Anda di halaman 1dari 33

PENGALAMAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA EKSPATRIAT

di PT. TANIHUB INDONESIA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan untuk menempuh Ujian Akhir Semester


pada mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif

RATU ALIFFA BERLIANA


210110190079

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
JATINANGOR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konteks Penelitian


Saat ini kondisi perusahaan nasional maupun multinasional mengalami
perkembangan yang sangat pesat, ditambah dengan adanya MEA atau Masyarakat
Ekonomi Asean yang merupakan pengintegrasian ekonomi di negara-negara Asia Tenggara
yang tujuannya untuk mengurangi atau bahkan dapat menghapus segala hambatan yang
terjadi. MEA ini merupakan bentuk usaha pemerintah guna meningkatkan perekonomian,
baik dalam bidang perdagangan barang, jasa, dan investasi. Dalam bidang jasa sendiri,
imbas dari adanya MEA ini dapat berdampak positif maupun negatif. Dilansir dari
Binus.ac.id, dampak positif nya yaitu dengan adanya MEA, maka para pekerja lokal terus
dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan keterampilan mereka agar mampu bersaing
dengan masyarakat ASEAN lainnya. Disamping itu, para pekerja lokal juga dituntut untuk
dapat berpikir lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam ranah sosial
maupun budaya yang ada. Namun dampak negatif juga dapat terlihat akibat dari adanya
MEA ini dimana terjadi peningkatan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di dalam
negeri. Hal ini terjadi karena masyarakat lokal tidak ada hanya bersaing dengan sesama
bangsa namun juga dengan masyarakat internasional.
Sejalan dengan hal tersebut, terjadi juga peningkatan penggunaan tenaga kerja asing
atau ekspatriat di Indonesia. Kualitas dan keterampilan yang dimiliki oleh para ekspatriat
dinilai lebih mampu bersaing dengan kondisi ekonomi global saat ini dibanding para tenaga
kerja lokal. Selain itu dengan adanya ekspatriat, menurut (Mayangsari, Hamid, & Prasetya,
2014) juga turut berperan penting dalam keberhasilan strategi bisnis, seperti dalam
melakukan diskusi terkait strategi pemasaran yang lebih global, manajemen organisasi,
berbagi ilmu teknologi dan pengetahuan dan juga sebagai kunci kemajuan dalam
mengembangkan internal organisasi.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Majalah Tiara (dikutip dari Ruky,
2017), beberapa anggapan mengenai kelebihan ekspatriat dibandingkan tenaga kerja lokal
terletak pada aspek kedisiplinan dan etos kerja (35,8%), tingkat profesionalisme (22,8%),
dan kemampuan berbahasa asing (± 22%). Walaupun demikian, dari hasil survei tersebut
menyatakan bahwa 32,1% responden memberikan respon positif terhadap kehadiran
ekspatriat. Meskipun demikian, sebagian besar responden (> 50%) merasakan perasaan
khawatir. Khawatir disini merujuk pada semakin ketatnya persaingan jabatan di tempat
kerja ataupun semakin sempitnya lapangan pekerjaan yang lebih baik. Dari sudut pandang
pemerintah dari regulasi yang dibuat untuk memberi kebebasan luas untuk ekspatriat yang
ingin masuk dan bekerja di Indonesia membuat jumlah ekspatriat di Indonesia terus
meningkat. Hal tersebut merupakan resiko yang berani diambil oleh pemerintah
berdasarkan kesepakatan yang atas kebijakan yang ada (Manning dan Aswicahyono, 2012;
Nawawi, 2017).
Bagi para ekspatriat yang ingin bekerja di Indonesia, secara teoritis mereka harus
melengkapi persyaratan yang wajib dipenuhi agar mereka dapat beradaptasi dengan
kebudayaan yang ada di Indonesia baik itu dari segi life-culture ataupun work-culture
karena mau bagaimanapun tentu kebudayaan para ekspatriat di luar negeri tidak bisa
disamakan oleh kebudayaan lokal kita. Salah satu hal yang wajib dimiliki oleh para
ekspatriat mengenai budaya adalah kompetensi lintas budaya (cross-cultural competence).
Kompetensi ini akan dapat memudahkan dan membantu para ekspatriat dalam beradaptasi
dengan kondisi lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang baru (Briscoe & Schuler,
2004; Harzing, 2004; Yamazaki & Kayes, 2004).
Maraknya kehadiran ekspatriat dalam ranah bisnis di Indonesia, sebagai sosok
staff/karyawan pada berbagai tingkat dan level jabatan di perusahaan, baik pada level staff,
manajer atau bahkan C Level (COO/Chief Operating Officer, CMO/Chief Marketing
Officer dan CTO/Chief Technology Officer). Fenomena ini telah menjadi satu hal yang
menarik untuk dikaji dari sudut pandang komunikasi lintas budaya, karena apabila
ekspatriat tersebut tidak memahami dan beradaptasi atas perbedaan budaya yang ada di
lingkungan hidupnya atau lingkungan pekerjaan, mungkin akan sulit bagi mereka untuk
dapat bertahan dengan kondisi tersebut.
Berbicara mengenai komunikasi lintas budaya, secara teoritis terdapat dua aspek
dasar dalam komunikasi lintas budaya, yaitu aspek verbal dan nonverbal. Aspek
komunikasi verbal umumnya dikaitkan dengan bahasa dan kata. Bahasa sendiri memiliki
tiga fungsi menurut penuturan Larry L. Barker yaitu yang pertama sebagai penamaan atau
penjulukan, dimana usaha untuk mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan
menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Lalu yang kedua sebagai
fungsi interaksi untuk menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang
simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Fungsi terakhir yaitu transmisi
informasi, dimana melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, baik
secara langsung atau tidak (misalnya melalui media massa). Bahasa sendiri memiliki
keterbatasan yang hubungannya dengan penggunaan kata, antara lain kata-kata dalam
bahasa terdapat kategori-kategori tertentu yang merujuk pada suatu objek. Lalu kata-kata
dalam bahasa juga sifatnya ambigu dan kontekstual. Terakhir keterbatasan dalam bahasa
adalah kata-kata nya mengandung bias budaya.
Dalam konteks bahasa dan budaya, bahasa merupakan salah satu dimensi utama di
budaya, karena bahasa merupakan identitas utama di suatu negara, selain itu bahasa juga
merupakan salah satu dasar pembentukan ekspresi dalam suatu budaya. Seperti yang
dibahas sebelumnya, bahasa juga semakin dirasa kompleks jika disertai dengan
keterampilan dialek yang berbeda-beda. Jika kita lihat, seorang ekspatriat yang sebelumnya
hanya menguasai bahasanya sendiri lalu mendesakkan bahasanya tersebut kepada rekan
kerja lainnya untuk digunakan, maka akan mengakibatkan adanya proses penghambatan
adaptasi budaya kerja di tempat kerja ekspatriat tersebut. Dalam penelitiannya, Hodgetts
dan Luthans (2000) menyatakan bahwa manajer di Amerika Serikat seringkali melakukan
tindakan yang sangat buruk dalam bidang bahasa. Contohnya dapat dilihat berdasarkan
sebuah survei yang dilakukan terhadap 1.500 manajer puncak di seluruh dunia yang
hasilnya menyalahkan ekspatriat Amerika atas penyusutan nilai dalam proses mempelajari
bahasa asing.
Selain aspek verbal, dalam komunikasi lintas budaya juga terdapat aspek non-verbal
nya. Dalam aspek non-verbal itu sendiri terdapat beberapa sub-studi yang dipelajari. Studi
pertama adalah Kronemik, yang merupakan studi mengenai konsep waktu. Konsep ini
menganggap kalau suatu kebudayaan yang taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi
atau ada pada peradaban yang maju. Lalu ada studi Kinesik, dimana pada studi ini akan
berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan
wajah, dll. Studi ketiga adalah Haptik, dimana studi berkaitan dengan sentuhan. Sentuhan
yang dimaksud disini adalah sejauh mana satu budaya menggunakan sentuhan dalam
berkomunikasi nonverbal. Studi keempat adalah Proksemik yang merupakan studi
mengenai hubungan antar ruang dan jarak. Lalu ada Okulesik yang merupakan studi
mengenai gerakan mata dan posisi mata. Selanjutnya ada studi mengenai Appearance yaitu
cara bagaimana seseorang menampilkan diri untuk menunjukkan atau berkorelasi sangat
tinggi dengan evaluasi mengenai diri pribadi. Lalu studi Posture yang menampilkan
tampilan tubuh saat sedang berdiri dan duduk.
Makna dalam komunikasi lintas budaya, dalam penelitian ini yang membahas
mengenai komunikasi lintas budaya ekspatriat di Tanihub, akan menitikberatkan pada
bagaimana para informan memaknai dirinya sebagai ekspatriat yang bekerja di TaniHub,
makna ekspatriat terhadap tanah kelahirannya dan makna mengenai Indonesia sebagai
tempat mereka bekerja atau sebagai lokasi dimana para ekspatriat saat ini tinggal dan
berkehidupan sosial. Selain makna terdapat motif. Pada penelitian ini, peneliti dapat
mengkategorikan motif para ekspatriat adalah motif konflik dan yang merangsang
terjadinya motif konflik tersebut dapat dilihat pada beberapa motif seperti motif ekonomi,
motif interaksi sosial dan motif budaya / kultural.
Saat menginjakan kaki di Indonesia dan memutuskan untuk berkarir di Tanah Air,
para ekspatriat tentu harus mulai beradaptasi dengan budaya di Indonesia. Adaptasi sendiri
menurut Liliweri (2007) merupakan suatu proses penyesuaian diri di lingkungan baru, yang
diakibatkan oleh adanya perpindahan suatu proses kebudayaan lama menuju kebudayaan
baru. Bagi seorang ekspatriat yang berada dalam dunia kerja, pengalaman komunikasi
lintas budaya yang dialami tentu berkorelasi juga dengan budaya di tempat kerjanya yang
baru. Menurut Hendriawan (2014), ketika berada dalam masa adaptasi dengan budaya yang
baru kebanyakan kendala yang dialami oleh para ekspatriat lebih mengarah pada
kemampuan mereka dalam proses manajemen organisasi untuk menyamakan budaya yang
ada di Indonesia dengan budaya asli para ekspatriat di tempat mereka berasal.
Salah satu perusahaan dalam kategori start-up di Indonesia yang berani untuk
merekrut ekspatriat adalah PT. TaniHub Indonesia. Dilansir dari website resmi TaniHub
Indonesia, perusahaan TaniHub sendiri berdiri sejak tahun 2016, berawal dari sebuah
mimpi untuk mensejahterakan para petani kecil. Secara umum TaniHub merupakan sebuah
perusahaan yang bergerak dalam bidang agriculture technology. TaniHub melalui
entitasnya yaitu TaniHub, TaniFund, dan TaniSupply hingga hari ini memiliki visi terus
berusaha mewujudkan ekosistem pertanian yang lebih baik. Dengan teknologi pertanian
terintegrasi, e-commerce, platform pendanaan dan infrastruktur rantai pasokan, TanHub
bertujuan untuk mendukung petani dengan menyelesaikan tiga masalah terbesar melalui
teknologi, akses ke pasar, akses ke modal dan juga akses ke persediaan.
Membahas lebih jauh tentang keempat entitas yang dimiliki oleh TaniHub, setiap
entitasnya memiliki perannya masing-masing untuk mewujudkan visi dari TaniHub.
TaniFund, sebuah platform peer-to-peer lending dengan sistem pendanaan, dimana
pendanaan ini dilakukan sebagai solusi pembiayaan operasional para petani. TaniHub,
platform e-commerce berbasis aplikasi dan juga website. TaniHub disini berperan sebagai
sarana utama dari penyedia hasil tani terbaik dan juga turut mempermudah petani dalam
menjual barang-barang hasil panen mereka yang dapat langsung sampai ke tangan
konsumen B2B (Business-to-Business) maupun B2C (Business-to-Consumer). TaniSupply
merupakan sebuah infrastruktur yang bergerak sebagai rantai pasok, dimana disini akan
membantu proses distribusi dan pasokan dari semua hasil panen petani yang langsung
diarahkan ke para pelaku usaha dan rumah tangga. Entitas terbaru dan yang terakhir adalah
TaniHub Food Solutions yang menjadi solusi terbaru untuk para pelaku usaha yang dimana
disini akan menyediakan berbagai layanan bebas biaya sekaligus fasilitas yang mampu
mengoptimalkan potensi para pelaku usaha terhadap produk usahanya.
Dari keempat entitas tersebut, yang memiliki ekspatriat hanya ada pada entitas
TaniHub. Di TaniHub sendiri terdapat lima ekspatriat dengan latar budaya yang berbeda-
beda. Ada yang berasal dari benua Asia seperti Singapura dan Thailand, ada juga yang
berasal dari benua Amerika dan Eropa. Tentu dengan takaran upah yang cukup tinggi dan
sejalan juga kemampuan yang dimiliki oleh para ekspatriat, membuat posisi yang diduduki
oleh para ekspatriat di TaniHub cukup tinggi, yaitu pada level manajer keatas.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk
melakukan studi terkait pengalaman komunikasi terutama pada komunikasi lintas budaya
para ekspatriat yang bekerja di PT. TaniHub Indonesia. Dalam hal ini, peneliti akan
berusaha untuk menafsirkan masalah - masalah komunikasi lintas budaya yang dilihat dari
aspek mengenai identitas diri, nilai sosial dan budaya, dan juga kepercayaan diri ekspatriat
di TaniHub.

1.2 Fokus Penelitian


Fokus penelitian pada penelitian ini adalah “Bagaimana Komunikasi Lintas Budaya
Ekspatriat di PT. TaniHub Indonesia”.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan pada fokus penelitian diatas, maka rumusan pertanyaan penelitiannya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengalaman ekspatriat di PT. TaniHub Indonesia melakukan
komunikasi lintas budaya?
2. Bagaimana ekspatriat memaknai pengalaman komunikasi lintas budaya di PT.
TaniHub Indonesia?
3. Bagaimana ekspatriat memiliki kepercayaan diri dalam berkomunikasi di PT.
TaniHub Indonesia?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengalaman ekspatriat di PT. TaniHub Indonesia melakukan
komunikasi lintas budaya.
2. Untuk mengetahui ekspatriat memaknai pengalaman komunikasi di PT. TaniHub
Indonesia.
3. Untuk mengetahui ekspatriat memiliki kepercayaan diri dalam berkomunikasi di
PT. TaniHub Indonesia.

1.5 Kegunaan Penelitian


1.5.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah analisis keilmuan yang
mampu memberikan kontribusi positif terutama dalam ranah akademis mengenai
komunikasi lintas budaya. Penelitian ini melihat adanya fenomenologi komunikasi lintas
budaya para ekspatriat yang bekerja di TaniHub, sehingga peneliti berharap penelitian ini
dapat menjelaskan secara komprehensif terkait pengalaman komunikasi berdasarkan
perbedaan budaya yang ada khususnya dari latar belakang budaya bangsa yang berbeda.
Selain itu penelitian ini juga berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dalam ranah ilmu
komunikasi.

1.5.2 Kegunaan Praktis


Kajian mengenai fenomenologi komunikasi lintas budaya ekspatriat di PT. TaniHub
Indonesia, diharapkan oleh peneliti bahwa penelitian ini akan dapat memberikan gambaran
jelas terkait model komunikasi lintas budaya Ekspatriat di PT. TaniHub Indonesia yang
secara praktisnya dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian mengenai komunikasi
lintas budaya dalam konteks kajian komunikasi dan budaya. Selain itu, peneliti juga
berharap bahwa penelitian fenomenologi komunikasi lintas budaya ekspatriat di PT.
TaniHub Indonesia ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat umum
atau bahkan negara dimana dalam konteks ini, pemerintah Indonesia mulai menyikapi atas
permasalahan terkait isu-isu di ranah internasional, terutama mengenai komunikasi dan
budaya di era globalisasi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN PEMIKIRAN

2.1 Penelitian Terdahulu


Saat melakukan sebuah penelitian, sudah dipastikan akan turut melakukan
pengkajian pada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang sedang
dilakukan. Studi terdahulu yang mempunyai relevansi mengenai komunikasi lintas budaya
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penelitian ini, hal tersebut berguna
sebagai referensi dan juga sebagai batas bagi peneliti mengenai cara berpikir dalam
penelitian ini.
Penelitian pertama dengan judul “Theorizing the meaning(s) of ‘expatriate’:
establishing boundary conditions for business expatriates” oleh Yvonne McNulty & Chris
Brewster, The International Journal of Human Resource Management, DOI:
10.1080/09585192.2016.1243567 yang di publish pada tahun 2016. Dibuatnya artikel ini
didasarkan pada gagasan bahwa kurangnya konsensus tentang bagaimana ekspatriat harus
didefinisikan yang menyebabkan masalah di bidang manajemen sumber daya manusia
internasional (IHRM). Artikel berpendapat bahwa telah terjadi penggunaan terminologi
yang ceroboh dan hampir biasa, kegagalan untuk mendefinisikan istilah secara memadai,
atau dalam banyak kasus sama sekali, dan terlalu banyak asumsi yang tidak dinyatakan
tentang orang-orang yang diteliti yang, secara kolektif, telah mengakibatkan berkurangnya
pemahaman tentang arti 'ekspatriat'. Artikel ini mengusulkan definisi yang lebih ketat dari
istilah 'ekspatriat', dan 'ekspatriat bisnis' pada khususnya, dan pendekatan yang lebih
analitik untuk bentuk lain dari pengalaman internasional. Persamaan penelitian tersebut
dengan penelitian yang sedang dilakukan pada studi ini terletak pada subjek penelitian yang
digunakan yaitu para ekspatriat. Lalu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini
terletak pada isi penelitian, dimana penelitian tersebut berfokus untuk mengetahui kepada
siapa istilah 'ekspatriat bisnis' berlaku dalam konteks penelitian IHRM dan penelitian ini
lebih membahas pada konteks perbedaan komunikasi lintas budaya para ekspatriat.
Penelitian kedua dengan judul Komunikasi Lintas Budaya Orang Asli Papua di
Belanda oleh Yoki Yusanto, Thesis of Doctoral, Repository Universitas Padjadjaran, yang
di publish pada tahun 2018. Penelitian ini mengenai orang asli Papua sebagai kelompok
masyarakat yang minoritas di negara Belanda, dan muncul permasalahan yang kebanyakan
terkait konteks sosial dan budaya yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
motif, makna dan pengalaman masyarakat papua di negeri kincir angin tersebut. Fokus
penelitian adalah untuk mengkaji motif, pengalaman, makna lintas budaya dan melihat
kepercayaan diri masyarakat papua ketika melakukan komunikasi di Belanda. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah fenomenologi, lalu untuk pengumpulan datanya menggunakan teknik
wawancara, observasi dan dokumentasi. Model-model yang dihasilkan dalam penelitian ini
adalah Model Konstruksi Makna Orang Asli Papua di Belanda Tentang Dirinya dan tentang
Papua. Yang menjelaskan tentang jati diri orang asli Papua hingga terjalinnya komunikasi
lintas budaya di Belanda. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang
dilakukan pada studi ini terletak pada tujuan penelitian yaitu sama-sama ingin mengkaji
mengenai motif para informan melakukan proses komunikasi lintas budaya, lalu mengkaji
bagaimana para informan memaknai pengalaman komunikasi di tempat mereka saat ini,
mengkaji pengalaman komunikasi lintas budaya para informan di tempat mereka saat ini.
Perbedaan penelitian dapat dilihat dari lokasi, subjek dan objek penelitian yang sangat
berbeda, dimana penelitian tersebut lokasi penelitian berada di Belanda, sedangkan
penelitian ini berlokasi di Jakarta, Indonesia. Lalu subjek penelitian pada penelitian tersebut
merupakan masyarakat asli Papua yang tinggal di Belanda, sedangkan pada penelitian ini
subjeknya adalah para ekspatriat yang bekerja di TaniHub Indonesia.
Penelitian ketiga dengan judul Komunikasi Antarbudaya Pada Masyarakat
Multikultural Di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora Kabupaten Bima oleh Idris Sodikin,
Skripsi Strata Satu (S1), Repository Universitas Muhammadiyah Mataram, yang di publish
pada tahun 2020. Penelitian ini ingin mengkaji mengenai komunikasi antarbudaya yang
terjadi dan juga pola kehidupan masyarakat multikultural di Indonesia terutama di desa Oi
Bura, Kabupaten Bima. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengarah pada
kajian terkait komunikasi antar budaya, dimana peneliti pada penelitian tersebut ingin
mengkaji lebih dalam terkait fenomena komunikasi antarbudaya di kalangan masyarakat
multikultural. Masyarakat dengan julukan multikultural dimaknai dengan banyakan
kearifan lokal yang dimiliki, sehingga peneliti ingin melihat bagaimana masyarakat
menetralisir kemungkinan terjadinya krisis sosial. Persamaan penelitian tersebut dengan
penelitian yang sedang dilakukan pada studi ini terletak pada metode penelitian yaitu sama-
sama menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Untuk
perbedaan terlihat dari konteks penelitian, dimana penelitian tersebut lebih mengarah
kepada komunikasi antar budaya multikultural, sedangkan penelitian ini mengarah pada
komunikasi lintas budaya pekerja luar negeri dengan pekerja lokal.
Penelitian keempat dengan judul Peran Cultural Intelligence Dalam Kepemimpinan
Lintas Budaya (Studi Fenomenologi pada Gandhi Memorial Intercontinental School
Semarang) oleh Setyoningsih Subroto, Fuad Mas’ud, Diponegoro Journal of Management,
yang di publish pada tahun 2016. Terdapat beberapa penelitian mengenai kepemimpinan
ekspatriat yang dilakukan di Indonesia, namun penelitian tersebut hanya berfokus pada
pengalaman tinggal dan bekerja di luar negeri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk menyelidiki peran kecerdasan budaya (CQ) dalam efektivitas kepemimpinan lintas
budaya, dalam konteks perbedaan budaya India-Indonesia. Selain itu, gaya kepemimpinan
seperti apa yang dipraktikkan oleh seorang pemimpin ekspatriat sebagai akibat dari peran
CQ. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan dilakukan di salah satu sekolah
internasional di Semarang. Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam
untuk mengungkapkan bahwa semua aspek dalam CQ (metakognitif, kognitif, motivasi,
perilaku) secara menyeluruh memiliki peran utama dalam efektivitas kepemimpinan lintas
budaya Kepala Sekolah. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang
dilakukan pada studi ini terletak pada metode penelitian yaitu sama-sama menggunakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Untuk perbedaan terlihat dari
konteks penelitian, dimana penelitian tersebut lebih mengarah kepada penyelidikan peran
kecerdasan budaya (CQ) dalam efektivitas kepemimpinan lintas budaya sedangkan
penelitian ini mengarah pada pengalaman komunikasi lintas budaya para ekspatriat yang
bekerja di TaniHub.
Penelitian kelima dengan judul Perilaku Komunikasi Karyawan Ekspatriat China
Terhadap Mitra Lokal Dalam Bisnis Telekomunikasi Di Sulawesi Selatan oleh Lisna Sari,
Alimuddin Unde dan Tuti Bahfiarti, KAREBA: Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas
Hasanuddin, Vol.2 No.3 Juli - September 2013, yang di publish pada tahun 2016. Penelitian
ini membahas mengenai salah satu perusahaan multinasional di bidang telekomunikasi
yaitu ZhongXing Telecommunication Equipment Corporation yang mempunyai kerjasama
dengan perusahaan lokal yaitu Telkom yang berlokasi di daerah Sulawesi Selatan. Dari
penelitian yang dilakukan, hasilnya adalah proses pengalaman komunikasi para ekspatriat
China dilakukan menggunakan komunikasi verbal maupun nonverbal, lalu konflik yang
berpotensi terjadi ada pada konsep waktu, tradisi dan cara berkomunikasinya seperti dalam
hal penggunaan bahasa, perbedaan latar belakang budaya dan adat. Persamaan penelitian
tersebut dengan penelitian yang sedang dilakukan pada studi ini terletak pada hasil
penelitian yang akan sekiranya akan sama karena kedua penelitian sama-sama meneliti
mengenai pengalaman komunikasi ekspatriat, namun ada perbedaan dari kedua penelitian
yang terletak pada lokasi dan jenis perusahaan yang diteliti dan juga lingkup ekspatriat,
dimana pada penelitian tersebut berlokasi di Sulawesi Selatan sedangkan penelitian ini
berlokasi di Jakarta, lalu jenis perusahaan pada penelitian tersebut adalah perusahaan
telekomunikasi, sedangkan pada penelitian ini ada perusahaan start-up. Lalu pada
penelitian tersebut ekspatriat sebagai subjek penelitian sudah spesifik yang berasal dari ras
China, sedangkan pada penelitian ini lingkup ekspatriat berasal dari benua Asia seperti
Singapura dan Thailand.

2.2 Landasan Pemikiran


2.2.1 Landasan Teoritis
2.2.1.1 Teori Fenomenologi
Menurut Mulyana (2008), Fenomenologi merupakan studi mengenai cara
kita memahami suatu objek atau peristiwa berdasarkan pengalaman objek atau
peristiwa tersebut. Fenomena sendiri merupakan tampilan suatu objek, peristiwa
atau kondisi berdasarkan persepsi seseorang sehingga sifatnya subjektif. Menurut
kamus Oxford yang dimaksud dengan fenomenologi adalah fenomena ilmiah yang
dapat dibedakan secara ontologis dan merupakan disiplin ilmu yang
mengklasifikasikan suatu fenomena. Studi fenomenologi komunikasi yang dipakai
dalam penelitian mengenai komunikasi lintas budaya ekspatriat di TaniHub
berusaha untuk menguraikan landasan teoritis yang berasal dari pemaparan Alfred
Schutz (1899-1959). Dalam bukunya The Phenomenology of Social World (1967),
Ia menuturkan bahwa individu akan secara aktif pengalaman yang dialaminya
dengan cara mewariskan tanda dan arti mengenai apa yang dilihatnya. Interpretasi
ini merupakan kegiatan aktif dalam mencatat dan mendefinisikan apa yang
diamatinya, baik berupa bacaan, tindakan, situasi atau bahkan pengalaman dalam
bentuk apapun.
Pada penelitian ini tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan dan
gambaran terkait ekspatriat yang bekerja di TaniHub dalam lingkup komunikasi
lintas budaya, yang sudah jelas adanya perbedaan dalam aspek sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Hal ini tentu selaras dengan tujuan fenomenologi menurut
Kuswarno (2009), dimana Ia menjelaskan bahwa tujuan fenomenologi yaitu
menelaah bagaimana fenomena yang dialami dalam keadaan yang sadar, baik dalam
pikiran maupun tindakan, seperti contohnya dari bagaimana fenomena tersebut
diterima secara etis. Fenomenologi akan mencoba melihat bagaimana individu
mengkonstruksi suatu makna dan konsep, walaupun makna yang diciptakan
individu biasanya mampu dilihat melalui tindakan, karya dan aktivitas yang
dilakukan individu tersebut, namun tetap membutuhkan peran individu lainnya di
dalamnya. Dalam hal ini, peneliti mempunyai pendapat yang sama dengan Schutz,
dimana dalam komunikasi wajib hukumnya dilakukan dengan kesadaran sosial
individu. Dalam konteks penelitian ini, para ekspatriat di TaniHub tentu memiliki
pandangan yang berbeda-beda dan beragam mengenai suatu hal dalam
lingkungannya.

2.2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial


Konstruksi sosial sendiri pertama kali dikemukakan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann. Dalam bukunya berjudul The Social Construction of Reality A
Treatise in The Sociological of Knowledge (1966), Berger menjelaskan bahwa
proses sosial harus terlebih dahulu melalui suatu interaksi dan tindakan, dimana
individu akan secara terus menerus membuat suatu realitas yang dimiliki dengan
pandangan yang subjektif. Realitas sendiri menurut Berger dan Luckmann (1990)
merupakan kualitas yang ada pada realitas-realitas tertentu dan kebenarannya diakui
bersama. Asal-usul dari konstruksi sosial berasal dari filsafat konstruktivisme
menurut Suparno (1997) dalam (Bungin, 2008), dimana Ia menjelaskan hal itu
dimulai dari gagasan konstruktif kognitif. Pada dasarnya individu dalam banyak hal
mempunyai hak untuk bebas dalam bertindak diluar batas kontrol sosial dimana
individu tersebut berasal. Dalam konteks penelitian ini, para ekspatriat merupakan
kelompok yang akhirnya memilih kebebasan untuk tinggal dan hidup secara bebas
di Indonesia yang jauh dari tempat mereka berasal. Para ekspatriat yang bekerja di
TaniHub merupakan gambaran realitas yang terjadi di dunia nyata, dimana mereka
berusaha untuk hidup berdampingan dengan kelompok yang mempunyai perbedaan
baik dalam aspek budaya, fisik maupun pranata sosialnya. Teori konstruksi realitas
sosial ini dapat dikaitkan dengan penelitian ini yang terlihat berdasarkan hasil dari
penelitian Berger & Luckmann (1990) yang menyatakan bahwa pengetahuan
manusia dapat dibangun berdasarkan interaksi sosial yang mereka lakukan. Teori ini
berpendapat bahwa identitas sebuah objek adalah hasil dari cara kita memandang
objek tersebut, baik dari bahasa yang digunakan, maupun cara kita mengelompokan
sosialnya bersama pengalamannya (Morisan, 2013).

2.2.1.3 Teori Negosiasi Muka


Dalam teori ini, Sukmono & Junaedi (2014) mengumpamakan bahwa setiap
elemen budaya akan selalu membicarakan mengenai identitas mereka yaitu muka
atau wajah. Berangkat dari pernyataan tersebut, dari sinilah muncul Istilah
facework, yang berarti dalam penyampaian pesan verbal maupun nonverbal yang
disampaikan secara rinci akan membantu untuk menjaga “nilai” dari wajah (Griffin,
2004). Selanjutnya Toomey & Cocroft (1994), menandai muka sebagai salah satu
fenomena lintas budaya, dimana semua individu dalam elemen budaya mempunyai
muka yang melampaui semua budaya. Dalam konteks penelitian ini, para ekspatriat
yang bekerja di TaniHub memiliki bentuk wajah yang khas dan ciri fisik lainnya
yang juga khas berdasarkan asal tempat dimana mereka dilahirkan. Pandangan
mengenai teori negosiasi muka memiliki beberapa komponen penting yang dibahas
pada teori ini yaitu, konflik, muka dan budaya. Menurut menurut West & Turner
(2014), berdasarkan komponen tersebut melahirkan pemikiran berdasarkan teori
Toomey yaitu yang pertama mengenai identitas diri yang memiliki peran penting
dalam interaksi interpersonal dalam menegosiasikan identitas mereka dengan cara
berbeda dan dengan budaya yang berbeda. Lalu, muka dan budaya dapat menjadi
hal dasar dalam manajemen konflik dan tindakan - tindakan yang dilakukan
individu dapat berpengaruh besar terhadap cita diri mereka (muka/wajah).
Pada penelitian ini dengan teori negosiasi muka dapat dikaitkan karena
wajah atau muka dapat didefinisikan sebagai gambaran diri seseorang di mata orang
lain, dimana dalam hal ini, gambaran dapat disebut juga sebagai citra/harga diri
individu di mata orang lain. Pada penelitian ini, berpusat pada kegiatan komunikasi
sehari-hari para ekspatriat saat bekerja di TaniHub yang didasari oleh budaya yang
berbeda, dimana disini peneliti akan mencoba mengungkap permasalahan
perbedaan budaya tersebut, terutama pada aktivitas yang berhubungan dengan
budaya ekspatriat di TaniHub.

2.2.1.4 Teori Identitas Kelompok


Teori identitas kelompok ini muncul pertama kali digunakan oleh Conquer
hood (1994), dimana Ia mencoba menjelaskan sekelompok Latino King di Chicago
yang para anggotanya satu sama lain sudah seperti keluarga. Hal tersebut terlihat
dari hubungan interpersonal sesama anggota sudah sangat erat dan memiliki tingkat
kepedulian yang tinggi (Sarwono,2005). Lalu, Horowitz (1985),sebagai salah tokoh
pada teori ini menyebutkan beberapa ciri-ciri etnik dalam menentukan identitas
suatu kelompok, yaitu suku, bangsa, agama, perusahaan, keluarga, organisasi dan
partai politik. Di lain sisi, menurut Sarwono (2005), tanda fisik yang mudah
dikenali, yang pertama tanda fisik yang menjadi bawaan dari lahir seperti warna
kulit, warna rambut, postur tubuh, lalu yang kedua yang bukan bawaan dari lahir
seperti lubang anting, sunat (Muslim, Yahudi), ataupun gigi pangur (Bali, Afrika,
Masai) dan yang terakhir adalah perilaku, seperti gaya duduk dan busana. Indikator
untuk melihat identitas etnik lainnya yang mungkin tidak terlihat, seperti bahasa,
penggunaan kata, huruf dan aksen.
Teori identitas kelompok memiliki hubungan dengan penelitian ini yang
dapat dilihat dari perspektif fenomenologi yang diimplementasi. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya pada teori fenomenologi diatas, penelitian ini memfokuskan
pada fenomenologi mengenai ekspatriat yang bekerja dalam kelompok kecil yang
dapat dilihat pada kegiatan dan komunikasi sehari-harinya. Lalu, untuk kelompok
besar dapat dilihat ketika para ekspatriat melakukan kegiatan kumpul yang
terencana seperti rapat besar.

2.2.2 Landasan Konseptual


Bungin dalam (Rachmat,2007), mendefinisikan konsep sebagai hasil
penyamarataan sekelompok fenomena tertentu yang mampu digunakan dalam
menggambarkan beraneka ragam fenomena yang sama. Dalam penelitian ini, tujuan
dari konsep yang dijelaskan adalah untuk membatasi konsep apa saja yang
signifikan dengan konteks penelitian, dimana fungsi dari konsep-konsep tersebut
adalah sebagai pembatas area penelitian ini.

2.2.2.1 Ekspatriat di PT. TaniHub Indonesia


Ekspatriat (dari bahasa Latin ex-patria: keluar negeri) telah ada sejak ada
negara-negara tempat orang-orang ekspatriat. Orang-orang selalu bergerak di sekitar
bumi, terkadang melakukan perjalanan yang tampaknya luar biasa; kerajaan
mengirim utusan ke negeri lain, dan sejarah agama penuh dengan kisah misionaris
yang dikirim oleh gereja untuk mencapai tujuan mereka di antara 'orang asing'
(Freeman, 2008; Oberholster & Doss, dalam pers; Porter, 1997; Walker, Norris,
Lotz, & Handy, 1985). Ekspatriat dengan demikian secara luas dipahami sebagai
dikirim oleh sebuah organisasi ('ditugaskan secara organisasi') untuk bekerja di luar
negeri untuk jangka waktu tertentu ('sementara'). Beberapa dekade penelitian sejak
1950-an menunjukkan bahwa konseptualisasi historis konstruksi ekspatriat lahir dari
pekerjaan bisnis, dengan permintaan ekspatriat yang 'disesuaikan dengan konteks
organisasi bekerja di luar negeri' (Andresen, Bergdolt, Margenfeld, & Dickmann,
2014,) dan berdasarkan gagasan bahwa ekspatriat akan membantu organisasi
memenuhi tujuan bisnis mereka (Edström & Galbraith, 1977; Mendenhall et al.,
1987; Tharenou & Harvey, 2006; Tung, 1984; Tungli & Peiperl, 2009). Sementara
'ekspatriat perusahaan' tetap menjadi istilah utama untuk menggambarkan individu-
individu ini (Shaffer, Kraimer, Chen, & Bolino, 2012), para peneliti juga
menggambarkan mereka sebagai 'ekspatriat tradisional' (Suutari & Brewster, 2009),
dan lebih jarang sebagai 'ekspatriat bisnis' (Hudson & Inkson, 2006; Selmer, 2006).
Baru-baru ini, masih konsep ekspatriat, dan ekspatriat bisnis lebih khusus, telah
diperluas untuk memasukkan individu yang terlibat dalam berbagai bentuk
pengalaman internasional (termasuk pengalaman kerja dan non-kerja), di antaranya:
SIEs (Shaffer et al., 2012; Suutari & Brewster, 2000); pendatang, pelajar dan
pensiunan (de Wit, Agarwal, Said, Sehoole, & Sirozi, 2008; Pedersen, Neighbors,
Larimer, & Lee, 2011); pelancong bisnis internasional (Mayrhofer, Reichel, &
Sparrow, 2012; Meyskens, von Glinow, Werther, & Clarke, 2009); dan migran (Al
Ariss & Ozbilgin, 2010; Andresen et al., 2014).
Salah satu perusahaan dalam kategori start-up di Indonesia yang berani
untuk merekrut ekspatriat adalah PT. TaniHub Indonesia. Dilansir dari website
resmi TaniHub Indonesia, perusahaan TaniHub sendiri berdiri sejak tahun 2016,
berawal dari sebuah mimpi untuk mensejahterakan para petani kecil. Secara umum
TaniHub merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang agriculture
technology. TaniHub melalui entitasnya yaitu TaniHub, TaniFund, dan TaniSupply
hingga hari ini memiliki visi terus berusaha mewujudkan ekosistem pertanian yang
lebih baik. Dengan teknologi pertanian terintegrasi, e-commerce, platform
pendanaan dan infrastruktur rantai pasokan, TanHub bertujuan untuk mendukung
petani dengan menyelesaikan tiga masalah terbesar melalui teknologi, akses ke
pasar, akses ke modal dan juga akses ke persediaan. Dari keempat entitasnya
tersebut, yang memiliki karyawan ekspatriat hanya ada pada entitas TaniHub.
TaniHub sendiri terdapat lima ekspatriat dengan latar budaya yang berbeda-beda.
Ada yang berasal dari benua Asia seperti Singapura dan Thailand, ada juga yang
berasal dari benua Amerika dan Eropa. Tentu dengan takaran upah yang cukup
tinggi dan sejalan juga kemampuan yang dimiliki oleh para ekspatriat, membuat
posisi yang diduduki oleh para ekspatriat di TaniHub cukup tinggi, yaitu pada level
manajer keatas.

2.2.2.2 Makna
Definisi makna menurut Schutz (1966) merupakan salah satu cara tertentu
untuk mengarahkan pandangan seseorang terhadap pengalamannya sendiri, dalam
arti makna merupakan konstruksi dari diri individu dan akan berkembang seiring
bertambahnya pengalaman hidup seseorang. Di lain sisi, Schutz (1966) juga
berpendapat bahwa sebuah makna dapat ditafsirkan berdasarkan anggapan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial karena sebuah makna dapat terbentuk dari
pengalaman yang bersifat subjektif. Dalam proses pembuatan makna terhadap
sesuatu, individu yang akan aktif memaknai realitas yang bersumber pada apa yang
pernah didengar, dilihat dan dirasakannya sebagai suatu pengalaman yang aktual
dan makna merupakan bentuk konsekuensi atas hal tersebut. Lalu disisi lain,
menurut Raco (2010) akan lebih fokus mengutarakan terkait makna pengalaman.
Dalam memahami makna pengalaman orang lain dapat dilakukan dengan cara
melibatkan individu secara langsung dalam situasi dan kondisi penelitian sehingga
peneliti dapat secara langsung memahami apa makna dari pengalaman tersebut.
Makna pada penelitian ini terkait komunikasi lintas budaya ekspatriat di Tanihub,
akan menitikberatkan pada bagaimana para informan memaknai dirinya sebagai
ekspatriat yang bekerja di TaniHub, makna ekspatriat terhadap tanah kelahirannya
dan makna mengenai Indonesia sebagai tempat mereka bekerja atau sebagai lokasi
dimana para ekspatriat saat ini tinggal dan berkehidupan sosial.
2.2.2.3 Motif
Guralnik (1979) menjelaskan bahwa motif merupakan stimulus dari dalam
sebagai gerakan hati dan lainnya yang berdampak pada tindakan individu tersebut.
Lalu menurut Koontz (1980), mengutarakan motif adalah sebagai sebuah keadaan
dari dalam diri manusia yang akan memberikan kekuatan yang dapat menggerakan
atau mengarahkan individu tersebut untuk bertindak sesuai kehendak atau
tujuannya. Sebuah motif menurut Kuswarno (2009) dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu yang pertama motif yang menunjukan arah masa lalu, arah saat ini
dan arah pada masa yang akan datang. Pernyataan tersebut diperkuat dengan
penjelasan Schutz (1996), dimana setiap tindakan individu mempunyai motif yang
secara tidak langsung di bawah alam sadar akan menunjukkan kemana arah perilaku
individu tersebut, apakah tindakan individu tersebut menunjukan motif sebab atau
akibat, tergantung dari latar belakang bagi individu tersebut. Namun dapat
ditekankan bahwa tindakan atau aktivitas yang jelas terlihat merupakan
norma/gejala berdasarkan persepsi dan motif individu tersebut.
Lebih jauh, Gardner Lindzey, Calvin S. Hall dan R.F Thomson dalam
(Ahmadi, 1999), membagi motif menjadi 2 macam, yaitu yang pertama adalah
drives, yaitu merupakan resistensi yang berasal dari dalam diri individu yang
berguna untuk merangsang individu untuk bertindak. Drives sendiri dibagi lagi
menjadi dua yaitu drive primer dan drive sekunder. Drive primer merupakan
dorongan individu yang tidak dipelajari dan terjadi akibat proses internal diri seperti
bernapas, haus, lapar, kasih sayang, dan sebagainya. Lalu, drive sekunder
merupakan dorongan individu yang di secara manual dipelajari seperti belajar,
berkompetisi, berprestasi, dan sebagainya. Pada penelitian ini, peneliti dapat
mengkategorikan motif para ekspatriat adalah motif konflik dan yang merangsang
terjadinya motif konflik tersebut dapat dilihat pada beberapa motif seperti motif
ekonomi, motif interaksi sosial dan motif budaya / kultural.

2.2.2.4 Komunikasi Lintas Budaya


Prinsip dasar komunikasi merupakan proses penyampaian ekspresi antar
individu (Mufid,2009), bahwasanya setiap individu mempunyai kebutuhan dalam
bertukar pikiran atau perasaan kepada sesama individu lainnya. Bahasa merupakan
salah satu medium utama dalam menyampaikan atau mengekspresikan pikiran
maupun perasaan tersebut. Elemen penting dalam komunikasi ada empat, yaitu
komunikator sebagai seseorang yang menyampaikan pesan, lalu komunikan sebagai
seseorang yang menerima pesan, lalu ada pesan sebagai sesuatu yang disampaikan
dan ada media atau medium sebagai alat penyampaian pesan. Komunikasi yang
terjadi dalam lingkungan para ekspatriat di TaniHub merupakan komunikasi yang
dapat terjadi secara individu maupun kelompok. Hall (1973) sebagai seorang
antropolog Ia berpendapat bahwa budaya merupakan bagian penting dari
komunikasi dan sebuah komunikasi dapat dikatakan juga sebagai budaya. Kedua hal
ini yaitu komunikasi dan budaya merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan,
karena hakikatnya “tidak akan mungkin terjadi proses komunikasi tanpa melihat dan
meninjau latar belakang dan makna kulturnya” (Kreess, 1993). Hal ini menurut
Mulyana (2010) aspek-aspek dalam melakukan proses komunikasi antara
komunikator dan komunikan, baik dalam topik pembicaraan, bahasa tubuh, konsep
ruang, makna waktu, pemilihan kata tidak akan pernah bisa lepas dari pemikiran
dan melihat latar belakang budayanya.
Adanya perbedaan antara latar belakang budaya seperti yang dialami oleh
para ekspatriat yang bekerja di TaniHub dapat diprediksi mereka mengalami
kesulitan dalam beradaptasi terutama dalam proses komunikasinya. Hal ini
dipertegas oleh penjelasan oleh Tubbs & Moss (1994) dimana persepsi yang sama
dapat dilakukan melalui tindakan yang berbeda, atau terjadi tindakan yang sama
namun dilihat dengan persepsi yang berbeda, hal ini tentu dapat menimbulkan
mispersepsi dan miskomunikasi. Proses komunikasi yang dilakukan oleh para
ekspatriat di TaniHub merupakan bagian dari komunikasi lintas budaya,
dikarenakan para ekspatriat memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan
posisi mereka bekerja saat ini. Dalam melakukan proses komunikasi tersebut,
banyak terjadi hal yang dinamis, karena menurut (Samovar, Porter & McDaniel,
2010), komunikasi merupakan proses yang dinamis, dimana individu maupun
kelompok akan berusaha menyampaikan permasalahan dan perasaan mereka
terhadap sesuatu atau orang lain melalui penggunaan simbol.

2.2.2.5 Komunikasi Verbal dan NonVerbal


Aspek komunikasi verbal umumnya dikaitkan dengan bahasa dan kata.
Bahasa sendiri memiliki tiga fungsi menurut penuturan Larry L. Barker yaitu yang
pertama sebagai penamaan atau penjulukan, dimana usaha untuk mengidentifikasi
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk
dalam komunikasi. Lalu yang kedua sebagai fungsi interaksi untuk menekankan
berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau
kemarahan dan kebingungan. Fungsi terakhir yaitu transmisi informasi, dimana
melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, baik secara
langsung atau tidak (misalnya melalui media massa). Bahasa sendiri memiliki
keterbatasan yang hubungannya dengan penggunaan kata, antara lain kata-kata
dalam bahasa terdapat kategori-kategori tertentu yang merujuk pada suatu objek.
Lalu kata-kata dalam bahasa juga sifatnya ambigu dan kontekstual. Terakhir
keterbatasan dalam bahasa adalah kata-kata nya mengandung bias budaya.
Dalam konteks bahasa dan budaya, bahasa merupakan salah satu dimensi
utama di budaya, karena bahasa merupakan identitas utama di suatu negara, selain
itu bahasa juga merupakan salah satu dasar pembentukan ekspresi dalam suatu
budaya. Seperti yang dibahas sebelumnya, bahasa juga semakin dirasa kompleks
jika disertai dengan keterampilan dialek yang berbeda-beda. Jika kita lihat, seorang
ekspatriat yang sebelumnya hanya menguasai bahasanya sendiri lalu mendesakkan
bahasanya tersebut kepada rekan kerja lainnya untuk digunakan, maka akan
mengakibatkan adanya proses penghambatan adaptasi budaya kerja di tempat kerja
ekspatriat tersebut. Dalam penelitiannya, Hodgetts dan Luthans (2000) menyatakan
bahwa manajer di Amerika Serikat seringkali melakukan tindakan yang sangat
buruk dalam bidang bahasa. Contohnya dapat dilihat berdasarkan sebuah survei
yang dilakukan terhadap 1.500 manajer puncak di seluruh dunia yang hasilnya
menyalahkan ekspatriat Amerika atas penyusutan nilai dalam proses mempelajari
bahasa asing.
Selain aspek verbal, dalam komunikasi lintas budaya juga terdapat aspek
non-verbal nya. Dalam aspek non-verbal itu sendiri terdapat beberapa sub-studi
yang dipelajari. Studi pertama adalah Kronemik, yang merupakan studi mengenai
konsep waktu. Konsep ini menganggap kalau suatu kebudayaan yang taat pada
waktu maka kebudayaan itu tinggi atau ada pada peradaban yang maju. Lalu ada
studi Kinesik, dimana pada studi ini akan berkaitan dengan bahasa tubuh, yang
terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, dll. Studi ketiga adalah
Haptik, dimana studi berkaitan dengan sentuhan. Sentuhan yang dimaksud disini
adalah sejauh mana satu budaya menggunakan sentuhan dalam berkomunikasi
nonverbal. Studi keempat adalah Proksemik yang merupakan studi mengenai
hubungan antar ruang dan jarak. Lalu ada Okulesik yang merupakan studi mengenai
gerakan mata dan posisi mata. Selanjutnya ada studi mengenai Appearance yaitu
cara bagaimana seseorang menampilkan diri untuk menunjukkan atau berkorelasi
sangat tinggi dengan evaluasi mengenai diri pribadi. Lalu studi Posture yang
menampilkan tampilan tubuh saat sedang berdiri dan duduk. Wood (2013)
menjelaskan bahwa proses komunikasi dapat meninjau nilai dan sudut pandang
suatu budaya. Dalam konteks penelitian ini, komunikasi yang dilakukan oleh para
ekspatriat di TaniHub menekankan pada aspek komunikasi lintas budaya verbal
maupun nonverbal. Seperti yang kita ketahui bahwa komunikasi verbal dan
nonverbal yang dilakukan oleh karyawan lokal tentu berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh ekspatriat, karena dari latar belakang budayanya pun sudah berbeda,
maka dari itu terjadi lah proses komunikasi lintas budaya ini, dan hal tersebut dapat
diketahui lebih dalam melalui observasi dan juga wawancara secara mendalam.

2.2.2.6 Identitas Budaya


Mulyana & Rakhmat (2005), memaparkan bahwa satu individu biasanya
mempunyai banyak identitas terkait dengan peranan khusus. Dari sekian banyak
identitas pada diri individu, biasanya terdapat satu yang mempunyai hubungan
dengan konteks etnik yang dimana hal tersebut dianggap menjadi inti pada diri
individu. Oleh Bradshaw (1992) pada buku Intercultural Communication, tubuh
seseorang mungkin tidak bisa berbicara, namun rasa dapat dengan jelas
menerangkan dan tidak dapat ditentang. Kim (1987) dalam kajiannya melihat
adanya hubungan interpersonal yang terbangun cukup erat pada pada komunikasi
lintas budaya antara ekspatriat dengan masyarakat lokal. Terdapat lima hal dasar
dalam mempelajari identitas menurut Antaki (2015), yaitu yang pertama adalah
identitas perlu dicermati sebagai suatu subjek yang dapat dibangun secara aktif dan
mampu dipertanggungjawabkan baik diterima ataupun ditolak. Lalu identitas
mampu hadir dalam percakapan maupun secara lisan / teks secara alamiah tanpa
terbayangkan dahulu oleh peneliti. Selanjutnya identitas harus dapat dipahami pada
teks dan mampu menciptakan sebuah pengetahuan baru yang lebih jauh. Lalu
analisis identitas yang akan dilakukan selanjutnya mengenai sensitivitas terhadap
kekuatan dan makna kata. Terakhir, analisis yang menyatakan konsekuensi yang
didapat berupa pertanggungjawaban atas kata-kata yang terungkap saat di dunia.
Dalam menetapkan suatu identitas budaya, bahasa menjadi hal yang penting
karena bahasa dinilai sebagai suatu komponen kebudayaan yang bukan material,
dimana suatu bahasa dapat merepresentasi sebuah saksi atas sebuah identitas yang
dijabarkan lalu di adu padankan (Liliweri,2002). Identitas yang dimiliki oleh setiap
individu tentu akan berbeda satu sama lain, namun terdapat beberapa ciri yang
spesifik yang mampu membedakan identitas satu individu dengan yang lainnya.
Pada penelitian ini, tentu secara jelas terlihat perbedaan identitas pada diri ekspatriat
dengan para pekerja lokal lainnya di TaniHub, baik secara fisik maupun non fisik
seperti kebiasaan dan tingkah lakunya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian


Pada penelitian ini menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme. Paradigma
ini sendiri memandang ilmu sosial sebagai studi sistematis terhadap analisis sistematis bagi
aksi sosial yang bermakna melalui pengamatan secara langsung dan lebih rinci kepada para
pelaku sosial dalam pengaturan keseharian alami, agar dapat memahami dan
menerjemahkan bagaimana para pelaku sosial ini mewujudkan dan menjaga dunia sosial
mereka. Peneliti akan secara alamiah melihat dan mengobservasi para subjek penelitian
pada ranah sosial dan budaya mereka, dimana pada penelitian ini komunikasi lintas budaya
para ekspatriat di TaniHub dipusatkan pada realitas sosial mereka.
Paradigma penelitian konstruktivisme menafsirkan realitas sebagai konstruksi sosial
dan karakter kebenaran suatu realitas relatif, hanya berlaku sesuai latar belakang spesifik
yang signifikan menurut para pelaku sosial. Subjek pada paradigma ini terletak pada
pemahaman suatu realitas, lalu temuan suatu penelitian juga merupakan penerapan interaksi
yang dilakukan oleh peneliti kepada apa yang diteliti. Dialectical yang dilakukan pada
paradigma ini menekankan pada aspek empati dan juga dialek interaksi yang dilakukan
oleh peneliti dan informan guna merekonstruksi realitas yang sedang diteliti menggunakan
metode kualitatif seperti observasi partisipasi. Kualitas penelitian dapat dinilai dari aspek
keaslian dan reflektifitas, dimana akan melihat sejauh mana hasil penelitian dapat
merefleksikan secara otentik realitas yang dirasakan oleh para pelaku sosial. Pada
paradigma ini etika, nilai dan moral merupakan bagian yang penting pada penelitian yang
dilakukan, lalu peneliti akan dilihat sebagai partisipan sekaligus fasilitator yang akan
mempertemukan banyak subjek pelaku sosial.

3.2 Metode Penelitian


Pada penelitian ini, metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah
metode penelitian kualitatif. Menurut Yin (2011) dalam (Bajari, 2015) pengertian dari
penelitian kualitatif itu sendiri merupakan penelitian yang akan mempelajari makna dalam
kondisi dan situasi di dunia nyata terhadap masyarakat hidup. Selain itu Yin juga
berpendapat bahwa penelitian kualitatif biasanya akan mewakili perspektif masyarakat
umum dalam penelitian yang akan diteliti, sehingga disini posisi masyarakat bukan sebagai
objek pengamatan, namun mereka akan memberikan gambaran terkait realitas yang aktual
untuk pernyataan ilmiah. Dalam hal ini meliputi kondisi yang kontekstual dimana
masyarakat akan berkontribusi untuk pengembangan wawasan ke dalam konsep yang sudah
ada sebelumnya maupun yang baru, dimana hal ini dapat membantu menjelaskan perilaku
sosial asli manusia. Penelitian kualitatif juga dikenal dengan penelitian yang membeberkan
berbagai pendekatan lapangan yang dilakukan secara partisipatif.
Menurut Kuswarno (2009) perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian
kuantitatif dapat dijelaskan melalui sifat-sifat dasar dari penelitian kualitatif, seperti yang
disebutkan berikut; yang pertama yaitu menggali pengalaman manusia melalui nilai-nilai
yang dianutnya, selanjutnya tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan hakikat dan
makna yang berasal dari pengalaman dan bukan hanya mencari penjelasan maupun melihat
dari ukuran realitas yang ada. lalu fokus penelitian dilakukan ng secara keseluruhan, bukan
dibagi per bagian,mendapatkan gambaran mengenai kondisi aktual kehidupan melalui
wawancara mendalam secara informal maupun formal yang dilihat sebagai sudut pandang
orang pertama. Data yang diperoleh dari hasil penelitian merupakan dasar pengetahuan
ilmiah guna mendalami sikap manusia. Menurut Bajari (2015) penelitian kualitatif
menegaskan kajian yang memiliki tingkat kealamiahan tinggi, sehingga seorang peneliti
yang melakukan penelitian kualitatif dituntut untuk berbaur ke dalam sebuah komunitas
agar mendapatkan gambaran asli dari sebuah pengalaman, situasi dan kondisi.

3.3 Subjek dan Objek Penelitian


3.3.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah mereka yang memiliki kriteria sebagai
berikut:
(1) Informan merupakan ekspatriat yang tidak pindah kewarganegaraan menjadi warga
negara Indonesia.
(2) Informan merupakan Warga Negara Asing (WNA) yang sudah menetap di Indonesia
lebih dari 1 tahun.
(4) Informan merupakan ekspatriat yang mempunyai status aktif bekerja di PT. TaniHub
Indonesia hingga periode waktu penelitian dilakukan.
(5) Informan sudah dapat memahami perbedaan budaya antara budaya asal dengan budaya
yang ada di Indonesia.
(6) Informan bersedia secara sukarela menjadi narasumber yang akan diwawancarai secara
mendalam dan dinyatakan melalui bukti dokumentasi bersama peneliti dan menandatangani
berkas pernyataan, sehingga kedua hal tersebut dapat menjadi bukti otentik bahwa mereka
telah sukarela menjadi informan pada penelitian ini.

3.3.2 Objek Penelitian


Objek penelitian pada penelitian ini adalah lokasi para ekspatriat atau tempat subjek
bekerja yaitu di PT.TaniHub Indonesia. perusahaan TaniHub sendiri berdiri sejak tahun
2016, berawal dari sebuah mimpi untuk mensejahterakan para petani kecil. Secara umum
TaniHub merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang agriculture
technology. TaniHub melalui entitasnya yaitu TaniHub, TaniFund, dan TaniSupply hingga
hari ini memiliki visi terus berusaha mewujudkan ekosistem pertanian yang lebih baik.
Dengan teknologi pertanian terintegrasi, e-commerce, platform pendanaan dan infrastruktur
rantai pasokan, TanHub bertujuan untuk mendukung petani dengan menyelesaikan tiga
masalah terbesar melalui teknologi, akses ke pasar, akses ke modal dan juga akses ke
persediaan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Pada tahap pengumpulan data, peneliti secara langsung datang ke kantor tempat
dimana para ekspatriat bekerja yaitu di gedung HQ PT. TaniHub Indonesia yang berada di
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Salah satu proses penting dalam melakukan penelitian
adalah proses pengumpulan data. Menurut Kriyantono (2008) penelitian yang
menggunakan metode riset kualitatif dikenal menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut, yang pertama observasi, wawancara mendalam, studi kasus dan focus
group discussion (FGD).
Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara
mendalam dan observasi langsung di lapangan, seperti mengikuti rapat, melihat berbagai
aktivitas yang dilakukan para ekspatriat di TaniHub. Proses wawancara sendiri dalam
penelitian kualitatif menurut Kriyantono (2008) terbagi menjadi dua, yaitu wawancara
mendalam (depth interview) dan wawancara secara intensif (intensif interview), keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menghasilkan riset kualitatif dengan data yang
mendalam. Wawancara mendalam sendiri merupakan pengumpulan informasi atau data
secara langsung melalui luring maupun daring agar data yang didapat lengkap dan
mendalam, dan proses wawancara ini dilakukan secara berulang-ulang secara intensif
(Kriyantono,2008). Dalam melakukan penelitian fenomenologi, Creswell (2007)
menyarankan kepada para peneliti untuk melakukan wawancara terhadap 5 hingga 25
informan yang memiliki pengalaman yang sesuai.
Dalam penelitian ini, selain proses wawancara, dalam pengumpulan data juga
dilakukan melalui observasi. Observasi menurut Bungin (2010) merupakan aktivitas
manusia yang menggunakan panca indera mata dimana observasi membutuhkan
kemampuan individu dalam menggunakan pengamatannya terhadap hasil kerja mata dan
dibantu panca indera lainnya. Selain wawancara dan observasi, pada penelitian ini juga
akan dilakukan studi dokumentasi, seperti foto, poster, video dan juga catatan kegiatan
harian para informan.

3.5 Teknik Validitas Data


Untuk menguji hasil penelitian, pada penelitian akan dilakukan uji transferabilitas.
Menurut Sugiyono (2015), uji transferabilitas merupakan teknik yang digunakan untuk
menguji validitas eksternal pada penelitian kualitatif. Hasil dari uji ini akan
memperlihatkan derajat ketepatan dan akan menerapkan hasil penelitian kepada populasi di
tempat sampel tersebut diambil. Selain itu, transferabilitas merupakan permasalah empiris
yang berpegang pada kesamaan lingkungan antara pengirim dan penerima, sehingga tingkat
kemiripan antara subjek dan data penelitian merupakan indikator dari transferabilitas
(Moleong,2016).Uji transferabilitas pada penelitian ini akan diterapkan dengan cara
peneliti akan menguraikan secara rinci, jelas dan sistematis dalam menjelaskan hasil
penelitian, dengan tujuan agar penelitian ini nantinya dapat mudah dipahami dan diterima
oleh masyarakat lainnya. Dalam melakukan uji transferabilitas, menurut Endraswara (2006)
ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yang pertama adalah pengamatan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap fenomena budaya yang ada, lalu pengecekan
data dengan melihat dan memeriksa data dari penelitian lain yang terakhir apabila ada
pembimbing dapat dilakukan pemeriksaan proses.

3.6 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data menurut Patton dalam Lexi J. Moleong (2007), merupakan
proses mengkategorikan urutan data, lalu menyusun ke dalam suatu pola, kategori dan
satuan dasar. Setiap analisis diartikan secara signifikan baik itu analisis, menjelaskan pola
uraian dan memeriksa antara hubungan pada uraian dimensi-dimensi. Pada penelitian ini,
peneliti akan menggunakan teknik analisis data fenomenologi oleh Stevick-Colaizzi-Keen,
dimana menurut Kuswarno (2008) teknik ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan
peristiwa, menganalisis komunikasi verbal, mencatat unik makna pada fenomena tertentu
dan menggabungkan setiap unitnya dan temanya,lalu yang terakhir membuat koalisi
berdasarkan unit makna dan temanya.
Menurut Creswell (2002), penyajian data dari penelitian kualitatif akan bersifat
deskriptif, dimana data yang disajikan akan dalam berbentuk kalimat, bukan berbentuk
angka. Saat para ekspatriat melakukan kegiatan, peneliti akan mengobservasi komunikasi
lintas budaya yang dilakukan oleh para ekspatriat, baik dalam penggunaan bahasa verbal
maupun nonverbal. Pada penelitian fenomenologi, pemaknaan terhadap sesuatu merupakan
hal terpenting saat melakukan analisis data penelitian. Kriyantono (2008) menjelaskan
bahwa prinsip dasar dari riset kualitatif adalah pemaknaan, dimana realitas berada pada
akal pikiran manusia dan realitas menjadi konstruksi sosial manusia. Interpretasi atau
pemaknaan juga harus berkesinambungan dengan konteks nilai-nilai sosial, budaya, politik
pada fenomena yang diteliti.

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.7.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan sebuah objek yang digunakan sebagai tempat
penelitian berlangsung. Lokasi penelitian pada penelitian ini berlokasi di kantor HQ PT.
TaniHub Indonesia yang berada di Kawasan Mega Kuningan Barat,Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasari alasan karena
kantor tersebut merupakan tempat utama dimana para informan (ekspatriat) bekerja
sekaligus menjadi tempat magang peneliti.

3.7.2. Waktu Penelitian


Daftar Pustaka

Ahmadi, A. (1999). Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta


Alo Liliweri. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya.Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara
Alo Liliweri. (2007). Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: PT LKiS.
Andresen, M., Bergdolt, F., Margenfeld, J., & Dickmann, M. (2014). Addressing international
mobility confusion – Developing definitions and assigned expatriates as well as
migrants. The International Journal of Human Resource Management. 
Berger, P. L. (1967). The social construction of reality. Anchor books.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3E. 
Briscoe, D.R.,   &   Schuler, R.S.   (2004).  International   Human   Resource Management: Policy
and practice for the global enterprise, edisi kedua. New York: Routledge.
Bungin & Burhan. (2008). Analisa Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group
Edström, A., & Galbraith, J. (1977). Transfer of managers as a coordination and control
strategy in multinational organisations. Administrative Science Quarterly.
Freeman, P. (2008). Julius Caesar. New York, NY: Simon & Schuster.
Guralnik, David B. (1979). Webster’s New World Dictionary. Ohio: William Collins
Publisher Inc.
Hendriawan. (2014). Pengaruh Peran Ekspatriate Terhadap Kinerja Perusahaan Industri
Telekomunikasi di Indonesia Berdasarkan Alih Pengetahuan, Kapabilitas
Perusahaan Dan Budaya Perusahaan. Universitas Indonesia.
Hodge, R., & Kress, G. R. (1993). Language as ideology (Vol. 2). London: Routledge.
Hudson, S., & Inkson, K. (2006). Volunteer overseas development workers: The hero’s
adventure and personal transformation. Career Development International
Journal. 
IDRIS, S. (2020). Komunikasi Antarbudaya Pada Masyarakat Multikultural Di Desa Oi
Bura Kecamatan Tambora Kabupaten Bima. (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM).
Kalbfleisch, P. J. (Ed.). (2013). Interpersonal communication: Evolving interpersonal relationships.
Psychology Press.
Koontz, Harold Cyril O’Donnel. (1980). Management. Edition VII. Tokyo: McGraw-Hill
Kogakusha, Ltd 
Kuswarno, Engkus (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi; Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjajaran
Manning,  C.,  &  Aswicahyono,  H.  (2012).  Perdagangan  di  Bidang  Jasa  dan
Ketenagakerjaan:    Kasus    Indonesia. Jakarta:    Kantor    Perburuhan
Internasional (ILO).
Mayangsari, D., Hamid, D., & Prasetya, A. (2014). Peranan Budaya Kerja Korea Selatan dalam
Meningkatkan Kinerja Karyawan Studi pada Karyawan PT. Cheil Jedang Indonesia,
Pasuruan. Jurnal Administrasi Bisnis.

McNulty, Y., & Brewster, C. (2017). Theorizing the meaning (s) of ‘expatriate’:
establishing boundary conditions for business expatriates. The International Journal
of Human Resource Management, 28(1), 27-61.
Morissan. (2013). Teori komunikasi individu hingga massa. Jakarta: Kencana.
Mufid, Muhamad. (2012). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta : Kencana
Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo
Rafferty, A. E., & Griffin, M. A. (2004). Dimensions of transformational leadership:
Conceptual and empirical extensions. The leadership quarterly. 
Rakateja, Darmawan,  Purnama & Syeban. (2020). Tantangan Pada Masa Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Dikutip dari
https://binus.ac.id/character-building/2020/05/tantangan-pada-masa-masyarakat-
ekonomi-asean/ 
Ruky,  A.  (2017). Permasalahan  Tenaga  Kerja  Asing  di  Indonesia.  Dilansir dari:               
https://achmadruky.com/430/permasalahan-tenaga-kerja-asing-di-indonesia pada
tanggal 28/6/2017
Sari, L., & Unde, A. A. (2013). Perilaku komunikasi karyawan ekspatriat China terhadap
mitra lokal dalam bisnis telekomunikasi di Sulawesi Selatan. KAREBA: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 223-232.
Sarwono.(2005). Teori Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Radja Grafindo Perkasa. 
Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world. Northwestern university press.
Shaffer, M., Kraimer, M., Chen, Y.-P., & Bolino, M. (2012). Choices, challenges, and
career consequences of global work experiences : A review and future agenda.
Journal of Management.
Subroto, S., & Mas’ud, F. (2016). PERAN CULTURAL INTELLIGENCE (CQ) DALAM
KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA (Studi Fenomenologi pada Gandhi Memorial
Intercontinental School Semarang). Diponegoro Journal of Management, 5(4), 419-
430.
Sukmono, Gita dan Junaedi. (2014). Komunikasi Multikultur. Yogyakarta: Mata Padi Presindo.
Suutari, V., & Brewster, C. (2009). Beyond expatriation: Different forms of international
employment. In P. Sparrow (Ed.), Handbook of international human resource
management: Integrating people, process and context Hoboken, NJ: Wiley.
TaniHub Indonesia (2020). Tentang TaniHub Group. Dilansir dari
https://about.tanihub.com/tentang
Ting-Toomey, S. (Ed.). (1994). The challenge of facework: Cross-cultural and
interpersonal issues. SUNY Press.
Tubbs, L. Stewart dan Sylvia, Moss. (1996). Human Communication : Prinsip-Prinsip
Dasar. Pengantar: Deddy Mulyana, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusanto, Y. (2018). Komunikasi Lintas Budaya Orang Asli Papua di Belanda.  Thesis of
Doctoral, Repository Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai