saunders: Philadelphia, PA.

Klug, W.S., Cummings, M.R., Spencer, C.A., Palladino, M.A. (2009). Concepts of
Genetics 9th Edition. Pearson Benjamin Cummings, San Fransisco.

Kumar, S., Kiso, A., & Kithan, N. A. (2021). Chromosome Banding and
Mechanism of Chromosome Aberrations. In Cytogenetics. IntechOpen.

10
Diambil 17 Juni 2021 dari https://www.intechopen.com/online-
first/chromosome-banding-and-mechanism-of-chromosome-aberrations

Lembaga biologi molekuler Eijkman. Laboratorium Sitogenetika. Diambil 16 Juni


2021 dari http://web.eijkman.go.id/unit/unit-pendukung/laboratorium-
sitogenetika/

Meenakshi, A., Shetty, P., Kumari, S., Kadandale, J., & Nandan, N. (2014). Female
patient with a variant of turner syndrome. Nitte university journal of health
science, 4(4), 113. Diambil 06 Juni 2021 dari
https://www.researchgate.net/profile/Prashanth-Shetty-
3/publication/274254986_Female_patient_with_a_variant_of_Turner_syndr
ome/links/551a43240cf244e9a45857b5/Female-patient-with-a-variant-of-
Turner-syndrome.pdf

Moka, R., Sreelakshmi, K., Gopinath, P. M., & Satyamoorthy, K. (2013).


Cytogenetic evaluation of patients with clinical spectrum of Turner
syndrome. Journal of human reproductive sciences, 6(2), 129. Diambil 17
Juni 2021 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3778602/

O’Connor, C. (2008). Chromosomal abnormalities: aneuploidies. Nat Educ, 1(1),


172. Diambil 07 Juni 2021 dari
https://www.nature.com/scitable/topicpage/chromosomal-abnormalities-
aneuploidies-290/

Oliveira, R. M. R. D., Verreschi, I. T. D. N., Lipay, M. V. N., Eça, L. P., Guedes,


A. D., & Bianco, B. (2009). Y chromosome in Turner syndrome: review of
the literature. Sao Paulo Medical Journal, 127(6), 373-378. Diambil 08 Juni
2021 dari
https://www.scielo.br/j/spmj/a/tpxLKNjcsWTNPhgT44nDdBg/?lang=en

Paramayuda, C., Kartapradja, H., Ambarwati, D. D., Anggaratri, H. W., Suciati, L.


P., Marzuki, N. S., & Harahap, A. (2012). Chromosome abnormalities in
Indonesian patients with short stature. Molecular cytogenetics, 5(1), 1-9.
Diambil 18 Juni 2021 dari https://link.springer.com/article/10.1186/1755-
8166-5-35

Pulungan, A.B., Adiawati., Tjahjono, H.A. 2017. Panduan Praktik Klinis Ikatan
Dokter Anak Indonesia: Sindrom Turner. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Diambil 24 Mei 2021 dari
https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/PPK-
Sindrom-Turner.pdf

Ratan, Z. A., Zaman, S. B., Mehta, V., Haidere, M. F., Runa, N. J., & Akter, N.
(2017). Application of fluorescence in situ hybridization (FISH) technique
for the detection of genetic aberration in medical science. Cureus, 9(6).

11
Diambil 09 Juni 2021 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5501716/

Ricardo, A., dkk (2018). Sindrom Turner. Jurnal Kedokteran Mulawarman, 6(3).
Diambil 06 Juni 2021 dari https://docplayer.info/123770210-Sindrom-
turner-departemen-biologi-kedokteran-fakultas-kedokteran-universitas-
airlangga-b.html

Rooney, D.E. (Eds.). (2001). Human cytogenetics: constitutional analysis 3th


Edition: a practical approach (Vol. 1). Oxford University Press, USA.

Schinzel, A. (1984). Catalogue of unbalanced chromosome aberrations in man.


Walter de Gruyter GmbH & Co KG.

Shaffer, L. G., McGowan-Jordan, J., & Schmid, M. (Eds.). (2013). ISCN 2013: an
international system for human cytogenetic nomenclature (2013). Karger
Medical and Scientific Publishers.

Sinclair, A. (2002). Genetics 101: cytogenetics and FISH. Cmaj, 167(4), 373-374.
Diambil 07 Juni 2021 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC117855/

Wolff, D. J., Van Dyke, D. L., & Powell, C. M. (2010). Laboratory guideline for
Turner syndrome. Genetics in Medicine, 12(1), 52-55. Diambil 06 Juni 2021
dari https://www.nature.com/articles/gim20108

X., Cui, Y., Shi, L., Luan, J., Zhou, X., & Han, J. (2018). A basic understanding of
Turner syndrome: incidence, complications, diagnosis, and
treatment. Intractable & Rare Diseases Research, 7(4), 223-228. Diambil 06
Juni 2021 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6290843/

12

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai