Anda di halaman 1dari 65

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Pengembangan Pembelajaran
2.1.2 Pengertian Pengembangan Pembelajaran
Pengembangan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mewujudkan suatu rancangan ke dalam bentuk fisik. Tujuan dari pengembangan
dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang diharapkan dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Barbara B. Seels dan Rita C. Richey dalam (Setyosari, 2016)
mengungkapkan bahwa pengembangan merupakan proses penerjemahan atau
menjabarkan spesifikasi desain kedalam bentuk fisik. Pengembangan dapat
dimaknai sebagai kegiatan yang secara sengaja, sistematis, bertujuan,
merumuskan, memperbaiki, mengembangkan, menghasilkan, menguji keefektifan
produk, model, metode/strategi/cara, prosedur tertentu yang lebih unggul, baru,
efektif, efisien dan bermakna (Alfianika, 2016). Maksudnya pengembangan disini
adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis baik untuk
membuat atau memperbaiki sesuatu dimulai dari tahap mendesain yang kemudian
diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga dapat
menghasilkan sesuatu yang bermakna. Secara lebih rinci Reigeluth dalam
(Suparman A. , 2010) mengartikan pengembangan pembelajaran menjadi tiga
kegiatan, yaitu:
1. Desain yang bagi Sebagian pengembangan instruksional berfungsi sebagai
cetekan biru (blue print).
2. Produksi yang berarti penggunaan desain untuk untuk membuat program
instruksional.
3. Validasi yang merupakan penentuan kualitas atau produk akhir.
Tujuan dari pengembangan instruksional adalah untuk memecahkan
masalah belajar sehingga dapat meningkatkan kondisi belajar. Seperti yang
dikatakan Abdul Majid dalam (Majid, 2005) bahwa pengembangan instruksional
adalah suatu proses mendesain pembelajaran secara logis dan sistematis dalam
rangka untuk menetapkan segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam proses
pembelajaran dengan memperhatikan potensi dan kompetensi peserta didik. Atwi
Suparman (Suparman A. , 2010) juga berpendapat bahwa pengembangan
instruksional adalah suatu proses yang sistematis untuk mengidentifikasi,
mengembangkan serta mengevaluasi bahan dan strategi belajar dengan maksud
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Jadi dapat ditarik kesimpulan berdasarkan
beberapa definisi yang telah diuraikan diatas, pengembangan instruksional adalah
proses perwujudan dari sebuah desain kedalam bentuk fisik yang dilakukan secara
sistematis melalui beberapa prosedur mulai dari analisis, desain, pengembangan
dan evaluasi dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Maka pengembangan pembelajaran lebih realistik, bukan sekedar
idealisme Pendidikan yang sulit diterapkan dalam kehidupan. Pengembangan
pembelajaran adalah usaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran, baik
secara materi maupun metode dan subtitusinya. Secara materi, artinya dari aspek
bahan ajar yang disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan, sedangkan
secara metodologis dan subtansinya berkaitan dengan pengembangan strategi
pembelajaran, baik secara teoritis maupun praktis. (Hamid, 2013)
Penelitian pengembangan adalah suatu langkah-langkah untuk
mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada,
yang dapat dipertanggung jawabkan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
menghasilkan produk baru melalui pengembangan.
Untuk memperluas wawasan serta memperjelas pengertian penelitian
pengembangan dan kaitannya dengan inovasi pendidikan, maka perlu dibicarakan
dulu tentang pengertian discovery, invention, innovation, dan modernisasi
sebelum membicarakan tentang pengertian inovasi pendidikan.
‘Discovery”,”invention”, dan “innovation” dapat diartikan dalam Bahasa
Indonesia “penemuan”, maksud ketiga kata tersebut mengandung arti
ditemukannya sesuatu yang baru, baik sebenarnya barangnya itu sendiri sudah ada
lama kemudian baru diketahui atau memang benar-benar baru dalam arti
sebelumnya tidak ada. Demikian pula mungkin hal yang baru itu diadakan dengan
maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Inovasi dapat menggunakan diskoveri
atau invensi. Untuk jelasnya marilah kita bicarakan ketiga pengertian tersebut satu
persatu.

2
2.2 Desain Kurikulum
Desain berarti suatu proses perencanaan dan seleksi elemen, teknik dan
prosedur dalam melakukan sesuatu yang mencakup objek, konsep, dan upaya
untuk mencapai suatu tujuan (Pratt, 1980, p. 5; Dick, 2005; Sanjaya, 2015, p. 65).
Tujuan suatu desain ialah perencanaan tentang cara optimal dan tepat untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan (Brown, 2011, p. 4; Ansyar, 2015, p. 261;
Sanjaya, 2015, p. 65). Dalam arti umum, desain kurikulum adalah sebagian dari
hasil suatu pemikiran yang mendalam tentang hakikat pendidikan dan
pembelajaran (Pratt, 1980, p. 16; Sukmadinata, 2011, p. 113). Smith dan Ragan
(2005) dalam (Richey, 2011, p. 2) memerinci kembali pengertian tersebut bahwa
desain adalah proses sistematik dan reflektif menerjemahkan prinsip belajar
mengajar ke dalam suatu rancangan pembelajaran yang mencakup materi
instruksional, kegiatan belajar, sumber- sumber belajar dan sistem evaluasi.
Senada dengan pernyataan di atas, Ansyar (Ansyar, 2015, p. 261)
mengungkapkan bahwa desain kurikulum merupakan suatu bagian penting
pendidikan, sebab desain merupakan suatu proses perencanaan dan
pengembangan kurikulum yang memuat konsep, yang bukan saja berdasarkan
teori, tetapi juga prinsip operasional desain, sebagai pelaksanaan pendidikan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Merujuk dari pernyataan di atas, tidak mungkin
bisa mengembangkan suatu format desain tanpa memuat konsep dan bentuk
kurikulum yang akan dikonstruksi. Konstruksi itu melibatkan analisis tujuan,
konteks dan konsep desain, susunan (organisasi) urutan pengembangan komponen
serta susunan proses implementasi dan evaluasi kurikulum (Print, 1993, p. 94).
Semua komponen kurikulum dalam desain harus saling terkait sehingga saling
keterkaitan itu meningkatkan integrasi desain sebagai suatu kesatuan sistem, baik
proses pembelajaran maupun dalam perancangan instruksional untuk mencapai
tujuan desain.
2.2.1 Hakikat Desain Kurikulum
Banyak istilah yang sering dipakai sebagai kegiatan yang menghasilkan
produk kurikulum. Saat ini, curriculum design dan curriculum development sering
dipakai dengan makna yang hampir sama (Pratt, 1980, pp. 4-5). Istilah mana pun
yang dipakai, desain kurikulum mengacu pada rancangan dan susunan beberapa
3
komponen kurikulum yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan sistem,
dan karena itu sangat penting dikuasai pendidik dan pengembang kurikulum
(Ansyar, 2015, p. 262).
Desain kurikulum terkait penyusunan elemen atau komponen kurikulum
dalam perencanaan memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik agar
mencapai tujuan pendidikan yang direncanakan (Ansyar, 2015, p. 262). Senada
dengan pernyataan di atas, Sukmadinata (Sukmadinata, 2011, p. 113)
mengungkapkan bahwa desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian
unsur-unsur atau komponen kurikulum. Dalam banyak literatur, ada empat
komponen pokok desain kurikulum, yaitu: (1) Tujuan (aims, goals, objectives),
(2) Mata pelajaran, materi ajar, kegiatan belajar atau pengalaman belajar, (3)
Organisasi atau susunan mata pelajaran, materi ajar, kegiatan belajar, dan (4)
Evaluasi (Tyler, 1949, p. 1; Zais, 1976, p. 16; Schubert, 1986, p. 169; Ornstein,
2013, p. 151).
Keempat komponen pokok desain kurikulum harus saling bersinergi antara
komponen yang satu dengan yang lainnya. Artinya, satu komponen desain terkait
dengan komponen desain lain, sehingga jika ada satu komponen desain yang
berubah maka akan menyebabkan perubahan pula pada ketiga komponen desain
lain. Hal senada diungkapkan oleh Giles (1942) dalam (Ornstein, 1988, p. 166)
bahwa keempat komponen desain kurikulum saling berinteraksi satu sama lain;
keputusan tentang satu komponen tergantung pada keputusan yang diambil
tentang komponen lain.
Ansyar (Ansyar, 2015, p. 263) mengungkapkan bahwa suatu desain
kurikulum harus memiliki prinsip konsistensi internal yang artinya harus memiliki
koherensi dan keterpaduan secara keseruhan, baik pada desain kurikulum antar
tingkat kelas dalam satu sekolah, maupun pada tingkat jenjang pendidikan sejak
dari pendidikan dasar sampai ke sekolah menengah. Menurut Zais (Zais, 1976, p.
396) prinsip kesatuan, koherensi, dan keterpaduan semua elemen desain ini
merupakan esensi penting desain kurikulum. Esensi tersebut sejalan dengan tujuan
desain, yaitu menghindarkan fragmentasi antar-elemen atau komponen desain
yang tidak berkontribusi pada pencapaian tujuan (Seel, 2004, p. 138), sehingga
integritas desain sebagai satu kesatuan program tetap terpelihara.
4
Seel (Seel, 2004, p. 138) mengidentifikasi dua kriteria yang bermanfaat
dalam menyusun dan mengevaluasi desain: (1) integritas konseptual, dan (2)
integritas struktural. Integritas konseptual artinya semua konsep harus
didefinisikan secara jelas dan dipakai secara konsisten dan menjaga koherensi dan
sistematika satu sama lain sehingga integritas desain secara keseluruhan
terpelihara. Kriteria kedua, menjaga integritas struktural yaitu agar semua elemen
kurikulum berkontribusi pada tujuan desain itu sendiri.
Menurut Schubert (Schubert, 1986, p. 189) dari segi fokus, biasanya
desain kurikulum fokus pada variasi keempat komponen kurikulum desain. Lanjut
Schubert, ada desain kurikulum yang lebih fokus pada fondasi dan desain
instruksional seperti oleh Pratt (1980), atau yang secara khusus fokus pada desain
pelajaran seperti oleh Posner dan Rudnitsky (1982). Jadi, desain kurikulum
memuat perencanaan tentang bagaimana keempat komponen kurikulum tersebut
dirancang sebagai suatu sistem yang terpadu untuk mencapai suatu tujuan
(Ansyar, 2015, p. 264).
Secara umum hampir semua desain kurikulum diklasifikasikan sebagai
modifikasi dan/atau kombinasi dari tiga kategori utama desain: (1) desain terpusat
pada mata pelajaran (subject-centered design), (2) desain terpusat peserta didik
(learner centered design), dan (3) desain terpusat masalah (problem-centered
design) (Zais, 1976, p. 397; Ornstein, 1988, p. 159; Sukmadinata, 2011, p. 113;
Ansyar, 2015, p. 266). Masing-masing kategori tersebut terdiri dari proto tipe,
seperti desain mata pelajaran, desain disiplin ilmu, desain bidang luas (broad filed
design), desain korelasi dan fused plan, desain kurikulum integrasi, dan desain
proses termasuk desain terpusat mata pelajaran. Sedangkan yang termasuk desain
terpusat pada peserta didik adalah desain kegiatan/pengalaman, desain sekolah
alternatif dan desain humanistik (Ansyar, 2015, p. 266). Adapun desain terpusat
pada masalah mencakup desain kehidupan, dengan inti dan desain masalah
sosial/rekonstruksi sosial (Zais, 1976: 397-429; Ornstein & Hunkins, 1988: 159-
171). Secara lebih rinci, kategori desain kurikulum beserta proto tipe digambarkan
dalam bagan sebagai berikut:

5
Gambar 2.1 Kategori Desain Kurikulum
(Sumber: Ansyar, 2015 dalam (Indriani, 2018))
Pada penelitian ini penulis akan meneliti dan mengembangkan
perancangan pembelajaran berbasis SATF pada desain kurikulum yang
terintegrasi/terpadu di jenjang Sekolah Dasar.
2.1.2 Desain Kurikulum Terintegrasi
Sejak dahulu banyak pakar yang menginginkan kurikulum terintegrasi (the
integrated curriculum) sebagai cara untuk membuat kurikulum lebih relevan dan
kurang abstrak, sehingga lebih bermakna bagi peserta didik (Ansyar, 2015, p.
273). Integrasi diperlukan untuk mengurangi beban belajar peserta didik yang
sudah sangat padat sebagai akibat ledakan pengetahuan yang diperkuat keinginan
agar pendidikan lebih berorientasi pada proses daripada beriorientasi konten
(Brady, 2007, p. 84).

6
Desain terintegrasi memberikan kesempatan kepada peserta didik melatih
keterampilan pemecahan masalah (Ansyar, 2015, p. 274). Peserta didik dibimbing
mengidentifikasi masalah atau isu yang memicu peserta didik berbicara tentang
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan, karena terbuka beberapa alternatif
pemecahan masalah. Guru memfasilitasi peserta didik untuk mengidentifikasi isu
atau masalah yang ditunjang dengan sumber belajar untuk membantu peserta
didik mengemukakan hipotesis. Karena hipotesis adalah suatu tentatif, tentu saja
terbuka untuk ditolak, diterima, atau dimodifikasi (Ediger, 2011, p. 3). Jadi,
desain integrasi mengutamakan pendekatan interdisipliner yang lebih luas
dibandingkan desain mata pelajaran atau disiplin ilmu.
Integrasi (integration) mata pelajaran bernilai tinggi bagi pembelajaran
dan retensi peserta didik (Ediger, 2011, p. 3). Hal tersebut dikarenakan secara
horizontal integrasi memperluas pandangan peserta didik tentang pengetahuan.
Artinya, integrasi memungkinkan peserta didik bukan saja dapat memahami
hubungan antar satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain, tetap juga
antara pengetahuan di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah (out of school
experience), serta antara kurikulum dengan bakat, minat dan kebutuhan personal
peserta didik (McNeil, 1977, p. 167). Bentuk pengintegrasian kurikulum yang
biasa dilakukan adalah organisasi mata pelajaran seolah-olah semua mata
pelajaran itu terkait satu sama lain, padahal selama mereka bersekolah,
independensi substansi tiap mata pelajaran tetap terpelihara (Ediger, 2011, p. 3).
Pada dasarnya kurikulum tidak boleh terpaku pada pembelajaran mata
pelajaran atau disiplin ilmu saja. Pendidikan harus mengajarkan pengetahuan yang
lebih luas dan integratif atau saling terpadu dan saling terkait, daripada hanya
fokus pada substansi tiap disiplin ilmu atau mata pelajaran saja (Tanner, 1975, p.
431). Pembelajaran akan lebih efektif jika fakta dan prinsip dari suatu mata
pelajaran dikaitkan dengan fakta dan prinsip dari mata pelajaran lain (Taba, 1972,
p. 298; Ornstein, 1988, p. 196). Misalnya, ketika peserta didik dihadapkan dengan
permasalahan kuantitatif aritmatika dalam matematika, dalam pengembangan
kemampuannya peserta didik juga perlu mengetahui bagaimana kemampuan
kuantitatif tersebut bisa dimanfaatkan dalam bidang studi sains, sosial, dan bidang
studi lainnya.
7
Hilda Taba (Taba, 1972, p. 298) memaparkan bahwa permasalahan
kompleks yang muncul dalam kehidupan hanya dapat diselesaikan dengan
bantuan pengetahuan interdisipliner, integrasi pengetahuan, keterampilan, dan
sikap dari berbagai disiplin ilmu atau bidang studi yang relevan dengan masalah
kehidupan. Dalam kegiatan instruksional harus ada upaya untuk memperkenalkan
kepada peserta didik kegunaan benang integrasi (integration threads) sebagai
penghubung mata pelajaran yang menunjukkan integrasi atau kesatuan
pengetahuan (Taba, 1972, p. 299). Jadi, fokus integrasi berubah dari integrasi
mata pelajaran menjadi penggunaan benang integrasi yang ada pada beberapa
mata pelajaran.
Benang integrasi tersebut bisa berupa fakta, prinsip, teori, masalah
kehidupan, atau yang mengkombinasikan pengetahuan, perasaan, kepercayaan
dan nilai-nilai (Ansyar, 2015, p. 375). Bloom (1958) mendefinisikan benang
integrasi sebagai ide-ide, masalah, metode, atau cara yang menghubungkan dua
atau beberapa pengalaman belajar yang terpisah-pisah (Taba, 1972, p. 299). Selain
itu, benang integrasi juga bisa berupa cara untuk menunjukkan perbedaan atau
persamaan konsep, prinsip, teori, dan lain-lain dari beberapa mata pelajaran yang
memang tidak terkait sama sekali.
Disamping itu, benang integrasi berperan untuk membangun correlated
curriculum (kurikulum korelasi), yaitu kurikulum yang menghubungkan dua
disiplin ilmu (Ansyar, 2015, p. 375).
Kekuatan desain integrasi terletak pada pemberian kesempatan belajar
(learning acticities) untuk mengembangkan kemampuan nalar tingkat tinggi dan
kedalaman analisis (high order of cognitive with analysis), sehingga peserta didik
dapat membedakan antara fakta dan opini, antara informasi yang akurat dan tidak
akurat, serta antara fantasi dan realita (Ediger, 2011, p. 4). Selain itu, dalam
pemecahan masalah peserta didik juga diberi kesempatan untuk mengembangkan
kreativitas menemukan hal-hal baru, unik, dan buah pikiran original,
pengembangan berpikir konseptual dan berpikir integratif (Ansyar, 2015, p. 376).
Semua kemampuan tersebut membiasakan peserta didik lebih akrab dengan
berbagai sumber belajar yang relevan dengan masalah yang akan dipecahkan oleh
peserta didik. Sebab, keterampilan pemecahan masalah mensyaratkan kemampuan
8
berpikir konseptual, suatu proses yang berlangsung sepanjang hayat (Erickson,
2002, p. 8). Betapa strategisnya desain integrasi dalam menjadikan kurikulum
lebih relevan, kurang abstrak, dan lebih bermakna, serta menjadikan desain ini
berlandaskan pendidikan berbasis peserta didik.
Robin Fogarti (Fogarty, 1991) mendefinisikan
pengintegrasian/keterpaduan merujuk kepada tiga dimensi. Dimensi pertama,
dalam integrasi kesatuan ide yang berkelanjutan antar kelas dan jenjang. Mulai
dari masa pendidikan Anak Usia Dini (kindergarten) hingga kelas XII SMA.
Penguasaan materi pada kelas/jenjang bawah merupakan dasar bagi kelanjutan
dan penguasaan materi pada kelas/jenjang di atasnya. Integrasi secara vertikal
terjadi selama bertahun-tahun persekolahan.
Dimensi kedua yang diungkapkan oleh Robin Fogarti (1991) (Fogarty,
1991) adalah integrasi mengandung arti adanya penambahan keluasan dan
kedalaman materi (breadth and depth disciplines) yang berkelanjutan dari setiap
mata pelajaran yang dipelajari. Penambahan penguasaan secara horizontal (dalam
satu mata pelajaran) ini sebagai dasar untuk mempelajari bidang lain yang
relevan. Dimensi ketiga, adanya ketepaduan skill, tema, konsep, dan topik lintas
mata pelajaran yan memiliki kesamaan sifat (Fogarti, 1991). Koneksitas eksplisit
ini digunakan untuk meningkatkan belajar dalam cara yang lebih holistik, dimana
peserta didik membuat keterkaitan ide dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran
lainnya. Untuk membuat integrasi yang lebih komprehensif, maka integrasi
mencakup dalam dan antar mata pelajaran adalah sangat penting (Kurniawan,
2014, p. 58).

9
Gambar 2.2 Organisasi Kurikulum Model Terintegrasi (Integration)
Menurut Ediger & Rao (2011: 4), desain kurikulum terintegrasi dalam
pembelajaran berbeda dengan desain kurikulum lainnya karena kurikulum
integrasi:
1. tidak mementingkan hafalan, tetapi mengutamakan aplikasi pengetahuan
untuk memecahkan masalah yang sudah diidentifikasi.
2. tidak memecah mata pelajaran menjadi bagian-bagian, tetapi ditampilkan
secara holistik dalam situasi yang dilematis.
3. memakai pendekatan lintas bidang ilmu (interdisipliner) untuk merumskan
hipotesis dan solusi pemecahannya.
4. menimbang utilitas dan praktikalitas yang inheren dalam menemukan
solusi dari masalah yang problematik.
5. fokus pada situasi dalam kehidupan (life-like situation) yang mensyaratkan
kemampuan aplikatif dari pengetahuan yang telah dipelajari peserta didik.
2.1.3 Pembelajaran Integratif (Terpadu)
Pembelajaran integratif yang dipaparkan oleh Robin Fogarti (1991)
merupakan model keterpaduan (integrated) yang memadukan sejumlah topik dari
mata pelajaran yang berbeda, tetapi esensinya sama dalam sebuah topik tertentu.
Pembelajaran integratif ini diusahakan degan cara menggabungkan
beberapa mata pelajaran yaitu dengan menetapkan prioritas dari kurikulum dan
menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang tindih di dalam
beberapa mata pelajaran (Rusman, 2015, p. 137).
Oliva (Oliva, 1992, p. 248) mendefini sikan pembelajaran terpadu pada
intinya adalah pembelajaran yang mengorganisasikan isi bahan belajar dari
sejumlah mata pelajaran dalam satu fokus, batas-batas nama mata pelajaran sudah
tidak tampak lagi (blending, fuson, unification of disiplines). Secara umum,
pembelajaran terintegrasi/terpadu memiliki kesamaan dengan pembelajaran biasa
(non terpadu), yang membedakannya secara mendasar adalah pembelajaran
terpadu dalam pengemasan materi belajarnya tidak mengikuti struktur suatu
disiplin ilmu atau mata pelajaran tertentu, tapi terjadi lintas bahasan bidang
studi/topik bahasan yang dipadukan oleh suatu fokus tertentu (Kurniawan, 2014,
p. 59).
10
Berbeda dengan pendapat Oliva yang berangkat dari paradigma
pembagian kategorisasi organisasi kurikulum, Fogarty (1991) menyatakan bahwa
pembelajaran integratif merupakan pembelajaran yang memadukan kurikulum
dalam berbagai bentuk pemaduan baik materi pembelajaran, pemaduan
pengalaman belajar, dan pemaduan keterampilan, konsep, tema dan topik lintas
disiplin ilmu. Secara garis besar, Fogarty (1991) membedakan atas dasar rentang
keterpaduan dalam satu mata pelajaran yang sama (within single disciplines),
kepaduan lintas mata pelajaran (across several disciplines), dan kepaduan
internal peserta didik (within and across learner).
Drake (Drake, 2007, p. 25) memandang pembelajaran terpadu sebagai
pembelajaran yang memadukan kurikulum dengan berbagai cara secara umum
dan bergantian. Oleh sebab itu, pembelajaran terpadu dapat dipandang dalam
berbagai sudut pandang dan memiliki keunikan tersendiri dalam
pengimplementasiannya. Berkaitan dengan definisi tersebut, Drake (Drake, 2007,
p. 26) menyatakan bahwa jenis- jenis pembelajaran terpadu dapat disajikan dalam
tiga bentuk integrasi yakni multidispliner, integrasi interdisipliner, dan integrasi
transdisipliner ilmu.
a) Pembelajaran Integratif Multidisipliner
Pembelajaran integratif multidisipliner dilakukan dengan cara
menghubungkan secara sengaja dengan berbagai mata pelajaran yang
berbeda. Berdasarkan perspektif multidisipliner, guru tidak perlu banyak
melakukan perubahan dalam upaya mengkreasikan kurikulum sebab materi
pembelajaran dan penilaian pembelajaran tetap tegas tersaji di dalam mata
pelajaran tertentu (Drake, 2007, p. 27). Secara umum peserta didik mampu
membuat hubungan berbagai materi pembelajaran berdasarkan sebuah tema
yang dipilih. Pembelajaran integratif mulidispliner dapat diwujudkan dalam
beberapa bentuk pembelajaran multidisipliner sebagaimana dikemukakan
Drake dan Burns (Drake S. B., 2004) sebagai berikut:
1) Fuse, yakni pembelajaran yang menyatukan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap tertentu dalam kurikulum sekolah.
2) Layanan belajar, yakni pembelajaran yang melibatkan proyek
kemasyarakatan yang biasanya dilakukan di luar kelas.
11
3) Sentra belajar, yakni sebuah cara yang paling populer untuk
mengintegrasikan kurikulum melalui tema tertentu mencerminkan
beberapa materi pembelajaran yang berbeda. Dalam aplikasinya,
pembelajaran berlansung di sentra-sentra belajar, misalnya sentra
bahasa, sentra matematika, sentra seni, dan sebagainya. Jenis
pembelajaran terintegrasi multidisiplin ini biasanya diterapkan di
taman kanak-kanak.
4) Unit berbasis tema, yakni pembelajaran integratif yang
memadukan unit- unit materi dari beberapa mata pelajaran melalui
melalui penggunaan sebuah tema penghubung tertentu sebagai
dasar untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Gambar 2.3 Pembelajaran Integratif Multidisipliner

b) Pembelajaran Integratif Interdisipliner


Pembelajaran integratif interdisipliner merupakan pembelajaran
integratif yang memadukan beberapa mata pelajaran (Drake S. , 2007, p.
28). Pemaduan lebih ditekankan kepada aspek keterampilan dan kompetensi
yang terdapat pada beberapa mata pelajaran hingga membentuk
keterampilan dan kompetensi interisipliner. Pembelajaran integratif
interdisipliner inilah yang kemudian melahirkan keterampilan multiliterasi,
keterampilan berpikir interdisipliner, kemampuan meneliti dan kemampuan
berkecakapan hidup. Pembelajaran integratif interdisipliner merupakan
pembelajaran integratif yang disarankan penggunaan konteks dalam

12
pembelajaran kurikulum 2013 (Abidin, 2016, p. 213)
Pembelajaran integratif tidak menghubungkan seluruh mata
pelajaran di sekolah, melainkan menghubungkan keterampilan dan
kompetensi beberapa mata pelajaran yang terjadwal dalam satu hari yang
sama (Abidin, 2016, p. 213). Konsep ini nantinya akan berimplikasi pada
penyusunan rencana pembelajaran integratif untuk satu hari pembelajaran
bukan untuk pembelajaran jangka waktu bermingu-minggu. Contohnya,
pembelajaran dilakukan hanya dengan menghubungkan mata pelajaran
Bahasa Indonesia tentang menuliskan laporan percobaan dengan mata
pelajaran IPA tentang membuat magnet dan dengan mata pelajaran SBK
tentang membuat kerajinan dengan menggunakan bahan magnet (Abidin,
2016, p. 213).

Gambar 2.4 Pembelajaran Integratif Interdisipliner


c) Pembelajaran Integratif Transdisipliner
Pembelajaran integrative transdisipliner merupakan pembelajaran
integrative yang dikembangkan untuk meningkatkan kecakapan hidup
peserta didik melalui proses pembelajaran yang menekankan penggunaan
berbagai keterampilan-keterampilan disipliner dalam konteks kehidupan
sehari-hari peserta didik (Drake S. , 2007, p. 29).

13
Abidin (Abidin, 2016, p. 214) mengungkapkan bahwa
pembelajaran integrative transdisipliner dipandang sebagai pendekatan
pembelajaran yang paling feketif untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik sekaligus membangun karakter peserta didik.
Hal ini sejalan dengan karakteristik pendekatan integrative yang
menggunakan konteks kehidupan nyata sebagai pusat organisasi belajar,
memusatkan diri pada pengembangan keterampilan dan konsep
interdisipliner, dan dikemas secara khusus untuk membentuk keterampilan
interdisipliner yang dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan nyata.

BEBERAPA MATA
PELAJARAN
BEBERAPATemaMATA
PELAJARAN
Konsep
Tema Hidup
Kecakapan
Konsep
Konteks Kehidupan
Kecakapan
NyataHidup
Konteks Kehidupan
Pertanyaan Peserta Didik
Nyata
Pertanyaan Peserta Didik

Gambar 2.5 Pembelajaran Integratif Transdisipliner


Yunus Abidin (Abidin, 2016, pp. 214-215) mengungkapkan bahwa
pengembangan pembelajaran integrative yang akuntabel dan standar dapat
dilakukan melalui beberapa strategi sebagai berikut:
1. Kurikulum dikembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
2. Pembelajaran difokuskan pada apa yang akan peserta didik kerjakan
bukan apa yang akan guru lakukan.
3. Standar kompetensi, penilaian, dan strategi pembelajaran senantiasa

14
harus berhubungan.
4. Pembelajaran diawali dengan keputusan bersama tentang apa yang
harus diketahui dan dilakukan peserta didik dan harus menjadi apa
peserta didik setelah mengikuti pembelajaran.
5. Standar yang ditetapkan harus dapat diobservasi dan diukur.
6. Penilaian dilakukan secara terintegrasi dengan strategi pembelajaran.
7. Pembelajaran diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam menghasilkan ide dan pemahaman yang luas.
8. Pembelajaran diarahkan pada upaya meningkatkan keterampilan
umum yang dibutuhkan seperti keterampilan memecahkan masalah,
keterampilan meneliti, dan keterampilan menguasai teknologi.
9. Guru bebas memilih gaya belajar mengajar selama ketecapaian
standar terpenuhi.
10. Materi pembelajaran merupakan kendaraan untuk memenuhi standar
yang ditetapkan.
Drake dan Burns (Drake S. B., 2004) memaparkan pembelajaran integrative
memiliki keunggulan sebagai berikut :
1. Pendekatan integratif merupakan pembelajaran yang menekankan
aspek keterbukaan.
2. Pendekatan integratif menekankan aspek relevansi antara apa yang
dipelajari dengan apa yang dibutuhkan peserta didik.
3. Pembelajaran integratif merupakan seperangkat aktivitas
pembelajaran dan bukan merupakan program pembelajaran yang
kaku sehingga prosedurnya dapat dikembangkan guru secara kreatif.
4. Pembelajaran integratif dikembangkan berdasarkan kebutuhan
peserta didik sehingga guru dapat secara bebas menghubungkan
kurikulum dengan konteks kehidupan peserta didik yang senyatanya.
5. Pembelajaran integratif bersifat bertahap sehingga memastikan tidak
ada peserta didik yang tertinggal di belakang.
6. Pembelajaran integratif menyiapkan peserta didik untuk dapat
mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

15
2.1.4 Model-model Keterpaduan Kurikulum dalam Pembelajaran Terpadu
Robin Fogarty (1991) (Fogarty, 1991) menjelaskan tentang variasi model-
model keterpaduan kurikulum atau isi materi instruksional. Merujuk pada
penjelasan Fogarty (1991) tentang How to Integrate the Curricula, Fogarty
memberikan sejumlah alternatif tentang bagaimana cara mengintegrasikan materi
dalam proses pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Fogarty (1991)
mengajukan tiga klasifikasi model pengintegrasian kurikulum. Masing-masing
klasifikasi terdiri dari beberapa model, yang jumlah keseluruhannya terdapat
sepuluh model.
Kesepuluh model yang dipaparkan Fogarty (1991) merentang dalam
bentuk kontinum yang memiliki dua kutub, dari kutub yang integrasinya tidak
ada, lemah dan sederhana, sampai ke kutub yang tingkat integrasinya kuat dan
kompleks (Kurniawan, 2014, p. 64). Klasifikasi dan model-model integrasi yang
menggambarkan keragaman pandangan tentang cara pengintegrasian kurikulum
menurut Fogarty (1991) adalah: a) integrasi dalam satu disiplin/mata pelajaran
(within single disciplines) yang terdiri dari tiga model yaitu: model fragmented,
model connected, dan model nested; b) integrasi lintas disiplin (across several
disciplines) yang terdiri dari lima model yaitu: model sequenced, model shared,
model webbed, model threaded, dan model integrated; c) integrasi inter dan antar
(internal) peserta didik (within and across learner) yang didefinisikan sebagai
integrasi yang terjadi secara internal dalam diri peserta didik yang terdiri dari dua
model yaitu: model integrated dan model networked.
Rusman (Rusman, 2015, p. 134) mengungkapkan bahwa dalam
mengembangkan program pendidikan di sekolah dasar, ada tiga model
pembelajaran terpadu yang digunakan, yaitu model connected, model webbed,
dan model integrated.
a) Connected Model
Pada model connected mata pelajaran masih terpisah, akan tetapi sudah
ada upaya khusus untuk membuat hubungan secara eksplisit dalam mata
pelajaran. Menghubungkan satu tema dengan tema lainnya dan satu konsep
dengan konsep lainnya. Kunci dari model ini adalah upaya penuh pertimbangan
untuk menghubungkan materi pembelajaran dalam satu mata pelajaran yang sama,
16
dengan asumsi bahwa peserta didik tidak akan memahaminya adanya hubungan
otomatis dari materi yang dipelajari dengan materi lainnya (Kurniawan, 2016:
66). Adanya keterhubungan antar materi harus diupayakan oleh guru.
Upaya untuk menghubungkan model ini adalah langkah awal untuk
mengadakan integrasi pada tingkat selanjutnya yang kompleks dan rumit. Hal
tersebut merupakan modal dalam membuat keterhubungan antar mata pelajaran,
yang akan melibatkan guru-guru lain pemegang mata pelajaran atau bidang studi
yang berbeda. Model connected diilustrasikan dimana masing-masing mata
pelajaran terpisah tetapi sudah ada upaya untuk menghubungkan satu konsep mata
pelajaran dengan konsep dari mata pelajaran lainnya, dengan fokus pada satu mata
pelajaran utama.
b) Webbed Model
Model terjala atau jejaring tema (webbed) adalah pendekatan tematik
dalam pengintegrasian mata pelajaran. Satu tema dijadikan rujukan untuk
membahas materi sejumlah mata pelajaran yang sejalan atau memiliki keterkaitan
ide dan tema (Fogarty, 1991: 54). Tema menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk merajut topik materi dari sejumlah mata pelajaran yang menjadi uraian
terpadu (Kurniawan, 2014, p. 70).
Dalam proses pengembangannya memerlukan waktu yang intens antar
guru mata pelajaran, terutama untuk pembelajaran yang menggunakan sistem guru
mata pelajaran atau bidang studi. Mengingat kompleksnya pengembangan model
ini, dalam konsep Fogarty (1991: 55) tema diambil dari luar mata pelajaran.
c) Integrated Model
Model terpadu (integrated) adalah pengorganisasian kurikulum yang
menggunakan pendekatan interdisipliner, memadukan beberapa mata pelajaran.
Menurut Fogarty (1991: 76) empat mata pelajaran berlandaskan pada konsep dan
topik yang ada dan saling tumpang tindih diantara keempat mata pelajaran
tersebut. Merujuk pada tema yang terpilih, selanjutnya dilakukan pengaturan
kembali pola organisasi materi, yaitu materi yang sudah terintegrasi atau terpadu,
tidak berdasarkan mata pelajaran.
Penentuan tema yang dijadikan fokus, sama dengan model shared yaitu
diambil dari konsep, prinsip, atau skill yang ada dalam pelajaran bersangkutan,
17
berbeda dengan model tematik yang (webbed) yang mengambil tema dari luar
mata pelajaran yang diintegrasikan. Organisasi ini bisa digunakan untuk
mengantisipasi apabila muatan kurikulum di sekolah terlalu banyak, sedangkan
waktu terbatas (Kurniawan, 2014, p. 73; Hernawan, 2012, p. 24). Selain itu,
model ini cocok pula digunakan pada level pendidikan yang menjadikan peserta
didik sebagai fokus dalam pembelajaran dan pertimbangan keseluruhan (holistik)
dijadikan dasar teori dalam proses pembelajaran.

18
2.2 Implementasi Kurikulum
2.2.1 Pengertian Implementasi Kurikulum
Kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti jika tidak
diimplementasikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
implementasi sebagai pelaksanaan atau penerapan. Menurut Oxford Advance
Learner’s Dictionary, implementasi diartikan “put something into effect” atau
penerapan yang memberi dampak. Sementara, ahli kurikulum mendefinisikan
implementasi secara beragam. Wahyudin (Wahyudin, 2014, hal. 93)
mendefinisikan implementasi kurikulum sebagai suatu proses aktualisasi
kurikulum tertulis (written curriculum) yang diwujudkan dalam bentuk proses
pembelajaran. Pernyataan ini sejalan dengan Miller dan Seller (Miller, 1985, hal.
13) “curriculum implementation has been indentified with instruction”. Ahli
kurikulum, Said Hamid Hasan, memandang implementasi sebagai suatu dimensi
dari proses (Hasan, 2007). Dimensi proses terkait implementasi dari perencanaan
yang tertuang dalam dokumen tertulis. Dimensi proses meliputi implementasi,
pengamatan serta realita yang harus dilakukan sebagai bentuk penerapan dari
dokumen perencanaan yang tertulis (written documen). Lebih lanjut, Hamalik
(Hamalik, 2007) menyatakan implementasi merupakan suatu proses penerapan
ide, konsep, kebijakan atau tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran
sehingga memberikan dampak, berupa perubahan pengetahuan, keterampilan,
nilai maupun sikap. Penerapan dalam implementasi kurikulum mensyaratkan
adanya praktik mata pelajaran dan silabus yang telah disusun sebelumnya
(Chikumbi, 2005).
Dalam konsepsi implementasi kurikulum, Okebukola dalam (Ahmadi,
2015, hal. 31) mendefinisikan sebagai transisi tujuan kurikulum dari bentuk
dokumen tertulis ke dalam praktik (form paper ti practice). Implementasi
kurikulum dikatakan efektif apabila dapat memastian pencapaian tujuan untuk
kurikulum tersebut sesuai dengan desain atau rancangan yang telah disusun
sebelumnya. Dari berbagai pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
implementasi kurikulum ialah suatu proses aktualisasi ide, konsep yang telah
didesain sedemikian rupa untuk diuji cobakan secara langsung dalam bentuk
proses pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan,

19
karakteristik peserta didik serta kesiapan guru mengimplementasikannya guna
mencapai tujuan pendidikan.
Mengkaji uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa tidak ada batasan
yang jelas antara pengembangan kurikulum dan implementasi kurikulum.
Implementasi dilakukan ketika kurikulum telah dikembangkan, diuji coba dan
dievaluasi sesuai dengan kebutuhan. Hal terpenting dalam implementasi adalah
melibatkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, seperti guru, pengawas serta
peserta didik. Tindakan ini benar tanpa adanya missconception dalam memandang
sebuah dokumen tertulis berdasarkan perspektif masing-masing. Keberhasilan
implementasi kurikulum diperoleh dari perencanaan yang matang, yang berfokus
pada tiga faktor, yaitu program, proses dan pihak yang terlibat di dalamnya
(Ornstein, 2013, hal. 250).
Pada dasarnya, kurikulum dikembangkan guna meningkatkan kualitas
pembelajaran agar sesuai dengan tujuan pendidikan. Kaitannya dengan hal
tersebut, implementasi kurikulum dipandang sebagai suatu proses perubahan
dalam memperoleh hasil yang mendekati pencapaian tujuan pendidikan ideal
(Ansyar M. , 2015, hal. 408). Terkait implemntasi kurikulum sebagai perubahan,
Ornstein dan Hunkins (Ornstein, 2013, hal. 251) menekankan terdapat dua
pemahaman penting tentang implementasi kurikulum, diantaranya a) pemahaman
tentang perubahan yang akan dilakukan secara personal dan kelompok
(organisasi), serta bagaimana informasi dan ide baru bisa diterima dan
diimplemntasikan sekolah; b) pemahaman tentang kaitan antara perubahan
kurikulum dan perubahan konteks sosial-institusional atau kultur sekolah yang
baru.
Rumah latu, dkk (Rumahlatu, 2016, hal. 562) menambahkan kurikulum
seperti kompas yang menuntun setiap proses demi tercapainya tujuan dan
keberhasilan pendidikan. Seperti halnya kompas, kurikulum berperan penting
dalam mengorganisasi, mengarahkan serta sebagai pedoman dalam proses
pembelajaran. Dalam hal ini, dari berbagai tahapan pengembangan kurikulum,
implementasi merupakan bagian paling penting. Sebagaimana diungkapkan
Rusman (Rusman, Curriculum Implementation at Elementary Schools A Study
On "Best Practices" Done by Elementary School Teachers in Planning,

20
Implementing, and Evaluating the Curriculum, 2015, hal. 107) “curriculum
implementation as instrumental action”. Keberhaislan kurikulum dapat diukur
berdasarkan proses implementasinya. Namun, pada praktiknya pihak-pihak yang
terlibat dalam implementasi kurikulum (implementers) dapat mengembangkan
dan mengadaptasi prosesnya disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan tuntutan
setempat. Dengan demikian, guru, kepala sekolah maupun manajemen sekolah
dapat melakukan perubahan (modification), penyesuaian (adaptation), atau
pembaharuan (innovation) (Wahyudin, 2014).
Dalam pandangan tersebut, ketiga upaya implementasi kurikulum
merupakan persoalan esensial mengingat sebuah kurikulum tidak akan pernah
benar-benar dapat diimplemntasikan sesuai dengan desain yang telah dirancang.
Maka dari itu, modification, adaptation, serta innovation diperlukan untuk
memperoleh hasil implementasi yang maksimal. Ditegaskan pula oleh Miller dan
Seller (Miller, 1985, hal. 13) “adaptation and variation in implementation
frequently occurs”. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui kemampuan
melakukan adaptasi dan inovasi dalam implementasi kurikulum perlu diupayakan.
Dengan demikian, ukuran kesuksesan implementasi kurikulum pada dasarnya
dapat dilihat berdasarkan sejauh mana pihak pelaksana (guru) memiliki
kemampuan dan kemauan untuk mengakomodasi kemungkinan dilakukannya
modifikasi dalam kurikulum (Hamalik, 2007, hal. 239).
2.2.2 Tahap-tahap Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum merupakan aktualisasi dari perencanaan
kurikulum yang telah dirancang sebelumnya. Pada dasarnya, sebelum
mengimplementasikan kurikulum, terdapat beberapa tahapan yang harus
dilakukan. Wahyudin (Wahyudin, 2014, hal. 103) mengemukakan terdapat tiga
tahapan dalam implementasi kurikulum terdiri atas:
1) Tahap Perencanaan Implementasi
Tahap ini berupaya untuk merancang pembelajaran sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai. Dalam tahap ini langkah yang dilakukan ialah
menguraikan tujuan pemeblajaran, menentukan metode, media, sumber
belajar serta sarana dan prasarana yang tepat dalam mendukung proses
belajar yang sesuai bagi peserta didik. Hasil dari tahap ini berupa blue

21
print (rancangan) yang menjadi pedoman pada tahap selanjutnya.
2) Tahap Pelaksanaan Implementasi
Tahap ini merupakan aktualisasi atau pelaksanaan blue print
sebagai hasil dari tahap sebelumnya. Oleh sebab itu, pada pelaksanaanya
mengacu pada apa yang telah dirancang. Hasil dari tahapan ini adalah
tercapainya tujuan yang telah dilakukan.
3) Tahap Evaluasi Implementasi
Tahap terakhir yakni evaluasi yang bertujuan untuk melihat sejauh
mana proses pelaksanaan sesuai denan rencana dan tujuan yang ingin
dicapai. Selain itu, pada tahap ini segala kekurangan yang ditemukan
selama proses pelaksanaan akan ditinjau ulang dan diupayakan mencari
solusi guna proses perbaikan pada pelaksanaan berikutnya.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kurikulum
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada gunanya kurikulum
dirancang apabila tidak diimplementasikan. Selama ini, banyak program
pendidikan telah dirancang dan dikembangkan dengan baik, tetapi sering kali
tidak diimplementasikan dengan baik pula. Padahal, penyususnan kurikulum
membutuhkan waktu yang relatif lama, menelan banyak dana dan tenaga tetapi
menjadi sia-sia karena tidak diimplementasikan dengan baik sesuai dengan konsep
yang telah dirumuskan. Akibatnya, jika dalam implementasi urikulum terbukti
tidak efetif, pihak pemangku pendidikan cenderung mengembangkan lagi
kurikulum yang baru, tanpa dikaji ulang mengapa kurikulum itu kurang efektif.
Hal yang menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan pendidikan belum tentu
bersumber pada kurikulum, tetapi kurikulum belum diimplementasikan
sebagaimana seharusnya.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum membutuhkan upaya dari
berbagai pihak yang terlibat, seperti guru, peserta didik, administrator, orang tua
terkait dengan bahan ajar, psikologis, sarana prasarana maupun lingkungan sosial.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Ogar dan Awhen (Ogar, 2015, hal. 145) yang
menyatakan “succesful implementation of curriculum requires understanding the
power relationships, the traditions, the roles and responsibilities of individuals in
the school system”. Keberhasilan implementasi kurikulum membutuhkan

22
pemahaman dan hubungan yang kuat, tradisi, peran dan tanggung jawab dari
setiap individu dalam sistem persekolahan.
Terkait dengan hal tersebut, guru menjadi faktor yang memberi andil
cukup kuat dalam keberhasilan kurikulum. Sebagaimana disampaikan Rusman
(Rusman, Manajemen Kurikulum, 2009) sebagus apapu desain atau rancangan
kurikulum, tetap saja keberhasilannya sangat bergantung pada guru. Guru
merupakan faktor utama (key factor) yang mendukung keberhasilan implementasi
kurikulum. Ahmadi dan Lukman (Ahmadi, 2015) mengemukakan guru sebagai
pihak utama dalam implementasi kurikulum. Begitu pula, Wang dan Cheng
(Wang, 2009) yang juga menjelaskan guru berperan penting dalam implementasi
kurikulum, sebab menentukan apakah inovasi dalam implementasi kurikulum
berhasil dilaksanakan saat proses pembelajaran sebagaimana yang dimaksud
dalam dokumen perencanaan yang disusun oleh pembuat kebijakan. Maka dari
itu, guru merupakan figur sentral dari proses implementasi kurikulum (Chaudary,
2015).
Apabila dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2013, Sariono
(Sariono, 2013) menyatakan faktor terpenting dalam keberhasilan implementasi
Kurikulum 2013 ialah kesiapan dari para pihak implementasi (implementers)
terutama guru dalam menerapkannya. Sebagus apapun kurikulum, bergantung
pada kesiapan guru dalam mengimplementasikannya (Febiya, 2014).
Kegagalan Implementasi kurikulum selama ini disebabkan oleh guru yang
tidak terkualifikasi dalam mengajarkan materi pelajaran sesuai dengan konsep
kurikulum yang berlaku (Ajibola, 2008). Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam
implementasi kurikulum, guru memegang peran kunci dalam keberhasilan
kurikulum sehingga sebelum mengimplementasikan, guru harus betul-betul
memahami konsep pembelajaran pada kurikulum yang akan diterapkan.
Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kurikulum, Hamalik (Hamalik, 2007, hal. 239) mengemukakan tiga faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya implementasi kurikulum, di antaranya:
1) Karakteristik kurikulum, mencakup ruang lingkup bahan ajar, tujuan,
fungsi, sifat dan sebagainya.

23
2) Startegi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi
kurikulum, sepertidiskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya
penyediaan buku kurikulum dan berbagai kegiatan lain yang dapat
mendorong penggunaan kurikulum di lapangan.
3) Karakteristik pengguna kurikulum meliputi pengetahuan, keterampilan
serta nilai dan sikap guru terhadap kurikulum.
Di sisi lain, (Chaudary, 2015, hal. 985) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kurikulum terdiri atas 6 unsur, diantaranya:
1) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh guru
2) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh peserta didik
3) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh sumber bahan ajar dan fasilitas
4) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh minat kelompok (interest of
groups)
5) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh kultur dan ideologi
6) Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh supervisi pengajaran
Beberapa sekolah dirasa gagal dalam menerapkan kurikulum sebab
kurang fokus pada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, terutama guru. Selain
faktor guru, implementasi kurikulum juga bergantung pada program-program apa
saja yang telah ditatpkan yang dalam hal ini diasumsikan sebagai dokumen
kurikulum yang telah disusun oleh tim pengembang kurikulum. Kualitas dokumen
kurikulum yang terstruktur dapat dijadikan pedoman bagi para eksekutif (guru)
untuk menerapkan kurikulum dengan mudah dan tepat. Dengan demikian, antara
pihak-pihak yang berkepentingan dalam penerapan kurikulum dengan program
dab proses pembelajaran harus daling terkait agar tidak terjadi kesalah pahaman
dalam mengimplementasikan kurikulum.
2.3 Kurikulum 2013
2.3.1 Konsep dasar
Rusman (Rusman, 2016, pp. 85-87) menyatakan bahwa kurikulum 2013
merupakan pengembangan dari kurikulum 2006 sebagai respon atas berbagai
tantangan internal dan eksternal. Kurikulum adalah salah satu unsur dalam
memberikan kontribusi dalam mewujudkan proses berkembangnya kualitas
potensi peserta didik, khususnya untuk kurikulum 2013 dikembangkan dengan

24
kompetensi sebagai basisnya, kurikulum ini sebagai instrument dinilai sangat
penting untuk mendidik peserta didik menjadi: 1) Manusia berkualitas yang
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; 2) Manusia
terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Kurikulum 2013 dikembangkan sebagai Langkah lanjutan Pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP
2006 yang mencakup komptensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara
terpadu. Pelaksanaan kurikulum terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu 1)
pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah, yang mana kepala sekolah bertanggung
jawab untuk melaksanakan kurikulum di lingkungan sekolah yang dipimpinnya,
2) dan pelaksanaan kurikulum tingkat kelas, yang mana pembagian tugas guru
harus diatur secara administrasi untuk menjamin pelaksanaan kurikulum
lingkungan kelas.
2.3.2 Karakteristik Kurikulum 2013
Merujuk kepada Rusman (Rusman, 2016, p. 90) kurikulum 2013
dirancang dengan karakteristik di bawah ini:
1) Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan
social, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan
intelektual dan psikomotorik.
2) Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman
belajar terencana yang mana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari
di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber
belajar.
3) Mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan serta
menerapkannya dalam berbagai sikap, pengetahuan dan keterampilan.
4) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai
sikap, pengetahuan dan keterampilan.
5) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci
lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.
6) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)

25
kompetensi dasar , yang mana semua komptensi dasar dan proses
pembelajaran dikembangkan untuk mencapai komptensi yang dinyatakan
dalam kompetensi inti.
7) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumuatif,
saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enrich) antar mata
pelajaran dan jenajng Pendidikan (organisasi horizontal dan vertical).
Kompetensi untuk Kurikulum 2013 meliputi:
a) Isi atau konten kurikulum yaitu kompetensi dinyatakan dalam
bentuk kompetensi inti (KI) kelas dan dirinci lebih lanjut dalam
kompetensi dasar (KD) mata pelajaran.
b) Kompetensi Inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial
mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan dan
keterampilan (kognitif dan psikomotor) yang harus dipelajari
peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata
pelajaran. Kompetensi inti adalah kualitas yang harus dimiliki
seorang peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran KD
yang diorganisasikan dalam proses pembelajaran peserta didik
aktif.
c) Kompetensi dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari
peserta didik untuk suatu tema untuk SD?MI dan untuk mata
pelajaran di kelas tertentu untuk SMP/MTS, SMA/MA,
SMK/MAK.
d) KI dan KD di jenajng Pendidikan dasar diutamakan pada ranah
sikap sedangkan pada jenjang Pendidikan menegngah pada
kemampuan intelektual (kemampuan kognitif tinggi).
e) KI menjadi unsur organisatoris (organizing elements) sementara
semua KD dan proses pembelajaran dikembangkan untuk
mencapai kompetensi dalam KI.
f) KD yang dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enrich) antar mata
pelajaran dan jenjang Pendidikan (organisasi horizontal dan
vertical).

26
g) Silabus dikembangkan sebagai rancangan belajar untuk satu tema
(SD/MI) atau satu kelas dan satu mata pelajaran (SMP/MTS,
SMA/MA/ SMK/MAK). Dalam silabus tercantum seluruh KD
untuk tema atau mata pelajaran di kelas tersebut.
h) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dikembangkan dari setiap KD
yang untuk mata pelajaran kelas tersebut.
2.3.3 Tujuan Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 dinyatakan bertujuan untuk empersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara
yang beriman, produktif, kreatif, inovatif dan afektif serta mampu berkontribusi
pada kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia (Rusman,
2016, p. 92).
2.3.4 Prinsip Pengembangan Kurikulum 2013
Terdapat beberapa prinsip yang mendasari pengembangan kurikulum
2013, yaitu:
1) Kurikulum bukan hanya merupakan sekumpulan daftar mata pelajaran
karena mata pelajaran hanya merupakan sumber materi pembelajaran
untuk mencapai kompetensi.
2) Kurikulum didasarkan pada standar kompetensi lulusan yang ditetapkan
untuk suatu satuan Pendidikan, jenjang Pendidikan dan program
Pendidikan. Sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar
12 Tahun maka Standar Kompetensi Lulusan yang menjadi dasar
pengembangan kurikulum peserta didik setelah mengikuti proses
Pendidikan selama 12 tahun.
3) Kurikulum didasarkan pada model kurikulum berbasis kompetensi. Model
kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi
berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir dan keterampilan
psikomotor yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran.
4) Kurikulum didasarkan atas prinsip bahwa sikap, keterampilan dan
pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk KD dapat
dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai
dengan kaidah kurikulum berbasis kompetensi.

27
5) Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat.
6) Kurikulum berpusat kepada potensi, perkembangan, kebutuhan dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannta. Kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan
aktif dalam belajar.
7) Kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
budaya teknologi dan seni.
8) Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan.
9) Kurikulum harus diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
10) Kurikulum didasarkan kepada kepentingan nasional dan kepentingan
daerah.
11) Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki
pencapaian kompetensi. Instrumen peniliaian belajar adalah alat untuk
mengetahui kekurangan yang dimilki setiap peserta didik atau sekelompok
peserta didik. Kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses
memperbaiki kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki
seseorang atau sekelompok peserta didik (Rusman, 2016, pp. 94-95).
2.4 Desain Pembelajaran
2.4.1 Konsep Pengajaran dan Pembelajaran (Kegiatan Instruksional)
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah pengajaran telah banyak
ditinggalkan dan seakan tenggelam, digantikan oleh istilah instruksional atau
pembelajaran (Suparman, 2014, p. 8). Pengajaran adalah “any activity on the part
of one person intended to facilitate learning on the part of another” (Gagne, 1979,
p. 14). Definisi yang diungkapkan Gagne jelas menunjukkan bahwa pengajar atau
guru berperan dan memfasilitasi terjadinya proses dan hasil-hasil belajar pada diri
peserta didik. Saylor, et al. (Saylor, Alexander, & Lewis, 1981, p. 257)
menyatakan “instruction is the actual engagement of the learner with planned
learning opportunities”. Pengertian tersebut menyiratkan dua hal dalam
pembelajaran yaitu adanya aktivitas individu peserta didik dan adanya lingkungan
yang dikondisikan secara khusus untuk mengarahkan aktivitas peserta didik.

28
Definisi pengajaran lainnya diungkapkan oleh Joice and Weil (Joice &
Bruce, 1980, p. 1) yang mengemukakan bahwa: “A process by which teacher and
student create a shared environment including sets of values and beliefs
(agreement about what is important) which in turn color their view of reality”.
Definisi ini menunjukkan konsep pengajaran yang lebih demokratis, yaitu
pengajar dan peserta didik secara bersama menciptakan lingkungan termasuk
serangkaian tata nilai dan keyakinan yang dianggap penting untuk menyatukan
pandangan tentang realitas kehidupan.
Istilah pengajaran secara bertahap tergantikan oleh istilah instruksional
atau pembelajaran, karena menurut para ahli yang dikehendaki adalah proses
belajar mengajar yang mengedepankan peran aktif peserta didik. Namun semua
pakar dan praktisi tidak ingin meniadakan pentingnya kehadiran pengajar di dunia
pendidikan. Sadiman (Sadiman, 1990, p. 146) mendefinisikan pembelajaran
ditekankan kepada kegiatan belajar peserta didik melalui usaha-usaha yang
terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar.
Senada dengan pernyataan di atas, Sanjaya (Sanjaya, 2009, p. 213)
mengungkapkan bahwa pembelajaran menunjukkan pada usaha peserta didik
mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Lanjutnya kembali,
ada empat karakteristik dari pembelajaran, yaitu: (1) mengajar berpusat pada
peserta didik, (2) peserta didik sebagai subjek belajar, (3) proses pembelajaran
berlangsung dimana saja, (4) pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan.
Kegiatan instruksional atau pembelajaran adalah “a set of event which
affect learners in such a way that learning is facilitated” (Gagne et al., 1979: 3).
Kegiatan instruksional atau pembelajaran adalah suatu rangkaian peristiwa yang
mempengaruhi peserta didik atau pembelajar sedemikian rupa sehimgga
perubahan perilaku yang diharapkan. Kegiatan instruksional melibatkan berbagai
metode, dari metode yang paling sederhana sampai hingga metode yang paling
kompleks. Hasilnya dapat dimulai dari yang paling sederhana pemahaman
terhadap konsep baru, prosedur baru dan prinsip baru sampai terbentuk
kompetensi yang ditandai dengan hasil karya inovatif yang kongkret berupa teori,
benda, atau teknologi baru, dan sikap perilaku atau karakter baru (Suparman,
2014: 11).

29
Kegiatan instruksional dan belajar ibarat dua sisi dua sisi dari satu mata
uang (Sukmadinata, 2011, p. 7), maka upaya pembelajaran tidak bisa dilepaskan
dari prinsip belajar individu itu sendiri. Artinya, proses pembelajaran yang
dilakukan atau dirancang oleh sesorang (guru atau instructional designer) harus
sejalan dengan bagaimana belajar itu sendiri (Kurniawan, 2014: 28). Kegiatan
instruksional semestinya disesuaikan dengan bagaimana proses belajar. Upaya
mengkonsistenkan antara upaya pembelajaran dengan teori belajar telah dilakukan
oleh Gagne. Hal ini seperti yang dijelaskan Driscoll dalam (Reiser & Dempsey,
2002, p. 64),
“ Robert M Gagne,... was concerened primary with instruction and how
what is known about learning can be systematically related to the
design of instruction. He proposed an integrated and comrehensive
theory of instruction that is based on two foundation: cognitive
information theory and Gagne’s own observations of effevtive teachers
in the classroom.”
Berikut ini adalah tabel hubungan antara fase belajar dan kegiatan
instruksional menurut Gagne yang diadaptasi dari Bell Gredler (Dimyati &
Mudjiono, 1994, p. 12).
Tabel 2.1
Hubungan Antara Fase Belajar dan Kegiatan Instruksional
Peran Fase Belajar Kegiatan Instruksional
Persiapan untuk Belajar 1. Mengerahkan 1. Menarik perhatian
perhatian peserta didik dengan
2. Ekspektasi kejadian yang tidak
3. Retrieval (informasi biasa, pertanyaan
dan keterampilan atau perubahan
yang relevan untuk stimulus.
teori kerja) 2. Memberi tahu
4. Persepsi selektif atas peserta didik tentang
sifat stimulus tujuan belajar.
3. Merangsang peserta
didik untuk

30
mengingat kembali
hasil belajar yang
dipelajari
sebelumnya.
4. Menyajikan
stimulus yang jelas.
Pemerolehan dan unjuk 5. Sandi Semantic 5. Memberikan
perbuatan 6. Retieval dan respons bimbingan belajar.
7. Penguatan 6. Memunculkan
perbuatan peserta
didik.
7. Memberikan balikan
informatif.
Retrieval dan alih belajar 8. Pengisyaratan 8. Menilai perbuatan
9. Pemberlakuan secara peserta didik.
umum. 9. Meningkatkan
retensi dan alih
belajar.

2.4.2 Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran


Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisikan tentang ide-ide dan
gagasan yang dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Rencana tertulis itu
kemudian menjadi dokumen kurikulum yang membentuk sistem kurikulum yang
terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi
satu sama lain, seperti misalnya komponen tujuan yang menjadi arah pendidikan,
komponen pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan
komponen evaluasi (Sanjaya, 2009, p. 16). Komponen-komponen kurikulum yang
membentuk sistem kurikulum selanjutnya melahirkan sistem instruksional, dan
sistem instruksional itulah yang menjadi pedoman guru dalam pengelolaan proses
belajar mengajar di dalam kelas.
Merujuk dari pemaparan di atas, sistem pembelajaran merupakan
pengembangan dari sistem kurikulum yang digunakan. Oleh karena sistem

31
pembelajaran melahirkan tindakan-tindakan guru dan peserta didik, maka dapat
juga dikatakan bahwa tindakan-tindakan itu pada dasarnya implementasi dari
kurikulum, yang selanjutnya akan memberikan masukan dalam proses perbaikan
kurikulum (Sanjaya, 2009, p. 17).
Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan
walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda. Posisi kurikulum dan
pembelajaran yang diungkapkan oleh Saylor (1981): “The term curriculum and
instruction are interlocked almost as inextricable as name Tristan and Isoled or
Romeo and Juliet. Without a curriculum plan, there can be no effective
instruction; and without instruction the curriculum has litle meaning”.
Oliva (1992) mengungkapkan bahwa kurikulum dan pembelajaran
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Lebih lanjut lagi, kurikulum berhubungan
dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi pelajaran serta
pengalaman belajar sedangkan pembelajaran berkaitan dengan metode, tindakan
mengajar, dan persentasi. Bagan di bawah ini menggambarkan keterkaitan
hubungan antara kurikulum dan pembelajaran.

Bagan 2.1 Keterkaitan Kurikulum dan Pembelajaran


Sumber: Arno A. Bellack & Herbert Kllebard, 1977 (Subandijah, 1996)
Isi dalam sistem pengembangan kurikulum bersumber dari budaya
masyarakat. Dari sumber tersebut ditentukan kriteria penyusunan dan kriteria
pemilihan. Selanjutnya, sistem pengembangan kurikulum akan menghasilkan
rangkaian pembelajaran serta hasil yang diharapkan sesuai dengan kurikulum.
Rangkaian pembelajaran inilah yang kemudian akan mengkristal dalam sistem

32
instruksional yang merupakan tindak lanjut dari pengembangan sistem kurikulum.
Dari sistem instruksional itulah selanjutnya dapat melahirkan hasil belajar peserta
didik.
Sistem instruksional terbentuk oleh tiga subsistem, yaitu subsistem tentang
perencanaan/perancangan instruksional, subsistem tentang pelaksanaan
instruksional, dan subsistem evaluasi (Sanjaya, 2009, p. 19). Setiap subsistem itu
merupakan suatu rangkaian, yang masing-masing dapat dianalisis. Perencanaan
pembelajaran adalah proses yang dilakukan untuk mendesain kegiatan
instruksional sebagai upaya pencapaian tujuan kurikulum (Sanjaya, 2009: 19).
Subsistem pelaksanaan instruksional adalah implementasi dari suatu
perencanaan/perancangan. Subsistem pelaksanaan erat kaitanya dengan prosedur
yang ditempuh oleh guru dan peserta didik di dalam praktik pembelajaran. Oleh
karena itu keberhasilan kurikulum sangat bergantung pada subsistem pelaksanaan
ini (Sanjaya, 2009: 19). Subsistem evaluasi berhubungan dengan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan instruksional oleh peserta
didik (Sanjaya, 2009: 20). Subsistem evaluasi mempunyai peran yang sangat
penting dalam sistem pembelajaran, hal tersebut dikarenakan hasil evaluasi dapat
dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan peserta didik dan sebagai umpan balik
untuk perbaikan proses pembelajaran.
2.4.3 Definisi Desain Pembelajaran (Instruksional Design)
Gagne et al., (1979: 4) menyatakan bahwa desain instruksional adalah
sebuah usaha dalam membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar
sendiri mempunyai tahapan segera dan jangka panjang. Rothwell (Rothwell &
Kazanas, 1998) menjelaskan hal baru tentang desain pembelajaran, dimana desain
pembelajaran bukan hanya sekedar menciptakan pembelajaran, seperti
merumuskan tujuan, menentukan topik, menentukan strategi pembelajaran,
mengevaluasi hasil belajar dan lain-lain. Secara lebih luas tujuan utama desain
pembelajaran adalah untuk memecahkan masalah kinerja manusia. Sheels and
Richey (1994) dalam (Suparman, 2014) mendefinisikan desain instruksional
adalah prosedur yang terorganisasi meliputi langkah-langkah penganalisaan,
perancangan, pengembangan, pengaplikasian, dan penilaian pengembangan
(Suparman, 2014: 3).

33
Senada dengan pernyataan diatas, Applied Reseacrh Labolatory, Penn
State University (2010) memandang desain instruksional dari empat posisi yaitu:
a) Instructional design sebagai sebuah proses
Sebagai sebuah prses desain instruksional bermakna sebagai
pengembangan yang sistematis tentang spesifikasi pembelajaran dengan belajar
dan teori instruksional untuk menjamin mutu pengajaran. Desain instruksional
mencakup seluruh proses analisis kebutuhan dan tujuan pembelajaran dan
pengembangan sistem penyajian untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini
termasuk pengembangan bahan ajar dan kegiatan.
b) Instructional design sebagai sebuah disiplin
Desain instruksional adalah bahwa cabang pengetahuan yang menaruh
perhatian pada penelitian dan teori tentang strategi pembelajaran dan proses untuk
mengembangkan dan menerapkannya.
c) Instructional design sebagai sains
Desain instruksional adalah ilmu menciptakan spesifikasi rinci untuk
pengembangan, implementasi, evaluasi, dan memfasilitasi pembelajaran pada
unit-unit kecil dari materi pelajaran di semua tingkat yang kompleks.
d) Instructional design sebagai realitas
Desain instruksional dapat dimulai pada setiap titik dalam proses desain.
Seringkali secercah ide dikembangkan untuk memberikan inti dari situasi
instruksi. Pada saat seluruh proses dilakukan, desainer melihat ke belakang atau
dia memeriksa untuk melihat bahwa semua bagian dari “ilmu” telah
diperhitungkan. Kemudian seluruh proses ditulis seolah-olah itu terjadi secara
sistematis
Merujuk dari beberapa uraian di atas, perancangan pembelajaran
(instructional design) adalah praktek menciptakan pengalaman pembelajaran yang
membuat perolehan pengetahuan dan keterampilan yang lebih efektif, efisien, dan
menarik yang diawali dengan kebutuhan peserta didik, perumusan tujuan
pembelajaran, dan merancang “intervensi” untuk membantu terjadinya belajar.
Perkembangan perancangan pembelajaran atau instructional design telah
berkembang dengan begitu pesat.

34
Berbagai konsep dan model desain instruksional pada hakikatnya hanya
untuk membantu peserta didik untuk belajar serta membantu guru untuk
mempersiapkan proses pengajaran. Beberapa persamaan pada berbagai konsep
dan model perancangan pembelajaran yang ditawarkan terletak pada setiap
komponen secara umum, karena pada umumnya semua perancangan pembelajaran
berawal dari penentuan tujuan dan menentukan komponen pembelajaran lainnya,
seperti mendesain metode pengajaran, memilih bahan ajar dan bagaimana proses
evaluasi di desain sedemikian rupa. Adapun perbedaan dari berbagai konsep
desain instruksional terletak pada teknis dalam menentukan langkah-langkah
khusus atau Langkah kecilnya saja. Konsep perancangan pembelajaran
(instructional design) dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 2.2 Konsep Desain Instruksional


(Sumber: (Romizowski, 1981, p. 4)
Dari bagan di atas terlihat bahwa setelah guru mempelajari kurikulum
yang berlaku, selanjutnya membuat suatu instructional design (perancangan
pembelajaran) dengan mempertimbangkan kemampuan awal peserta didik
(entering behavior), tujuan yang hendak dicapai, teori belajar, dan pembelajaran,
karakteristik bahan yang akan diajarkan, metode dan media atau sumber belajar
yang akan digunakan, dan unsur-unsur lainnya sebagai penunjang.

35
Selain perancangan pembelajaran dibuat, kemudian KBM atau
pembelajaran dilakukan. Dalam hal ini ada dua kegiatan utama, yaitu guru
bertindak mengajar dan peserta didik bertindak belajar. Hasil ini akan
memberikan dampak bagi guru dan peserta didik.
Bagi guru sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) berupa hasil
yang dapat diukur sebagai data hasil belajar peserta didik (angka/nilai) dan berupa
masukan bagi pengembangan pembelajaran selanjutnya, sedangkan bagi peserta
didik sebagai dampak pengiring (nurturant effect) berupa terapan pengetahuan
dan/atau kemampuan di bidang lain sebagai suatu transfer belajar yang akan
membantu perkembangan mereka mencapai keutuhan dan kemandirian (Fathoni
& Riyana, 2015, p. 147).
2.5 Pembelajaran berbasis SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah)
2.5.1 Konsep Pendidikan SATF
Pemerintah memasukkan Pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui
penguatan kurikulum, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi,
sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter
terkait erat dengan tema akhlak mulia. Akhlak mulia yang perlu kita teladani
adalah Akhlak Nabi Muhammad SAW. Dari sekian nilai-nilai karakter yang
berhasil dirumuskan, ada nilai-nilai karakter yang esensial (core essensial
character values). Nilai-nilai karakter essensial (Dr. Eni Setyowati, 2019, p. 12)
ini sebenarnya telah ada pada diri Nabi dan Rasul, yang dikenal dengan empat
akhlaknya yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah (SATF). Keempat nilai-
nilai karakter tersbut merupakan pilar-pilar Pendidikan karakter, karena ibarat
membangun Gedung atau bangunan, maka menanamkan atau membangun pilar-
pilar Gedung itu adalah kegiatan awal yang harus dilakukan untuk membangun
gedung atau bangunan secara keseluruhan.
Shiddiq (Laranta, 2013, p. 29) secara etimologi mengandung banyak
pengertian. Kata itu berasal dari shadaqa yang artinya benar, nyata, berkata benar,
menepati jani, benar perkataan, atau perkiraannya. Lawan kata shiddiq adalah
kizib (dusta). Umumnya kita mengartikan sifat shiddiq ini dengan makna jujur.
Kejujuran sudah menjadi ciri, karakter, dan pemikiran utama bagi para nabi dan
rasul. Sehingga, tidaklah mengeherankan jika sifat shiddiq ini dikatakan sebagai

36
sifat yang wajib dimiliki sekaligus wajib ada pada diri mereka. Dalam Islam, sifat
shiddiq dalam pengertiannya sebagai kejujuran merupakan hakikat dari segala
kebaikan. Bahkan sifat itu memiliki dimensi yang sangat luas dan mencakup
segenap aspek keislaman lainnya. Sifat shiddiq pun disebutkan sebagai puncak
dari segala kebaikan dan penentu kualitas baik atau buruknya suatu perbuatan.
Allah SWT berfirman (Al-Qur'an Terjemahan dan Transliterasi):
“Bukanlah menghadapkan wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, Hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-
orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang sabar”
(QS. Al-Baqarah: 177)
Nabi Muhammad SAW selalu berkata dan berbuat benar, yang selalu
merujuk kepada ajaran Allah SWT. Nilai akhlak mulia ini sangat penting dimilki
oleh masrayakat, karena pada saat itu telah terjadi banyak kebohongan yang
dilakukan oleh banyak orang, termasuk para pemimpin yang telah mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Ini merupakan kebohongan terbesar yang telah terjadi pada
masa itu, disamping juga kebohongan-kebohongan yang lain.
Amanah artinya dapat dipercaya. Di dalam akhlak amanah ini terdapat
unsur nilai dasar kejujuran, karena orang jujur akan melahirkan sifat yang dapat
dipercaya dalam kehidupan, di samping juga memiliki unsur kebenaran
sebagaimana akhlak shiddiq. Sebagai Rasulullah, semua firman yang telah
diperoleh, baik langsung dari Allah SWT maupun malaikat-Nya, memerlukan
akhlak ini, yakni harus disampaikan secara amanah kepada umatnya. Tanpa
akhlak amanah ini, maka sudah barang tentu akan terjadi banyak firman tidak
akan sampai kepada umat, ataupun kalua sampai akan banyak terjadi
penyimpangan.
Tabligh artinya menyampaikan firman Allah kepada umat. Nabi
Muhammad SAW selalu menyampaikan ajaran Islam tanpa henti. Semua ajaran
Islam itu telah disampaikan kepada para pengikutnya dalam berbagai kesempatan.

37
Firman-firman itu semua oleh para pengikutnya kemudian dikumpulkan menjadi
kitab suci Agama Islam yang kita kenal sebagai Al-Qur’an. Dalam sejarah Nabi,
dalam kesempatan beliau menyampaikan/tabligh kepada umat, beliau tidak segan-
segan untuk mengingatkan kepada umatnya agar tidak segan-segan saling ingat
mengingatkan.
Fathanah artinya cerdas. Cerdas bukan hanya pandai. Kecerdasan beliau
melebihi kondisi beliau yang tidak dapat membaca dan menulis (ummi). Beliau
dapat memecahkan masalah-masalah yang pelik, seperti hubungan antara kaum
Muhajirin dan kaum Anshor. Solusi yang telah dilakukan Rasulullah adalah
hijrah. Hijrah dapat memecahkan sejumlah masalah kekhalifahan dan keumatan.
2.5.2 Aktualisasi Pendidikan SATF di MI Assakinah
Kurikulum Pendidikan Karakter berbasis SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh,
Fathonah) adalah kurikulum khas madrasah assakinah sejatera yang diterapkan
untuk menjawab tantangan pembangunan milenium (millennium development
goals). Metode yang cukup besar pengaruhnya dalam mendidik anak adalah
metode pemberian contoh dan keteladanan yang kemudian dihubungkan dengan
suasana yang sangat menyenangkan. Melalui pembentukan lingkungan yang
mendukung melalui budaya perilaku keseharian. Model pendidikan berbasis
SATF ini diterapkan dengan tujuan meneladani akhlak Rasulullah agar memiliki
karakter dan pembiasaan yang positif adalah dengan menerapkan konsep
Tarbiyah atau Learning to Know. Dan Riyadhoh atau Learning to Do, Learning to
Be and Learning to Life Together.
Agar dapat menjalankan konsep teladan akhlak rasullulah, Al-Quran
dijadikan sebagai acuan karena Al Qur’an merupakan sumber absolut yang
memberikan petunjuk jalan yang lurus, juga ibadah shalat berjamaah menjadi
penilaian keberhasilan bagi suatu unit dalam melaksanakan pendidikannya, selain
itu dilakukan evaluasi kompetensi santri khusus untuk Thoharoh dan shalat setiap
satu semester sekali di seluruh jenjang dan level dengan mengacu pada buku
bimbingan praktek ibadah yang sudah diterbitkan secara mandiri. Pembiasaan
ibadah yang dilakukan pada setiap sholat dhuha kemudian dilanjutkan dengan
dzikir asmaul husna serta tausiah yang temanya diambil dari masing-masing
asmaul husna setiap harinya.

38
Gambar 1 Konsep Pendidikan Assakinah

Melalui proses pendidikan yang mengutamakan pembangunan pendidikan


karakter berbasis teladan akhlak Rasulullah SAW peserta didik dididik untuk
mengetahui apa saja sifat dasar Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang wajib
dilakukan umat Islam agar semakin mengenal sosok Rasullulah sekaligus
meneladi sifat-sifat mulianya. Adapun sifat-sifat dasar Rasulullah SAW yang
utama ada 4, yakni Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah (SATF). Masing-masing
mengandung pengertian yang baik sekaligus mampu menjadi petunjuk dalam
kehidupan manusia. Dalam mebnagun sifat shiddiq sebagai karakter positif
teladan akhlak rasullulah SAW adalah dengan menerapkan konsep Tarbiyah yaitu
sebagai implementasi konsep learning to know dan konsep riyadhoh sebagai
implementasi dari learning to do, learning to be and learning to live together.
Sebagai bentuk Quality Assurance dari keberlanjutan program pendidikan
karakter ini, maka setiap peserta didik baru pada level tertentu dilakukan
matrikulasi materi pendidikan karakter berbasis SATF selama satu semester untuk
mempelajari materi pada level sebelumnya. Demikian pula dengan konsep
pendidikan melalui Royadhoh agar pengetahuan yang sudah diberikan dapat
menjadi pembiasaan, kemudian dilatihkan agar dapat dijiwai dengan baik
sehingga dapat membentuk karakter. Hal ini dilakukan melalui pembiasaan,

39
proyek kebaikan dan pelatihan-pelatihan berjenjang serta berkelanjutan pada
setiap jenjangnya minimal dilakukan satu semester sekali yang diakhiri dengan
pesantren kelulusan.
2.3.7 Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter berbasis SATF
Sekolah merupakan kawah candradimuka bagi peserta didik dalam
menggapai sesuatu yang dicita-citakan. Pendidikan karakter sangat efektif
diterapkan di sekolah. Penerapan pendidikan karakter di sekolah memerlukan
berbagai metode agar peserta didik mempunyai karakter yang baik, yaitu;
1) Kegiatan pembelajaran
(Asmani, 2013, p. 58) menjelaskan bahwa penerapan pendidikan
karakter melalui kegiatan pembelajaran dapat melalui tahap pendekatan
dan metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran bersifat lebih umum
dan berkaitan dengan seperangkat asumsi dengan hakikat pembelajaran.
Metode pembelajaran merupakan rencana menyeluruh tentang penyajian
materi ajar secara sistematis dan berdasarkan pendektan yang ditentukan.
Kegiatan pembelajaran bertujuan menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi yang ditargetkan, serta dirancang untuk menjadikan peserta
didik mengenal, meyadari atau peduli dan menginternalisasi nilai-nilai
dalam bentuk perilaku.
2) Bimbingan
Bimbingan menurut (Majid A. , 2018, p. 121) merupakan proses
pemberian bantuan terhadap peserta didik untuk mencapai pemahaman
dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri
secara maksimum terhadap peserta didik untuk mencapai pemahaman dan
pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara
maksimum terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat. Hal ini juga
sependapat dengan Muhammad Surya, bahwa bimbingan merupakan
proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam
pemahaman diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai
teingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan
lingkungannya.

40
3) Kegiatan Spontan
Kegiatan spontan menurut Wibowo (Wibowo, 2012, pp. 87-88) adalah
kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini
biasanya dilakukan pada saat guru atau tenaga kependidikan yang lain
mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik, yang
harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya
perilaku dan sikap yang kurang baik, maka pada saat itu juga harus
melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan
yang tidak baik itu. Misalnya, ketika ada peserta didik yang membuang
sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu
pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian
tidak senonoh, maka guru atau tenaga kependidikan lainnya, harus cepat
mengkoreksi kesalahan yang dilakukan peserta didik tersebut.
Kegiatan spontan ini tidak saja berlaku untuk perilaku dan sikap
peserta didik yang tidak baik, tetapi perilaku yang baik harus direspon
secara spontan dengan memberikan pujian, misalnya ketia peserta didik
memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam
olahraga atau kesenian, dan berani menentang atau mengkoreksi perilaku
teman yang tidak terpuji.
4) Keteladanan
Keteladanan menurut Gunawan (Gunawan H. , 2012, p. 93)
merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dalam
memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik, sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohkannya.
Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta
didik berperilaku atau bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah
orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu, seperti berpakaian rapi, datang tepat
waktu, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih saying, perhatian terhadap
peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
5) Pembiasaan

41
Pembiasaan menurut (Gunawan H. , 2012, p. 92) adalah sesuatu yang
sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi
kebiasaan. Penerapan pembiasaan berkaitan dengan pengalaman, karena
yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan dan inti kebiasaan
adalah pengulangan. Pembiasaan ini menempatkan manusia sebagai
sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan
menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan agar kegiatan itu dapat
dilakukan dalam setiap pekerjaan. Oleh karenanya, menurut para pakar,
pembiasaan sangat efektif dalam rangka pembinaan karakter dan
kepribadian peserta didik.
2.5.3 Struktur Kurikulum MI Assakinah
Mata pelajaran adalah unit organisasi Kompetensi Dasar yang terkecil.
Untuk kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Assakinah organisasi Kompetensi dasar
Kurikulum dilakukan melalui pendekatan terintegrasi (integrated curriculum).
Berdasarkan pendekatan ini maka terjadi reorganisasi Kom petensi Dasar mata
pelajaran yang mengintegrasikan konten mata pelajaran IPA dan IPS di kelas I, II,
dan III ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKN,
Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan. Dengan pendekatan ini maka struktur Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Assakinah menjadi lebih sederhana karena jumlah mata pelajaran berkurang.
Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum
dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum,
distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk
mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap peserta didik. Struktur
kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam
sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran.
Pengorganisasian konten dalam system belajar yang digunakan untuk kurikulum
yang akan datang adalah system semester sedangkan pengorganisasian beban
belajar dalam system pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam system
belajar yang digunakan untuk kurikulum yang akan dating adalah system semester
sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam system pembelajaran
berdasarkan jam pelajaran per semester. Struktur kurikulum adalah juga gambaran

42
mengenai penerapan prinsip kurikulum mengenai posisi seorang peserta didik
dalam menyelesaikan pembelajaran di suatu satuan atau jenjang Pendidikan.
Dalam struktur kurikulum menggambarkan ide kurikulum mengenai posisi belajar
seorang peserta didik yaitu apakah mereka harus menyelesaikan seluruh mata
pelajaran yang tercantum dalam struktur ataukah kurikulum memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk menentukan berbagai pilihan. Struktur kurikulum
terdiri atas sejumlah mata pelajaran, dan beban belajar.
Tabel 2.5.1
Struktur Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Alokasi Waktu Belajar
No Mata Pelajaran Peminggu
I II III IV V VI
Kelompok A
1. Pendidikan Agama Islam
a. Al Qur’an Hadits 2 2 2 2 2 2
b. Aqidah Akhlak 2 2 2 2 2 2
c. Fiqih 2 2 2 2 2 2
d. SKI 2 2 2 2
Pendidikan Pancasila dan
2. 5 5 6 4 4 4
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7
4.Bahasa Arab 2 2 2 2 2 2
5.Matematika 5 6 6 6 6 6
6.Ilmu Pengetahuan Alam - - - 3 3 3
7.Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 3 3 3
Kelompok B
1.Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 5 5 5
Pendidikan Jasmani Olahraga dan
2. 4 4 4 4 4 4
Kesehatan
3.Muatan Lokal
Jumlah Alokasi Waktu Perminggu 34 36 40 42 42 42

43
Prinsip pengintegrasian IPA dan IPS di kelas I, II, dan III di atas dapat
diterapkan dalam pengintegrasian muatan local. Komptensi Dasar muatan local
yang berkenaan dengan seni, budaya dan keterampilan, serta Bahasa daerah
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya. Kompetensi
Dasar muatan local yang berkenaan dengan olahraga serta permainan daerah
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan.
Selain melalui penyederhanaan jumlah mata pelajaran, penyederhanaan
dilakukan juga terhadap Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran. Penyederhanaan
dilakukan dengan menghilangkan Kompetensi Dasar yang tumpeng tindih dalam
satu mata pelajaran dan antarmata pelajaran, serta Kompetensi Dasar yang
dianggap tidak sesuai dengan usia perkembangan psikologis peserta didik.
Di kelas IV, V, dan VI nama mata pelajaran IPA dan IPS tercantum dan
memiliki Kompetensi Dasar masing-masing. Untuk proses pembelajaran
Kompetensi Dasar IPA dan IPS, sebagaimana Kompetensi Dasar mata pelajaran
lain, diintegrasikan ke dalam berbagai tema. Oleh karena itu, proses pembelajaran
semua Kompetensi Dasar dari semua mata pelajaran terintegrasi dalam berbagai
tema.
Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat memuat Bahasa Daerah.
Selain kegiatan intrakurikuler seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum
diatas, terdapat pula kegiatan ekstrakurikuler Madrasah Ibtidaiyah Assakinah
antara lain Pramuka (Wajib), Usaha Kesehatan Sekolah. Mata pelajaran
Kelompok A adalah kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan
oleh pusat. Mata pelajaran Kelompok B yang terdiri atas mata pelajaran Seni
Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan adalah
kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat dan
dilengkapi dengan konten local yang dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Satuan Pendidikan dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan
kebutuhan peserta didik pada satuan Pendidikan tersebut.
Struktur Kurikulum MI Assakinah berdasarkan KMA No. 117 Tahun 2014
tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah terdiri atas Kelompok A dan
Kelompok B seperti yang sudah dipaparkan di atas. Sementara itu, untuk

44
membekali peserta didik agar menjadi pribadi Assakinah unggul, maka ditetapkan
kebijakan tentang perlunya diadakan mata pelajaran kekhasan dari satuan
Pendidikan yaitu Bahasa Inggris, TIK, Praktik Ibadah dan TTQ. Sehingga struktur
kurikulum MI Assakinah TP 2019-2020 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5.2
Struktur Kurikulum MIS Assakinah

Alokasi Waktu Kelas


No Komponen
1 2 3 4 5 6
A Kelompok A
1 Al Qur’an Hadits 2 2 2 2 2 2
2 Aqiqah Akhlak 2 2 2 2 2 2
3 Fiqih 2 2 2 2 2 2
4 SKI 2 2 2 2
5 Pendidikan Kewarganegaraan 5 5 6 4 4 4
6 Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7
7 Bahasa Arab 2 2 2 2 2 2
8 Matematika 5 6 6 6 6 6
9 IPA 3 3 3
10 IPS 3 3 3
B Kelompok B
11 Seni Budaya Prakarya 2 2 2 3 3 3
12 Pendidikan Jasmani & Keterampilan 4 4 4 4 4 4
C Muatan Lokal
a. Bahasa Sunda 2 2 2 2 2 2
b. Bahasa Inggris 2 2 2 2 2 2
c. TIK 2 2 2 2 2 2
d. TTQ 8 8 8 8 8 8
Praktik Ibadah 1 1 1 1 1 1
Jumlah 47 49 53 55 55 55

Keterangan 1:

45
1. Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat memuat Bahasa daerah.
Selain kegiatan intrakurikuler seperti yang tercantum di dalam struktur
kurikulum di atas, terdapat pula kegiatan ekstrakurikuler Madrasah
Ibtidaiyah antara lain Pramuka (Wajib) dan Dokter Kecil (Pilihan).
2. Kegiatan ekstrakurikuler yaitu, Pramuka (utama), Dokter Kecil, Olahraga,
Kesenian, Sains Club, Bahasa, Tahfizh dan yang lainnya adalah dalam
rangka mendukung pembentukan kepribadian, kepemimpinan dan sikap
sosial peserta didik, terutamanya adalah sikap peduli. Di samping itu juga
dapat dipergunakan sebagai wadah dalam penguatan pembelajaran
berbasis pengamatan maupun dalam usaha memperkuat kompetensi
keterampilannya dalam ranah konkrit. Dengan demikian kegiatan
ekstrakurikuler ini dapat dirancang sebagai pendukung kegiatan
intrakurikuler.
3. Mata pelajaran Kelompok A adalah kelompok mata pelajaran yang
kontennya dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran Kelompok B yang
terdiri atas mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan
Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan adalah kelompok mata pelajaran yang
kontennya dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten local
yang dikembangkan oleh pemerintah daerah.
4. Bahasa Daerah sebagai muatan local dapat diajarkan secara terintegrasi
dengan mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya atau diajarkan secara
terpisah apabila daerah merasa perlu untuk memisahkannya. Satuan
Pendidikan dapat menambah jam pelajaran perminggu sesuai dengan
kebutuhan satuan Pendidikan tersebut.
5. Sebagai pembelajaran tematik terpadu, angka jumlah jam pelajaran per
minggu untuk tiap mata pelajaran adalah relative. Guru dapat
menyesuaikannya sesuai kebutuhan peserta didik dalam pencapaian
kompetensi yang diharapkan.
6. Jumlah alokasi waktu jam pembelajaran setiap kelas merupakan jumlah
minimal yang dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
7. 1 (satu) jam pelajaran alokasi waktu 35 menit.

46
8. Semua kelas (I sampai VI) menggunakan Kurikulum 2013 dengan
pendekatan tematik.
9. Untuk mata pelajaran Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, SKI, dan
Bahasa Arab, bagi Kelas I sampai Kelas VI menggunakan Kurikulum
2013 dengan pendekatan mata pelajaran.
2.5.4 Muatan Kurikulum MI Assakinah
Muatan Kurikulum 2013 Madrasah Ibtidaiyah Assakinah meliputi
sejumlah mata pelajaran yang kedalamannya merupakan beban belajar bagi
peserta didik pada satuan Pendidikan. Muatan Kurikulum memuat sejumlah mata
pelajaran dan muatan local serta kegiatan pengembangan diri yang tidak termasuk
kepada struktur kurikulum dan diberikan diluar tatap muka. Di samping itu materi
muatan local dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan menegaskan bahwa kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan
Pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan semester sesuai
dengan Standar Nsional Pendidikan. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas
kompetensi dasar dan kompetensi inti.
Struktur dan muatan kurikulum pada jenjang Pendidikan dasar dan
Menengah yang tertuang dalam Standar Isi meliputi lima Kelompok Mata
Pelajaran sebagai berikut:
1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia.
2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian.
3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Kelompok mata pelajaran estetika.
5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan Kesehatan.
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 pasal 7. Muatan
Kurikulum MI Assakinah meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan
kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan
Pendidikan. Disamping itu materi muatan local dan kegiatan pengembangan diri
termasuk ke dalam isi kurikulum.

47
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan
Pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar
Isi.
Muatan Kurikulum MI Assakinah meliputi mata pelajaran:
1) Pendidikan Agama
Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan
pengemmbangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan,
serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya
kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia
yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif,
jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan
secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam
komunitas sekolah.
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Al-Qur’an dan Hadits.
Mata pelajaran Al-Qur’an Hadits di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk:
a) Memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik dalam
membaca, menulis, membiasakan, dan menggemari membaca
Al-Qur’an dan Hadits;
b) Memberikan pengertian, pemahaman, penghayatan isi
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an Hadits melalui keteladanan
dan pembiasaan;
c) Membina dan membimbing perilaku peserta didik dengan
berpedoman pada isi kandungan ayat Al-Qur’an dan Hadits.
2. Aqidah dan Akhlak.
Mata pelajaran Aqidah dan Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan
untuk membekali peserta didik agar dapat:
a) Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian,
pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan,

48
pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik
tentang akidah islam sehingga menjadi manusia muslim yang
terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah
SWT;
b) Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan
menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi
dari ajaran dan nilai-nilai akidah Islam.
3. Fiqih.
Mata pelajaran fiqih di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk membekali
peserta didik agar dapat:
a) Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum
Islam baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah
untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan
sosial.
b) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam
dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan
dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan
manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri,
sesame manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan
dengan lingkungannya.
4. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah
bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat:
a) Meningkatkan pengenalan dan kemampuan mengambil Ibrah
terhadap peristiwa penting sejarah kebudayaan Islam mulai
perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW dan para khulafaurrasyidin, Bani Umaiyah, Abbasiyah,
Al-Ayyubiyah sampai dengan perkembangan Islam di
Indonesia.

49
b) Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah
dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan sosial,
budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni.
c) Meneladani nilai-nilai dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam
peristiwa bersejarah.
2) Pendidikan Kewarganegaraan
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan;
b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara, serta
anti-korupsi.
c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
Bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
a) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan,
cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda,
keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan
negara, sikap positif terhadap negara kesatuan republik Indonesia,
keterbukaan dan jaminan keadilan.
b) Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga,
tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-
peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
internasional.

50
c) Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban
anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM,
pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d) Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri
sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan Bersama, prestasi diri,
persamaan kedudukan warga negara.
e) Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f) Kekuasaan dan politik meliputi: pemerintahan desa dan kecamatan,
pemerintahan daerah otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan system
politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani,
system pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
g) Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai
ideologi terbuka.
h) Globalisasi meliputi: globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
3) Bahasa Indonesia
Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang
berlaku, baik secara lisan maupun tulis.
b. Menghargai dan bangga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa persatuan dan bahasa negara.
c. Memahami Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
d. Menggunakan Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat
dan kreatif untuk berbagai tujuan.

51
e. Menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual serta kematangan emosional dan sosial.
f. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa.
g. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa indonesia mencakup komponen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek
sebagai berikut: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; (4) menulis.
4) Bahasa Arab
Mata pelajaran Bahasa arab memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa arab, baik
lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni
menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan
menulis (kitabah).
b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya Bahasa arab sebagai salah
satu Bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam
mengkaji sumber-sumber ajaran Islam.
c. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara Bahasa
dan budaya sera memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian,
peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan
melibatkan diri dalam keragaman budaya.
5) Matematika
Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes akurat efisien
dan tepat dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, Menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

52
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, table, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan Pendidikan SD/MI
meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) bilangan; (2) geometri dan pengukuran;
(3) pengolahan data.
6) Ilmu Pengetahuan Alam
Mata pelajaran IPA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut:
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA
yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
f. Meningkatkan kesadaran alam untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan Pendidikan ke SMP/MTs.
Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: (1)
makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan

53
interaksinya dengan lingkungan serta Kesehatan; (2) benda/materi, sifat-sifat dan
kegunaannya meliputi cair, padat, dan gas; (3) energi dan perubahannya meliputi:
gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana; (4) bumi dan
alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
7) Ilmu Pengetahuan Sosial
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk ditingkat local, nasional, dan global.
Ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1)
manusia, tempat, dan lingkungan; (2) waktu, keberlanjutan, dan perubahan; (3)
system sosial dan budaya; (4) perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
8) Seni Budaya dan Keterampilan
Mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memahami konsep dan pentingnya seni budaya dan keterampilan.
b. Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya dan keterampilan.
c. Menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan keterampilan.
d. Menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam
tingkat local, regional, maupun global.
Ruang lingkup mata pelajaran seni budaya dan keterampilan meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
1. Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam
menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-
mencetak, dan sebagainya.

54
2. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vocal,
memainkan alat music, apresiasi karya music.
3. Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan
dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari.
4. Seni drama, mencakup keterampilan pementasan dengan memadukan
seni music, seni tari, dan peran.
5. Keterampilan mencakup segala aspek kecakapan hidup (life skills) yang
meliputi keterampilan personal, keterampilan sosial, keterampilan
vokasional dan keterampilan akademik.
9) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
PJOK bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya
pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup
sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga terpilih.
b. Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih
baik.
10) Muatan Lokal
Muatan local merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk
keunggulan daerah yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata
pelajaran lain atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran
tersendiri.
Substansi muatan local ditentukan oleh sekolah, maka MI Assakinah
menetapkan muatan local yang akan diajarkan adalah
1. Muatan Lokal Keagamaan
Muatan local keagmaan berupa program praktik ibadah dan tilawah tahfizd
qur’an untuk semua jenjang kelas dari kelas I dampai dengan kelas VI.
2. Muatan Lokal Kebahasaan
a) Bahasa Inggris
Mata pelajaran bahasa inggris di SD/MI bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:

55
1) Mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan
secara terbatas untuk mengiringi Tindakan (language accompanying
action) dalam konteks sekolah.
2) Memiliki kesadaran tentang hakikat dan pentingnya Bahasa inggris
untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam masyarakat global.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Inggris di SD/MI mencakup
kemampuan berkomunikasi lisan secara terbatas dalam konteks
sekolah yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) mendengarkan
(listening); (2) berbicara (speaking); (3) membaca (reading); (4)
menulis (writing).
b) Bahasa Sunda
Mata pelajaran Bahasa Sunda bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang
berlaku baik secara lisan maupun tulis.
2) Menghargai dan bangga menggunakan Bahasa sunda sebagai Bahasa
daerah.
3) Memahami Bahasa sunda dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
4) Menggunakan Bahasa sunda untuk meningkatkan kemampuan
intelektual serta kematangan emosional dan sosial.
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa.
6) Menghargai dan membanggakan sastra sunda sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Sunda mencakup kompenen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi
aspek-aspek sebagai berikut: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3)
membaca; (4) menulis.
3. Muatan Lokal Pengenalan Teknologi Komunikasi
a) TIK

56
Mata pelajaran TIK di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. Memiliki kesadaran potensi perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang terus berubah sehingga peserta didik termotivasi
untuk mengevaluasi dan mempelajari teknologi informasi dan
komunikasi sebagai dasar untuk belajar sepanjang hayat.
2. Memotivasi kemampuan peserta didik untuk bisa beradaptasi dan
mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,
sehingga peserta didik bisa melaksanakan dan menjalani aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri dan lebih percaya diri.
3. Mengembangkan kompetensi peserta didik dalam penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kegiatan
belajar, bekerja, dan berbagai aktifitas dalam aspek kehidupan sehari-
hari.
Ruang lingkup mata pelajaran TIK di SD/MI mencakup kemampuan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran,
bekerja, dan pemecahan masalah.
b) Pengembangan Diri
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang
harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekpresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan
diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga
kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri
pribadi dan kehidupan sosial belajar, dan pengembangan karir peserta
didik.
Penilaian pengembangan diri dilakukan secara kualitatif tidak
kuantitatif seperti pada mata pelajaran. Tahapan kegiatan
pengembangan diri dilakukan dengan cara: (1) Identifikasi daya

57
dukung dan potensi peserta didik serta identifikasi bakat dan minat
peserta didik; (2) pemetaan jenis layanan pengembangan diri;
pemetaan petugas yang melayani; dan pemetaan peserta didik yang
dilayani; (3) program pecinta mata pelajaran dilakukan dengan cara
penyusunan program (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang dikembangkan, materi pokok, indicator, kegiatan pembelajaran,
alokasi waktu, penilaian, dan sumber belajar). Adapun kegiatan-
kegiatan pengembangan diri di MI Assakinah seperti:
a. Kegiatan Ekstrakurikuler
Pengembangan diri yang dipilih berupa kegiatan ekstrakurikuler
meliputi beragam kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakat
peserta didik, yang terdiri atas:
1) Kegiatan ekstrakurikuler wajib, yaitu pramuka.
2) Kegiatan ekstrakurikuler pilihan
1. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab
2. Olahraga; atletik, futsal, taekwondo, panahan, renang.
3. Seni; menggambar, menari, angklung.
4. Kreasi barang bekas.
5. Sains Club
6. Cooking Class
7. Tahfizd
b. Kegiatan Pembiasaan
Kegiatan pembiasaan di MI Assakinah bertujuan untuk membentuk
karakter/akhlak yang baik dari seluruh peserta didik. Kegiatan
pembiasaan tersebut dapat dilakukan dengan membiasakan perilaku
positif tertantu dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan merupakan
proses pembentukan sikap dan perilaku yang relative menetap dan
bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang,
baik dilakukan secara Bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Hal
tersebut juga akan menghasilkan suatu kompetensi. Pengembangan
karakter melalui pembiasaan ini dapat dilakukan secara terjadwal baik
di luar kelas maupun di dalam kelas. Kegiatan pembiasaan di MI

58
Assakinah bertujuan untuk membangun karakter peserta didik dengan
akhlakul karimah yang tercermin melalui melekatnya akhlak
rasulullah (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah) dalam
kesehariannya baik di lingkungan madrasah maupun di luar
lingkungan madrasah yang ditandai dengan:
1) Cinta kepada Allah (Ma’rifatulloh)
Cinta kepada Allah dengan mengenal sifat-sifat dzat-Nya, memahami
makna dan mengamalkan nama-nama Angung-Nya (Al asma Al
Husna)
2) Cinta kepada Al Qur’an (Ma’rifatull Qur’an/Ma’rifatulhaq)
Cinta kepada Al Qur’an dengan mempelajari dengan teliti/tartil dalam
bacaannya, menghafal kalam illahi sepanjang hidupnya dan
memahami makna dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3) Cinta Ibadah
Cinta ibadah dengan mempelajari ilmunya, mendawamkannya,
menjaga ibadah dari adab-adabnya dan kekhusukannya dengan
bertauhid yang benar dalam sirothol mustakiim.
4) Cinta kepada Rosul SAW (Ma’rifatul rosul)
Mengenal pribadi dan keluarganya serta sahabatnya, mempelajari
sirohnya, meneladani akhlaknya yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan
fathanah, mengikuti dan ikut andil dalam jejak dakwahnya.
5) Cinta kepada ilmu dan ulama (Ma’rifarulilmu)
Cinta kepada ilmu dengan bersungguh-sungguh dalam belajar
menuntutnya dan cinta kepada ulama dengan menghormati dan takzim
kepada seluruh guru yang menunjukkan ilmu pengetahuan milik Allah
di muka bumi ini agar senantiasa manusia mendapatkan Hidayah-Nya
dalam sirothol mustakim.
6) Cinta kepada orang tua
Cinta kepada orang tua menghomati, menjaga, berbuat ihsan,
memuliakannya seperti halnya kedua orang tua kita menjalankan tugas
kasih saying Allah SWT melalui kasih saying keduanya pada saat kita
dalam buayan atau semasa kecil hingga akhir hayat kita.

59
7) Cinta kepada umat
Cinta kepada umat adalah dengan mencintai sesame muslim sebagai
saudara dan mencintai sesame manusia sebagai rahmatan lilalamin,
serta mencintai umat pengikuti Rasul SAW sebagaimana Rasul SAW
mencintai dan merindukan umat-Nya.
8) Cinta kepada alam
Cinta kepada alam ciptaan Allah SWT yang menunjukkan keagungan-
Nya dan bukti keberadaan-Nya dengan mentadaburi dan
mentafakurinya.
9) Cinta Assakinah
Cinta Assakinah (Generasi Insan Sakinah Unggul Berkarakter) adalah
dengan membentuk dan membangun diri agar menjadi pribadi muslim
yang beriman dengan berupaya optimal untuk mengenal Allah SWT
melalui sifat-sifat Dzat-Nya, Al Asmaul AL Husna serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (ilmu asma wa sifat),
mendawamkan dan menjaga ibadahnya (ilmu bimbingan praktek
ibadah), bertauhid dengan benar dalam sirothol mustakin (ilmu
tauhid), berpedoman pada petunjuk wahyu Allah SWT yaitu Al
Qur’an dan menjadikannya sebagai dzikir yang agung dengan
menghafalnya (ilmu tahfidh) memahami makna al qur’an dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan mempelajari
arti dan maknanya (ilmu tarjiim). Mencintai rosul Muhammad SAW
sebagai suritauladan dalam hidupnya dengan mengenal pribadi dan
keluarganya, mempelajari sirohnya dan meneladani mengenali pribadi
dan keluarganya, mempelajari sirohnya dan meneladani akhlaknya
dalam berperilaku Shiddiq Amanah Tabligh Fathanah (SATF
Tarbiyah dan Riyadhoh dalam budaya belajar dan budaya kerja)
sehingga menjadi pribadi yang Tangguh, unggul/berdaya saing,
berilmu pengetahuan, berwawasan global, berpandangan jauh ke
depan, dan berkarakter dalam menghadapi perubahan sosial yang
terjadi saat ini.
Kegiatan pembiasaan di MI Asskinah terdiri atas:

60
1. Pembiasaan Rutin
Pembiasaan rutin adalah kegiatan yang dilakukan secara regular, baik di
kelas maupun di madrasah. Pembentukan karakter melalui pembiasaan
dalam kegiatan rutin di Madrasah Ibtidaiyah Assakinah adalah sebagai
berikut: (1) berdo’a sebelum dan sesudah pembelajaran dilaksanakan;
(2) shalat dhuha dan zikir serta asmaul husna Bersama-sama; (3)
shalat dzuhur dan ashar berjamaah; (4) pelaksanaan shalat sunah
rawatib; (5) pelaksanaan shaum sunah; (6) upacara bendera setiap hari
senin; (7) mengucapkan salam dan salim kepada guru; (8)
pemeriksaan kebersihan badan serta pakaian sebelum masuk kelas; (9)
membersihkan kelas serta halaman sebelum dan sesudah belajar.
2. Pembiasaan Terprogram
Pembiasaan terprogram adalah kegiatan yang diprogramkan dan
direncanakan baik pada tingkat kelas maupun tingkat madrasah sesuai
dengan kalender Pendidikan atau jadwal yang telah ditetapkan.
Kegiatan pembiasaan terprogram di MI Assakinah meliputi: (1)
kegiatan memperingati hari-hari besar islam (PHBI); (2) Kegiatan
memperingati hari-hari besar nasional (PHBN); (3) Kegiatan fieldtrip
sesuai tema pembelajaran; (4) Kegiatan pentas seni akhir tahun; (5)
Kegiatan puncak tema; (6) Pesta siaga dan pelantikan penggalang; (7)
kegiatan MABIT; (8) Kegiatan keputrian; (9) Kegiatan Bakti Sosial;
(10) Pesantren kilat; (11) Karya wisata kelas 6; (12) Pekan kreatifitas
olahraga; (13) Bina kompetensi sains madrasah; (14) Kegiatan yang
diprogramkan oleh Yayasan; (15) Kegiatan balitung bagi kelas 1-3.
3. Pembiasaan Spontan
Pembiasaan spontan adalah kegiatan yang dapat dilakukan kapan saja,
tanpa dibatasi oleh waktu, tempat, ruang. Kegiatan spontan di MI
Assakinah meliputi (1) membiasakan memberi salam dan bersalaman
kepada guru, karyawan dan sesame peserta didik; (2) membiasakan
antri; (3) membiasakan membantu teman yang kena musibah; (4)
berdiskusi dengan baik dan benar; (5) membiasakan bersikap sopan
dan santun; (6) membiasakan menghargai pendapat orang lain; (7)

61
membiasakan minta izin saat masuk/ keluar kelas; (8) menyampaikan
barang temuan kepada guru atau TU; (9) membiasakan berbicara yang
baik.
4. Pembiasaan Kegiatan Keteladanan
Pembiasaan kegiatan keteladanan adalah kegiatan yang dapat dilakukan
kapan saja dan dimana saja yang lebih mengutamakan pemberian
contoh dari guru dan pengelola Pendidikan yang lain kepada peserta
didik. Kegiatan keteladanan di MI Assakinah meliputi:
Tabel 2.5 Kegiatan Keteladanan
No. Bentuk Kegiatan Target Keteladanan
1. Melaksanakan shalat dhuha
2. Melaksanakan dzikir dan asmaul husna
3. Melaksanakan shalat sunah rawatib
4. Melaksanakan shaum sunah
Cinta kepada Allah dan Ibadah
5. Melaksanakan shalat wajib berjamaah
6. Berdo’a sebelum dan sesudah KBM
7. Mengikuti kegiatan MABIT
8. Mengikuti PHBI
9. Membiasakan tilawah Al Qur’an
Cinta kepada Al Qur’an
10. Memiliki target hafalan Al Qur’an
11. Datang tepat waktu
12. Disiplin dalam melaksanakan KBM
Cinta kepada rasul
13. Berbahasa dan berakhlak yang baik
14. Bersikap ramah, amanah, dan sopan
15. Melaksanakan program literasi madrasah
16. Mengembangkan metode pembelajaran
Cinta ilmu dan ulama
Bersabar dalam mengajarkan ilmu
17.
pengetahuan
Menghargai peserta didik seperti anak Cinta kepada orang tua dan
18.
sendiri umat
19. Selalu menyapa dan memberi salam
20. Bersikap ramah dan sabra

62
Membantu menyelesaikan masalah yang
21.
dihadapi peserta didik
22. Membuang sampah pada tempatnya
Menyimpan sandal dan sepatu pada
23.
tempatnya
Cinta kepada Alam
Merapikan dan merawat tanaman di
24.
madrasah
25. Tidak merokok di lingkungan madrasah
Selalu mengikuti kegiatan yang
26.
diprogramkan oleh Yayasan
Cinta Assakinah
27. Bangga sebagai guru di MI Assakinah
28. Menjaga nama baik Assakinah

5. Pembiasaan Kegiatan Nasionalisme dan Patriotisme


Peringatan hari kemerdekaan RI; Peringatan hari pahlawan;
Penringatan hari Pendidikan nasional dengan mengadakan seminar
Pendidikan dan atau bedah buku.
6. Pengembangan Potensi dan Ekspresi Diri
Pengembangan potensi dan eksperi diri yang dikembangkan di MI
Assakinah adalah keterampilan dalam mengoperasikan computer
dalam kehiudpan sehari-hari dengan menggunakan software-software
yang disesuaikan dengan kemampuan potensi sumber daya madrasah
seperti; (1) program permainan edukatif; (2) program menggambar;
(3) program Microsoft office.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait dengan Pendidikan berbasis SATF pernah dilakukan oleh
peneliti lain, diantaranya:
1. (Yulianto, 2017) dalam penelitiannya dengan judul Pembiasaan Empat
Karakter Kenabian di Madrasah Ibtidaiyah (Studi Analisis Program
Kegiatan MI Muhammadiyah Program Khusus Kartasura, Sukoharjo)
memaparkan bahwa Pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini, agar

63
senantiasa membiasakan dan terkonsep dalam alam bawah sadar generasi
penerus. Penelitian ini dilakukan di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Kartasura. Pendidikan karakter di sana diterapkan secara
aplikatif melalui kegiatan pembiasaan. Kegiatan yang dilakukan baik yang
diprogramkan sebelumnya maupun yang secara serta merta adalah upaya
daam mengembangkan pendidikan karakter. Temuan hasil penelitiannya
adalah sebagai berikut; Pertama, karakter kenabian (shiddiq, amanah,
tabligh fathonah) diimplementasikan berdasarkan indicator yang
diinginkan oleh madrasah. Kedua, pendidikan karakter dikembangkan
melalui kegiatan-kegiatan yang sebelumnya direncanakan melalui program
kerja dari berbagai bidang di madrasah. Ketiga, pelaksanaan dilakukan
oleh semua pihak, peserta didik sebagai sasaran dan guru sebagai
fasilitator. Keempat, evaluasi dilakukan secara berkala dan selalu
menyesuaikan kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Kelima, output dari
penanaman karakter kenabian tsb adalah peserta didik terbiasa
melaksanakan pembiasaan-pembiasaan di luar madrasah.
2. (Palili, 2018) dalam penelitiannya dengan judul Implementasi Pendidikan
Karakter Islam di Sekolah dasar Islam Terpadu Ikhtiar Makassar
memaparkan bahwa karakteristik tidak mampu diwariskan atau
diserahterimakan begitu saja melainkan membutuhkan waktu untuk
membenihkan dan menumbuhkan serta menghidupkan melalui rangkaian
aktifitas yang berkesinambungan. Hasil riset yang telah dilaksanakan
menggambarkan bahwa SDIT Ikhtiar Makassar dalam membentuk
karakter peserta didik sesuai dengan karate Islam dan tujuan pendidikan
nasional di era milenial melakukan berbagai upaya dalam rutinitas
keseharian di sekolah, diantaranya; (1) melalui kegiatan oembinaan
IMTAK (Iman dan Takwa); (2) melalui proses pembelajaran; (3) melalui
pelaksanaan upacara bendera, dan; (4) melalui enegakkan tata tertib, tata
karma dan budaya sekolah. Adapun nilai karakter Islami yang tercipta
dalam kegiatan tersebut diantaranya (1) cinta, patuh dan taat kepada
perintah Allah dan Rasulnya; (2) cinta ilmu pengetahuan, menghormati
guru, kerjasama, tekun, percaya diri, disiplin, patuh dan taat pada

64
peraturan yang telah disepakati; (3) cinta tanah air, nasionalisme,
patriotism dan idealism; (4) karakter shiddiq, amanah, tabligh, fathonah
dan adil serta rendah hati.
3. (Maghfiroh, 2017) dalam penelitiannya dengan judul Membangun Karakter
Siswa dan Meningkatkan Kecerdasan Spiritual melalui The Hidden
Curriculum di MI Wahid Hasyim Yogyakarta memaparkan bahwa
penerapan pendidikan nilai karakter di sekolah dasar dapat membnatu
menumbuhkan kecerdasan spiritual peserta didik dengan menonjolkan
nilai religious dan kedisiplinan. Konsep dasar pendidikan karakter
dilandaskan pada visi, misi, dan tujuan sekolah yang diimplementasikan
ke dalam kurikulum dan mata pelajaran, budaya sekolah baik di
lingkungan guru maupun peserta didik dan pengembangan diri melalui
program pembiasaan dan pengembangan minat serta bakat peserta didik.
Konsep pendidikan nilai karakter dijalankan melalui hidden curriculum
dengan memasukkan nilai-nilai karakter yang masuk ke dalam semua mata
pelajaran. Nilai-nilai karakter yang ditanamkan adalah nilai religius sifat
kenabian (shiddiq, amanah, tabligh, fathonah) , nilai mandiri, nilai
menghargai prestasi, nilai rasa ingin tahu, nilai rasa cinta tanah air, dan
nilai kreatif.
4. (Saputro, 2017) dalam penelitiannya dengan judul Pendidikan Karakter
Islami dalam Membentuk Kepribadian Siswa di SD Muhammadiyah
Purwokerto memaparkan bahwa pendidikan karakter islami memiliki
beberapa penerapan dalam menanamkan karakter dan kepribadian peserta
didik. Penerapan yang dilakukan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan
karakter islami yaitu melalui kegiatan pembelajaran, bimbingan, kegiatan
spontan, keteladanan, dan pembiasaan. Beberapa penerapan tersebut
terdapat nilai-nilai karakter yang dapat ditanamkan pada peserta didik
yaitu religious, jujur, disiplin, dan tanggung jawab.

65

Anda mungkin juga menyukai