Anda di halaman 1dari 52

PETUNJUK TEKNIS

SURVEILANS TIKUS
BERBASIS LABORATORIUM

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2019
ii PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM
KATA PENGANTAR

Penyakit zoonosis yang ditularkan oleh binatang pembawa penyakit


“tikus’’ masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia, seperti
pes, leptospirosis dan schistosomiasis, serta penyakit yang potensi
menimbulkan permasalahan kesehatan yaitu hanta virus. Pencegahan
dan pengendalian penyakit-penyakit tersebut dilakukan antara lain
dengan cara pengendalian tikus.
Dalam rangka pengendalian yang efektif, efisien dan tepat
sasaran maka diperlukan surveilans tikus. Surveilans adalah kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data
dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan
penanggulangan secara efektif dan efisien. Surveilans dapat dilakukan
di lapangan maupun di laboratorium.
Agar penyelenggaraan surveilans tikus di laboratorium dapat
dilakukan secara standar, maka disusun Buku Petunjuk Teknis (Juknis)
Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium. Juknis ini dimaksudkan sebagai
panduan bagi tenaga entomolog kesehatan di laboratorium untuk
mengidentifikasi tikus, ektoparasit tikus serta pathogen lainnya yang
ada di tubuh tikus.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK iii
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian Juknis ini. Namun demikian, saran
dan masukan yang membangun tetap diharapkan kepada semua pihak
guna perbaikan Juknis ini dikemuadian hari.

Jakarta, April 2019


Direktur P2PTVZ,

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid


NIP 197208312000032001

iv PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab` : Direktur Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik

Ketua : Dr. Suwito, SKM, M.Kes

Anggota : Prof. M. Sudomo, Ph.D


Rohani Simanjuntak, SKM, M.Epid
Bambang Siswanto, SKM, M.Kes
Dr. drh. Sugiharto, M.Si
Drs. Saktiono, M.Si
Drs. Winarno, M.Si
Dr. Swastiko Priyambodo, M.Sc
Yahidin Selian, SKM, MPH
Palge Hutagaol, SKM, MECH
Dra. Fitri Riyanto, M.Si
Selvia Nova, SKM

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK v


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
TIM PENYUSUN.............................................................................................. v
DAFTAR ISI........................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Tujuan.................................................................................... 3
C. Sasaran.................................................................................. 4
D. Landasan Hukum.............................................................. 5

BAB II TAHAP KEGIATAN DAN PROSEDUR PENYELENGGARAAN


SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM
A. Tikus Pembawa Penyakit................................................ 8
B. Ruang Lingkup Surveilans Tikus Berbasis
Laboratorium...................................................................... 10
C. Prosedur Penangkapan Tikus ...................................... 12
D. Prosedur Anestesi............................................................. 16
E. Prosedur Pengambilan Darah Dan Koleksi Serum 17
F. Prosedur Koleksi Ektoparasit........................................ 20
G. Prosedur Dokumentasi................................................... 22
H. Prosedur Indentifikasi Tikus.......................................... 24
I. Prosedur Pengambilan Organ Dalam Tikus............ 25
J. Prosedur Penanganan Limbah..................................... 28

vi PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


K. Deteksi DNA Leptospira Menggunakan Polymerase
Chain Reaction (PCR)....................................................... 30
L. Deteksi RNA Hantavirus Menggunakan Nested
Polymerase Chain Reaction (Nested-PCR).............. 31
M. Deteksi DNA Schistosomiasis Menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR)............................... 33
N. Deteksi DNA Pes Menggunakan Polymerase
Chain Reaction (PCR) pada pinjal............................... 34

BAB III PENGORGANISASIAN, PENCATATAN DAN PELAPORAN


A. Pengorganisasian.............................................................. 36
B. Pencatatan dan Pelaporan............................................. 39

BAB IV PENUTUP................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 42

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK vii
viii PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tikus merupakan satwa liar yang telah berasosiasi dengan kehidupan


manusia. Asosiasi tikus dengan manusia sering bersifat parasitisme
karena menyebabkan kerugian bagi manusia. Tikus rumah (R. tanezumi)
merupakan salah satu jenis tikus yang sering menyebabkan gangguan
dan kerusakan, serta menjadi reservoir penyakit bagi manusia.

Ordo Rodentia merupakan ordo yang terbesar dari Kelas Mammalia


karena memiliki jumlah spesies yang terbanyak yaitu ± 2.000 spesies
atau 40% dari 5.000 spesies untuk seluruh Kelas Mammalia. Dari
2.000 spesies Rodentia ini, hanya kurang lebih 160 spesies tikus yang
ada di Indonesia dan hanya 9 spesies yang paling berperan sebagai
hama tanaman, permukiman (urban pest), dan reservoir patogen
pada manusia. Kesembilan spesies itu adalah Bandicota indica (wirok
besar), Bandicota bengalensis (wirok kecil), Rattus norvegicus (tikus riul),
Rattus tanezumi (tikus rumah), Rattus tiomanicus (tikus pohon), Rattus
argentiventer (tikus sawah), Rattus exulans (tikus ladang), Mus musculus
(mencit rumah) dan Mus caroli (mencit ladang).

Kegiatan untuk menekan populasi tikus tersebut dapat dilakukan


dengan berbagai upaya pengendalian secara non kimia maupun kimia.
Konfirmasi agen penyakit pada tikus sangat penting untuk menentukan
teknik pengendalian tikus secara efektif dan efisien. Jenis sampel dan

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 1


spesimen berupa: serum, ginjal, paru (RNA later), ektoparasit, punch
telinga, serta pemilihan spesimen untuk pembuatan awetan basah
tikus untuk menentukan patogen yang ditularkan oleh tikus.

Surveilans tikus berbasis laboratorium dapat dilaksanakan untuk


mendapatkan baseline data beberapa penyakit yang ditularkan oleh
tikus yaitu leptospirosis, hantavirus, pes dan schistosomiasis.

Secara lebih rinci, metode surveilans tikus berbasis laboratorium


meliputi:

a. Koleksi tikus menurut CDC (1995) Identifikasi spesies tikus secara


morfologis

b. Pembuatan spesimen tikus untuk koleksi referensi reservoir


penyakit

c. Pemeriksaan sampel dan spesimen terhadap leptospirosis,


hantavirus, pes dan schistosomiasis.

Agar penyelenggaraan surveilans tikus berbasis laboratorium


dapat dilaksanakan secara standar di semua tingkat penyelenggara di
daerah dan di pusat maka perlu disusun Buku Petunjuk Teknis (Juknis)
Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium.

Buku ini dimaksudkan untuk menjadi petunjuk teknis bagi tenaga


entomolog kesehatan dan petugas di laboratorium kesehatan dalam
berbagai jenjang diberbagai institusi. Tenaga entomolog bekerjasama
dengan tenaga kesehatan di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi
dapat melakukan konfirmasi laboratoris dari sampel yang telah
dikumpulkan.

2 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


B. Tujuan

Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Surveilans Tikus Berbasis


Laboratorium memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan Umum
Tersedianya buku petunjuk teknis untuk digunakan sebagai acuan
dalam penyelenggaraan Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium.

2. Tujuan Khusus

a) Sebagai dasar bagi tenaga entomolog kesehatan dalam rangka


penyelenggaraan Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium.
b) Adanya pemahaman yang sama bagi tenaga entomolog
kesehatan di Indonesia dalam rangka penyelenggaraan
Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium.
c) Meningkatkan pengetahuan tenaga entomolog kesehatan
dalam rangka penyelenggaraan Surveilans Tikus Berbasis
Laboratorium.
d) Terlaksana penyelenggaraan Surveilans Tikus Berbasis
Laboratorium dengan baik dan benar.
e) Terlaksananya pengendalian tikus yang efektif, efisien dan
tepat sasaran.
f) Menurunya penyakit zoonosis yang ditularkan oleh tikus.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 3


C. Sasaran

Sasaran buku petunjuk teknis ini mencakup semua sumber


daya manusia (SDM) terkait di setiap tingkat institusi penyelenggara
surveilans penyakit dan faktor risiko, termasuk faktor risiko berkenaan
dengan binatang pembawa penyakit, yaitu terdiri dari:

1. SDM di tingkat kecamatan (puskesmas), yakni tenaga Entomolog


Kesehatan atau penanggungjawab kegiatan P2PTVZ atau petugas
lain (sanitarian atau penanggung jawab kegiatan Kesehatan
Lingkungan) yang terlatih dan ditunjuk oleh Kepala Puskesmas
untuk melaksanakan tugas pokok pengamatan, penyelidikan dan
pengendalian reservoir/binatang pembawa penyakit.

2. SDM di tingkat kabupaten/kota (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota)


dan provinsi (Dinas Kesehatan Provinsi), yakni tenaga Entomolog
Kesehatan atau penanggungjawab kegiatan P2PTVZ atau petugas
lain (sanitarian atau penanggung jawab kegiatan Kesehatan
Lingkungan) yang terlatih dan ditunjuk Kepala Dinas Kesehatan
untuk melaksanakan tugas pokok perencanaan, pelaksanaan
serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pengamatan,
penyelidikan dan pengendalian reservoir/binatang pembawa
penyakit.

3. SDM di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), yakni tenaga Entomolog


Kesehatan yang mengerjakan tugas di bidang entomologi kesehatan
dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan serta monitoring
dan evaluasi (monev) kegiatan pengamatan, penyelidikan dan
pengendalian reservoir/binatang pembawa penyakit di wilayah
kerja KKP.

4 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


4. SDM di Balai/Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP), yakni tenaga Entomolog
Kesehatan yang mengerjakan tugas di bidang entomologi
kesehatan, khususnya dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan
serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pengamatan,
penyelidikan dan pengendalian reservoir/binatang pembawa
penyakit. dalam rangka mendukung pencapaian program
pencegahan dan pengendalian reservoir/binatang pembawa
penyakit di wilayah layanan tugas.

5. Pimpinan di Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas


Kesehatan Provinsi, KKP dan B/BTKLPP yang melaksanakan tugas
dalam pengambilan keputusan penentuan kegiatan respon cepat
(tindakan segera) atau kegiatan respon terencana (perencanaan
tahun berikutnya) pengendalian reservoir/binatang pembawa
penyakit berdasarkan bukti hasil surveilans tikus berbasis
laboratorium.

6. Pimpinan Direktorat yang membidangi pencegahan dan


pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik dalam rangka
pengambilan keputusan penyusunan kebijakan dan strategi
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit berdasarkan
bukti hasil surveilans tikus berbasis laboratorium.

D. Landasan Hukum

Penyelenggaraan Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium ini


tentunya menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyelenggaraan
Surveilans Epidemiologi Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik yang sudah

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 5


berjalan selama ini. Informasi hasil surveilans dari keduanya akan saling
melengkapi untuk kepentingan perencanaan pengendalian reservoir/
binatang pembawa penyakit.

Beberapa landasan hukum yang menjadi dasar acuan tentang


pentingnya penyelenggaraan surveilans reservoir/binatang pembawa
penyakit berbasis laboratorium, yaitu:

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit


Menular.

2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan


Kesehatan.

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116 Tahun 2003 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan.

5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 949 Tahun 2004 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (KLB).

6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 Tahun 2010 tentang


Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan KLB/
Wabah.

7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 45 Tahun 2014 tentang


Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.

6 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 50 Tahun 2017 tentang
Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit serta
Pengendaliannya.

9. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479 Tahun 2003 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 7


BAB II
TAHAP KEGIATAN DAN PROSEDUR
PENYELENGGARAAN SURVEILANS TIKUS
BERBASIS LABORATORIUM

A. Tikus Sebagai Reservoir/Binatang Pembawa Penyakit

Beberapa penyakit zoonosis yang dapat ditularkan oleh tikus


antara lain Leptospirosis, Hantavirus, Pes dan Schistosomiasis. Saat ini
yang menjadi prioritas nasional untuk penyakit yang ditularkan oleh
tikus yaitu Leptospirosis dan Pes.

1. Leptospirosis

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang


menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Leptospira yang patogen pada hewan dan
manusia. Leptospirosis termasuk penyakit menular tertentu yang
dapat menimbulkan wabah berdasarkan Permenkes RI No. 1501
tahun 2010. Gejala klinis leptospirosis ditandai dengan adanya
demam, nyeri kepala, nyeri otot, khususnya di daerah betis, paha,
dalam keadaan berat diikuti dengan adanya ikterik, serta adanya
tanda-tanda kegagalan ginjal. Leptospirosis ditularkan melalui
kontak dengan air, lumpur, tanaman yang telah dicemari oleh urin
tikus. Munculnya penyakit leptospira dipengaruhi dipengaruhi
faktor-faktor risiko antara lain lingkungan kumuh, kurangnya
fasilitas pembuangan sampah, banyaknya habitat tikus di tempat
pemukiman, daerah pesawahan dan lahan bergambut serta air

8 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


tergenang yang dicemari oleh tikus yang mengandung bakteri
leptospira. Penyebaran penyakit ini dapat meluas ke wilayah lainnya
akibat air banjir ke beberapa daerah melalui urin tikus yang telah
mengandung bakteri leptospira. Beberapa provinsi yang endemis
leptospirosis yaitu: DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Timur.

Faktor risiko kejadian Leptospirosis yang penting adalah


keberadaan tikus didalam rumah dan lingkungan di sekitar rumah.
Tikus merupakan hewan penular utama Leptospirosis (lebih dari
50%). Berdasarkan referensi penelitian hasil Brooks dkk (2001),
adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi
terkena Leptospirosis. Jenis tikus yang sering sebagai reservoar
terjadinya Leptospirosis adalah tikus riul (R.norvegicus), tikus
rumah (R.diardii), tikus kebun (R. exulans) celurut rumah (Suncus
murinus).

2. Pes

Pes (sampar) merupakan penyakit zoonosa yang terdaftar dalam


karantina internasional, dan masih merupakan masalah kesehatan
yang dapat menimbulkan KLB maupun wabah. Penyakit ini
disebabkan oleh Yersinia Pestis, ditularkan lewat pinjal yang hidup
pada tubuh tikus. Jenis pinjal yang dikenal sebagai vektor Pes antara
lain: Xenopsylla cheopis, Neopsylla sondaica dan Stivalius cognatus.
Patogen Pes yang terdapat di dalam darah tikus sakit, dapat
ditularkan ke hewan lain dan manusia, apabila pinjal menghisap
darah tikus yang mengandung patogen Pes maka patogen tersebut

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 9


akan dipindahkan ke hewan tikus lain atau manusia dengan cara
yang sama yaitu melalui gigitan.

B. Penyelenggaraan Kegiatan Surveilans Tikus Berbasis


Laboratorium

Berdasarkan Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang


Penyelenggaraan Surveilan Kesehatan, definisi surveilans kesehatan
salah satunya adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperolah dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan
penanggulangan secara efektif dan efisien.

Keberadaan binatang pembawa penyakit (tikus) merupakan suatu


keadaan yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
beberapa penyakit zoonosis, karena itu perlu dilakukan suatu
pengamatan yang terus menerus terhadap tikus pembawa penyakit.

Surveilans tikus berbasis laboratorium merupakan system surveilans


yang melibatkan laboratorium sebagai sumber data utama, dalam hal
ini B/BTKL PP dan laboratorium entomologi kesehatan lainnya.

Kegiatan surveilans tikus berbasis laboratorium ini terutama


ditujukan kepada :
a. Daerah rawan banjir/ sering mengalami banjir
b. Daerah persawahan dan perkebunan dengan populasi tikus
meningkat
c. Daerah rawa atau bergambut

10 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


d. Daerah yang terjadi bencana (gunung meletus, kebakaran hutan,
banjir bandang)
e. Daerah fokus Pes
f. Daerah yang pernah melaporkan kasus leptospirosis/ terjadi KLB
Leptospirosis

1. Alat dan bahan

Alat dan bahan yang diperlukan sebagai berikut perangkap hidup /


single livetrap, talenan, pisau, seng lembaran ukuran 20 x 20 cm, umpan
(kelapa tua ukuran 3x3 cm, ikan asin, ubi jalar), pinset panjang/penjapit
kue, kantong kain (blacu), pensil, benang label, pita jepang, tali rafia,
kawat, tang pemotong, permanent marker, sarung tangan tebal.

2. Penentuan Lokasi

Tikus termasuk hewan kosmopolitan artinya menempati hampir di


semua habitat. Untuk mendapatkan hasil penangkapan yang diharapkan
maka dalam pemasangan perangkap perlu memperhatikan beberapa
hal berikut: ditemukannya tanda-tanda kehadiran tikus seperti sisa
atau serasah makanan (buah jatuh), bekas keratan, jejak kotoran (feses)
dan run way. Perangkap juga dapat dipasang di sekitar tanaman
dan pepohonan. Informasi masyarakat tentang keberadaan tikus
juga sangat berguna dalam menentukan keberhasilan penangkapan
(success trap).

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 11


C. Prosedur Penangkapan Tikus

Hari 1:

a. Siapkan perangkap: Merangkai perangkap jika masih terlipat,


kemudian memeriksa jumlah dan kondisi perangkap untuk
memastikan perangkap layak pakai.

b. Siapkan umpan: memotong dan membakar kelapa untuk


umpan dengan ukuran 3 x 3 cm. Kelapa dibakar sampai tercium
aroma gurih dan keluar minyaknya. Umpan dipasang pada kait
dalam perangkap. Pilihan umpan yang lain dapat berupa ikan
asin dan ubi jalar.

c. Penomoran perangkap, yaitu dengan mengikatkan pita jepang


yang telah ditulisi nomor urut perangkap. Perangkap nomor
001 - 050 adalah perangkap yang dipasang di dalam rumah,
sedangkan nomor 051 – 100 adalah untuk perangkap yang
dipasang di luar rumah.

d. Pemasangan perangkap

Jumlah perangkap dipasang adalah 100 perangkap disetiap


titik lokasi, 50 di dalam rumah (nomor 001-050) dan 50 di
luar rumah (hutan, sawah, kebun, dan lain-lain). Pemasangan
perangkap untuk masing – masing rumah sejumlah 2
perangkap/rumah. Perangkap diletakkan di langit-langit atau
tempat gelap dan/atau lembab seperti: dapur dan kolong
(tempat tidur, almari, rak, dll), di tepi jalur lintasan tikus (run
way). Tempelkan stiker nomor rumah pada setiap rumah yang
sudah diberi perangkap. Pemasangan perangkap di dalam
rumah dilakukan oleh pemilik rumah dengan mengajari cara

12 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


pemakaian terlebih dahulu dan memberi informasi untuk tidak
membunuh tikus tertangkap. Apabila perangkap kosong (tidak
mendapatkan tikus), dapat dipindah ke ruangan/tempat lain,
tetapi masih dalam satu rumah. Pemasangan perangkap di
luar rumah dilakukan oleh tenaga lokal dan tenaga pengumpul
data. Pemasangan perangkap di luar rumah (untuk titik dekat
permukiman), dipasang dengan eksplorasi lokasi (hutan,
sawah, kebun, pekarangan, dan sebagainya). Peletakan
perangkap dengan jarak minimal antar perangkap 10 langkah
(5-6 m) dengan membentuk garis lurus atau menyesuaikan
karakteristik tempat penangkapan supaya mudah dilacak.

Gambar 1 Pemasangan perangkap di dalam dan luar rumah

Hari 2:
a. Pengambilan tikus, dilakukan pada jam 06.00 pagi
b. Perangkap berisi tikus, diambil tikusnya dengan cara
menempatkan kantong kain (blacu) pada mulut perangkap
rapat di keempat sisinya, setelah itu perangkap diangkat
dibalik lalu tutup perangkap dibuka dan tikus dimasukkan ke
dalam kantong kain. Kantong diikat dan diberi label lapangan.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 13


c. Perangkap dengan umpan dikerubuti semut diganti umpan
baru dan dipindahkan ke ruangan lain (misalnya dipindah
dari dapur ke ruang makan,dsb), sedangkan untuk perangkap
yang dipasang di luar rumah tidak boleh dipindahkan, kecuali
dengan alasan umpan didatangi semut atau perangkap
dimasuki hewan lain.
d. Pemberian label lapangan.
Label lapangan berupa kertas manila berlubang di ujungnya
untuk mengikatkan tali pada kantong kain, dituliskan lokasi
pemasangan perangkap (rumah, kebun) dan nomor urut
perangkap dan nomor sesuai stiker rumah.
e. Pemeriksaan dan penggantian umpan.
Perangkap dengan umpan dimakan semut, diganti dan
dipindahkan ke lokasi tidak bersemut
f. Perangkap yang sudah pernah berisi tikus dicuci dengan air
cucian beras sebelum digunakan kembali.
g. Semua perangkap dipasang kembali.
h. Tikus tertangkap (dalam kantong kain berlabel lapangan)
dibawa ke laboratorium lapangan, dipisah sesuai asal habitat
(rumah, kebun dll) untuk pemprosesan diawali tikus tertangkap
dari habitat rumah.

14 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


Gambar 2 Proses memasukkan tikus ke dalam kantung.

Hari 3:
a. Pengambilan tikus dilakukan pada jam 06.00 pagi.
b. Perangkap berisi tikus, diambil tikusnya dan seterusnya
dilakukan prosedur yang sama dengan hari kedua.
c. Semua perangkap dibersihkan dari sisa umpan, dicuci dengan
air cucian beras dan dilipat menggunakan tali rafia per 10
perangkap.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 15


d. Penangkapan tikus dalam 1 titik lokasi berakhir pada hari
ketiga.

D. Prosedur anastesi

Prosedur anastesi merupakan prosedur pertama yang dilakukan


di laboratorium lapangan. Anastesi bertujuan untuk mengimobilisasi/
menonaktifkan gerak tikus serta mengurangi rasa sakit yang timbul
akibat proses pengambilan darah dan pembedahan.

Alat dan bahan yang diperlukan jas laboratorium, sarung tangan


nitril. masker, syringe 3 ml, ketamine, xylazine, alkohol 70% dan kapas.

Cara kerja prosedur anestesi sebagai berikut :

a. Timbang berat badan tikus.


b. Buka ikatan kantong kain.
c. Buka ikatan kantong kain, kemudian palpasi (menggunakan
sarung tangan) kantong berisi tikus untuk menentukan letak
kepala tikus.
d. Pegang tengkuk tikus bagian belakang dengan keempat jari,
sedangkan ibu jari diletakkan di bawah mandibula agar tikus
tidak menggigit (tangan kanan).
e. Buka kantong kain sampai terlihat separuh badan tikus bagian
belakang.
f. Kedua kaki belakang tikus dipegang dengan tangan kiri.
g. Siapkan syringe 3 ml untuk anastesi, ambil ketamin sebanyak
1 ml dan xylazine 0.75 ml (dalam satu syringe). Dosis ketamin
70-100 mg/kg BB, dosis xylazine 2 mg/kg BB.
h. Usap salah satu kaki belakang/paha tikus dengan kapas
alkohol.

16 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


i. Suntikkan campuran ketamin dan xylazine di salah satu kaki
belakang/paha tikus.
j. Tikus dibiarkan selama ± 5-10 menit, agar efek obat bekerja.
k. Tikus siap diproses untuk prosedur selanjutnya yaitu
pengambilan darah dan serum (dapat dilihat pada Prosedur
Pengambilan Darah dan Koleksi Serum).

Gambar 3 Cara Anestesi Tikus.

E. Prosedur pengambilan darah dan koleksi serum

Alat dan bahan yang diperlukan adalah jas laboratorium, sarung


tangan nitril, masker, syringe 1 ml, syringe 3 ml, alkohol 70%, vacutainer
8,5 ml, cryotube 2 ml, label serum, centrifuge, mikro pipet, mikro tip,
parafilm, sterofoam kardus gel pack dan formulir koleksi tikus.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 17


Cara kerja sebagai berikut :
a. Bersihkan bagian dada tikus menggunakan kapas yang sudah
dibasahi alkohol 70% searah badan.
b. Menggunakan syringe 1 ml atau 3 ml, tusukkan di bawah tulang
rusuk sampai masuk lebih kurang 50-75% panjang jarum.
Posisi jarum membentuk sudut 45 terhadap badan tikus yang
dipegang tegak lurus, setelah posisi jarum tepat mengenai
jantung, secara hati-hati darah dihisap, usahakan syringe terisi
penuh. Catatan : Pengambilan darah bisa diulang maksimal 2
kali jika terjadi kegagalan.

Gambar 4 Pengambilan darah.

c. Siapkan vacutainer, pegang vacutainer miring membentuk


sudut 45° kemudian tusukan ujung syringe ke tutup vacutainer,
posisikan ujung jarum menempel pada dinding vacutainer dan
biarkan darah mengalir masuk vacutainer sampai habis.

d. Pada kondisi darah sudah mengental lepas jarum dari syringe


dengan penutup jarum dipasang dan diputar berlawanan arah

18 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


jarum jam. Setelah jarum terlepas tempelkan syringe pada
mulut vacutainer.

e. Darah dialirkan ke dinding vacutainer secara perlahan agar


tidak hemolysis.

f. Beri label dan centrifuge dengan kecepatan 5000 rpm, selama


5 menit.

g. Ambil serum menggunakan mikropipet secara perlahan


sehingga gumpalan darah tidak terambil.

h. Masukkan serum ke dalam cryotube 2 ml.

i. Lakukan pengulangan sampai serum terambil seluruhnya.

j. Simpan sementara serum pada kardus styrofoam yang sudah


diisi gel pack.

k. Setelah proses laboratorium lapangan selesai, serum


dipindahkan pada kulkas 4°C.

l. Lanjutkan proses selanjutnya yaitu koleksi ektoparasit (lihat


Prosedur Koleksi Ektoparasit)

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 19


Gambar 5 Proses koleksi serum.

F. Prosedur koleksi ektoparasit

Alat dan bahan yang diperlukan adalah jas laboratorium, masker,


sisir serit, ujung tombak, vial kaca ulir, lup, pensil, label, sarung tangan
nitril, baki/nampan putih, pinset, sikat sepatu, alkohol 70%.

Cara kerja sebagai berikut:

a. Tikus disisir dengan sikat sepatu berlawanan dengan arah


rambut. Setelah itu disisir dengan sisir serit searah dengan
rambut.
b. Ektoparasit yang jatuh di baki dan menempel di sisir serit

20 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


diambil menggunakan pinset atau nippel dan dimasukkan ke
dalam vial kaca ulir berisi alkohol 70%. Jumlah alkohol dalam
vial kaca ulir sebanyak 2/3 volume vial.
c. Periksa dan ambil ektoparasit pada bagian telinga.
d. Satu vial berisi semua ektoparasit dari 1 tikus.
e. Setelah ektoparasit berhasil dikoleksi, kemudian dilanjutkan
proses dokumentasi sampel (Lihat Prosedur Dokumentasi).
f. Setiap selesai melakukan pemrosesan 1 ekor tikus, nampan
harus disterilisasi dengan alkohol untuk menghindari
kontaminasi silang (cross contamination).
g. Beri label kertas berisi kode spesimen menggunakan pensil,
masukkan dalam vial.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 21


Gambar 6 Koleksi ektoparasit pada tikus.

G. Prosedur dokumentasi

Dokumentasi foto dilakukan sebagai salah satu sarana dan alat


bantu proses identifikasi morfologi dari koleksi sampel tikus. Identifikasi
dilakukan berdasarkan ukuran tubuh, warna dan jenis rambut tikus.
Penggunaan formalin dalam pembuatan awetan membuat warna
rambut berubah sehingga pengambilan dokumentasi koleksi sampel
tertangkap sangat penting. Dokumentasi foto dilakukan pada semua
sampel tertangkap.

Alat dan bahan yang diperlukan kamera digital resolusi minimal 12


Megapiksel (MP), penggaris, sarung tangan nitril.

Cara kerja sebagai berikut:

a. Seting kamera pada mode full auto.


b. Letakkan spesimen di atas meja beralas perlak putih.
c. Bentangkan kaki depan dan kaki belakang ke samping.

22 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


d. Penajaman obyek: usahakan obyek difoto harus fokus, tidak
kabur.
e. Letakkan penggaris di samping objek sehingga dapat dilihat
ukuran objek.
f. Pengambilan dokumentasi dilakukan pada bagian dorsal,
ventral, lateral dan ekor tikus.
g. Pengambilan dokumentasi ekor dilakukan dengan posisi
lateral.
h. Sesudah difoto dilanjutkan dengan prosedur identifikasi.

Gambar 7 Dokumentasi spesimen tikus.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 23


H. Prosedur identifikasi tikus

Alat dan bahan yang diperlukan sebagai berikut jas laboratorium,


sarung tangan nitril, masker, penggaris besi 60 cm, penggaris besi
30 cm, timbangan digital, kaliper/jangka sorong, label, benang label,
pensil dan penghapus. Cara kerja identifikasi tikus sebagai berikut :

a. Siapkan formulir koleksi tikus untuk mencatat hasil


pengukuran dan identifikasi.
b. Timbang berat badan.
c. Ukur panjang total (ujung hidung sampai ujung ekor).
d. Mengukur panjang ekor (anus sampai ujung ekor).
e. Mengukur panjang telapak kaki belakang, tumit sampai ujung
jari tanpa cakar.
f. Mengukur panjang telinga, dari pangkal sampai ujung daun
telinga.
g. Mengukur panjang tengkorak menggunakan digital caliper
dari moncong sampai tengkuk.
h. Mencatat jumlah puting susu tikus betina, jumlah puting susu
di bagian dada dan perut (Dada (D) + Perut (P)). Contoh 3 + 3
= 10 artinya 3 pasang di bagian dada dan 3 pasang di bagian
perut sama dengan 12 buah.
i. Mengukur panjang dan lebar testis tikus jantan.
j. Semua pengukuran dalam satuan milimeter (mm) dan gram
(gr).

24 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


Gambar 8 Skematis tikus.

I. Prosedur pengambilan organ dalam tikus

Alat dan bahan yang dibutuhkan jas laboratorium, sarung tangan


nitril, masker, nampan/baki plastik, gunting tumpul runcing, gunting
tulang, gunting runcing-runcing, pinset ujung lancip, vial kaca ulir, RNA
later, mikropipet, alkohol 70%, botol spray, pensil, pinset ujung runcing,
pinset ujung tumpul, plastik biohazard, plastik sampah, cryotube 2 ml.
Cara kerja sebagai berikut :
a. Pembedahan

1) Sisi ventral tikus ditempatkan di atas nampan bersih.


2) Permukaan ventral diusap/semprot dengan alkohol dan dilap
dengan kapas.
3) Kulit bagian bawah perut dicubit dengan pinset/forceps.
4) Gunting tumpul runcing ditempatkan di bawah jari/forcep
dengan sekali gerakan, potong hingga menembus kulit dan
otot-otot perut.
5) Satu sisi gunting yang tumpul dimasukkan ke dalam sayatan
dan dibuat satu potongan dengan pola lurus dari perut ke arah
dada.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 25


6) Potongan kulit dan otot-otot di atas diafragma ditarik untuk
mengekspos rongga perut sepenuhnya.

Gambar 9 Proses pembedahan untuk koleksi sampel paru dan ginjal.

b. Pengambilan paru-paru
1) Siapkan cryotube 2 ml steril.
2) Paru-paru digunting dengan ukuran 500 mg, kira-kira setengah
cryotube 2 ml.
3) Menggunakan pinset ujung lancip, ambil potongan paru dan
masukkan ke dalam cryotube 2 ml.
4) Tambahkan RNA later ± 550 μl sampai paru terendam semua,
usahakan saat penambahan RNA later pipet tip dalam kondisi
steril dan tidak boleh menyentuh dinding cryotube.
5) Beri stiker label, ditempelkan di dinding cryotube.

26 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


6) Simpan sementara paru tikus pada kardus styrofoam yang
sudah diisi gel pack.
7) Setelah proses laboratorium lapangan selesai, paru tikus
dipindahkan pada kulkas 4°C.
8) Sterilkan alat bedah dengan dicelup alkohol 70%, kemudian
keringkan dengan tisu bersih setiap selesai pemrosesan 1 ekor
tikus sebelum digunakan kembali.
9) Dilanjutkan dengan koleksi ginjal.

Gambar 10 Pemrosesan sampel paru-paru.

c. Pengambilan ginjal

1) Ginjal diambil dua-duanya dan dimasukkan dalam vial kaca ulir


berisi alkohol 70%.
2) Beri label kertas, dimasukkan dalam vial.
3) Beri stiker label, ditempelkan pada dinding vial.
4) Setiap selesai melakukan pembedahan terhadap satu ekor
tikus, peralatan bedah disterilkan dengan alkohol 70% dan dilap

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 27


dengan tisu kering. Sampah infeksius (sisa bangkai, kapas/tisu
bekas terkena darah dll) dan non-infeksius ditangani sesuai
Prosedur Penanganan Limbah.

Gambar 11 Pemrosesan sampel ginjal.

J. Prosedur penanganan limbah

Alat dan bahan terdiri dari jas laboratorium, sarung tangan nitril,
masker, sepatu boot, tissue towel, alkohol 70%, kantong plastik hitam,
plastik biohazard, safety box, selotip dan sekop.
Cara kerja penanganan limbah sebagai berikut:
1) Siapkan kantong plastik hitam, plastik biohazard dan safety
box.
2) Tempatkan masing-masing 1 buah plastik biohazard pada tepi
meja pemrosesan untuk menampung limbah infeksius non
benda tajam, contoh: sarung tangan, kapas, tisu, dll.
3) Ikat erat plastik biohazard jika sudah penuh dengan
menggunakan tali dan amankan dengan isolasi. Disinfeksi

28 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


dengan menggunakan alkohol 70%.
4) Tempatkan1 kantong plastik hitam di dekat tempat
pengambilan organ ginjal untuk menampung limbah organ
dan karkas tikus.
5) Ikat erat kantong plastik hitam dengan isolasi jika sudah
penuh dengan menggunakan tali dan amankan dengan isolasi.
Disinfeksi dengan menggunakan alkohol 70%.
6) Setelah selesai melakukan pemoresan spesimen, meja yang
digunakan sebagai tempat pengambilan spesimen dibersihkan
terlebih dahulu dengan menggunakan towel tissue yang sudah
dibasahi alkohol 70% dan mengusap seluruh meja lalu biarkan
sampai kering.

Cara penimbunan limbah sebagai berikut:


1) Lokasi pemilihan lokasi penimbunan limbah harus merupakan
daerah bebas banjir, daerah yang secara geologis aman,
stabil, tidak rawan bencana, di luar kawasan lindung, dan
tidak merupakan daerah resapan air.
2) Lokasi penimbunan limbah karkas dan formalin digali dengan
kedalaman sekitar 2,5 meter.
3) Tempatkan limbah karkas dan formalin pada dasar lubang
setinggi 75 cm.
4) Tambahkan kapur.
5) Tutup lokasi penimbunan dengan tanah.
6) Bagian paling atas tempat penimbunan limbah ditutup
dengan tanah setebal minimum 0,6 meter.
7) Lokasi penimbunan diberi pagar dan tanda.
8) Cuci tangan dan pergelangan tangan dengan sabun dan bilas
dengan air mengalir.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 29


K. Deteksi DNA Leptospira menggunakan polymerase chain
reaction (pcr)

Alat : thermocycle, tabung PCR, rak tabung PCR, mikropipet,


microsentrifuge.
Bahan :
Mix PCR Kit promega.
Primer :
1)   F : GCATCGAGAGGAATTAACATCA
2)   R : CATGCAAGTCAAGCGGAGTA
Cara Kerja :
1) Tabung PCR disiapkan dan diberi kode sesuai dengan kode
isolasi DNA yang akan di-PCR.
2) Mix reagent disiapkan sesuai jumlah sampel yang akan
diperiksa seperti tabel di bawah :

Reagen Volume per reaksi

2x reaction Mix 12,5 μl

Primer 16rrs F 1 μl

Primer 16rrs R 1 μl

ddH2O 5,5 μl

Total per reaksi 20 μl

3) Mix reagen dibagi per tube PCR 20 μl


4) Template RNA ditambahkan 5 μl ke masing-masing tube.
5) Kontrol negatif ditambahkan di tube kontrol negatif, dan
kontrol positif di tube kontrol positif.

30 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


6) Dilakukan spining down sampai tidak ada sampel/reagen yang
tertinggal menempel di dinding tabung.
7) Mesin thermocycle disiapkan untuk proses PCR.
8) Masukkan sampel ke dalam mesin. Lakukan proses PCR dengan
suhu thermocycle sebagai berikut :

1. Hot start 95ºC 5 menit

2. Cycle step 35 cycle


94ºC 30 detik
48ºC 30 detik
72ºC 1 menit

3. Final extention 72oC 7 menit

4. Hold 12ºC ~

9) Dilakukan proses PCR. Tunggu mesin selesai bekerja.


10) Sampel dikeluarkan untuk kemudian dilanjutkan ke proses
elektroforesis (Hasil dinyatakan positif Leptospira patogenik
apabila target pita hasil elektroforesis adalah 514bp).

L. Deteksi RNA hantavirus menggunakan nested Polymerase


Chain Reaction (Nested-PCR)

Alat yang diperlukan sebagai berikut a. Thermocycle, b. Tabung PCR, c.


Rak tabung PCR, d. Mikropipet, e. Microsentrifuge
Bahan :
cDNA syntesis Kit
PCR Kit
Primer :

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 31


1st Round :
Hanta-L F1 : ATGTAYGTBAGTGCWGATGC
Hanta-L R1 : AACCADTCWGTYCCRTCATC
2nd Round :
Hanta-L F2 : TGCWGATGCHACIAARTGGTC
Hanta-L R2 : GCRTCRTCWGARTGRTGDGCAA

Cara kerja sebagai berikut :


a. cDNA sintesis dengan ABI cDNA sintesis kit.
1) Tabung PCR disiapkan dan diberi kode sesuai dengan kode
isolasi RNA yang akan sintesis cDNA.
2) Mix reagent disiapkan sesuai jumlah sampel yang akan diperiksa
seperti tabel di bawah:

Reagen Volume per reaksi

10xRT buffer 2 μl

Dntp 0,8 μl

Random primer 2 μl

Multiscribe RT-Enzim 1 μl

ddH2O 4,2 μl

Total per reaksi 10 μl

3) Mix reagent dibagi per tube PCR 10 μl.


4) Template RNA ditambahkan 10ul ke masing-masing tube
5) Dilakukan spining down sampai tidak ada sampel/reagen yang
tertinggal menempel di dinding tabung.
6) Mesin thermocycle disiapkan untuk proses reverse transcriptase.

32 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


25°C 10 menit
37°C 120 menit
85°C 5 menit
12°C -

7) Dilakukan proses RT-PCR.


8) Setelah selesai, sampel dikeluarkan, untuk kemudian
dilanjutkan ke proses PCR dengan primer L.

M. Nested PCR tahap pertama dengan primer LF1 dan LR1


dengan reagen Qiagen hotstart master mix.

1) Tabung PCR disiapkan, diberi kode sesuai dengan kode cDNA


yang akan diuji .
2) disiapkan mix reagent sesuai jumlah sampel yang akan
diperiksa seperti tabel dibawah: 


Reagen Volume per reaksi

Reagen mix 12,5 μl

ddH2O 5,5 μl

FL1 primer 1 μl

RL1 primer 1 μl

Total per reaksi 20 μl

3) Mix reagent di bagi per tube PCR 20μl.


4) Template cDNA ditambahkan 5μl ke masing-masing tube.
5) Dilakukan spining down sampai tidak ada sampel/reagen yang
tertinggal menempel di dinding tabung.
6) Mesin thermocycle disiapkan untuk proses PCR.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 33


1. Hot start 95ºC 5 menit

}
2. Cycle step 1, 7 cycle
30 detik
96ºC
60ºC 35 menit -1ºC/cycle
50 menit
72ºC

}
3. Cycle step 2, 35 cycle
30 detik
96ºC
1 menit -1ºC/cycle
55ºC
50 detik
72ºC

4. Final extention 72ºC 5 menit


5. Hold 12ºC ~

7) Dilakukan proses PCR, tunggu mesin sampai selesai bekerja.


8) Sampel dikeluarkan untuk kemudian dilanjutkan ke proses
elektroforesis (target pita hasil elektroforesis produk nested
PCR tahap pertama adalah 412bp).
9) Sampel dilanjutkan ke proses nested PCR tahap kedua dengan
primer FL2 dan RL2.

N. Nested PCR tahap kedua dengan primer LF2 dan LR2 dengan
reagen Qiagen hotstart master mix.

1) Siapkan tabung PCR, diberi kode sesuai dengan kode 1st PCR
yang akan diuji.
2) Mix reagent disiapkan sesuai jumlah sampel yang akan
diperiksa seperti tabel dibawah:

34 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


Reagen Volume per reaksi
Reagen mix 12,5 μl
ddH2O 8,5 μl
FL1 primer 1 μl
RL1 primer 1μl
Total per reaksi 20 μl

3) Mix reagent dibagi per tube PCR 20 μl.


4) Template DNA ditambahkan 2 μl ke masing-masing tube.
5) Dilakukan spining down sampai tidak ada sampel/reagen yang
tertinggal menempel di dinding tabung.
6) Mesin thermocycle disiapkan untuk proses PCR.
1. Hot start 95ºC 5 menit

}
2. Cycle step 1, 7 cycle
96ºC 30 detik
60ºC 35 menit -1ºC/cycle
72ºC

}
50 menit
3. Cycle step 2, 35 cycle
30 detik
96ºC
1 menit -1ºC/cycle
55ºC
50 detik
72ºC
4. Final extention 72ºC 5 menit
5. Hold 12ºC ~

7) Dilakukan proses RT-PCR tunggu mesin selesai bekerja.


8) Sampel dikeluarkan untuk kemudian dilanjutkan ke proses
elektroforesis. Hasil positif apabila target pita hasil elektroforesis
produk nested PCR yang kedua adalah 388bp.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 35


BAB III
PENGORGANISASIAN, PENCATATAN
DAN PELAPORAN

A. Pengorganisasian
Surveilans tikus berbasis laboratorium membutuhkan
pengorganisasian mulai dari puskesmas, Dinkes Kab/Kota, Dinkes
Provinsi, B/BTKLPP, KKP dan Direktorat P2PTVZ, dengan pembagian
peran sebagai berikut :
1. Puskesmas
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan
dan penyelidikan binatang pembawa penyakit (BP2).
- Melakukan pengamatan dan penyelidikan dalam rangka
pengumpulan spesimen tikus.
- Melakukan preservasi spesimen hasil koleksi.
- Melakukan pencatatan dan pelaporan.

2. Dinkes Kab/Kota
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan
dan penyelidikan binatang pembawa penyakit (BP2).
- Melakukan pengamatan dan penyelidikan dalam rangka
pengumpulan spesimen tikus bersama Puskesmas.
- Melakukan preservasi spesimen hasil koleksi bersama
Puskesmas.

36 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


- Melakukan pengiriman spesimen ke laboratorium.
- Melakukan pembinaan pengamatan dan penyelidikan
binatang pembawa penyakit (BP2) terhadap puskesmas
- Melakukan pencatatan dan pelaporan.

3. Dinkes Provinsi
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan
dan penyelidikan binatang pembawa penyakit (BP2).
- Melakukan pengamatan dan penyelidikan dalam rangka
pengumpulan spesimen tikus bersama Dinkes Kab/Kota.
- Melakukan preservasi spesimen hasil koleksi bersama
Dinkes Kab/Kota.
- Melakukan pengiriman spesimen ke laboratorium.
- Melakukan pembinaan pengamatan dan penyelidikan
binatang pembawa penyakit (BP2) terhadap Dinkes Kab/
Kota.
- Melakukan pencatatan dan pelaporan.

4. KKP
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan
dan penyelidikan binatang pembawa penyakit (BP2).
- Melakukan pengamatan dan penyelidikan dalam rangka
pengumpulan spesimen tikus di wilayah kerjanya.
- Melakukan preservasi spesimen hasil koleksi.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 37


- Melakukan pengiriman spesimen ke laboratorium.
- Melakukan pencatatan dan pelaporan.

5. B/BTKLPP
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan,
penyelidikan dan pemeriksaan binatang pembawa
penyakit (BP2).
- Melakukan pengamatan dan penyelidikan dalam rangka
pengumpulan spesimen tikus berkoordinasi dengan
Dinkes Provinsi dan Dinkes Kab/Kota.
- Melakukan preservasi spesimen hasil koleksi.
- Melakukan pemeriksaan spesimen tikus berbasis
laboratorium.
- Melakukan pencatatan dan pelaporan.

6. Pusat / Kemenkes RI
- Melakukan perencanaan dan penganggaran pengamatan
dan penyelidikan binatang pembawa penyakit (BP2).
- Melakukan monitoring dan evaluasi pengamatan dan
penyelidikan dalam rangka pengumpulan specimen tikus.
- Melakukan analisis hasil pemeriksaan surveilans tikus
berbasis laboratorium.
- Pengambilan keputusan yang didahului dengan berdiskusi
bersama Komisi Ahli Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit.

38 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


- Diseminasi dan umpan balik hasil analisis kepada Dinkes
Provinsi, B/BTKLPP dan KKP.

3.2. Pencatatan dan Pelaporan


Semua institusi / penyelenggaraan surveilans tikus berbasis
laboratorium melaporkan hasil kegiatan secara berjenjang dari
Puskesmas, Dinkes Kab/ Kota, Dinkes Provinsi kepada pusat
(Direktorat P2PTVZ). Demikian juga KKP, B/BTKL-PP, Badan
Litbangkes dan Institusi lainnya melaporkan hasil kegiatan
tersebut kepada pusat (Direktorat P2PTVZ), sebagaimana alur
pelaporan sebagai berikut :

KOMLI KEMENKES/Pusat LITBANG DAN


VEKTOR (Dit P2PTVZ) INSTITUSI
DAN BP2 LAINNYA

KKP B/BTKL-PP DINKES PROV

Keterangan : DINKES
KAB/KOTA

: Laporan
: Umpan Balik
: Koordinasi
: Kajian PUSKESMAS

Gambar : Alur Pengorganisasian Pelaporan Penyelenggaraan


Surveilans Tikus Berbasis Laboratorium

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 39


Hasil analisis surveilans tikus berbasis laboratorium selanjutnya dibahas
dan dikaji oleh tim Direktorat P2PTVZ bersama Komisi Ahli Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit.

40 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


BAB IV
PENUTUP

Petunjuk teknis ini disusun sesuai dengan perkembangan teknologi


terkini serta mengacu kepada kebijakan atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Pemutahiran metodologi serta
lingkup dari petunjuk teknis ini akan dilakukan secara berkala sesuai
dengan dinamika perkembangan penyakit tular vektor dan zoonosis
yang ada di Indonesia dan di dunia.

Harapannya, semoga petunjuk teknis ini dapat membantu tenaga


entomolog kesehatan atau penanggungjawab kegiatan pengendalian
vektor dan binatang pembawa penyakit dalam pelaksanaan tugas di
institusi masing-masing, khususnya laboratorium B/BTKLPP.

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 41


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan, 2017. Pedoman Pengumpulan Data


Reservoir (Tikus) di Lapangan. Balitbangkes-Jakarta.

2. Kementerian Kesehatan, 2003. Peraturan Menteri Kesehatan RI


Nomor 1116 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

3. Kementerian Kesehatan, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan RI


Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan KLB/Wabah.

4. Kementerian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan


RI Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan.

5. Kementerian Kesehatan, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI


Nomor 50 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit serta Pengendaliannya.

42 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM


Catatan:

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK 43


Catatan:

44 PETUNJUK TEKNIS SURVEILANS TIKUS BERBASIS LABORATORIUM

Anda mungkin juga menyukai