Anda di halaman 1dari 56

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-NYA jualah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini dapat kami selesaikan tentu saja dengan bantuan orang-
orang disekitar kami.

Adapun makalah yang kami tulis bertemakan Pergantian fase :


peleburan, penguapan, dan sublimasi. Dan bahan makalah ini kami
peroleh dari berbagai buku. Kami pun mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini, yakni :

1.Bapak Apit Faturohman, S.Pd., M.Si selaku dosen pengampuh


termodinamika.
2.Teman-teman Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan prodi
Pendidikan Fisika.
3.Orang tua kami yang senantiasa memberikan dukungan untuk
kelancaran penyusunan karya makalah.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Kritik dan
saran sangat kami harapkan, agar menjadi lebih baik kedepannya.

Indralaya, Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................1

C. Tujuan Masalah.................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

1. FASE DAN PERUBAHAN FASE ZAT................................................3


1.1 FASE.......................................................................................3
1.2 KALOR ...................................................................................3
1.3 PERUBAHAN FASE...............................................................4

2. PERGANTIAN ORDO-PERTAMA: PERSAMAAN CLAPEYRON.......8

2.1 Peleburan.............................................................................11

2.2 Penguapan...........................................................................14

2.3 Sublimasi..............................................................................23

2.4 Tetapan Uap.........................................................................27

2.5 Pengukuran Tekanan Uap...................................................31

3. PERMUKAAN TERMODINAMIKA....................................................35

4. PERSAMAAN CLAUSIUS CLAPEYRON.........................................36

5. PENERAPAN PERSAMAAN CLAUSIUS CLAPEYRON DALAM


FISIKA .............................................................................................38

5.1 POMPA KALOR ........................................................................39

5.1.1 MESIN REFRIGERASI SIKLUS


ABSORPSI ........................42

5.1.2 TABUNG VORTEX ........................................................44


5. LATIHAN SOAL DAN PEMBAHASAN..............................................46

6. SOAL EVALUASI & KUNCI JAWABAN............................................47

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................49

B. Saran..............................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................5
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat pergantian fase terkenal proses yang terjadi yaitu proses
peleburan, penguapan, dan sublimasi. Proses peleburan , penguapan,
dan sublimasi ini merupakan proses yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Jika dilihat secara sederhana proses peleburan, penguapan ,
dan sublimasi merupakan proses yang sederhana juga. Karena proses
pergantian fase ini sudah pernah dipelajari sewaktu duduk di bangku
sekolah dasar dengan materi penguapan, peleburan, dan sublimasi yang
masih sangat sederhana. Dilanjutkan pada waktu pembelajaran di bangku
sekolah menengah dengan proses yang sama tentang peleburan,
penguapan, dan sublimasi namun dengan materi yang lebih mandalam
dan lebih rumit lagi. Namun dalam termodinamika proses peleburan ,
penguapan, dan sublimasi ini dilihat secara lebih mendalam. Sehingga
proses yang lebih rumit tentang ketiga proses tersebut akan dibahas lebih
mendalam lagi. Dalam termodinamika juga mulai dikenal istilah-istilah
baru mengenai pergantian fase. Istilah-istilah baru yang dikenal dalam
pergantian fase tersebut seperti perubahan bentuk Kristal, yang
temperature dan tekanannya tetap, sedangkan entropi dan volumenya
tetap. Oleh Karena itu proses pergantian fase dalam termodinamika akan
sangat menarik untuk dibahas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perubahan fase zat?


2. Bagaimana menerapkan persamaan Clausius Clapeyron dalam
kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan

1. Mampu meneliti pengaruh kalor terhadap perubahan fase zat,


2. Mampu mendeskripsikan dan menerapkan persamaan Clausius
Clapeyron dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

1. FASE, KALOR DAN PERUBAHAN FASE ZAT


a. FASE
Suatu zat yang murni memiliki sifat yang homogen. Zat tersebut
dapat memiliki lebih dari suatu fase, tapi setiap fase harus memiliki
komposisi kimiawi yang sama. Air merupakan zat murni. Berbagai
kombinasi dari ketiga fase memiliki komposisi kimiawi yang sama. Udara
bukan merupakan zat murni, karena udara cair dan uap udara memiliki
komposisi yang berbeda.
Suatu zat memiliki 3 fase yang berbeda: padat, cair dan gas.
Misalkan sebuah benda padt dimasukkan ke dalam piston silinder dan
tekanan nya dijaga pada nilai konstan. Kalor ditambahkan ke dalam
silinder, sehingga zat tersebut melewati semua fase yang berbeda. Ketika
suatu zat pada dengan temperatur yang rendah kemudian ditambahkan
kalor sampai zat tersebut mulai mencair. Penambahan kalor lebih lanjut
akan mencairkan seluruh zat padat tersebut sementara temperatur nya
tetap konstan. Setelah seluruh zat padat tersebut cair, temperatur dari
cairan yang dihasilkan akan menigkat lagi sampai uap tersebut mulai
terbentuk, keadaan ini disebut keadaan cairan jenuh.
Cairan air, campuran dari cairan air dan uap air, atau campuran es
dan cairan air adalah zaat murni karena setiap fase mempunyai komposisi
kimia sama yaitu H2O. Namun, campuran udara air dan udara gas bukan
merupakan zat murni karena komposisi fase udara cair berbeda dengan
fase udara uap. Kadang-kadang campuran gas seperti udara dianggap
sebagai zat murni sepanjang tidak ada perubahan fase karena udara
mempunyai beberapa karakteristik zat murni.
2.2 KALOR
Suatu usaha yang melalui energinya dapat dipindahkan secara
makroskopik ke atau dari suatu sistem. Energi juga dapat dipindahkan
secara mikroskopik ke atau dari suatu sistem melalui cara-cara interaksi
antar molekul yang membentuk permukaan sistem dan lingkungannya.
Jika molekul dari batas sistem lebih aktif dari pada molekul dari batas
lingkungannya, maka energi dipindahkan dari sistem ke lingkungan
dimana molekul yang cepat memindahkan molekul yang lambat. Transfer
energi makroskopik ini disebut kalor.
Kalor adalah energi yang dipindahkan melintasi batas suatu sistem
yang disebabkan oleh perbedaab temperature oleh sistem dan
lingkungannya. Suatu sistem tidak menyimpan panas tapi menyimpan
energi, dan kalor merupakan energi yang sedang mampir. Hal ini sering
disebut perpindahan kalor.
Jika kalor dipindahkan ke suatu sistem maka nilainya positif, ika
kalor dipindahkan dari suatu sistem maka nilainya negatif. Perpindahan
kalor positif menambahkan energi ke suatu sistem.

2.3 PERUBAHAN FASE

Gambar 1. Perubahan fase air dari compressed liquid menjadi


saturated liquid

1.3.1 Compressed Liquid (Cairan Terkompresi)

Misalkan anda menempatkan air pada suatu peralatan berbentuk


piston silinder pada suhu 20°C (293.15 K) dan tekanan 1 atm. Kondisi
yang seperti ini disebut dengan istilah compressed liquid atau subcooled
liquid yang berarti bahwa cairan tersebut belum siap untuk menguap
(gambar 1.1). Apabila sistem tersebut dipanaskan, maka suhu air akan
meningkat (misalkan menjadi 60°C) yang diikuti dengan terjadinya
peningkatan volume dari sistem akibat pengembangan dari volume air
tersebut. Volume yang mengembang dengan massa yang tetap juga
mengandung makna terjadinya peningkatan spesific volume
(volume/massa) seperti pada gambar 1.2.

1.3.2. Saturated Liquid

Bila kita terus menambahkan panas pada sistem tersebut, maka suhu
air akan meningkat hingga 100°C (373.15 K). Pada titik ini, penambahan
panas seberapapun juga akan menyebabkan air mulai menguap. Titik
tertentu dimana air mulai menguap di sebut dengan istilah saturated
liquid (gambar 1.3)

1.3.3. Saturated Vapor

Gambar 2. Perubahan fasa air dari saturated liquid - vapor


mixture menjadi superheated vapor

Jika panas terus ditambakan, maka uap yang terbentuk akan


semakin banyak. Namun suhu dan tekanan dari campuran saturated liquid
dan uap tersebut tidak berubah, yakni tetap pada suhu T=100°C (373.15
K) dan tekanan P = 1 atm (gambar 2.4). Satu-satunya properti yang
berubah adalah specific volume. Kondisi ini terus berlangsung hingga
tetes cairan terakhir berubah menjadi uap. Pada titik ini, seluruh silinder
telah menjadi uap yang memiliki suhu 100°C (373.15 K). Keadaan ini
disebut dengan istilah saturated vapor gambar 2.5.

Keadaan diantara titik Saturated Liquid hingga saturated vapor


dimana air berada didalam dua fasa secara bersamaan ini disebut
dengan saturated liquid-vapor mixture.

1.3.4. Superheated Vapor

Setelah semuanya menjadi uap, penambahan panas pada sistem


akan meningkatkan suhu dari uap air tersebut. keadaan ini disebut
dengan superheated vapor (gambar 2.6).

Perbedaan antara saturated vapor dan superheated vapor adalah


bahwa pada saturated vapor, jika kita kurangi sedikit saja panas dari
sistem, maka ia akan mulai mengembun, sementara pada superheated
vapor, penguranan energi panas hanya akan menurunkan suhu uap saja,
tidak akan merubah fasanya.

Representasi dari setiap kondisi yang digambarkan pada proses


pemanasan air yang menyebabkan terjadinya perubahan fasa,
digambarkan pada suatu grafik T-v. Pada sumbu vertikal menunjukkan
nilai suhu dalam derajat celcius dan pada sumbu horizontal menunjukkan
nilai spesifik volume dalam meter kubik/kilogram, sebagaimana dapat
dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 3. Hubungan antara suhu dengan spesifik volume pada
perubahan fasa air pada tekanan 1 atm

Proses 1-2-3-4-5 adalah pemanasan pada tekanan konstan

Proses 5-4-3-2-1 adalah pendinginan pada tekanan konstan

Perlu diingat, bahwa grafik diatas berlaku untuk tekanan 1 atm saja
(P= 1 atm). Bila tekanan dinaikkan, maka grafik akan bergeser ke atas.
Hal ini terjadi karena suhu dan tekanan merupakan properti yang saling
terikat pada proses perubahan fasa. Sebagai akibatnya, suhu didih akan
tergantung pada tekanan pada sistem. Semakin tinggi tekanan, maka
suhu didih akan menjadi semakin tinggi.

Bila diberikan tekanan tertentu, maka suhu dimana suatu zat murni
mengalami perubahan fasa disebut dengan suhu saturasi atau saturation
temperature (Tsat).
Demikian pula, bila diberikan suhu tertentu, tekanan dimana suatu
zat murni mengalami perubahan fasa disebut tekanan saturasi atau
saturation pressure (Psat).

Pada proses perubahan fasa terlihat bahwa dengan memberikan


panas tertentu pada suhu saturasi, belum merubah fasa dari cair menjadi
uap. Untuk merubahnya diperlukan sejumlah energi panas tertentu
hingga fasa cair baru bisa berubah menjadi fasa uap. Besarnya energi
yang diperlukan untuk merubah fasa cair menjadi fasa uap ini dikenal
dengan sebutan dengan Kalor Laten (Latent Heat of Vaporization) dan
jumlah nya sama dengan energi yang dilepaskan uap untuk berubah
kembali menjadi fasa cair selama proses pengembunan. Sebagai contoh,
pada tekanan 1 atm, kalor laten air adalah sebesar 2257.1 kJ/kg

2. Pergantian Orde Pertama; Persamaan Clapeyron

Pada pergantian fase yang terkenal (peleburan, penguapan, dan


sublimasi) dan juga pada pergantian fase yang kurang terkenal
(perubahan bentuk Kristal), temperatur dan tekanannnya selalu tetap,
sedangkan entropi dan volumnya berubah. Tinjaulah n 0 mol bahan dalam
fase i dengan entropi molar s(i) dan volum molar v(i). keduanya, s(i) dan v(i),
adalah fungsi dari T dan P sehingga selalu tetap selama pergantian fase
berlangsung sampai semua bahan dalam fase f dengan entropi molar s(f)
dan volum molar v(f). (Perbedaan fase ditunjukan oleh tikalas supaya kita
bias menyediakan pemakaian tikalas intuk memberi perincian keadaan
yang berbeda dari fase yang sama atau zat yang berbeda). Ambil x sama
dengan bagian fase mula-mula yang sudah diubah menjadi fase akhir
pada setiap saat. Jadi entropi dan volum campuran pada setiap saat. Jadi
entropi dan volum campuran pada setiap saat, yaitu S dan V, ialah

S=n0 ( 1−x ) s(i )+n0 x s (f )

(i ) (f )
dan V =n 0 ( 1−x ) s + n0 x s
Terlihat S serta V merupakan fungsi linear dari x.

Jika pergantian fase terjadi secara terbalikkan, kalor (biasa dienal sebagai
kalo laten) yang dipindahkan per molnya ialah.

s ( f )−s ( i)
l=T ¿

Jadi, keberadaan kalor laten mengandung arti bahwa terdapat perubahan


entropi. Karena

dg=−s dT + v dP ,

s=− ( ∂∂ Pg ) , P

dan v= ( ∂∂ gP ) ,T

kita dapat mencirikan pergantian fase yang terkenal dengan salah satu
pernyataan yang setara berikut ini:

1. Terdapat perubahan entropi dan volum

2. Turunan pertama fungsi Gibbs berubah secara takmalar

Setiap perubahan fase yang memenuhi persyaratan tersebut dikenal


sebagai pergantian fase orde pertama. Untuk perubahan fase seperti itu,
variasi temperatur dari G, S, V, dan C p diperlihatkan pada empat grafik
kasar dalam gambar 10.1.

Pergantian fase dapat dianggap terjadi secara terbalikkan dalam dua


arah. Grafik keempat yang memperlihatkan kelakuan C p sangatlah penting
karena Cp dari campuran dua fase selama terjadi pergantian fase menjadi
tak terhinggaI. Hal ini berlaku karena pergantian terjadi pada Tdan P yang
tetap. Bila P tetap, dT = 0; atau bila T tetap, dP = 0. Jadi,
C p =T ( ∂∂Ts ) =∞ , β= V1 ( ∂∂ VT ) =∞ ,= −1V ( ∂∂TV ) =∞.
p p p

Namun, perlu diperhatikan bahwa pernyataan itu hanya benar bila kedua
fase itu ada. Seperti diperlihatkan dalam gambar 10.1d, C p fase 1 tetap
berhingga sampai temperatur pergantian tercapai. Dalam gambar tersebut
tidak terlihat adanya antisipasi terjadinya pergantian fase dengan
menaiknya Cp sebelum temperature ini tercapai. Hal seperti ini selalu
benar untuk pergantian fase orde pertama, tetapi tidak untuk segala jenis
pergantian lainnya.

Persamaan T dS kedua memberikan hasil yang taktertentu bila diterapkan


pada pergantian fase orde-pertama. Untuk suatu bagian kecil berlaku,

T dS=C p dT −TVβ dP

dengan C p =∞ dan dT =0 ; dan juga β=∞ dan dP=0 .

Namun, persamaan T dS yang pertama bias diintegrasi melalui pergantian


fase. Bila 1 mol zat diubah secara terbalikkan, isotherm, dan isobar, dari
fase (i) ke fase (f), persamaan T dS nya yaitu

T ds=c v dT +T ( ∂∂TP ) dv
v

Dapat diintegrasi dengan pengertian bahwa berbagai P dan T ketika


terjadi pergantian fase memenuhi hubungan yang menyatakan bahwa P
merupakan fungsi dari T saja, tak bergantung pada V, sehingga

( ∂∂ PT ) = dPdT
v

v (f )−v (i)
Jadi, dP
T ( s( f )−s (i ) )=T ¿
dT

Ruas kiri persamaan ini adalah kalor laten per mol, sehingga
dP 1
= ( f ) ( i) (10.1)
dT v −v

Persamaan 10.1 dikenal sebagai persamaan Clapeyron dan berlaku untuk


setiap perubahan fase orde-pertama atau pergantian yang berlangsung
pada T dan P tetap.

Sangatlah bermanfaat bagi kita untuk menurunkan persamaan Clapeyron


dengan cara lain. Fungsi Gibbs tetap selama suatu proses terbalikkan
berlangsung pada temperatur dan tekanan tetap. Jadi suatu perubahan
fase pada T dan P,

g(i )=g( f )

Dan untuk perubahan fase pada T + dT dan P+dP

g(i )+ dg(i )=g( f ) +dg (f )

Dengan mengurangkannya, kita dapatkan

dg( i) =dg( f )

Atau −s (i) dT + v (i ) dP=−s (f ) dT + v (f ) dP

(f ) (i )
dP s −s
Jadi = ,
dT v ( f )−v ( i)

dP 1
Dan akhirnya, =
dT T (v ( f ) −v (i ))

Dalam membahas pergantian fase, kita perlu menunjukkan dengan


cara sederhana fase awal dan akhir kalor pergantian yang bersesuaian.
Notasi yang dipakai dalam buku ini adalah sebagai berikut. Lambang yang
menggambarkan setiap sifat fase padat akan bertanda aksen; fase cair
akan bertanda dwi-aksen, dan fase uap triaksen. Jadi v’ menyatakan
volum molar padatan , v” untuk cairan, dan v”’ untuk uap. Kalor lebur
(leleh) per mol ialah l F , kalor penguapan (pendidihan) l V , dan kalor

sublimasi l S .

1. Peleburan

Metode paling sederhana untuk mengukur kalor lebur zat padat


ialah dengan mengirimkan energi listrik dengan laju tetap dan mengukur
temperaturnya pada selang waktu yang memudahkan. Dengan rajah
temperatur terhadap waktu, diperoleh kurva pemanasan; di sini pergantian
fase muncul sebagai garis lurus pada temperatur tetap yang panjangnya
∆ τ , diukur sepanjang sumbu waktu. Radarnya, perlindungannya,
penjagaannya dan seterusnya tepat sama dengan pengukuran kapasitas
kalor. Jika terdapat n mol zat padat yang melebur dalam waktu ∆τ
dengan pemberian energy listrik yang lajunya εI , maka

εI ∆ τ
lF =
n

Jika TM menyatakan titik lebur normal suatu zat padat dan l FM


adalah kalor laten peleburan pada titik lebur normal, maka perubahan
entropi yang berkaitan dengan perubahan pada temperatur ini ialah

l FM
, dinyatakan dalam satuan R. Perubahan entropi ini didaftarkan
RTM
dalam tabel 10.1 untuk 15 zat padat non logam dan 15 logam, dan dapat
dilihat bahwa logam menunjukkan keteraturan lebih banyak daripada

l FM
nonlogam. Secara kasar, adalah sekitar 1 untuk logam.
RTM

Berbagai harga tekanan dan temperature terjadinya keberadaan


bersama antara fase padat dan cair dalam kesetimbangan menentukan
kurva peleburan dan salah satu tugas ahli percobaan ialah menentukan
persamaan kurva ini. Dalam daerah temperatur rendah, temperature dan
tekanan lebur seringkali diukur dengan metode kapiler tersumbat seperti
yang terlihat dalam gambar 10.2.

Bahan dalam fase gas dimampatkan sehingga bertekanan tinggi


dan dipaksa masuk ke dalam kapiler baja yang sebagian dibenamkan
dalam bak berisi cairan yang temperaturnya dapat diatur menurut
keinginan kita dengan cara memilih cairan serta tekanannya. Dua buah
manometer, M1 dipasang sebelum bak dan M2 sesudahnya, terhubungkan
dengan kapiler. Tekanan lebur yang berkaitan dengan temperatur bak
sama dengan pembacaan maksimum pada M 2. Empat kurva peleburan
dari neon, argon, krypton, dan xenon diperlihatkan dalam gambar 10.3.

Dalam tahun 1929, F. E. Simon dan G. Glatzel mengusulkan suatu


persamaan yang cukup berhasil untuk menyatakan data pada kurva
peleburan, sebagai berikut:

[( ) ]
c
T
P−PTP =a −1
T TP

Dengan TTP dan PTP menyatakan koordinat titik tripel, dan a serta c adalah
tetapan yang bergantung pada zatnya. Pada temperatur tinggi P TP
diabaikan, sehingga persamaan yang biasa dipakai berbentuk

P T c
a
=
( )
T TP
−1

Harga a dan c untuk empat jenis gas mulia yang terkondensasi yang
diperlihatkan dalam gambar 10.3 didaftarkan dalam tabel 10.2, dan harga
untuk zat padat lainnya telah diberikan oleh S. E. Babb.

Tabel 10.2 Parameter peleburan untuk gas mulia yang terkondensasi

Gas Mulia yang TTP, K PTP, kPa a, MPa c


terpadatkan
Ne 24,6 43,2 103,6 1,6
Ar 83,8 69,0 227,0 1,5
Kr 116 73,3 305,0 1,4
Xe 161 81,7 345,5 1,31

Kemiringan kurva peleburan berharga negatif untuk zat seperti es I


yang menciut ketika mencair. Kelakuan ini juga diperlihatkan oleh Bi, Ge,
Si, dan Ga, serta harga T yang diperlukan dalam persamaan Simon
kurang dari pada TTP. Akibat- nya harga a menjadi negatif. Berbagai harga
a dan c untuk keempat bentuk es diperlihatkan dalam gambar 10.4.
Dalam gambar 10.5 diperlihatkan berapa besar tekanan dan temperature
yang diperlukan untuk menghasilkan karbon gas dan cairan dan juga
bentuk padatan Kristal dan intan.

Teori mengenai proses yang sebenarnya terjadi bila suatu zat


padat melebur telah menarik perhatian fisikawan selama bertahun-tahun.
Teori yang mula-mula diusulkan oleh Lindermann menyatakan bahwa zat
padat melebur bila amplitude getaran kisi menjadi cukup besar untuk
mematahkan gaya tari memegang kisi itu; dalam kalimat yang lebih
mudah, ‘Dalam peleburan, zat padat mengguncangkan dirinya sehingga
pecah’. Dengan pandangan ini, Lindermann menurunkan rumus:

mv 2 /3 Θ2
(10.3)
TM

Dengan m dan v merupakan berat molekul dan volum molar, Θ


temperatur karakteristik Debye, dan TM temperature lebur. Hubungan ini
dipenuhi cukup baik oleh berbagai logam dan non logam, tetapi ada
beberapa yang menyimpang secara radikal dari rumus itu . Hal ini
menunjukkan bahwa proses bukan semata-mata persoalan getaran kisi
saja. Dislokasi dan lowongan dalam kisi Kristal, demikian juga kuantitas
yang meberi spesifikasi pada hukum gaya antar molekul pada padatan
dan cairan, semuanya dianggap memainkan peranan. Berdasarkan
gagasan seperti itu dapat diletakkan sedikit dasar teoritis untuk
persamaan Simon.

2. Penguapan

Kalor penguapan cairan dengan titik didih normal dari 250 K


sampai sekitar 550 K pada umumnya diukur langsung dengan calorimeter
seperti yang diperlihatkan dalam gambar 10.6. Contoh cairan L 2
dimasukkan kedalam tabung kecil dan kedalamnya dicelupkan kumparan
pemanas kecil R2. Tabung ini dilingkungi oleh bejana yang berisi
campuran udara dan uap cairan L 2. Dengan memilih cairan L1 yang cocok
dan mempertahankannya pada temperature didihnya dengan memakai
kumparan pemanas R1 dalam udara dengan tekanan yang sesuai,
temperature dalam bejana dapat dipertahankan menurut yang
dikehendaki. Pada temperature terpilih ini, cairan L 2 dalam kesetimbangan
dengan uapnya. Tabung kecil berisi L 2 berhubungan dengan tabung lain di
luarnya (tidak tergambar) yang biasa dipertahankan pada temperature
yang diinginkan oleh gawai pemanas atau pendingin yang dikendalikan
secara terpisah

Jika temperature tabung luar dipertahankan pada temperature yang


kurang dari pada L2, maka suatu gradient tekanan timbul, dan sejumlah
cairan L2 tersuling. Dengan mempertahankan arus kecil I dalam kumparan
pemanas R2, temperature L2 dipertahankan sama dengan lingkungannya,
dan energy yang diperlukan untuk menguapkannya tersedia. Dengan
demikian terjadi penyulingan tunak dari L 2 ke dalam tabung luar, dengan
kalor penguapan disediakan oleh kumparan pemanas R 2, dan kalor
pengembun diambil oleh lingkungan tabung luar itu. Tambahan lagi,
seluruh energy yang diberikan oleh pemanas R 2 dipakai untuk
menguapkan L2, karena tidak ada kalor yang hilang antara tabung dalam
dengan sekelilingnya. Akibatnya, jika n mol teruapkan pada waktu t, kalor
penguapan per mol ialah

εIτ
Iv =
n

Tabel 10.3 Data Penguapan *

IV/TC, P, v’’’-v’’, P(v’’’-


Zat T,K T/TC IV,J/ J/ kPa 1/ mol v’’) /T
mol J/mol.K
mol .
K

47,18 12,5 41,35 8,20


N2 63,1 0,50 595 43,85 6,042 7,91
3
TC = 126,25 K 38,57 1,317 7,00
5 0 6 101,
PC = 3,396 MPa 34,00 0,624 6,10
77,3 0,61 553 29,73 3 0,374 5,24
5 3 6 26,70 499, 0,251 4,43
94 0,74 486 21,24 0,172 3,60
5
104 14,40 0,097 2,39
5 9 1016
111 1554
0,82 429
116 2047
120 4 2 2515
124 0,87 375 3057
9 4
0,91 324
9 4
0,95 268
0 1
0,98 181
2 8

42,84 68,7 9,834 8,07


Ar 83,7 0,55 646 42,26 6,882 7,99
5
TC = 150,86 K 38,18 1,523 7,29
8 5 3 101,
PC = 4,898 MPa 34,77 0,758 6,62
87,2 0,57 637 31,98 3 0,501 6,06
9 9 5 29,10 507, 0,352 5,47
106 0,70 576 26,18 0,259 4,88
4
117 23,46 0,198 4,32
3 0 1022
124 1499
0,77 524
130 2020
135 6 5
0,82 482
2545
139 2 5 3032
0,86 439
2 0
0,89 395
5 0
0,92 353
1 9

45,85 30,4 19,047 8,00


CO 72,4 0,51 642 43,07 101, 6,325 7,85
TC = 140,23 K 81,6 36,54 1,304 6,67
6 9 3
PC = 3,498 MPa 32,02 0,650 6,04
3 0,58 604 506,
29,46 0,450 5,55
99 25,12 5 0,279 4,67
2 0
109 19,98 1012 0,185 3,72
0,70 512
115 14,19 1418 0,109 2,55
121 6 4 2026
126 0,77 449 2535
130 3039
7 0
0,82 413
0 1
0,86 352
3 2
0,89 280
9 2
0,92 199
7 0

Hal yang lebih menarik adalah cairan kriogenik dengan titik didih
normal disekitar 100 K atau kurang. Untuk cairan ini, orang harus memilih
informasi yang terdapat dalam buku pegangan keteknikan-yaitu tekanan,
entropi, entalpi, dan volum, dari cairan jenuh serta uap jenuh pada
temperature titik tripel hinggatitik kritis. Beberapa table seperti ini sekarang
tersedia, dan kalor penguapan bisa diperoleh dengan melakukan
pengurangan h’’’ – h’’. dalam table 10.3 disajikan data penguapan untuk
beberapa cairan sederhana yang diperoleh dari table termodinamik yang
disusun oleh Vargaftik.
Dalam gambar 10.7, kalor penguapan Iv yang dibagi oleh
temperature kritis TC telah dirajah terhadap kuantitas P (v’’’ – v’’)/T dari
sekitar 0,5 TC hingga 0,98 TC. Kita telah melihat bahwa titik-titik untuk lima
macam gas terletak pada suatu garis yang sama sehingga kita bisa
menganggap bahwa titik-titik serupa itu, untuk cairan sederhan lainnya,
terletak pada garis lurus yang sama. Dengan istilah ‘sederhana’
dimaksudkan cairan seperti Kr, Xe, O2 yang molekulnya tidak memiliki
momen dwikutub (atau hanya kecil saja) dan tidak Menyangkut fase cair
dan fase uap. Dengan menentukan kemiringan garis dalam gambar 10.7,
yaitu 5,4, kita bisa melukiskan

Iv /Tc T
=5.4 ( Untuk 0,5 < <1 )
P( vᶬ−vᶯ)/T Tc
Gambar 10.7 Hukum keadaan yang bersesuaian berlaku untuk
temperature tereduksi antara 0,5 hingga 1

Hubungan ini dapat dipandang sebagai hukum keadaan yang bersesuai.


Namun, dalam bentuk yang sekarang, rumus itu mempunyai kegunaan
yang terbatas karena melibatkan pengetahuan tentang begitu banyak
kuantitas. Jadi, sangat menarik bagi kita untuk memeriksa akibat dari
kesebandingan yang aneh ini. Mula-mula kita tuliskan persamaan
Clapeyron dalam bentuk.

Iv /Tc
dP /P Iv ¿
= =¿ Tc
dT / T ² P(υᶬ−υᶯ)/T P (vᶬ−vᶯ)/T
Perhatikan bahwa ruas kanannya sama dengan 5,4 Tc. Persamaan yang
dihasilkan, yaitu

dP dT
=5,4 Tc
P T²

Bisa diintegrasi dari T ke Tc dan dari Pke Pc, asal saja T/Tc tidak kurang
dari pada 0,5. Jadi,

Pc 1 1
ln =5,4 Tc( − )
P T Tc

atau

P Tc
=5,4(1−¿ ) T
Pc T ( Untuk 0,5 < <1 ). (10.5)
Tc
ln ¿

Persamaan (10.5) merupakan hukum keadaan bersesuaian yang


sejati, dinyatakan dalam temperatur tereduksi dan tekanan tereduksi.
Persamaan itu mula-mula diusulkan oleh E. A. Guggenheim yang merajah
logaritma tekanan uap tereduksi terhadap kebalikan temperatur tereduksi
untuk tujuh cairan sederhana seperti yang terlihat dalam gambar 10.8.
Titik-titik itu terlihat terletak dengan baik pada suatu garis lurus yang
persamaannya

P Tc T
ln =5,3(1− ) (Untuk 0,55 < <1
Pc T Tc

Dan kecocokan numerik dengan persamaan (10.5) sangat


memuaskan. Bisa diterima bahwa cairan yang molekulnya mempunyai
momen dwikutub listrik yang besar dan saling menimbulkan gaya akan
memenuhi hukum keadaan yang bersesuaian dengan bilangan tetap yang
berbeda.
Gambar 10.8 Hukum keadaan yang bersesuaian untuk cairan sederhana.
(E. A. Guggenheim, Thermodynamics, Interscience, 1967)

Terdapat akibat yang menarik lainnya dari hukum keadaan yang


bersesuaian seperti diberikan dalam persamaan (10.5) yang bisa jelas jika
kita membatasi diri pada daerah temperatur yang kecil yang cukup jauh
dari titik kritis. Dengan demikian kita diizinkan untuk memandang Iv
sebagai suatu tetapan, katakanlah, sekitar titik didih normalnya. Dalam
daerah ini, jika dibandingkan dengan v’’’ , v’’ dapat diabaikan, dan tekanan
uapnya cukup kecil untuk dihampiri leh persamaan keadaan gas ideal,
atau v’’’ = RT/P. Dalam kondisi ini, persamaan Clapeyron menjadi
P
−d ln ( )
dP Iv Iv −d ln P Pc
= , atau = =
P R T 2 /P R 1 1
d( ) d( )
T T

Jika persamaan ini kita integrasi melalui selang temperatur kecil sekitar Tᵦ
, dengan Iv memiliki harga tetap Ivᵦ , kita dapatkan

P Ivᵦ
ln =tetapan− ` (10.6)
Pc RT

Dalam tabel 10.4, titik didih normal dari 14 cairan sederhana


didaftar bersama dengan titik kritisnya, serta titik didih normal
tereduksinya Tᵦ/Tc, terlihat terletak antara 0,57 dan 0,61 yang masih
termasuk dalam selang hukum keadaan yang bersesuaian. Jadi dengan
membandingkan persamaan (10.5) dan (10.6) kita dapatkan

Ivᵦ
=5,4 Tc (10.7)
R

Tabel 10.4 Kalor penguapan pada titik didih normal, Ivᵦ*

Cairan Tᵦ , Tc, Tᵦ/Tc Ivᵦ , Ivᵦ/R, Ivᵦ/RTᵦ


KJ/kmol
K K K

Ne 27,1 44,5 0,609 2112 254 9,4

N₂ 77,3 126 0,613 5583 671 8,7

CO 81,7 133 0,614 6051 728 8,9

F₂ 85,2 144 0,592 6046 727 8,5

Ar 90,2 151 0,578 6288 757 8,7

O₂ 90,2 154 0,586 6833 822 9,1

CH₄ 111 191 0,581 8797 1058 9,5

Kr 120 209 0,574 9812 1180 9,8

Xe 165 290 0,569 12.644 1521 9,2

C₂H₄ 175 283 0,601 14.680 1766 10,4

C₂H₆ 185 308 0,601 16.241 1953 10,6

HCL 188 325 0,578 16.183 1946 10,4


HBr 206 363 0,567 17.618 2119 10,3

CL₂ 238 417 0,570 18.408 2214 9,3

 Diambil dari Kuzman Raznjevic, Handbook of Thermodynamic


Tables and Charts, MoGraw-Hill, New York, 1976.

Dengan memakai data dalam tabel 10.4, grafik Iv ᵦ/R terhadap Tc


diperlihatkan dalam gambar 10.9, dan lagi-lagi suatu garis lurus diperoleh
untuk 14 cairan sederhana. Kemiringan garis ini ialah 5,8, hampir sesuai
dengan harga yang diharapkan (kesesuaiannya lebih baik lagi jika hanya
ditinjau sembilan cairan yang pertama).

Gambar 10.9 hukum keadaan yang bersesuaian untuk kalor


penguapan cairan sederhana pada temperatur tereduksi sekitar 0,6
Karena titik didih tereduksi dari banyak cairan berada di sekitar
0,6 , persamaan (10.7) dapat dipandang sebagai hukum keadaan yang
bersesuaian, dengan pernyataan

T
Ivᵦ( pada ~ 0,6 ) = 5,4RTc
Tc

Dengan mengacu pada tabel 10.4 , perhatikan bahwa hasil bagi


yang dicantumkan dalam kolom terakhir tidak tetap, tetapi naik terhadap
Tᵦ. Namun, kenaikannya cukup kecil sehingga hampiran kasar didapatkan
dengan mengambil Iv/RTᵦ sekitar 9 – suatu kaidah kerja yang dikenal
sebagai kaidah Trouton yang sangat berguna bila Tc belum diketahui.

3. Sublimasi

Sublimasi; persamaan Kirchhoff

Persamaan Clapeyron untuk sublimasi ialah

'
'' '
v −v ¿
¿
T¿ ,
dP ls
+
dT ¿

Keterangan :

v' ' ' = volume molar uap

v' = volume polar padatan

Sublimasi biasanya terjadi pada tekanan renda,uapnya bisa dipandang


sebagai gas ideal,sehingga

RT
v' ' ' ≈
P

Karena P kecil, v ' ' ' menjadi besar,benar – benar jauh lebih besar
'
daripada volume molar padatan,sehingga v bisa diabaikan,atau
' ' ' −¿ v ' ≈ v '' '
¿
v

Persamaan Clapeyron bisa ditulis

dP/ P
ls =R
dT /T 2

d ∈P
= -R 1
d( )
T

d log P
= - 2,30 R 1 ,
d( )
T

Sehingga dapat dilihat bahwa lS sama dengan – 2,30 R kali kemiringan


kurva yang diperoleh bila log P dirajah terhadap 1/T. Tekanan uap padatan
biasanya diukur untuk selang temperatur yang kecil. Dalam selang ini
grafik log P terhadap 1/T praktis merupakan garis lurus,atau

−tetapan
log P= +tetapan .
T

Menurunkan persamaan Kirchhoff untuk kalor sublimasi suatu sistem


kimia diberikan oleh

dh=T ds+ v dP

Masukkan persamaan T d s kedua,kita dapatkan

dh=c p dT + v−T
[ ( )]
∂v
∂T p
dP

¿ c p dT + v ( 1−βT ) dP

Perubahan entalpi yang berlebihan antara dua keadaan Pi T i dan


Pf T f ialah
f f
h f −h i∫ c p dT +∫ v (1−β T ) dP . kita terapkan persamaan ini pada zat
i i

padat yang keadaan awalnya i' pada tekanan nol dan pada temperatur
nol mutlak,yang keadaannya akhirnya f'

Gambar 10.10 Bagian permukaan PVT di bawah titik tripel

Merupakan zat padat jenuh (zat padat yang hampir bersublimasi)


yang digambarkan oleh suatu titik pada kurva padatan-jenuh dibawah titik
tripel. Kedua keadaan ini diperlihatkan pada permukaan P VT dalam
gambar 10.10. untuk menghitung perubahan entalpi dari i ' ke f ' ,kita
bisa mengintegrasi sepanjang lintasan terbalikan dari i ' ke f' .
Lintasan yang paling enak dipakai digambarkan dengan dua langkah
i ' → A dan A → f ' ,yang pertama merupakan proses isoterm pada nol
mutlak dan yang kedua merupakan proses isobar pada tekanan P.
Dengan memberi tanda entalpi akhir dengan h' dan entalpi awal
'
dengan h0 .

'
A i
h −h =∫ v ( 1−βT ) dP+∫ c p dT
' '
0
'
i A

P T
¿∫ v dP+∫ c 'P dT ,
'

0 0
Keterangan :

v' = volum molar zat padat pada nol mutlak

'
c p = kapasitas kalor molar pada tekanan P tetap.

Sekarang,tekanan pada sebuah titik pada kurva sublimasi untuk


hampir semua zat padat biasanya amat kecil. Misalnya, untuk es biasa
berkisar antara 0 hingga sekitar 650 Pa; untuk kadmium dari 0 hingga 15
Pa. Jadi, jika kita batasi pemakaian rumus ini zat padat pada temperatur

dengan tekanan uap amat kecil,kita dapat mengabaikan ∫ v' dP,dan


0

T
h' =∫ c 'p dT +h'0 (10.8)
0

Karena c 'p suatu zat padat tidak berubah banyak terhadap

tekanan,harga c 'p pada tekanan atmosfer dapat dipakai dalam integral


di atas. Entalpi uap jenuh yang ditujukan dalam gambar 10.10 dapat
dihitung berdasarkan anggapan bahwa uap jenuh pada tekanan rendah
berkelakuan seperti gas ideal. Kembali ke persamaan umum cP =

( ∂T∂ h ) p dan mengingat bahwa entalpi gas ideal sebagai fungsi dari

temperatur saja,kita dapatkan

dh' ' ' =c 'p' ' dT .

Dengan mengintegrasi dari nol mutlak hingga T,kita dapatkan

T
h' ' ' =∫ c'p' ' + dT +h ''0 ' (10.9)
0

Dengan h'0' ' menyatakan entalpi molar uap jenuh pada nol mutlak.
Sekarang, ditinjau sublimasi keterbalikan 1 mol zat padat pada temperatur
' '''
T dan tekanan P yang bersesuaian dengan transisi dari f ke f
dalam gambar 10.10.

Kita dapatkan l s=h'' ' −h'

T T
¿∫ c dT−∫ c'p dT +h'0' ' −h'0 .
'' '
p
0 0

Karena kedua ntegral itu mendekati nol ketika T mendekati nol,maka

l s →h'0' ' −h'0 ketika T → 0,

Dan h'0' ' adalah kalor sublimasi pada nol mutlak dan dineri lambang l0
. Jadi,

T T
l s=∫ c dT −∫ c 'p dT + l 0
'''
p
0 0

(10.10)

Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan Kirchhoff.


Persamaaan ini hanya merupakan hampiran,dan dibatasi oleh
persyaratan bahwa tekanannya rendah dan uap jenuh berkelakuan seperti
gas ideal.

4. Tetapan tekanan-uap

Jika uap yang berada dalam kesetimbangan dengan zat padat


berkelakuan seperti gas ideal,dan jika volume zat padatnya bisa diabaikan
dibandingkan dengan uap,persamaan Clapeyron menjadi

dP ls
= 2 dT .
P RT
Jika,di samping anggapan itu,kita andaikan juga bahwa tekanan
uapnya sangat kecil,maka persamaan Kirchhoff bisa dipakai jadi,

T T
l s=l 0 +∫ c dT −∫ c 'p dT .
' ''
p
0 0

Kapasitas kalor molar gas ideal dapat digambarkan sebagai jumlah suku
tetap dan suku yang merupakan fungsi dasi temperatur. Jadi,

'' ' ' '' ' ''


c p =c 0 +c i , (10.11)

5
Dengan c '0' ' sama dengan R untuk semua gas monoatom dan
2

7
R untuk semua gas dwiatom,kecuali hidrogen. Faktor c 'i' '
2
ditimbulkan oleh derajat kebebasan internal dari uap; faktor itu mempunyai
sifat mendekato nol dengan cepat ketika T mendekati nol bila gas itu
ekaatom. Persamaan Kirchhoff bisa ditulis

T T
l s=l 0 + c'0' ' +∫ c 'i ' ' dT −∫ c 'p dT ;
0 0

Dan setelah menyulihkan ke dalam persamaan Clapeyron,kita dapatkan

''' T

l c '' ' ∫c ' ''


i dT ∫ c 'p dT
dP
= 0 2 dT + 0 0 0
2
dT − dT .
P RT RT RT RT 2

Dengan mengintegrasi persamaan iniakhirnya kita dapatkan

T T

−l c' ' ' T ∫c '' '


i dT T ∫ c 'p dT (10.12)
1 1
¿ P= 0 + 0 ∈T + ∫ 0
2
dT− ∫ 0
2
dT + i ,
RT R R0 T R0 T

Dengan i menyatakan tetapan integrasi. Hubungan ini tidak


ketat,tetapi cukup tepat untuk dipakai sehubungan dengan pengukuran
tekanan uap zat padat secara percobaan. Pengukuran seperti itu biasanya
disertai galat yang jauh lebih besar daripada yang timbul karena
pengandaian penyederhanaan yang dimasukkan dalam penurunan ini.

Jika uap itu dalam keseimbangan dengan zat padat ekaatom, c '0' '

5
mempunyai harga R dan c ''p ' nol. Jadi persamaan kurva
2
sublimasinya menjadi

l T ∫ c 'p dT (10.13)
5 1
¿ P= 0 + ∈T − ∫ 0
2
dT +i
RT 2 R0 T

Dengan mengubahnya menjadi logaritma biasa dan menyatakan tekanan


dalam atmosfer,kita dapatkan

−l 0 T ∫ c 'p dT
5 1 i
log P= + logT −
2,30 RT 2

2,30 R 0
0

T 2
dT +
2,30
−log 1.013 .250.

Dua suku yang terakhir dikenal sebagai tetapan tekanan-uap praktis i' .
Jadi,

' i
i= −log1.013 .250
2,30

i
¿ −6,0052.
2,30

Akhirnya, dengan menyatakan tekanan dalam milimeter,kita dapatkan


harga numerik

2,30R = 19,1 J/mol deg

Log 760 = 2,881,

Dan dengan mengambil T ∫ c'p dT


1
B= ∫
2,30 R 0
0

T2
dT ,
Maka persamaannya menjadi

−l 0 5
log P= + logT −B+i ' + 2,881.
19,1T 2

Inilah bentuk yang paling berguna bagi fisikawan atau kimiawan yang
bekerja di laboratorium.

Persamaan sublimasi dipakai menurut dua cara :

1. Untuk mendapatkan pengukuran melalui percobaan tetapan


tekanan-uap i' yang akan dibandingkan dengan perhitungan
teori dari i ' ; dan
1) Untuk menghitung tekanan uap suatu zat pada temperatur yang P-
nya terlalu kecil untuk diukur.

Dalam kedua hal itu, integral B harus di cari berdasarkan pengukuran


melalui percobaan dari c 'p atau harga secara teori c 'p . Supaya hal ini

bisa dilakukan, c 'p harus dirajah terhadap T dari nol mutlak sampai
temperatur tinggi yang diperlukan. Luas di bawah kurva pada berbagai
harga T didapatkan dengan integrasi numerik dan dengan demikian

variasi temperatur dari ∫ c 'p dT bisa diperoleh. Sekarang harga ini


dibagi dengan T2 dan di rajah paga grafik yang lain terhadap T. Luas
dibawah kurva yang baru ini, pada berbagai harga T yang
tersedia,menunjukkan variasi B terhadap temperatur.
Jika terdapat pengukuran tekanan uap untuk selang temperatur yang

5
lebar,harga numerik dari log P− logT +B bisa dirajah terhadap 1/T.
2
Karena
5 −l 1
log P− logT +B= 0 +i ' +2,881,
2 19,1 T
Maka grafik yang dihasilkan merupakan garis lurus dengan kemiringan

l0 '
¿− , dan perpotongannya ¿ i +2,881.
19,1
Tabel 10.5 Data untuk menentukan i' kadmium

5 5
T,K Log P log T B log P− logT +B 1/T
2 2

360 - 7,44
6,38 1,82 - 12,00 0,00278
380
400 - 6,57
450 6,45 1,88 - 11,14 0,00263
500
- 5,80
550 6,50 1,94 - 10,36 0,00250

- 4,17
594 6,63 2,08 - 8,72 0,00222

- 2,86
6,75 2,20 - 7,41 0,00200

- 1,77
6,85 2,32 - 6,30 0,00182

- 0,99
6,94 2,41 - 5,52 0,00168
Gambar 10.11 Grafik untuk menetukan tetapan tekanan uap kadmium

Data untuk kadmium terdaftar dalam tabel 10.5. pengukuran


tekanan uap dilakukan oleh Egerton dan Raleigh, dan pengukuran B oleh
Lange dan Simon. Dari grafik yang ditunjukkan dalam gambar 10.11, l0
didapatkan sama dengan 112 Kj/mol dan iꞌ sama dengan 1.50.

5. Pengukuran Tekanan Uap

Penentuan kalor sublimasi pada nol mutlak l0 dan tetapan uap iꞌ


memerlukan pengukuran tekanan uap zat padat yang teliti. Cara yang
paling mudah untuk menentukan kalor penguapan suatu zat cair juga
memerlukan pengukuran tekanan uap. Kita tinjau beberapa metode yang
biasa dipakai :
1. Metode statik
Bila tekanan uap ada dalam selang antara 10 -3 sampai 103 mm Hg
(10-1 sampai 105 Pa), benjana yang berisi zat padat atau zat cair
dihubungkan dengan manometer kolom cairan, dan tekanannya
bisa dibaca langsung. Metode statik biasanya cukup memadai
untuk zat cair, tetapi seringkali sedikit gunanya untuk mengukur
tekanan uap zat padat bertitik lebur tinggi.
2. Metode penguapan Langmuir
Zat padat yang tekanan uapnya akan diukur harus ditimbang
dengan hati-hati, juga luas permukaannya. Zat itu diletakkan dalam
suatu ruang hampa dan temperaturnya dinaikkan sekehendak kita.
Zat akan menguap dengan laju tetap, dan uapnya disedot.
Diandaikan laju penguapan sama dengan laju molekul menumbuk
zat padat jika terjadi kesetimbangan antara padatan dan uap. Laju
ini sama dengan P / √ 2 π mkT ; sehingga laju kehilangan massa
per satuan luas M / A ialah :
M
A
=P
√ m
2 πRT
atau P=
M 2 πRT
A m √
Dengan m menyatakan berat molekul. Metode ini sangat berguna
bila zat itu berupa kawat yang titik leburnya tinggi.
3. Metode efusi Knudsen
Metode ini merupakan variasi dari metode Langmuir, berat dan luas
permukaan zat padatnya tidak terlalu diukur. Sebagai gantinya, zat
yang sedang menguap dilewatkan melalui suatu bukaan yang
diketahui luasnya, kemudian dikondensasikan dalam suatu
perangkap yang dingin. Pengukuran massa uap yang
terkondensasikan setelah sutu selang waktu tertentu menghasilkan
kunatitas M.

Kebergantungan penuh tekanan uap pada temperatur memerlukan


suatu rumus dengan empat tetapan yang bisa diatur. Salah satu rumus

yang diusulkan oleh Nesmeyanov:


B
P= A− +CT +¿ D log T
T (10.14)
log ¿

Gambar yang dilukiskan dalam gambar 10.12 menunjukkan bahwa:

3 cv
l0 ≈ ( )
5 β 0
(10.15)

Tabel 10.6 Hasil bagi antara kapasitor kalor dengan ktermuaian dan kalor

sublimasi logam [ ( c v / β )0 diperoleh R. K. Kirby; l0 didapatkan oleh A. N.


Nesmeyan]

Gambar 10.12 Kalor sublimasi pada nol mutlak berbanding lurus dengan
( c v / β )0
6. PERMUKAAN TERMODINAMIKA

Keadaan kesetimbangan sembarang zat termampatkan sederhana


dapat dinyatakan dalam permukaan segiempat, ruang tiga dimensi yang
disebut permukaan termodinamik.

2.1 Diagram Fase

Gambar 11. Diagram p-T untuk zat murni


Disebut digram fase karena ketiga fase dipisahkan satu sama lain
oleh tiga garis.

1. Garis sublimasi (sublimation) menyatakan kesetimbangan antara fase


padat dan fase uap.

2. Garis penguapan (vaporation) menyatakan kesetimbangan antara


fase cair dan uap.

3. Garis peleburan (melting) menyatakan kesetimbangan fase padat dan


fase cair.

Dan hanya pada satu titik dimana fase padat, fase cair, dan uap
berada dalam kesetimbangan yaitu pada titik tripel (triple point). Ujung
garis uap adalah titik kritis, sebab tidak ada pembedaan antara fasa cair
dan fasa uap di atas titik kritis.

a. Data Titik Tripel


p
Nama Zat T(K) p (Pa)
(mmHg)
Helium-4 2,117 37,77 5035
Hidrogen 13,97 52,8 7040
Neon 24,56 324 43,200
Oksigen 54,36 1,14 152
Nitrogen 63,15 94 12500
Amoniak 195,40 45,57 6075
Dioksid
197,68 1,256 167,5
belerang
Dioksid
216,55 3880 517
karbon
Air 273,16 4,58 611
7. PERSAMAAN CLAUSIUS CLAYPERON

Persamaan Clausius Clapeyron merupakan sebuah hubungan yang


penting mengenai hubungan tekanan, suhu, perubahan entalpi, dan
volume jenis yang dihubungkan dengan perubahan fase. Terdapat
beberapa sifat termodinamik yang tidak dapat diukur secara langsung
contohnya adalah perubahan entalpi. Menurut persamaan Clausius,
perubahan entalpi dapat dihitung berdasarkan pada pengukuran tekanan,
suhu, dan volume jenis. Persamaan Clausius Clapeyron secara mudah
dapat diturunkan dari persamaan Maxwell untuk dua fase dalaqm
kesetimbangan.

Hubungan persamaan Maxwell

( ∂∂Tp ) =( ∂∂vs )
v T

Zat murni berubah dari keadaan cairan jenuh ke keadaan uap


jenuh berlangsung pada suhu konstan karena kalor yang diserap
digunakan untuk berubah fase, tidak untuk menaikkan suhu. Tekanan dan
suhu tidak bergantung pada volume pada daerah jenuh, maka dapat
dituliskan:

( ∂∂Tp ) = ∂∂Tp
v

Dari hukum pertama untuk zat yang mengalami perubahan fase,


Q=∆u−W
¿ ug −uf + p (v g−v f )
¿ h g−h f =h fg
Kalor yang diserap per satuan massa pada tekanan konstan sama
dengan,
q=Tsfg
Dan
h fg
s fg =
T
s g −s f sfg
( ∂∂ vs ) = v −v = h
T g f fg

Dari hubungan-hubungan di atas, didapat suatu persamaan Clausius


Clapeyron:
v
hfg
T (¿ ¿ g−v f )=
T v fg
dP s g−s f s fg dP hfg
= = dan =
dT v g−v f v fg dT ¿

Persamaan di atas disebut persamaan Clausius Clapeyron yang


menyatakan kemiringan garis kesetimbangan dalam digram p-T. Jadi hfg
dapat ditentukan dari kemiringan kurva tekanan uap dan volume jenis
cairan jenuh dan uap jenuh pda suhu yang ditentukan. Terdapat beberapa
perubahan fase berbeda yang dapat terjadi pada suhu dan tekanan
konstan. Jika dua fase ditandai dengan superskrip ‘ dan ‘’, kita dapat
menuliskan persamaan Clausius Clapeyron dalam bentuk umum

dP s' ' −s' dP h' ' −h '


= dan =
dT v ' ' −v' dT T ( v '' −v ' )

Jadi untuk perubahan keadaan zat murni dari keadaan padatan jenuh ke
keadaan cairan jenuh yng berlangsung pada suhu konstan, dapat
dituliskan:
v
h sf
T (¿ ¿ f −v s )=
T v sf
dP h sf
=
dT ¿

8. Penerapan Persamaan Clausius Clapeyron dalam Fisika


Rudolf Clausius adalah orang yang pertama yang mencetuskan
hukum kedua termodinamika. Persamaan clausius clapeyron yang muncul
menjelaskan hubungan antara tekanan dan suhu di dua tahapan yang
substansi yang berada dalam keseimbangan. Persamaan ini menjelaskan
sebagai entropy kuantitas yang lain tetap selama perubahan volume dan
suhu dalam siklus Carnot sebagai awal sebagai 1850 kertas, tetapi ia
tidak nama ini konsep penting pada waktu itu. Masih tanpa konsep nama
Clausius dirumuskan, dalam sebuah riwayat dari 1854, dengan dasar dari
teori konsep pengukuran transformasi persamaan derajatnya ia kemudian
disebut entropy. Dalam sebuah karya yang diterbitkan dalam konsep 1865
adalah nama yang jelas untuk pertama kalinya. Dalam makalah 1865
Clausius menyatakan Pertama dan Kedua hukum termodinamika dalam
formulir berikut:

1. Energi dari semesta adalah konstan.

2. Entropy dari semesta cenderung maksimal.

Rudolf Clausius menyatakan dalam makalah nya yang berjudul


Über bewegende Kraft der Wärme pada 18 Februari 1850 dan diterbitkan
di Annalen der Physik yang digunakan sebagai suatu properti dari sistem,
entropi, dimana ini dapat digunakan dalam menentukan apakah hukum
kedua termodinamika dilanggar dalam situasi tertentu. Berikut merupakan
pernyataan clausius:

“ adalah tidak mungkin untuk membuat suatu alat yang beroperasi


berdasarkan suatu siklus yang efek satu-satunya adalah perpindahan
kalor dari suatu benda yang lebih dingin ke benda yang panas”.

Pernyataan tersebut berlaku untuk sebuah refrigator (atau sebuah pompa


kalor). Dinyatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk membuat sebuah
refrigator yang memindahkan energi dari benda yang lebih dingin ke
benda yang lebih panas tanpa adanya masukan usaha.
5.1 Pompa Kalor (Heat Pump)

Heat pump atau pompa kalor adalah suatu sistem yang dapat
menyerap kalor dari suatu tempat kemudian membuangnya di tempat lain.
Pompa kalor dapat digunakan sebagai pendingin jika memanfaatkan sisi
penyerapan kalor , inilah yang disebut dengan sistem refrigerasi.
Sebaliknya pompa kalor juga dapat digunakan sebagai pemanas jika
memanfaatkan sisi pembuangan kalornya. Contoh sederhana pompa
kalor adalah air conditioner. Air conditioner menyerap kalor yang ada
diruangan kemudian membuangnya ke luar ruangan.
Untuk memahami prinsip pompa kalor maka analogi pompa air
dapat digunakan karena secara prinsip keduanya tidak berbeda. Air
secara alami akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah. Untuk mengalirkan air dari tempat yang rendah ke tempat yang
tinggi dibutuhkan suatu alat (pompa) dan usaha/kerja/energi dari luar
(mekanik). Dengan menggunakan pompa maka air yang ada di tempat
yang lebih dapat dihisap dan dikeluarkan di tempat yang lebih tinggi.
Pada kalor pun terjadi hal yang sama. Kalor secara alami
mengalir/berpindah dari temperatur yang tinggi ke temperatur yang
rendah. Tinggi atau rendahnya temperatur merupakan salah satu indikasi
besarnya energi kalor yang dimiliki suatu zat. Semakin tinggi temperatur
maka semakin tinggi energi kalornya. Untuk memindahkan kalor dari
tempat yang temperaturnya lebih rendah maka dibutuhkan sistem pompa
kalor. Seperti halnya pompa air, untuk menyerap kalor dan membuang
kalor dibutuhkan kerja/usaha/energi dari luar. Biasanya proses pompa
kalor digambarkan seperti dibawah ini.
Gambar 12. Proses Pompa Kalor

Dimana Ts adalah suhu lingkungan, Tc adalah temperatur pada sisi


penyerapan kalor, Th adalah temperatur pada sisi pembuangan kalor, W
adalah kerja dari luar, Q c adalah kalor yang terserap dan Q h adalah kalor
yang dibuang.
Pada saat tidak ada W yang bekerja maka temperatur T s, Tc, dan
Th adalah sama (Ts=Th=Tc) dan tidak ada proses perpindahan kalor
diantaranya. Begitu ada kerja W dijalankan maka T c menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan Ts. Oleh karena itu energi kalor yang berada di
sekitarnya terserap oleh sistem ini. Kalor yang terserap ini dibuang ke sisi
Qh sehingga temperatur Th menjadi lebih besar dari Ts. Pada keadaan ini
maka Tc < Ts < Th. Hubungan antara kalor yang diserap dan dibuang
mengikuti persamaan:
Qh = Qc + W
Untuk menunjukkan sebarapa baik performa dari suatu pompa
kalor, maka dikenal dengan istilah COP (Coefficient of Performance) atau
dalam bahasa Indonesia disebut dengan koefisien kinerja. COP ini
merupakan perbandingan antara output yang digunakan dengan input
yang diberikan. Pada pompa kalor, input adalah kerja dan output dapat
merupakan penyerapan kalor atau pembuangan kalor. Jika pompa kalor
digunakan sebagai pendingin (Refrigerasi) maka output adalah
penyerapan kalor. Sebaliknya, jika pompa kalor digunakan sebagai
pemanas (heater) maka outputnya adalah pembuangan kalor. Oleh
karena itu COP diekspresikan dengan:
- Untuk pendingin:
COP = Qc / W
oleh karena W = Qh – Qc
maka:

Qc
COP =
Qh –Qc

- Untuk Pemanas
COP = Qh / W
Qh
Atau COP =
Qh –Qc

Dua jenis sistem pompa kalor yang sudah di komersilkan secara


luas adalah sistem refrigerasi kompresi uap (SRKU) dan thermoelectric.
SRKU merupakan sistem yang paling banyak ditemui di dalam kehidupan
sehari-hari, sepeti Air conditioner (AC) dan lemari es. Keunggulan dari
SRKU adalah COPnya yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
teknologi ini belum bisa digantikan oleh teknolgi lain. Walaupun demikian,
SRKU membutuhkan banyak komponen dan kurang bisa diterapkan di
tempat yang kecil.
Jenis pompa kalor thermoelectric sering dijumpai sebagai pendingin
elektronik seperti prosesor. Keunggulan teknologi ini adalah ukurannya
yang kecil , sangat mudah diterapkan dan cukup dicatu dengan listrik
searah (DC). Namun COPnya masih sangat kecil dibandingkan dengan
SRKU.
Sebenarnya ada beberapa jenis lain yang dapat digunakan sebagai
sistem pompa kalor namun sulit untuk dijumpai dalam kehidupan sehari-
hari, yaitu: sistem refrigerasi absorpsi, thermoacoustic, thermomagnetic,
dan tabung vortex.
5.1.1 Mesin Refrigerasi Siklus Absorpsi

Mesin refrigrasi siklus absorpsi sedikit berbeda dengan mesin


refrigerasi siklus kompresi uap. Komponen sistem seperti kondensor, alat
ekspansi dan evaporator juga digunakan pada mesin refrigerasi absorpsi.
Sedangkan kompresor pada sistem refrigerasi siklus kompresi uap diganti
fungsinya oleh generator, absorber, dan pompa.

Gambar 13. Siklus Mesin Refrigerasi Siklus Absorpsi

Ada beberapa jenis dari sistem refrigerasi siklus absorpsi


diantaranya:

•Continuous absorption system

-Continuous absorption system with pump

-Continuous absorption system with out pump

•Intermitten absorption system

Sebagai sumber energi penggerak sistem adalah energi panas


(kalor) sehingga sering disebut heat-operated cycle. Sebagai sumber
energi panas didapatkan dari gas alam, kerosin, elemen pemanas listrik,
uap panas, gas panas buang dan sumber-sumber panas yang lainnya.
Aplikasi dari sistem ini dapat diterapkan pada refrigerasi domestik maupun
pada sistem refrigerasi komersial dan juga pada pengkondisian udara.
Secara umum fluida kerja yang digunakan pada sistem refrigerasi siklus
absorpsi adalah refrigeran dua substansi berupa campuran tak bereaksi
seperti;

- amonia-air (NH3 – H2O)

- air-lithium bromide (H2O – LiBr), dan lain sebagainya

Pada sistem Air-Amonia, air berfungsi sebagai absorbent dan


amonia berfungsi sebagai refrigeran. Sedangkan pada sistem Litium
bromida-air, litium bromida berfungsi sebagai absorben dan air sebagai
refrigerannya. Continuous Absorption System with Pump.
Mesin refrigerasi siklus absorpsi dengan pompa sering disebut dengan
siklus refrigerasi absorpsi dua tekanan. Pada siklus ini ada sisi tekanan
tinggi dan tekanan rendah yang dibatasi oleh katup ekspansi dan katup
throtle yang terdapat antara absorber dan generator.

Komponen utama dari siklus refrigerasi absorpsi dua tekanan


adalah; generator, absorber, pompa, kondensor, evaporator, alat ekspansi,
dan katup throtle. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut:
Campuran kuat refrigeran-absorben (strong solution) dipanaskan di dalam
generator sehingga refrigeran menguap dan terpisah dari absorbennya.
Uap refrigeran selanjutnya dimurnikan dalam rectifier dengan
mendinginkannya sehingga absorben yang ikut menguap akan
mengembun dan mengalir kembali ke generator.Uap refrigeran murni
kemudian mengalir melalui kondensor. Di kondensor refrigeran
didinginkan sehingga refrigeran mengalami proses pengembunan.
Kondensatnya yang sudah berupa wujud cair yang keluar dari kondensor,
kemudian dialirkan menuju alat ekspansi. Pada alat espansi refrigeran
diekspansikan sehingga tekanannya menjadi rendah (tekanan evaporator)
dan disertai dengan turunnya temperatur refrigeran. Di dalam evaporator
refrigeran mengalami proses penguapan dengan menyerap panas yang
ada disekeliling evaporator. Proses absorpsi uap refrigeran oleh
absorbennya berlangsung di dalam absorber dengan cara melepas kalor,
dimana absorben yang datang dari generator sudah berupa larutan lemah
(weak solution) sehingga bisa menyerap uap refrigeran yang datang dari
evaporator. Dengan terjadinya penyerapan uap refrigeran oleh absorben,
maka di absorber terbentuklah larutan kuat (strong solution) yang
selanjutnya akan dialirkan lagi menuju generator dengan menggunakan
pompa. Demikian proses ini berlagsung secara terus menerus.

5.1.2 Tabung Vortex

Tabung vortex ditemukan oleh G.J. Rangque pada tahun 1931 yang
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Hilsch. Tabung vortex
adalah salah satu alat yang dapat dipakai untuk pendingin. Sekaligus
pemanas. Sumber energinya adalah udara yang terkompresi/bertekanan.
Tabung vortex merubah udara bertekanan menjadi 2 aliran udara yaitu
aliran udara panas dan aliran udara dingin. Aliran udara panas dan dingin
yang dikeluarjkan tabung vortex dapat bervariasi. Sebagai contoh udara
masukkan pada 100 psi dan 27 ºC dapat diatur untuk mendinginkan
sebagian udara menjadi -34 ºC dan memanaskan sisanya hingga menjadi
33 ºC. 1 atm = 14,7 psi = 101,325 kPa 1 bar = 100 kPa.
Gambar 14. Tabung Vortex

Nozzle dapat berjenis konvergen, divergen atau konvergen-


divergen, tergantung dari kebutuhan. Suatu nozzle yang efisien adalah
yang mempunyai kecepatan yang tinggi dan sekecil mungkin rugi-rugi
masukan. Chamber adalah bagian dari nozzle dan memberi masukkan
udara secara tangensial terhadap sisi udara panas. Diafragma adalah
potongan silinder tipis dan mempunyai lubang dengan diameter yang
spesifik ditengahnya. Katup menjaga laju aliran udara pada sisi panas dan
juga mengontrol jumlahh udara panas yang keluar dari tabung vortex
Udara terkompresi dilewatkan melalui nozzle sehingga udara berekspansi
pada kecepatan tinggi aliran udara pusar kemudian dihasilkan di chamber
dan udara bergerak secara spiral sepanjang sisi tabung aliran tersebut
terhambat oleh katup. Ketik tekanan udara didekat katup dibuat lebih
tinggi daripada tekanan udara luar dengan menutup katup sebagian, maka
suatu laju aliran udara balik akan mengalir pada bagian sumbu tabung
mulai dari sisi tekanan tinggi ke sisi tekanan rendah. Selama proses ini,
perpindahan energi berlangsung antara udara balik dan udara maju,
sehingga aliran udara balik yang terdapat di sumbu tabung mempunyai
temperature jauh lebih rendah dari temperature inlet, sedangkan aliran
udara maju akan memanas dan bertemperatur jauh lebih tinggi dari
temperature inlet. Aliran udara inlet akan keluar melalui lubang diafragma
ke sisi udara dingin, sedangkan aliran udara panas akan keluar melalui
bukaan katup. Dengan mengatur bukaan katup, kuantitas dan temperature
udara dingin dapat di variasi.

9. Latihan soal dan Pembahasan.


Prediksikan nilai entalpi penguapan untuk air pada 200 0C dengan
mengasumsikan uap sebagai gas ideal. Hitunglah persentase tingkat
kesalahannya.
Penyelesaian:

Pada 2000C dan 155,4 kPa, volume spesifik dari uap jenuh adalah dalam
aproksimasi gas ideal, vg = RT/P = (0,462)(473)/155 = 0,1406 m 3/kg. Untuk
air cair densitasnya sekitar 1000 kg/m 3 sehingga vf = 0,001 m3/kg (atau kita
dapat menggunakan vf dari tabel-tabel uap). Jadi kita memperoleh:

h fg =T v fg ( ∂∂TP ) v

¿ ( 473 ) ( 0,1406−0,001 ) ( 1906−1254


210−190 )
¿ 2153 kJ /kg

Jika dibandingkan dengan hfg = 1941 kJ/kg dari tabel-tabel uap,


persentase error adalah
2153−1941
error = 100 =10,9
1941
Kesalahan ini disebabkan karena ketidak-akuratan dari nilai v g

10. Soal Evaluasi dan Kunci Jawaban

1. Bila timbal dileburkan pada tekanan atmosfer,titik leburnya 600 K,


kerapatannya berkurang dari 11,01 menjadi 10,65 g/cm 3,dan kalor
laten peleburannya 24,5 j/g. Berapakah titik leburnya pada tekanan
1,01 x 107 Pa?
Jawaban : 600,8 K.

2. Air yang membeku pada titik bekunya (T i , Pi ) mengisi penuh suatu


bajana baja. Temperaturnya diturunkan menjadi Tf pada volume
tetap dengan tekanan Pf. Hitung y untuk i = 0°C,101x 105 Pa; f = -
5°C, 5,98 x 107 Pa; β’’ = - 67 x 10-6 K-1 ; k’’ = 12,02 x 10-11 Pa; v’’f – v’f
= -1,02 x 10-4 m3/kg.
Jawaban : 6,7 %.

3. Kristal iodium memiliki berat atom 127 kg/kmol dan kalor jenis
0,197 kJ/kg.K. Uap iodium dapat dianggap sebagai gas dwiatom
ideal dengan CF tetap. Pada 301 K,tekanan uapnya 51,5 N/m 2 ;
pada 299 K 43,5 N/m2. Hitunglah kalor laten sublimasi
a) Pada 300 K
b) Pada temperatur nol mutlak
c) Pada 200 K
Jawaban : a) 63,6 kJ/mol; b) 69,5 kJ/mol; c) 65,4 kJ/mol.

4. Kalor sublimasi seng pada 600K diketahui sama dengan 130


kJ/mol. Kapasitas kalor seng padat besarnya sedemikian sehingga
600

∫ c 'p dT =13.800 J/mol, dan 600 K besarnya 1,96.


0

Tekanan uap seng 600 K besarnya 4,67 x 10-3 mm Hg. Andaikan


uap seng dapat dianggap gas ideal,hitunglah :

a) Kalor sublimasi pada temperatur nol mutlak

b) Tetapan tekanan uap

Jawaban : a) 63,6 kJ/mol; b) 1,21.


5. Tekanan uap amoniak padat dalam Pa memenuhi In P = 27,92 –
3754/T, dan tekanan uap amoniak cair memenuhi In P = 24,38 –
3063/T.
a) berapakah temperatur titik tripelnys?
b) berapakah harga ketiga kalor-laten pada titik tripel?
Jawaban : a) 63,6 kJ/mol; b) lSU = 31,2 kJ/mol ; lFU = 5,80 kJ/mol ; lVA
= 25,4 kJ/mol.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam proses pergantian fase terjadi tiga peristiwa yang terkenal


yaitu peleburan, penguapan, dan sublimasi. Adapun proses yang kurang
terkenal pun terjadi dalam proses pergantian fase misalnya perubahan
bentuk Kristal, dengan temperature dan tekanannya selalu tetap,
sedangkan entropi dan volume nya berubah. Adapun dalam
termodinamika proses peleburan, penguapan, dan sublimasi telah
membahas lebih lanjut mengenai zat yang lebih kompleks dari proses
pergantian fase yang sebelumnya sudah dikenal. Misalnya proses
peleburan yang membahas mengenai kalor lebur zat padat yang
merupakan bahasan yang lebih kompleks dari proses pergantian fase
yang sudah jadi pengetahuan sebelumnya. Dalam pergantian fase orde
pertama terdapat salah satu pernyataan yang setara yaitu terdapat
perubahan entropi dan volum, dan turunan pertama fungsi gibbs beubah
secara taklamar. Apabila terdapat perubahan fase yang memenuhi
persyaratan dari pernyataan tersebut maka hal tersebut merupakan
pergantian fase orde pertama. Pergantian fase mengenai peleburan kalor,
penguapan dan sublimasi kalor pada suatu zat merupakan bentuk
kompleks dari pergantian fase.

B. Saran

Penulis dapat menambahkan lagi materi (menambahkan rumusan


masalah) agar pengetahuan pembaca menjadi lebih luas. Penulis juga
dapat memperbanyak lagi sumber / referensi, agar makalah yang akan
dibuat lebih lengkap lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Mark W. Zemansky,Ph.D. & Richard H. Dittman, Ph.D. 1986. Kalor dan


Termodinamika. Bandung : ITB,277-308

Lewis, Gilbert Newton dan Merle Randall. 1961. Thermodinamics.


Barkeley: Mcgraw-Hill Book Company, 151-156

Rosenberg, Klotz. 1916. Chemical Thermodynamics. Menlo Park: The


Benjamin/ Cummings Publishing Company Inc, 196-197.

Schaum. 2008. Termodinamika Teknik. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai