Anda di halaman 1dari 17

Laporan Penelitian Sosiologi Sederhana

PENGARUH JENIS LABELING SISWA IPS TERHADAP


TINGKAT PERILAKU MENYIMPANG

Nama : Aulia Anggiza


Kelas : X IPS 4

SMAN 1 SANGATTA UTARA 2021-2022


2i

ABSTRAK

Penelitian : “PENGARUH JENIS LABELING SISWA IPS TERHADAP TINGKAT


PERILAKU MENYIMPANG” tahun 2022 oleh Aulia Anggiza.
Jumlah Halaman : 13
Labelling merupakan pemberian cap atau label negatif yang diberikan
masyarakat kepada seseorang karena perilaku menyimpang, kemudian
individu tersebut cenderung akan melakukan kembali penyimpangan
tersebut
Penjurusan di SMA merupakan program yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan siswa berdasarkan bakat dan minat siswa.
Akan tetapi dalam kenyataanya hal tersebut menimbulkan perilaku labeling
yang ditujukan pada siswa IPS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
adakah pengaruh jenis labeling siswa IPS terhadap tingkat perilaku
menyimpang dan besar pengaruh jenis labeling siswa IPS terhadap tingkat
perilaku menyimpang. Jenis penelitian yang digunakan adalah expos facto
dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan
kuesiner tertutup. Peneliti menggunakan teori labelling oleh Edwin M Lamert
dan. untuk menganalisis penelitian ini,Hasil pengujian menggunakan uji
korelasi product moment Penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh
yang sedang jenis labeling siswa IPS terhadap perilaku menyimpang
Kata Kunci : Labelling, Siswa Ips, Perilaku menyimpang
ii 3

Lembar Pengesahan

Laporan penelitian sosiologi sederhana dengan judul


“PENGARUH JENIS LABELING SISWA IPS TERHADAP TINGKAT PERILAKU MENYIMPANG”
Disusun Oleh :

Nama : Aulia Anggiza


Kelas : X IPS 4
Sekolah : SMAN 1 SANGATTA UTARA

Guru Pembimbing
iii 4

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga laporan yang
berjudul “Kebiasaan Labeling di Masyarakat” ini dapat tersusun dengan baik sampai selesai
Adapun tujuan dari pembuatan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas pada mata pelajaran
Sosiologi. Selain itu laporan ini dibuat juga untuk menambah wawasan pengetahuan bagi pembaca
maupun penulis tentang Teori Labeling oleh Edwin M. Lamert saya mengucapkan terima kasih
kepada Ibu ROSMAYANI S.Pd. selaku Guru mapel Sosiologi yang telah memberikan materi dan
tugas proyek ini kepada kami ,Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran,data maupun materinya.
Saya sangat berharap semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar laporan ini dapat berguna bagi pembaca dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan laporan ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini.
iv5

Daftar Isi

Halaman Judul

Abstrak ............................................................................................................................................................. i

Halaman Pengesahan .................................................................................................................................. ii

Kata Pengantar .............................................................................................................................................. iii

Daftar Isi .......................................................................................................................................................... iv

Bab I Pendahuluan

• Latar belakang ................................................................................................................................................... 1


• Identifikasi masalah ........................................................................................................................................ 1
• Perumusan masalah ........................................................................................................................................ 1
• Tujuan laporan .................................................................................................................................................. 2

Bab II Tinjauan Pustaka

• Labelling ............................................................................................................................................................... 3
• Penyimpangan sosial ...................................................................................................................................... 5
• Penjurusan di sma ............................................................................................................................................ 6

Bab III Metode Penelitian

• Jenis Penelitian ................................................................................................................................................. 9


• Hasil dan Pembahasan .................................................................................................................................. 9

Bab V Penutup

• Kesimpulan ...................................................................................................................................................... 11
• Saran ................................................................................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ............................................................................................................................................. 12


61

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Labeling adalah pemberian label kepada seseorang yang menjadi bagian dari konsep
diri seseorang. Label yang akan diberikan kepada seseorang itu akan cenderung
melanjutkan penyimpangan tersebut. Label tersebut dapat berasal dari ciri fisik yang
menonjol (misalnya belang dan cacat), karakter (misalnya homoseksualitas), kelompok
sosial (misalnya ras atau bangsa). Pemberian label tersebut biasanya didapat dari hasil
interaksi sosialnya. Seseorang yang diberi label biasanya mengikuti label yang telah
ditetapkan kepada dirinya dan akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang
hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa
percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya
akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan
cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak
berprestasi. Penerimaan dan penolakan terhadap berbagai perubahan dalam tubuhnya akan
sangat mempengaruhi kesiapannya memasuki dunia dewasa dalam masa remaja. Masa
remaja adalah masa pencarian identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati
krisisnya agar tidak terjadi kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan
identitas remaja adalah labeling. Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu
(terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa
dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat
menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, berpengaruh negatif
terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya, dan yang lebih
utama adalah menjadi beban pada dirinya sendiri.

B. Identifikasi Masalah
Jadi dari latar belakang diatas dapat saya simpulkan indentifikasi masalah yang akan
saya angkat dalam laporan ini adalah sebagai berikut.:
• Pelabelan masyarakat sekitar terhadaap perilaku menyimpang dari siswa ips
• “Penjulukan seseorang”

C. Perumusan Masalah
• Bagaimana teori labelling melihat penyimpangan sosial terhadap siswa
27

D. Tujuan Laporan
Tujuan dari laporan ini ialah agar kita dapat melihat asumsi orang orang terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh siswa jurusan ips atau yg bisa kita semua sebut
“labelling” atau penjulukan seseorang.
83

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. labelling
Menurut Lemert teori labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian
cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan
penyimpangan tersebut. Teori labeling, diinspirasi oleh perspektifinteraksionisme
simbolik dan telah berkembang dalam berbagai bidang seperti kesehatan mental,
kesehatan dan pendidikan.
Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok kepada individu berdasarkan
ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatukelompok masyarakat. Labeling cenderung
diberikan pada orang yang memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma di masyarakat. Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan
cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya.
Teori labeling disebut juga teori pelabelan atas perilaku menyimpang yang sering
digunakan masyarakat terhadap penyimpangan. Pandangan tentang penentuan situasi
(definition of the situation) digunakan untuk menyatakan bahwa jika individu/kelompok
disebut menyimpang, akan ada konsekuensi yang tidak diharapkan pada tingkat
perilakunya.
Teori labeling memiliki dua proposisi. Pertama, perilaku menyimpang bukan
merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil
didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviant atau penyimpangan tidak selalu dalam
tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak.
Proposisi kedua, labeling itu sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan.
Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi social menghasilkan
penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri
sebagai seseorang yang secara permanen terkunci dengan peran orang yang menyimpang.
Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan
kontrol sosial yang salah.
Konsep lain dari teori labelling, bagaimana individu menjadi devian adalah :
a) Master Status

Teori penjulukan memiliki label dominan yang mengarah pada suatu keadaan yang
disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan
(dikaitkan) biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling penting atau
menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan.Bagi sebagian orang
label yang telah diterapkan, atau yang biasa disebut dengan konsep diri, mereka
menerima dirinya seperti label yang diberikan kepadanya. Bagaimanapun hal ini akan
membuat keterbatasan bagi seseorang yang diberi label, selanjutnya di mana mereka
akan bertindak. Bagi seseorang yang diberi label, sebutan tersebut menjadi
94

menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya
mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak maulagi bergabung dengan yang
bersangkutan, dengan kata lain orang akan mengalami label sebagai
penyimpang/menyimpang dengan berbagai konsekuensinya, ia akan dikeluarkan dan
tidak diterima oleh lingkungan sosialnya. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan
untuk menata identitasnya menjadi dirinya sendiri tanpa memandang label yang
diberikan kepadanya. Akibatnya, ia akan mencoba melihat dirinya secara mendasar
seperti label yang diberikan kepadanya, terutama sekarang ia mengetahui orang lain
memanggilnya seperti label yang diberikan.

b) Deviant Career
Konsep Deviant Career mengacu pada seseorang yang diberi label telah benar-benar
bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan kepadanya secara penuh. Kai T.
Erikson dalam Becker menyatakan bahwa label yang diberikan bukanlah keadaan
sebenarnya, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan
menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung. Kemudian F.M.
Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk
penyimpangan, yaitu:

1. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan


psikis dari dalam
2. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan
3. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam
sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance)
dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul
dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek
samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak
mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial.
Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar
pada penyimpangan primer.
Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang
paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan
pelabel dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker,
harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum
merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap
perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan
aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap
konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling
meliputi aspek-aspek:
1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal
2. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau
kelompok berkuasa.
3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang
berkuasa
10
5

4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan
demikian oleh penguasa.
5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika
dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.

B.) Penyimpangan Sosial


Pengertian Perilaku Menyimpang Secara mendasar, memiiki tiga perspektif untuk
menentukan apakah perilaku menyimpang itu, yaitu absolutist, normative, dan reactive.
Perspektif absolutist berpendapat bahwa kualitas atau karakteristik perilaku menyimpang
bersifat instrinsik, terlepas dari bagaimana ia dinilai. Dengan kata lain, perilaku
menyimpang ditentukan bukan dengan norma, kebiasaan, atau aturan-aturan sosial.
Perspektif normatif berpendapat bahwa perilaku menyimpang bisa didefinisikan sebagai
setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, sebuah tindakan dikatakan
menyimpang atau tidak, ditentukan oleh batasan-batasan norma masyarakat atau budaya.
Perspektif reaktif berpandangan bahwa perilaku menyimpang dapat ditemukan dalam
bagaimana secara aktul perilaku itu dinilai. Untuk dapat dikualifikasikan sebagai sebuah
perilaku menyimpang, sebuah tindakan harus memenuhi syarat (1) diamati atau paling
tidak didengar, dan (2) menyebabkan hukuman yang nyata bagi pelakunya. Kunci
utamanya adalah concrete social disapproval toward specific action and actors. Perspektif
reaktif memiliki beberapa kelemahan (Goode, 1984:9-10): First: It ignore secret
behaviour that would be reacted to as deviance, where it known to the community...
Second: It ignore secret behaviour that would be reacted to as deviance, even where the
actor knows that it would be condemned by the community... Third: It denies the
possibility that there is any predictability in the reactive process... Fourth: It ignores the
reality of victimization.
Perilaku menyimpang bisa dilakukan secara individual atau kelompok. Perilaku
mengemis yang dilakukan seseorang merupakan penyimpangan individual, tetapi kalau
tindakan mengemis itu dilakukan hampir oleh warga satu kampung, maka tindakan itu
termasuk tindakan menyimpang secara kelompok atau penyimpangan kelompok.
Perspektif Sosiologis tentang perilaku menyimpang tersebut, teori-teori sosiologi, baik
yang termasuk dalam kategori klasik maupun modern, telah memberikan penjelasan yang
cukup memadai untuk dijadikan pijakan kita dalam rangka memahami sebab-sebab
terjadinya perilaku menyimpang.
Dimulai dari Durkheim dengan konsepnya tentang anomie, suatu situasi tanpa norma
dan arah yang tercipta akibat tidak selarasnya harapan kultur dengan kenyataan sosial.
Selanjutnya, Merton mencoba menghubungkkan anomie dengan penyimpangan sosial.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa sebagai akibat dari proses sosialisasi, individu belajar
mengenal tujuan-tujuan penting kebudayaan dan sekaligus mempelajari cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut yang selaras dengan kebudayaan. Apabila kesempatan untuk
mencapai tujuan yang selaras dengan kebudayaan tidak ada atau tidak mungkin
dilakukan, sehingga individuindividu mencari jalan atau cara alternatif, maka perilaku
itu bisa dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Merton menyebutkan ada empat
116

perilaku menyimpang, yaitu inovasi (innovation), ritualism (ritualism), peneduhan hati


(retreatism), dan pemberontakan (rebellion).Yang dimaksud inovasi adalah perilaku
seseorang yang menerima atau mengakui tujuan yang selaras dengan budaya atau
diinginkan masyarakat. Seorang guru yang tidak puas dengan metode ceramah karena
dianggap tidak efektif, mencari alternatif lain dalam mengajar, misalnya menggunakan
metode inquiry, ini termasuk inovasi. Demikian juga, seseorang yang menolak cara-cara
wajar, misalnya bekerja keras dan hidup hemat untuk bisa menjadi kaya dan memilih
merampok atau melakukan korupsi, maka dalam sosiologi, perilaku ini juga
dikategorikan sebagai sebuah inovasi, tetapi dalam arti negatif. Masyarakat yang
memilih untuk menggunakan kekerasanatau main hakim sendiri karena beranggapan
hukum sudah tidak efektif lagi untuk mencegah kejahatan, maka perilaku ini juga
termasuk inovasi. Ritualisme terjadi manakala seseorang menerima cara-cara yang
diperkenankan secara kultural tetapi menolak atau mengganti tujuan sehingga berbeda
dengan harapan semula dari masyarakat atau kelompok. Seorang mahasiswa yang
mengikuti upacara atau senam kesegaran untuk mendapatkan beasiswa, bukan karena
untuk menanamkan disiplin dan demi kesehatan, merupakan contoh perilaku ritualisme.
Dalam bidang hukum, seseorang yang mengendarai sepeda motor dan memakai helm
bukan demi keselamatan tetapi takut mendapatkan ‘tilang’, merupakan contoh ritualism.
Demikian juga seseorang yang melakukan sebuah tindakan tetapi tidak mengetahui
tujuan yang sesungguhnya diharapkkan opleh masyarakat berkaitan dengan tindakan itu,
termasuk ritualisme.Pengasingan diri (retreatment) terjadi jika seseorang menolak atau
tidak mengakui lagi baik tetapi tidak mampu untuk melawan arus untuk melakukan
perubahan dan lebih memilih untuk tidak terjun ke dunia politik lagi merupakan contoh
tindakan pengasingan diri. Pemberontakan terjadi manakala seseorang menolak baik cara
maupun tujuan yang diperkenankan secara budaya dengan menggantikannya dengan
yang baru. Kudeta adalah contoh perilaku pemberontakan, karena dilakukan atas dasar
ketidakcocokan dengan, baik cara tujuan, yang secara umum diperkenankan oleh
masyarakat

C. Penjurusan di SMA (Sekolah Menengah Keatas)


Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan lembaga pendidikan formal yang
memiliki tingkatan menengah, yaitu maksudnya didalam level pendidikan tersebut
terdapat program penjurusan. Antaralain; jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) dan Bahasa. Program penjurusan itu sendiri memiliki tujuan
untuk mengembangkan kemampuan siswa sesuai dengan bakat dan minat. Jika merujuk
pada sejarah, dulu di Indonesia pada pemerintahan Hindia Belanda. Sekolah yang ada
pada saat itu adalah HBS (sekolah menengah atas untuk anak-anak Eropa) dan AMS
(sekolah menengah atas untuk anak-anak pribumi). Sekolah tersebut membagi
penjurusan keilmuan menjadi 2 kategori yaitu Budaya dan Sains. Selanjutnya dalam
masa kemerdekaan penjurusan diterapkan sejak tingkatan SMP, yang akhirnya dihapus
pada tahun 1962. Pada akhirnya program penjurusan hanya diberlakukan di tingkat SMA
yaitu terdapat 3 jurusan A (Sains), B (Bahasa dan Budaya) dan C (Sosial). Penjurusan
tersebut kemudian mengalami perubahan lagi, tepatnya pada awal tahun 70-an. Yaitu
menjadi Paspal, Sosial dan Budaya. Sesudah itu, pada awal 80-an penjurusan mengalami
12
7

perubahan dan spesifikasi menjadi A1, A2, A3 dan A4. Pada akhirnya tahun 1994
penjurusan yang ada di SMA mengalami perubahan menjadi IPA, IPS dan Bahasa.
Penjurusan tersebut berlaku sampai sekarang. Program penjurusan yang dilakukan di
SMA tersebut pada kenyataanya malah menimbulkan tindakan diskriminasi. Tindakan
driskiminasi tersebut berupa pemberian cap (label) pada jurusan IPS. Label yang
diberiakan bukanlah label yang positif, melainkan label yang buruk. Posisi IPS mulai
tersudutkan dalam aktifitas pendidikan. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa
jurusan IPS ditempati oleh siswa-siswa yang memiliki nilai akademis yang rendah,
memiliki sifat tidak bisa diatur dan suka melanggar peraturan sekolah. Sebab itulah
masyarakat memberikan label negatif pada jurusan IPS. Akhirnya para peserta didik
dalam menjalani proses pendidikan mengalami kendala terutama pada siswa jurusan IPS
Pemberian cap (label) pada siswa jurusan IPS juga terjadi dalam kehidupan sosial di
masyarakat. Masyarakat mengaggap bahwa siswa jurusan IPS memiliki kompetensi
akademis rendah, tidak hanya itu saja siswa IPS juga sering dipandang sebagai siswa
yang sering melanggar peraturan sekolah. Sehingga tanpa disadari cap tersebut melekat
pada siswa IPS. Cap yang diberikan tentu akan memberi efek atau pengaruh tehadap
8
siswa, sehingga hal tersebut akan mengantarkan siswa itu untuk melakukan
penyimpangan atau perbuatan yang melanggar norma.
Durkheim dalam bukunya yang berjudul The Rules of Sociological Method
menjelaskan jika masyarakat tidak dalam kondisi yang biasanya mesti dimilkinya, maka
bisa jadi masyarakat itu sedang mengalami patologi. Labelling merupakan pemberian
label kepada seseorang yang menjadi bagian dari konsep diri seseorang. Label yang
diberikan kepada seseorang cenderung melanjutkan penyimpangan tersebut. Label
mampu membentuk suatu persangkaan atau persepsi terhadap perilaku yang terbentuk.
Seseorang yang diberi label biasanya akan mengikuti label yang ditetapkan pada diri
orang tersebut dan juga menjadi dasar untuk melakukan sesuatu dalam kehidupnya. Dua
konsep penting dalam teori labeling adalah primary deviace dan secondary deviance.
Primary deviance ditujukan pada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan
secondary deviance adalah berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman
seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap atau
label diberikan pada orang maka sulit bagi orang tersebut untuk melepaskan cap yang
sudah diberikan, kemudian orang tersebut mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang
sudah diberikan oleh masyaarakat. Teori label ini memfokuskan analisisnya pada
perilaku menyimpang yang sudah mencapai tahapan secondary deviance. Selain itu,
analisis teori tersebut juga terpusat pada reaksi orang terhadap peyimpang yang
kemudian memunculkan label kepada pelaku penyimpangan. Teori tersebut tidak
berusaha mencari penyebab individu melakukan penyimpangan, tetapi menekankan pada
pentingnya definisi sosial dan sanksi sosial negatif yang dihubungkan dengan tekanan-
tekanan individu untuk masuk pada tindakan yang lebih menyimpang . Remaja
merupakan masa pencarian identitas. Menurut Erikson masa remaja berkisaran umur 12-
18 tahun, dimana pada masa remaja, orang harus menyelesaikan krisis identitasantara
penemuan identitas dan kebingungan identitas. Pada masa ini remaja mengembangkan
identitas diri melalui interaksi dengan orang lain, terutama pada kelompok sebaya .
Remaja yang berumur 16-18 sedang dalam masa transisi akan dengan mudah menyerap
segala macam pengaruh dari luar. Pengaruh yang dapat dengan mudah diterima pada
13

psikologis remaja terutama adalah pengaruh dari lingkungan sekitar. Pada masa itulah
remaja harus bisa meliwati krisis agar tidak terjadi kebingungan identitas diri yang salah
satunya penyebabnya adalah label itu sendiri. Seorang remaja yang pernah mendapatkan
cap negatif akan memicu pemikiran bahwa dirinya menyimpang. Tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa pemberian label tersebut kerap terjadi di lingkungan sekolah padahal sekolah
sendiri merupakan lembaga yang berfungsi sebagai agen sosialisasi yang efektif bagi
para remaja.
Pada dasarnya pemberian label merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam
proses sosialisai. Dalam buku Pengantar Sosiologi Pendidikan disebutkan bahwa teori
label digunakan sebagai pendekatan dalam proses pendidikan. Akan tetapi, karena terjadi
kesalahan dalam proses sosialisasi yang dilakukan. Akhirnya peserta siswa menjadi
disosialisasi, akibatnya siswa akan tumbuh rasa ketidakpercayaan diri. Kesalahan dalam
proses sosialisasi mengakibatkan siswa melakukan perilaku yang menyimpang. Perilaku
menyimpang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku pada
suatu kelompok. Perilaku menyimpang siswa biasanya timbul dari kebiasaan yang
diulang-ulang oleh teman dari kalangannya. Soekanto mejelaskan sebagai kelompok
yang dianggap berbeda, tentu akan mengakibatkan kelompok tersebut menciptakan
aturan, nilai atau norma yang mencerminkan kelompoknya. Dari fenomena yang sering
terjadi dimasyarakat, gejala kenakalan muncul pada saat masa pubertas atau masa remaja,
dimana seorang anak masih dalam keadaan labil, sehingga mudah sekali terpancing oleh
lingkangan yang ada. Perilaku menyimpang pada remaja dapat dikatakan sebagai
kenalakan remaja, seperti pengertian kenakalan remaja yang diungkapkan dalam
Bakolak Inpres No.6/1971 sebagai berikut: “Kenakalan remaja ialah kelainan tingkah
laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asocial bahkan arti sosial yang
melanggar norma-norma sosial agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Kemudian perilaku menyimpang pada remaja juga sering disebut dengan
kenalakan anak yang dikenal dengan kata Juvenile Delinquency. Menurut Dr.
Kusumanto “Juvenile Delinquency atau kenakalan anak dan remaja ialah tingkah laku
individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap
sebagai acceptable dan baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu
masyarakat. Sementara John W. Santrock (1995) mendefinisikan, kenakalan remaja
(Juvenile Delinquency) mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah),
pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal
(seperti mencuri). Pada umumnya remaja yang melakukan penyimpangan dilihat dari
tingkah laku, perbuatan dan kegiatan yang dilakukan berbeda atau menyimpang dari
norma yang berlaku dalam suatu kelompok yang ditempatinya. Dan begitu juga dengan
sanksi yang diberikan oleh masyarakat kepada pelaku penyimpangan itu tidak sama
antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain
Label yang diberikan pada siswa jurusan IPS merupakan permasalahan yang tidak
dapat dianggap remeh dalam dunia pendidikan. Pemberian label itu akan megganggu
siswa dalam proses aktivitas pendidikan. Padahal dalam hakikatnya lembaga pendidikan
harus menyajikan suasana yang tentram dalam kegiatan transfer ilmu dari guru ke murid,
sehingga siswa bisa merasa nyaman.
14
9

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk melihat fakta-fakta yang
terjadi dengan jenis penelitian expos facto, hal ini untuk memaparkan pengaruh labeling
siswa IPS terhadap perilaku menyimpang. Peneliti menemukan praktek labeling yang
dilakaukan pada siswa IPS. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa keas X IPS .Mode
analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah uji korelasi product moment dan uji
t dengan tingakat kepercayan 95% (α = 0,05). Penelitian ini bertujan untuk mengetahui
adakah pengaruh jenis labeling siswa IPS terhadap tingkat perilaku menyimpang dan
mengetahui besar pengaruh jenis labeling siswa IPS terhadap tingkat perilaku
menyimpang.

B. Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel labeling siswa IPS memiliki pengaruh
yang lumayan besar terhadap veriabel perilaku menyimpang . Hal ini dibuktikan dengan
hasil uji t yang diperoleh dan nilai signifikansi kurang dari 0,05, sehingga dalam
penelitian ini Ho ditolak dan Ha diterima. Yang mana Ha dalam penelitian ini adalah ada
pengaruh antara labeling dengan perilaku menyimpang siswa IPS
Besar pengaruh antara variabel labeling dengan variabel perilaku menyimpang
menunjukan bahwa labeling yang dilakukan oleh guru dan teman merupakan beberapa
faktor yang mampu menjadikan individu menjadi menyimpang. Akan tetapi pengaruh
yang lebih tinggi adalah labeling yang dilakukan oleh guru. Begitu pula penelitian yang
dilakukan oleh Yunita (2011) yang berjudul analisis pengaruh labeling terhadap konsep
diri pada tokoh Shinigawa Daichi dalam drama Yankee-kun To Megane-Chan. Yunita
menjelaskan bahwa labeling negatif telah mempengaruhi tokoh Shinagawa Dhaici,
sehingga ia memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri yang negatif tentu menjadikan
anak tersebut melakukan hal-hal yang negatif. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Aprianti, Suhadi dan Raharjo (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara labeling dan perilaku yang menyimpang. Mereka
menjelaskan bahwa labeling mampu mempengaruhi tinggi rendahnya perilaku
menyimpang. Apabila seseorang sering dilabel maka akan terlihat dari tingkah laku atau
perilakunya yang mengarah ke perilaku menyimpang. Mereka juga menjelaskan bahwa
pelabelan memberikan dampak sebesar 36,72% terhadap perilaku menyimpang
sedangkan sisanya sebesar 63,28% disebabkan oleh faktor-faktor lainya. Erianjoni
(2014) menjelaskan dalam penelitianya bahwa seseorang yang melakukan
penyimpangan kemudian mendapat label menyimpang maka orang tersebut akan
meneruskan perilaku menyimang tersebut. Hal tersebut dibuktikan oleh temuanya yang
menjelaskan bagaimana perempuan Minangkabau yang berperilaku menyimpang dalam
hal penyimpangan seksual, penyimpangan gaya hidup dan penyimpangan perilaku sosial.
10
15

Pelabelan yang diakukan kepada wanita Minangkabau menjadikan mereka kesulitan


untuk keluar dari label yang label. Sedikit berbeda dengan peneitian yang dilakukan
Hanafi (2014) tentang fenomena labeling yang terjadi oleh siswa IPS. Hanafi
menjelaskan bahwa memang terdapat hubungan antara labeling dengan perilaku
menyimpang sehingga dalam prakteknya siswa IPS yang mendapat julukan negatif
cenderung melakukan perilaku ang negatif tersebut. Akan tetapi hanya sebagian saja,
tidak semua siswa IPS yang mendapat julukan negatif tersebut kemudian meneruskan
perbuatan negatif. Hanafi menjelaskan bahwa mereka siswa IPS juga memiliki prestasi
dan perilaku yang baik sehingga mereka
melakukan perlawan sebagai upaya untuk menghilangkan atau mengurangi label negatif
dari lingkungan sekolah. Label mampu membentuk suatu persangkaan atau persepsi
terhadap perilaku yang terbentuk. Seseorang yang diberi label biasanya akan mengikuti
label yang ditetapkan pada diri orang tersebut dan juga menjadi dasar untuk melakukan
sesuatu dalam kehidupnya. Seperti penjelasan diatas, permasalahan labeling juga terjadi
di lingkungan sekolah kelas sma di berbagai daerah ini. Pemberian cap/label yang buruk
pada siswa mampu mempengaruhi tingkah laku siswa tersebut, siswa yang cenderung
diberi label buruk juga akan memperaktekan perilaku buruk yang sudah dilabelkan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa labeling yang dilakukan oleh guru dan teman
cukup berpengaruh terhadap perilaku menyimpang siswa
16
11

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait pengaruh labeling siswa IPS
terhadap perilaku menyimpang, penulis akan memberikan beberapa simpulan yaitu :
(1) Ada pengaruh yang sedang jenis labeling terhadap tingkat perilaku menyimpang
(2) Besar pengaruh jenis labeling yang dilakukan oleh guru terhadap tingkat perilaku
menyimpang termasuk dalam kategori cukup. Sedangkan tingkat pengaruh jenis
labeling yang dilakukan oleh teman terhadap tingkat perilaku menyimpang termasuk
dalam kategori rendah. Hal tersebut menunjukan bahwa jenis labeling yang dilakukan
oleh guru lebih berpengaruh dari pada jenis labeling yang dilakukan oleh teman.
(3) Besar pengaruh variabel jenis labeling terhadap variabel tingkat perilaku menyimpang
termasuk dalam kategori sedang

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
saran yang dapat diberikan dari peneliti adalah:
(1) Perlu adanya sosialisasi yang ditujukan kepada guru dan siswa lain bahwa tidak ada
perbedaan antara siswa IPS, IPA dan Bahasa.
(2) Perlunya usaha dari perangkat sekolah untuk mengurangi kegiatan-kegiatan yang
menimbulkan perilaku labeling kepada siswa IPS, serta membuat kegiatan yang
bersifat umum yang bisa dihadiri oleh semua jurusan. Seperti kegiatan Seminar dan
Workshop atau yang lainya.
12
17

Daftar Pustaka

Aprianti, Suhadi dan Raharjo. (2013). Hubungan Labeling dengan Perilaku menyimpang
Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Jakarta. Jurnal PPKN UNJ Online. Jakarta:
FIS Universitas Negeri Jakarta.
Atmasasmita, Romli. (2005). Teori & Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.
Damsar. (2011). Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Erianjoni. (2014). Pelabelan Etnis Minangkabau pada Wanita Pelaku Penyimpangan Sosial
di Kota Padang. Skripsi. Padang: Fakultas Ilmu Sosial.
Hanafi, Bagus Andre. (2014). Diskriminasi Terhadap Siswa IPS di SMA Surabaya (Studi
Deskriptif tentang Fenomena labeling yang dialami siswa IPS di SMAN 3 Surabaya dan SMA
Barunawati Surabaya). Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Airlangga
Idrus, Mohammad. (2007). Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif &
kuantitatif). Yogyakarta: UII Press.
Jaclyn Isabella, Yunita. (2011). Analisis Pengaruh Labeling terhadap Konsep Diri pada
Tokoh Shinigawa Daichi dalam Drama Yankee-Kun To Megane-Chan. Undergraduate
Thesis. Binus.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2013). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mtakhir Teori Sosial Postmodern.
Santrock. John W. (1995), Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda
Damanika & Ach. Chusairi, Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono dan Lestarini, Ratih. (1988). Howard Becker; Sosiologi Penyimpangan.
Jakarta: Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai