Anda di halaman 1dari 8

P R O S I D I N G | 437

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM PENGINTEGRASIAN PENYULUH


PERTANIAN DI ASIA TENGGARA

1)Kadhung Prayoga
1)Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Email: kadhungprayoga@gmail.com

PENDAHULUAN

Globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah mengantar suatu


perubahan dalam sektor penyuluhan, baik di Indonesia maupun diberbagai negara yang ada
di Asia Tenggara. Penyuluh tak lagi dihadapkan pada kepentingan nasional, lebih dari itu
mereka telah menghadapi suatu kontestasi global dengan berbagai penyuluh yang ada di
Asia Tenggara. Berbagai ancaman juga dihadapi oleh para penyuluh, karena dengan
kebijakan MEA sangat memungkinkan penyuluh dari negara lain masuk ke Indonesia.
Butuh suatu proses adaptasi dan peningkatan kemampuan agar penyuluh tetap mampu
bersaing dan eksisten di negerinya sendiri.
Namun, di sisi lain keadaan ini bisa menjadi suatu potensi yang tak terhingga karena
penyuluh di Indonesia bisa belajar tentang teknik penyuluhan, pembaharuan materi, dan
mengembangkan koneksi dari penyuluh yang termasuk ke dalam 10 negara Asia Tenggara.
Potensi bukan berarti tanpa hambatan. Hambatan seperti budaya, bahasa, dan proses
komunikasi bisa saja menjadi penghalang tercapainya tujuan tersebut.
Komunikasi antar penyuluh yang tergabung dalam komunitas ASEAN sangat
mungkin akan terjadi perbedaan persepsi atas pesan yang di sampaikan oleh komunikan,
sehingga komunikasi juga tidak berjalan lancar. Hal ini terjadi karena komunikasi bersifat
simbolik, maka ketika seseorang menggunakan simbol, mereka sering mengasumsikan
orang lain juga menggunakan sistem simbol yang sama. Padahal ketika terjadi komunikasi
lintas budaya antarpenyuluh seperti ini terdapat suatu perbedaan budaya dan sistem simbol
yang dianut (Rejeki, 2007).
Transfer informasi antara dua atau lebih penyuluh yang berasal dari negara berbeda
acapkali gagal juga karena perbedaan kepentingan yang dibawa. Upaya untuk meminimalisir
perbedaan tersebut adalah dengan menggunakan informasi budaya mengenai pelaku-pelaku
komunikasi yang bersangkutan. Komunikasi seperti ini biasa disebut sebagai komunikasi
lintas budaya, yaitu proses komunikasi yang menghubungkan dua orang atau lebih yang
berbeda budaya untuk saling bertukar informasi. Tidak hanya terkait tentang kesamaan dan
perbedaan bahasa, komunikasi lintas budaya juga memerlukan pemahaman terkait budaya
negara lain
Maletzke (1978), mendefenisikan komunikasi lintas budaya sebagai proses
perubahan mencari dan menemukan makna antarmanusia yang berbeda budaya.Komunikasi
lintas budaya adalah terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu
budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan.
Karena pentingnya pengetahuan penyuluhterkait komunikasi lintas budaya inilah
maka paper ini ditulis dengan tujuan agar komunikasi lintas budaya bisa menjadi acuan dan
P R O S I D I N G | 438

memberikan pandangan barudalam mengintegrasikan penyuluh pertanian yang ada di Asia


Tenggara. Harapannya adalah penyuluh pertanian bisa bekerja sama dan menggali informasi
serta ilmu dari penyuluh pertanian negara lain agar bisa memajukan pertanian dalam negeri.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah pendekatan kualitatif.
Sedangkan, metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis wacana. Penulisan
paper ini berusaha untuk menjelaskan komunikasi lintas budaya dalam mengintegrasikan
penyuluh pertanian yang ada di Asia Tenggara. Teknik pengumpulan datanya sendiri
menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder
dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian
terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di internet.
Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau
referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemajuan di era globalisasi telah menghadirkan kompetisiantarbangsa dan


membuat dunia terintegrasi dalam satu kawasan. Salah satunya adalah munculnya
ASEAN sebagai perkumpulan yang mewadahi 10 negara di Asia Tenggara.
Penandatanganan pakta Asean Economic Community (AEC)antar negara yang
tergabung dalam ASEAN menyebabkan lahirnya pasar tunggal yangberbasis
produksi tunggal dengan arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang
bebas, danarus modal yang lebih bebas di antara Negara ASEAN. Dengan
terbentuknya pasar tunggal yangbebas tersebut, muncul pula suatu peluang dan
ancaman di sektor penyuluhan pertanian, yaitu tenaga penyuluh bisa dengan bebas
bekerja di Indonesia. Hal ini secara tidak langsung akan mengancam keberadaan
penyuluh asli Indonesia. Di sisi lain penyuluh Indonesia juga bisa banyak belajar
dari penyuluh yang ada di Thailand, Myanmar, Malaysia, dan negara-negara
lainnya.
Penyuluh yang ada di Indonesia bisa terintegrasi dengan penyuluh yang ada
di berbagai negara yang tergabung dalam afiliasi ASEAN. Mereka bisa saling
bertukar informasi, pengalaman dan perkembangan pertanian terbaru di masing-
masing negara. Penyuluh di negara yang sedang berkembang bisa mempelajari
sistem penyuluhan dan pertanian yang telah diterapkan oleh penyuluh di negara
maju, sehingga ke depan bisa menciptakan sistem penyuluhan yang lebih baik bagi
negaranya. Namun, berhubung negara-negara di Asia Tenggara memiliki
kebudayaan, bahasa, dan penggunaan simbol yang beragam, maka penyuluh
pertanian harus bisa beradaptasi dengan kemajemukan budaya tersebut.
Budaya dinilai bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, ialah
P R O S I D I N G | 439

perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan


menimbulkan makna yang berbeda-beda pula, yang dapat menimbulkan segala
macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antar
budaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan kesulitan-kesulitan ini
(Mulyana dan Rakhmat, 1990).
Penyuluh dituntut untuk melakukan komunikasi lintas budaya dan
beradaptasi dengan budaya tersebut. Tak bisa dipungkiri komunikasi menjadi kunci
utama agar transfer informasi bisa berjalan lancar. Masalah yang timbul lainnya
menurut Boeke (1983) adalah karakteristik yang berbeda dari penyuluh pertanian
secara sosial dan ekonomi. Satu sisi bisa saja adalah seorang penyuluh yang
memiliki ikatan sosial tinggi, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya
terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten.
Namun, di sisi lainnya adalah penyuluh pertanian yang sudah berorientasi
keuntungan, usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi
dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang
dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya.
Sehingga, butuh pemahaman dan persamaan persepsi antar penyuluh yang ada di
berbagai negara dalam melakukan proses komunikasi.
Terdapat pula suatu kesulitan dalam melakukan komunikasi lintas budaya,
yaitu suatu kesulitan di mana pesan disandi dalam suatu budaya, dan harus disandi
balik oleh budaya itu. Konsekuansinya suatu makna yang dimiliki oleh dua orang
yang berbeda budaya akan menimbulkan makna yang berbeda pula (Mulyana dan
Rakhmat, 1990).
Sehingga dibutuhkan suatu adaptasi budaya dari seorang penyuluh terkait
dengan kebudayaan penyuluh yang ada di negara lain dalam konteks untuk
memahami mitra kerjanya tersebut. Ellingsworth (1988) mengemukakan, perilaku
adaptasi dalam interkultural diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam
gaya komunikasi. Lebih lanjut Gudykunst dan Kim (1997), memandang adaptasi
dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian
bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat
terjadi dalam dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku.
Persaingan ini tentu membutuhkan daya adaptasi dan kemampuan
berkomunikasi yang baik antar penyuluh untuk memahami informasi baru yang
didapatkan dari penyuluh negara lain. Harus pula disiapkan penyuluh pertanian
dengan kompetensi global agar bisa bersaing dengan penyuluh dari negara lain.
Penyuluh pertanian di Indonesia juga perlu dibekali kemampuan untuk dapat
bekerja sama dengan penyuluh dari berbagai negara dan memahami perbedaan
budaya di antara mereka. Penanaman nilai-nilai seperti ini sangat diperlukan karena
realitas multibudaya yang ada di Asia Tenggara. Kemajemukan budaya seperti ini
P R O S I D I N G | 440

bisa saja menimbulkan konflik karena penyuluh dari berbagai negara akan saing
berinteraksi. Sehingga butuh suatu pemahaman dan komunikasi diberikan
pemahaman tentang kepribadian masing-masing individu dengan latar belakang
budaya yang berbeda.
Dalam melakukan komunikasi lintas budaya antar penyuluh yang berada di
kawasan Asia Tenggara dapat terjadi lewat beberapa saluran, baik menggunakan
media massa atau secara interpersonal. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam
pemanfaatan keduanya, yaitu:
1. Komunikasi antar pribadi memberikan dampak yang lebih mendalam daripada
komunikasi massa.
2. Komunikasi melalui media massa kurang dalam hal feedback langsung antara
komunikator dan komunikan.
3. Komunikasi melalui media massa hanya bersifat satu arah, sedangkan saluran
interpersonal lebih mudah dalam memberikan feedback.
4. Saluran pribadi hanya menjangkau sedikit orang, tidak seperti saluran media
massa yang mampu menjangkau masyarakat dalam mendiseminasikan
informasi.
Terlepas dari semua itu, berbagai masalah yang mungkin akan menghambat
komunikasi lintas budaya dalam pengintegrasian penyuluh pertanian di Asia
Tenggara sendiri adalah sebagai berikut:
1. Prasangka
Menurut Worchel et. al. (2000) pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat
negatif yang tidak dapatdibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu
anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakanperilaku negatif yang
mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan keterbatasan
ataukesalahan informasi tentang kelompok. Disini bisa saja penyuluh akan
memberikan prasangka yang buruk terhadap penyuluh dari negara lain. Penyuluh
tergesa-gesa menilai dan menggeneralisasikan tanpa alasan yang mendasar.
Dalam perkembangannya, prasangka ini bisa terjadi karena persaingan antar
penyuluh dan kurangnya interaksi di antara keduanya.
2. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok
sendiri sebagaipusat segala-galanya. Mereka menganggap bahwa kebudayaan dan
kelompoknya lebih baik dari kelompok lain. Penyuluh yang menganggap
negaranya superior dan menganggap penyuluh dari negara lain lebih rendah
darinya akan menyebabkan proses pertukaran informasi tidak akan pernah terjadi.
3. Stereotype
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi
terhadap kelompokdi mana orang tersebut dapat dikategorikan. Penyuluh
P R O S I D I N G | 441

pertanian bisa saja melakukan stereotype terhadap penyuluh dari negara lain
karena keterbatasan dalam mengelompokkan dan mengklasifikasikan hal-hal
yang melekat dalam penyuluh lain.
Karena berbagai alasan di atas maka dibutuhkan penyuluh yang memiliki
karakter lintas budaya. Karakter lintas budaya adalah karakter atau kepribadian
yang harusdimiliki oleh individu agar dapat berkomunikasi dan bekerja sama
dengan individu lain dari berbagai negara yang berbeda. Menurut Tirtawinata
(2014), karakter lintas budaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sensitivitas budaya
Penyuluh pertanian harus mengetahui kebiasaan-kebiasaan dari penyuluh
lain yang lintas negara. Tak hanya kebiasaan dalam berkomunikasi, namun juga
tentang kebiasaan dalam berusaha tani masyarakatnya. Sensitivitas menurut
Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya dalam Samovar (2010) meliputisifat fleksibel,
sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya lain, terbuka terhadap perbedaan,
danmerasa nyaman dengan orang lain.
2. Kecerdasan budaya
Kecerdasan budaya dalah bagaimana penyuluh menginterpretasikanbudaya
asing yang dimiliki oleh penyuluh dari negara lain. Hal ini dimaksudkan agar
penyuluh bisa memahami makna di balik perilaku penyuluh lainnya. Sehingga,
bisa memahami karakteristik dari negara yang menjadi tempat ia belajar sesuatu.
3. Menghormati perbedaan
Seorang penyuluh pertanian harus menghormati penyuluh lain dari beda
negara yang menjadi mitra kerjanya. Perbedaan budaya dan bahasa tidak
menjadikan seseorang untuk membenci namun harus saling menghormati dan
menjunjung tinggi perbedaan tersebut. Rasa percaya kepada orang lain juga harus
ditingkatkan untuk menjaga dinamika kerja yang kondusif. Sikap seperti ini harus
terus dikembangkan agar terhindar dari sikap mencurigai dan prasangka.
4. Kefasihan budaya
Kefasihan budaya erat kaitannya dengan pengetahuan terkait budaya negara
lain dan sistem komunikasinya seperti apa. Diharapkan penyuluh pertanian bisa
mengetahui bahasa nasional dari negara lain dalam proses transfer informasi
tersebut. Setidaknya, penyuluh mengerti secara pasif apa yang disampaikan oleh
penyuluh dari negara lain.
Selanjutnya Wilbur Schramm dalam Mulyana dan Rakhmat (1990)
mengemukakan beberapa persyaratan untuk mengadakan komunikasi antar budaya
yang efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.
2. Menghormati budaya lain sebagai mana apa adanya, dan bukan sebagaimana
yang kita hendaki.
P R O S I D I N G | 442

3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara
kita bertindak.
4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup
bersama orang dari budaya yang lain.
Lubis (2002), menambahkan bahwa agar komunikasi lintas budaya dapat
berjalan dengan efektif maka pihak-pihak yang berkomunikasi harus dapat saling
memahami satu dengan yang lain. Mereka harus memiliki sesuatu yang kurang
lebih sama dengan latar belakang dan pengalaman dari lawan bicaranya. Kesamaan
karakter, pengalaman, dan keadaan ini biasa disebut sebagai kondisi yang
homophily. Menurut Rogers dan Kincaid (1981), homophily adalah derajat
persamaan dalam beberapa hal tertentu seperti keyakinan, nilai, pendidikan, status
sosial dan lain-lain, antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi.
Rogers (1983) lebih jauh menjelaskan bahwa homophily terjadi sangat sering
karena komunikasi akan lebih efektif jika sumber dan penerima memiliki
karakteristik yang sama. Komunikasi akan berjalan efektif dan bermanfaat untuk
mereka yang terlibat di dalamnya. Ketika dua orang berbagi makna, keyakinan, dan
kepercayaan yang sama, maka komunikasi yang terjadi diantara antara mereka akan
lebihefektif. Kebanyakan individu menikmati kenyamanan berinteraksi dengan
orang lain yang sangat mirip. Berbicara dengan orang-orang yang sangat berbeda
dari segi sifat dengan diri kita maka akan membutuhkan lebih banyak usaha guna
menciptakan sebuah komunikasi yang efektif.
Kesamaan dalam berbagai hal ini diharapkan bisa mendorong munculnya
persepsi yang sama terkait suatu kegiatan penyuluhan. Individu yang berkomunikasi
dengan orang yang karakteristiknya sama akan cenderung nyaman dalam
berinteraksi. Sehingga, proses sharing informasi akan berjalan cepat.
Namun, apabila karakteristik terlalu beragam dan sulit untuk di seragamkan,
maka konsep komunikasi heterophily juga masih bisa dilakukan. Granovetter
(1973) pernah menjelaskan tentang teori kekuatan dan ikatan-ikatan lemah (The
strength of weak ties).
Teori ini menjelaskan kekuatan pertukaran informasi berkaitan erat dengan
derajat heterofili antara pihak yang berkomunikasi. Dengan kata lain, orang akan
menerima hal-hal baru, yang informasional, justru melalui ikatan-ikatan yang
lemah. Heterofili adalah derajat perbedaan dalam beberapa hal tertentu antara
pasangan-pasangan individu yang berinteraksi (Rogers dan Kincaid, 1981)
Ada pula anggapan bahwa jika kondisi masyarakat terlalu homophily maka
pengetahuan keduanya tentang inovasi akan sama saja. Sehingga keadaan ideal
dalam perolehan informasi ialah heterofili dalam hal pengetahuan tetapi cukup
homofili dalam karakteristik-karakteristik atau variabel-variabel lain (misalnya
status ekonomi sosial).
P R O S I D I N G | 443

Komunikasi yang heterophily dalam satu waktu juga bisa sangat sesuai untuk
penerapan komunikasi lintas budaya karena pola ini memiliki sebuah informasi
khusus, meskipun mungkin jarang terwujud. Jaringan heterophily sering
menghubungkan dua sisi, yang mencakupindividu-individu yang berbeda secara
sosial dalam sebuah masyarakat atau system (Rogers, 1983)
Berbagai karakter di atas dikembangkan dalam rangka untuk menyatukan
berbagai penyuluh pertanian yang ada di Asia Tenggara. Dengan karakter tersebut
di harapkan penyuluh pertanian akan memiliki rasa kebersamaan dan perasaan
menjadi satu kesatuan, yaitu masyarakat Asia Tenggara. Menurut McMillan (1986),
sense of community adalah suatu perasaan di mana anggotanya mempunyai rasa
memiliki, pedulisatu sama lain dan pada kelompoknya, dan berbagi kepercayaan
bahwa kebutuhan para anggotanyadapat dipenuhi melalui komitmen mereka untuk
menjadi bersama.

KESIMPULAN

Kemajuan di era globalisasi telah menghadirkan kompetisiantarbangsa dan membuat


dunia terintegrasi dalam satu kawasan. Dengan terbentuknya pasar tunggal yangbebas
tersebut, muncul pula suatu peluang dan ancaman di sektor penyuluhan pertanian, yaitu
tenaga penyuluh bisa dengan bebas bekerja di Indonesia. Di sisi lain, penyuluhbisa saling
bertukar informasi, pengalaman dan perkembangan pertanian terbaru di masing-masing
negara.. Penyuluh yang ada di Indonesia bisa terintegrasi dengan penyuluh yang ada di
berbagai negara yang tergabung dalam afiliasi ASEAN. Namun, berhubung negara-negara
di Asia Tenggara memiliki kebudayaan, bahasa, dan penggunaan simbol yang beragam,
maka penyuluh pertanian harus bisa beradaptasi dengan kemajemukan budaya tersebut lewat
suatu komunikasi lintas budaya. Masalah lain yang mungkin akan menghambat komunikasi
lintas budaya adalah munculnya prasangka, etnosentrisme, dan stereotype. Karena berbagai
alasan tersebut maka dibutuhkan penyuluh yang memiliki karakter lintas budaya. Karakter
lintas budaya adalah karakter atau kepribadian yang harusdimiliki oleh individu agar dapat
berkomunikasi dan bekerja sama dengan individu lain dari berbagai negara yang berbeda,
meliputi sensitivitas budaya, kecerdasan budaya, menghormati perbedaan, dan kefasihan
budaya. Sehingga diharapkan akan tercipta rasa memiliki, pedulisatu sama lain,
kebersamaan, berbagi kepercayaan, dan perasaan menjadi satu kesatuan, yaitu masyarakat
Asia Tenggara untuk memajukan sektor pertanian secara bersama dan terintegrasi.

REFERENSI

Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar Harapan. Jakarta.


Ellingsworth, Huber W. 1988. A Theory of Adaptation in Intercultural DyadsdalamYoung
Yun Kim & William B. Gudykunst (eds). Theories in InterculturalCommunication.
Sage Publications. Newbury Park.
Granovetter, M.S. (1973). The strength of weak ties. American Journal of Sociology. 78(6):
1360-1380.
P R O S I D I N G | 444

Gudykunst, William B. & Young Yun Kim. 1997. Communicating With Strangers: An
Approach to Intercultural Communication. 3rd Ed. McGraw-Hill. Boston.
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
Politik. Universitas Sumatera Utara.
Maletzke Gerhard. 1978. Intercultural and Internation Communicationdalam Heinz-Dietrich
Fischer dab John C. Merril (eds). Intercultural and International Communication.
New York: Hastings House Publisher.
McMillan., C. (1986). Sense of Communiity: a Defination and Theory, Journal of
communityPsycology, 14 (1)
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat.1990. Komunikasi Antar Budaya : Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Rejeki, MC Ninik Sri. 2007. Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antar Budaya dalam Relasi
Kemitraan Inti Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 4 No. 2. p. 145-166.
Rogers, Everett M. 1983. Difusion of Innovation. The Free Press. A Division of Macmillan
Publishing Co., Inc. New York.
Roger M Everret, dan Kincaid, Lawrence D. 1981. Communication Network Toward aNew
Paradigm for Research. New York: The Free Press a Divission ofMacmillan
Publishing.
Samovar, L. A., Porter, R. E., McDanel, R. E., (2010). Communcation Between Cultures.
7th edition.Singapore: Cengage Learning Asia Pte Ltd.
Tirtawinata, Christofora Megawati. 2014. Karakter yang Diperlukan Dunia Kerja dalam
Menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Jurnal Humaniora Vol.5 No.1. p.483-493.
Worchel, S., Cooper, R., Goethals, G.R, & Olson, J.M. 2000. Social Psychology.USA:
Thomson Learning.

Anda mungkin juga menyukai