Anda di halaman 1dari 76

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit Tuberkulosis (TBC) Paru merupakan suatu masalah yang

mendunia karena di setiap negara penderita TBC paru selalu bertambah tiap

tahunnya apalagi di negara-negara berkembang. Pada tahun 1993, WHO

mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC paru, karena di sebagian besar

negara di dunia penyakit TBC paru tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyak

penderita TBC paru yang tidak berhasil disembuhkan. WHO melaporkan pada

tahun 2012 sebanyak 1.3 juta orang meninggal akibat TBC paru tiap tahun dan

diperkirakan 5.000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC paru

dan 75% kasus kematian dan kesakitan di masyarakat diderita orang-orang pada

usia produktif dari 15 sampai 50 tahun. Di negara-negara miskin kematian akibat

TBC paru merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.

Di daerah Asia Tenggara menanggung bagian terberat dari beban TBC global

yakni sekitar 38% dari kasus TBC paru dunia (http://www.depkes.ri.go.id, 1

diperoleh tanggal 03/05/2016).

Indonesia merupakan Negara dengan pasien TBC Paru peringkat ke-5 di

dunia dan peringkat ke-8 dari 27 negara dengan beban TBC Paru terbanyak di

dunia (WHO,2013). Kementrian Kesehatan RI (2014) melaporkan ada sekitar

6,900 pasien TBC Paru dengan 5,900 pasien (86%) kasus baru dan 1,000 pasien

(14%) pengobatan ulang.


2

Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis

di Indonesia sangatlah tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TBC

yang diantaranya 600.000 perempuan dan 1,1 juta laki-laki, sementara ada 9,4 juta

kasus baru TBC yang diantaranya 3,3 juta perempuan dan 6,1 juta laki-laki. Kasus

TBC lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Tahun 2010

Indonesia telah berhasil menurunkan insidens, prevalensi, dan angka kematian.

Insidens berhasil diturunkan sebesar 45% yaitu 343 menjadi 189 per 100.000

penduduk, prevalensi dapat diturunkan sebesar 35% yaitu 443 menjadi 289 per

100.000 penduduk dan angka kematian diturunkan sebesar 71% yaitu 92 menjadi

27 per 100.000 penduduk. TBC masih merupakan masalah kesehatan penting

didunia dan di Indonesia. TBC juga merupakan salah satu indicator keberhasilan

MDGs yang harus dicapai oleh Indonesia, yaitu menurunkan angka kesakitan dan

angka kematian menjadi setengahnya di tahun 2015 (Depkes, 2011).

Di Propinsi Jawa Barat prevalensi penderita TBC paru dengan baksil tahan

asam (BTA) positif di Jabar adalah 107 penderita di setiap 100 ribu orang, atau

sekitar 44 ribu orang. Sedangkan suspek pengidap virus TBC paru diperkirakan

sepuluh kali lipat dari jumlah itu, atau sekitar 440 ribu orang. Berdasarkan data

Dinas Kesehatan Jabar, pada 2010 terdapat 30.067 penderita TBC paru di Jabar.

Cakupan penanganannya sebanyak 68,7 persen, dengan tingkat kesembuhan 28,24

persen. Dari jumlah penderita itu, sebanyak 7,6 persen tercatat mangkir dari

pemeriksaan dahak. Dan dari angka yang mendapat penanganan, sebanyak 3,9
3

persen terputus proses pengobatannya. Pada tahun 2010 juga tercatat sebanyak

360 penderita TB meninggal dunia.

Bakteri Mycobakterium Tuberculosis ini merupakan basil yang tahan lama

atau sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya, sehingga

penderita TBC paru memerlukan waktu 6 bulan untuk pengobatannya dan

dilakukan secara teratur sampai selesai. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ

paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Penyakit TBC paru bisa

menyerang siapa saja tua, muda, laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya dan

bisa terjadi dimana saja. Penyakit TBC paru biasanya menular melalui udara yang

tercemar dengan bakteri Mycobacterium Tuberculosa dan dilepaskan pada saat

penderita TBC paru batuk, meludah, bersin ataupun berbicara. Penderita TBC

paru akan mengeluarkan kuman yang ada di paru-parunya ke udara dalam bentuk

percikan dahak. Kemudian, tanpa sadar dan tanpa sengaja orang lain akan

menghirup udara yang mengandung kuman itu hingga masuk ke paru-paru dan

kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya dan pada anak-anak sumber infeksi

umumnya berasal dari penderita TBC paru dewasa (Depkes RI, 2002).

Media (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Pengetahuan, Sikap

dan Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit Tuberkulosis Paru di Kecamatan

Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat”. Hasil penelitian

ini menunjukkan pengetahuan sebagian masyarakat mengenai tanda-tanda

penyakit TBC relatif cukup baik, sikap masyarakat masih kurang peduli terhadap

akibat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit TBC, perilaku dan kesadaran

sebagian masyarakat untuk memeriksakan dahak dan menggunakan fasilitas


4

pelayanan kesehatan masih kurang, karena mereka malu dan takut divonis

menderita TBC.

Wahyuni (2008) melakukan penelitian tentang “Determinan Perilaku

Masyarakat Dalam Pencegahan, Penularan Penyakit TBC Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bendosari” mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, kepadatan hunian rumah dan luas

ventilasi rumah dengan pencegahan penularan penyakit tuberkulosis. Serta

determinan yang paling besar pengaruhnya adalah tingkat pendidikan, kepadatan

hunian dan pengetahuan.

Pencegahan penyakit merupakan komponen penting dalam pelayanan

kesehatan. Perawatan pencegahan melibatkan aktivitas peningkatan kesehatan

termasuk program pendidikan kesehatan khusus, yang dibuat untuk membantu

klien menurunkan risiko sakit, mempertahankan fungsi yang maksimal, dan

meningkatkan kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan yang baik (Perry &

Potter, 2005). Upaya pencegahan penyakit tuberculosis dilakukan untuk

menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit tuberkulosis. Upaya

pencegahan tersebut terdiri dari menyediakan nutrisi yang baik, sanitasi yang

adekuat, perumahan yang tidak terlalu padat dan udara yang segar merupakan

tindakan yang efektif dalam pencegahan TBC (Francis, 2011).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang baik apabila

tidak ditunjang dengan sikap yang positif yang diperlihatkan akan mempengaruhi

seseorang untuk berperilaku, seperti yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom


5

(1908) dalam Notoatmodjo (2007: 105) yang menyatakan bahwa domain dari

perilaku adalah pengetahuan, sikap dan tindakan. Menurut Roger (1974) dalam

Notoadmodjo (2007: 139) sikap dan praktek yang tidak didasari oleh pengetahuan

yang adekuat tidak akan bertahan lama pada kehidupan seseorang, sedangkan

pengetahuan yang adekuat jika tidak diimbangi oleh sikap dan praktek yang

berkesinambungan tidak akan mempunyai makna yang berarti bagi kehidupan.

Maka dari itu pengetahuan dan sikap merupakan penunjang dalam melakukan

perilaku sehat salah satunya upaya pencegahan penyakit tuberkulosis.

Di Kabupaten Purwakarta dengan jumlah penduduk 913.447 jiwa, pada

tahun 2015 periode bulan Januari sampai dengan Desember 2015 terdapat 1.137

penderita TBC paru BTA positif, penyakit ini menduduki urutan tiga setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan

usia dan nomor satu dari golongan infeksi (Dinkes Kab.Purwakarta, 2016).

Berdasarkan data dari Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten

Purwakarta, jumlah 10 besar penyakit pasien yang dirawat periode bulan Januari

2016 sampai April 2016 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
6

Tabel 1.1
Daftar 10 Besar Penyakit Di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten
Purwakarta Periode Bulan Januari s.d April 2016

Penyakit

Hipertensi
TBC Paru

Dyspepsia
No Bulan

Jantung
Typoid

Febris

Gagal
Fever
Diare
DHF

CHF
UAP
1. Januari 119 100 30 32 19 19 21 16 13 15

2. Pebruari 133 110 24 30 20 18 15 15 18 18

3. Maret 136 95 34 33 18 17 12 15 16 20

4. April 123 105 40 31 20 19 18 17 10 12

Jumlah 511 410 128 126 77 73 66 63 57 55


Sumber:Medical Record RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016.

Data diatas menunjukkan bahwa jumlah klien yang dirawat dengan

penyakit saluran pernafasan akibat TBC paru menduduki urutan teratas sebanyak

511 pasien. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyakit

lainnya pada kurun waktu yang sama. Dari data RSUD Bayu Asih Kabupaten

Purwakarta jumlah pasien TBC paru yang datang untuk berobat jalan pada

tahun 2013 terdapat 160 orang, pada tahun 2014 terdapat 153 orang dan pada

tahun 2015 terdapat 159 orang (Medical Record RSUD Bayu Asih, 2015).

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih

melalui wawancara. Hasil wawancara dari 5 pertanyaan didapatkan 8 pasien

mengatakan tidak tahu mengenai penyakit tuberkulosis, cara penularan, dan

tindakan pencegahan, dan 2 pasien mengatakan tahu tentang penyakit

tuberkulosis, penularan dan tindakan pencegahannya. Wawancara lebih lanjut

mengenai perilaku pencegahan penyakit tuberkulosis didapatkan hasil dari 3


7

pertanyaan yaitu 8 pasien mengatakan bahwa tidak terlalu mempedulikan tentang

tindakan pencegahan penyakit TBC karena mereka beranggapan selama mereka

tidak berinteraksi dengan penderita TBC, mereka tidak akan tertular penyakit

TBC. Responden juga mengatakan bahwa saat bersin dan batuk tidak menutup

mulutnya, dan masih ada masyarakat yang membuang ludah atau dahak

disembarang tempat.

Penelitian-penelitian terkait tentang tuberculosis sudah banyak dilakukan

di Indonesia namun kebanyakan hanya terbatas pada keberhasilan pengobatan

penyakit tuberkulosis saja. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu

mengenai upaya pencegahan penyakit tuberkulosis secara keseluruhan.

Pengetahuan mengenai upaya pencegahan penyakit tuberculosis bagi masyarakat

merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami sehingga

masyarakat dapat terhindar dari penyakit tuberkulosis.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang

Tuberkulosis Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di

Rawat Jalan Rsud Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016.

1.2. Identifikasi Masalah

Perilaku sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor adapun faktor yang

mempengaruhi meliputi faktor dari dalam yang meliputi pengetahuan, kecerdasan,

persepsi dan emosiaonal yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.

Sedangkan factor dari luar meliputi lingkungan sekitarnya baik fisik maupun non

fisik seperti manusia, social ekonomi.


8

Sedangkan pengetahuan yang terjadi didalam diri seseorang melalui

beberapa proses diantaranya : Awareness (kesadaran), menyadari atau mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek), Interest (merasa tertarik) terhadap

stimulus atau objek tersebut, Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik

tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, Trial (mencoba) melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki stimulus, Adoption berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang ”Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis

Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di Rawat

Jalan Rsud Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016”.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Dengan

Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di Rawat Jalan Rsud Bayu

Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016


9

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1.4.2.1. Mengetahui gambaran pengetahuan pasien tetntang penyakit

tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta

Tahun 2016.

1.4.2.2. Mengentahui gambaran perilaku pencegahan penularan penyakit

tuberkulosis di Ruang Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten

Purwakarta tahun 2016.

1.4.2.3. Mengetahui hubungan pengetahuan pasien tentang tuberkulosis dengan

perilaku pencegahan penularan penyakit tuberkulosis di Rawat Jalan

RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta tahun 2016.

1.5. Kegunaan Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang

faktor apa saja yang berhubungan dengan pengetahuan pasien tentang penyakit

tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan penyakit tuberkulosis di

Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta.


10

1.5.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil yang bermanfaat untuk

berbagai pihak yang membutuhkan, diantaranya :

1) Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi

penulis dibidang penelitian serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh untuk

meningkatkan mutu pelayanan.

2) Bagi Institusi STKINDO WIRAUTAMA

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menambah

pengetahuan bagi peneliti selanjutnya serta sebagai salah satu bahan kajian

program pengajaran tentang peningkatan pengetahuan peserta didik melalui

pendidikan kesehatan.

3) Bagi RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi rumah

sakit dalam meningkatkan pengetahuan pasien dengan perilaku pencegahan

penularan penyakit TBC Paru diantaranya melalui pendidikan kesehatan sebagai

salah satu program kerja pelayanan keperawatan.

4) Bagi Manajemen Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi perawat dalam

memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan pasien

khususnya dengan perilaku pencegahan penularan TBC Paru sehingga dapat

membantu pelayanan asuhan keperawatan di ruangan.


11

5) Bagi Klien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pasien untuk

meningkatkan pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan penyakit TBC

Paru di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta.


12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang terjadi melalui

kelima indera manusia, diantaranya indera penglihatan, indera pendengaran,

indera penciuman, indera perasa dan indera peraba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinganya, yakni melalui proses pengalaman

dan proses belajar dalam pendidikan baik bersifat formal maupun informal

tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibanding dengan

tanpa didasari oleh pengetahuan (Wawan, dalam Notoatmodjo,2003: 12).

Pengetahuan adalah proses dari berpikir yang merupakan obor dan semen

peradaban manusia. Jadi pengetahuan merupakan proses dari berpikir dan hasil

dari tahu yang tejadi setelah orang melakukan penginderaan kelima inderanya,

tetapi sebagian memilih suatu proses yaitu proses belajar dan membutuhkan suatu

bantuan yang merupakan obor dan semen peradaban manusia (Nazarudin, 2001)

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh

seseorang, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep teori, prinsip dan

prosedur yang secara probabilitas Bayesin adalah benar atau berguna. (Meliono,

2007: 33-35).
13

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa

Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi

dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan

ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan

secara empiris dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang

menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan

menggambarkan segala ciri, sifat dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut.

Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia

yang terjadi berulangkali.

2.1.2 Proses pengetahuan

Menurut Rgers, dalam Wawan dan Dewi , 2010: 15 mengingatkan bahwa

sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang

tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)

2) Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap

subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti responden sudah lebih baik lagi.

4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai denganapa

yang dikehendaki oleh stimulus.

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


14

Namun demikian dari penelitian baru atau adposi perilaku melalui proses

seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif,

maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila

perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung

lama.

2.1.3 Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini

adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan


15

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan

rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat

menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah problem solving

cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari penggunaan kata-kata kerja dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
16

kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas (Notoatmodjo, 2003). Untuk

penelitian ini penulis hanya akan mengukur tingkat tahu saja

2.1.4 Cara Memperoleh Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi 2,yaitu :

cara tradisional atau non ilmiah, yakni tanpa melalui penelitian ilmiah dan cara

modern atau cara ilmiah yakni melalui proses penelitian (Notoatmodjo, 2003: 16).

2.1.4.1. Cara tradisional atau non ilmiah

2.1.4.2. Cara coba salah

Cara coba salah ini menggunakan kemungkinan dalam memecahkan

masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan

yang lain. Bila kemungkinan kedua ini gagal maka dicoba kemungkinan ketiga,

dan seterusnya sampai masalah ini dapat dipecahkan. Itulah sebabnya metode ini

disebut coba (trial) dan salah (error) atau metoda coba salah.

1) Cara Kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh

orang yang bersangkutan

2) Cara Kekuasaan atau Otoritas

Dalam kehidupan manusia sehari-hari banyak kebiasaan atau tradisi yang

dilakukan oleh orang tanpa melakukan penalaran apakah yang dilakukan itu

baik atau tidak. Dengan kata lain diperoleh berdasarkan pengetahuan

merupakan autoritas atau kekuasaan dari ahli pengetahuan yang

bersangkutan. Orang lain akan menerima pendapat yang dikemukakan oleh


17

orang yang mempunyai autoritas tanpa menguji dulu kebenarannya, karena

orang itu menganggap pendapat itu sudah benar.

3) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Kalimat itu mengandung makna bahwa

pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan

suatu cara memperoleh pengetahuan, oleh sebab itu pengalaman pribadipun

dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan.

4) Cara Akal Sehat

Penilaian ini merupakan komponen penting dalam pendekatan ilmiah, akan

tetapi alasan rasional yang terbatas karena validitas alasan deduktif

tergantung informasi dimana seseorang memulai dan alasan tersebut tidak

efisien untuk mengevaluasi akurasi permasalahan

5) Kebenaran Melalui Wahyu

Ajaran dan norma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari

Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh

pengikut-pengikut agama yang bersangkutan, terlepas apakah kebenaran

tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi

adalah sebagai wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau

penyelidikan manusia.

6) Kebenaran Secara Intuitif.

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui

proses diluar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir.
18

7) Melalui Jalan Pikiran

Sejalan dengan berkembangnya kebudayaan umat manusia, cara berpikir

manusiapun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan

penalarannya dalam memperoleh pengetahuan.

8) Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-

pernyataan khusus ke pernyataan yang umum.

9) Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari penyataan-pernyataan umum ke

khusus.

10) Cara Modern Atau Cara Ilmiah

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih

sistematis, logis dan ilmiah, cara ini disebut dengan metode penelitian ilmiah

atau lebih populer metodologi penelitian.

2.1.5 Faktor-yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan dibedakan menjadi

5 kelompok yaitu :

1) Usia

Usia merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian

epidemologi yang memperoleh salah satu hal yang mempengaruhi

pengetahuan. Usia adalah lamanya waktu hidup seseorang dalam tahun yang

dihtiung sejak dilahirkan sampai berulang tahun yang terakhir. Menurut

Mahfoedz (2005) usia seseorang terbagi kedalam 4 fase, diantaranya Remaja


19

(11 – 24 tahun), Dewasa Muda (25-35 tahun), Dewasa (36-54 tahun) dan

golongan Lanjut Usia /Lansia (≥ 55 tahun).

2) Pendidikan

Tingkat pendidikan juga mempengaruhi persepsi seseorang untuk lebih

menerima ide-ide. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang. Karena dapat membuat seseorang untuk

lebih mudah mengambil keputusan dan bertindak. Dengan pendidikan tinggi

maka seseorang akan cenderung untuk mendapat informasi, baik dari orang

lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan

yang didapat tentang kesehatanSeiring dengan pelaksanaan Program Wajib

Belajar 9 Tahun di Indonesia, maka pemerintah menetapkan jenjang

pendidikan di Indonesia kedalam 3 tingkatan diantaranya Pendidikan Dasar

(SD – SMP), Pendidikan Menengah (SMA/SMK) dan Pendidikan Tinggi

(Akademi/Perguruan Tinggi) (Depdiknas, 2010).

3) Pekerjaan

Pekerjaan merupakan salah satu yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,

karena tingkat pekerjaan seseorang mempengaruhi status ekonomi sehingga

menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,

sehingga status pekerjaan ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.


20

4) Keterpaparan Informasi

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat

pengetahuan seseorang. Bila seseorang banyak memperoleh informasi maka ia

cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas.

5) Lingkungan

Faktor lingkungan di kelompokkan menjadi dua, yaitu lingkungan fisik yang

terdiri dari suhu, kelembaban udara dan kondisi tempat tinggal. Sedangkan

faktor yang kedua adalah lingkungan sosial, yaitu manusia dengan segala

interaksinya serta representasinya seperti faktor keterjangkauan fasilitas

kesehatan, faktor tenaga kesehatan dan pemberian penyuluhan kesehatan

dari tenaga kesehatan khususnya tentang penyakit TBC paru.

2.1.6 Cara Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Cara Pengukuran Tingkat Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan

diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kulitatif.

Menurut Arikunto; 2006 yang dikutif Wawan dan Dewi (2010: 18 ) yaitu

1) Baik : hasil prestasi 78% -100%

2) Cukup : Hasil presentasi 56% - 75%

3) Kurang : Hasil presentasi < 56%


21

2.2 Tuberkulosis (TBC) Paru

2.2.1 Pengertian

TBC Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberkulosis.Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh

manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru.Kemudian kuman tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,

sistem saluran limfe, saluran nafas (bronchus) atau penyebaran langsung ke

bagian-bagian tubuh lainnya.(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,

Depkes RI, 2008,hlm 5).

Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit akibat infeksi kuman

Mycobacterium Tuberculosis Sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua

organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi

infeksi primer (Mansjoer, 2009).

Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tuberkulosis paru

adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium dengan gejala yang

bervariasi.

2.2.2 Etiologi

Agens infeksius utama, Mycobakterium Tuberkulosis adalah batang

aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan

sinar ultra violet, dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um. Yang

tergolong kuman mycobakterium tuberkulosis complexadalah Mycobakterium

Tuberculosis, Varian Asian, Varian African I, Varian Asfrican II dan

Mycobakterium Bovis (Guyton & Hall, 2007).


22

2.2.3 Fatofisiologi

Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau

dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat

menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar

ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan

gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel

infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-

paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5

mikromilimeter.

Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas

perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T)

adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan

makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Respon

ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi

sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cenderung

tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah

berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau

dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.

Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteri

namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan

digantikan oleh makrofag, alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan

timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan


23

sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri

akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar

melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang

mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh

waktu 10-20 hari.

Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang

biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan

granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan

respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk

jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi

tuberkel.

Lesi primer paru dinamakan fokus ghon dan gabungan terserangnya

kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon

lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas

kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari

dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini

dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah

atau usus.

Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan

meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat

menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan

bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
24

melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan

lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala

dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus sehingga

menjadi peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah

dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada organ lain. Jenis

penyebab ini disebut limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran

hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan

tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah

sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar

keorgan-organ lainnya (Guyton & Hall, 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis pada Tuberkulosis Paru

Manifestasi klinis TBC menurut Al Suqul adalah:

1) Demam

Demam terjadi karena masuknya basil tuberkel ke dalam paru-paru dan

menimbulkan reaksi inflamasi dengan adanya reaksi inflamasi ini tubuh

mengadakan kompensasi untuk memperbaiki keadaan tersebut dengan

meningkatkan metabolisme sel sehingga terjadilah demam, panas badan

mencapai 40-410C.Demam biasanya hilang timbul seperti demam

influenza.Demam pertama dapat sembuh sebentar tapi kemudian dapat

kambuh lagi. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien

dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.


25

2) Batuk / Batuk Darah

Batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum. Batuk terjadi karena

adanya iritasi pada bronkus batuk ini diperlukaan untuk membuang produk

radang keluar. Sifat batuk ini dimulai dari batuk kering (non produktif)

kemudian setelah itu timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan

sputum) dan berlanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah

yang pecah.

3) Sesak Nafas

Pada penyakit yang ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak

nafas akan ditemukan pada penyakit yang lanjut yang infiltasinya sudah

meliputi setengah bagian paru-paru.

4) Nyeri Dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan bila

nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas. Nyeri dirasakan pada

saat batuk inspirasi dan ekspirasi pada waktu proses respirasi dimana paru-

paru dapat mengembang dan mengempis karena adanya peradangan pada

paru-paru.

5) Wheezing

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan

oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan, granula, ulserasi dan lain-

lain pada tuberkulosis paru.


26

Gejala-gejala Umum :

1) Panas Badan

Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering kali panas

badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.

2) Menggigil

Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti

pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai

suatu reaksi imun yang lebih hebat.

3) Keringat Malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit

tuberkulosis paru, keringat malam umumnya timbul bila proses telah terjadi,

kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil. Keringat malam dapat

timbul lebih dini nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas.

4) Anoreksia

Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang

timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.

5) Lemah Badan

Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur, dan

keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena itu perlu dianalisa

dengan baik dan harus lebih hati-hati. Apabila dijumpai perubahan sikap dan

temperamen (misalnya tersinggung), perhatian penderita kurang atau

menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain atau penyakit yang
27

kelihatan neurotik. Dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya

(retrospective symptomatology).

2.2.5 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan

suatu ”definisi kasus” yang meliputi empat hal, diantaranya lokasi atau organ

tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru, bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak

secara mikroskopis) : BTA positif dan BTA negatif dan Tingkat keparahan

penyakit : ringan atau berat

2.2.5.1. Klasifikasi berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena

1) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkusosis yang menyerang (parenkim) paru,

tidak termasuk pleura (selaput baru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (peri cardium), kelenjar lympe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

2.2.5.2. Klasifikasi berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak

2.2.5.2.1. Tuberkulosis Paru BTA Positif :

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

2) Satu spesimen dahak sps hasilnya BTA positif dan fhoto torax dada

menunjukan gambaran tuberkulosis

3) Satu spesimen dahak sps hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
28

4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya setelah 3 spesimen dahak pada

pemeriksaan sebelumnya, hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2.2.5.2.2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan dahak positif, negatif / foto rontgen dada menunjukkan TBC

paru aktif. Positif, negatif yang dimaksudkan disini adalah ”hasilnya meragukan”,

jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat

positif (Loban, 2008).

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TBC Paru dan BTA (Bakteri

Tahan Asam) positif. Kriteria diagnostik TBC Paru BTA negatif harus meliputi :

1) Paling tidak 3 spesimen dahak sps hasilnya BTA positif

2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika

4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

2.2.5.3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

2.2.5.3.1. Tuberkulosis paru BTA negatif foto thorax positif, dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakit, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat

bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan parah

yang luas (misalnya proses ”far advanced”) dan atau keadaan umum

pasien buruk.
29

2.2.5.3.2. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit,

yaitu :

1) TB ekstra paru berat, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudative

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal

2) TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, perikarditis, peritonitis,

eksudative, bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat

kelamin.

2.2.6 Cara Penularan Tuberkulosis Paru

2.2.6.1. Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk

atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.

2.2.6.2. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran

pernapasan. Selama kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui

pernapasan, kuman dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya,

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas atau

penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

2.2.6.3. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif pemeriksaan

dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak

negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak

menular (Depkes RI, 2007).


30

2.2.7 Resiko Penularan Tuberkulosis Paru

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis

Infection=ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%.

Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000

penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang

terinfeksi tidak akan menjadi penderita TBC paru, hanya 10% dari yang terinfeksi

yang akan menjadi penderita TBC paru. Dari keterangan tersebut diatas, dapat

diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk

rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50%

penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan

seseorang menjadi penderita TBC Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah,

diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI, 2007).

2.2.8 Faktor-faktor yang dapat Menyebabkan Penyakit TB Paru

Menurut Tambayong (2000) faktor penyebab TB Paru ini meliputi :

Adapun faktor yang memengaruhi kejadian tuberkulosis diantaranya :

2.2.8.1. Faktor Intrinsik

2.2.8.1.1. Umur

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur,

jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian

yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis

aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi

tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia


31

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50

tahun. (Elizabeth, 2009).

2.2.8.1.2. Jenis Kelamin

Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun

1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %

pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun

0,7%. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru. (Elizabeth, 2009)

2.2.8.1.3. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

pekerjaannya.

2.2.8.1.4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang haru dihadapi setiap individu.

Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah

terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama


32

terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru. (Elizabeth,

2009)

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang

akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi

makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap

kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai

pendapatan dibawah Upah Minimum Rata-rata (UMR) akan mengkonsumsi

makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap

anggota keluarga sehingga mempunyai status nutrisi dan gizi yang kurang yang

akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal

jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka

kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan

mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru. (Adiatama, 2006)

2.2.8.1.5. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk

mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan

kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena

TB paru sebanyak 2,2 kali, (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hamper

semua nehara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,

sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok

akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB paru. (Darmanto, 2007)

2.2.8.1.6. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
33

resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang

status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan

berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik

terhadap penyakit. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam

timbulnya penyakit tuberculosis ( Isselbacher, 2009).

2.2.8.1.7. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2002). Penginderaan

terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2002). Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2002). Pengetahuan seseorang akan TB Paru akan

berakibat pada sikap orang tersebut untuk bagaimana manjaga dirinya tidak

terkena TB Paru. Dari sikap tersebut akan mempengaruhi perilaku seseorang

untuk dapat terhindar dari TB Paru.

2.2.8.1.8. Perilaku

Lawrence Green dalam (Notoatmodjo, 2002) menjelaskan perilaku itu

dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu :

1) Faktor Predisposisi (Predisposing factor)

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri

seseorang. Yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, pendidikan, dan


34

ekonomi.

2) Faktor Pemungkin (Enabling factor)

Adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau

tindakan yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak

tersedianya fasilitas atau sarana-saran kesehatan.

3) Faktor Penguat (Reinforcing factor)

Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

Dalam hal ini pengaruh dari lingkungan luar seperti sikap dan perilaku

petugas kesehatan, pengawasan keluarga yang lemah dan kehidupan

beragama yang lemah.

2.2.8.2. Faktor Ekstrinsik

2.2.8.2.1. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar

aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan

oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu

kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik

karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban

ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/

bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB Paru (Somantri, 2007). Fungsi

kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-

bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang

terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi
35

lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam

kelembaban (humiditiy) yang optimum (Corwin, 2009). Untuk sirkulasi yang baik

diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk

luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil

(dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk

menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur

kamar 22°-30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% (Tambayong,

2000).

2.2.8.2.2. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca

minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa

maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat

membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu

rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. (Somantri,

2007).

2.2.8.2.3. Keadaan sosial ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi

lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan

dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi

makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi

buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga

memudahkan terkena infeksi TB Paru. Faktor ekonomi, keadaan social ekonomi

yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan
36

karena ketidakmampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah

kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah

menumbuhkan penyakit tuberkulosis (Darmanto, 2007).

2.2.8.2.4. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB

Paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan

kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan

debu, sehingga akan dijadikan kelembaban udara sebagai media yang baik bagi

berkembangnya kuman Mycrobacterium tuberculosis (Tambayong, 2000).

2.2.8.2.5. Kepadatan hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,

artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah

penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab

disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota

keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya

dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung

dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya

minimum 10 m2/orang (Elizabeth, 2009).


37

2.3 Faktor Pencegahan Penyakit TBC Paru

2.3.1 Faktor Perilaku Penderita

Pencegahan adalah salah upaya untuk menghindari kerugian, kerusakan

yang akan terjadi pada seseorang atau masyarakat disekitarnya (Notosoedirdjo dan

Latipun, 2005: 145)

Terkait perilaku pencegahan pada pasien TB (Johan: Jurnal Keperawatan

Pajajaran; 2014: 167) menemukan bahwa pasien TB memiliki perilaku

pencegahan tingkat menengah, dan perilaku tersebut diketahui berhubungan

dengan pengetahuan, perceive benefit, susceptibility, severity, dan perceive

barrier.

2.3.2 Faktor Pencegahan

Cara pencegahan TBC paru dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut :

1) Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin

2) Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan

3) Menghindari udara dingin

4) Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke kamar

tidur.

5) Menjemur kasur, bantal dan tempat tidur terutama pagi hari

6) Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga

mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.


38

2.3.3 Faktor Pencegahan Primer

1.

2.

2.1.

2.2.

2.3.

2.3.1.

2.3.2.

2.3.3.

2.3.3.1. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:

1) Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna

2) Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur

3) Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.

4) Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG

2.3.3.2. Kebersihan Lingkungan

1) Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup

2) Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan

pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini

3) Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko

terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian.

2.3.4 Faktor Pencegahan Sekunder

2.3.

2.3.1.
39

2.3.2.

2.3.3.

2.3.4.

2.3.4.1. Case finding

1) X-foto toraks yang dikerjakan secara massal

2) Uji tuberkulin secara Mountoux

3) Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru

yang tinggi dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan

BTA dan kultur, bekerjasama dengan WHO.

2.3.4.2. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.

Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus

mempunyai efek yang dapat mencegah pertumbuhan kuman-kuman

resisten seperti Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z).

2.3.5 Pencegahan Tertier

1) Membuat strategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan

obat efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course

(DOTS).

2) Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat

etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat

dipakai pada populasi tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.


40

3) Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka

waktu 9-12 bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah

pengobatan).
41

2.4 Kerangka Pemikiran


Faktor Intrinsik :
1. Jenis kelamin
2. Pendidikan
3. Umur
4. Pekerjaan
5. Kebiasaan
merokok
6. Status gizi
7. Pengetahuan
Perilaku Pencegahan
Faktor Ekstrinsik :
1. Pencahayaan
Penularan TB paru
2. Ventilasi
3. Keadaan sosial
4. Ekonomi
5. Kondisi rumah
6. Kelembaban
udara
7. Kepadatan
hunian

(Sumber : Tambayong (2000), Elizabeth, (2009), Corwin ( 2009), Adiatama


(2000), Darmanto (2007), Isselbacher (2009), Notoatmodjo (2005).

Keterangan : variabel yang diteliti

: variabel tidak diteliti

2.5 Hipotesa

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dapat disusun hipotesis sebagai

berikut :

1) Ho: Tidak ada Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Tuberkulosis

Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di Rawat Jalan

RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016.


42

2) Ha: Ada Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Dengan

Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di Rawat Jalan RSUD

Bayu Asih Kabupaten Purwakarta Tahun 2016.


43

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif

yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat

gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dan bertujuan

untuk menentukan hubungan korelatif antar variabel (Notoatmodjo, 2010: 35)

Penelitian ini dirancang dengan pendekatan Cross Sectional. Menurut

Notoatmodjo (2010: 37-38) Cross Sectional adalah suatu penelitian untuk

mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor resiko dengan efek, dengan

cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat

(point time approach)

3.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep yang

mempunyai variasi nilai (Notoatmodjo, 2010: 103).


44

3.2.1 Variabel Bebas (independen)

Variabel Bebas (independen) adalah variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Hidayat, 2009: 78).

Sebagai variabel bebas atau faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan

penularan penyakit tuberkulosis adalah pengetahuan.

3.2.1 Variabel Terikat (dependen)

Variabel Terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2009: 78). Sebagai variabel terikat

dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan penularan penyakit tuberkulosis.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik

tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2009: 60). Menurut Notoatmodjo (2010: 79)

populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang

memiliki kualitas dengan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi pasien TB Paru yang datang ke poli paru RSUD Bayu Asih

dalam kurun waktu 4 bulan sebanyak 511 pasien, dengan jumlah rata-rata pasien

perbulan 128 pasien.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki populasi

(Hidayat, 2009: 60). Sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi yang
45

akan diteliti (arikunto, 2006: 131). Sampel adalah sebagian atau seluruh dari

jumlah dan karakteristik yang dimiliki suatu populasi itu sendiri yang akan diteliti

oleh peneliti dipandang mewakili populasi target (Notoatmodjo, 2010: 115-130).

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Accidental

sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja

yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel,

bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data

(Sugiyono, 2006: 95). Dimana untuk mendapatkan jumlah sampel yang akan

diteliti, peneliti menggunakan jumlah rata-rata pasien perbulan.

Untuk mencari jumlah populasi rata-rata perbulan peneliti menggunakan

rumus :

jumla h total pasien 4 bulan


N=
4 bulan

511
N=
4

N=128 pasien/bulan

Untuk menentukan besar sampel yang akan diambil, peneliti menggunakan rumus

dari (Notoatmodjo, 2005: 115-130) sebagai berikut:

N
n=
1+ N ( d )2

Keterangan :

N : besar populasi
n : besar sampel
d : tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,05)
46

128
n=
1+128( 0,05)2

128
n=
1+128( 0,0025)

128
n=
1,32

n=97 responden

Adapun kriteria pasien yang dapat dijadikan responden, kriteria sampel

sebagai berikut :

3.

3.1.

3.2.

3.3.

3.3.1.

3.3.2.

3.3.2.1. Kriteria Inklusi

1) Responden pria / wanita

2) Pasien TB paru yang bersedia menjadi responden

3) Pasien yang datang ke rawat jalan/poli paru RSUD BAYU ASIH dengan hasil

Sputum BTA (+) yang sedang dalam pengobatan.

3.3.2.2. Kriteria Eksklusi

1) Pasien yangb sedang menjalani rawat inap

2) Pasien TB dengan Pneumothoraks

3
47

3.2

3.3

3.4 Tehnik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat

digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Riduwan, 2009: 69). Jenis

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis data

primer, dimana pengumpulan data dihimpun langsung oleh peneliti.

Pengumpulan data dilakukan di rawat jalan poli paru RSUD Bayu asih

pada hari Selasa dan Sabtu. Adapun teknik pengumpulan data yang telah

dilakukan oleh peneliti yaitu:

3.4.

3.4.1. Sampel yang diambil yaitu responden yang kebetulan ada.

3.4.2. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari pengisian kuesioner.

3.4.3. Meminta izin terlebih dahulu kepada responden untuk diminta

kesediaanmengisi kuesioner yang telah disediakan dengan cara mengisi

lembar persetujuan menjadi responden.

3.4.4. Meminta responden untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan dengan

didampingi oleh peneliti agar dapat memberikan penjelasan terhadap

pertanyaan yang tidak dimengerti oleh responden.

3.4.5. Responden diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada kalimat dalam

kuesioner yang kurang dipahami.

3.4.6. Pengambilan kuesioner dilakukan setelah selesai diisi oleh responden,

diambil secara langsung oleh peneliti, sambil memeriksa kembali jawaban


48

yang telah diisi oleh responden yang bersangkutan karena ditakutkan ada

pertanyaan yang belum diisi.

3.5 Definisi Konseptual Dan Operasional

3.4

3.5

3.5.1 Definisi Konseptual

1.

2.

3.

3.1.

3.2.

3.3.

3.4.

3.5.

3.5.1.

3.5.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang terjadi melalui

kelima indera manusia, diantaranya indera penglihatan, indera pendengaran,

indera penciuman, indera perasa dan indera peraba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinganya, yakni melalui proses pengalaman

dan proses belajar dalam pendidikan baik bersifat formal maupun informal
49

tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibanding dengan

tanpa didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003: 156).

3.5.1.2. Perilaku pencegahan penularan penyakit TB paru

Segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang perilaku pencegahan

penularan TBC paru

3.5.1

3.5.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Definisi Cara Alat


No Variabel Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur ukur

1 Pengetahuan Segala sesuatu yang Kuesioner Angket 0 Pengetahuan Ordinal


pasien diketahui oleh kurang, jika hasil
tentang responden tentang presentasi <56%
penyakit penyakit TBC paru 1 Pengetahuan
TBC paru yang dinyatakan cukup, jika hasil
jawaban benar presentasi antara
untuk pertanyaan/ 56%-75%
kuesioner. 2 Pengetahuan baik,
jika hasul
presentasi antara
78%-100%
2 Perilaku Segala sesuatu yang Kuesioner Angket Kriteria pengukuran Ordinal
Pencegahan diketahui oleh perilaku :
penularan responden tentang
0 perilaku kurang
penyakit perilaku pencegahan
tuberkulosis penularan TBC paru baik, jika skore
jawaban < dari
mean (70)
1 perilaku baik,
jika skore
jawaban ≥ mean
(70)

0
1
2
3
50

3.5
3

3.5

3.6 Uji Coba Instrumen ( Uji Validitas dan Reliabilitas )

3.1

3.2

3.3

3.4

3.5

3.6

3.6.1 Uji Validitas

Validitas adalah indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang benar. Untuk membuktikan suatu instrumen valid maka

dilakukan uji validitas dengan menggunakan alat uji korelasi product moment,

dengan kriteria hasil bahwa jika harga r hitung lebih besar dari r tabel maka

instrumen tersebut benar-benar valid (Arikunto, 2010: 211).

Uji coba kuesioner ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan

keakuratan data penelitian dan untuk melihat sejauh mana kuesioner ini cocok

dipakai penelitian. Dengan uji kuesioner ini, maka kuesioner dapat diperbaiki atau
51

disesuaikan baik dari segi subtansi maupun dari segi komunikasi sehingga

kuesioner ini benar-benar dapat dipakai untuk penelitian, rumus yang digunakan

adalah dengan menggunakan koefisien item-total (Riduwan, 2015: 98), yaitu :

n ( Σ X Y )−( Σ X ) .(Σ Y )
r=
√ ⦃n Σ X 2 – ( ΣX )2 ⦄. ⦃n Σ Y 2−( Σ Y )2 ⦄
Keterangan :

∑X : Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen

∑Yi : Jumlah responden untuk instrumen ke-i

∑X2 :Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen yang

dikuadratkan

∑Yi 2 : Jumlah responden untuk instrumen ke-i yang dikuadratkan

Uji validitas ini dilakukan pada pasien yang datang ke poli paru RSUD

Ciereng Subang pada tanggal 24 Agustus 2016 sebanyak 20 responden dengan

kuesioner, dengan ketentuan r tabel sebesar 0,444 dapat dari r tabel dengan nilai

kemaknaan 5% untuk memvaliditasi instrumen dilakukan dengan

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung. Untuk mengetahui suatu

kevalidan yaitu dengan cara membandingkan antara r hitung dengan r tabel, dapat

diketahui:

Valid : r hitung ≥ r tabel

Tidak valid : r hitung < r tabel (Sugiyono, 2009: 121)

Setelah dilakukan uji validitas selama 1 hari di Poli Paru RSUD Ciereng

Subang dengan cara penyebaran kuesioner dan diolah dengan menggunakan


52

program komputer. Untuk hasil uji validitas variabel pengetahuan didapatkan nilai

kevalidan antara 0,474 – 0,769. Untuk variabel perilaku didapatkan nilai

kevalidan antara 0,460 – 0,663. Sehingga dapat disimpulkan dari semua

pertanyaan mempunyai nilai r hasil (Corrected Item-Total Correlation ) > nilai r

tabel (0,444), sehingga dapat pertanyaan tersebut dinyatakan valid.

3.6.2 Reliabilitas Instrumen penelitian

Reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti dapat

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila

dilakukan 2 kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat

ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010: 167).

Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji reliabilitas dengan cara

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil, nilai r hasil adalah nilai alpha

yang terletak di akhir output dengan tingkat kemaknaan 5% (0,05) sehingga item

kuesioner yang dikatakan reliable jika r hasil (r alpha) > r konstanta (0,6)

(Sugiyono, 2002: 365).

Dari hasil uji reliabilitas variabel pengetahuan didapatkan nilai r Alpha

0,920 sedangkan untuk variabel perilaku didapatkan nilai r Alpha 0,837 > r

konstanta (0,6), maka dapat disimpulkan dari kedua kuesioner tersebut dinyatakan

sudah reliabel.

Pada penelitian ini uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus

alpha cronbach, yaitu sebagai berikut:

[ ][ ]
2
K Σσ b
r 11 = 1− 2
( k−1) σ t
53

Keterangan:

r11 : reliabilitas instrument

k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal.


2
Σσb : jumlah varians butir
2
σ t : varians total

Untuk menguji instrument yang dianggap valid atau dapat digunakan,

selanjutnya akan dihitung koefisien reliabititas dengan menggunakan rumus KR-

20 (Riduwan, 2009: 115), sebagai berikut:

( )(
r 11 =
k
k−1
.
s2−∑ p q
s2 )
Dimana :

r11 : koefisien reliabilitas internal seluruh item

p : proporsi subjek yang menjawab item dengan benar

q : proporsi subjek yang menjawab item yang salah (q=1-p)

∑pq : jumlah hasil perkalian p dan q

k : banyaknya item

s : standar deviasi dari tes

3.6.3 Hasil Uji Normalitas Data

Untuk mengetahui kategori pengetahuan dan perilaku, maka dicari nilai

mean/median dengan penentuan setelah dilakukan uji normalitas data:

skewness
standar error
54

Setelah dilakukan uji normalitas data pada variabel independen dan dependen

didapatkan hasil -2,942 (variabel independen) -3,065 (variabel dependen) < 2,

maka hasil uji normalitas dikatakan normal sehingga menggunakan mean.

Dalam tahap ini dilakukan penerapan analisis data sesuai dengan tujuan

penelitian dengan menggunakan uji statistik yang menggunakan bantuan program

software statistik (Hidayat, 2009).

3
3.6
3.7 Tekhnik Pengolahan Data dan Analisa Data

1.

2.

3.

3.7

3.7.1 Pengolahan Data

Sebelum data hasil penelitian dianalisis terlebih dahulu diolah melalui

tahapan sebagai berikut :

1) Pengeditan (Editing)

Pada tahap pengeditan, peneliti melakukan pengecekan terhadap data-data

yang ada terutama dalam kelengkapan data.

2) Pengkodean (Coding)

Peneliti melakukan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka atau bilangan dengan memberikan kode pada lembar angket.

Kode yang digunakan pada variabel pengetahuan yaitu: 0 (tidak/salah ), 1 (ya /

benar). Untuk variabel perilaku yaitu: 0 (salah), 1 ( (benar).


55

3) Scoring

Menilai untuk masing-masing pertanyaan dan penjumlahan hasil scoring dari

semua pertanyaan (Nursalam, 2008). Setiap pertanyaan yang telah diberi kode

kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk dianalisa dan diberi skor

untuk setiap pertanyaan dan penjumlahan hasil scoring untuk menentukan

mean atau median. Item skor yang digunakan pada pengetahuan yaitu:

Untuk skor item pertanyaan pengetahuan yaitu :

a) Jika menjawab “tidak” :0

b) Jika menjawab “ya” :1

untuk skor item pertanyaan pada perilaku yaitu:

a) Jika menjawab “tidak” :1

b) Jika menjawab “ya” :0

4) Pemrosesan (Processing)

Peneliti melakukan proses data agar dapat dianalisa dengan cara memasukkan

data hasil kuesioner ke dalam kolom-kolom yang telah disediakan terlebih

dahulu dan dihitung hasilnya secara manual maupun progam SPSS.

5) Pembersihan (Cleaning)

Selanjutnya peneliti melakukan pembersihan data dengan mengecek kembali

data yang sudah dihitung kemudian dimasukkan ke dalam komputer.

6) Penyajian data

Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi yang didukung oleh

kajian teori maupun praktis untuk diambil kesimpulan tiap-tiap variabel.

3.7.2 Analisis Data


56

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program aplikasi statistik

dengan tahapan analisis data sebagai berikut yaitu :

1.

2.

3.

3.1.

3.2.

3.3.

3.4.

3.5.

3.6.

3.7.

3.7.1.

3.7.2.

3.7.2.1. Analisis Univariat

Analisa Univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel

dari hasil penelitian, pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi

dan persentase dari tiap variabelnya (Notoatmodjo, 2005: 118). Dalam Analisis

Univariat dan metode uji statistik untuk Variabel Pengetahuan pasien dan

pencegahan penularan TBC Paru, dilakukan dengan melakukan perhitungan


57

presentase untuk mendapatkan gambaran responden serta untuk mendiskripsikan

variabel bebas dan variabel terikat.

Rumus Persentase
a
p= x 100 %
b
Keterangan :

P = Besar Persentase Jawaban

a = jumlah pertanyaan yang dijawab benar

b = Jumlah Soal, konfirmasi kedalam kriteria kuantitatif menurut Arikunto,

(2006)

Setelah dilakukan pengolahan data, kemudian di interpretasikan dengan

menggunakan skala:

0% = tidak seorangpun responden


1% - 19% = sangat sedikit responden
20% - 39% = sebagian kecil responden
40% - 59% = sebagian responden
60% - 79% = sebagian besar responden
80% - 99% = hampir seluruh responden
100% = seluruh responden
Dalam penelitian ini untuk mengukur pengetahuan dan perilaku

menggunakan kuesioner yang terdiri dari dua pilihan jawaban “YA” atau

“TIDAK” dengan penilaian sebagai berikut:

0 = jika menjawab “tidak”

1 = jika menjawab “ya”


58

Setelah data terkumpul semua nilai dari 20 pertanyaan tentang

pengetahuan dan 9 pertanyaan tentang perilaku didapat hasil penilaian total skore

sebagai berikut:

Baik : hasil prestasi 78% -100%

Cukup : Hasil presentasi 56% - 75%

Kurang : Hasil presentasi < 56%

Skor pada pertanyaan perilaku :

Skor < 70 = perilaku kurang

Skor ≥ 70 = perilaku baik

kemudian dilakukan tabulasi dan dimasukkan kedalam rumus sebagai berikut:

Perhitungan mean :

x=
∑ X −i
n

Dimana

x = Mean

∑ X−i = Jumlah tiap data

n = jumlah data

( )
1
N −( ∑ f )2
2
L2 + .c
f2
Rumus Median (Me) =
Dimana,

L2 = tepi bawah kelas yang memuat median

N = jumlah seluruh frekuensi


59

( ∑ f )2 = jumlah frekuensi sebelum kelas median

f2 = frekuensi kelas yang memuat median

c = lebar kelas

3.7.2.2. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2005). Analisis bivariat

dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan pasien tentang

penyakit tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan penyakit

tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, dengan

menggunakan uji statistik sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini. Rumus yang

digunakan :

( fo−fe )2
X
2
=∑ fe
Keterangan :

X² = Nilai chi-kuadrat

fo = Frekuensi yang diobservasi (Frekuensi Empiris )

fe = Frekuensi yang diharapkan ( Frekuensi Teoritis )

Rumus yang mencari Frekuensi teoritis (fe)

( ∑ fk ) X ( ∑ fb )
fe=
∑T
Keterangan :

Fe = Frekuensi yang diharapkan


60

fk = Jumlah frekuensi dalam kolom

fb = Jumlah frekuensi dalam baris

T = Jumlah keseluruhan baris atau kolom

1) Bila pada tabelnya lebih dari 2 x 2, misalnya 2 x 3, 3 x 3, dll, maka digunakan

uji ”Pearson Chi Square”

Pada Analisis Bivariat dan metode uji statistik untuk variabel Independen

adalah Pengetahuan pasien tentang penyakit tuberkulosis dan variabel dependen

adalah perilaku pencegahan penularan penyakit tuberkulosis, menggunakan skala

ordinal dengan menggunakan statistik uji analisis Chi Square. Hasil

interprestasinya yaitu Ha ditolak jika p hitung > p tabel, H 0 diterima jika p hitung

< p tabel.

3.7

3.8 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian atau langkah-langkah penelitian berguna untuk

mempermudah peneliti menyelesaikan penelitian. Adapun prosedur atau

langkah-langkah penelitian ini adalah :


61

3.8.1 Tahap Persiapan Penelitian

Adapun tahapan dalam persiapan adalah :

1) Memilih tempat penelitian

Memilih tempat yang akan dilakukan penelitian, sesuai data yang ada dan

masalah yang akan diteliti yang dilaksanakan pada bulan April 2016.

2) Melakukan studi kepustakaan

Melakukan studi kepustakaan untuk mencari buku-buku sumber atau sumber-

sumber informasi sesuai materi yang akan diteliti dari text book, jurnal dan

internet yang dilaksanakan pada bulan Mei 2016.

3) Menyusun proposal penelitian

Menyusunan proposal penelitian yang dilakukan pada bulan Juni – bulan Juli

2016.

4) Seminar proposal

Seminar proposal penelitian dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2016.

5) Perbaikan proposal penelitian

Memperbaiki proposal penelitian sesuai dengan hasil seminar proposal yang

dilakukan pada bulan Agustus 2016.

6) Permohonan uji validitas

Permohonan uji validitas dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2016. Dengan

nomor surat 1744.7.UV/043-186/VIII/2016

7) Uji coba instrument

Uji validitas dilakukan pada tangal 24 Agustus 2016, dengan nomor surat

073/1350-0201/RSUD
62

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

Tahapan dalam pelaksanaan meliputi :

1) Ijin penelitian

Peneliti memberi surat perizinan peneliti pada tempat yang akan dijadikan

tempat penelitian yang dilakukan pada tangal 29 Agustus 2016, dengan nomor

surat 895.6/1713/DIKLIT

2) Persetujuan responden untuk dijadikan sampel

Memberi lembar persetujuan kepada responden untuk meminta kesediaannya

menjadi responden.

3) Melakukan pengumpulan data

Melakukan penelitian dan mengumpulkan data dengan memberikan kuesioner

kepada responden yang dilakukan pada tanggal 6,8 dan 10 September 2016.

4) Melakukan pengolahan dan analisis data

Melakukan penglohan data dengan memasukkan data melalui komputer yang

dilakukan pada bulan September 2011

5) Menarik kesimpulan

Membuat kesimpulan dari hasil akhir penelitian.

3.8.3 Tahap Akhir

Adapun dalam tahapan akhir adalah :

1) Penyusunan laporan hasil penelitian

Membuat laporan dari penelitian dan menginterprestasikan data yang didapat.

2) Penelitian Presentasi hasil

Mempresentasikan hasil penelitian yang telah dilakukan.


63

3) Pendokumentasian hasil penelitian

3.9 Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data

3.9

3.1

3.2

3.3

3.4

3.5

3.6

3.7

3.8

3.9

3.9.1 Lokasi

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Rawat Jalan Poli Paru

RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta yang beralamat di jalan Veteran No.39

Purwakarta

3.9.2 Waktu

Waktu pengumpulan data dilakukan pada tanggal 6, 8, dan 10 September

Tahun 2016
64

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4
4.1 Hasil Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara pengetahuan pasien tentang

Tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan penyakit Tuberkulosis di

Rawat jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta pada September 2016 dengan sampel

sebanyak 97 responden yang diambil dengan teknik Cross Sectional.

Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk analisis univariat yaitu melihat

gambaran distribusi frekuensi dari tiap variabel independen (Pengetahuan) dan

variabel dependen (Perilaku), dan secara bivariat untuk mengetahui hubungan

antara pengetahuan pasien tentang Tuberkulosis dengan perilaku pencegahan

penularan penyakit Tuberkulosis di Rawat jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta.

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan hasil sebagai berikut:

1
2
3
4
4.1
4.1.1 Hasil Analisis Univariat

Penelitian ini, digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi

pengetahuan pasien tentang Tuberkulosis

4.1

4.1.1
65

4.1.1.1 Gambaran pengetahuan pasien tentang Tuberkulosis di Rawat Jalan

RSUD Bayu Asih Purwakarta

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pasien Tentang


Tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih

Pengetahuan Frekuensi Presentase


Pengetahuan Kurang 27 27,8%
Pengetahuan cukup 21 21,6%
Pengetahuan Baik 49 50,5%
Total 97 100.0 %
Berdasarkan tabel 4.1 tentang distribusi frekuensi pengetahuan pasien

tentang Tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta dari

97 responden didapatkan hasil bahwa sebagian responden yaitu 49

responden (50,5%) mempunyai pengetahuan yang baik.

4.1.1.2 Gambaran perilaku pencegahan penularan penyakit Tuberkulosis di

Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pasien Tentang


Tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih

Perilaku Frekuensi Presentase


Perilaku Kurang 34 35,1 %
Perilaku Baik 63 64,9 %
Total 97 100.0 %

Berdasarkan tabel 4.2 tentang distribusi frekuensi perilaku pencegahan

penularan penyakit Tuberkulosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih

Purwakarta dari 97 responden didapatkan hasil bahwa sebagian dari

responden yaitu 63 responden (64,9%) mempunyai perilaku yang baik.

4.1.1 Hasil Analisis Bivariat

Hasil penelitian bivariat berdasarkan hasil uiji chi-square. Uji chi-square

digunakan untuk melihat hubungan antara pengetahuan pasien tentang


66

Tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan penyakit

Tuberkulosis di Rawat jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta, dapat dilihat

pada tabel 4.3 berikut ini:

Hubungan Antara Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Dengan

Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Tuberkulosis Di Rawat

Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta

Tabel 4.3 Analisa Hubungan Antara Pengetahuan Pasien Tentang


Tuberkulosis Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit
Tuberkulosis Di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta
Perilaku
Perilaku Perilaku Total 
Pengetahuan
Kurang Baik value
N % N % N %
Pengetahuan
19 70,4 % 8 29,6 % 27 100%
Kurang
Pengetahuan
10 47,6”% 11 52,4% 21 100%
Cukup 0,000
Pengetahuan
5 10,2 % 44 89,8 % 59 100%
Baik
Total 34 35,1 % 63 64,9 % 97 100.0%

Pada tabel 4.3 dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 59 responden

yang memiliki pengetahuan baik, terdapat 44 responden (89,8%) yang

memiliki perilaku yang baik, dan 5 responden (10,2%) memiliki perilaku

yang kurang. Sedangkan dari 27 responden yang memiliki pengetahuan

kurang terdapat 19 responden (70,4%) mempunyai perilaku yang kurang,

dan 8 responden (29,6%) memiliki perilaku yang baik. Dari 21 responden

yang memiliki pengetahuan cukup, terdapat 11 responden (52,4%)

memiliki perilaku yang baik dan 10 responden (47,6%) memiliki perilaku

yang kurang. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara

pengetahuan tentang tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan


67

penyakit tuberculosis dengan derajat kepercayaan yang digunakan adalah

95% (α=0,05), didapatkan  value = 0,000 ( value < 0,05).

4.2 Pembahasan

4.2.1 Gambaran pengetahuan pasien tentang tuberkulosis

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan diperlukan

sebagai dukungan dalam menimbulkan rasa percaya diri maupun sikap dan

perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan dalam penelitian ini adalah responden mampu

mengetahui tentang penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahan penyakit

tuberkulosis.

Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sumber informasi yang diperoleh

dari berbagai sumber maka seseorang cenderung mempunyaipengetahuan yang

luas. Pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahannya yang

didapatkan oleh responden berasal dari berbagai sumber, seperti buku, media

massa, penyuluhan atau pendidikan dan melalui kerabat. Adanya informasi baru

mengenai suatu hal dari media massa memberikan landasan kognitif baru bagi

terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 97 responden di

Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta didapatkan data berdasarkan kuesioner
68

yaitu seperti yang ditujukan pada tabel 4.3, didapatkan bahwa sebagian responden

yaitu 49 responden (50,5%) mempunyai pengetahuan yang baik.

Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik maka apa yang ia

lakukan akan baik pula, seperti yang sudah peneliti temukan di lokasi penelitian.

Pengetahuan adalah awal dari terbentuknya suatu tindakan yang dilakukan oleh

seseorang. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Notoadmojo (2002) mengatakan

bahwa pengetahuan yang baik diharapkan akan mempunyai sikap dan tindakan

yang baik pula, yang akhirnya dapat mencegah dan menanggulangi masalah

penyakit tersebut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuni (2008), tingkat

pengetahuan responden tentang penyakit tuberkulosis dan perilaku pencegahan

penularan penyakit tuberkulosis di desa Sidorejo didapatkan nilai presentase

sebesar 42,5% yang berpengetahuan baik. Pada penelitian ini juga melaporkan

bahwa pengetahuan baik yang didapatkan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti media massa, pengalaman, usia dan lingkungan.

Dalam penelitian Erni Wahyuningsih dkk. menyatakan, ada pengaruh

signifikan antara pengetahuan terhadap kepatuhan berobat. Semakin rendah

pengetahuan maka semakin tidak patuh penderita TB paru untuk datang berobat.

4.2.2 Gambaran perilaku pencegahan penularan penyakit tuberculosis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 97 responden di

Rawat Jalan Poli Paru RSUD Bayu Asih Purwakarta tentang perilaku pencegahan

penularan penyakit tuberkulosis, seperti yang ditunjukan pada tabel 4.2 yaitu

sebagian besar dari responden 63 (64,9%) mempunyai perilaku yang baik.


69

Terkait perilaku pencegahan pada pasien TB (Johan: Jurnal Keperawatan

Pajajaran; 2014; 167) menemukan bahwa pasien TB memiliki perilaku

pencegahan tingkat menengah, dan perilaku tersebut diketahui berhubungan

dengan pengetahuan. Widayatun (2009) mengemukakan perilaku timbul dari

sikap, penelitian yang mempertanyakan bagaimana konsistensi kedua hal itu satu

sama lainya. Bahwa perilaku konsisten dengan sikap hanya dalam kondisi

tertentu. Sikap ini tidaklah sama dengan perilaku, dan perilaku tidaklah selalu

mencermikan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang dapat

berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.

Penelitian ini menjelaskan bahwa penderita suatu penyakit menular memegang

peranan penting dalam semua level pencegahan penyakit. Dalam pencegahan

primer penderita dapat merubah gaya hidup yang dapat mencegah penyakit. Hal

penting yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku pencegahan penyakit dan

perilaku pemulihan kesehatan. Perilaku pencegahan penyakit pada pasien

Tuberkulosis dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap. Seperti dalam penelitian

Gendhis Indra Dhewi dkk. yang menyatakan bahwa sikap yang buruk akan

berkontribusi juga terhadap perilaku pasien TB dalam berobat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Djannah (2009), 54,1%

respondennya memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan upaya pencegahan

penyakit tuberkulosis. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Putra (2011),

didapatkan hasil tingkat tindakan pencegahan TB paru oleh penderita TB di kota

Solok secara umum terhadap TB paru tergolong kurang dengan nilai sebesar

81,8%.
70

4.2.3 Hubungan antara pengetahuan pasien tentang tuberculosis dengan perilaku

pencegahan penularan penyakit tuberculosis

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 59 responden yang

memiliki pengetahuan baik, terdapat 44 responden (89,8%) yang memiliki

perilaku yang baik, dan 5 responden (10,2%) memiliki perilaku yang kurang.

Sedangkan dari 27 responden yang memiliki pengetahuan kurang terdapat 19

responden (70,4%) mempunyai perilaku yang kurang, dan 8 responden (29,6%)

memiliki perilaku yang baik. Dari 21 responden yang memiliki pengetahuan

cukup, terdapat 11 responden (52,4%) memiliki perilaku yang baik dan 10

responden (47,6%) memiliki perilaku yang kurang. Hasil uji statistik

menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan tentang tuberkulosis dengan

perilaku pencegahan penularan penyakit tuberculosis dengan derajat kepercayaan

yang digunakan adalah 95% (α=0,05), didapatkan  value = 0,000 ( value <

0,05).

Dalam penelitian ini responden yang memiliki pengetahuan baik dan

perilaku baik 44 responden (89,8%). Ini tentu sudah jelas bahwa seseorang yang

memiliki tingkat pengetahuan yang baik maka apa yang ia lakukan akan baik pula,

seperti yang sudah peneliti temukan di lokasi penelitian. Pengetahuan adalah awal

dari terbentuknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Hal tersebut

sesuai dengan teori dari Notoadmojo (2002) mengatakan bahwa pengetahuan yang

baik diharapkan akan mempunyai sikap dan tindakan yang baik pula, yang

akhirnya dapat mencegah dan menanggulangi masalah penyakit tersebut.


71

Responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi perilaku pencegahan

penularannya kurang 5 responden (10,2%) disebabkan oleh belum terlalu

dalamnya pemahaman tentang penyakit TB paru, ini diketahui oleh peneliti ketika

pada saat berkunjung kembali ke rawat jalan poli paru peneliti bertanya pada 3

responden yang hasil kueisioner dan observasinya menunjukan pengetahuan baik

tindakannya kurang, bahwa menurut mereka masih merasa baik baik saja

walaupun tidak melakukan tindakan pencegahan yang seharusnya. TB paru yang

masa infeksi primernya butuh waktu 2-4 minggu inilah yang belum diketahui oleh

keluarga pasien. Hal ini sejalan dengan pendapat Green bahwa pembentukan

perilaku sangat dipengaruhi perilaku dalam diri (behavior cause) dan perilaku luar

diri (behavior causes), pembentukan perilaku manusia salah satunya akibat

kepercayaan dan keyakinan walaupun sudah diketahuinya (Pieter dan Lubis;

2010).

Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan perilaku baik ada 8

responden (29,6%). Ini tentu tidak sesuai dengan teori yang menurut Notoadmojo

(2002) bahwa pengetahuan yang baik diharapkan akan mempunyai sikap dan

tindakan yang baik pula, yang akhirnya dapat mencegah dan menanggulangi

masalah penyakit tersebut. Dan sebaliknya seseorang yang memiliki pengetahuan

kurang maka ia cenderung melakukan kearah sikap dan tindakan yang kurang.

Akan tetapi yang ditemukan oleh peneliti ada 29,6% responden pengetahuan

kurang memiliki tindakan baik, hal ini kembali dalam teori menurut Green bahwa

pembentukan perilaku juga dipengaruhi oleh luar diri (behavior causes),yang


72

kemungkinan 29,6% responden tersebut dipengaruhi oleh luar diri atau ikut ikutan

dalam melakukan tindakan pencegahan penularan.

Pengetahuan responden yang kurang dan memiliki tindakan kurang ada 19

responden (70,4%). Tindakan yang merupakan tahap akhir dari perilaku, sehingga

tindakan yang baik atau yang kurang dilakukan oleh responden adalah pengaruh

dari awal yaitu pengetahuan responden. Tindakan yang kurang merupakan faktor

resiko untuk penularan TB paru, seperti tidak menggunakan masker penutup

hidung dan mulut, menyiapkan tempat dahak pasien, memisahkan alat makan dari

pasien dengan anggota keluarga yang lain serta memberikan pencahayaan yang

baik di dalam ruangan. Untuk menjadikan tindakan yang baik haruslah sering

dipaparkan informasi dengan bagaimana, apa dan dampak dari penyakit TB paru.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Niko Rianda

tentang hubungan pengetahuan dan perilaku dengan kejadian TB paru di Kota

Solok. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan yang memiliki pengetahuan

rendah terdapat banyak kasus TB paru yaitu 63,3%. Sedangkan pada kontrol

hanya 37,3%. Hasil uji statistik didapat nilai p<0,05 (p=0,034) yang berarti

terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan kejadian

TB paru.

Menurut asumsi peneliti, seharusnya tenaga kesehatan haruslah lebih aktif

dalam upaya meningkatkan pengetahuan serta tindakan pencegahan penularan TB

paru terhadap pasien dan keluarga pasien melalui penyuluhan dan konseling serta

memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi pasien dan keluarga pasien.
73

Dan tentunya peran serta dari keluarga itu sendiri sangat besar yaitu dengan

memahami arti pentingnya proteksi diri terhadap penularan TB paru.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Selama melakukan penelitian, terdapat keterbatasan-keterbatasan yang

ditemukan peneliti diantaranya adalah :

1. Masih banyak faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perilaku

pencegahan penularan penyakit tuberkulosis dan dapat dijadikan

sebagai variabel bebas dalam penelitian ini. Namun karena

kemampuan peneliti terbatas dalam hal waktu dan tenaga, maka

variabel bebas yang digunakan terbatas.

2. Pengumpulan data menggunakan keusioner mempunyai dampak yang

subyektif sehingga kebenaran data tergantung pada kejujuran dari

responden.

3. Responden seringkali tidak teliti dalam menjawab kuesioner yang

diajukan, sehingga ada yang terlewati dan tidak terjawab padahal sukar

diulangi untuk diberikan lagi kepada responden.


74

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berjudul hubungan

antara pengetahuan pasien tentang tuberculosis dengan perilaku pencegahan

penularan penyakit tuberculosis di Rawat Jalan RSUD Bayu Asih Purwakarta

2016, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian responden 50,5%

mempunyai pengetahuan yang baik.

2. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden 64,9%

mempunyai perilaku yang baik.

3. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan

tentang tuberkulosis dengan perilaku pencegahan penularan penyakit

tuberculosis dengan derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95%

(α=0,05), didapatkan  value = 0,000 ( value < 0,05).

5.2 Saran
75

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah penulis lakukan, maka saran

yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

1) Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

dalam perkembangan ilmu keperawatan.

2) Bagi Institusi pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

dalam perkembangan ilmu keperawatan.

3) Bagi Institusi Rumah Sakit

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasiserta

dapat digunakan sebagai pedoman agar terus memberikan promosi

kesehatan dan meningkatkan program kerja yang berkaitan dengan TB paru

yang dapat digunakan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat dalam mengamalkan perilaku pencegahan penularan

penyakit TB Paru

4) Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan data atau informasi

dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan

metodologi yang berbeda. Untuk mendapatkan hasil lebih mendalam dapat

menggunakan metode penelitian kualitatif, misalnya untuk mengkaji lebih

dalam sikap yang cenderung negative. Untuk penelitian kualitatif dengan

jumlah sampel yang lebih banyak dan homogen.


76

5) Bagi pasien dan keluarga pasien

Bagi pasien dapat memberikan informasi yang bermakna mengenai hal-hal

yang diperlukan seorang penderita TB paru dalam melakukan pencegahan

penularan penyakit TB Paru.

Bagi keluarga pasien penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan

pengetahuan dalam merawat anggota keluarga yang menderita sakit TB

Paru dan melaksanakan pencegahan terjadinya penularan terhadap anggota

keluarga yang lain.

Anda mungkin juga menyukai