Febtarini Rahmawati
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
e-mail: febtapatklin@gmail.com
Abstrak
Penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung selama lebih
dari tiga bulan, disertai penurunan laju filtrasi glomerulus. Pemantauan penurunan fungsi ginjal
dilakukan dengan cara pengukuran laju filtrasi glomerulus, menentukan kadar urea darah, kreatinin,
klirens kreatinin, elektrolit, asam urat, analisis gas darah dan fungsi tubulus. Metode lama untuk
mengukur laju filtrasi glomerulus menggunakan klirens inulin, namun tidak praktis. Selanjutnya
dikembangkan pengukuran laju filtrasi glomerular berdasarkan kreatinin. Pengukuran urea, kreatinin
dan asam urat darah saat ini menggunakan metode enzimatik spektrofotometri, sedangkan
pemeriksaan elektrolit dengan metode elektrode ion selektif (ISE). Analisis gas darah menetapkan pH,
-
PCO2, PO2, HCO3 , CO2 total, base excess dan SO2. Pemeriksaan protein urine dan sedimen urine
membantu menegakkan diagnosis penyakit ginjal kronik.
Chronic renal disease is a disorder of renal function or structure that lasts for more than three
months, accompanied by a decrease in glomerular filtration rate. Decreasing of renal function
monitoring is performed by measuring glomerular filtration rate, determining blood urea, creatinine,
creatinine clearance, electrolytes, uric acid, blood gas analysis and tubular function. The Recent method
for measuring glomerular filtration rate using inulin clearance, however, is not efficient. Further
measurements of creatinine glomerular filtration rate were developed. Measurements of urea,
creatinine and uric acid are currently using enzymatic methods of spectrophotometry, while electrolyte
2 -
examination by selective ion electrode method. Blood gas analysis determined pH, PCO2, PO , HCO 3 , CO2
total, base excess and SO2. Examination of urine protein and urine sediments helps establish a diagnosis
of chronic kidney disease
merusak massa nefron ginjal. Pada awalnya, pengobatan dan menentukan derajat
beberapa penyakit ginjal menyerang kerusakan fungsi ginjal, yakni
glomerulus dan tubulus ginjal, selanjutnya mengevaluasi kreatinin, urea serum,
mengganggu perfusi darah pada parenkim bersihan ginjal, pemeriksaan urine,
ginjal karena defisiensi jumlah nefron yang elektrolit dan cairan tubuh, keseimbangan
berfungsi. Perjalanan klinis penyakit ginjal asam basa darah. Tes laboratorium
kronis pada mulanya terjadi penurunan fungsi dilakukan juga untuk mengevaluasi
ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan penyakit-penyakit lain yang seringkali
kadar urea serum masih normal dan pasien menyertai penyakit ginjal kronis, misalnya
asimtomatik. Perkembangan selanjutnya diabetes, osteoporosis, penyakit jantung
adalah insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75% dan pembuluh darah. Stadium yang lebih
jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR dini dari penyakit ginjal kronik bisa
25% dari normal. Pada tahap ini kadar urea diketahui melalui pemeriksaan
serum meningkat diatas batas normal. Stadium laboratorium rutin(3).
akhir gagal ginjal kronik disebut penyakit ginjal Diagnosis penyakit ginjal kronik
stadium akhir (ESRD/ End stage renal disease) ditegakkan dengan melihat beberapa gejala
atau uremia. ESRD terjadi bila lebih dari 90% berikut (4,5):
massa nefron telah hancur atau sekitar 20.000 1. Penurunan GFR minimal tiga sampai 6 bulan
nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% 2. Azotemia lebih dari tiga bulan
dari normal, kreatinin serum dan urea serum 3. Adanya gejala uremia
meningkat sebagai respons terhadap laju filtrasi 4. Gejala dan tanda renal osteodystrophy
glomerulus yang sedikit menurun(1,2). 5. Ginjal mengecil bilateral
Penyakit ginjal kronik merupakan 6. Didapatkan broad casts pada sedimen urine
keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif
dan irreversible karena berbagai penyebab. (2) PEMANTAUAN PENURUNAN FUNGSI
Penyebab gagal ginjal kronik adalah: GINJAL
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial:
- Pielonefritis kronik
- Refluks nefropati Laju Filtrasi Glomerulus.
2. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis Laju filtrasi glomerulus digunakan
3. Penyakit vaskular hipertensi: Nefrosklerosis sebagai ukuran untuk mengetahui besarnya
(benigna, maligna) kerusakan ginjal karena filtrasi glomerulus
4. Gangguan jaringan ikat: merupakan tahap awal dari fungsi nefron.
- Lupus eritematosus sistemik Besarnya laju filtrasi glomerulus sama dengan
- Poliarteritis nodosa klirens suatu bahan yang difiltrasi secara bebas
- Sklerosis sistemik progresif oleh glomerulus, tidak direabsorbsi dan tidak
5. Gangguan kongenital dan herediter: disekresi oleh tubulus ginjal. Klirens yaitu
- Penyakit ginjal polikistik volume darah atau plasma yang dibersihkan
- Asidosis tubulus ginjal dari bahan tertentu oleh ginjal dalam satu
6. Penyakit metabolik: -Diabetes mellitus satuan waktu. Bahan penanda filtrasi adalah
- Gout bahan endogen dan bahan eksogen. Bahan
- Hiperparatiroid endogen berat molekul kecil seperti Kreatinin,
- Amiloidosis Cystatin-c, ß-2 mikroglobulin, α-1 mikrogobulin
7. Nefropati toksik: dan retinol binding protein. Bahan penanda
- Obat analgesik filtrasi eksogen yakni inulin, PAH/ Para amino
- Nefropati timah hipurat, iohexol, DTPA, 99m Tc-diethylene
8. Nefropati obstruksi: triamine penta acetic acid, 51- Cr-EDTA dan 125
- Traktus urinarius bagian atas: batu, I-iothalamate. (6)
2
neoplasma, fibrosis, retroperitoneal GFR <60 ml/menit/1,73 m ≥ 3 bulan
- Traktus urinarius bagian bawah: hipertropi diklasifikasikan sebagai penyakit ginjal kronis.
prostat, striktura uretra, Anomali Ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50%.
kongenital Derajat penurunan laju filtrasi glomerulus pada
- Pemantauan pemeriksaan laboratorium penyakit ginjal kronik, dibagi menjadi 5 stadium
penyakit ginjal kronis membantu diagnosis (6):
kerusakan ginjal pada pasien, manajemen
15
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
1. Stadium 1: Kerusakan ginjal dengan GFR ≥ Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal
90 ml/menit/1,73 m2 Disease):
2. Stadium 2: Kerusakan ginjal dengan GFR (mL / mnt / 1,73 m2) = 186 X
penurunan GFR ringan 60 – 89 (kreatinin serum) -1,154 X (umur) – 0,203 X (0,742) X
ml/menit/1,73 m2 (1,210)
3. Stadium 3: Penurunan GFR sedang 30 – 59
2
ml/menit/1,73 m Bersihan suatu zat / Klirens
4. Stadium 4: Penurunan GFR berat 15 – 29 Klirens dari suatu zat adalah volume dari
2
ml/menit/1,73 m plasma yang dibersihkan dari zat tersebut
5. Stadium 5: Gagal ginjal, GFR < 15 dalam satuan waktu. Zat yang difiltrasi
2
ml/menit/1,73 m atau sudah menjalani kemudian tidak direabsorbsi maupun disekresi
dialisis adalah inulin, nilai bersihannya sesuai dengan
laju filtrasi glomerulus. Pemeriksaan laju filtrasi
Kreatinin glomerulus dengan menggunakan zat inulin
Kreatinin merupakan zat nonprotein kurang praktis sehingga tidak dilakukan untuk
nitrogen sebagai hasil metabolisme kreatin pemeriksaan rutin(11,12).
otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak Klirens kreatinin merupakan cara yang
mengalami reabsorbsi ditubulus ginjal, tetapi banyak digunakan untuk mengukur GFR. Klirens
sejumlah kecil kreatinin disekresi oleh sel kreatinin secara konvensional memerlukan
tubulus ginjal. Kadarnya di plasma relatif pengumpulan urine 24 jam. Hal ini menjadi
konstan dan klirensnya dapat diukur sebagai kendala bila nilai GFR perlu segera diketahui,
indikator laju filtrasi glomerulus. Produksi juga bila ada berbeda pemahaman mengenai
kreatinin berdasarkan masa otot, usia, jenis pengumpulan urine 24 jam yang benar. Untuk
kelamin dan berat badan. Ekskresi harian menghindari kesalahan penilaian karena
dipengaruhi diet kreatinin dari daging. pengumpulan urine, digunakan rumus bersihan
Peningkatan kadar kreatinin berhubungan tanpa pengukuran kadar kreatinin urine yakni
dengan fungsi ginjal terutama glomerulus. rumus Cockcroft-Gault(13,14).
Kadar kreatinin darah memiliki variasi diurnal Rumus Klirens kreatinin (mL/menit) =
karena asupan makanan, sebaiknya darah Kreatinin urine (mg/dL) X volume urine (ml/menit) X 1,73
diambil dalam keadaan puasa. Meski demikian Kreatinin serum (mg/dL) X A (m2)
penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi
glomerulus masih banyak yang menggunakan A= luas permukaan tubuh dengan
kreatinin karena biaya yang lebih murah, menggunakan nomogram Du Bois.Klirens
mudah dilakukan dan klirens kreatinin adalah kreatinin normal 100 – 180 ml/menit. Nilai
parameter yang baik untuk menilai fungsi ginjal dibawah 90 ml/menit (dikoreksi terhadap luas
(7,8). permukaan tubuh) menunjukkan penurunan
Metode analisis yang digunakan untuk laju filtrasi glomerulus.
mengukur kreatinin adalah metode kimia Zat yang difiltrasi kemudian direabsorbsi
berdasarkan reaksi Jaffe, metode enzimatik dan dan dikatabolisir ditubulus dan secara tidak
High performance liquid chromatography langsung menggambarkan GFR adalah Cystatin
(HPLC). Nilai kreatinin serum normal: 0,6 – 1,3 C (CysC).
mg/dL. Kreatinin serum > 1,5 mg/dL
menunjukkan telah adanya gangguan fungsi Cystatin–C (Cys C)
ginjal. Cystatin–C suatu proteinase cysteine,
Beberapa rumus yang digunakan untuk termasuk gen cystatin non glycosylated tipe II
memperkirakan laju filtrasi glomerulus melalui terdiri dari 122 asam amino dengan berat
kadar kreatinin darah adalah (9, 10, 11) molekul 13,3 KD dengan isoelectric point 9,0
(bermuatan positif saat berada di glomerulus),
Rumus Cockcroft – Gault =
hal ini menyebabkan Cystatin–C mudah
GFR = ( 140 – usia ) X berat badan X 1,73
melewati membran basalis yang bermuatan
72 X Pcr X A
negatif. Cystatin–C diproduksi oleh sel berinti
Pcr = kadar kreatinin darah (mg/dL) dengan laju relatif tetap dan tidak mengenal
2
A = luas permukaan tubuh (m ) variasi diurnal, ditemukan pada semua cairan
Untuk wanita rumus tersebut dikalikan dengan tubuh, difiltrasi oleh glomerulus dan
0,85 yang merupakan koreksi 15% dari pria. direabsorbsi ditubulus, mengalami katabolisme
16
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
di tubulus proksimalis, sehingga tidak ada yang pada penyakit hati karena amoniak tidak
kembali ke darah Cystatin-C tidak dipengaruhi diubah menjadi urea, sehingga peningkatan
usia, luas permukaan tubuh dan jenis kelamin. amoniak mengakibatkan ensefalopati
Dengan demikian, kadar Cystatin–C dalam hepatik(7,8).
darah dapat dipakai untuk menggambarkan Urea pernah digunakan untuk
GFR. Metode pengukuran kadar Cystatin–C pengukuran laju filtrasi glomerulus, namun
menggunakan radioimmunoassay, enzyme sekarang tidak digunakan lagi karena kadar
immunoassay, fluorescent immunoassay, urea selama 24 jam dalam darah tidak tetap,
particle-enhanced turbidimetric assay, Latex dipengaruhi oleh ekskresi ginjal, makanan dan
penia particle-enhanced immunonephelometric pembentukannya di hati dan nilai klirens urea
assay. Kadar Cystatin–C tertinggi pada bayi usia lebih rendah dari nilai laju filtrasi glomerulus.
satu hari, kemudian menurun selama empat Pengukuran urea dilakukan pada filtrat
bulan pertama karena proses pematangan bebas protein dari serum berdasarkan
ginjal. Setelah usia satu tahun kadar Cystatin–C pengukuran jumlah nitrogen, yang terbanyak
menjadi sama dengan usia dewasa(15). Nilai digunakan adalah metode kinetik yang
batas yang menunjukkan adanya gangguan GFR menggabungkan reaksi urea dengan L-
= 1,4 mg/L. Dengan cara Latex Penia kadar glutamate dehidrogenase (GLDH) dan
Cystatin–C darah = 0,37 – 1,33 mg/dl. mengukur tingkat Nikotinamide adenine
Rumus untuk memperkirakan GFR dinukleotide (NADH tereduksi) pada 340 nm(7).
berdasarkan kadar Cystatin – C serum adalah: Reaksi enzimatik dari urea adalah sebagai
berikut:
80,35 Nilai rujukan urea nitrogen pada serum
GFR = ----------------------------------- – 4,32 atau plasma adalah 20 – 30 mg/dL dan BUN 10
Kadar Cystatin – C (mg/dL) – 20 mg/dL. Peningkatan kadar urea plasma
karena retensi nitrogen akibat gangguan fungsi
UREA ginjal dikenal sebagai azotemia.
17
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
menggunakan elektrode gelas yang hanya bisa dikatabolisme menjadi alantoin yang larut air.
ditembus oleh ion K+ dan dengan metode Adenosin dan guanin (purin) berasal dari
fotometer enzimatik. Nilai K normal = 3,5 – 5 pemecahan asam nukleat yang diubah menjadi
meq/L. asam urat di dalam hati. Pengangkutan asam
urat dalam plasma dari hati menuju ginjal dan
Natrium (Na) diginjal di filtrasi oleh glomerulus. Reabsorbsi
Pada penyakit ginjal kronik terjadi asam urat 98 – 100% terjadi di tubulus
proksimalis. Sebagian kecil asam urat disekresi
kegagalan peningkatan ekskresi NaCl untuk
oleh tubulus distal dan 70% diekskresikan ke
menyesuaikan dengan peningkatan dietnya.
Secara fisik, seringkali menyebabkan urine. Asam urat yang tidak mengalami ekskresi
penumpukan cairan ekstrasesuler berupa akan masuk ke system pencernaan dipecah
hipertensi, edema perifer, kongesti vaskuler, oleh enzim dari bakteri. (7, 8)
kardiomegali. Stadium lebih lanjut penderita Penyakit ginjal kronik menyebabkan
kehilangan NaCl karena terjadi kerusakan kadar asam urat serum meningkat karena
adanya gangguan fungsi filtrasi, sekresi ginjal
collecting ducts sehingga volume ekstraseluler
menurun dan hipotensi. Metode penentuan dan ekskresi asam urat melalui urine yang
natrium menggunakan elektrode ion menurun. Metode analisis pemeriksaan asam
selektif/ISE, fotometri nyala dan fotometri urat yaitu dengan metode kimia asam
serapan. Nilai normal natrium = 136 – 146 fosfotungstat dan metode enzimatik
meq/L. spektrofotometri.
Nilai rujukan asam urat darah dengan
metode urikase adalah:
Kalsium (Ca) 1. Wanita dewasa = 2,6 – 6 mg/dl (0,16 – 0,36
Penurunan kadar kalsium total pada mmol/L)
penyakit ginjal kronik merangsang sekresi 2. Pria dewasa = 3,5 – 7,2 mg/dl (0,21 –
hormon paratiroid dan katabolisme hormon 0,43 mmol/L)
paratiroid terbanyak di ginjal, sehingga terjadi
3. Anak – anak = 2 – 5,5 mg/dl (0,12 – 0,33
hiperparatiroid sekunder. Penderita penyakit
mmol/L)
ginjal kronik resisten terhadap hormon
paratiroid untuk menormalkan kalsium karena
penurunan efek 1,25 (OH) D3 pada aktifitas
KESEIMBANGAN ASAM BASA DARAH
hormon paratiroid di tulang. Penentuan klorida
menggunakan metode titrasi, elektrode ion Gangguan keseimbangan asam basa
selektif metode kolorimetri-amperometrik dan darah pada penyakit ginjal kronik adalah
metode fotometri/enzimatik. Nilai normal asidosis metabolik yang menyebabkan keluhan
kalsium total plasma/serum: 8,8 – 10,2 mg/dl. mual, lemah, airhunger dan drowsiness.
Asidosis metabolik dapat disebabkan oleh
Fosfat (P) karena ekskresi asam yang menurun atau
Terjadi penurunan ekskresi fosfat pada terganggu, jumlah produksi asam organik yang
nefron menyebabkan peningkatan kadar fosfat melebihi jumlah ekskresinya. Pemasukan asam
dari luar dan produksinya dalam tubuh lebih
serum. Nilai normal fosfat plasma/serum
besar dibanding ekskresi total di ginjal.
normal: 2,5 – 4,5 mg/dl.
Kegagalan fungsi ginjal menyebabkan
penurunan pembentukan amonia dan ion – ion
Magnesium hidrogen di dalam tubulus serta kehilangan
Peningkatan Mg serum terjadi saat GFR
natrium disertai retensi asam yang terikat
< 20 ml/menit karena ekskresi menurun dan
(fosfat dan sulfat) dan asam organik oleh
absorbs di usus tetap normal. Nilai normal glomerulus. Pada asidosis metabolik kronik
magnesium serum: 0,6 – 1,1 mmol/L. terjadi mekanisme penambahan buffer dari
tulang (kalsium fosfat, kalsium karbonat)
ASAM URAT sehingga bikarbonat plasma relatif stabil.
Akibat hilangnya penyimpanan buffer di tulang
Asam urat merupakan produk akhir dari tersebut menyebabkan renal
metabolisme purin. Asam urat bersifat kurang osteodystrophy(16).
larut air, oleh enzim urikase / urat oksidase
18
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
keadaan sebagai akibat dari peningkatan aliran sentrifus plastik berujung kerucut dengan
darah melalui glomerulus seperti aktifitas fisik volume 12 mL, kemudian disentrifus dengan
yang berat, dehidrasi berat, intake protein kecepatan 450 g selama 5 menit bila
meningkat, kedinginan, febris, kehamilan, menggunakan metode National Committee for
ketegangan mental. Proteinuria organik dapat Clinical Laboratory Standards (NCCLS) atau
secara pre renal proteinuria (pre glomerular menggunakan 10 mL urine dengan kecepatan
proteinuria), renal proteinuria (glomerular dan 500 g selama 5 menit metode Japanese
tubular proteinuria) dan post renal proteinuri Committee for Clinical Laboratory Standards
karena kerusakan jaringan saluran kencing (JCCLS).
bagian bawah(17, 18). Konversi kecepatan sentrifus dari g ke
Pemeriksaan protein urine dapat RPM dengan diketahui jari-jari (r) sentrifus
dilakukan secara kuantitatif, semikuantitatif menggunakan normogram atau rumus:
dan kualitatif. Tes kuantitatif protein urine
secara turbidimetri, metode biuret, metode -7
G = 118 X 10 X r X RPM
Folin-Lowry, Esbach dengan urine tampung 24
jam dan carik celup menggunakan fotometer g
1/2
20
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
PENYAKIT GINJAL STADIUM AKHIR Tahap akhir dari penyakit ginjal kronik
(SINDROMA UREMIA) adalah ESRD / End stage renal disease (GGT=
gagal ginjal terminal), yang ditandai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus hingga
Penyakit ginjal progresif dengan laju kurang dari 15% dan adanya gejala uremia
filtrasi glomerulus yang turun, kurang dari 10%,
berupa iritasi traktus gastrointestinalis karena
gejala klinis uremia mulai terlihat. Gejala klinis
perubahan urea ke ammonia, gangguan mental
berupa iritasi traktus gastrointestinalis karena dan neurologik, perubahan hematologi dan
perubahan urea ke amonia, gangguan mental perubahan vascular, twitching, napas bau
dan neurologik (nyeri kepala, sedatif), busuk atau bau amoniak. Pada tahap ini pasien
perubahan hematologi dan perubahan memerlukan terapi pengganti seperti
vaskular, twitching, napas bau busuk atau bau transplantasi ginjal atau dialisis.
amoniak. Berikut ini gejala sindroma urea (1,2)
1. Gangguan elektrolit dan asam basa darah
- Kalium : hiperkalemia
DAFTAR PUSTAKA
- Natrium : retensi natrium
1. Mc Phee SJ, Lingappa V, Ganong W, 2003.
- Kalsium : hipokalsemia
Pathophysiology of Disease An
- Fosfat : hiperfosfatemia
Introduction to Clinical Medicine. Mc
- Magnesium : meningkat th
- Aluminium : meningkat Graw-Hill Companies. 4 ed. 444-469.
- Asidosis metabolik 2. Price S, Wilson L, 2006. Pathophysiology
2. Kelainan kardiovaskular Clinical Concepts of Disease Processes.
th
- Mempercepat timbulnya aterosklerosis EGC. 6 ed. 865 – 1004.
- Hipertensi 3. Akbari, Swedko, Clark, et al, 2004. Text at
- Perikarditis Archives of Internal Medicine. Arch Intern
- Gangguan fungsi myokardia Med. Sep; 164 (16): 1788-92.
3. Kelainan hematologi 4. A National Clinical Guideline, 2008.
- Anemia Diagnosis and Management of Chronic
- Gangguan fungsi lekosit Kidney Disease. 1 – 57. www.sign.ac.uk
- Perdarahan 5. John R, Webb M, Young A, 2004.
4. Gangguan saluran cerna Unreferred Chronic Kidney Disease. Am J
Kidney Dis. 43 (5): 825 – 835.
- Anoreksia, mual, muntah, gastroparesis
6. Coresh. J, 2003. Prevalence of Chronic
- Perdarahan saluran pencernaan
- Gangguan indera pengecapan Kidney Disease and Decreased Kidney
5. Renal osteodystrophy Function. Am J Kidney Dis. 41: 1 – 12.
- Osteomalacia 7. Burtis C, Ashwood E, 2001. Fundamental
- Osteitis fibrosa (hiperparatiroid of Clinical Chemistry. W.B. Saunders
th
sekunder) Company.5 ed. 699 – 715.
8. Bishop M, Fody E, Schoeff L, 2005. Clinical
- Osteosclerosis
Chemistry Principles. Lippincott Williams
- Osteoporosis th
& Wilkins. 5 Ed. 219 – 230.
6. Kelainan neurologi
- Sistem syaraf pusat: sulit tidur, 9. Wallach J, 2007. Interpretation of
kelelahan, gejala psikologi Diagnostic Tests. Lippincott Williams &
th
- Neuropati perifer Wilkins. 8 Ed. 816 – 818.
7. Miopati: terutama otot-otot proksimal 10. Schrier R, 2005. Manual of Nephrology.
8. Gangguan toleransi karbohidrat: resistensi Lippincott William & Wilkins A Wolter
th
insulin di perifer, hipoglikemia Kluwer Company. 6 Ed. 117 – 186.
9. Gangguan endokrin dan metabolik 11. Levey A.S, Coresh J, Balk E, et al, 2003.
- Gangguan toleransi glukosa National Kidney Foundation Practice
- Gangguan fertilitas Guidelines for Chronic Kidney Disease.
- Hipotermi Ann Intern Med. 139: 137 – 147.
10. Hiperurikemia
11. Pruritus, kalsifikasi jaringan lunak, bekuan
uremia
21
ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online)
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1) : 14-22
22