Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keputusan Investasi


Investasi pada dasarnya adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang
berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi
suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.
Investasi juga sering diartikan sebagai penanaman modal. Adapun beberapa pengertian
investasi menurut para ahli sebagai berikut.
a. Tendelilin (2010:2)
Investasi dapat di definisikan sebagai komitmen atas sejumlah dana atau
sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh
sejumlah keuntungan di masa yang akan datang.
b. Sunariyah (2011:4)
Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang
dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan
keuntungan di masa yang akan datang.
c. Hartono (2010:5)
Investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva
produktif selama periode waktu tertentu.
Berdasarakan pendapat para ahli tersebut di atas dapat disimpulakan bahwa
investasi adalah suatu kegiatan penanaman sejumlah dana yang dilakukan oleh pemberi
modal pada saat ini dengan harapan mendapatkan keuntungan dimasa yang akan datang.
Berkaitan dengan tugas dari manajemen keuangan menyangkut penyelesaian atas
keputusan penting yang diambil perusahaan, salah satunya adalah keputusan investasi.
Keputusan investasi merupakan keputusan yang menyangkut pengalokasian dana yang
berasal dari dalam maupun dana yang berasal dari luar perusahaan pada berbagai bentuk
investasi. Keputusan investasi dapat dikelompokkan ke dalam investasi jangka pendek
seperti investasi kedalam kas, surat-surat berharga jangka pendek, piutang, dan persediaan
maupun investasi jangka panjang dalam bentuk tanah, gedung, kendaraan, mesin, peralatan
produksi, dan aktiva tetap lainnya. Sari (2013) menyatakan bahwa nilai perusahaan
ditentukan oleh keputusan investsi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa keputusan investasi
itu penting karena keputusan mengenai investasi ini akan berpengaruh langsung terhadap
besarnya rentabilitas investasi dan aliran kas perusahaan untuk waktu-waktu berikutnya.

2.2 Pengertian Keputusan Pendanaan


Secara umum pendanaan adalah cara memperoleh dana yang diperlukan baik
sebagai pendanaan utama maupun dana tambahan untuk pengerjaan proyek, program, atau
portofolio yang dialokasikan demi berjalannya sebuah perusahaan, organisasi, ataupun
proyek. Perusahaan dalam hal ini akan mendapatkan pendanaan dalam bentuk utang atau
ekuitas. Jika melalui utang, berarti perusahaan menjadi pihak peminjam dana. Sedangkan
jika pendanaan berbentuk ekuitas, berarti perusahaan menerima investasi dari para pemilik
dengan menerbitkan saham atau menahan saldo laba.
Adapun menurut Husnan dan Pudjiastuti (2006), keputusan pendanaan menyangkut
keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang akan dipergunakan oleh
perusahaan. Keputusan ini merupakan keputusan manajemen keuangan dalam melakukan
pertimbangan dan analisis perpaduan antar sumber-sumber dana yang paling ekonomis
bagi perusahaan untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan operasional
perusahaan.

2.3 Interaksi Keputusan Investasi dengan Keputusan Pendanaan


Pada dasarnya, pemilihan investasi yang menguntungkan merupakan masalah
keputusan investasi, sedangkan penggunaan sumber dana yang berbeda-beda merupakan
hasil keputusan pendanaan. Oleh karena itu, hal tersebut disebut sebagai interaksi
keputusan investasi dengan keputusan pendanaan.
Dalam hal ini paling tidak terdapat dua cara yang dipergunakan untuk mengkaitkan
keputusan investasi dengan keputusan pendanaan. Cara yang pertama adalah dengan
menggunakan metode biaya modal rata-rata tertimbang, dan yang kedua adalah dengan
menggunakan metode adjusted present value. Adapun penjelasan mengenai masing-
masing metode yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut.
2.3.1 Penggunaan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang
Cara ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa kalau suatu investasi akan
dibiayai dengan berbagai sumber dana, sedangkan masing-masing sumber dana
mempunyai biaya yang berbeda-beda, maka dari itu perlu dihitung rata-rata
tertimbang dari biaya-biaya modal tersebut. Biaya modal rata-rata tertimbang inilah
yang kemudian dipergunakan sebagai tingkat keuntungan yang layak dalam
perhitungan NPV (atau sebagai cut-off rate dalam perhitungan IRR). Apabila dengan
menggunakan tingkat bunga tersebut diperoleh NPV yang positif (atau IRR > biaya
modal rata-rata tertimbang) maka investasi tersebut djnilai menguntungkan, dan
sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menggunakan metode ini perlu ditaksir terlebih
dulu biaya modal dari masing-masing sumber dana.
a. Biaya Modal Sendiri
Biaya modal sendiri menunjukkan tingkat keuntungan yang
diinginkan oleh pemilik modal sendiri sewaktu mereka bersedia
menyerahkan dana tersebut ke perusahaan. Apabila perusahaan tersebut
telah menjual sahamnya di bursa, maka penaksiran biaya modal sendiri bisa
dilakukan. Apabila tidak, estimasi yang dilakukan hanya mendasarkan diri
atas referensi usaha yang sejenis.
Penaksiran biaya modal sendiri dengan menggunakan Capital Asset
Pricing Model (CAPM) mengatakan bahwa:
Ri = Rf + (Rm – Rf) β i
Dalam hal ini:
Ri = Tingkat keuntungan yang layak untuk saham i
Rf = Tingkat keuntungan bebas risiko
Rm = Tingkat keuntungan portofolio pasar (indeks pasar)
βi = Beta (risiko) saham i
Semakin besar β i semakin tinggi Ri. Disini Ri tidak lain merupakan
biaya modal sendiri (biaya modal sendiri kita beri notasi ke bagi perusahaan
yang menerbitkan saham i tersebut.
Dengan demikian, apabila suatu saham diperkirakan mempunyai β
=1.20, sedangkan Rf = 9 dan Rm diharapkan sebesar 17, maka biaya modal
sendiri untuk perusahaan tersebut adalah,
Ke = 9 % + (17% - 9%) 1.2 = 18.6%
Meskipun demikian perlulah diingat bahwa barangkali β sebesar
1.20 tersebut adalah beta dari perusahaan yang telah menggunakan utang.
Apabila proyek direncanakan akan dibiayai dengan proporsi utang yang
mungkin berbeda dengan proporsi utang sewaktu diperoleh taksiran beta,
maka perlu disesuaikan seandainya perusahaan tidak menggunakan utang
terlebih dulu. Adapun rumus yang digunakan adalah:
β

()
β iu = 1+ (1−t ) B
S
Dalam hal ini:
β iu = Beta seandainya perusahaan tidak menggunakan utang
βi = Beta dengan menggunakan utang tertentu
B = Nilai pasar utang
S = Nilai pasar modal sendiri
t = Tarif pajak penghasilan
Misalkan bahwa B/S = 1,00 (ini berarti bahwa utang yang
dipergunakan sama besarnya dengan nilai modal sendiri), dan t = 0,35
maka:
β iu = 1,20 / [1+ (1-0,35) (1,0)] = 0,73
Apabila proyek akan dibiayai dengan 40% utang dan 60% modal
sendiri maka beta untuk proyek tersebut akan:
0, 73 = β i /[1+(1-0,35)(0,4/0,6)]
βi = 1,04
Perhatikan bahwa beta untuk saham tersebut menjadi lebih kecil
apabila perusahaan akan mempergunakan utang dengan proporsi yang lebih
kecil. Dengan demikian, biaya modal sendiri yang relevan adalah:
Ke = 9% + (17% -9%) 1,04 = 17,34%
Dalam hal ini tidak semua analis menggunakan CAPM untuk
menaksir biaya modal sendiri. Cara lain yang sering dipergunakan adalah
dengan menggunakan pendekatan cash flow. Oleh karena sulitnya
memperkirakan arus dividen dimasa yang akan datang maka rumus yang
sering dipergunakan adalah model dengan pertumbuhan konstan, yang
menyatakan bahwa:
D1
Po =
( K e −g)
Dalam hal ini:
Po = Harga saham saat ini
D1 = Dividen yang diharapkan pada tahun depan (tahun ke 1)
Ke = Biaya modalsendirig
g = Pertumbuhan laba (dan juga dividen)
Apabila harga saham saat ini adalah Rp10.000, dividen tahun depan
diharapkan akan sebesar Rp800,00, sedangkan pertumbuhan laba (dan juga
dividen) diharapkan sebesar 14%, maka:
800
10.000 =
( K e −0 ,14)
10.000 ke - 1400 = 800
10.000 ke = 800 + 1400
Ke = 2.200
Ke = 22%
b. Biaya Hutang (Cost of Debt)
Biaya utang menunjukkan berapa biaya yang harus ditanggung oleh
perusahaan karena perusahaan menggunakan dana yang berasal dari
pinjaman. Untuk menaksir berapa besarnya biaya utang tersebut maka
konsep present value diterapkan. Sebagai misal, suatu perusahaan akan
menerbitkan obligasi dengan jangka waktu 10 tahun, membayarkan bunga
sebesar 14% per tahun. Nilai nominal obligasi tersebut adalah Rp
1.000.000. Sewaktu ditawarkan ke masyarakat, obligasi tersebut hanya laku
terjual dengan harga Rp980.000.
Dalam persoalan terse but kita bisa menghitung biaya utang (diberi
notasi kd) sebagai berikut.
10
140 . 000 1 . 000. 000
980 . 000=∑ +¿ ¿
t =1 ( 1+ Kd ) t
( 1+ Kd )t
Dengan melakukan trial and error bisa dihitung bahwa kd sekitar
14,40 %.
Selain itu, faktor pajak perlu diperhatikan dalam menaksir biaya
utang. Oleh karena umumnya pembayaran bunga bersifat tax deductible,
dan penaksiran arus kas untuk penilaian profitabilitas investasi didasarkan
atas dasar setelah pajak maka biaya utang perlu disesuaikan dengan pajak.
Adapun rumus yang dipergunakan adalah:
Kd = Kd (1 - t)
Dalam hal ini:
Kd = Biaya utang setelah pajak
T = Tarif pajak penghasilan
Apabila tarif pajak adalah 35% maka biaya utang setelah pajak
adalah:
Kd = 14,4% (1- 0,35) = 9,36%
Angka inilah nanti yang akan dipergunakan untuk menghitung biaya
modal rata-rata tertimbang, apabila ada pajak dan pembayaran bunga
bersifat tax deductible.
Selain faktor pajak, faktor biaya floatation mungkin perlu juga
dipertimbangkan. Apabila dalam penerbitan obligasi tersebut dikeluarkan
biaya floatation (emisi) sebesar Rp20.000,00 per lembar obligasi maka dari
Rp980.000,00 yang dibayar pemodal, hanya Rp960.000,00 yang diterima
oleh perusahaan. Dalam hal tersebut biaya utang (sebelum pajak) adalah:

Kita akan memperoleh kd yang sedikit lebih besar dari 14,4%


(sewaktu tidak ada floatation cost).
c. Biaya Saham Preferen
Saham preferen adalah saham yang memberikan jaminan kepada
pemiliknya untuk menerima dividen dalam jumlah tertentu berapapun laba
(rugi) perusahaan. Oleh karena saham preferen merupakan salah satu
bentuk modal sendiri, maka perusahaan tidak berkewajiban melunasi saham
tersebut. Karena itu biaya saham preferen (diberi notasi Kp) adalah:
D
Kp =
P
Dalam hal ini:
D = dividen yang dibagikan setiap tahun
P = harga saham preferen tersebut.
d. Perhitungan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang
Misalkan suatu proyek akan didanai dengan komposisi sebagai
berikut:

Sumber Dana Komposisi

Emisi saham baru 40%

Laba yang ditahan 30%

Hutang 30%
Biaya laba yang ditahan (yaitu modal sendiri) ditaksir sebesar 19%,
dan emisi saham baru diperlukan biaya emisi 3%. Biaya utang ditaksir 15%
sebelum pajak, pajak penghasilan sebesar 35%.
Untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang perlu dihitung
biaya modal dari masing-masing sumber pendanaan. Biaya saham baru
sebesar (19%/0.97%) = 19.6%. Biaya utang setelah pajak 15%(1-0.35) =
9,75%. Dengan demikian, maka:

Biaya Modal Rata-rata


Sumber Dana Komposisi
setelah Pajak Tertimbang

Saham baru 0,40 19,60% 7,84%


Laba yang ditahan 0,30 19,00% 5,70%
Hutang 0,30 9,75% 2,93%

Biaya modal rata-


16,47%
rata tertimbang

Angka tersebut menunjukan bahwa apabila proyek tersebut


diharapkan akan bisa memberikan IRR > 16,47%, maka proyek tersebut
dinilai menguntungkan. Atau, apabila NPV proyek tersebut dihitung dengan
tingkat bunga sebesar 16,47% dan diharapkan memberikan angka yang
positif, maka proyek tersebut dinilai menguntungkan.
e. Kesalahan yang Sering Dibuat dengan Biaya Modal Rata-Rata
Dalam hal ini misalkan, proyek yang sedang dianalisis diperkirakan
memberikan IRR hanya sebesar 15%. Dengan demikian, apabila digunakan
proporsi pendanaan seperti pada tabel di atas, proyek tersebut akan dinilai
tidak menguntungkan. Apabila Direktur Keuangan sangat ingin
melaksanakan proyek tersebut maka mungkin ia akan melakukan tindakan
"kreatif'” sebagai berikut. "Mengapa kita tidak mendanai proyek tersebut
dengan 70% utang dan hanya 30% laba yang ditahan?”. Bukankah dengan
menempuh cara tersebut biaya modal rata-rata tertimbang akan sebesar
12,53%, dan arkena itu proyek tersebut akan dinilai menguntungkan?
ko = 0,70(9,75%) + 0,30(19,00%) = 12,53%
Kesalahan cara yang dilakukan di atas adalah bahwa Direktur
Keuangan menggunakan asumsi bahwa biaya modal sendiri (= Ke) konstan
meskipun proyek akan dibiayai dengan proporsi dana yang lebih banyak
terdiri dari utang. Hal ini tentu saja tidak benar karena Ke akan meningkat,
dan mungkin Kesalahan cara yang dilakukan di atas adalah bahwa Direktur
Keuangan menggunakan asumsi bahwa biaya modal sendiri (= Ke) konstan
meskipun proyek akan dibiayai dengan proporsi dana yang lebih banyak
terdiri dari utang. Hal ini tentu saja tidak benar karena Ke akan meningkat,
dan mungkin peningkatannya tidak lagi linear, apabila perusahaan
menggunakan hutang yang makin banyak.

Kesalahan lain adalah kemungkinan digunakannya struktur modal


dari perusahaansSaat ini. Padahal yang seharusnya dipergunakan adalah
struktur modal yang optimal. Dengan demikian, mungkin saja proporsi
pendanaan yang dipergunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata
tertimbang berbeda dengan proporsi pendanaan yang akan dipergunakan
untuk proyek yang dianalisis.
2.3.2 Penaksiran Arus Kas Operasi dan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang
Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah sewaktu menaksir arus kas operasi
pada saat akan dipergunakan biaya modal rata-rata tertimbang sebagai cut-off rate
dalam perhitungan IRR atau NPV. Kesalahan tersebut terjadi sewaktu dipergunakan
cara menaksir arus kas operasi dengan cara:
Proceed = laba setelah pajak + penyusutan
Cara tersebut hanya benar apabila mengasumsikan bahwa proyek akan dibiayai
dengan 100% modal sendiri. Dengan kata lain, dalam perhitungan laba setelah pajak,
tidak dikurangi terlebih dahulu dengan pembyaran bunga. Apabila dikurangi terlebih
dahulu pembyaran bunga maka akan terjadi perhitungan ganda jika digunakan rumus
tersebut.
Misalkan suatu proyek hanya mempunyai usia ekonomis satu tahun. Aktiva
tetap yang diperlukan senilai Rp 10 juta, dan modal kerja senilai Rp 5 juta. Karena
usia proyek hanya 1 tahun, maka penyusutan dalam tahun tersebut akan sebesar Rp
10 juta (diasumsikan tidak ada nilai sisa), dan modal kerja akan kembali sebagai
terminal cash inflow pada akhir tahun 1. Investasi tersebut akan didanai oleh hutang
sebanyak Rp 10 juta dengan bunga 15% pertahun (Kd= 15%), dan modal sendiri
sebesar Rp 5 juta, (dengan Ke = 20%). Tarif pajak sebesar 25%.
Misalkan bahwa taksiran operasi adalah sebagai berikut.

Penghasilan penjualan Rp. 30 juta

Biaya-biaya:

Tunai Rp. 16,5 juta

Penyusutan Rp. 10 juta Rp. 26,5 juta


Laba operasi Rp. 3,5 juta

Bunga Rp. 1,5 juta

Laba sebelum pajak Rp. 2 juta

Pajak Rp. 0,5 juta

Laba setelah pajak Rp. 1,5 juta

Sedangkan biaya modal rata-rata tertimbang dihitung sebagai berikut.


Biaya modal rata-rata tertimbang = (5/15) (0,20) + (10/15) (0,15) (1-0,25) = 14,17%
Apabila proceed (operasi ditaksir dengan rumus, maka:
Proceed = 1,50 + 10,00 = Rp. 11,50 juta
Dengan memperhatikan terminal cash inflow sebesar Rp. 5 juta (dari modal
kerja), maka NPV bisa dihitung sebagai berikut.

NPV= -15+ (11,5+5,0)


¿¿
= - Rp. 0,54 juta
Oleh karena NPV negatif, maka proyek harus ditolak.
Tetapi benarkah proyek harus ditolak? Proyek tersebut menghasilkan kas
masuk yang akan memungkinkan perusahaan membayar bunga plus pokok
pinjamannya (Rp. 10 juta + Rp. 15 juta) dan juga mengembalikan modal sendiri plus
keuntungan yang diinginkan (Rp. 5 juta + Rp 1 juta).

Apabila investasi (proyek) tersebut diharapkan masih akan memberikan kas


masuk lebih besar Rp. 0,5 juta dari yang disyaratkan, mengapa harus ditolak?
Dengan demikian nampak bahwa cara yang dipergunakan dalam menaksir
proceed tidaklah tepat. Apabila kita menginginkan menggunakan laporan rugi laba
untuk dikonversikan menjadi proceed, dan proyek tersebut dibiaya dengan
(sebagaian) hutang, maka cara penaksiran proceed dilakukan sebagai berikut:
Proceed = laba setelah pajak + penyusutan + bunga (1 – t)
Hal ini berarti bahwa,
Proceed = 1,50 + 10 + 1,5 (1-0,25)
= Rp. 12, 625 juta
Dengan demikian, NPV proyek tersebut:

Dikarenakan NPV adalah positif, maka proyek tersebut seharusnya diterima.


2.3.3 Penggunaan Adjusted Net Present Value
Metode Adjusted Net Present Value (disingkat APV) pertama kali
dikemukakan oleh Myers (1974), yang pemikirannya analog dengan pemikiran yang
dipergunakan oleh Modigliani dan Miller.
Metode ini memulai analisis dengan menilai suatu proyek apabila dibiayai
seluruhnya dengan modal sendiri (disebut sebagai Base Case NPV). Setelah itu,
kemudian ditaksir dampak dari kebijakan pendanaan bagi proyek tersebut. Secara
formal dirumuskan:
APV = Base Case NPV + PV dampak keputusan pendanaan
Pedoman (decision rule) analisisnya adalah terima suatu proyek yang
diharapkan memberikan APV positif. Dengan demikian, mungkin saja base case
NPV-nya negatif, tetapi asalkan PV dampak keputusan pendanaan nilai positifnya
lebih besar dari nilai negatif base case NPV-nya, proyek tersebut dapat diterima
karena akan menghasilkan APV yang positif.
Misalkan, suatu proyek mempunyai usia ekonomi yang tidak terhingga (n=∞).
Tarif pajak sebesar 25%. Kas masuk bersih dari operasi pada tahun 1 diharapkan
sebesar Rp3 miliar, dan diharapkan meningkat terus per tahun sebesar 10%
selamanya. Apabila proyek dibiayai dengan 100% modal sendiri r (atau K eu ) ditaksir
sebesar 18%. lnvestasi yang diperlukan senilai Rp40 miliar pada tahun ke-0.
Dari informasi tersebut dapat dihitung Base Case NPV sebagai berikut:
Base Case NPV = [3/(0,18-0,10)] - 40 = - Rp.2,5 miliar
Ini berarti bahwa apabila proyek tersebut dibiayai dengan 100% modal sendiri
akan dinilai tidak menguntungkan. Sekarang misalkan bahwa proyek tadi
memungkinkan dibiayai dengan utang (yang juga bersifat permanen) sebesar Rp 16
miliar dengan kd = 15%. Dengan demikian,
PV penggunaan utang:
= t(B)
= 0,25 (16)
= Rp. 4 miliar
maka,
APV = -2,5 + 4
= Rp. 1,5 miliar
Karena itu apabila memungkinkan dipergunakan utang permanen sebesar Rp
16 miliar maka proyek tersebut dinilai menguntungkan.
Untuk proyek yang mempunyai usia ekonomi terbatas, maka diperlukan
bagaimana rencana pendanaan dari tahun ke tahun. Misalkan, suatu proyek
mempunyai usia ekonomis 3 tahun, menggunakan utang sebesar Rp300 juta, dan
diangsur selama 3 tahun dengan besar angsuran pokok pinjaman yang sama. Apabila
bunga yang dibayar adalah 18% per tahun, dan tarif pajak adalah 35% maka
besamya PV penghematan pajak selama 3 tahun dapat dihitung sebagaimana
dicantumkan dalam tabel berikut (dalam jutaan).

Keterangan:
1. Penghematan pajak = 0,35 x bunga
2. PV penghematan pajak tahun 1 = (18,90) / (1 +0,18) = 16,01
Dengan demikian apabila Base Case NPV = Rp20 juta maka APV proyek
tersebut adalah Rp20 juta + Rp28,98 juta = Rp48,98 juta.
Seandainya kredit yang dipergunakan untuk membiayai proyek tersebut
merupakan kredit dengan suku bunga murah (atau disubsidi) maka perhitungan
dampak sampingan dari keputusan pendanaan akan berbeda. Misalkan bahwa
perusahaan memperoleh fasilitas kredit murah, dengan suku bunga hanya 12% per
tahun. Pembayaran bunga dan pokok pinjamannya adalah sebagai berikut.
Dengan angsuran sebesar Rp136 juta pada tahun 1, Rp124 juta pada tahun ke-
2, dan Rp112 juta pada tahun ke-3, perusahaan memperoleh kredit Rp300 juta.
Apabila tingkat bunga kredit yang umum adalah 18% maka PV pembayaran kredit
tersebut adalah:
PV kredit = 136 / (1 +0,18) + 124 / (1+0,18)2 + 112/(1+ 0,18)3
PV kredit = Rp.272,5 juta
Dengan demikian, NPV kredit tersebut adalah:
Rp300 juta - Rp272,5 juta = Rp27,5 juta, dimana angka ini akan menambah Base
Case NPV.
Disamping itu juga masih perlu dihitung PV dari penghematan pajak.
Perhitungan PV penghematan pajak dipergunakan tingkat bunga yang benar-benar
dibayar oleh perusahaan, yaitu 12% yang merupakan tingkat bunga yang disubsidi.
Adapun perhitungan PV penghematan pajak karena penggunaan hutang yang
disubsidi (dalam jutaan) dapat dilihat pada tabel berikut.

Dengan demikian, maka:


APV = Rp. 20 + Rp. 27,5 + Rp. 19,26
= Rp. 66,76 juta
Dalam hal ini, suatu proyek menjadi semakin menarik apabila kredit tersebut
disubsidi.

Anda mungkin juga menyukai