Peristiwa kematian Yesus merupakan suatu peristiwa yang menunjukkan dua hal,
yaitu puncak kejahatan manusia yang paling besar melawan Allah dan kekuasaan
Allah yang melampaui kemampuan manusia. Dalam peristiwa itu, Tuhan Yesus
diseret ke Bukit Kalvari. Tubuh-Nya dipaku secara keji pada kayu salib dan
dipertontonkan sambil dihina. Ini merupakan suatu gambaran nyata tentang sikap dan
tindakan kita yang cenderung egoistik, tanpa memikirkan orang lain. Kita menjadi
apatis atau tidak peduli lagi dengan orang lain, dan yang terpenting hanyalah
keinginan kita tercapai. Akibat keegoisan manusia, Yesus menderita dan wafat di
kayu salib karena kita tidak punya perasaan malu.
Yesus mengasihi kita, bukan karena kepintaran dan kepandaian kita, rupa kita, harta
kekayaan yang kita miliki, atau karena ada sesuatu dari kita yang membuat kita
dikasihi Allah. Bahkan, jika di dunia ini hanya kita sendiri yang berbuat dosa, Yesus
tetap turun ke dalam dunia dan menjalani hukuman salib karena kasih-Nya yang
begitu besar. Terimalah kasih-Nya dan percayalah kepada-Nya, Allah dan satu-
satunya Juruselamat manusia
Ini merupakan ungkapan Yesus yang menggambarkan penyerahan diri Yesus bagi
orang yang mau menerima-Nya. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang
dikasihi-Nya yang dengan setia menemani Dia sampai di puncak Golgota. Dia
meneguhkan mereka supaya saling memperhatikan dan saling menguatkan. Maria
2
yang telah mengandung dan melahirkan Yesus, akhirnya juga menemani Yesus yang
tergantung di kayu salib. Tanggapan Maria atas sapaan malaikat Tuhan, “Jadilah
padaku menurut perkataan-Mu itu” (Luk 1:38) menjadi nyata dalam partisipasi pada
penyerahan Diri Yesus dengan wafat di kayu salib. Dia menerima kematian Yesus
dengan sepenuh hati, meskipun hatinya tertikam derita yang paling tajam dan
mematikan. Kepasrahan Bunda Maria adalah teladan umat beriman. Bunda Maria
menghayati hidup yang setia kepada Allah melalui “via dolorosa.” Dia taat kepada
Allah dengan menemani putra-Nya sampai di puncak golgota. Melalui teladan Maria,
kita dipanggi untuk setia kepada panggilan kita masing-masing, sejak kita berjanji
setia untuk menelusuri jalan hidup yang telah kita pilih sampai saat ini, misalnya janji
perkawinan suami-isteri untuk setia sampai mati.
Dalam rangka menelusuri jalan hidup atau menghayati panggilan kiranya kita harus
menghadapi aneka tantangan, hambatan, masalah, godaan dalam membangun bahtra
kehidupan keluarga kita masing-masing. Pilihan kita untuk hidup berkeluarga
merupakan konsekuensi dari ketaatan dan kesetiaan kita terhadap panggilan. Mungkin
saat ini juga kita sedang menghadapi masalah, tantangan, hambatan atau godaan berat.
Jika memang demikian marilah kita memandang Dia yang tergantung di kayu salib,
yang tidak mengeluh, menggerutu atau balas dendam terhadap mereka yang membuat-
Nya menderita. Ingatlah dan hayati bahwa penderitaan yang kita alami karena
masalah, tantangan, hambatan dan godaan tersebut rasanya tidak sebanding dengan
penderitaan Yesus. Saya yakin dan percaya jika kita sungguh-sungguh memandang
Yang Tersalib dengan sepenuh jiwa dan raga kita, kita pasti akan dikuatkan dalam
menghadapi penderitaan dan kemudian mampu menghadapi aneka tantangan,
hambatan, masalah atau godaan tersebut dengan penuh sukacita.
Orang yang mengeluh ‘haus’ berarti minta diberi minuman; dengan memberi
minuman berarti mengurangi penderitaan yang bersangkutan. Kita dipanggil untuk
‘memberi minum kepada Yesus yang kehausan di kayu salib’, artinya meringankan
beban penderitaan-Nya dengan berpartisipasi dalam penderitaanNya. Berpartisipasi
dalam penderitaan-Nya dapat kita wujudkan dengan mempersembahkan diri kita
seutuhnya kepada saudara-saudari kita, lebih-lebih yang setiap hari bersama dengan
kita, serta tugas pekerjaan kita masing-masing.
3
Pertama-tama di ingatkan kepada kita semua, yang kiranya telah memiliki pengalaman
untuk saling mempersembahkan atau memberikan diri seutuhnya, misalnya suami-
istri, yang dengan penuh cinta saling melayani sehingga menghasilkan seorang anak,
sebagai buah kasih yang menggembirakan. Melalui pengalaman-pengalaman
mencintai dan dicintai hendaknya menjiwai cara hidup dan cara bertindak kita dalam
kehidupan sehari-hari, entah di dalam keluarga, tempat kerja maupun dalam
masyarakat, yaitu dengan mempersembahkan diri pada anak-anak, tugas pekerjaan,
dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, dengan gembira dan bergairah.
Keteladanan kita akan mempengaruhi lingkungan hidup kita di mana pun kita berada.
Kita semua dipanggil untuk saling menghibur dalam hidup kita sehari-hari dimanapun
dan kapanpun, maka baiklah secara khusus kita perhatikan mereka yang sungguh
membutuhkan penghiburan, entah yang sedang sakit, menderita, atau yang mengalami
kesepian. Amin