Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN SITEM PERKEMIHAN CHRONIC KIDNEY DISEASE
(CKD) DI RUANG IGD RSAL Dr. MIDIYATO SURATANI
TANJUNGPINANG

Disusun oleh :
Evi Apriani, S. Kep
122314075

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH


TANJUNGPINANG PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2024

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

Masriyati, S. Kep, Ns Yusnaini Siagian, S. Kep, Ns, M. Kep


LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

I. Konsep Dasar Medis


A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) muncul dari banyak jalur penyakit
heterogen yang mengubah fungsi dan struktur ginjal secara
permanen, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Diagnosis
CKD didasarkan pada penurunan fungsi ginjal kronis dan
kerusakan struktural ginjal. Indikator terbaik yang tersedia untuk
fungsi ginjal secara keseluruhan adalah laju filtrasi glomerulus
(GFR), yang sama dengan jumlah total cairan yang disaring melalui
semua nefron yang berfungsi per unit waktu (Webster et al., 2017).

Fungsi ginjal normal untuk mengatur volume cairan tubuh dan


elektrolit, menjaga pH, memusatkan urin di atas plasma,
mengeluarkan hormon penting (eritropoietin [EPO] dan renin),
mengontrol tekanan darah, dan mengeluarkan produk limbah,
metabolit, toksin, dan obat-obatan. Chronic Kidney Disease
didefinisikan sebagai fungsi ekskresi, pengaturan, dan endokrin
yang tidak memadai dari ginjal yang tidak dapat dijelaskan oleh
gangguan volume ekstraseluler, konsentrasi ion anorganik, atau
kurangnya produk sintetis ginjal yang diketahui. Uremia atau
sindrom uremik adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kelainan klinis, metabolik, dan hormonal yang
menyertai gagal ginjal. Sindrom uremik didiagnosis ketika laju
filtrasi glomerulus ginjal (GFR) menjadi sama atau kurang dari 15
ml / menit. Pada penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), GFR sama
atau kurang dari 7% dari nilai normal yang memerlukan terapi
penggantian ginjal dengan dialisis atau transplantasi ginjal secara
teratur (Hamed, 2019).
CKD didefinisikan sebagai adanya kelainan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan. Ini
mencakup 1 atau lebih dari berikut ini: (1) GFR kurang dari 60 mL
/ menit / 1,73 m2; (2) albuminuria (yaitu, albumin urin 30 mg per
24 jam atau rasio albumin-kreatinin urin (ACR) 30 mg / g); (3)
kelainan pada sedimen urin, histologi, atau pencitraan yang
menunjukkan kerusakan ginjal; (4) gangguan tubulus ginjal; atau
(5) riwayat 7 transplantasi ginjal. Jika durasi penyakit ginjal tidak
jelas, penilaian ulang harus dilakukan untuk membedakan CKD
dari cedera ginjal akut (perubahan fungsi ginjal terjadi dalam 2-7
hari) dan penyakit ginjal akut (kerusakan ginjal atau penurunan
fungsi ginjal selama 3 bulan). Evaluasi untuk etiologi CKD harus
dipandu oleh riwayat klinis pasien, pemeriksaan fisik, dan temuan
urin (Chen et al., 2019).

B. Anatomi Fisiologi

Sumber: Safitri Dewi, 2020


Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang
peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga
otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan
psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal).
Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal
pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm,
tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa.
Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang
lebih beratnya antara 120-150 gram.
Ginjal Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang
menghadap ke dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan,
ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal
laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan
biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk
memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang
tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak
perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut
kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang
berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla
berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut
tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk
konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe,
ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima
urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks
renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua
atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian
segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi
oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan
duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid
membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-
1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal.
Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus
pengumpul.
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat
banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah
“menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah
1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi
cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus.
Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar
dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi ginjal adalah :
1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis
atau racun, mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari
cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir
dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
2. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
3. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
4. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan
sel darah merah. Tahap

C. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar
kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 %
jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat,
dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan
stadium dari tingkat penurunan LFG :
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73
m2
2. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan
LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2
5. Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2
atau gagal ginjal terminal.
Klasifikasi dari derajat gagal ginjal kronis untuk mengetahui tingkat
prognosanya (Prabowo,Eko.2014)

Stage Deskripsi GFR Keterangan

Kidney damage with Disertai dengan albuminuria


1 normal or increase of ≥ 90 yang persisten
GFR
Kidney damage with Disertai dengan peningkatan
2 mild decrease GFR 60-89 serum kreatinin dan
albuminuria
Moderate decrease of
3 30-59
GFR
Severe decrease of Persiapan untuk terapi ginjal
4 15-29
GFR
Kidney Failure Terapi ginjal permanen
<15 (or
5 (hemodialisa) / transplantasi
dialysis)
ginjal

D. Etiologi
Penyebab CKD mungkin sulit untuk dilihat tetapi umumnya
diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya penyakit sistemik
dan lokasi kelainan anatomi. Contoh penyakit sistemik termasuk
diabetes, gangguan autoimun, infeksi kronis, keganasan, dan
kelainan genetik di mana ginjal bukan satu-satunya organ yang
terpengaruh. Lokasi anatomi dibagi menjadi penyakit glomerulus,
tubulointerstitial, vaskular, dan kistik / kongenital (Chen et al.,
2019).
Penyebab CKD menurut Romagnani et al (2017), sebagai berikut :
1. Genetika
Ada banyak penyebab tunggal dan poligenik CKD. Beberapa,
seperti penyakit yang mengakibatkan kelainan bawaan pada
ginjal dan saluran kemih, terbukti sejak lahir atau masa kanak-
kanak, dan yang lainnya biasanya muncul di kemudian hari,
seperti penyakit ginjal polikistik dominan autosom. Orang
dengan penyebab genetik CKD mewakili sedikit dari jumlah
total pasien CKD. Faktor genetik lain berkontribusi pada
kerentanan yang diturunkan terhadap CKD dan
perkembangannya, didukung oleh pengelompokan keluarga
penyakit ginjal, perbedaan prevalensi beberapa penyebab CKD
di seluruh kelompok ras atau etnis, dan variasi dalam agregasi
keluarga berdasarkan ras.

2. Diabetes.
Diabetes adalah kondisi umum yang terkait dengan
hiperfiltrasi glomerulus masif, terbukti dari peningkatan GFR
total dan renomegali. Hiperglikemia mendorong reabsorpsi
natrium / glukosa yang digerakkan oleh kotransporter
(SGLT2) di dalam tubulus proksimal, suatu proses yang
kemudian menonaktifkan umpan balik tubuloglomerular dan
mengaktifkan RAS di makula densa di tubulus ginjal. Hasilnya
adalah induksi dilatasi permanen arteriol aferen dan
vasokonstriksi arteriol eferen - meningkatkan GFR (nefron
tunggal) dan GFR total.
3. Kegemukan.
Ukuran glomerulus yang lebih besar pada obesitas sedang
(indeks massa tubuh (BMI) 30-35kg per m2) tetapi sebaliknya
pada individu yang sehat menunjukkan peningkatan GFR
(nefron tunggal). Secara umum, hubungan antara obesitas dan
hasil ginjal yang buruk tetap ada bahkan setelah penyesuaian
untuk tekanan darah tinggi dan diabetes, menunjukkan bahwa
hiperfiltrasi glomerulus yang didorong oleh obesitas secara
langsung berkontribusi pada hilangnya nefron. Berbagai
hormon yang berasal dari jaringan lemak serta peradangan
sistemik yang berhubungan dengan obesitas juga dapat
berkontribusi. Obesitas morbid (BMI> 35kg per m2) atau
obesitas sedang yang dikombinasikan dengan faktor lain
(seperti varian genetik, jumlah nefron rendah atau usia lanjut)
dapat menyebabkan perkembangan proteinuria, FSGS
sekunder dan CKD progresif
4. Kehamilan.
Trimester terakhir kehamilan melibatkan ekspansi volume
(yaitu peningkatan volume darah) yang meningkatkan GFR
total sebesar 50%, yang menunjukkan peningkatan GFR
(nefron tunggal). Adaptasi fisiologis ini bersifat sementara dan
tanpa konsekuensi pada wanita dengan nomor nefron normal.
Namun, pada wanita dengan endowment nefron rendah atau
cedera sebelumnya terkait CKD (seperti pada wanita dengan
lupus nephritis), hiperfiltrasi glomerulus terkait kehamilan
memperburuk hiperfiltrasi glomerulus nefron sisa dan
hipertrofi glomerulus. Pada beberapa pasien, hiperfiltrasi
glomerulus terkait kehamilan pada trimester akhir melewati
ambang kompensasi dan memicu perkembangan CKD yang
cepat, yang muncul dengan proteinuria dan hipertensi arteri -
suatu kondisi yang dikenal sebagai preeklamsia. CKD yang
sudah ada sebelumnya selama kehamilan merupakan faktor
risiko yang terkenal untuk preeklamsia, eklamsia (di mana
terjadi kejang), kelahiran prematur, hambatan pertumbuhan
intrauterin, dan kematian neonatal.
5. Acute Kidney Injury (AKI)
AKI adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh kerusakan
akut fungsi ginjal baik karena gangguan prerenal (misalnya,
syok hipovolemik), intrarenal (cedera parenkim ginjal
langsung) atau postrenal (obstruksi saluran kemih). AKI
mengakibatkan akumulasi limbah metabolik dan racun,
komplikasi uremik berikutnya, dan kemungkinan kegagalan
organ lain. AKI sangat lazim pada pasien rawat inap dan dapat
menyiratkan kehilangan jumlah nefron yang ireversibel.
6. Penuaan.
Penurunan GFR seiring bertambahnya usia mungkin terkait
dengan penuaan fisiologis, faktor genetik, hipertensi arteri,
penyakit yang menyiratkan cedera ginjal, peningkatan berat
badan atau kombinasi dari faktor-faktor ini. Secara histologis,
penuaan ginjal muncul sebagai glomerulosklerosis global,
atrofi masing-masing nefron dan fibrosis interstisial
berikutnya.

E. Manifestasi Klinis
Karena kemampuan kompensasi ginjal, gejala muncul secara
bertahap dan mungkin tidak menjadi jelas sampai CKD berlanjut.
Pada tahap awal (1 hingga 3), pasien mungkin asimtomatik atau
memiliki gejala nonspesifik yang halus yang dikaitkan dengan
kondisi lain. Pada saat pasien mengalami gejala yang jelas (stadium
3 hingga 5), biasanya 80% hingga 90% fungsi ginjal telah rusak.
(Stadium 3 CKD dapat dipertimbangkan secara dini atau terlambat
tergantung pada banyak faktor, termasuk hasil tes diagnostik dan
bagaimana keluhan pasien) (Chicca, 2020).
Manifestasi klinis menurut Webster et al (2017), adalah
sebagai berikut :
1. Perubahan kognitif
CKD meningkatkan risiko gangguan kognitif hingga 65%,
kognisi dipengaruhi pada awal CKD tetapi keterampilan yang
berbeda menurun pada tingkat yang berbeda, bahasa dan
perhatian mungkin sangat terpengaruh.
2. Gejala gastrointestinal
Anoreksia, muntah, dan gangguan rasa dapat terjadi dengan
CKD lanjut. Penyebabnya belum sepenuhnya dipahami, dan
mungkin memiliki komponen genetik. Bau uremik bisa terjadi
pada CKD lanjut, yang disebabkan oleh pemecahan urea oleh
saliva
3. Perubahan keluaran urin
Poliuria di mana kemampuan konsentrasi tubular terganggu,
oliguria, nokturia sebagai akibat dari gangguan diuresis atau
edema zat terlarut. Urine yang terus menerus berbusa bisa
menandakan proteinuria
4. Hematuria
Perdarahan glomerulus akibat cedera imun pada dinding
kapiler glomerulus. Dibedakan dari perdarahan saluran bawah
dengan mikroskop yang menunjukkan sel darah merah
dysmorphic dan gips
5. Proteinuria
Kerusakan tubular menyebabkan proteinuria derajat rendah
biasanya 3,5 g dianggap sebagai kisaran nefrotik
6. Edema perifer
Karena retensi natrium ginjal, diperburuk oleh penurunan
gradien onkotik pada sindrom nefrotik, karena
hipoalbuminemia
7. Hematologi / kardiovaskular
Kelelahan, nyeri dada, mimisan, kaki dan pergelangan kaki
bengkak, sakit kepala, merasa kedinginan, pusing, kelemahan
8. Pernapasan
Sesak napas, nyeri saat batuk, batuk produktif. Hal ini dapat
disebabkan oleh salah satu dari: kelebihan cairan, anemia,
kardiomiopati, atau penyakit jantung iskemik yang
tersembunyi.
9. Integumen
Gatal yang terus-menerus, ruam, memar. Biasa terjadi pada
CKD lanjut, penyebab gatal tidak sepenuhnya dipahami tetapi
mungkin melibatkan deregulasi respons imun dan sistem
opioid
10. Muskuloskeletal
Nyeri sendi, otot berkedut dan kram. Kram biasanya
memburuk di malam hari, dan kemungkinan besar disebabkan
oleh iritasi saraf yang disebabkan oleh kelainan biokimia dari
CKD

F. Patofisiologi
Manifestasi patologis umum terakhir dari CKD adalah fibrosis
ginjal. Fibrosis ginjal merupakan penyembuhan luka yang tidak
berhasil pada jaringan ginjal setelah cedera kronis dan
berkelanjutan, dan ditandai dengan glomerulosklerosis, atrofi
tubular, dan fibrosis interstisial. Glomerulosklerosis dipicu oleh
kerusakan dan disfungsi endotel, proliferasi sel otot polos dan sel
mesangial, dan kerusakan podosit yang biasanya melapisi membran
basal glomerulus (Webster et al., 2017).
Hipertrofi nefron sisa dipicu oleh peningkatan terus-menerus GFR
(singlenephron) dan tekanan filtrasi (yaitu, hipertensi glomerulus)
melintasi penghalang filtrasi glomerulus, yang menunjukkan
hiperfiltrasi glomerulus. Hiperfiltrasi glomerulus dan hipertensi
glomerulus bersama-sama menginduksi ekspresi transformasi faktor
pertumbuhan dan reseptor faktor pertumbuhan epitel, yang
mendorong hipertrofi nefron yang, pada gilirannya, mengurangi
hipertensi glomerulus dengan meningkatkan permukaan filtrasi
(Romagnani et al., 2017).
Faktor risiko glomerulosklerosis progresif termasuk hipertensi,
dislipidemia, dan merokok. Transformasi faktor pertumbuhan ß1
dan faktor pertumbuhan lainnya (termasuk faktor pertumbuhan
yang diturunkan trombosit, faktor pertumbuhan fibroblast, faktor
nekrosis tumor, dan interferon gamma) merangsang sel mesangial
untuk mundur ke mesangioblas (sel mesangial yang belum matang).
Mesangioblas ini mampu menghasilkan matriks ekstraseluler yang
berlebihan, menyebabkan ekspansi mesangial – tanda awal
glomeruloscelrosis (apendiks). Peregangan podosit meninggalkan
area membran basal glomerulus yang terkena kapsul Bowman yang
membentuk adhesi, sehingga berkontribusi pada glomerulosklerosis
(Webster et al., 2017).
Kehilangan nefron melibatkan respons penyembuhan luka
nonspesifik yang mencakup fibrosis interstisial. Infiltrasi sel imun,
albuminuria dan, pada diabetes, glukosuria, mengaktifkan sel epitel
tubular proksimal, mengakibatkan sekresi mediator proinflamasi
dan profibrotik yang meningkatkan inflamasi dan fibrosis
interstisial. Fibrosis interstisial tampaknya mendorong cedera
nefron lebih lanjut melalui promosi iskemia ginjal, tetapi - seperti
pada organ lain - pembentukan parut mungkin juga secara mekanis
menstabilkan nefron yang tersisa. Beban kerja transpor tubular yang
meningkat dari nefron sisa juga melibatkan metabolisme anaerobik,
asidosis intraseluler dan stres retikulum endoplasma, yang memicu
cedera sel tubular sekunder (Romagnani et al., 2017).
Ginjal secara metabolik sangat aktif dengan kebutuhan oksigen
yang tinggi. Pada awal cedera CKD, kapiler interstisial menjadi
semakin permeabel (sindrom kebocoran kapiler ginjal) yang berarti
bahwa banyak protein plasma yang biasanya tidak pernah mencapai
interstitium ginjal dapat melakukannya dan memicu respons
inflamasi. Penurunan progresif pada luas permukaan kapiler
interstisial menyebabkan hipoksia di dalam ginjal dan memengaruhi
fungsi sel yang biasanya terlibat dalam degradasi kolagen yang
disintesis (dan terdegradasi oleh metaloproteinase matriks, protease
serin, dan enzim lisosom) di ginjal yang sehat. Kolagen (terutama
kolagen fibrillar I dan II), protein membran dasar, proteoglikan, dan
glikoprotein disimpan dalam ginjal yang rusak secara kronis; area
interstisium fibrotik yang terkena berhubungan erat dengan fungsi
ginjal dan prognosis ginjal jangka panjang (Webster et al., 2017).
G. Pathway

Sumber : Nurarif, 2019


H. Komplikasi
1. Anemia
Penyebab anemia pada CKD adalah multifaktorial dan
termasuk penurunan produksi eritropoietin ginjal,
berkurangnya umur sel darah merah, gangguan penyerapan zat
besi usus yang dimediasi oleh hepcidin (pengatur utama
sirkulasi zat besi) dan kehilangan darah berulang pada pasien
pada hemodialisis. Oleh karena itu, anemia CKD biasanya
normositik (dengan sel darah merah berukuran normal) dan
normokromik (dengan kadar hemoglobin normal di dalam sel
darah merah (Romagnani et al., 2017).
2. Mineral Bone Disorder
Chronic kidney disease–mineral bone disorder (CKD-MBD)
meliputi kelainan dalam metabolisme mineral, struktur tulang
dan kalsifikasi ekstraskeletal yang terjadi dengan CKD
progresif. Pasien dengan CKD ringan (CKD G2) dapat
mengalami penurunan serum 25 hydroxyvitamin D dan / atau
1,25 dihydroxyvitamin D₃ level, dan peningkatan serum
parathyroid hormone (PTH) dan fibroblast growth factor 23
(FGF23) level - hormon utama yang mengatur tulang integritas
dan homeostasis mineral (kalsium dan fosfat). Pasien dengan
CKD-MBD lanjut mungkin mengalami nyeri tulang, kesulitan
berjalan dan / atau kelainan bentuk tulang serta risiko patah
tulang yang lebih tinggi. Pada anak-anak, retardasi
pertumbuhan adalah manifestasi umum dari MBD serta
perubahan terkait CKD pada sistem hormonal (Romagnani et
al., 2017).
3. Hyperkalemia
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) berisiko lebih
besar mengalami hiperkalemia, yang berkontribusi pada
peningkatan risiko aritmia jantung dan henti jantung. Ginjal
memainkan peran penting dalam mempertahankan
homeostasis kalium. Asupan kalium diet rata-rata 50-100 mEq
setiap hari dalam diet Barat. Karena ekskresi feses mewakili
10% dari asupan ini, ekskresi ginjal merupakan mekanisme
utama untuk menjaga keseimbangan kalium. Dalam keadaan
sehat, 80-90% dari beban kalium yang disaring diserap
kembali di tubulus proksimal dan lengkung Henle, dengan
ekskresi kalium urin total ditentukan terutama oleh sekresi
luminal di nefron distal. Untuk alasan ini, pasien dengan CKD
dapat mempertahankan fungsi ekskresi kalium normal sampai
perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) sangat terganggu.
Namun, pasien dengan CKD yang lebih lanjut, dengan
komplikasi asidosis metabolik dan mereka yang diobati
dengan penghambat sistem renin-angiotensinaldosteron
(RAASis) mungkin mengalami penurunan ekskresi kalium
akut dan / atau kronis, dengan risiko selanjutnya untuk
mengembangkan hiperkalemia (Seliger, 2019).
4. Metabolic Acidosis
Asidosis metabolik terkait dengan penurunan ekskresi
amonium ginjal total yang terjadi ketika GFR menurun
menjadi 300 mg/g) dibandingkan pada populasi referensi tanpa
penyakit ginjal. Sementara risiko kejadian kardiovaskular
aterosklerotik konvensional meningkat dengan CKD, sebagian
besar peningkatan risiko disebabkan oleh patologi non-
aterosklerotik, seperti hipertrofi ventrikel kiri dengan disfungsi
diastolik dan sistolik, penyakit katup, dan kalsifikasi arteri
(Bello et al., 2017).
5. Hipertensi
Hipertensi tetap menjadi salah satu komplikasi CKD yang
paling merusak dan diperkirakan berkontribusi pada
percepatan penurunan progresif fungsi ginjal, penyakit
kardiovaskular (CVD), dan kematian terkait. Deteksi dan
kontrol tekanan darah tinggi seringkali kurang optimal dan
perbaikan dapat secara langsung membantu pasien (Bello et
al., 2017).
6. Cardiovascular Disease
Komplikasi kardiovaskular: CVD merupakan penyebab utama
kematian pada pasien CKD, dan prevalensi serta beban
komplikasi ini meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal.
Misalnya, risiko kematian akibat CVD 8,1 kali lipat lebih
besar pada pasien dengan CKD stadium G5 A3 (eGFR 300
mg/g) dibandingkan pada populasi referensi tanpa penyakit
ginjal. Sementara risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik
konvensional meningkat dengan CKD, sebagian besar
peningkatan risiko disebabkan oleh patologi non-
aterosklerotik, seperti hipertrofi ventrikel kiri dengan disfungsi
diastolik dan sistolik, penyakit katup, dan kalsifikasi arteri
(Bello et al., 2017).

I. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
memperkuat diagnosa medis, antara lain :
1. Laboratorium
Menurut Muttaqin & Sari (2011) dan Rendy & Margareth
(2012) hasil pemeriksaan laboratoium pada pasien gagal ginjal
kronik adalah :
a. Urine, biasanya kurang dari 400ml / 24 jam (oliguria) atau
urine tidak ada (anuria). Warna secara abnormal urine
keruh mungkin disebabkan pus, bakteri, lemak fosfat, dan
urat sedimen kotor. Kecoklatan menunjukkan adanya
darah. Berat jenis urine kurang dari 0,015 (metap pada
1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat). Protein,
derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus.
b. Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya
anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normoster
normokrom dan jumlah retikulosit yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan
antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1.
Perbandingan bisa meninggi oleh karena perdarahan
saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid
dan obstruksi saluran kemih. Perbadingan ini berkurang
ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah
protein dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
d. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan.
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut
bersama dengan menurunnya diuresis.
e. Hipoklasemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena
berkurangnya sintesis vitamin D3 pada pasien CKD.
f. Alkalin fosfat meninggi akibat gangguan metabolisme
tulang, terutama isoenzim fosfatase lindin tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya
disebabkan gangguan metabolisme dan diet rendah
protein.
h. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme
karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap
pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigleserida, akibat gangguan metabolisme lemak,
disebabkan peninggian hormon insulin dan menurunnya
lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi
menunjukkan pH yang menurun, HCO3 yang menurun,
PCO2 yang menurun, semua disebabkan retensi asam-
asam organik pada gagal ginjal.
2. Pemeriksaan Diagnostik Lain
Pemeriksaan radiologis menurut Sudoyo, dkk (2011) dan
Rendy & Margareth (2012) meliputi :
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal
(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal, bisa tampak batu radio –
opak, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem
pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai
resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam
urat. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Ultrasonografi (USG) untuk menilai besar dan bentuk
ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih dan prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri,
lokasi dari gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi) serta
sisa fungsi ginjal.
e. Elektrokardiografi (EKG) untuk melihat kemungkinan:
hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda pericarditis, aritmia,
gangguan elektrolit (hiperkalemia).

J. Penatalaksanaan
Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi
merupakan tujuan dari penatalaksanaan pasien CKD (Muttaqin &
Sari, 2011). Menurut Suharyanto dan Madjid (2013) pengobatan
pasien CKD dapat dilakukan dengan tindakan konservatif dan
dialisis atau transplatansi ginjal.
1. Tindakan konservatif Tindakan konservatif merupakan
tindakan yang bertujuan untuk meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal progresif.
2. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi
diet perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup
pengaturan yang cermat terhadap masukan protein, masukan
cairan untuk mengganti cairan yang hilang, masukan natrium
untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan kalium
(Smeltzer & Bare, 2015)
3. Dialisis dan transplatansi Terapi pengganti ginjal dilakukan
pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada LGR kurang dari
15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk. 2011). Dialisis dapat
digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan
klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal (Suharyanto
& Madjid, 2013).
4. Menurut Smeltzer dan Bare (2015) Penatalaksanaan
keperawatan pada pasien CKD yaitu :
a. Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber
potensi ketidakseimbangan cairan pada pasien.
b. Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi
yang memadai dan sesuai dengan batasan regimen terapi.
c. Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien
untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri dan lebih
mandiri.
d. Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan
keluarga terkait penyakit CKD, termasuk pilihan
pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
e. Memberi dukungan emosional.
Penatalaksanaan dialisis yang sering digunakan oleh pasien
CKD stase V adalah hemodialisis. Hemodialisis selain
memberikan efek terapeutik, dapat menimbulkan berbagai
komplikasi salah satunya yaitu kram otot. Kram otot adalah
keadaan otot mengalami kontraksi tidak sadar secara
berlebihan karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
yang dapat menimbulkan rasa sakit (Ulianingrum & Purdani,
2017). Kram otot yang terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya
hemodialisa disebut sebagai kram intradialisis (Ulianingrum
& Purdani, 2017).
Penyebab kram intradialisis tidak diketahui dengan pasti,
namun terdapat beberapa faktor resiko diantaranya rendahnya
volume darah akibat penarikan cairan dalam jumlah banyak
selama dialisis, perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi tinggi dan
perubahan keseimbangan kalium dan kalsium intra atau
ekstrasel (Ulianingrum & Purdani, 2017).
Kram dapat diatasi secara farmakologi yaitu dengan
pemberian terapi kina sulfat sebelum hemodialisis
berlangsung (Nurfitriani, dkk. 2020). Terapi kina sulfat
memiliki efek toksisitas pada hematologi, ginjal, neurologis,
jantung serta sistem endokrin jika digunakan dalam jangka
waktu panjang (Ulu & Ahsen, 2015).
Tindakan nonfarmakologi menjadi salah satu alternatif dalam
mengatasi kram yaitu dengan dilakukan masase intradialisis
(Nurfitriani, dkk. 2020). Masase intradialisis terbukti efektif
dalam mengatasi penurunan nyeri kram otot pada pasien
hemodialisis (Nurfitriani, dkk. 2020)
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

1. Identitas : Identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami


CKD sebagai kelengkapan data atau pemeriksaan.

2. Primary Survey (Data Objektif)

a. Airway Kaji : Bersihan jalan nafas ada/tidaknya sumbatan jalan


nafas, distress pernafasan, tanda-tanda pendarahan, muntahan, ada
edema laring.

b. Breathing Kaji : Frekuensi nafas, usaha nafas dan Pergerakan


dindang dada, suara pernafasan melalui hidung atau mulut, udara
yang dikeluarkan dari jalan nafas. Pemeriksaan yang tampak pada
pasien

1) Tampak lemah

2) Tampak terpasang alat bantu (ventilator)

3) Tampak cemas

c. Sirkulasi Kaji : Denyut nadi karotis, tekanan darah, warna kulit,


kelembaban kulit, tanda-tanda pendarahan ekternal dan internal.

d. Vital sign (tanda vital)

1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal

2) Pemeriksaan RR

3) Pemeriksaan Nadi Pada klien post operasi BPH mengalami


peningkatan nadi

4) Pemeriksaan Tekanan darah.

3. Primary Secondary

Keluhan Utama : pengkajian yang dirasakan klien saat ini.

Riwayat penyakit sekarang: pemeriksaan awal hingga perawatan


sekarang, dari mulai keluhan sampai tindakan yang diberikan.

Riwayat penyakit dahulu : yang dimana riwayat penyakit yang diderita


klien dahulu.

4. Pemeriksaan fisik ( B1-B6 )

a. Breathing (B1) : Pernafasan yang dialami oleh pasien saat


diobservasi, seperti terpasanganya ETT, Terpasanganya CVP,
Terpasangnya Monitor, irama nafas teratur, suara vesicular.

b. Blood (B2) : Pemerikasan terjadi dibagian jantung , seperti Irama


jantung irregular, lemah, adanya suara nafas tambahan seperti
Wheezing, Ronki, hasil Tekanan Darah, akral hangat CRT < 2 detik,
tidak ada edema

c. Brain (B3) : Pemeriksaan terjadi pada Kesadaran seperti


composmentis, stupor, somnolen. Penilaian GCS 4,5,6, tidak kejang
dan kelumpuhan. Reaksi pupil isokor, konjungtiva an anemis.

d. Bladder (B4) : Pemeriksaan terjadi dibagian perkemihan, BAK/BAB


dengan bantuan alat. Terpasang treeway. Observasi intake output
cairan .

e. Bowel (B5) : Pemeriksaan terjadi dibagian abdomen, observasi


bising usu setiap 3 jam sekali, Tidak pernah BAB, tidak ada nyeri
tekan, tidak terasa kembung, terpasang NGT, mukosa rembesan tidak
bibir lembab, lidah bersih.

f. Bone (B6) : Observasi pergerakan aktivitas klien, aktif tidaknya,


adanya fraktur, turgor baik, Integumen, dan kekuatan otot lemah
tidaknya.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pasien dengan Chronic kidney disease (CKD)


menurut (PPNI, 2017) adalah sebagai berikut
1. Nyeri akut
2. Gangguan pertukaran gas
3. Penurunan curah jantung
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
5. Gangguan eliminasi urin
6. Intoleransi aktivitas
C. Intervensi Keperawatan
TUJUAN & KRITERIA
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
HASIL
1 Gangguan Pertukaran Gas Tujuan: setelah dilakukan 1. Pemantauan Respirasi (I.01014)
(D.0003) tindakan keperawatan 3 x 24 2. Observasi
Definisi : jam diharapkan pertukaran gas 3. Monitor frekuensi, irama, 1. berguna dalam derajat distress
Kelebihan atau kekurangan meningkat kedalaman dan upaya napas pernafasan atau kroninya proses
oksigenasi dan atau eleminasi Kriteria hasil: 4. Monitor kemampuan batuk efektif penyakit
karbondioksida pada membran Pertukaran gas meningkat 5. Monitor adanya produksi sputum 2. kental, tebal, dan banyaknya sekresi
alveolus-kapiler. (L.01003) 6. Monitor adanya sumbatan jalan adalah sumber utama gangguan
Penyebab : 1. Dispnea menurun napas pertukaran gas pada jalan nafas
1. Ketidakseimbangan 2. Bunyi napas tambahan 7. Auskultasi bunyi napas 3. bunyi nafas meredup karena penurunan
ventilasi-perfusi. menurun 8. Monitor saturasi oksigen aliran udara
2. Perubahan membran 3. Takikardia menurun 9. Monitor nilai analisa gas darah 4. mengetahui sturasi dalam rentang
alveolus-kapiler. 4. PCO2 membaik 10. Terapeutik normal
Gejalan dan Tanda Mayor - 5. PO2 membaik 11. Dokumentasikan hasil pemantauan 5. mengetahui nilai gas darah dalam
Subjektif : 6. pH arteri membaik 12. Edukasi rentang normal
Dispnea. 13. Jelaskan tujuan dan prosedur 6. pendokumentasian penting untuk
Gejalan dan Tanda Mayor- pemantauan mengetahui perkembangan pasien
Objektif : 7. pasien mengetahui informasi mengenai
1. PCO2 meningkat / menurun. tindakan yang diberikan
2. PO2 menurun.
3. Takikardia.
4. pH arteri meningkat/menurun
5. Bunyi napas tambahan.
2 Hipervolemia (D.0022) Tujuan: Manajemen Hipervolemia (I.03114)
Definisi: Setelah dilakukan tindakan Observasi
Peningkatan volume cairan keperawatan 3 x 24 jam 1. Periksa tanda dan gejala hypervolemia 1. Untuk mengetahui tanda dan gejala
intravaskuler, interstisial, dan/atau diharapkan keseimbangan (misal: ortopnea, edema, JVP/CVP yang muncul
intraseluler. cairan meningkat. meningkat, reflek hepatojugular positif, 2. Untuk memastikan apakah cairan
Penyebab: Gangguan mekanisme Kriteria Hasil: suara nafas tambahan) dalam tubuh lebih, kurang ataupun
regulasi Keseimbangan cairan 2. Monitor intake dan output cairan seimbang
(L.03020) 3. Mencegah timbulnya efeksamping dan
1) Terbebas dari edema 3. Monitor efek samping diuretic (misal: menentukan tindakan selanutnya
Batasan karakteristik: 2) Haluaran urin hipotensi ortortostatik, hypovolemia, 4. Garam mengandung banyak air yang
a) Subjektif: Ortopnea, meningkat hypokalemia, hyponatremia) dapat menyebabkan terjadinya
dyspnea, paroxysmal 3) Mampu mengontrol Terapeutik kelebihan cairan
nocturnal dyspnea asupan cairan 4. Batasi asupan garam 5. Urin normal manusia adalah 0,5-1 ml/
(PND) Edukasi kgBB/jam
b) Objektif: Edema 5. Anjurkan melapor jika haluaran urin 6. Melatih pasien untuk malukan tindakan
anasarka dan/atau edema <0,5 Ml/KG/jam dalam 6 jam secara mandiri
perifer, berat badan 6. Ajarkan cara membatasi cairan 7. Obat deuretik digunakan untuk
meningkat dalam waktu Kolaborasi membantu mengeluarkan cairan
singkat, Jugular Venous 7. Berikan hasil kolaborasi pemberian berlebih dalam bentuk urin
Pressure (JVP) dan/atau deuretik
Central Venous Pressure
(CVP) meningkat, reflex
hepatojugular positif
Kondisi klinis terkait:
a) Penyakit ginjal: gagal ginjal
akut/kronis, sindrom nefrotik
3 Defisit nutrisi b.d peningkatan Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi (I. 03119)
kebutuhan metabolisme (D.0019) asuhan keperawatan 3 x 24 jam 1. Identifikasi status nutrisi 1. Membantu untuk menentukan diet yang
Definisi : Asupan nutrisi tidak maka diharapkan status nutrisi 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis tepat untuk pasien
cukup untuk memenuhi kebutuhan dapat membaik. nutrien 2. Membantu dalam pemberian jenis diet
metabolisme. Kriteria hasil : 3. Monitor asupan makanan yang tepat
a. Gejala dan Tanda Mayor Status nutrisi membaik (L. 4. Monitor berat badan 3. Memastikan kebutuhan pasien
1) Subjektif : (tidak 03030) 5. Monitor adanya mual dan muntah terpenuhi
tersedia) 1. Porsi makan yang 6. Ajarkan diet yang di programkan 4. Penurunan berat badan menandakan
2) Objektif : Berat badan dihabiskan cukup 7. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum kebutuhan nutrisi pasien tidak
menurun minimal 10% meningkat makan (mis. pereda nyeri, antiemetik), tercukupi
dibawah rentang ideal. 2. Berat badan cukup jika perlu 5. Mual muntah dapat menyebabkan
b. Gejala dan Tanda Minor membaik penurunan nafsu makan
1) Subjektif : Nafsu makan 3. Indeks massa tubuh cukup 6. Memastikan pasien agar teratur
menurun membaik mengkonsumsi diet yang telah di
2) Objektif : Membran 4. Nafsu makan membaik programkan
mukosa pucat, Diare 7. Membatu pasien untuk menerima diet
yang disediakan
4 Gangguan integritas kulit/ Tujuan: setelah dilakukan Perawatan Luka( I.14564 )
jaringan (D.0129) asuhan keperawatan 24 jam Observasi
Definisi : Kerusakan kulit (dermis maka diharapkan integritas kulit 1. Monitor karakteristik luka (mis: 1. Untuk mengetahui kondisi luka
dan/atau epidermis) atau jaringan dan jaringan dapat meningkat. drainase,warna,ukuran,bau 2. Kemerahan dan gatal adalah tanda
(membran mukosa, kornea, fasia, Kriteria hasil : 2. Monitor tanda –tanda infeksi terjadinya infeksi
otot, tendon, tulang, kartilago, Integritas Kulit Meningkat Terapiutik 3. Membuka dengan perlahan agar tidak
kapsul sendi dan /atau ligamen (L.14125) 3. lepaskan balutan dan plester secara mengenai luka
Penyebab 1. Perfusi jaringan cukup perlahan 4. Mempercepat penyembuhan luka
1. Perubahan sirkulasi meningkat 4. Bersihkan jaringan nekrotik 5. Membatu dalam proses penyembuhan
2. Perubahan status nutrisi 2. Kerusakan jaringan 5. Berikan salep yang sesuai di kulit /lesi, luka
(kelebihan atau menurun jika perlu 6. Memasang balutan yang tidak sesuai
kekurangan) 3. Kerusakan lapisan kulit 6. Pasang balutan sesuai jenis luka dapat memperburuk luka
3. Kelebihan/kekurangan menurun 7. Pertahan kan teknik seteril saaat 7. Mencegah terjadinya infeksi
volume cairan 4. Nyeri, perdarahan, perawatan luka 8. Menambah informasi terkait luka yang
4. Penuruna mobilitas kemerahan, hematoma Edukasi diderita
5. Bahan kimia iritatif menurun 8. Jelaskan tandan dan gejala infeksi 9. Membantu percepat proses
6. Suhu lingkungan yang 5. Nekrosis menurun 9. Anjurkan mengonsumsi makan tinggi penyembuhan luka
ekstrem 6. Sensasi dan tekstur kalium dan protein 10. Mempersiapkan pasien untuk dapat
7. Faktor mekanis (mis. membaik 10. Ajarkan prosedur perawatan luka melakukan perawatan luka ketika sudah
penekanan pada tonjolan secara mandiri pulang kerumah
tulang,gesekan) Kolaborasi 11. Prosedur debridement adalah tindakan
8. Efek samping terapi radiasi 11. Kolaborasi prosedur debridement(mis: yang dilakukan untuk membersihkan
enzimatik biologis mekanis,autolotik), jaringan mati yang terdapat diluka
jika perlu sehingga mempercepat proses
12. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika penyembuhan luka
perlu 12. Mencegah infeksi

5 Intoleransi aktivitas (D.0056) Tujuan: Menejemen energi (I.050178)


Definisi: Ketidakcukupan energy Setelah dilakukan tindakan Observasi
untuk melakukan aktivitas sehari- keperawatan 3 x 24 jam 1. Monitor kelelahan fisik dan emosional 1. Mengetahui adanya kelelahan sebelum
hari. diharapkan toleransi aktivitas 2. Monitor pola dan jam tidur dan sesudah aktivitas
Penyebab: Kelemahan. meningkat Terapeutik 2. Kurangnya waktu tidur dapat
Batasan karakteristik: 3. Sediakan lingkungan nyaman dan menyebabkan kelelahan
a)Subjektif: Mengeluh lelah Kriteria Hasil: rendah stimulus (misal: cahaya, suara, 3. Kenyamanan lingkungan membantu
b) Objektif: Frekuensi Toleransi ativitas (L.05047) kunjungan) klien untuk memenejemen energinya
jantung meningkat >20% 1. Pasien mampu melakukan 4. Berikan aktivitas distraksi yang untuk beraktivitas
dari kondisi istirahat aktivitas sehari-hari menenangkan 4. Mengalihkan rasa tidak nyaman klien
2. Pasien mampu berpindah Edukasi dalam beraktivitas
tanpa bantuan 5. Anjurkan tirah baring 5. Mencegah terjadinya lelehan akibat
3. Pasien mengatakan 6. Anjurkan melakukan aktivitas secara ketidakcukupan energy
keluhan lemah berkurang bertahap 6. Aktivtas secara bertahap membantu
Kolaborasi sirkulasi oksigen keseluruh tubuh
7. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang 7. Makanan yang dapat membantu dalam
cara meningkatkan asupan makanan pemenuhan energi
6 Risiko Penurunan Curah Tujuan : setelah dilakukan (Perawatan jantung I.02075)
Jantung. (D.0011) tindakan keperawatan 3 x 24 1. Identifikasi tanda/gejala primer 1. Monitor gejala seperti dyspnea,
Definisi : jam diharapkan curah jantung penurunan curah jantung kelelahan, adanya peningkatan CVP
Berisiko mengalami pemompaan meningkat. 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder 2. Monitor gejala seperti dyspnea,
jantung yang tidak adekuat untuk Kriteria hasil : (curah penurunan curah jantung kelelahan, adanya peningkatan CVP
memenuhi kebutuhan metabolisme jantung L.02008) 3. Monitor intake dan output cairan 3. Mencegah terjadinya kelebihan volume
tubuh. 1. Tanda vital dalam rentang 4. Monitor keluhan nyeri dada cairan
Faktor Risiko : normal 5. Berikan terapi terapi relaksasi untuk 4. Nyeri dada merupakan gejala awal
Perubahan afterload. 2. Kekuatan nadi perifer mengurangi strees, jika perlu penyakit jantung
Perubahan frekuensi jantung. meningkat 6. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai 5. Stress yang berlebih dapat
Perubahan irama jantung. 3. Tidak ada edema toleransi mempengaruhi kerja jantung
Perubahan kontraktilitas. 7. Anjurkan berakitifitas fisik secara 6. Aktivitas berlebih dapat menyebabkan
Perubahan preload. bertahap kelelahan
8. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika 7. Aktivitas bertahap membantu sirkulasi
Kondisi Klinis Terkait. perlu oksigen ke selebuh tubuh
Gagal jantung kongestif 8. Antiaritmia adalah obat yang
Sindrom koroner akut. digunakan untuk menangani kondisi
Atrial / ventricular septal defect. aritmia atau ketika jantung berdetak
Aritmia. lebih cepat
D. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi menuju status kesehatan yang baik/optimal. Pelaksanaan
tindakan merupakan realisasi dari rencana/intevensi keperawatan yang
mencakup perawatan langsung atau tidak langsung.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi
ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan
tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R.Y. 2016. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Kardiovaskular Aplikasi NIC & NOC. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Brunner dan Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah (EGC). Jakarta

Bhandari, N., Bhusal, B. R., K.C., T., & Lawot, I. (2016). Quality of life of patient
with hypertension in Kathmandu. International Journal of Nursing
Sciences, 3(4), 379–384. https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2016.10.0 02

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(edisi 1). Jakarta: DPP PPNI. 108

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai