Anda di halaman 1dari 3

TRIAS POLITICA NEGARA INDONESIA SECARA HORIZONTAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Negara


Dosen pengampu : Dr. Amiek Soemarmi S.H., M.Hum.

Disusun oleh :
Siti Romadhani Marlina (11000122140768)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
TAHUN 2022
A. Pengertian Trias Politica secara Horizontal
Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam artian kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengimbangi. Trias politica secara horizontal merupakan gagasan politik mengenai pembagian
kekuasaan, dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada cabang
kekuasaan negara yakni kekuasaan eksekutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (parlemen) dan
kekuasaan yudikatif (badan peradilan). Mengapa setiap negara perlu adanya pembagian
kekuasaan? Karena pembagian kekuasaan sangatlah penting agar tidak terjadi tindakan
kesewenang-wenangan dari masing-masing pemerintahan atau lembaga-lembaga dan dibentuk
agar sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat yang berorientasi pada tegaknya the rule of law,
pengadilan kekuasaan, otonomi daerah serta chack and balance. Tujuan utama dari konsep Trias
Politica adalah mencegah satu orang atau kelompok mendapat kuasa yang terlalu banyak agar
tercipta pemerintahan yang berdaulat.

B. Pendapat tentang Trias Politica secara Horizontal di Negara Indonesia


Menurut saya Pemerintahan Republik Indonesia telah menetapkan konsep Trias Politica
Montesquieu, namun konsep Trias Politica tersebut tidak diterapkan secara absolut karena
Indonesia menambahkan kekuasaan eksaminatif di dalamnya. Sehingga harus ada pemisahan
kekuasaan (separation of power) menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
kekuasaan yudikatif. Trias Politica Montesquieu adalah teori Trias Politica yang dikemukakan
oleh ahli yang bernama Montesquieu. Parlemen atau lembaga perwakilan demokratis dalam
skema Montesquieu berada dalam ranah kekuasaan legislatif. Reformasi agenda amandemen
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menurut Prof. Jamli Asshiddiqie telah memilih demokrasi
(kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (supremasi hukum) sebagai pilihan dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga legislatif di Indonesia saat ini tengah dalam
kondisi dimana kepercayaan masyarakat kepada lembaga tersebut mengalami penurunan dari
waktu ke waktu. Kondisi ini mungkin dikarenakan tidak mampu dan tidak optimalnya lembaga
tersebut dalam menyerap aspirasi dan pembentukan peraturan di Indonesia. Perlu diketahui
bahwa pembagian kekuasaan secara horizontal pada tingkat pemerintahan pusat mengalami
pergeseran setelah terjadi perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen ternyata tidak hanya
lembaga legislatif (Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat), lembaga
eksekutif (Presiden) dan lembaga yudikatif (Mahkamah Agung), namun dari tiga fungsi tersebut
masih dibagi lagi yaitu kekuasaan konsultatif (Dewan Pertimbangan Agung) dan kekuasaan
eksaminatif (Badan Pemeriksa Keuangan). Sedangkan pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
sesudah amandemen ternyata tidak hanya lembaga legislatif (Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah), lembaga eksekutif (Presiden), dan
lembaga yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial), namun
masih dibagi lagi ke dalam kekuasaan eksaminatif (Badan Pemeriksa Keuangan). DPR adalah
lembaga negara dengan tingkat kepercayaan yang relatif rendah. Revitalisasi parlemen harus
dimulai dengan memperbaiki hubungan antara para wakil rakyat dengan konstituennya agar
dapat menjadi lembaga yang kradibel dan menjadi pilar kuat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Anda mungkin juga menyukai